• Tidak ada hasil yang ditemukan

Strategi Kampung Budaya Sindang Barang d

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "Strategi Kampung Budaya Sindang Barang d"

Copied!
28
0
0

Teks penuh

(1)

1

TUGAS UAS

MATA KULIAH : KOTA DAN PERKEMBANGANNYA DI INDONESIA

Strategi Kampung Budaya Sindang Barang dalam Mempertahankan Nilai

Luhur Budaya terhadap Pengaruh Kapitalisme Global

Oleh :

Nama : Dimas Ario Nugroho

NIM : 1606948625

Kajian Pengembangan Perkotaan

Program Pascasarjana Multidisiplin

Universitas Indonesia

(2)

2

I.

PENDAHULUAN

I.1. Latar Belakang

Kebudayaan adalah suatu pedoman bagi kehidupan sebuah masyarakat atau komuniti

yang diyakini kebenarannya oleh warga masyarakat atau komuniti yang bersangkutan, yang

digunakan untuk menginterpretasi dan memahami lingkungan-lingkungan yang dihadapi, dan

untuk menghasilkan tindakan-tindakan yang relevan sesuai dengan lingkungannya guna

pemenuhan kebutuhan-kebutuhannya (Suparlan, 2004). Budaya Sunda merupakan budaya

lokal yang dianut oleh sebagian besar penduduk di wilayah Jawa Barat dan Banten termasuk

Kabupaten Bogor. Namun etnis Sunda yang merupakan mayoritas di wilayah Bogor terancam

eksistensinya akibat pengaruh dari budaya luar yang semakin mengikis eksistensi dari budaya

lokal (tradisional). Untuk itu perlu ada upaya dari masyarakat dan pemerintah dalam

pelestarian budaya sunda. Salah satu upayanya adalah dengan keberadaan Kampung Budaya

yang merupakan etalase dan manifestasi keberadaan budaya lokal. Kampung Budaya Sindang

Barang hadir merupakan cerminan bentuk partisipasi komuniti yang peduli akan kelestarian

budaya sunda. Pelestarian budaya sunda di Kampung Budaya Sindang Barang dicerminan

dalam pembentukan ruang, ornamen, dan kegiatan yang merupakan cerminan budaya dan

tradsi sunda sehingga bisa melestarikan sekaligus memperkenalkan budaya sunda ke

khalayak ramai.

Kampung Budaya Sindang Barang adalah suatu kampung adat Sunda yang terletak di

Desa Pasir Eurih Kecamatan Taman Sari Kabupaten Bogor. Menurut sejarahnya Kampung

Sindang Barang sudah ada sejak abad ke XII dan terpapar dalam Babad1 Pajajaran dan tertulis

juga dalam pantun2 Bogor. Kebudayaan Sunda yang masih kental tercermin dalam perilaku

kehidupan masyarakatnya sehari-hari terutama direfleksikan dalam pelaksanaan acara

Serentaun yang rutin dilaksanakan di Kampung Sindang Barang. Menurut penjelasan Prasetyo

(2011) Kampung Budaya Sindang Barang adalah salah satu kampung adat dari 20 kampung

adat yang ada di Jawa Barat. Kampung Budaya Sindang Barang adalah salah satu komunitas

1 Babad adalah cerita yang bertalian dengan sesuatu tempat atau kerajaan yang dipercaya sebagai sejarah. Sebagai pengaruh

dari jawa, kebanyakan Babad ditulis dalam bentuk Wawacan, misalnya Babad Godog, Babad Panjalu, Babad Cirebon, Babad Banten, Babad Sumedang dan Babad Pakuan. Ditinjau dari ilmu sejarah, Babad bukanlan bukti yang dapat dijadikan sumber sejarah, paling bisa hanya hanya sebagai perbandingan (Ensiklopedi Sunda, 2000 dalam Dahlan, 2009).

2 Pantun adalah cerita tutur dalam bentuk sastra Sunda lama yang disajikan secara paparan (prolog), dialog dan seringkali

(3)

3 yang hingga kini mempertahankan aspek kebudayaan lokal kerajaan Pajajaran, dimana

terdapat 78 lokasi situs sejarah Pakuan Sindangbarang, upacara tradisional (upacara adat

Serentaun, upacara adat Neteupken, upacara adat Pabeasan, dan berbagai upacara adat

lainnya), dan berbagai kesenian tradisional Sunda.

Salah satu ritual tradisi Sunda yang menjadi ciri khas Kampung Budaya Sindang Barang

adalah Serentaun. Serentaun merupakan suatu bentuk penjelmaan rasa syukur warga atas

rezeki hasil panen mereka. Serentaun telah ada pada zaman Kerajaan Pajajaran pada abad ke

16 dan masih berlangsung hingga sekarang. Serentaun dilaksanakan tiap tahun dan dipimpin

oleh ketua adat, namun sebagai catatan pada tahun 1971 setelah ketua adat terakhir Etong

Sumawijaya wafat dan tidak ada regenerasi, maka gelaran Serentaun tidak dilaksanakan

secara akbar dan terpusat, namun diadakan sendiri-sendiri oleh masyarkat yang masih

mempercayainya. Kemudian pada tahun 2006 Serentaun kembali dilaksanakan terpusat

setelah adanya pengakuan kembali ketua adat karena inisiatif beberapa kelompok adat yang

ingin melestarikan budaya Sunda di Sindang Barang yang tergabung dalam Padepokan Giri

Sunda Pura Sindang Barang. Pelaksanaan Serentaun pada waktu itu mendapat respon positif

dari masyarakat (walau sempat ada penolakan terutama dari kalangan Islam yang tidak pro

tradisi). Kesuksesan pelaksanaan Serentaun itu juga menarik perhatian pemernitah karena

berkaitan dengan perhatian pada pelestarian budaya Sunda. Dengan dukungan pemerintah

provinsi dan kabupaten dan masyarakat kawasan Sindang Barang, mereka dapat membuat

suatu kawasan budaya Kampung Budaya Sindang Barang3.

Dari penjelasan di atas dapat diketahui pembentukan Kampung Budaya Sindang

Barang yang terbentuk atas inisiatif masyarakat yang masih ingin melestraikan budaya lokal.

Hal ini menunjukkan bahwa ada sebagian masyarakat yang masih mempunyai kepedulian

akan budaya lokal di tengah perkembangan kota yang semakin pesat dan gencaran budaya

luar yang mengancam keberadaan budaya lokal. Lokasi Kampung Budaya Sindang Barang

yang tidak jauh dari pusat kota (sekitar 5 km dari pusat Kota Bogor) tidak menjadikan

masyarakat di Kampung Budaya Sindang Barang berubah menjadi masyarakat yang bercirikan

3 Pembentukan Kampung Budaya Sindang Barang merupakan inisiatif kelompok adat yang tergabung dalam Sanggar Seni

(4)

4 pola-pola kehidupan perkotaan yang antara lain bersifat individualisme, egosentrik,

menomorsatukan uang, bersaing dalam perebutan rezeki dan memetingkan hak milik

(Suparlan, 2004).

Perkembangan Kampung Budaya Sindang Barang saat ini telah berkembang menjadi

kawasan wisata budaya dengan daya tarik kampung adat sunda beserta aktivitas dan fasilitas

yang ditawarkannya sehingga dapat menarik minat para wisatawan domestik dan

mancanegara. Budaya dan adat yang dijadikan komoditas dalam hal ini telah menjadikannya

suatu proses komodifikasi4 yang dikhawatirkan dapat mempengaruhi eksistensi kebudayaan

tradisional.

I.2. Perumusan Masalah

Dari penjelasan di atas dapat diteliti lebih lanjut bagaimana fenomena yang terjadi

dalam pembentukan Kampung Budaya Sindang Barang yang bersifat tradisional bisa

berkompromi dengan globalisasi. Keunikan yang terdapat dalam Budaya sunda tradisional

yang dicerminkan dalam aktivitas yang dijalankan di Kampung Budaya Sindang Barang,

ditambah dengan upacara Serentaun yang sudah dilaksanakan secara turun temurun

merupakan suatu komoditas yang bernilai ekonomis. Kreativitas pengelola dalam

membentuk budaya sebagai komoditas dengan membuat paket wisata budaya dan strategi

pemasaran dengan melalui internet merupakan strategi dalam membentuk komoditi yang

lebih mempunyai daya tarik.

Walaupun terdapat penelitian yang dilakukan oleh Susamto (2008)5 yang

menyimpulkan bahwa terkait rekonstruksi Serentaun yang dilakukan oleh Kampung Budaya

Sindang Barang telah kehilangan keaslian dan kesakralannya karena budaya lokal yang telah

menjadi komoditas pariwisata global dengan teknologi informasi telah berubah menjadi tidak

orisinil budaya lokal. Namun menurut saya upaya yang telah dilakukan oleh komunitas

ataupun kokolot (sesepuh) patut diapresiasi karena mereka masih mempunyai kepedulian

akan kelestarian kebudayaan Sunda yang telah mengalami degradasi.

4 Berdasarkan penjelasan Surbakti (2009) dalam Prasetyo (2011) komodifikasi adalah proses yang diasosiasikan dengan

kapitalisme dimana objek, kualitas dan simbol dijadikan sebagai komoditas yang tujuan utamanya adalah untuk dijual di pasar

5 Penelitian yang sangat mendalam yang dilakukan oleh Mahasiswa Pasca Sarjana Fakultas Ilmu Budaya Universitas Indonesia

(5)

5 Hal ini menunjukkan masih adanya warga kota ataupun komunitas kota yang masih

mempunyai rasa memiliki yang besar akan budaya lokalnya yang mempunyai niat mulia akan

kelestarian budayanya. Walaupun terdapat motif untuk meraih keuntungan dalam

pemebentukan ruang dan kegiatan dalam Kampung Budaya Sindang Barang, hal tersebut

semata-mata untuk menutupi biaya operasional dan pemeliharaan Kampung Budaya Sindang

Barang6. Hal ini berbeda dengan salah satu contoh Kampung Budaya, yaitu Perkampungan

Budaya Betawi di Setu Babakan, Jakarta Selatan yang dibentuk dan dikelola oleh Pemerintah

Provinsi DKI Jakarta. Dukungan ekonomi dan payung hukum yang menaungi Perkampungan

Budaya Betawi Setu Babakan membuatnya leluasa dalam menjalankan operasional dan

pemeliharaannya. Bahkan mereka bisa membuat aturan yang mengintervensi bentuk

arsitektur yaitu penggunaan aksen rumah betawi dan penggunaan lahan untuk perumahan

yang berada di dalam kawasan budaya betawi untuk mendukung pelestarian Budaya Betawi7.

Dukungan pemerintah dalam mendukung perkembangan Kampung Budaya Sindang

Barang hanya pada saat pemberian bantuan dana dalam tahap pembangunan Kampung

Budaya Sindnag Barang, sedangkan pada saat tahap pemeliharaan dan operasional

diserahkan kepada pengelola termasuk untuk pembiayaannya. Sehingga pengelola Kampung

Budaya Sindang Barang perlu melamgsungkan keberadaannya dengan membuat suatu usaha

wisata budaya yang bisa menghasilkan uang sekaligus mengenalkan budaya sunda ke

masyrakat luas.

Hal ini menimbulkan suatu proses komodifikasi budaya Sunda baik dalam bentuk

ruang, dan aktivitas. Dijelaskan dalam penelitian yang dilakukan oleh Prasetyo (2011)8 yang

menyimpulkan bahwa terjadi hubungan antara komodifikasi upacara tradisional Serentaun

dengan pembentukan identitas komunitas Kampung Budaya Sindang Barang menunjukan

hubungan yang signifikan. Semakin rendah proses komodifikasi upacara tradisional Serentaun

maka semakin kuat pembentukan identitas komunitas Kampung Budaya Sindangbarang. Hal

6 Berdasarkan informasi wawancara dengan Abah Ukat, Kepala Adat dan kokolot maupun pengelola tidak mendapatkan

keuntungan dari Kampung Budaya Sindang Barang, bahkan kepala adat sering menegluarkan biaya untuk pemeliharaan dan operasional

7 Penjelasan lebih mendetail bisa dilihat pada artikel yang sangat menarik mengenai pembentukan Kampung Budaya Betawi

yang ditulis oleh Prof. Gunawan Tjahjono pada 2003 untuk International Association for The Study of Traditional Environments yang berjudul Reviving the Betawi Tradition : The Case of Setu Babakan, Indonesia (Sumber :

http://iaste.berkeley.edu/pdfs/15.1e-Fall03tjahono-sml.pdf diakses pada tanggal 22 Desember 2016, Pukul 09.01 WIB)

8 Penelitian Mahasiswa Departemen Sains Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat Fakultas Ekologi Manusia Institut

(6)

6 ini dapat dijelaskan karena terdapat hubungan yang signifikan pula antara komodifikasi

upacara tradisional Seren Taun dengan motif dan perilaku melaksanakan upacara tradisional

Seren Taun.

Proses pembentukan ruang dalam bentuk kampung budaya dan komodifikasi budaya

yang mereka lakukan merupakan suatu bentuk adaptasi terhadap globalisasi dengan

menciptakan wisata budaya yang mempunyai nilai ekonomi yang menurut pengelola atau

kokolot Kampung Budaya Sindang Barang bukan untuk tujuan komersial melainkan digunakan

untuk menutupi biaya pemeliharaan dan operasional Kampung Budaya Sindang Barang9.

Untuk itu pertanyaan penelitian yang dapat diajukan adalah : Bagaimana strategi yang

ditempuh oleh Pengelola Kampung Budaya Sindang Barang dalam mempertahankan nilai

luhur budaya ditengah arus kapitalisme global?

I.3. Tujuan Penelitian

Berdasarkan identifikasi masalah yang telah dikemukakan sebelumnya, maka

penelitian ini dilakukan dengan tujuan untuk : Menganalisis terjadinya pembentukan

Kampung Budaya Sindang Barang dan strategi Kampung Budaya Sindang Barang dalam

mempertahankan nilai luhur budaya ditengah arus kapitalisme global berdasarkan teori

kreativitas sosial dan teori lain yang terkait.

I.4. Anggapan Awal dan Temuan

Dalam pembentukan Kampung Budaya Sindang Barang terlihat bagaimana suatu

bentuk partisipasi masyarakat yang aktif dalam membangkitkan dan melestariakan tradisi dan

budaya lokal sunda. Hal ini menunjukkan masih adanya warga kota ataupun komunitas kota

yang masih mempunyai rasa memiliki yang besar akan budaya lokalnya yang mempunyai niat

mulia akan kelestarian budayanya. Namun kebangkitan tersebut ternyata tidak terlepas dari

adanya motif ekonomi. Hal ini wajar ditengah terpaan globalisasi dan kapitalisme yang

menerpa Indonesia sehingga untuk bertahan hidup mereka membutuhkan uang. Hal ini

karena dalam semua aspek kehidupan Bangsa Indonesia segala hal dihitung berdasarkan

untung dan rugi. Bahkan dalam awal terbentuknya Kampung budaya Sindangbarang,

dibutuhkan uang yang cukup besar yang didapatkan dari pemerintah dan kelompok adat

(7)

7 dalam merekonstrusi Kampung Budaya tersebut. Menarik bahwa bagaimana komunitas

kelompok adat ini dengan segala niat luhurnya ingin melestarikan budaya dan kearifan lokal

sunda bernegosisasi dengan tuntutan globalisasi dan kapitalisme yang ada. Proses

pembentukan ruang dalam bentuk kampung budaya dan komodifikasi budaya yang mereka

lakukan merupakan suatu bentuk adaptasi terhadap globalisasi dengan menciptakan wisata

budaya yang mempunyai nilai ekonomi yang menurut pengelola atau kokolot Kampung

Budaya Sindang Barang bukan untuk tujuan komersial melainkan digunakan untuk menutupi

biaya pemeliharaan dan operasional Kampung Budaya Sindang Barang10.

Keberlangsungan Kampung Budaya Sindang Barang yang telah berjalan selama 10

tahun hingga sekarang menunjukkan kesuksesan pengelola dalam menjalankan usahanya.

Namun perlu juga diperhatikan tantangan dan kendala yang sekarang dihadapi oleh Kampung

Budaya Sindang Barang. Belum adanya payung hukum yang melindungi Kampung Budaya

Sindang Barang membuatnya rentan akan intervensi masalah hukum. Kekuatan hukum

mereka sebatas legitimasi yang bersifat tidak resmi mengenai dukungan pemerintah provinsi

dan kabupeten akan keberadaan Kampung Budaya Sindang Barang. Selain itu komoditas

seperti lahan pertanian dan situs-situs budaya perlu dukungan dari pemerintah dan

masyarakat setempat karena beberapa situs terlihat tidak terawat.

10 Informasi dari http://kp-sindangbarang.com/?page_id=20 diakses pada tanggal 22 Desember 2016 Pukul 03.00 WIB

(8)

8

II.

METODOLOGI DAN LOKASI PENELITIAN

II.1. Metode Penelitian

Penelitian ini merupakan penelitian yang bersifat exploratory. Penelitian yang bersifat

exploratory adalah penelitian yang memecahkan masalah, isu atau topik baru yang sangat

sedikt diketahui sehngga gagasan penelitian pada umumnya tidak dapat diformulasikan

dengan baik pada tahap awal. Penelitian ini diperlukan untuk menguji teori dan konsep yang

tepat, mengembangkan suatu teori/konsep baru, atau apakah metodologi yang ada dapat

diterapkan (Kustiwan, 2010). Penelitian ini menjelaskan pembentukan suatu kawasan dalam

kota yang dilatarbelakangi oleh kebangkitan budaya. Selain itu juga dijelaskan bagaimana

keterkaitan antara pembentukan Kampung Budaya Sindang Barang dengan startegi kampung

budaya dalam mempertahankan nilai luhur budaya ditengah arus kapitalisme global.

Penelitian ini akan menjelaskan berbagai unsur dan aspek yang berkaitan dengan teori

perkembangan kota serta partisipasi masyrakata dalam membentuk identitas kota. Selain itu

juga dalam strategi kampung budaya dalam mempertahankan nilai luhur budaya akan

dijelaskan dalam dengan teori kreativitas sosial dalam perkembangan kota.

Dengan demikian maka penelitian ini dilakukan dengan pendekatan analisis data

dengan pendekatan deduktif untuk menemukan hubungan antara teori dan penelitian

dengan menempatkan pengujian teori (Silalahi, 2006 dalam Kustiwan, 2010). Kemudian

berdasarkan tujuan penelitian bersifat eksplanatori yakni menjelaskan hubungan kausal

antara variabel-variabel memlalui pengujian hipotesa (Singarimbun dan Effendi, 1995 dalam

Prasetyo, 2011). Adapun hubungan kausal yang dijelaskan adalah antara varaibel-variabel

yang berpengaruh terhadap strategi Kampung Budaya Sindang Barang untuk bisa

mempertahankan budaya lokal ditengah kapitalisme global, yaitu : (1) sejarah terbentuknya

Kampung Budaya Sindang Barang; (2) komodifikasi budaya dan ritual Sunda.

II.2. Lokasi Penelitan

Penelitian dilakukan di Kampung Budaya Sindang Barang yang terletak di Desa

Pasireurih, Kecamatan Taman Sari, Kabupaten Bogor. Meskipun berada di wilayah Kabupaten

Bogor, hubungan yang terjalin lebih intens dengan Kota Bogor karena jaraknya lebih dekat,

(9)

9 maka jarak antara Kota Bogor dengan Desa Pasireurih hanya 5 Km dibandingkan dengan jarak

dengan kabupaten bogor sekitar 15 km. Secara administratif Desa Pasireurih berbatasan

dengan Desa Parakan Kecamatan Ciomas di sebelah utara, Desa Taman Sari sebelah Selatan,

Desa Sirnagalih di sebelah Timur dan Desa Sukaresmi di sebelah barat. Ketiga desa yakni Desa

Sukaresmi, desa Sirnagalih dan Desa Taman sari masih berada di kecamatan Taman sari,

sedangkan Desa Parakan berada di Kecamatan Ciomas sehingga Desa Pasireurih merupakan

desa perbatasan antara Kecamatan Ciomas dan Kecamatan Taman Sari.

Gambar 1. Peta Administrasi Desa Pasir Eurih Sumber : Dahlan (2009)

II.3. Teknik Pengumpulan Data dan Informasi

Data yang digunakan adalah data primer dan sekunder. Data primer didapatkan

berdasarkan hasil survei dan wawancara langsung di lapangan, sedangkan data sekunder

diperoleh dari data yang pernah dipublikasikan sebelumnya, baik dari hasil penelitian,

literatur maupun situs internet. Dari pengembangan data sekunder ini saya dapatkan

penelitian-penlitian ayng terkait Kampung Budaya Sindang Barang. Penelitian-penelitian yang

sejauh ini saya ketahui adalah :

1. Penelitian yang dilakukan oleh Mahasiswa Pasca Sarjana Fakultas Ilmu Budaya

(10)

10 menghasilkan tesis yang berjudul Hibrida Lokal-Global pada Politik Komodifikasi

Budaya Serentaun Rekonstruktif, Upacara Tahunan Masyarakat Sunda, di Sindang

Barang Kabupaten Bogor

2. Penelitian yang dilakukan oleh Mahasiswa Departeman Arsitektur Lanskap Institut

Pertanian Bogor yang bernama Mohammada Zaini Dahlan pada tahun 2009 yang

terdapat pada skripsi ayng berjudul Perancanaan Lanskap Kawasan Wisata Budaya di

Kampung Budaya Sindang Barang, Desa Pasireurih, Kecamatan Taman Sari, Kabupaten

Bogor.

3. Penelitian yang dilakukan oleh Mahasiswa Departeman Sains Komunikasi dan

Pengembangan Masyarakat Institut Pertanian Bogor yang bernama Untung Prasetyo

pada tahun 2011 yang terdapat pada skripsi yang berjudul Komodifikasi Upacara

Tradisional Serentaun dalam Pembentukan Identitas Komunitas (Kasus : Kampung

Budaya Sindangbarang, Desa Pasireurih, Kecamatan Taman Sari, Kabupaten Bogor,

Jawa Barat)

4. Penelitian yang dilakukan oleh Mahasiswa Fakultas Ilmu Budaya Universitas Indonesia

yang bernama Anugrah P.F. Halim pada tahun 2008 yang terdapat pada skripsi yang

berjudul Identifikasi Bangunan Berundak Pasir Karamat di Kampung Sindangbarang

Desa Pasireurih Bogor Jawa Barat.

Penelitian-penelitian tersebut mempunyai pendekatan yang berbeda dengan makalah

ini, yang mana secara garis besar penelitian-penelitian di atas lebih mempelajari mengenai

budaya, lanskap, dan pembentukan identitas. Sedangkan pembuatan makalah ini lebih

mengacu pada pengaruh terhadap perkembangan kota. Penelitian-penelitian diatas memberi

(11)

11

III.

HASIL DAN PEMBAHASAN

III.1. Kondisi umum

Kampung Sindang Barang merupakan suatu bagian dari wilayah adminsitratif Desa

Pasireurih, Kecamatan Taman Sari, Kabupaten Bogor. Meskipun berada di wilayah Kabupaten

Bogor, hubungan yang terjalin lebih intens dengan Kota Bogor karena jaraknya lebih dekat,

dan akses menuju Kampung Desa Pasireurih melalui Kota Bogor. Jika dilihat dari segi jarak

maka jarak antara Kota Bogor dengan Desa Pasireurih hanya 5 Km dibandingkan dengan jarak

dengan Kabupaten Bogor sekitar 15 km. Desa Pasireurih berada pada ketinggian 350-500

mdpl. Secara administratif Desa Pasireurih berbatasan dengan Desa Parakan Kecamatan

Ciomas di sebelah utara, Desa Taman Sari sebelah Selatan, Desa Sirnagalih di sebelah Timur

dan Desa Sukaresmi di sebelah barat. Ketiga desa yakni Desa Sukaresmi, Desa Sirnagalih dan

Desa Taman Sari masih berada di kecamatan Taman Sari, sedangkan Desa Parakan berada di

kecamtaan Ciomas sehingga Desa Pasireurih merupakan desa perbatasan antara Kecamatan

Ciomas dan Kecamatan Taman Sari.

Akses menuju Desa Pasireurih cukup baik dengan tersedianya jalan yang menuju Desa

Pasireurih dari utara maupun selatan. Fasilitas jalan menuju ke Desa Pasireurih cukup baik

dan ditambah adanya kendaraan umum seperti angkutan kota maupun ojek, memudahkan

untuk menuju Desa Pasireurih.

Terdapat dua gerbang utama bagi penduduk dari luar Kota Bogor untuk menuju Desa

Pasireurih yaitu melalui Stasiun Bogor dan Terminal Bogor. Jarak terdekat dari stasiun Bogor

menuju Desa Pasireurih sekitar 9,9 km dengan jarak tempuh sekitar 33 menit (Gambar 2),

sedangkan jarak terdekat dari terminal Bogor sekitar 8,4 km dengan jarak tempuh sekitar 36

(12)

12 Gambar 2. Akses menuju Kampung Budaya Sindang Barang dari Stasiun Bogor

(Sumber : Google Maps)

Gambar 3. Akses menuju Kampung Budaya Sindang Barang dari Terminal Bogor (Sumber : Google Maps)

Desa Pasireurih sangat kental dengan kondisi perdesaan yang mana nuansa alaminya

masih sangat terasa. Menurut Dahlan (2009) Karakter lanskap alam yang khas dari Desa

Pasireurih yaitu melimpahnya sumber daya alam mineral (material batuan) hasil letusan

Gunung Salak. Tata guna lahan yang didominasi oleh lahan pertanian menjadikan Desa

Pasireurih sebagai desa yang kegiatan penduduknya didominasi oleh kegiatan agraris.

Berdasarkan penjelasan Dahlan (2009) bahwa penggunaan lahan di wilayah Desa Pasireurih

(13)

13 %) . Untuk lahan terbangun penggunaannya terdiri dari rumah penduduk, masjid, bangunan

bale pertemuan, madrasah, sekolah dan fasilitas umum lainnya. Sedangkan untuk lahan

terbuka penggunaannya untuk lahan pertanian (sawah dan ladang), pemakaman

umum,makam leluhur, sungai dan hutan keramat (leuweung tutupan) (gambar 5.)

Gambar 4. Lahan pertanian di Desa Pasireurih (Sumber : Dokumentasi pribadi)

Kelestarian alam di Desa Pasireurih didukung oleh pola kehidupan beberapa masyarakat

setempat yang masih menganut kepercayaan kearifan lokal. Sebagaimana yang dijelaskan

Dahlan (2009) bahwa kepercayaan terhadap keramatnya yang masih mengakui adanya

leuweung tutupan (hutan lindung) menjadikan mereka tidak dengan mudah merubah fungsi

lahan yang dipercaya sebagai leuwueng tutupan.

(14)

14 Mata pencaharian penduduk Desa Pasireurih didominasi oleh pekerjaan yang

berhubungan dengan bidang pertanian. Dalam tabel 1. dapat diketahui mata pencaharian

penduduk Desa Pasireurih yang heterogen namun petani mendominasi dengan presentase

sebesar 69,13%. Menurut Prasetyo (2011) kategori petani dibedakan menjadi 3 jenis yaitu

petani pemilik, petani penggarap, dan buruh tani. Petani menanam padi dan palawija sebagai

selingan ke waktu tanam berikutnya.

Tabel 1. Presentase Penduduk Desa Pasir eurih berdasarkan Mata Pencaharian No Jenis Pekerjaan Persentase

1 Petani 69,13

2 Pengrajin 9,70

3 Pedagang 8,57

4 Pengemudi/Jasa 6,12

5 Pegawai Negeri Sipil 5,00

6 TNI 0,34

7 Pensiunan 1,22

Jumlah (%) 100

Sumber : Monografi Desa Pasireurih 2009, dalam Prasetyo, 2011

Selain bertani, penduduk disana juga bermata pencaharian sebagai pengrajin.

Pengrajin disini adalah yang bergerak di sektor home industry sepatu dan sendal. Menurut

Dahlan (2009) Sejak masuknya industri tersebut banyak penduduk yang beralih profesi

menjadi pedagang dan pengrajin. Berdasarkan data profil desa diketahuin bahwa terjadi

perubahan profesi yang sangat signifikan pada profesi di bidang pertanian menjadi

perdagangan dan industri dengan tingkat perubahan 23% atau sekitar 134 jiwa pertahun yang

beralih profesi.

III.2. Sejarah Kawasan Sindang Barang

Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Dahlan (2009) terdapat dua sumber yang

menerangkan mengenai sejarah dari Sindang Barang, yaitu menurut Babad Pakuan dan

Pantun Bogor. Nama Sindang Barang telah dikenal dan tercatat dalam Babad Pakuan sebagai

salah satu daerah penting kerajaan Sunda dan Pakuan Pajajaran. Hal ini disebabkan di

kawasan Sindang Barang terdapat salah satu keraton kerajaan yang merupakan tempat

(15)

15 Kentring Manik Mayang Sunda. Adapun penguasa Sindang Barang saat itu adalah Surabima

Panjiwirajaya atau Amuk Murugul. Bahkan Putra Prabu Siliwangi dan Kentring Manik Mayang

Sunda yang bernama Guru Gantangan lahir dan dibesarkan di Sindang Barang. Adapun pusat

dari kerajaan Pajajaran sendiri berada di wilayah Cipaku, Batu Tulis dan Lawang Gintung.

Menurut Pantun Bogor sejarah Sindang Barang dikenal dengan nama Lembur Taman

yang dibangun pada tahun 1611 oleh Mbah Camplang dan hingga saat ini masih ada bukti

keberadaannya. Pada jaman Prabu Wisnu Barata, Lembur Taman dijadikan sebagai pusat

perkembangan agama Sunda dan di kawasan tersebut dibangun punden (bukit berundak)

untuk sarana beribadah menurut agama Sunda. Oleh karena itu tidak mengherankan saat ini

di Sindang Barang terdapat 94 titik sebaran situs purbakala dan baru 54 situs yang telah

teridentifikasi dengan 33 buah situs berupa punden berundak11.

Nama Sindang Barang, memiliki arti yaitu Sindang (berhenti atau mampir) dan Barang

(urusan duniawi) jika digabung menjadi menghindari dari segala urusan dunia atau menyepi12.

Menurut Dahlan (2009) Hal tersebut juga sesuai dengan Pantun Bogor yang mengartikan

bahwa Sindang Barang adalah tempat untuk meninggalkan kebisingan dunia (menyepi).

Pennyataan ini juga sesuai dengan banyaknya situs-situs punden berundak pada Kawasan

Sindang Barang yang berfungsi sebagai tempat bersemedi.

III.3. Sejarah Terbentuknya Kawasan Kampung Budaya Sindang Barang

Berdasarkan hasil wawancara dengan pengelola Kampung Budaya Sindang Barang

yaitu Abah Ukat, Kampung Budaya ini terbentuk atas inisiatif beberapa sesepuh (kokolot)

yang gelisah akan keberlangsungan budaya Sunda yang lambat laun akan semakin hilang.

Abah Ukat sebagai pengelola dan salah satu pengagas Kampung Budaya Sindang Barang

bercerita kegelisahan beliau memuncak pada tahun 2000 melihat bahwa Serentaun yang

merupakan tradisi yang sudah dijalankan sejak zaman Kerajaan Pajajaran selama 30 tahun

belakangan dilaksanakan secara terpecah-pecah13 (dalam lingkup keluarga atau tingkatan RT)

sehingga menjadi sedekah rumahan saja, nilai-nilai tradisi budaya sunda tidak tercermin

11 Hasil penelitian DR. Agus Arismunandar dari Fakultas Ilmu dan Bahasa Universitas Indonesia (Sumber:

http://kp-sindangbarang.com dalam Dahlan, 2009).

12 berdasarkan hasil wawancara dengan pengelola Kampung Budaya Sindang Barang yaitu Abah Ukat pada tanggal 16

Desember 2016

13 Pada tahun 1971, Kepala Adat Terakhir yang bernama Etong Sumawijaya meninggal dan tidak ada regenerasi setelahnya.

(16)

16 dalam pelaksanaan serentaun tersebut. saat ini pelaksanaannya tidak sesuai esensinya karena

dilaksanakan secara terpecah-pecah tanpa ada kepala adat.

Kemudian pada tahun 2002 Abah Ukat berinisiatif untuk mencari dan menemui salah

satu keturunan Alm. Etong Sumawijaya, kepala adat terdahulu, untuk mengisi kekosongan

posisi kepala adat. Akhirnya beliau menemui Achmad Mikami Sumawijaya (Maki) di Jakarta

dan pada awalnya Abah Ukat megalami penolakan karena kondisi Maki yang sedang sakit.

Namun pada akhirnya pada setelah pendekatan yang dilakukan oleh Abah Ukat pada tahun

2003 Maki bersedia menjadi kepala adat dan pada tahun 2004 mulai merintis dengan

membangun sanggar seni yang bernama Giri Sundapura.

Menurut Dahlan (2009) keberadaan sanggar tersebut menjadikan seni Sunda yang

terancam punah kembali terangkat dan kembali mendapat kepercayaan dari masyarakat.

Banyak anak-anak dan remaja dari masyarakat setempat yang mengikuti program sanggar

dan puncaknya pada saat peringatan HUT RI ke-59 dimana masyarakat mulai mengenali dan

mencintai kembali kesenian warisan leluhur yang hampir punah14. Pada tahun 2004 juga pada

saat terbentuknya sanggar, kepala adat mulai diakui dengan terpilihnya Maki sebagai kepala

adat Kampung Sindang Barang.

Kemudian setelah respon positif masyarakat tersebut, para sesepuh mulai mencari

dan menggali kembali nilai dan budaya lain yang pernah dilaksanakan di kawasan Sindang

Barang. Hingga akhirnya beberapa sesepuh menrekomendasikan Upacara Sedekah Guru

Bumi (Serentaun) dan berbagai tradisi, seni, dan kebudayaan lainnya untuk direvitalisasi

(Dahlan, 2009). Selama prosesnya terdapat pihak yang setuju dan ada pula yang kontra

terhadap perkembangan tersebut. Mereka yang menolak, beranggapan bahwa dengan

adanya upacara Serentaun akan berakibat munculnya aliran kepercayaan yang tidak sesuai

dengan tradisi yang bukan berasal dari Islam, mengingat mayoritas penduduk Sindang Barang

beragama Islam. Namun setelah pendekatan dan diskusi bersama dengan sesepuh, tokoh

masyarakat dan agama di Sindang Barang, akhirnya dapat ditemukan solusi dan dipahami

bersama bahwa pelaksanaan upara Serentaun sebagai bentuk pelestarian budaya dan tradisi

Sunda.

Acara Serentaun dapat dilaksanakan secara akbar pada tahun 2006, pertama kali

setelah Serentaun akbar terakhir pada tahun 1971. Hal ini mendapat perhatian dari

14 Abah Ukat dengan bangga bercerita bahwa pada saat ulang tahun salah satu stasiun televisi swasta, anak-anak asuhnya

(17)

17 masyarakat setempat dan juga masyarakat luar bahwa masih adanya tradisi yang sunda yang

masih dipertahankan di Kampung Budaya Sindang Barang. Kemudian terdorong dengan

prinsip pelestarian budaya yang sejalan dengan program pemerintah provinsi Jawa Barat,

kemudian Achmad Mikami Sumawijaya (ketua adat) diundang oleh Gubernur Jawa Barat

Danny Setiawan untuk koordinasi mengenai kegiatan budaya di Sindang Barang. Pertemuan

tersebut berakhir dengan penawaran dana oleh pihak Provinsi Jawa Barat kepada sesepuh

Sindang Barang untuk mengembangkan kawasan Sindang Barang sebagai kawasan wisata

budaya (Dahlan, 2009).

Kemudian dengan dana yang mereka dapatkan dari Pemerintah Provinsi Jawa Barat,

Pemerintah Kabupaten Bogor, dan dana dari sumbangan ketua adat, dibangunlah Kampung

Budaya Sindang Barang yang dibangun diatas tanah adat yang awalnya berupa sawah. Luas

tanah yang dibangun sekitar 8.600 m2 dengan fasilitas berupa 1 unit Imah Gede (rumah ketua

adat), 1 unit Girang Seurat (sekretariat), 2 unit Imah Kokolot (rumah sesepuh adat), 6 unit

Imah Warga (rumah penduduk), 1 unit Bale Pangriungan (aula), 1 unit Imah Talu (tempat

kesenian), 6 unit Saung Leuit (lumbung padi), 1 unit Saung Lisung (tempat menumbuk padi),

1 unit Pawon (dapur), 2 Tampian unit (kamar mandi), dan fasilitas penunjang lainnya seperti

jalan beraspal (Dahlan, 2009). Menurut Dahlan (2009), dalam penentuan letak Kawasan

Kampung Budaya Sindang Barang dan pembangunan fisik bangunan-bangunan adat

didasarkan pada tuntunan dari Anis Djatisunda yang bersumber dari Pantun Bogor. Dalam

tata letak kawasan diharuskan tempat yang akan dijadikan sebagai kawasan Kampung Budaya

Sindang Barang adalah tempat yang berada di daerah tinggi sebagai penghormatan bagi ketua

adat.

Dalam penjelasan lebih lanjut oleh Dahlan (2009) tempat yang akan dijadikan sebagai

kawasan kampung adat harus berada diantara dua aliran sungai dan tentunya memiliki

keterkaitan yang kuat dengan sejarah Sunda tempo dulu. Dengan ketentuan demikian, maka

ditetapkan desa Pasir Eurih sebagai kawasan Kampung Budaya Sindang Barang karena berada

di daerah yang tinggi dan diapit oleh dua aliran sungai, yaitu Sungai Ciapus dan Sungai Ciomas

selain memang sebagian besar tanah milik keluarga Sumawijaya berada di daerah Sindang

Barang terutama desa Pasir Eurih.

Dalam proses pembentukan Kampung Budaya Sindang Barang tidak terlepas dari

keberadaan dua kampung adat yang masih terjaga kelestraiannya yaitu Kampung Adat Lebak

(18)

18 memberikan referensi akan bentuk bangunan dan pelaksanaan upacara Serentaun karena

kedua kampung adat tersebut masih menggunakan adat istiadat dan kebudyaaan sunda

dalam kehidupan masyarakatnya.

Saung Leuit Bale Pangriungan

Imah Warga Saung Lisung

Gambar 6. Bangunan yang ada di Kampung Budaya Sindang Barang Sumber : Dokumentasi pribadi

Menurut Dahlan (2009) Keberadaan Kampung Budaya Sindang Barang saat ini

merupakan upaya revitalisasi dan pembangunan fisik berupa replikasi dan imitasi untuk

menampilkan periode setting dari perkampungan tradisional Sunda tempo dulu yang pernah

ada di Sindang Barang Kabupaten Bogor. Adapun untuk upaya revitalisasi, dilakukan terhadap

pelestarian dan pengembangan nilai-nilai sejarah dan budaya yang tinggi dari kawasan

Sindang Barang.

Kota merupakan cerminan dari tindakan penduduknya. Dalam Evers dan Korff (2002)

untuk dapat menilai dinamika sebuah kota yang sedang berkembang dan melacak proses

perkembangannya maka digunakan sudut pandang partisipan yang ikut dalam proses itu.

Dalam hal ini bagaimana suatu komunitas yang terdiiri dari para sesepuh dan kokolot

(19)

19 pengaruh budaya luar dan moderinisasi akibat perkembangan kota. Artinya bahwa komunitas

sesepuh tersebut menganggap bahwa kota membawa dampak buruk akibat proses

modernisasi dan budaya globalnya sehingga perlu adanya suatu upaya pelestarian budaya

sebagai pengingat jati diri masyarakat Sunda.

Pembentukan Kampung Budaya Sindang Barang juga tidak terlepas dari corak kapitalis

untuk mendapatkan keuntungan. Menurut Lafebvre (1976) dalam Evers dan Korff (2002)

bahwa dengan adanya globalisasi yang berbasis pada aliran informasi ruang telah berubah

menjadi bersifat abstrak dan lokalitas menjadi komoditas. Namun corak kapitalisme yang ada

pada Kampung Budaya Sindang Barang masih dalam tahap pencarian keuntungan untuk

pemenuhan kebutuhan dasar dalam menjamin keberlangsungan Kampung Budaya Sindang

Barang karena terbentur nilai-nilai luhur budaya lokal sunda yang masih dipegang tegun oleh

pengelola Kampung Budaya Sindang Barang.

Kemudian dalam prosesnya pembentukan Kampung Budaya Sindang Barang ini juga

terdapat dinamika antara pihak yang pro dan kontra akan pembentukan Kampung Budaya

Sindang Barang dengan segala aktivitasnya. Hal ini relevan dengan penjelasan Evers dan Korff

(2002) bahwa kota-kota dibuat dan digeluti oleh penduduknya tidak dalam bentuk kerjasama

yang harmonis, melainkan melalui berbagai konflik antara pihak yang mendominasi dan

mendesakkan pemahaman mereka tentang kota dan pihak yang mereka dominasi. Disini

terdapat pertentangan dari kalangan elite agama Islam terutama dalam upacara Serentaun

yang menjadi domain Kampung Budaya Sindang Barang. Resistensi mereka karena mereka

beranggapan bahwa dengan adanya uoacara Serentaun akan berakibat munculnya aliran

kepercayaan yang tidak sesuai dengan tradisi yang bukan berasal dari Islam, mengingat

mayoritas penduduk Sindnag Barang beragama Islam. Dalam penelitian yang dilakukan oleh

Susamto (2008) diketahui bahwa menurut elit agama Islam pembaharu terdapat beberpa

ritual yang dikhawatirkan akan merusak ajaran Islam sperti penguburan kepala kerbau ketika

dipotong, penggunaan dupa ketika mengadakan upacara meskipun membaca doa-doa dalam

agama Islam sebagai pengganti mantera, mngadakan ziarah ke makam leluhur, dan

kepercayaan terhadap Dewi Sri yang memberi berkah terhadap tanaman. Namun setelah

pendekatan dan diskusi bersama dengan elit tradisi yang akhirnya dapat ditemukan solusi dan

dipahami bersama bahwa pelaksanaan upara serentaun sebagai bentuk pelestraian budaya

dan tradisi sunda sekaligus sarana memperkenalkan budaya Sunda dalam kesempatan

(20)

20 memodifikasi ritual Serentaun demi menghindari perbuatan syirik seperti pada ritual

penyembelihan kepala kerbau tidak dikuburkan. Penguburan bagian-bagian dari hewan

kurban yang tidak dapat dimakan lagi oleh manusia.

Hal tersebut relevan dengan pandnagan Evers dan Korf (2002) bahwa pihak yang

mendominasi dalam hal ini elit agama Islam berusaha memaksakan pemahaman mereka

terhadap uepacara serentaun namun hal ini bisa tercapai kesepakatan dengan negosiasi demi

mencapai tujuan bersama.

III.4. Elemen Sejarah dan Budaya Kampung Budaya Sindang Barang

Kampung Budaya Sindnag Barang merupakan suatu kawasan yang mempunyai nilai

sejarah dan budaya yang kuat. Hal ini menyebabkan kawasan ini mempunyai daya tarik

tersendiri karena sehingga dapat dijadikan komoditi wisata. Dari aspek sejarah, kawasan ini

erat kaitannya dengan kerajaan Pajajajran yang karena keberadaan salah satu istana kerajaan

Pakuan Pajajaran yang didiami oleh salah satu istri Prabu Siliwangi. Selain cerita

bersejarahnya, kawasan ini memiliki benda-benda peninggalan sejarah yang masuk dalam

benda cagar budaya. Saat ini di Sindang Barang terdapat 94 titik sebaran situs purbakala dan

baru 54 situs yang telah teridentifikasi dengan 33 buah situs berupa punden berundak.

beberapa situs yang sudah teridentifikasi diantaranya adalah Batu Karut, Batu Meja, Batu

Kursi, Jalantunda, Punden Majusi, Punden Surawisesa, Leuweung Tutupan dan sebagainya.

Dari aspek budaya, kawasan Sindang Barang mempunyai keragaman budaya yang

terbagi dalam segi ritual, adat, dan kesenian. Menurut Dahlan (2009) Sebelum Kampung

Budaya Sindang Barang dibangun dan direvitalisasi, kondisi budaya di kawasan Sindang

Barang tidak begitu mendapatkan perhatian dari mayarakat setempat. Hal ini akibat pengaruh

budaya luar dan perkembanagn teknologi dan informasi yang serta modernisasi yang

perlahan-lahan memepenagruhi khasanah budaya lokal, berdampak pada hilangnya

karakteristik budaya khas Sindang Barang. Padahal banyak terdapat budaya lokal yang

menjadi ciri khas Sindang Barang, diantaranya upacara Serentaun (Sedekah Guru Bumi

Sindang Barang) dan Parebut Seeng (berebut seeng). Adat Parebut Seeng merupakan adat

yang khas dari masyarakat Sindang Barang yang digunakan pada acara pernikahan. Sedangkan

Serentaun merupakan adat yang masih lestari yang dilaksanakan setelah panen raya sebagai

ungkapan rasa syukur terhadap Tuhan Yang Maha Esa atas hasil bumi yang telah diberikan.

(21)

21 oleh masyaraat Sindnag Barang diantaraya Runjakeun, Majikeun Pare, Sebet Kasep,

Rengkong, dan Angklung Gurak. (Dahlan, 2009). Di Kampung Budaya Sindang Barang upacara

dan ritual-ritual tersebut direkonstruksi dan direvitalisasi sebgai bentuk pelestarian budaya

dan komoditas wisata budaya.

Selain upacara dan ritual, teredapat kesenian yang unik dan khas yang terdapat di

kampung Budaya Sindnag Barang yaitu Angklung Gubrag dan Pencak Silat Cimande. Keduanya

merupakan obyek dan daya tarik kesenian yang unik dan khas dan dapat disuguhkan sebagai

atraksi yang menarik.

Secara fisik Kampung Budaya Sindang Barang memiliki keunikan dan kekhasan

tersendiri. Seperti pada pola tata ruang kawasan, pola tata ruang bangunan baik luar

(outdoor) maupun dalam (indoor), atau pola tata ruang antar bangunan (neigborhood). Selain

itu nilai budaya tercermin pula pada arsitektur dan struktur bangunan di Kampung Budaya

Sindang Barang. Dengan filosofi yang kuat dari sejarah Sunda di Sindang Barang menghasilkan

karakter arsitektur Sunda yang unik dan khas, hal ini akan memberikan daya tarik bagi

wisatawan untuk berkunjung.

Begitu juga keunikan dan keberagaman perkakas yang biasa digunakan oleh

masyarakat untuk berbagai aktifitas menjadi obyek wisata yang unik bagi wisatawan.

Peralatan dapur seperti Hawu (tungku), Suluh (kayu bakar), Seeng (tempat masak air),

Aseupan (tempat masak nasi), Dulang (tempat menanak nasi), Hihid (kipas untuk menanak

nasi), Boboko (tempat menyimpan nasi) dan sebagainya.

III.V. Komodifikasi Budaya sebagai Strategi Keberlangsungan Kampung Budaya Sindang

Barang

Komodifikasi budaya di Kampung Buaya Sindang Barang tidak terelakan lagi terjadi

karena menyesuaikan dengan perkembangan zaman. Niat luhur dalam membangkitkan

keberadaan budaya lokal Sunda dan pelestraiannya terbentur masalah finansial. Motif

ekonomi yang dijalankan Kampung Budaya Sindang Barang merupakan suatu strategi

mempertahankan diri dari globalisasi dan kapitalisme. Prinsip budaya tradisional yang

berasaskan gotong royong sudah tidak relevan lagi pada zaman sekarang yang mana uang

adalah segalanya. Bahkan dalam awal terbentuknya Kampung budaya Sindangbarang,

dibutuhkan uang yang cukup besar yang didapatkan dari pemerintah dan kelompok adat

(22)

22 Menarik bahwa bagaimana komunitas kelompok adat ini dengan segala niat luhurnya

ingin melestarikan budaya dan kearifan lokal sunda bernegosisasi dengan tuntutan globalisasi

dan kapitalisme yang ada. Proses pembentukan ruang dalam bentuk kampung budaya dan

komodifikasi budaya yang mereka lakukan merupakan suatu bentuk adaptasi terhadap

globalisasi dengan menciptakan wisata budaya yang mempunyai nilai ekonomi yang menurut

pengelola atau kokolot Kampung Budaya Sindang Barang bukan untuk tujuan komersial

melainkan digunakan untuk menutupi biaya pemeliharaan dan operasional Kampung Budaya

Sindang Barang15. Karena budaya sendiri dalam perkembangannya bisa dijadikan suatu

komoditas yang menghasilkan keuntungan ekonomi dimana hal ini disebut sebagai

komodifikasi. Berdasarkan penjelasan Surbakti (2009) dalam Prasetyo 2011 komodifikasi

adalah proses yang diasosiasikan dengan kapitalisme dimana objek, kualitas dan simbol

dijadikan sebagai komoditas yang tujuan utamanya adalah untuk dijual di pasar. Berdasarkan

pe dapat tersebut, Uta a 2009 dala Prasetyo e u jukka bahwa ilai ti ggi

kebudayaan tidak sekedar diukur dengan menunjuk pada kandungan filosofis atau kearifan

tradisional tetapi dapat dilihat pula dari nilai rupiah atau harga jualnya. Hal tersebut

menunjukkan bahwa keunikan suatu budaya mempunyai daya tarik tersendiri sehingga

meningkatkan nilai jual dari produk-produk budaya yang sudah ada ataupun menginisiasi

reproduksi budaya yang telah ada dan diciptakan ulang.

Menurut hasil wawancara dengan Abah Ukat, pada awal terbentuknya Kampung

Budaya Sindang Barang tidak terpikirkan niat untuk mencari uang. Namun setelah beberapa

bulan berjalan dan tidak ada bantuan dana dari pemerintah untuk pemeliharaan dan

operasional Kampung Budaya Sindang Barang maka pengelola pun mencari cara menjaga

kebelangsungan Kampung Budaya Sindang Barang dengan cara komersial. Hal ini juga

mendapat dukungan dari pemerintah asalkan idak merubah esensi budaya dan tradisi yang

dipegang oleh Kampung Budaya Sindang Barang. Biaya pemeliharaan Kampung Budaya

Sindang Barang untuk membayar tenaga kerja yang membersihkan dan merawat

bangunan-bangunan di Kampung Budaya Sindang Barang. Sedangkan biaya operasional ditujukan untuk

membayar penngajar di sanggar seni Giri Sundapura yang terdapat dalam Kampung Budaya

Sindang Barang.

15 Informasi dari http://kp-sindangbarang.com/?page_id=20 diakses pada tanggal 22 Desember 2016 Pukul 03.00 WIB

(23)

23 Apa yang dilakukan pengelola Kampung Budaya Sindang Barang menrupakan suatu

bentuk Kreativitas sosial sebagaimana yang dijelaskan Evers dan Korff dalam bukunya yang

berjudul Urbanisme di Asia Tenggara (2002). Kerativitas sosial adalah suatu definisi kehidupan

yang cukup serta upaya-upaya untuk menciptakan kondisi-kondisi yang dapat menghasilakn

kecukupan hidup itu. Dalam hal ini pengelola Kampung Budaya Sindang Barang sebagai pihak

yang mempunyai kekuasaan atas simbol-simbol budaya sunda mencoba mengerahkan

sumberdayanya dalam bentuk komodifikasi budaya sunda. Akan tetapi proses komodifikasi

budaya yang mereka lakukan bukan merupakan usuran ekonomi murni melainkan menjadi

urusan yang ditata oleh hubungan-hubungan sosial berupa nilai-nilai budaya dan tradisi sunda

tradisional. Motif ekonomi yang mereka lakukan dilakukan merupakan suatu pemenuhan

kebutuhan dasar yang bertujuan untuk keberlangsungan Kampung Budaya Sindang Barang.

Menurut Abah Ukat pemasukan dari wisata budaya di Kampung Budaya Sindang

Barang bukan semata-mata tujuan utama. Pemasukan yang mereka dapatkan hanya cukup

untuk kebutuhan keberlangsungan Kampung Budaya Sindang Barang. Dalam hal ini dapat

dilihat dari cakupan wisata yang Kampung Budaya Sindang Barang tentukan yaitu merupakan

wisata minat sejarah dan budaya yang masuk ke dalam kelompok obyek dan daya tarik wisata

budaya. Dalam Undang-undang Nomor 5 tahun 1992 tentang Benda Cagar Budaya, telah

diamanatkan bahwa pelestarian dan pemanfaatan Benda Cagar Budaya adalah untuk

meningkatkan kualitas kehidupan bangsa, baik dari segi kebudayaan, pendidikan, pariwisata

dan sebagainya. Dengan demikian Benda Cagar Budaya baik yang bergerak maupun yang

tidak dapat dimanfaatkan untuk kepentingan pariwisata dengan tetap memperhatikan

pelestariannya (Dahlan, 2009).

Pengembangan wisata budaya yang mereka lakukan adalah dengan membuat

paket-paket aktivitas berupa paket-paket belajar kesenian, paket-paket upacara Serentaun, paket menginap

dengan aktifitas tradisional sunda, outbond dan penjelajahan yang masih selaras dengan

konteks budaya tradisional sunda dan sejarah Sindang Barang. Menurut Abah Ukat jika hanya

bertujuan mendapatkan keuntungan yang besar, maka Kampung Budaya Sindang Barang bisa

saja membangun kolam renang atau tempat bermain anak yang bersifat modern, namun hal

tersebut meleceng dari esensi dibangunnya Kampung Budaya Sindang Barang sebagai tempat

pelestarian budaya Sunda tradisonal.

Menurut Evers dan Korff (2002) dampak dari kreativitas sosial terhadap ekonomi

(24)

24 terhadap bisnis-bisnis besar melalui spekulasi dan diperolahnya segmen-segmen ekonomi

yang dengan adanya kondisi-kondisi baru mungkin menjadi menguntungkan. Hal ini sejalan

dnegan tindakan pengelola Kampung Budaya Sindang Barang dalam mengolah komodifikasi

budaya dengan pembuatan paket-paket wisata budaya.

Kreativitas sosial juga berdampak pada masyarakat secara keseluruhan karena

mempenagruhi terhadap perubahan norma-norma dan nilai-nilai serta terciptanya

bentuk-bentuk hubungan sosial, komunikasi, dan interaksi baru (Evers dan Korff, 2002). Pada awal

terbentuknya Kampung Budaya Sindang Barang. Pengunjung Kampung Budaya Sindang

Barang pada waktu itu masih sedikit dan dalam rangka menarik minat wisatawan, Pengelola

Kampung Budaya Sindang Barang membuat proposal dan penawaran secara tertulis ke

sekolah-sekolah. Kemudian setelah adanya liputan mengenai wisata budaya di Kampung

Budaya Sindang Barang oleh stasiun televisi, kemudian dibarengi dengan informasi mengenai

Kampung Budaya Sindang Barang di media elektronik membuat eksistensi Kampung Budaya

Sindang Barang diketahui masyarakat luas sehingga berdampak pada meningkatnya

pengunjung Kampung Budaya Sindang Barang. Selain itu pengelola Kampung Budaya Sindang

Barang juga membuat situs internet yang berisi informasi profil Kampung Budaya Sindang

Barang dan paket-paket wisata yang ditawarkan. Ditambah dengan adanya informasi dari

situs internet milik pemerintah daerah dan blog pribadi dari pengunjung menmbagikan

pengalamannya setelah berkunjung ke Kampung Budaya Sindang Barang memudahkan

masyarakat dalam mengakses informasi mengenai Kampung Budaya Sindang Barang.

Menurut Susamto (2008) situs dalam internet menjadi penanda berpindahnya ruang

lokalitas yang semula hanya lokalitas secara harfiah menjadi lokalitas imajiner. Lokalitas

secara geografis Sindang Barang sebagai masyarakat trasnsisi yang sehari-harinya bertemu

secara bertatapan muka, terikat kekeluargaan yang kuat, jarang berpindah ke wilayah lain,

menjadi potret masyarakat sindang barnag yang dapat dilihat orang lain dari jarak yang telah

kabur. Masuknya lokaslitas secara geografis ini dalam ruang global teknologi informasi

menjadikan keberadaan Sindnag Barang yang kampung dalam posisi hibrida16.

16 Homi Bhabha (1994) dalam Hajad (2014) mengajukan sebuah dasar dalam identitas hibrida yaitu konsep mimikri untuk

(25)

25 Kemudian dalam penjelasan lanjutan mengenai perubahan nilai akibat perkembangan

teknolgi dna informasi ini dijelaskan dalam Susamto (2008) yang menyimpulkan bahwa terkait

rekonstruksi Serentaun yang dilakukan oleh Kampung Budaya Sindang Barang telah

kehilangan keaslian dan kesakralannya karena budaya lokal yang telah menjadi komoditas

pariwisata global dengan teknologi informasi telah berubah menjadi tidak orisinil budaya

lokal.

Penjelasan tersebut menunjukkan adanya pengaruh perubahan nilai budaya sunda

akibat perubahan komunikasi dan perkembangan teknologi informasi yang modern. Namun

hal ini merupakan suatu respon dari Kampung Budaya Sindang Barang dalam melakukan

strategi ekonomi yang menjamin keberlangsungan Kampung Budaya Sindang Barang yang

mendukung secara langsung terhadap kelestarian dan keberadaan budaya Sunda. Proses ini

tidak terhindarkan lagi ditengah arus globalisasi ditengah perkembangan kota-kota di

(26)

26

IV.

KESIMPULAN

IV.1. Kesimpulan

Kampung Budaya Sindang Barang adalah suatu kampung adat Sunda yang terletak di

Desa Pasireurih Kecamatan Taman Sari Kabupaten Bogor. Menurut sejarahnya Kampung

Sindang Barang sudah ada sejak abad ke XII dan terpapar dalam Babad Pajajaran dan tertulis

juga dalam pantun Bogor. Kebudayaan Sunda yang masih kental tercermin dalam perilaku

kehidupan masyarakatnya sehari-hari. Selain itu di Kampung Budaya Sindang barang masih

mempertahankan aspek kebudayaan lokal kerajaan Pajajaran, dimana terdapat situs sejarah

Pakuan Sindang Barang, upacara tradisional dan berbagai kesenian tradisional Sunda.

Dalam pembentukan Kampung Budaya Sindang Barang tercipta dari rasa memiliki

yang besar akan budaya lokalnya yang mempunyai niat mulia akan kelestarian budayanya.

Namun selain itu terdapat motif ekonomi yang ditemukan dalam komodifikasi budaya di

Kampung Budaya Sindang Barang. Hal ini merupakan suatu bentuk negosisasi dengan

tuntutan globalisasi dan kapitalisme yang ada. Proses pembentukan ruang dalam bentuk

kampung budaya dan komodifikasi budaya yang mereka lakukan merupakan suatu bentuk

adaptasi terhadap globalisasi dengan menciptakan wisata budaya yang mempunyai nilai

ekonomi yang menurut pengelola atau kokolot Kampung Budaya Sindang Barang bukan untuk

tujuan komersial melainkan keberlangsungan tujuan kelestarian Budaya Sunda di Kampung

Budaya Sindang Barang.

Strategi komodifikasi wisata budaya yang mereka lakukan adalah dengan membuat

paket-paket wisata yang masih selaras dengan konteks budaya tradisional sunda dan sejarah

Sindang Barang. Selain itu pemanfaatan perkembangan teknologi informasi berperan dalam

meningkatkan minat dan jumlah wisatawan yang datang ke Kampung Budaya Sindang Barang.

Walaupun merubah nilai kesakralan dan keasliannya sebagai budaya lokal namun hal tersebut

merupakan strategi yang Kampung Budaya Sindang Barang ditengah arus globalisasi ditengah

perkembangan kota-kota di Indonesia.

IV.2. Saran

Keberlangsungan Kampung Budaya Sindang Barang yang telah berjalan selama 10

(27)

27 Namun perlu juga diperhatikan tantangan dan kendala yang sekarang dihadapi oleh Kampung

Budaya Sindang Barang. Konsistensi pengelola dalam menjalankan komodifikasi budaya di

Kampung Budaya Sindang Barang agar masih dalam jalur budaya lokal Sunda tradisional perlu

dipertahankan dan dilanjutkan ke generasi berikutnya. Karena perubahan ataupun inovasi

ayng tidak sesuai konteks budaya Sunda tradisonal akan mengurangi nilai dan kesakralan dari

tujuan pelestarian budaya Sunda. Hal ini juga didukung dengan dengan dukungan masyarakat

sekitar yang menginginkan bahwa komodifikasi budaya yang dilakukan Kampung Budaya

Sindang Barang agar tidak melenceng dari budaya sebenarnya atau dalam taraf yang rendah.

Hal ini dijelaskan dalam hasil penelitian yang dilakukan Prasetyo (2011) yang menjelaskan

bahwa Hubungan antara komodifikasi upacara tradisional Serentaun dengan pembentukan

identitas komunitas Kampung Budaya Sindang Barang menunjukan hubungan yang signifikan.

Semakin rendah proses komodifikasi upacara tradisional Serentaun maka semakin kuat

pembentukan identitas komunitas Kampung Budaya Sindang Barang. Hal ini dapat dijelaskan

karena terdapat hubungan yang signifikan pula antara komodifikasi upacara tradisional

Serentaun dengan motif dan perilaku melaksanakan upacara tradisional Serentaun.

Selain itu perlu adanya transparansi dalam pengelolaan keuangan dari Kampung

Budaya Sindnag Barang agar tercipta suatu keterbukaan informasi sehingga proses

komersialisasi budaya yang dilakukan Kampung Budaya Sindnag Barang sesuai dengan tujuan

awal untuk keberlangsungan pelestarian budaya sunda di Kampung Budaya Sindang Barang.

Kemudian belum adanya payung hukum yang melindungi Kampung Budaya Sindang

Barang membuatnya rentan akan intervensi masalah hukum. Kekuatan hukum mereka

sebatas legitimasi yang bersifat tidak resmi mengenai dukungan pemerintah provinsi dan

kabupeten akan keneradaan Kampung Budaya Sindang Barang. Selain itu komoditas seperti

lahan pertanian dan situs-situs budaya perlu dukungan dari pemerintah dan masyarakat

setempat karena beberapa situs terlihat tidak terawat. Perlu adanya peraturan yang

mengatur perlindungan suatu kawasan seperti pentapan cagar budaya agar pembangunan di

(28)

28

V.

DAFTAR PUSTAKA

Dahlan, M. Zaini. 2009. Perancanaan Lanskap Kawasan Wisata Budaya di Kampung Budaya

Sindang Barang, Desa Pasireurih, Kecamatan Taman Sari, Kabupaten Bogor. Skripsi.

Departemen Arsitektur Lanskap. Fakultas Pertanian. Institut Pertanian Bogor. Bogor

Evers, H-D dan R. Korff. 2002. Urbanisme di Asia Tenggara. Jakarta. Yayasan Obor Indonesia

Hajad, Vellayati. 2014. Relasi Kuasa dalam Pembentukan Identitas Hibida di Kawasan

Transmigrasi Kabupaten Nagan Raya Propinsi Aceh. Tesis. Fakultas Ilmu Sosial dan Politik.

Universitas Gajah Mada. Yogyakarta

Halim, Anugrah P. F. 2008. Identifikasi Bangunan Berundak Pasir Karamat di Kampung

Sindangbarang Desa Pasireurih Bogor Jawa Barat. Skripsi. Fakultas Ilmu Pengetahuan

Budaya. Universitas Indonesia. Depok

Prasetyo, Untung. 2011. Komodifikasi Upacara Tradisional Serentaun Komodifikasi Upacara

Tradisional Serentaun dalam Pembentukan Identitas Komunitas (Kasus : Kampung

Budaya Sindangbarang, Desa Pasireurih, Kecamatan Taman Sari, Kabupaten Bogor, Jawa

Barat). Skripsi. Departemen Sains Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat, Fakultas

Ekologi Manusia, Institut Pertanian Bogor. Bogor

Suparlan, Parsudi. 2004. Masyarakat dan Kebudayaan Perkotaan : Perspektif Antroplogi

Perkotaan. Yayasan Pengembangan Kajian Ilmu Kepolisian. Jakarta

Susamto, Dina Amalia. 2008. Hibrida Lokal-Global pada Politik Komodifikasi Budaya

Serentaun Rekonstruktif, Upacara Tahunan Masyarakat Sunda, di Sindang Barang

Kabupaten Bogor. Tesis. Program Pascasarjana Departemen Ilmu Susastra. Fakultas Ilmu

Pengetahuan Budaya. Universitas Indonesia.Depok

Tjahjono, Gunawan. 2003. Reviving the Betawi Tradition : The Case of Setu Babakan,

Indonesia. International Association for The Study of Traditional Environments. ( Sumber

: http://iaste.berkeley.edu/pdfs/15.1e-Fall03tjahono-sml.pdf diakses pada tanggal 22

Gambar

Gambar 1. Peta Administrasi Desa Pasir Eurih
Gambar 2.  Akses menuju Kampung Budaya Sindang Barang dari Stasiun Bogor (Sumber : Google Maps)
Gambar 4. Lahan pertanian di Desa Pasireurih
Tabel 1. Presentase Penduduk Desa Pasir eurih berdasarkan Mata Pencaharian
+2

Referensi

Dokumen terkait

a) Menyusun dan melaksanakan kebijakan dan strategi pada tingkat kabupaten/kota di bidang perumahan dan kawasan permukiman dengan berpedoman pada kebijakan dan

Hasil uji hipotesis ditemukan bahwa variabel Stres Kerja dalam penelitian ini memiliki pengaruh yang signifikan terhadap Kinerja Pegawai khususnya pada responden di

Hasil penelitian pemantauan kehilangan hasil di lapang menunjukkan bahwa populasi dan serangan OPT yang dominan adalah Penggerek Batang, yang mencapai batas Ambang Kendali,

Untuk mengatasi permasalahan tersebut di atas, maka penelitian ini bertujuan untuk membuat aplikasi yang mempunyai fungsionalitas dapat menyediakan fungsionalitas

penduduk pada Pulau Jawa dan Bali dari tahun 1971-2005 dapat dilihat pada.

Skenario Pembelajaran Direct Instruction Fundamental Skill ……… 74. Angket Uji Coba Situational Interest Scale (Sis)

Angkasa Pura I (Persero) Bandar International Juanda dalam mempertahankan citra perusahaan adalah bermula proses pembentukan citra yang

Meskipun demikian, sekurangnya terdapat sepuluh orang perempuan yang melakukan migrasi tipe ini, dan karena mereka bermigrasi ke tempat yang tidak ada pihak yang berhubungan saudara