• Tidak ada hasil yang ditemukan

faktor faktor yang berhubungan dengan ke (5)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "faktor faktor yang berhubungan dengan ke (5)"

Copied!
12
0
0

Teks penuh

(1)

FAKTOR-FAKTOR YANG BERHUBUNGAN DENGAN KEJADIAN

LEPTOSPIROSIS BERAT DI KOTA SEMARANG

Indah Multianingrum*, Irwan Budiono, Dina Nur Anggraini Ningrum E-mail: indahmultianingrum@gmail.com

Jurusan Ilmu Kesehatan Masyarakat Universitas Negeri Semarang Kampus Sekaran Gunungpati Semarang 50229 Jawa Tengah-Indonesia Telp. (024) 8058007

E-mail: fik-unnes-smg@telkom.net

ABSTRAK

Leptospirosis masalah kesehatan masyarakat di seluruh dunia, khususnya di negara-negara yang beriklim tropis dan subtropis serta memiliki curah hujan yang tinggi. Kota Semarang termasuk endemis leptospirosis dengan insiden leptopsirosis di Kota Semarang 4,59/100.000 dan mortality 17,28%. Kematian leptospirosis di Kota Semarang terjadi pada leptospirosis berat yang sudah menyerang organ sebanyak 15-40%. Jenis penelitian adalah studi observasional dengan desain penelitian kasus kontrol retrospektif. Teknik pengambilan sampel menggunakan total sampling pada kelompok kasus dan simple random sampling pada kelompok kontrol, masing-masing berjumlah 30 responden pada kelompok kasus dan kelompok kontrol. Data yang diperoleh dalam penelitian ini dianalisis menggunakan rumus uji chi-square (α=0,05) dengan penentuan odds ratio (OR). Dari hasil penelitian didapatkan bahwa faktor-faktor yang berhubungan dengan kejadian leptospirosis berat di kota semarang adalah kebiasaan merokok (p= 0,038, OR=3,5; 95% CI 1,201-10,196), selang waktu antara timbulnya gejala dengan pemberian terapi antibakteri (p=0,004, OR=5,5; 96% CI 1,813-16,681). Saran yang peneliti rekomendasikan adalah memberikan penyuluhan kepada masyarakat tentang bahaya dari merokok yang dapat memperparah penderita leptospirosis dan memberikan penyuluhan tentang pemeriksaan lebih dini saat mulai gejala akan memperkecil suatu penyakit menjadi parah.

Kata Kunci : Faktor-Faktor, Leptospirosis Berat, Kota Semarang

ABSTRACT

Leptospirosis is one of health problems in entire world, especially in the countries with tropic and subtropic climates, as well as in the countries with high rainfall. Semarang city included in leptospirosis endemic area with incident of leptospirosis 4,59/100.000 and mortality 17,28%. Death rate of leptospirosis in Semarang city is occured to the severe leptospirosis which already attack organs 15-40%. This was observasional study with retrospective case-control study. The samples amounted to 30 cases dan 30 controls. Total sampling technique was used in the case group and sampling simple random sampling in the control group, which is 30 respondents in the case group and the control group. Data items were analyzed by statistical formula chi-square test (α=0,05) with determination of odds ratio (OR). The result showed that factors related to severe leptospirosis occurrence in Semarang city are smoking behaviour (p= 0,038, OR=3,5; 95% CI 1,201-10,196) and interval time between early symptoms appeared until antibacterial therapy given (p=0,004, OR=5,5; 96% CI 1,813-16,681). Recommend is to educate the public about the dangers of smoking which can worsen patients with leptospirosis and to provide education on early examination when symptoms will begin to reduce the disease becomes severe.

(2)

PENDAHULUAN

Leptospirosis merupakan masalah kesehatan masyarakat di seluruh dunia, khususnya di negara-negara yang beriklim tropis dan subtropis serta memiliki curah hujan yang tinggi. WHO menyebutkan kejadian leptospirosis untuk negara subtropis adalah berkisar antara 0,1-1 kejadian tiap 100.000 penduduk per tahun, sedangkan di negara tropis antara 10-100 kejadian tiap 100.000 penduduk per tahun (WHO, 2003: V).

Indonesia merupakan negara tropis dengan kejadian leptospirosis yang tinggi. International Leptospirosis Sosiety (2001) menyatakan Indonesia sebagai negara dengan insiden leptospirosis tinggi dengan peringkat ketiga di dunia dibawah Uruguay dan India untuk mortalitas (Ramadhani T. dan Yunianto B, 2010: S46).

Kota Semarang adalah satu-satunya daerah di Indonesia yang melaporkan adanya kasus leptospirosis. Insiden leptopsirosis di Kota Semarang 4,59/100.000 dan mortality 17,28% (Dinkesprov Jateng, 2012: 57).

Insiden leptospirosis di Indonesia seringkali luput didiagnosa karena gejala leptospirosis yang timbul itu tidak khas, yang meliputi sakit kepala, demam, myalgia ( flu-like illness), keluhan gastrointestinal, manifestasi hemoragik ringan, seperti suffusi konjungtiva, sehingga biasanya pasien tidak terlalu mendapat perhatian medik (Putra AM,2008). Kejadian luar biasa leptospirosis dalam dekade terakhir dibeberapa negara telah menjadikan leptospirosis sebagai salah satu penyakit yang termasuk the emerging of infectious disease, termasuk di Indonesia yang memiliki angka kematian leptospirosis (Case Fatality Rate) termasuk tinggi yaitu mencapai 2,5-16,45% (Ernawati K, 2008: 1).

Manifestasi leptospirosis berat terjadi pada 5-15% infeksi yang ditandai dengan: i)

Weill’s sindrom (Tiga serangkai penyakit kuning, pendarahan dan gagal ginjal akut), yang

memiliki Case Fatality Rate (CFR) 10-15%, dan ii) sindrom perdarahan paru berat (Severe Pulmonary Hemorrhage Syndrome), yang dapat dilihat sebagai gangguan pernafasan akut dan dikaitkan dengan tingkat kasus kematian >50% (Tubiana S. et al, 2013: 2).

(3)

jarak rumah dengan selokan OR 5,3, adanya tikus didalam dan sekitar rumah OR 3,7. Lain halnya dengan penelitian Nurmilawati (2005: 48) tentang faktor-faktor risiko kematian pada penderita leptospirosis berat di rumah sakit Se-Kota Semarang menunjukkan bahwa dari analisis multivariat dengan logistik ganda didapatkan 4 faktor risiko prognosis yang sangat berpengaruh terhadap kematian antara lain kelainan EKG, leukositosis, ronkhi basah dan hematemesis.

Dari permasalahan diatas, peneliti ingin mengetahui hubungan antara umur, jenis kelamin, kebiasan merokok, konsumsi alkohol berat, riwayat hipertensi kronik, selang waktu antara timbulnya gejala dengan pemberian terapi antibakteri dengan kejadian leptospirosis berat di Kota Semarang. Peneliti menganggap penting untuk mengkaji lebih lanjut faktor-faktor tersebut karena dari hasil penelitian sebelumnya mempunyai hubungan yang sangat besar terhadap kejadian terjadinya leptospirosis berat.

METODELOGI PENELITIAN

Jenis penelitian ini adalah penelitian analitik observasional dengan rancangan

(4)

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

Adapun hasil penelitian ini dapat dilihat pada Tabel 1 : Tabel 1. Hasil Penelitian Kategori Leptospirosis Berat Leptospirosis

n % n % n %

(5)

Tabel 2. Crosstab Hubungan antara Kejadian Leptospirosis Berat dengan Kebiasaan Merokok Berdasarkan Jenis Kelamin dan Hubungan antara Kejadian Leptospirosis Berat dengan Riwayat Hipertensi Kronik Berdasarkan umur

Kejadian Leptospirosis Berat

Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan, sebagian besar responden memiliki umur >40 tahun yaitu 41 responden dengan persentase sebesar 68,3%, sedangkan responden yang memiliki umur <40 tahun sebanyak 19 responden dengan persentase 31,7%.

(6)

(76,7%) sedangkan responden yang mengalami leptospirosis cenderung memiliki umur >40tahun (60%).

Hasil penelitian ini tidak sesuai dengan penelitian terdahulu oleh Spichler A. S, et al (2008) yang menyatakan bahwa umur lebih dari 40 tahun memiliki prediktor kematian pada leptospirosis. Dalam penelitian ini menyebutkan bahwa responden yang yang memiliki umur lebih dari 40 tahun memiliki imunitas tubuh yang kurang baik dan mudah terinfeksi. Tetapi dalam penelitian ini umur tidak berhubungan dengan kejadian leptospirosis berat.

Penelitian ini menunjukkan bahwa tidak selalu fungsi sistem imunitas tubuh menurun sesuai umur sehingga kemampuan imunitas tubuh melawan infeksi masih baik karena sistem imun seseorang dipengaruhi oleh nutrisi yang dikonsumsinya setiap hari. Selain itu memelihara kehidupan sosial yang aktif dan memperoleh pengobatan depresi dapat meningkatkan sistem imun kelompok lansia (Fatmah,2006: 48).

Jenis Kelamin

Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan, sebagian besar responden memiliki jenis kelamin laki-laki yaitu 42 responden dengan persentase 70%, dan responden yang memiliki jenis kelamin perempuan sebanyak 18 responden dengan persentase 30%.

Berdasarkan hasil uji statistik Chi Square pada Tabel 1 menunjukkan bahwa tidak ada hubungan antara jenis kelamin dengan kejadian leptospirosis berat dengan nilai p=0,159 (p > 0,05). Responden yang mengalami leptospirosis berat cenderung memiliki jenis kelamin laki-laki (60%) dan responden yang mengalami leptospirosis cenderung memiliki jenis kelamin laki-laki (80%).

Hasil penelitian ini tidak sesuai dengan penelitian terdahulu oleh Jansen A, et al (2007) yang menyatakan bahwa faktor risiko leptospirosis terkait dengan jenis kelamin laki-laki dengan pekerjaan seperti peternakan, perikanan, dan menyembelih.

(7)

Kebiasaan Merokok

Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan, sebagian besar responden memiliki kebiasaan merokok yaitu 27 responden dengan persentase 45%, sedangkan responden yang tidak memiliki kebiasaan merokok sebanyak 33 responden dengan persentase 55%.

Berdasarkan hasil uji statistik Chi Square pada Tabel 1 menunjukkan bahwa ada hubungan antara kebiasaan merokok dengan kejadian leptospirosis berat dengan nilai p=0,038 (p < 0,05). Responden yang mengalami leptospirosis berat cenderung memiliki kebiasaan merokok (60%) dan responden yang mengalami leptospirosis cenderung tidak memiliki kebiasaan merokok (70%). Dari hasil analisis diperoleh pula nilai OR = 3,5 (OR>1) dengan interval 1,201-10,196 (tidak mencakup angka 1), artinya penderita yang memiliki kebiasaan merokok memiliki risiko 3,5 kali mengalami leptospirosis berat dibandingkan penderita yang tidak memiliki kebiasaan merokok.

Hasil penelitian ini sesuai dengan penelitian terdahulu oleh Tubiana S,et al (2013) yang menyatakan bahwa merokok merupakan faktor risiko untuk keterlibatan pernafasan pada penderita leptospirosis (p=0,003). Perokok tiga kali lebih mungkin untuk mengembangkan leptospirosis berat dibandingkan non perokok dan risiko perdarahan alveolar serta gangguan pernafasan pada perokok yang sangat tinggi. Hal ini menunjukkan bahwa beberapa komponen tembakau dapat mendukung pengembangan perdarahan paru dengan meningkatkan daya serap pembuluh paru-paru, merusak membran dasar dan meningkatkan respon peradangan lokal.

Dalam penelitian ini, ada variabel yang berperan sebagai perancu atau pengganggu yaitu variabel jenis kelamin yang merancukan hubungan antara kebiasaan merokok dengan kajadian leptospirosis berat, sehingga untuk mengendalikan variabel jenis kelamin dilakukan dengan menggunakan teknik analisis berstrata. Adapun hasil analisis berstrata dapat dilihat pada Tabel 2.

(8)

Berdasarkan hasil penelitian, hubungan antara kebiasaan merokok dengan kejadian leptospirosis berat di Kota Semarang menghasilkan OR = 3,5, setelah dilakukan analisis berstrata untuk mengontrol variabel jenis kelamin perempuan didapatkan bahwa jenis kelamin perempuan tidak meningkatkan risiko kejadian leptospirosis berat karena ORkasar> OR (perempuan) (3,5 > 0,45), maka terdapat kerancuan yang memperbesar hubungan kebiasaan merokok dengan kejadian leptospirosis berat yang sesungguhnya. Sehingga dapat diketahui bahwa variabel jenis kelamin merupakan variabel perancu dalam hubungan antara kebiasaan merokok dengan kejadian leptospirosis berat karena pada perhitungan rasio OR kasar (3,5) mempunyai selisih yang besar dari OR 1 (34,00) dan OR 2 (0,45).

Konsumsi Alkohol Berat

Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan, sebagian besar responden yang konsumsi alkohol berat yaitu 9 responden dengan persentase 15%, dan responden yang tidak konsumsi alkohol berat sebanyak 51 responden dengan persentase 85%.

Berdasarkan hasil uji statistik Chi Square pada Tabel 1 menunjukkan bahwa tidak ada hubungan antara konsumsi alkohol berat dengan kejadian leptospirosis berat dengan nilai p=0,472 (p > 0,05). Responden yang mengalami leptospirosis berat cenderung tidak konsumsi alkohol berat (80%) dan responden yang mengalami leptospirosis cenderung tidak konsumsi alkohol berat (90%).

Hasil penelitian ini tidak sesuai dengan penelitian terdahulu oleh Storck C. H, et al (2010) yang menyatakan konsumsi alkohol berat merupakan faktor terkait dengan keparahan leptospirosis, karena konsumsi alkohol kronis juga dapat menyebabkan komplikasi seperti hepatitis akut dan pankreatitis. Dalam penelitian ini konsumsi alkohol berat tidak berhubungan dengan kejadian leptospirosis berat karena besarnya jumlah penderita leptospirosis berat yang berisiko terhadap konsusmsi alkohol berat yaitu yang mengkonsumsis alkohol berat sebanyak 6 orang (20,0%) tidak jauh dengan yang tidak menderita leptospirosis berat yaitu sebanyak 3 orang (10,0).

(9)

Riwayat Hipertensi Kronik

Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan, sebagian besar responden yang memilikiriwayat hipertensi kronik yaitu 12 responden dengan persentase 20%, dan responden yang tidak memiliki riwayat hipertensi kronik sebanyak 48 responden dengan persentase 80%.

Berdasarkan hasil uji statistik Chi Square pada Tabel 1 menunjukkan bahwa tidak ada hubungan antara riwayat hipertensi kronik dengan kejadian leptospirosis berat dengan nilai p=0,107 (p > 0,05). Responden yang mengalami leptospirosis berat cenderung tidak memiliki riwayat hipertensi kronik (70%) dan responden yang mengalami leptospirosis cenderung tidak memiliki riwayat hipertensi kronik (90%).

Hasil penelitian ini tidak sesuai dengan penelitian terdahulu oleh Storck C. H, et al (2010) yang menyatakan bahwa hipertensi kronik merupakan faktor risiko terkuat untuk penyakit berat. Dalam penelitian ini riwayat hipertensi kronik tidak berhubungan dengan kejadian leptospirosis berat karena besarnya jumlah penderita leptospirosis berat yang berisiko terhadap riwayat hipertensi kronik yaitu yang riwayat hipertensi kronik sebanyak 9 orang (30,0%) tidak jauh dengan yang tidak menderita leptospirosis berat yaitu sebanyak 3 orang (10,0).

Dalam penelitian ini, terdapat ada variabel yang berperan sebagai perancu atau pengganggu yaitu variabel umur, kebiasaan merokok dan konsumsi alkohol berat yang merancukan hubungan antara riwayat hipertensi kronik dengan kajadian leptospirosis berat, sehingga untuk mengendalikan variabel umur, kebiasaan merokok dan konsumsi alkohol berat dilakukan dengan menggunakan teknik analisis berstrata. Dalam hal ini, variabel kebiasaan merokok dan konsumsi alkohol berat tidak terbukti merancukan hubungan antara riwayat hipertensi kronik dengan kajadian leptospirosis berat. Sedangkan variabel umur terbukti merancukan hubungan antara riwayat hipertensi kronik dengan kajadian leptospirosis berat. Adapun tabel perancu variabel umur dapat dilihat pada tabel 2.

(10)

Berdasarkan hasil penelitian, hubungan antara riwayat hipertensi kronik dengan kejadian leptospirosis berat di Kota Semarang menghasilkan OR = 3,85, setelah dilakukan analisis berstrata untuk mengontrol variabel umur <40 tahun didapatkan bahwa umur <40 tahun tidak meningkatkan risiko kejadian leptospirosis berat karena OR kasar > OR (umur <40 tahun) (3,85> 1,83), maka terdapat kerancuan yang memperbesar hubungan riwayat hipertensi kronik dengan kejadian leptospirosis berat yang sesungguhnya. Sehingga dapat diketahui bahwa variabel umur merupakan variabel perancu dalam hubungan antara riwayat hipertensi kronik dengan kejadian leptospirosis berat karena pada perhitungan rasio OR kasar (3,857) mempunyai selisih yang besar dari OR 1 (4,267) dan OR 2 (1,833).

Selang Waktu Antara Timbulnya Gejala Dengan Pemberia Terapi Antibakteri

Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan, sebagian besar responden yang pemberian terapi antibakteri >5 hari yaitu 28 responden dengan persentase 46,7%, sedangkan responden yang pemberian terapi antibakteri mulai 0-5 hari sebanyak 32 responden dengan persentase 53,3%.

Berdasarkan hasil uji statistik Chi Square pada Tabel 1 menunjukkan bahwa ada hubungan antara selang waktu antara timbulnya gejala dengan pemberian terapi antibekteri dengan kejadian leptospirosis berat dengan nilai p=0,004 (p < 0,05). Responden yang mengalami leptospirosis berat cenderung mendapatkan pemberian terapi antibakteri >5 hari (66,7%) dan responden yang mengalami leptospirosis cenderung mendapatkan pemberian terapi antibakteri antara 0-5 hari (73,3%). Dari hasil analisis diperoleh pula nilai OR = 5,5 (OR>1) dengan interval 1,81-16,68 (tidak mencakup angka 1), artinya penderita yang mendapatkan pemberian terapi antibakteri >5 hari memiliki risiko 5,5 kali mengalami leptospirosis berat dibandingkan penderita yang mendapatkan pemberian terapi antibakteri antara 0-5 hari.

(11)

Pengobatan dengan antibiotik yang efektif harus dimulai segera setelah diagnosis leptospira dicurigai dan sebaiknya sebelum hari kelima setelah gejala awal penyakit karena untuk pengobatan lebih dari 5 hari itu manfaatnya masih diragukan. Manfaat antibiotik setelah hari kelima pada penyakit leptospirosis masih kontroversial. Kasus antibiotik untuk kuman leptospira antara lain penisilin, doxicycline, ceftriaxon dan cefotaxime (WHO, 2003:6).

SIMPULAN

Berdasarkan hasil penelitian mengenai faktor-faktor yang berhubungan dengan kejadian leptospirosis berat di kota semarang, diperoleh simpulan sebagai berikut: (1) Sebagian besar responden memiliki umur >40 tahun (68,3%), jenis kelamin laki-laki (70%), memiliki kebiasaan merokok <6 bulan (55%), tidak mengkonsumsi alkohol berat (85%), tidak memiliki riwayat hipertensi kronik (80%), dan pemberian terapi antibakteri mulai 0-5 hari (53,3%). (2) Tidak ada hubungan antara umur, jenis kelamin, konsumsi alkohol berat dan riwayat hipertensi kronik dengan kejadian leptospirosis berat. (3) Ada hubungan antara kebiasaan merokok (p value= 0,038; OR= 3,5). Hubungan ini terbukti dirancukan oleh variabel jenis kelamin. Hal ini menunjukkan bahwa pada kelompok laki-laki merupakan faktor risiko dan pada kelompok perempuan merupakan bukan faktor protektif. (4) Selang waktu antara timbulnya gejala dengan pemberian terapi antibakteri (p value= 0,004; OR= 5,5) dengan kejadian leptospirosis berat.

UCAPAN TERIMA KASIH

Ucapan terima kasih kami tunjukkan kepada Dekan Fakultas Ilmu Keolahragaan, Ketua Jurusan Ilmu Kesehatan Masyarakat, Dosen Pembimbing, Kepala Dinas Kesehatan Kota Semarang, Direktur SDM dan Pendidikan RSUP Dr Kariadi Semarang, Keluarga, serta Teman-teman yang telah memberi bantuan dan motivasi dalam penyelesaian penelitian ini.

DAFTAR PUSTAKA

Amilasan TA, et al. 2012. Outbreak of Leptospirosis after Flood, the Philippine. 2009. Emerging Infectious Diseases. Vol. 18, No. 1, January 2012.

Depkes RI. 2008. Laporan Hasil Riset Kesehatan Dasar Indonesia Tahun 2007. Jakarta: Departemen Kesehatan

(12)

Ernawati, K. 2008. Leptospirosis sebagai Penyakit Pasca Banjir serta Ca ra Pencegahannya. No 274. Juli 2008.

Fatmah. 2006. Respon Imunitas yang Rendah pada Tubuh Manusia Usia Lanjut. Makara, kesehatan, vol 10, no. 1, Juni 2006: 47-53.

Jansen A, et al. 2007. Sex Differences in Clinical Leptospirosis in Germany:19972005. CID 2007:44 (1 May).

Murti B. 2003. Prinsip dan Metode Riset Epidemiologi. Gadjah Mada University Press. Yogyakarta.

Nurmilawati. 2005. Faktor-Faktor Risiko Kematian pada Penderita Leptospirosis Berat di Rumah Sakit se-Kota Semarang. Tesis. Universitas Diponegoro Semarang.

Nurlian dan Daulay H. 2008. Kesetaraan Gender dalam Pembagian Kerja pada Keluarga Petani Ladang (Studi Kasus Analisa Isu Gender pada Keluarga Petani Ladang di Desa Cot Rambong, Kecamatan Kuala, Kabupaten Nagan Raya, NAD). Jurnal Harmoni Sosial. Volume II. No. 2. Januari 2008.

Putra A M. 2008. Keterlibatan Multiorgan pada Penderita Leptospirosis Berat.Artikel karya tulis: FK UNDIP.

Ramadhani T, Yunianto B. 2010. Kondisi Lingkungan Pemukiman yang Tidak Sehat Beresiko Terhadap Kejadian Leptospirosis (Studi Kasus di Kota Sema rang). Jurnal loka litbang P2B2 Banjarnegara. Volume XX.

Rejeki, DSS. 2005. Faktor Risiko Lingkungan yang Berpengaruh Terhadap Kejadian Leptospirosis Berat (Studi Ka sus di Rumah Sakit Dr Kariadi Semarang). Tesis. Universitas Diponegoro Semarang.

Spichler A. S, et al. 2008. Predictors of Lethality in Severe Leptospirosis in Urban Brazil. Am. J. Trop. Med. Hyg.79(6). 2008. pp. 911–914.

Storck C.H, et al. 2010. Severe Leptospirosis in Hospitalized Patients, Guadeloupe. Emerging Infectious Diseases. Vol. 16, No. 2, February 2010.

Tubiana S, et al. 2012. Risk Factors and Predictors of Severe Leptospirosis in New Caledonia. Tropical Diseases. Volume 7/Issue 1/e1991

Gambar

Tabel 2. Crosstab Hubungan antara Kejadian Leptospirosis Berat dengan Kebiasaan

Referensi

Dokumen terkait

Karang Taruna adalah organisasi sosial kemasyarakatan sebagai wadah dan sarana pengembangan setiap anggota masyarakat yang tumbuh dan berkembang atas dasar kesadaran dan

Universitas Sumatera

Simpulan penelitian pengembangan ini adalah (1) Dihasilkan modul pembelajaran fisika dengan strategi inkuiri terbimbing pada materi fluida statis yang tervalidasi; (2)

Dari hasil analisis diperoleh nilai OR = 2,416 (CI 95% : 1,192-4,898) dan dapat disimpulkan bahwa responden yang tidak menggunakan obat anti nyamuk memiliki risiko 2,416 kali

Jadi kebijakan dividen memberikan pengaruh positif terhadap nilai perusahaan dan membuktikan bahwa dividend yield lebih disukai dibandingkan capital gain, sehingga

Hasil penelitian tentang pengaruh self tapping terhadap intensitas nyeri dysmenorrhea primer pada mahasiswi PSIK FK UGM dapat disimpulkan bahwa terdapat pengaruh terapi

Pemodelan antena untuk mendapatkan data dimensi antena telah dilakukan, kemudian dilakukan pengujian parameter antena melalui prosedur pengukuran dan analisisnya

Untuk mengetahui seberapa besar pengaruh sikap mandiri pada model pembelajaran missouri mathematics project terhadap pemahaman konsep matematika siswa kelas III SDN Gebangsari