1
WAKTU, YANG MEMBATU DI NEGERI TERKUTUK, PADA SASTRA
O L E H F A D L I L L A H M A L I N S U T A N (Dimuat di Harian Singgalang, Minggu 06 Januari 2008, Hal. 11)
Akhir tahun, seperti memandang sun set, yang sangat monumental, bagaimana matahari dipenghujung tahun akan terbenam. Tetapi awal tahun serentak memperhatikan ke timur, sun rise, matahari terbit, matahari pertama dari tahun matahari itu sendiri. Timur atau barat, bukankah matahari hanya satu, bumi kita juga satu, namun kita punya mata berbeda-beda.
Apalah arti memandang, namun dia vision de munde, akan jadi lain ketika yang dimaksud dengan visi. Adapun memperhatikan, bukanlah sekedar melihat begitu saja, adalah sebuah perhatian, akan lebih dipahami dengan mengkaji.
Tidak hanya sekedar, bagaimana matahari terbenam, atau matahari terbit, nampaknya. Apalah fenomena alam, sepanjang hari terbenam dan terbit, disetiap waktu. Tidak hanya pada efek fisika dan nature yang univer, atau sunnah tullah, tetapi pada makna, arti, karena memandang adalah vision, sebuah desain, mind set, blue print, sebuah paradigma, yang pada level permukaan begitu mempesona.
Barangkali, kita mempunyai sisi barat dan sisi timur, rasanya tidak mungkin menyatakan hanya barat tanpa timur. Selalu diawal tahun, masih ada sedikit ruang yang tersisa untuk memperhatikan diri, menelaah dan mengoreksi ulang, sebuah ritual evaluasi tentang sejarah, masa lalu dan akan datang, personal ataupun kamunal.
Dalam kebudayaan, ilmu pengetahuan, ekonomi, dan teknologi, kita selalu memandang ke barat, mengagumi barat. Tetapi ada yang terbalik, kita menjadi menyukai sun set, keindahan matahari terbenam, senja, senjakala, pada tataran mind set dunia makna, kita tidak begitu menyukai sun rise, sementara orang di barat sudah sangat lama berbudaya menyukai sun rise. Matahari terbenam dan matahari terbit, memang indah, namun ia mempengaruhi pola, ia sudah berubah menjadi pola, suatu setting dalam pikiran dan laku budaya. Apakah kita termasuk orang yang menyukai "akhir" dalam arti pesimis, sedangkan barat bermental optimis?
Matahari terbenam, bisa jadi akan terbentuk pola; sudah, pesimis, tidak mungkin
berubah, hari akan gelap, sedangkan matahari terbit dapat terbentuk makna: akan, optimis, banyak hal yang akan mungkin dibuat, perlu perubahan, hari akan terang. Memang tidak mutlak dan bukan sebuah generalisir, namun sebuah hikmah, ada hal yang mungkin, bagaimana kita sering dibentuk dan dipengaruhi oleh alam (ke alam pikiran), ketika kita tidak mampu menanggapi alam sebagaimana baiknya.
Kalaulah akhir tahun pada suatu senja, hanya sebuah pola, apalagi metafora, barangkali dapat mulai memahami novel Seno Gumira Adjidarma (2003). Novel yang pada mulanya cukup absurd, karena novel itu mengisahkan tentang waktu yang tidak bergerak di suatu negeri, yakni yang ada hanya waktu senja. Di negeri itu, yang ada hanya senja saja sepanjang waktu. Indah tapi tentu mengerikan.
2
senja, semua berada pada masa tua, dengan polapikir bahwa masa depan akan gelap, tidak bisa berubah. Ini mengingatkan banyak orang pada sebuah iklan kreatif, “yang muda belum boleh bicara”, juga mengingatkan banyak orang tentang fenomena budaya tentang para calon presiden
atau pemimpin suatu negara yang terdiri dari hanya orang tua, pak tua, manula. Semua bercerita tentang keindahan masa lalu, kerajaan-kerajaan yang jaya, para pahlawan yang heroik.
Seperti ungkapan Kartini, habis gelap terbitlah terang, yang diambilnya dari minazzulmat ilannur itu, adalah pola, yang selayaknya bukan slogan. Sebagaimana Jepang, barangkali, mempolakan negerinya dengan budaya matahari terbit bukan matahari terbenam. Sehingga dalam budaya hadir; semangat, optimis, enegik, segar, banyak hal yang dapat diperbuat, masa depan akan terang. Adalah suatu tragedi budaya pola budaya matahari terbenam menguasai dan menetap dalam suatu budaya, sehingga pada pagi hari buknlah “menghadap” ke timur akan tetapi membelakangi pola timur dan berjalan ke barat. Sebagaimana puisi Sapardi Djoko Damono “Berjalan ke Barat Waktu Pagi Hari” (1994:42). Terasa perenungan itu satir dan ironis sekali ketika novel ini dihubungkan dengan bait puisi,
“waktu aku berjalan ke barat di waktu pagi
matahari / mengikutiku dari belakang / aku berjalan mengikuti bayang-bayangku sendiri
yang memanjang di depan“.
Pola negeri senja, dapat dipahami pada putaran waktu pada masa tua, namun tragiknya, waktu itu tidak berputar, waktu itu menetap, tidak pada satu orang tokoh, kelompok, kaum, tapi pada satu negeri. Pola budaya negeri senja itu berkuasa pada suatu negeri, budaya, politik, sehingga masa depan tidak ada di negeri itu. Tentu luar biasa bagaimana membosankannya negeri itu dengan pola waktu pada cangkang pikiran yang tidak pernah begerak. Membosankan hanya bagi orang yang berada di luarnya, namun bagi orang-orang negeri senja, adalah seperti orang gila yang merasa dirinya sehat dan orang lain-lah yang dikatakannya gila. Sebegitu kuatnya
kekuasaan terhadap waktu yang dapat diberhentikan gerak cakranya, sesungguhnya para penguasanya sudah masuk dalam wilayah kuasa sebagaimana para Dewa atau Tuhan.
Negeri batu dan kebudayaan yang membatuTidak hanya pada novel Negeri Senja, tetapi pola ini mengingatkan kita dengan dongeng Pater Pan yang menceritakan waktu berhenti pada tubuh para tokoh, pada pikiran, pada budaya, sehingga mereka tidak pernah tua, mereka kanak-kanak sepanjang waktu. Sebagaimana cerita anak-anak si Unyil yang pernah dipertanyakan penontonnya, mengapa tidak pernah dewasa. Tetapi Pater Pan atau si Unyil, Donald Bebek, Batman, Superman, Gatot Kaca, tidak terpokus pada soal waktu yang membatu dalam dirinya, berbeda dengan Negeri Senja yang bercerita tentang tragik pola waktu yang membeku dan menyeluruh menjadi monster indah yang menyembunyikan kengerian ironi. Namun novel Seno itu, juga berintertekstual dengan waktu yang membatu pada Malin Kundang, yang dikutuksumpahi ibu (“pertiwi”).
Pada akhirnya, amal perbuatan durhaka, yakni korupsi, nepotis, kolusi, keserakahan terhadap alam, terhadap moral, terhadap kemanusiaan, yang menjadikan waktu jadi membatu, menjadi terkutuk, inilah malinkundangisme. Di Minangkabau juga disebut dengan "santuang palalai" (sejenis penyakit magis; seseorang jadi "terhenti", terlalai), dalam Islam mungkin disebut; summum bukmum umyum fahum layarjiun [Q.S.2:17-20] dan juga pada kisah pemuda di goa Kahfi [Q.S.18:17-20]. Di ujung tulisan, Seno menulis, tentang pengembara itu, pergi, matahari belum juga terbenam di negeri senja, menyisakan pertanyaan, untuk apa ada awal tahun, jika akhir tahun tidak pernah ada di negeri senja, karena waktu sudah membatu. ***
Puruih Kabun 18122007,-
*) Fadlillah, gelar Malin Sutan, staf pengajar Sastra Indonesia FIB Univ. Andalas, sedang Studi S3 Kajian Budaya di Univ. Udayana. Denpasar.