• Tidak ada hasil yang ditemukan

Lomba Karya Tulis Ilmiah Krama Desa Mena

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "Lomba Karya Tulis Ilmiah Krama Desa Mena"

Copied!
39
0
0

Teks penuh

(1)

i

KRAMA DESA:

MENARUH ASA PADA CAGAR

BUDAYA

SUB TEMA: PEMBERDAYAAN MASYARAKAT

BERBASIS CAGAR BUDAYA

Disusun Oleh:

Sekar Rizqy Amallia Ramadhani (1401405027)

I Kadek Sudana Wira Darma

(1401405017)

Jofel Eliezer Malonda

(1401405020)

UNIVERSITAS UDAYANA

(2)
(3)
(4)

iv ABSTRAK

Pemanfaatan Cagar Budaya sebagai pariwisata merupakan hal yang saat ini mulai dikembangkan. Kawasan Cagar Budaya DAS Pakerisan dimana terdapat Situs Candi Gunung Kawi dan DAS Petanu dengan Situs Goa Gajahnya di wilayah Bali merupakan salah satu destinasi pariwisata baik mancanegara maupun domestik. Penelitian ini bertujuan untuk mengidentifikasi dan memahami bagaimana proses pengelolaan di situs bersangkutan dan bagaimana keterlibatan masyarakat dalam memanfaatkan Cagar Budaya di sekitar mereka, serta dampak apa yang dirasakan dari adanya situs tersebut di wilayah mereka tinggal. Pengumpulan data dilakukan dengan car observasi, wawancara, dokumentasi, dan studi pustaka. Data dianilis melalui pemilihan data yang menunjang dari sekian data yang didapat, disajikan dan penarikan kesimpulan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa proses pengelolaan situs bersangkutan dipegang oleh beberapa stakeholder, dinas pariwisata setemoat, masyarakat desa dan BPCB. Banyak bentuk kegiatan yang dilakukan oleh masyarakat sebagai wujud dari pemberdayaan masyarakat dengan adanya cagar budaya di wilayah mereka.

(5)

v KATA PENGANTAR

Atas Asung Kertha Wara Nugraha Tuhan Yang Maha Esa karena berkat dan

rahmat-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan karya tulis ilmiah ini. Tentu masih

banyak kekurangan di dalam penyajian karya tulis ini, namun besar harapan penulis

bahwa karya tulis ini dapat berguna dalam menambah pengetahuan setiap pembaca.

Besar juga harapan penulis bagi semua pihak yang membaca dapat memberikan kritik

dan evaluasi yang membangun agar segala kekurangan dapat diperbaiki dan

dikembangkan lebih baik lagi agar manfaat dari karya tulis ini bisa lebih optimal.

Penulis ucapkan terima kasih atas segala bantuan, kerjasama dan bimbingan yang

telah diberikan.

Denpasar, 14 Oktober 2017

(6)

vi DAFTAR ISI

Cover/Halaman Sampul ... i

Lembar Pengesahan ... ii

Pernyataan Orisinalitas dan Status Naskah ... iii

Abstrak ... iv

3.3 Pemberdayaan Masyarakat di Sekitar Situs ... 17

(7)

vii

BAB IV KESIMPULAN DAN SARAN ... 22

Daftar Pustaka ... 25

(8)

1 BAB I

PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

Salah satu hasil budaya yang cukup banyak tersebar di Pulau Bali adalah

cagar budaya atau bagi masyarakat awam benda-benda cagar budaya lebih dikenal

sebagai benda-benda kuno yang memiliki keunikan tersendiri. Dasar hukum yang

mengatur tentang cagar budaya tertuang dalam Undang-Undang Republik Indonesia

Nomor 11 Tahun 2010 Tentang Cagar Budaya, merupakan pembaharuan dari dasar

hukum sebelumnya pada masa Orde Baru, yaitu Undang-Undang Republik Indonesia

Nomor 5 Tahun 1992 Tentang Benda Cagar Budaya. Berdasarkan UU RI No.11

Tahun 2010 Tentang Cagar Budaya mendefinisikan cagar budaya sebagai warisan

budaya bersifat kebendaan berupa Benda Cagar Budaya, Bangunan Cagar Budaya,

Struktur Cagar Budaya, Situs Cagar Budaya, dan Kawasan Cagar Budaya di darat

dan/atau di air yang perlu dilestarikan keberadaannya karena memiliki nilai penting

bagi sejarah, ilmu pengetahuan, pendidikan, agama, dan/atau kebudayaan melalui

proses penetapan. Adapun syarat suatu benda atau bangunan disebut sebagai cagar

budaya, diantaranya adalah berusia 50 tahun atau lebih, mewakili masa gaya paling

singkat berusia 50 tahun, memiliki arti khusus bagi sejarah, ilmu pengetahuan,

pendidikan, agama, dan/atau kebudayaan dan memiliki nilai budaya bagi penguatan

kepribadian bangsa.

Sebagian besar kondisi dari cagar budaya yang ditemukan adalah sudah tidak

utuh lagi atau bahkan rusak karena memang hal tersebut bisa dikatakan menjadi sifat

dari cagar budaya yakni rapuh. Jumlah cagar budaya juga terbatas sehingga

menjadikan cagar budaya sebagai benda yang unik dan langka. Selain itu

keberadaaan dari cagar budaya sendiri tidak dapat diperbaharui (nonrenewable),

sehingga keaslian cagar budaya menjadi faktor yang sangat penting untuk dijaga atau

dipertahankan untuk menjaga nilai budaya yang dimiliki.

Bali sebagai pulau yang memiliki banyak keindahan dan keunikan alam serta

(9)

2

ini. Sebagian besar cagar budaya yang berada di Bali bersifat living monument yang

artinya benda maupun bangunan cagar budaya masih menjadi bagian yang hidup

dalam aktivitas masyarakat Bali, walaupun banyak dari cagar budaya tersebut telah

mengalami pergeseran fungsi dari fungsi aslinya. Berbeda dengan cagar budaya di

wilayah Indonesia lainnya yang sebagian besar sifatnya dead monument atau tidak

difungsikan kembali.

Situasi tersebut berdampak positif terhadap pelestarian cagar budaya yang ada

di Bali. Masyarakat dapat ikut berperan aktif dalam menjaga, melindungi dan

melestarikannya karena merasa memiliki cagar budaya tersebut. Hal ini sesuai dengan

prinsip pelestarian cagar budaya yang diatur dalam UU No 11 tahun 2010. Pada

prinsipnya terlestarikannya cagar budaya berkoherensi dengan keikutsertaan atau

partisipasi masyarakat secara keseluruhan. Keterlibatan masyarakat dalam

melestarikan begitu juga dalam pemanfaatannya ditujukan agar dapat meningkatkan

kesejahteraan masyarakat itu sendiri.

Pendekatan yang berorientasi pada masyarakat (community-oriented) dalam

implementasinya diwujudkan melalui pemberdayaan masyarakat di sekitar Situs.

Pendekatan ini mempunyai keuntungan bagi kedua belah pihak, antara pihak

pengelola warisan budaya dengan pihak masyarakat di sekitar situs. Pihak pengelola,

yakni pemerintah (pusat) maupun pemerintah daerah (otonom) dalam upaya

pelestarian akan memperoleh dukungan dari masyarakat setempat, karena mereka

membutuhkan peran dari warisan tersebut. Sebaliknya, masyarakat juga akan

memperoleh keuntungan, baik moril maupun materiil karena warisan budaya dapat

memberikan kontribusi konkrit yang dapat meningkatkan taraf perekonomian dalam

kehidupannya (Prasodjo, 2004).

Masyarakat yang bertempat tinggal di sekitar situs memiliki potensi yang

dapat dikembangkan sehingga akan menumbuhkan ketergantungan yang saling

menguntungkan antara situs dan masyarakat sekitar. Ketergantungan tersebut

menunjukkan adanya relasi atau hubungan timbal balik yang saling menguntungkan

(10)

3

Pengembangan potensi-potensi yang dimiliki oleh masyarakat tersebutlah yang perlu

di perdayakan. Pemberdayaan merupakan upaya untuk memampukan masyarakat di

sekitar situs, dengan cara mendorong, memotivasi sekaligus membangkitkan

kesadaran masyarakat akan potensi yang dimilikinya serta berupaya

mengembangkannya untuk memperoleh kemandirian dalam meningkatkan taraf

hidupnya dengan memanfaatkan wilayah yang ditinggalinya yang merupakan

kawasan cagar budaya.

Beberapa kawasan cagar budaya yang terdapat di Bali adalah kawasan DAS

Pakerisan dan Petanu yang terletak di Kabupaten Gianyar. Salah satu diantara

kawasan tersebut, yakni kawasan DAS Pakerisan merupakan kawasan yang sudah

ditetapkan menjadi World Heritage Site atau Situs Warisan Dunia oleh UNESCO.

Perlu diketahui bahwa kriteria untuk menjadi sebuah warisan dunia adalah

terdapatnya nilai penting yang istimewa dan diakui secara luas oleh dunia.

nilai-nilai penting tersebut dikenal sebagai Outstanding Universal Value. OUV yang

dimiliki dalam hal ini adalah filosofi dari konsep Tri Hita Karana yang dipegang oleh

masyarakat Bali.

Beberapa situs yang termasuk dalam kawasan DAS Pakerisan yaitu Situs

Candi Gunung Kawi dan Situs Tirta Empul. Sedangkan untuk di kawasan DAS

Petanu terdapat Situs Goa Gajah salah satunya. Ketiga situs yang terdapat dalam dua

kawasan tersebut merupakan situs yang mendatangkan daya tarik tersendiri

khususnya dalam bidang pariwisata. Dengan banyaknya pengunjung yang tertarik

untuk mendatangi situs tersebut, tentunya membawa dampak secara langsung

maupun tak langsung kepada masyarakat yang tinggal di wilayah tersebut. Berangkat

dari kondisi situs inilah, maka kami mencoba untuk melihat bagaimana situs tersebut

memberi pengaruh kepada masyarakat. Karya tulis ini akan mencoba menggali lebih

dalam lagi mengenai pengelolaan serta pemberdayaan masyarakat yang telah

(11)

4 1.2 Rumusan Masalah

Berdasarkan uraian pada latar belakang, terdapat dua hal yang mendapat

perhatian. Pertama, situs Tirta Empul, Gunung Kawi, dan Goa Gajah merupakan

situs yang mendapatkan kunjungan wisatawan yang banyak sehingga perlu dilihat

pihak-pihak yang terlibat dalam pengelolaan situs tersebut. Kedua, pemberdayaan

masyarakat sangat penting dilakukan agar masyarakat dapat mengoptimalkan potensi

yang dimiliki untuk menunjang kesejahteraan mereka, sehingga penting melihat

pemberdayaan seperti apa saja yang telah diterapkan di situs-situs tersebut.

1.3 Tujuan Penelitian

Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui dan memahami fenomena

pengelolaan situs Tirta Empul, Gunung Kawi, dan Goa gajah serta mengetahui sejauh

mana suatu situs dapat bermanfaat bagi masyarakat sekitar situs. Secara teoritis,

penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat bagi pengembangan keilmuan yang

mendalam tentang pengelolaan cagar budaya, pemberdayaan masyarakat dan

menambah referensi bagi peneliti yang mendalami pengelolaan cagar budaya. Secara

praktis, manfaat penelitian ini adalah untuk memberikan gambaran tentang proses dan

manfaat pengelolaan cagar budaya, serta pemberdayaan masyarakat di sekitar cagar

budaya. Gambaran tersebut dapat digunakan oleh pemerintah sebagai acuan dalam

menentukan kebijakan pengelolaan cagar budaya. Sementara, oleh pelaku pariwisata

dapat digunakan sebagai pedoman pengembangan usaha pariwisata di lingkungan

cagar budaya.

1.4 Kajian Pustaka

Tinjauan pustaka dalam suatu penelitian sangatlah penting, terutama untuk

memperoleh pandangan-pandangan dan teori-teori yang dapat digunakan sebagai

kriteria atau bahan pembanding dalam memahami permasalahan yang diteliti. Hasil

(12)

5

Beberapa bahan pustaka yang digunakan dalam penelitian ini diuraikan sebagai

berikut.

Bambang Sulistyanto dalam artikelnya yang berjudul “Pemberdayaan

Masyarakat sebagai Pertanggungjawaban Sosial Arkeolog” mengemukakan bahwa pemberdayaan pada hakekatnya memampukan masyarakat agar dapat

mengaktualisasikan diri dalam pengelolaan lingkungan budaya yang terdapat di

sekitarnya dan memenuhi kebutuhannya secara mandiri tanpa ketergantungan dengan

pihak-pihak lain. Pemberdayaan merupakan upaya mutlak yang perlu dilakukan oleh

arkeologi dalam upaya pengelolaan suatu situs warisan budaya masa kini. Program

pemberdayaan masyarakat di sekitar situs akan lebih berhasil apabila disesuaikan

dengan kemampuan dan potensi yang sudah dimiliki oleh masyarakat. Sebagai

contoh adalah pemberdayaan masyarakat di situs sangiran. Tulisan ini memberikan

gambaran tentang pentingnya memetakan potensi masyarakat di sekitar situs Tirta

Empul, Gunung Kawi dan Goa Gajah.

Yadnya Tenaya dalam artikelnya yang berjudul “ Dampak dan Makna

Pemanfaatan Situs Goa Gajah Sebagai Objek Daya Tarik Wisata di Kabupaten

Gianyar” menjelaskan tentang dampak-dampak yang terjadi di Goa Gajah dengan adanya pemanfaatan sebagai objek wisata, dampak tersebut dapat berupa dampak

positif maupun negatif. Tulisan ini memberikan acuan dalam meminimalisir dampak

negatif akibat dijadikannya suatu situs sebagai objek wisata.

I Wayan Ardika dalam bukunya yang berjudul “Warisan Budaya Perspektif

Masa Kini” menyatakan dalam pengelolaan cagar budaya sebagai objek wisata

sebaiknya dilakukan secara kemitraan ataupun pendampingan. Masyarakat lokal perlu

diberikan pelatihan-pelatihan manajerial, peningkatan kualitas pelayanan, sadar

budaya dan wisata, bantuan finansial ataupun prasarana dan sarana penunjang daya

tarik wisata. Tulisan ini memberikan kontribusi untuk melihat strategi pemberdayaan

yang sudah dilaksanakan di beberapa situs dalam penelitian ini.

Tjahjono Prasodjo dalam artikelnya yang berjudul “Pemberdayaan

(13)

-6

aspek penting dan strategi untuk memberdayakan masyarakat masyarakat yang ada

disekitar situs. Pustaka ini dapat dijadikan sebgaai data pembanding pemberdayaan

masyarakat yang sudah dilaksanakan di situs Tirta Empul, Gunung Kawi, dan Goa

(14)

7 BAB II

METODE PENELITIAN 2.1 Lokasi Penelitian

Penelitian dilaksanakan di tiga desa yang merupakan wilayah dari DAS

Pakerisan dan DAS Petanu, Kabupaten Gianyar, Bali. Objek penelitian di wilayah

DAS Pakerisan meliputi Situs Gunung Kawi di Banjar Penaka, Desa Gunung Kawi

dan Situs Pura Tirta Empul di Desa Manukaya Kecamatan Tampaksiring, Kabupaten

Gianyar, Bali. Objek penelitian lainnya yang diambil adalah Situs Goa Gajah yang

berada di Dusun Gua, Desa Bedulu, Kecamatan Blahbatu, Kabupaten Gianyar, Bali.

Pemilihan ketiga lokasi tersebut sebagai objek penelitian karena kawasan DAS

Pakerisan dan DAS Petanu merupakan sungai yang terdapat banyak peninggalan

budaya berupa candi, pahatan pada tebing, dan ceruk-ceruk pertapaan yang

dipahatkan di tebing, diantaranya adalah Situs Pura Tirta Empul, Situs Gunung Kawi

dan Situs Goa Gajah yang telah menjadi icon dan cukup terkenal karena

keindahannya, nilai sejarah yang penting dan memiliki potensi sebagai daya tarik

wisata yang secara nyata berdampak pada masyarakat di sekitarnya.

2.2 Jenis Penelitian

Penelitian ini merupakan penelitian lapangan yang dilakukan menggunakan

pendekatan kualitatif. Pendekatan kualitatif adalah cara atau upaya yang menekunkan

pada aspek pemahaman secara mendalam pada suatu permasalahan. Penelitian

kualitatif adalah penelitian yang bersifat deskriptif, menggunakan analisis mendalam.

Tujuan dari metode ini adalah menjelaskan permasalah dengan luas dan mendalam

(15)

8 2.3 Sumber Data

Data Primer

Data primer adalah sumber data utama yang digunakan dalam penelitian.

Sumber primer dalam penelitian ini adalah data yang didapatkan dari hasil observasi

di lapangan secara langsung ataupun hasil wawancara dengan narasumber.

Data Sekunder

Data sekunder adalah data penunjang yang digunakan untuk melengkapi data

primer. Data sekunder dalam penelitian ini didapatkan melalui jurnal, artikel dan

buku.

2.4 Instrumen Penelitian

Nawawi (dalam Laksmi. 2014: 210) mengatakan instrumen penelitian

merupakan alat yang digunakan untuk mengumpulkan data. Instrumen utama dalam

penelitian ini adalah peneliti karena peneliti sebagai perencana, pelaksana,

pengumpul data, penganalisa dan penyaji hasil penelitian. Instrumen lainnya yang

mendukung kegiatan penelitian adalah kamera untuk dokumetasi, handphone untuk

merekam proses wawancara, dan buku catatan.

2.5 Teknik Pengumpulan Data Studi pustaka

Studi pustaka adalah upaya pengumpulan data sekunder seperti buku, jurnal,

artikel ataupun teks lainnya dalam media cetak maupun media elektronik untuk

melengkapi dan menunjang data yang telah didapatkan di lapangan. Studi pustaka

yang dikumpulkan merupakan sumber yang berhubungan tentang situs terkait

maupun tentang bentuk pengelolaan, pengembangan dan pelestarian yang

berhubungan dengan masyarakat.

Observasi

Observasi adalah kegiatan pengumpulan data secara langsung di lapangan

(16)

9

dengan proses pengamatan, pencatatan, pendokumentasian dan pengukuran untuk

mendapatkan data primer. Kegiatan observasi di situs bertujuan untuk mengetahui

keadaan situs serta aktivitas masyarakat dalam pengelolaan ataupun pemberdayaan

situs sebagai salah satu sarana untuk peningkatan kesejahteraan masyarakat.

Wawancara

Wawancara adalah teknik pengumpulan data yang dilakukan melalui

komunikasi secara langsung antara narasumber dengan pewawancara. Wawancara

bertujuan untuk mendapatkan informasi yang dapat melengkapi hasil observasi

lapangan dan studi pustaka yang telah didapatkan. Narasumber dalam penelitian ini

mencakup Bendesa Adat, Juru Pelihara (Jupel), masyarakat setempat dan wisatawan.

2.6 Analisis Penelitian

Analisis data menggunakan alisis kualitatif melalui tiga alur kegiatan, yaitu

reduksi data, penyajian data dan penarikan kesimpulan (Emzir. 2010: 129-135).

Reduksi data dilakukan dengan pemilahan dan penyederhanaan data yang didapat.

Penyajian data dilakukan dalam bentuk teks naratif. Penarikan kesimpulan dilakukan

dengan peninjauan kembali data yang dimiliki untuk mendapatkan hasil dari

(17)

10

membentang sepanjang kurang lebih 20 km. Pura Tirta Empul, berdasarkan namanya,

diketahui ada tirtha (air) yang keluar berbual-bual dari dalam tanah (empul), oleh

karena itu namanya “Tirta Empul” (Susanti, dkk. 2013: 128). Berdasarkan sebuah prasasti yang tersimpan di Pura Sakenan, Manukaya tertera tulisan yang diukir pada

batu besar berisi angkata tahun 882 Saka/960 Masehi yang dikeluarkan oleh seorang

raja Bali Kuno yang bernama Jayasingha Warmadewa menyebutkan tentang perintah

raja untuk memperbaiki tirta di air empul yang rusak akibat derasnya air (Goris

dalam Ardika. 2013: 240). Terdapat sumber mata air yang jernih di bagian halaman

tengah pura yang airnya dialirkan ke halaman tengah melalui pancuran pada tiga buah

kolam dan diterukan ke luar untuk irigasi sawah di sekitar pura. Selain dari pancuran,

terdapat tinggalan purbakala lainnya berupa arca Ganesa, lingga-yoni dan arca lembu.

Temuan ini menandakan adanya pengaruh Hindu-Siwa yang berkembang pada masa

lampau. Ganesa merupakan anak dari Dewa Siwa dan Dewi Parwati dan dikenal

sebagai Dewa Keselamatan dan Pengetahuan. Lingga-yoni juga adalah salah satu

simbol yang berkembang dalam ajaran Hindu. Lingga melambangkan Dewa Siwa

atau laki-laki, sedangkan yoni melambangkan sakti dari Siwa yaitu Dewi Parwati atau

perempuan. Berdasarkan pemaknaan tersebut persatuan dari lingga-yoni adalah

sebagai lambang dari penciptaan atau kesuburan (Ardika. 2013: 238). Lembu pada

ajaran Hindu juga bermakna sebagai vahana atau kendaraan dewa, khususnya

(18)

11 3.1.2 Situs Gunung Kawi

Situs Gunung Kawi adalah tempat purbakala yang terdiri dari deretan candi

dan ceruk yang dipahatkan pada tebing-tebing cadas yang dibelah oleh Sungai

Pakerisan yang terletak di Desa Tampaksiring, Gianyar, Bali. Komplek percandian ini

merupakan komplek percandian terbesar yang ada di Bali. Situs ini pertama kali

ditemukan oleh W.O.J Nieuwankamp sekitar tahun 1907. Komplek percandian

Gunung Kawi memiliki luas kurang lebih 4 hektar yang terdiri dari empat buah candi

tebing pada sisi barat, lima candi pada sisi timur dengan sisi depannya terdapat

pertirtaan dengan beberapa jaladwara dan satu lagi di sebelah tenggara dan banyak

ceruk pertapaan di kawasan ini. Hal lainnya yang menarik dari situs ini dengan

ditemukannya tulisan dengan tipe aksara Kediri Kwadrat yang biasa digunakan

sekitar abad ke-XI Masehi. Berdasarkan tipe huruf dan masa perkembangannya

diperkirakan komplek percandian ini dibangun pada abad ke-XI Masehi bertepatan

dengan pemerintahan (Wiguna. 2008: 30-40). Huruf Kadiri Kwadrat berada pada

deretan candi lima yang di sebelah timur di atas pintu semu, yaitu “haji lumah ing jalu” yang berarti “sang raja yang dimakamkan di Jalu”. Orang Bali menganggap

“jalu” atau “susuh” (dari ayam jantan) sama dengan keris, sehingga kalimat “ing jalu” ditafsirkan sebagai penunjuk kepada kali (sungai) keris atau Pakerisan.

Perkataan “rwa nak ira” dihubungkan dengan Raja Udayana dengan kedua putranya, yaitu Marakata dan Anak Wungsu. Dengan demikian komplek percandian Gunung

Kawi didirikan untuk pedharmaan Raja Udayana dan putra-putranya (Ardika dalam

Goris. 1957 ; Kempers. 1960).

3.1.3 Situs Goa Gajah

Goa Gajah merupakan situs yang terletak di Br Gua, Bedulu, Gianyar. Situs

Goa Gajah terdiri dari sebuah goa yang di pahatkan di sebuah bukit batu membentuk

ruang berdenah seperti huruf T. Nama gajah bukan berasal dari bentuk kepala Kala,

yang sama sekali tidak menggambarkan gajah. Kepurbakalaan goa telah disebutkan

(19)

12

umat Buddha di Bali (Nag. 14: 3). Gua dipahatkan dengan penuh hiasan yang

menggambarkan batu-batu karang dan daun-daunan, binatang hutan seperti kera dan

babi. Bagian tengah terdapat mulut gua dengan hiasan raksasa/ kala. Di dalam gua

terdapat arca Ganesha, trilingga, dan beberapa fragmen arca. Di depan gua terdapat

kolam yang terdiri dari tiga bagian, dimana airnya dialirlan melalui 6 arca pancuran

(jaladwara). Kolam ini merupakan kolam suci yang biasa disebut Petirthaan.

Tidak jauh dari patirthaan menuju kearah tenggara di sebuah Sungai

Pangkung terdapat reruntuhan dari suatu bangunan Stupa yang pada mulanya

dipahatkan pada dinding batu padas. Disamping itu juga terdapat 2 buah arca Buddha,

namun tinggal satu karena telah hilang dicuri orang.

Belum ada sumber tertulis yang menyebutkan secara jelas tentang keberadaan

situs Goa gajah. Namun Goris dalam Ardika (2013) pernah mengajukan hipotesis

bahwa kata antakunjarapada dalam prasasti Dawan tahun 975 çaka (1053 masehi)

dan prasasti Pandak badung tahun 993 çaka(1071 masehi) adalah nama lain dari Goa

Gajah. Pendapat Goris ini berdasarkan kata kunjara yang berarti Gajah. Jika pendapat

itu benar, situs Goa Gajah telah ada pada abad XI, pada pemerintahan Anak Wungsu.

Pendapat ini diperkuat oleh Stutterheim berdasarkan atas jenis huruf yang terdapat

pada dinding timur goa yang berbunyi “kumon sahy(w) angsa” yang berasal dari

abad XI. Stutterheim dalam Ardika (2013) juga mengatakan arca pancuran di Goa

Gajah memperlihatkan kesamaan langgam dengan arca pancuran yang terdapat di

Candi Belahan, Jawa Timur yang berasal dari abad XI.

3.2. Pengelolaan Situs

Masyarakat Bali terkenal dengan budayanya yang masih dijaga walaupun arus

modernisasi dan globalisasi sudah sangat terbuka di Pulau Dewata ini. Masyarakat

Pulau Seribu Pura ini memiliki salah satu filosofi hidup yang sangat erat digenggam

yaitu Tri Hita Karana. Filosofi Tri Hita Karana adalah landasan masyarakat Bali

dalam menjalani kehidupan sehari-hari. Masyarakat Bali meyakini jika konsep Tri

(20)

13

dapat merasa bahagia, karena Tri Hita Karana meliputi hubungan manusia dengan

Tuhan (Parhyangan), manusia dengan manusia (Pawongan) dan manusia dengan

alam atau lingkungan (Palemahan). Konsep yang telah tertanam pada mindset

masyarakat Bali ini secara sadar diterapkan dalam bentuk perilaku sehari-hari, salah

satunya berdampak pada reaksi masyrakat terhadap tinggalan arkeologi yang lebih

dimaknai sebagai warisan leluhur yang masih tersisa di kehidupan masa kini yang

perlu dijaga dan dihormati. Keyakinan terhadap benda atau bangunan purbakala

memiliki nilai spiritual atau unsur magis dilandasi oleh kepercayaan bahwa masih

adanya hubungan (koneksi) yang terjalin antara leluhur dengan masyarakat saat ini

sehingga memunculkan sifat proteksi atau kesadaran untuk melindungi sebagai

respon masyarakat dalam menghormati warisan leluhur.

Pemaknaan masyarakat Bali yang demikian berujung pada wujud

penghormatan kepada cagar budaya, secara sadar ataupun tidak telah menerapkan

upaya pelestarian terhadap cagar budaya. Pelesatarian cagar budaya sudah menjadi

hal yang wajar di kehidupan masyarakat Bali, karena hal itu terkait langsung dengan

upaya penguatan identitas diri masyarakat Bali yang berasal dari leluhur hingga

berkembang sampai saat ini. Perilaku masyarakat Bali yang demikian selaras dengan

tujuan pelestarian cagar budaya yang tertera pada pasal 3 UU RI No.11 Tahun 2010

Tentang Cagar Budaya. Peran masyarakat dalam pengelolaan cagar budaya sangat

penting, hal ini sesuai dengan paradigma baru yang berorientasi pada pengelolaan

kawasan, peran serta masyarakat, desentralisasi pemerintah, perkembangan, serta

tuntutan dan kebutuhan hukum dalam masyarakat. Peran serta masyarakat telah

mendapat tempat sesuai dengan regulasi yang ada, seperti yang telah diatur pada UU

RI No.11 Tahun 2010 Tentang Cagar Budaya pada pasal 54 bahwa setiap orang

berhak memperoleh dukungan teknis dan/atau kepakaran dari Pemerintah atau

Pemerintah Daerah atas upaya Pelestarian Cagar Budaya yang dimiliki dan/atau yang

dikuasai (Srijaya. 2016: 19).

Seperti Cagar budaya yang berada di wilayah DAS Pakerisan yskni Pura Tirta

(21)

14

Gajah dalam sistem pengelolaannya terdiri dari peran serta masyarakat adat dan dari

pemerintah. Ketiga tempat ini masih bersifat living monument karena masih

digunakan secara rutin sebagai tempat untuk beribadah, tempat untuk melakukan

upacara-upacara keagamaan khususnya agama Hindu. Selain sebagai sarana

peribadatan, Tirta Empul, Gunung Kawi dan Goa Gajah dijadikan sebagai Destinasi

Tujuan Wisata (DTW) yang berasal dari wisatawan lokal ataupun mancanegara.

Padatnya kegiatan yang ada pada ketiga situs tersebut tentu memerlukan regulasi

yang jelas dan tepat dalam pengelolaannya yang tentu harus sesuai dengan peraturan

perundang-undangan yang berlaku dan aturan adat setempat. Secara garis besar

pengelolaan memiliki perlindungan dan pelestarian, pemanfaatan, pengembangan,

namun pada bagian pengembangan akan dijelaskan pada bagian berikutnya.

Secara umum ketiga situs ini dikelola oleh dua pihak, yaitu desa adat dan

pemerintah. Desa adat memiliki peran inti sebagai pelakon utama dalam pengelolaan

situs tersebut yang diawasi dan dibantu oleh peran dari pemerintah. Setiap desa

memiliki sistem pengelolaan tersendiri yang disesuaikan dengan kebutuhan dan

kebijakan desa yang diselaraskan dengan peraturan perundang-undangan. Seperti

pada situs Gunung Kawi yang berada di Desa Adat Tampaksiring dimana masyarakat

terjun langsung dalam pemberdayaan situs Gunung Kawi bersama dengan Dinas

Pariwisata Kabupaten Gianyar sebagai fasilitator dalam kegiatan pariwisata serta

Balai Pelestarian Cagar Budaya (BPCB) Bali sebagai instansi yang bertanggung

jawab di bidang pelestarian warisan budaya. Kegiatan pariwisata di Gunung Kawi

dikelola oleh masyarakat adat setempat bersama Dinas Pariwisata Kabupaten Gianyar

yang telah dilakukan sebelum tahun 1986. Hasil dari kegiatan pariwisata disepakati

dengan sistem bagi hasil, 60% masuk ke Pemda Gianyar dan 40% diberikan kepada

Desa Adat Tampaksiring. Penghasilan tersebut diperoleh dari ticketing dengan tarif

Rp 15.000 untuk dewasa dan Rp 7.500 untuk anak-anak serta dari penghasilan biaya

parkir yang dibagikan setiap tiga bulan sekali. Dana yang dihasilkan digunakan

kembali untuk kebutuhan desa atau untuk peningkatan kepentingan pariwisata. Upaya

(22)

15

jalan masuk menuju Situs Gunung Kawi, penyediaan toilet, pembangunan pembatas

di sekitar tangga, pembangunan gapura, dan pengadaan tempat sampah. Pengelolaan

situs yang dilakukan masyarakat juga serupa, banyak dari sarana dan prasarana yang

ada di Gunung Kawi dilengkapi oleh masyarakat desa, seperti pembangunan jalan di

beberapa bagian situs dan penataan air untuk pertamanan dan penentuan

kebijakan-kebijakan di sekitar situs yang wajib dihormati dan ditaati oleh masyarakat lokal

ataupun pendatang. Hasil dari kegiatan pariwisata yang menjadi bagian dari desa adat

biasa digunakan untuk kebutuhan pura mencakup perawatan dan kegiatan-kegiatan

upacara atau odalan yang diadakan tiap tahun. Selain dari pada hasil ticketing dan

parkir, pemasukan lainnya berasal dari para pedagang yang menyewa tanah pura

(sekitar 17 kios) untuk kegiatan usaha. Biaya yang dikenakan per kios sebesar Rp

500.000 per tahun dan dananya digunakan untuk membantu kebutuhan desa. Peran

lainnya yang dilakukan masyarakat dalam menjaga keamanan dan kenyamanan

lingkungan situs dengan melakukan penjagaan secara bergantian dari

organisasi-organisasi desa adat dan kegiatan bersih-bersih yang dilakukan secara berkala oleh

masyarakat desa. Selain dari masyarakat desa adat dan Dinas Pariwisata, BPCB juga

terlibat di dalam pengelolaan situs, namun lebih memiliki fokus kepada pelestarian

situs secara studi arkeologi. BPCB juga menempatkan lima orang Juru Pelihara di

Gunung Kawi yang berjaga setiap hari kerja ditempatkan pada titik-titik tertentu

karena wilayah situs yang cukup luas. Setiap satu bulan sekali juga ada juga tim yang

datang memantau keadaan situs.

Serupa dengan pengelolaan di Situs Gunung Kawi, Pura Tirta Empul juga

dikelola oleh stakeholder yang sama yakni Dinas Pariwisata Kabupaten Gianyar,

Desa Adat dan BPCB Bali. Berasaskan pada konsep atau filosofi Tri Hita Karana,

hubungan manusia dengan Tuhan nyata terlihat. Pengelolaan berdasarkan kepada

pemahaman bahwa Tuhan itu ada, kata Bapak Made Mawiartana selaku Bendesa

Adat Manukaya Let. Upacara-upacara yang dilakukan secara rutin (sebulan sekali,

enam bulan dan setahun) merupakan wujud syukur masyarakat atas apa yang telah

(23)

yadnya-16 yadnya yang ada. Budaya yang ada di Tirta Empul terus dipertahankan sesuai yang

telah digariskan oleh leluhur. Melalui tradisi yang dianut, keberadaan Tirta Empul

terus terjaga dari segi bentuk dan keamanannya. Masyarakat dapat ikut serta dalam

pemanfaatan situs ini sebagai tempat wisata yang terkenal di Bali, sehingga

pengelolaan dalam faktor pariwisata juga menjadi perhatian bersama. Dinas

Pariwisata memiliki zona pengelolaan di bagian depan yang mencakup wilayah

perdagangan, halaman parkir dan ticketing, sedangkan masyarakat desa adat lebih

fokus pada pengembangan di bagian dalam yang meliputi kawasan pura dan

pertirtaan. Hasil yang diperoleh dari kegiatan wisata dibagi dua kepada Dinas

Pariwisata dan Desa Adat Manukaya Let sebesar 60%-40%. Dana yang diperoleh

banyak digunakan untuk kebutuhan upacara-upacara yang cukup padat serta

perbaikan atau pengembangan infrastruktur pura ataupun fasilitas penunjang lainnya.

Sedikit berbeda dengan pengelolaan pada kedua situs sebelumnya, Goa Gajah

dalam sistem pengelolaannya meliputi empat stakeholder antara lain Dinas

Pariwisata, BPCB, Desa Adat Bedulu dan pengemong (pemangku atau pendeta).

Setiap stakeholder memiliki tugas yang berbeda-beda. Desa Adat mendapatkan

bagian sebesar 14% dari kegiatan pariwisata di Goa Gajah, sedangkan pengemong

mendapatkan bagian sebesar 26% dan Dinas Pariwisata sebesar 60%. Masyarakat

desa adat biasanya ngayah ketika ada kegiatan atau ada upacara yang dilaksanakan,

sedangkan dari pihak pengemong atau pemangku bertugas sebagai pihak yang

mengelola kegiatan atau upacara-upacara dari hasil dana yang didapatkan.

Pembangunan pura di Goa Gajah juga menjadi tanggung jawab dari pemangku.

Cagar budaya di Bali pada umumnya dapat “menyatukan” aktivitas

keagamaan dengan pariwisata sehingga hal itu menjadi keunikan dan daya tarik

tersendiri. Namun tetap ada batasan-batasan tertentu yang harus ditaati oleh

masyarakat dan pengunjung, sehingga kegiatan pariwisata harus bisa menyesuaikan

dengan aktivitas keagamaan, sebagai contoh adalah bagi perempuan yang sedang

(24)

17

menggunakan kamen dan selendang, dilarang melewati batas-batas tertentu pada saat

ada upacara dan aturan-aturan lainnya yang ditetapkan.

3.3. Pemberdayaan Masyarakat di Sekitar Situs

Pengelolaannya situs-situs, seperti yang sudah dipaparkan diatas, 3 situs yang

merupakan destinasi wisata bagi turis domestik maupun mancanegara ini memiliki

keterlibatan khusus dengan masyarakat, khususnya dalam hal pemeliharaan. 2 situs

yang terletak di DAS Pakerisan yakni Situs Candi Gunung Kawi dan Situs Tirta

Empul serta 1 situs yang terletak di DAS Petanu yaitu Situs Goa Gajah dapat

dikatakan hampir sepenuhnya dirawat oleh masyarakat setempat,karena pada

dasarnya situs-situs tersebut merupakan tempat atau media warga melakukan ibadah

atau persembhayangan. Sehingga kepentingan peribadatan atau keagamaan menjadi

hal yang diutamakan dalam pengelolaannya. Masing-masing warga memiliki cara

yang berbeda dalam pengelolaannya, sekalipun orientasinya sama tertuju pada nilai

religi mereka. Terdapat upacara yang dilakukan di tiap-tiap situs terkait yang

dilakukan oleh masyarakat setempat. Upacara-upacara tersebut memiliki waktu yang

berbeda antara satu situs dengan situs lainnya. Sebelum diadakannya upacara itulah

biasanya terdapat kegiatan praupacara yang melibatkan masyarakat secara tidak

langsung dalam perawatan situs. Sedangkan pemberdayaan masyarakat dalam segi

pemanfaatan situs dibidang ekonomi, terdapat macam-macam cara yang dilakukan

masyarakat desa.

Pada Situs Gunung Kawi, banyak warga desa yang memanfaatkan tanah

pribadi milik mereka di sekitar situs untuk dijadikan artshop yang menjual berbagai

macam souvenir khas dari wilayah Tampaksiring. Ada juga warga yang

memanfaatkan laba pura atau tanah milik pura untuk dijadikan sebagai artshop.

Sehingga mereka menyewa pada pihak desa untuk pendiriannya. Menurut Bendesa

Adat Gunung Kawi banyak warga setempat yang berprofesi menjadi pengrajin,

seperti pengrajin batok kelapa, rajut, tulang, perhiasan, dsb. Sehingga bagi warga

(25)

18 artshop, mereka bisa menitipkan barang-barang hasil kerajinan mereka kepada warga

yang memiliki artshop untuk dijadikan barang dagangan. Dengan dijadikannya Situs

Gunung Kawi sebagai destinasi pariwisata, maka kemampuan masyarakat untuk

meningkatkan produksinya menjadi lebih berkembang. Dengan perkembangan

ekonomi yang ada, makin meringankan beban masyarakat untuk melakukan upaya

perawatan situs atau pura.

Situs Goa Gajah memiliki bentuk pemberdayaan yang lebih bervariasi. Selain

adanya pedagang-pedagang souvenir dari pihak masyarakat, sama seperti pada situs

sebelumnya. Pada situs Goa Gajah terdapat guide atau pemandu wisata lokal yang

mengetahui seluk beluk dari situs. Mulai dari sejarahnya, fungsinya dan

informasi-informasi terkait yang dapat disampaikan kepada turis lokal maupun mancanegara.

Berdasarkan informasi yang didapat dari pedagang setempat terkait dengan

keberadaan guide lokal, sistemnya adalah dari pihak desa menyediakan di bagian

informasi., apabila ada turis yang membutuhkan akan dinegoisasi dulu terkait dengan

biayanya, setelah negosiasi berhasil maka guide akan mengantarkan. Akan tetapi

untuk jumlah guide lokal yang terdapat di Situs Goa Gajah, menurut Bendesa Desa

Adat Bedulu, Bapak Serana, hanya dari pihak pengempon pura atau pemangku yang

mengetahui, karena dari pihak tersebut yang mengatur jumlah guide yang

diperbolehkan.

Sedangkan untuk Situs Tirta Empul dapat dikatakan sebagai situs yang

memberdayakan masyarakat sekitar cukup maksimal. Tidak hanya sekedar pedagang

souvenir dan guide lokal, situs ini memanfaatkan tenaga masyarakat dalam

pengembangannya. Banyak fakta di lapangan yang menunjukkan bagaimana situs ini

dapat memberdayakan masyarakat. Bapak Made Mawiarnata selaku Bendesa Adat

Manukaya Let mengatakan bahwa banyak tenaga masyarakat yang terpakai dalam

mengelola situs. Seperti merawat taman-taman di sekitaran situs, tenaga keamanan

untuk situs, tenaga untuk menjaga loker dan penyewaan sarung kepada turis yang

ingin melukat atau mandi di kolam, tenaga untuk menjaga toilet. Disamping itu

(26)

19

sekitar situs, melihat kebutuhan makan, minum dan istirahat wisatawan di wilayah

destinasi pariwisata. Sehingga dibutuhkan juga tenaga dari masyarakat untuk

menjalankan rumah makan ini.

Selain tenaga untuk mendukung fasilitas pariwisata di area situs,ada juga

ketersediaan guide lokal yang difasilitasi pihak desa yang berjumlah 6-10 orang yang

kesemuanya sudah bersertifikasi guide dari Dinas Pariwisata Kabupaten Gianyar.

Guide lokal tersebut merupakan masyarakat setempat yang ditunjuk desa karena

dianggap paham dengan Situs Tirta Empul. Sehingga diharapkan tidak ada kesalahan

informasi yang disampaikan kepada turis yang mengunjungi situs ini.

3.4. Dampak Pemanfaatan Situs

Mendapat predikat sebagai destinasi pariwisata baik lokal maupun

mancanegara, tentunya menimbulkan dampak positif maupun negatif yang dirasakan

secara langsung maupun tidak langsung bagi masyarakat yang hidup di sekitaran situs

tersebut. Dampak positif yang langsung dirasakan oleh masyarakat masing-masing

situs bisa dikatakan hampir sama. Pemasukan desa yang didapat dari keberadaan situs

baik dari pemerintah ataupun hasil yang didapat mandiri desa, memberikan

keringanan bagi warga desa untuk melakukan upacara di situs tersebut. Pada Situs

Goa Gajah misalnya, beban tiap rumah yang seharusnya pertahun sebesar

Rp2.000.000,00 yang diberikan kepada desa untuk biaya pengadaan upacara untuk

seluruh pura yang terdapat di wilayah Desa Pekraman Bedulu, menjadi tidak ada lagi,

karena bisa ditutup dari pendapatan yang didapat dari adanya Situs Goa Gajah. Hal

ini sangat membantu menurut pihak bendesa adat setempat, mengingat tanggung

jawab yang dimiliki oleh warga Desa Pekraman Bedulu yang merupakan desa dengan

benda tinggalan yang tersebar di seluruh pura yang terletak di desa, mewajibkan

mereka untuk menjaga kelestariannya. Upaya pelestarian tersebut dilakukan dengan

melakukan upacara piodalan di pura-pura bersangkutan. Upacara dilakukan

(27)

20

Sama halnya yang terjadi di Situs Candi Gunung Kawi, dimana warga tidak

perlu lagi untuk mengadakan patungan dalam hal pengadaan upacara di situs terkait.

40% pemasukan yang didapat dari pemerintah dan sedikit uang hasil sewa laba pura,

mampu membiayai perawatan dan pengadaan upacara di Situs Candi Gunung Kawi.

Sedangkan pada Situs Tirta Empul pendapatan desa yang jauh lebih banyak daripada

pendapatan yang diberikan dari pemerintah setempat, tidak hanya mampu membantu

pembiayaan pengadaan upacara. Pembiayaan sosial untuk masyarakat desa juga

mampu dianggarkan oleh pihak desa, seperti dana bantuan untuk warga yang sakit,

warga yang melahirkan dsb. Selain itu pembangunan dan pengembangan sarana dan

prasarana di area situs juga mampu mereka lakukan dengan pendapatan mandiri yang

didapat oleh desa. Sesuai dengan kesepakatan bahwa area yang berdekatan dengan

pura segala sesuatunya merupakan tanggung jawab dari pihak desa, termasuk

perawatan dan pengembangannya.

Dampak lain adalah bagaimana kegiatan perekonomian di desa menjadi lebih

bergerak. Hal ini tentunya membawa keuntungan bagi masyarakat sekitar yang secara

langsung maupun tidak menggantungkan hidupnya pada keberadaan situs tersebut.

Dengan kegiatan perekonomian yang terus bergerak, maka akan membawa perubahan

pada taraf hidup masyarakat menjadi jauh lebih baik. Akan tetapi pengembangan

pariwisata yang terdapat di ketiga situs tersebut tidaklah lepas dari permasalahan

ataupun kekurangan. Permasalahan yang ada berdampak pada masyarakat dan ada

pula yang berdampak kepada wisatawan. Permasalahan yang berdampak kepada

masyarakat antara lain sistem bagi hasil antara pemerintah dengan desa yang dirasa

belum adil bagi pihak desa setempat. Selain itu ketersediaan informasi yang akurat

untuk para wisatawan masih belum bisa maksimal. Hal ini jelas merugikan apabila

mereka membawa informasi yang salah ke tempat mereka berasal. Tersedianya guide

lokal yang masih terbatas juga menjadi salah satu hal yang perlu diperhatikan. Seperti

di Situs Gunung Kawi yang tidak tersedia guide lokal yang mampu menjelaskan,

sedangkan wilayah situs yang cukup luas tidak dibarengi dengan ketersediaan

(28)

21

ada. Sedangkan untuk guide lokal di Situs Goa Gajah yang semakin berkurang karena

kebanyakan memilih menjadi guide di perusahaan travel.

Selain itu dari segi tuntutan pengembangan pariwisata terdapat upaya yang

sebenarnya baik namun salah dalam penerapannya. Sebagai contoh upaya

pengembangan pariwisata di Situs Tirta Empul, dimana dari pihak pengelola desa

menginginkan agar wilayah situs Tirta Empul makin indah dengan banyaknya

hiasan-hiasan patung. Sayangnya penambahan tersebut tidak memperhatikan area mana saja

yang boleh untuk ditambahkan. Sesuai dengan UU RI Tahun Nomor 11 Tahun 2010

pasal 78 ayat 1,”Pengembangan Cagar Budaya dilakukan dengan memperhatikan prinsip kemanfaatan, keamanan, keterawatan,keaslian,dan nilai-nilai yang melekat

padanya.” Dari pasal tersebut dapat disimpulkan bahwa pengembangan Cagar

Budaya boleh dilakukan asal tidak melanggar ketentuan yang ada. Kasus yang terjadi

di Tirta Empul adalah, pada bagian patirthaan yang merupakan Cagar Budaya

ditambahkan dua buah patung hiasan berbentuk gajah dengan ukuran yang besar. Hal

ini tentu bertentangan dengan kaidah yang ada, karena mengurangi keaslian yang

dimiliki oleh bangunan peninggalan masa Kerajaan Bali kuno tersebut.

Permasalahan lain yang dihadapi adalah tentang pemahaman masyarakat

setempat mengenai Cagar Budaya. Sebagian besar masyarakat desa memang telah

melaksanakan upaya pelestarian secara tidak langsung, dalam kegiatan tradisi

ataupun peribadatan yang mereka lakukan. Sayangnya upaya tersebut tidak dibarengi

dengan pemahaman bahwa barang-barang atau bangunan tersebut, selain memiliki

nilai magis ataupun religius yang mereka percayai berasal dari leluhur, juga memiliki

nilai penting dalam beberapa aspek sehingga keberadaannya harus terus dijaga.

Kurangnya pemahaman tersebut yang akhirnya menjadikan beberapa tindakan

(29)

22 BAB IV

KESIMPULAN DAN SARAN

Wilayah DAS Pakerisan dan DAS Petanu memiliki potensi sumber daya

arkeologi yang sangat banyak, diantaranya adalah Situs Candi Gunung Kawi dan

Situs Tirta Empul di kawasan DAS Pakerisan dan Situs Goa Gajah di kawasan DAS

Petanu. Ketiga situs tersebut merupakan situs yang terkenal menjadi situs destinasi

pariwisata. Dengan sifat living monumentnya karena terletak di wilayah Bali, situs ini

menjadi daya tarik tersendiri bagi wisatawan. Filosofi Tri Hita Karana yang dipegang

oleh masyarakat Bali, menjadikannya sebagai landasan dalam pengelolaan situs oleh

masyarakat setempat.

Berdasarkan pembahasan yang telah dipaparkan pada bab sebelumnya, maka

terdapat beberapa kesimpulan yang dapat ditarik. Pertama, proses pengelolaan cagar

budaya yang terdapat di kawasan DAS Pakerisan khususnya Situs Candi Gunung

Kawi dan Situs Tirta Empul dan di kawasan DAS Petanu yakni Situs Goa Gajah yang

menyangkut pengembangan fasilitas pariwisata seperti toilet, akses jalan pada situs,

loket tiket, tempat parkir, pasar/kios adalah tanggungjawab dari Dinas Pariwisata

setempat dalam hal ini adalah Kabupaten Gianyar

Kedua, masyarakat desa adat bertugas dalam hal-hal yang berkaitan dengan

perawatan pura. Baik perawatan secara fisik maupun perawatan non fisik seperti

melakukan upacara rutin yang diadakan pada waktu yang telah ditentukan. Walaupun

ada juga desa yang melakukan hal lebih dari yang telah disepakati, seperti ikut serta

membangun sarana dan prasarana pengembangan pariwisata, seperti yang dilakukan

di Situs Candi Gunung Kawi.

Ketiga, dengan adanya situs yang menjadi destinasi pariwisata di wilayah desa,

membuat kehidupan warga menjadi lebih terbantu. Khususnya pada pemenuhan

kebutuhan pengadaan upacara di situs yang tadinya dibebankan kepada masyarakat

cukup besar, menjadi lebih ringan bahkan ada yang dihapuskan sama sekali, karena

(30)

23

menjadi lebih hidup dengan adanya keberadaan situs terkait. Potensi masyarakat

menjadi lebih berkembang dan mampu meningkatkan taraf hidup.

Pengelolaan cagar budaya berbasis masyarakat harus dipertahankan dan terus

menjadi perhatian utama karena masyarakat adat secara khusus menjadi pelakon

utama yang hidup bersama cagar budaya dan yang menghidupkan cagar budaya.

Khususnya di Bali yang membuat cagar budaya bersifat living monument karena

kentalnya dengan tradisi dalam bentuk upacara-upacara lainnya yang bermakna

sebagai wujud penghormatan kepada Tuhan dan leluhur, sebagai upaya perlindungan

cagar budaya, sebagai cerminan kesejahteraan spiritual bagi masyarakat Bali. Segala

kebijakan yang dibuat oleh pemerintah harus melihat situasi dan kebutuhan

masyarakat desa agar segala kebijakan yang diciptakan berdaya guna dengan tepat.

Terkait dengan peningkatan kesejahteraan ekonomi masyarakat, pariwisata

merupakan peluang paling efektif dan efisien yang diterapkan pada Situs Goa Gajah,

Situs Gunung Kawi, dan Pura Tirta Empul. Namun kegiatan tersebut tidak dapat

terlepas dari adanya peran pemerintah, khususnya pemerintah daerah sebagai

fasilitator dan pembina pengembangan pariwisata. Alangkah baiknya pembagian hasil

keseluruhan didiskusikan antara desa adat dengan pemerintah secara intensif agar

dapat menerima kejelasan yang tepat dengan mengikuti prosedur atau regulasi yang

berlaku. Persentase pembagian hasil perlu ditunjang kembali melihat banyaknya

kebutuhan desa adat, khususnya untuk keberlangsungan situs, dalam hal ini seperti

pengadaan upacara yang bersifat rutin (memiliki waktu-waktu tertentu), perbaikan

infrastruktur, perlindungan cagar budaya dan kebutuhan lainnya. Pemberdayaan

terhadap masyarakat desa perlu dioptimalkan lagi sebagai sumber daya manusia yang

menunjang kebutuhan cagar budaya sebagai objek wisata, seperti penyediaan dan

pelatihan local guide dan peningkatan mutu hasil karya lokal serta pemasarannya.

Pemahaman tentang cagar budaya juga perlu menjadi perhatian khusus bagi

masyarakat desa adat dan instansi terkait. Peran instansi terkait dalam hal ini

dibutuhkan agar pemahaman tersebut tertanam dalam mindset masyarakat sekitar

(31)

24

Tentang Cagar Budaya perlu ditingkatkan sebagai landasan hukum dalam

pengelolaan dan pemberdayaan cagar budaya. Sehingga masyarkat menjadi paham

bahwa upaya pelestarian yang mereka lakukan selama ini tidak hanya sebatas dari

nilai religius atau magis yang dimiliki suatu benda atau bangunan cagar budaya,

melainkan terdapat nilai penting lainnya seperti historis dan edukasi yang tidak kalah

penting untuk dijaga keberadaanya. Pengenalan akan regulasi pelesatarian cagar

budaya yang sesuai dengan undang-undang penting dikenal agar masyarkat tidak

salah langkah dalam upaya pengembangan situs, khususnya karena adanya tuntutan

dari kebutuhan pariwisata. Upaya yang dianggap baik bagi kebutuhan pariwisata

(32)

25 DAFTAR PUSTAKA

Ardika, I Wayan, I Gde Parimartha, A.A Bagus Wirawan 2013, Sejarah Bali Dari Prasejarah Hingga Modern, Udayana University Press,Denpasar.

Emzir 2010, Metodologi Penelitiian Kualiatif, PT Raja Grafindo Persada, Jakarta.

Hadiyanta, IGN Eka 2017, Dinamika Pelestarian Cagar Budaya, Ombak, Yogyakarta.

Kempers, A.J. Bernet, Bali Purbakala Seri Tjandi,

Laksmi, A.A. Rai Sita 2014, ‘Pengelolaan Warisan Budaya Pura Tanah Lot sebagai

Daya Tarik Wisata di Desa Beraban, Kecamatan Kediri, Tabanan’, Forum Arkeologi, No. 3, 207-217.

Prasodjo, Tjahyono 2004, Pemberdayaan Masyarakat dalam Pengelolaan Sumber Daya Arkeologi, disampaikan dalam Pelatihan Pengelolaan Sumber Daya Arkeologi Tingkat Dasar, di Mojokerto.

Moleong, L. J. 1991, Metode Penelitian Kualitatif. PT Remaja Rosdakarya, Bandung.

Sulistyanto, Bambang, Pemberdayaan Masyarakat sebagai Pertanggungjawaban Sosial Arkeolog, Majalah Arkeologi Indonesia, diakses pada tanggal 12

Oktober 2017,

<https://hurahura.wordpress.com/2011/07/06/pemberdayaan-masyarakat-sebagai-pertanggungjawaban-sosial-arkeolog/>

Srijaya, I Wayan 2016, ‘Pelestarian Cagar Budaya di Daerah Wisata Sanur’,

Sudamala, Vol 3, 14-20.

Susanti, Ninie, Agus Aris Munandar, Andriyati Rahayu, Dian Sulistyowati, Chaidir Ashari 2013, Patirthan Masa Lalu dan Masa Kini, Wedatama Widya Sastra, Jakarta.

Tenaya, Yadnya 2016, ‘Dampak dan Makna Pemanfaatan Situs Goa Gajah sebagai Objek Daya Tarik Wisata di Kabupaten Gianyar’, Sudamala, Vol. 3, 21-32

(33)

26

Tim Penyusun Pendaftaran Situs Cagar Budaya Pura Tirta Empul sebagai Cagar Budaya Nasional 2017, Direktorat Pelestarian Cagar Budaya dan Permuseuman.

(34)

Lampiran 1 (Data Foto)

Gambar 1. Aktivitas upacara keagamaan berjalan dengan kegiatan pariwisata.

(Sumber: Dokumentasi Pribadi, 2017)

Gambar 2. Wisatawan ikut serta membersihkan diri di Patirthaan Tirta Empul

(Sumber: Dokumentasi Pribadi, 2016)

Gambar 3. Kios-kios warga di sekitar situs Pura Tirta Empul

(Sumber: Dokumentasi Pribadi, 2017)

Gambar 4. Tempat sewa loker dan kamen yang dikelola oleh masyarakat di Pura Tirta Empul

(35)

Gambar 5. Wisatawan ramai

mengunjungi koperasi yang dikelola masyarakat di Pura Tirta Empul

(Sumber: Dokumentasi Pribadi, 2017)

Gambar 6. Candi Gunung Kawi yang berjumlah 5

(Sumber: Dokumentasi Pribadi, 2016)

Gambar 7. Kios-kios warga di sekitaran situs Situs Gunung Kawi

(Sumber: Dokumentasi Pribadi, 2017)

Gambar 8. Kerajinan yang dibuat oleh masyarakat sekitar situs yang dijual di kios-kios

(36)

Gambar 9. Kerajinan dari batok kelapa oleh masyarakat sekitar situs yang dijual di kios-kios

(Sumber: Dokumentasi Pribadi, 2017)

Gambar 10. Situs Goa Gajah

(Sumber: Dokumentasi Pribadi, 2017)

Gambar 11 . Local guide sedang memandu wisatawan

(Sumber: Dokumentasi Pribadi, 2017)

Gambar 12 . Kios-kios warga eskitar di Situs Goa Gajah

(Sumber: Dokumentasi Pribadi, 2017)

Gambar 13. Fasilitis parkir di Situs Goa Gajah

(Sumber: Dokumentasi Pribadi, 2017)

Gambar 14 . Wawancara dengan Bendesa Adat Bedulu

(37)
(38)

Biodata Ketua dan Anggota

3 Posisi dalam Penelitian Anggota

4 Jenis Kelamin Laki-Laki/Perempuan

5 Tempat dan Tanggal Lahir Selat Tengah, 19 Juni 1995

6 Jurusan Arkeologi

7 Alamat Rumah Jln. Cenigan Sari, Gg Gumuk Sari 26x, Sesetan

8 Nomor Telepon/HP 085792699228

9 Email wirajustice@gmail.com

B. Riwayat Pendidikan

C. Penghargaan dalam 10 tahun Terakhir (dari pemerintah, asosiasi atau institusi lainnya)

SD SMP SMA

Nama Institusi SD N 2 Susut SMP N 3 Susut SMA N 1 Bangli

Jurusan IPA

Tahun Masuk-Lulus 2001-2007 2007-2010 2010-2013

No. Jenis Penghargaan Institusi Pemberi Penghargaan Tahun

1 Juara 1 Lomba Tenis Meja Dinas Pendidikan dan Olahraga

(39)

Gambar

Gambar 3. Kios-kios warga di sekitar situs Pura Tirta Empul (Sumber: Dokumentasi Pribadi, 2017)
Gambar 5. Wisatawan ramai mengunjungi koperasi yang dikelola masyarakat di Pura Tirta Empul (Sumber: Dokumentasi Pribadi, 2017)
Gambar 9. Kerajinan dari batok kelapa

Referensi

Dokumen terkait

Berdasarkan wawancara penulis terhadap guru-guru akidah akhlak di MTs Al-jami’yatu Al-washiliyah dapat diketahui bahwa guru-guru akidah akhlak MTs Al-jami’yatu

Diketahui bahwa, Pengelolaan Barang Milik Daerah Kabupaten Sintang pada prinsipnya meliputi semua barang milik daerah dapat dihapuskan yang sudah tidak berada dalam

Tidak ditemukan individu dengan TKG 0 (istirahat), I (gametogenesis awal) dan TKG IV (exhaution). Kondisi ini diduga terkait dengan waktu pengambilan sampel kerang

Oleh karena itu tidak adanya perbedaan antara tingkat kemandirian belajar siswa yang mengikuti metode kumon dengan siswa yang tidak mengikuti metode kumon di SMP AL-Hikmah

Pedoman teknis di tingkat kabupaten ini penting guna memandu dan memfasilitasi desa-desa dalam menyusun dan/atau mereview dokumen RPJMDesa yang berbasis pada perencanaan tata

bahwa sebagai tindak lanjut ketentuan diktum KEENAM Keputusan Presiden Nomor 22 Tahun 2006 tentang Tim Koordinasi Percepatan Pembangunan Rumah Susun perlu dibentuk

Berdasarkan hasil analisis data, deskripsi, pengujian hasil penelitian dan pembahasan, maka dalam penelitian ini dapat ditarik kesimpulan bahwa ada

Data sekunder adalah data yang diperoleh dari dokumen yang terkait sertifikasi hutan rakyat yang tersedia di Koperasi Wana Lestari Menoreh yang digunakan