• Tidak ada hasil yang ditemukan

Karakteristik Pelaksanaan Seksio Sesarea Terencana pada Kehamilan Pertama di RSUP H. Adam Malik dan RSUD Dr. Pirngadi pada Tahun 2012

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Karakteristik Pelaksanaan Seksio Sesarea Terencana pada Kehamilan Pertama di RSUP H. Adam Malik dan RSUD Dr. Pirngadi pada Tahun 2012"

Copied!
15
0
0

Teks penuh

(1)

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Definisi Seksio Sesarea

Seksio sesarea didefinisikan sebagai suatu metode persalinan dengan cara melakukan insisi pada dinding abdomen (laparotomi) dan dinding rahim (histerotomi). Pengangkatan janin dalam rongga abdomen dalam kasus rupturnya uterus atau kehamilan ektopik tidak termasuk dalam definisi ini (Cunningham, et al., 2010).

2.2. Sejarah Seksio Sesarea

Asal-usul dari istilah caesarean masih belum jelas, dan ada tiga penjelasan yang diajukan (Cunningham, et al., 2010). Pertama, menurut legenda, Julius Caesar lahir dengan cara tersebut, sehingga prosedur tersebut disebut operasi sesar (Caesarean operation). Namun ada beberapa kenyataan yang melemahkan pernyataan ini. Pertama, ibu Julius Caesar hidup selama bertahun-tahun setelah melahirkan pada tahun 100 SM, sementara hingga abad ke-17, operasi tersebut hampir selalu berakibat fatal. Kedua, tindakan operasi tersebut, baik dilakukan pada orang yang hidup atau mati, tidak disebutkan oleh penulis di bidang medis sebelum abad pertengahan. Rincian sejarah mengenai asal-usul nama keluarga Caesar dapat ditemukan di monografi yang ditulis oleh Pickrell (1935).

Penjelasan kedua menyatakan bahwa nama dari operasi sesar berasal dari hukum Romawi, konon diciptakan pada abad ke-8 SM oleh Numa Pompilius, yang memerintahkan supaya prosedur tersebut dilaksanakan pada wanita sekarat yang sedang dalam minggu-minggu terakhir kehamilan dengan harapan untuk menyelamatkan anaknya. Lex legia (aturan atau hukum raja) ini kemudian diubah menjadi lex caesarea di bawah kekaisaran, dan operasi tersebut kemudian dikenal sebagai operasi sesar. Istilah Jerman untuk operasi sesar, Kaiserschnitt (Kaiser cut), mencerminkan pernyataan ini.

(2)

tampaknya paling logis, tetapi kapan tepatnya penamaan ini digunakan untuk pertama kalinya masih belum diketahui. Dikarenakan istilah section berasal dari kata Latin seco, yang juga berarti memotong, istilah caesarean section sepertinya berlebihan. Oleh sebab itu, maka mulai digunakanlah istilah caesarean delivery.

2.3. Klasifikasi Seksio Sesarea

Klasifikasi seksio sesarea secara umum dibagi menjadi dua (NHS Choices, 2012), yaitu:

1. Seksio sesarea terencana (elektif), yaitu ketika kebutuhan akan operasi mulai terlihat pada masa kehamilan.

2. Seksio sesarea emergensi, yaitu ketika kondisi pada masa persalinan membutuhkan proses persalinan yang cepat.

Klasifikasi seksio sesarea berdasarkan orientasi (transversal atau vertikal) dan letak (segmen bawah atau atas) dari insisi uterus (Mariman & Chou, 2008):

1. Insisi transversal bawah (Kerr)

2. Insisi vertikal bawah (Sellheim atau Kronig) 3. Insisi klasik (Sanger)

Sumber: Mayo Clinic

(3)

2.4. Indikasi Seksio Sesarea Terencana 1. Kelainan letak/malpresentasi janin  Presentasi bokong (breech presentation)

Sekitar 4% dari seluruh kehamilan pertama merupakan presentasi bokong (NCC-WCH, 2011). Proporsi presentasi bokong pada janin berkurang sesuai dengan peningkatan usia kehamilan: 3% pada bayi cukup bulan, 9% pada bayi dengan usia kehamilan 33-36 minggu, 18% pada bayi dengan usia kehamilan 28-32 minggu, dan 30% pada bayi dengan usia kehamilan di bawah 28 minggu (Thomas, et al., 2001). Pelaksanaan seksio sesarea pada kehamilan cukup bulan dengan presentasi bokong memiliki penurunan risiko absolut (absolute risk reduction) kematian perinatal/neonatus atau morbiditas berat pada neonatus sebanyak 3,4%, dengan demikian, untuk setiap 29 seksio sesarea pada kehamilan cukup bulan dengan presentasi bokong, 1 bayi akan terhindar dari kematian ataupun morbiditas yang serius (NCC-WCH, 2011).

 Letak lintang (transverse lie)

Kelainan letak lintang merupakan kasus yang cukup jarang. Sekitar 1 dari 300 kelahiran merupakan kelainan letak lintang. Mortalitas perinatal meningkat dengan kelainan letak lintang, oleh karena komplikasi prematuritas, kelainan kongenital, prolaps tali pusat, dan trauma pada saat persalinan. Mortalitas dan

Sumber: Pitkin et al., 2003

(4)

morbiditas ibu juga meningkat dan biasanya berhubungan dengan infeksi pasca seksio sesarea dan perdarahan. (Vadhera & Locksmith, 2004)

Kelainan letak lintang hampir selalu merupakan indikasi seksio sesarea (Cunningham, et al., 2010). Versi sefalik eksternal juga dapat dilakukan, akan tetapi keberhasilan versi eksternal tidak menjamin keberhasilan persalinan pervaginam oleh karena penyebab kelainan letak lintang biasanya juga mempengaruhi proses persalinan. (O'Grady & Fitzpatrick, 2008)

Sumber: Mayo Clinic Gambar 2.3. Kelainan letak lintang 2. Kehamilan multipel

Kehamilan multipel merupakan indikasi utama dari 1% kasus seksio sesarea. Sekitar 59% dari seluruh kehamilan kembar dilahirkan dengan seksio sesarea. Angka seksio sesarea bervariasi berdasarkan usia kehamilan, 60% wanita dengan kehamilan kembar yang cukup bulan melahirkan dengan metode seksio sesarea, sedangkan pada wanita dengan usia kehamilan di bawah 28 minggu, angka kejadian seksio sesarea di bawah 29%. Dari seluruh seksio sesarea terencana untuk kehamilan multipel, presentasi bokong untuk anak kembar pertama merupakan indikasi yang paling banyak dilaporkan (14%). (Thomas, et al., 2001)

3. Kelahiran prematur

(5)

peningkatan morbiditas dan mortalitas neonatus. Akan tetapi, peran seksio sesarea dalam menurunkan morbiditas dan mortalitas masih belum diketahui dengan pasti, dan oleh karena itu, maka NICE Clinical Guideline menganjurkan bahwa seksio sesarea tidak dilakukan secara rutin selain untuk konteks penelitian (2004). Data ini juga didukung oleh penelitian pada tahun 2009 di Genewa University Hospital yang mendapatkan bahwa morbiditas dan mortalitas bayi dengan kelahiran prematur berhubungan dengan usia kehamilan, dan kelahiran dengan seksio sesarea terencana justru memiliki morbiditas dan mortalitas yang lebih tinggi dibandingkan persalinan pervaginam terencana (Luca, et al., 2009).

4. Kecil untuk masa kehamilan (small-for-gestational age)

Janin-janin kecil untuk masa kehamilan berisiko mengalami lahir mati (stillbirth), lahir dengan hipoksia, komplikasi neonatus, dan gangguan perkembangan saraf. Namun kebanyakan bayi cukup bulan yang kecil untuk masa kehamilan tidak memiliki morbiditas dan mortalitas yang siknifikan (NCC-WCH, 2011). Berdasarkan Green-top Guideline No.31 tahun 2013, belum ada RCT (Randomized Clinical Trial) mengenai metode persalinan pada janin-janin kecil untuk masa kehamilan. Namun untuk janin-janin dengan umbilical artery with absent or reversed end-diastolic velocities disarankan untuk dilakukan seksio sesarea (Royal College of Obstetrics and Gynecologists, 2013).

5. Plasenta previa

(6)

Sumber: Scearce & Uzelac, 2007

Gambar 2.4. Jenis-jenis plasenta previa. A: Marginal; B: Parsial; C: Totalis

6. Disproporsi sefalopelvik (cephalopelvic disproportion)

Disproporsi sefalopelvik adalah suatu keadaan di mana kepala janin terlalu besar untuk melewati pelvis ibu (EGC, 1998). Disproporsi sefalopelvik dapat terjadi karena kapasitas pelvis yang kurang, bayi yang terlalu besar, ataupun gabungan kedua hal tersebut (Cunningham, et al., 2010).

Adanya penyempitan diameter-diameter pelvis yang mengurangi kapasitas pelvis dapat menyebabkan distosia pada saat persalinan, baik pada pintu atas panggul (pelvic inlet), midpelvis, ataupun pintu bawah panggul (pelvic outlet). Diameter normal pelvis dapat dilihat pada gambar 2.5 dan 2.6. (Cunningham, et al., 2010)

Sumber: Cunningham, et al., 2010

(7)

Sumber: Cunningham, et al., 2010

Gambar 2.6. Diameter-diameter pintu bawah panggul (pelvic outlet)

Fraktur pelvis dapat menyebabkan penyempitan panggul akibat pembentukan kalus atau malunion. Trauma akibat kecelakaan lalu lintas merupakan penyebab paling sering dari fraktur pelvis. Adanya riwayat fraktur pelvis pada wanita hamil memerlukan pemeriksaan radiografi yang lebih lanjut. (Cunningham, et al., 2010)

Faktor-faktor yang menyebabkan janin yang besar adalah diabetes, faktor genetik, kehamilan postterm, dan mutiparitas. Ukuran janin sendiri masih belum bisa digunakan untuk memprediksi kejadian disproporsi sefalopelvik karena sebagian besar kasus disproporsi masih berada dalam batas normal. Oleh karena itu, faktor lain seperti malposisi kepala janin, berperan dalam menghalangi penurunan janin melalui jalan lahir. Berbagai cara telah dikemukakan untuk memprediksi kejadian disproporsi sefalopelvik dari ukuran kepala janin, namun belum ada yang memberikan hasil yang akurat. (Cunningham, et al., 2010)

7. Transmisi ibu ke anak (mother-to-child transmission/MTCT)

 HIV

(8)

pada satu penelitian pada pasien dengan viral load <400 kopi/mL didapati penurunan MTCT sebanyak 80% (Boer, et al., 2010). Hasil ini diduga diakibatkan oleh dimasukkannya ibu yang tidak mendapatkan terapi antiretroviral sebagai subjek penelitian, dan oleh karena itu, NICE Clinical Guideline (2011) merekomendasikan untuk melakukan seksio sesarea pada ibu hamil yang tidak mendapatkan terapi antiretroviral. Selain itu, karena rendahnya kualitas penelitian mengenai MTCT maka NICE Clinical Guideline (2011) juga merekomendasikan untuk menawarkan ibu hamil yang menjalani terapi antiretroviral dengan viral load >400 kopi/mL untuk melakukan seksio sesarea.

 Virus hepatitis B

Penemuan imunoglobulin dan vaksin hepatitis B menurunkan angka kejadian MTCT (NCC-WCH, 2011). Kebanyakan MTCT terjadi pada saat lahir atau postnatal. Transmisi pada saat lahir mungkin diakibatkan oleh mikroperfusi darah ibu ke sirkulasi neonatus pada saat pemotongan placenta atau tertelannya darah ibu, cairan amnion, atau sekret vagina pada saat persalinan pervaginam (NCC-WCH, 2011). Berdasarkan systematic review yang dilakukan oleh Yang dkk. (2008) didapati bahwa seksio sesarea terencana dapat menurunkan angka MTCT dari virus hepatitis B (seksio sesarea elektif: 10,5%; pervaginam: 28,0%) dan hasil tersebut signifikan menurut statistik (RR 0.41, 95% CI 0.28 to 0.60, P < 0.000001). Akan tetapi, kemungkinan biasnya cukup tinggi dikarenakan belum adanya RCT untuk penelitian ini.

 Virus hepatitis C

Penelitian-penelitian terbaru menunjukkan bahwa seksio sesarea tidak mengurangi angka MTCT untuk ibu dengan virus hepatitis C dengan HIV negatif (Cottrell, et al., 2013; Ghamar Chehreh, et al., 2011; European Paediatric Hepatitis C Virus Network, 2001). Akan tetapi, penelitian secara prospektif di Jepang mendapatkan hasil yang sebaliknya (Murakami, et al., 2012). Seksio sesarea yang dilakukan pada ibu dengan hepatitis C dan HIV positif dapat menurunkan kejadian MTCT (European Paediatric Hepatitis C Virus Network, 2001).

(9)

Infeksi herpes simplex virus (HSV) genital merupakan suatu infeksi menular seksual ulseratif yang dapat berulang dan berhubungan dengan morbiditas fisik dan psikologis. HSV pada neonatus dapat menyebabkan penyakit sistemik berat dan berhubungan dengan angka kematian yang tinggi. HSV pada neonatus dapat disebabkan oleh kontak antara bayi baru lahir dengan jalan lahir ibu yang terinfeksi (NCC-WCH, 2011).

Adanya lesi pada daerah genital dan/atau tes positif untuk virus HSV pada saat persallinan merupakan indikasi untuk seksio sesarea (Sauerbrei & Wutzler, 2007). NICE Clinical Guideline menganjurkan bahwa setiap infeksi genital HSV primer yang berlangsung pada trimester ketiga untuk dilakukan seksio sesarea terencana karena dapat menurunkan risiko infeksi HSV pada neonatus (NCC-WCH, 2011).

8. Permintaan ibu

Secara umum, seksio sesarea merupakan prosedur yang aman, terutama apabila sudah direncanakan sebelumnya. Angka seksio sesarea terus meningkat di seluruh dunia, dengan peningkatan proporsi yang dilakukan atas permintaan ibu dibandingkan dengan atas indikasi obstetri.

Dari berbagai studi dalam NICE Clinical Guideline, terdapat berbagai alasan mengapa seorang ibu memilih untuk menjalani seksio sesarea. Dalam studi tersebut, terdapat hubungan yang konsisten antara preferensi untuk seksio sesarea dengan seksio sesarea sebelumnya, pengalaman buruk dalam persalinan sebelumnya, komplikasi pada kehamilan saat ini, dan takut akan persalinan. (NCC-WCH, 2011)

(10)

9. Kelainan kongenital

Dengan perkembangan teknologi ultrasound, semakin banyak kelainan kongenital yang dapat dideteksi pada antenatal care. Dengan perkembangan bedah neonatus dan angka kehidupan pada bayi dengan kelainan kongenital, maka perlu ditentukan metode persalinan yang paling tepat apabila seorang janin diduga abnormal (O'Grady & Fitzpatrick, 2008). Dalam pengambilan keputusan harus dipertimbangkan apakah:

 kelainan janin dapat mengakibatkan distosia.

 mortalitas dan morbiditas janin ditingkatkan oleh persalinan pervaginam.  persalinan yang direncanakan dapat mencegah perburukan kondisi janin.  janin dapat bertahan hidup.

 diperlukan intervensi medis atau bedah pada saat lahir.

Prognosis janin dengan kelainan kongenital tidak dapat diprediksi sepenuhnya meskipun dengan evaluasi antepartum yang sangat baik sekalipun. Dokter dan pasien lebih memilih persalinan perabdominal atas dasar pertimbangan emosi dan ketidakpastian. Kondisi janin yang mungkin dapat memperoleh manfaat dari seksio sesarea (O'Grady & Fitzpatrick, 2008):

 hidrosefalus stadium lanjut dengan atau tanpa kelainan tabung saraf (neural tube defect) terbuka

 hernia diafragmatika

 teratoma sacrococcygeal yang besar

 aritmia jantung yang refrakter terhadap pengobatan  osteogenesis imperfecta

 kembar siam

 kelainan dinding abdomen (misalnya gastroschisis dan omphalocele) 10.Kelainan atau penyulit pada ibu

- Obesitas

(11)

47,8%. Selain itu, data dari Sebire dkk. (2001) menunjukkan bahwa wanita overweight (IMT: 25-29,9) memiliki risiko 1,2 kali lebih besar untuk menjalani seksio sesarea elektif dibandingkan dengan normal dan 1,4 kali lebih besar untuk wanita obese (IMT>30).

- Kelainan kardiovaskular

Pasien dengan kelainan kardiovaskular tidak dapat mentoleransi perubahan-perubahan fisiologis yang terjadi pada masa kehamilan. Umumnya, ibu hamil dengan kelainan kardiovaskular masih dapat menjalani persalinan pervaginam, tetapi harus dengan penanganan nyeri yang efektif dan alat bantu baik forsep atau vakum untuk mempersingkat proses persalinan yang dapat memperberat kondisi ibu. Seksio sesarea disarankan apabila terdapat indikasi obstetri pada ibu. (Cunningham, et al., 2010)

Seksio sesarea direkomendasikan pada pasien dengan aneurisma serebri atau malformasi arteri vena. Persalinan pervaginam dapat dilakukan setelah perbaikan dari malformasi arteri vena apabila tidak terdapat hipertensi, dan perlu penggunaan forsep atau vakum untuk mengurangi beban usaha pasien. Tidak banyak data yang dapat mendukung rekomendasi tersebut dan masih belum ada penelitian prospektif mengenai hal ini. (O'Grady & Fitzpatrick, 2008)

- Kelainan jaringan ikat

Marfan syndrome merupakan suatu kelainan autosomal dominan pada jaringan ikat dengan defek pada gen yang mengkode fibrillin pada kromosom 15 yang berhubungan dengan pembentukan elastin normal. Prevalensi Marfan syndrome berkisar antara 7 sampai 17 dari 100.000 orang. Kelainan ini bermanifestasi pada skeletal, okuler, dan kardiovaskular. Apabila tidak dijumpai kelainan kardiovaskular, maka persalinan pervaginam dapat dilakukan dengan anestesi epidural. Apabila dijumpai kelainan kardiovaskular, maka perlu dilakukan seksio sesarea oleh karena risiko terjadinya diseksi aorta. (O'Grady & Fitzpatrick, 2008)

(12)

dalam 100.000 kelahiran. Keparahan dari EDS pada kehamilan bergantung pada tipenya. Pada kasus EDS tipe 4 yang parah di mana aborsi tidak dilakukan, biasanya direncanakan untuk dilakukan seksio sesarea setelah minggu ke-32 untuk menghindari ruptur uteri atau pembuluh darah akibat kontraksi uterus.

- Kanker serviks

Metode persalinan yang tepat untuk kanker serviks masih kontroversial, terutama untuk lesi stadium awal (stadium I dan II). Persalinan perabdominal lebih disukai oleh karena adanya teori yang menyatakan bahwa tumor dapat menyebar apabila terjadi robekan pada serviks. Selain itu, lesi yang besar dapat mengalami perdarahan yang siknifikan dengan persalinan pervaginam. (Cunningham, et al., 2010)

- Cedera medulla spinalis (spinal cord injury)

Ibu hamil dengan lesi di atas T6 berisiko untuk mengalami autonomic hyperreflexia. Pada kondisi ini, adanya stimuli (persalinan, kateterisasi urin, pemeriksaan serviks atau rektum) dapat memicu refleks fokal yang tidak dihambat oleh sistem saraf pusat, yang mengakibatkan stimulasi dari sistem saraf simpatis. Diperlukan anestesi epidural untuk mengatasi kondisi tersebut. Pada beberapa pasien dengan cedera medulla spinalis, persalinan pervaginam masih memungkinkan oleh karena kekuatan kontraksi uterus masih cukup untuk mengeluarkan kepala janin sehingga dapat dilanjutkan dengan bantuan alat seperti forsep ataupun vakum. (Malee, 2003)

- Kelainan hematologis

(13)

2.5. Faktor-faktor yang Berhubungan dengan Peningkatan Kejadian Seksio Sesarea Terencana

Beberapa alasan yang mungkin menyebabkan peningkatan kejadian seksio sesarea terencana adalah sebagai berikut.

Rata-rata umur ibu semakin meningkat dan wanita yang lebih tua, terutama nullipara, memiliki risiko lebih tinggi terhadap seksio sesarea. Wanita saat ini juga memiliki anak lebih sedikit, sehingga dari seluruh kelahiran, lebih banyak di antaranya merupakan nullipara yang berisiko untuk menjalani seksio sesarea (Cunningham, et al., 2010). Penelitian di Oman mendapatkan bahwa 77,2% dari ibu yang menjalani seksio seksarea berumur 25 tahun ke atas (OR=1.42) (Al Busaidi, et al., 2012).

Seksio sesarea terencana semakin banyak dilakukan untuk berbagai indikasi termasuk pertimbangan cedera dasar panggul yang berhubungan dengan persalinan pervaginam, kelahiran prematur sebagai indikasi medis, mengurangi risiko cedera janin, dan permintaan pasien. Hampir semua janin dengan presentasi bokong dilahirkan dengan metode seksio sesarea. Berkurangnya penggunaan forsep dan vakum, serta persalinan pervaginam pasca seksio sesarea (vaginal birth after cesarean) juga berperan dalam peningkatan kejadian seksio sesarea. (Cunningham, et al., 2010)

Prevalensi obesitas meningkat secara siknifikan di seluruh dunia. Obesitas berhubungan dengan berbagai morbiditas ibu yang meningkatkan risiko seksio sesarea, seperti diabetes mellitus, hipertensi, makrosomia, dan sebagainya. (Cunningham, et al., 2010)

2.6. Komplikasi Seksio Sesarea Terencana

Komplikasi pasca operasi yang dapat terjadi (Mariman & Chou, 2008): 1. Endomiometritis

a. Rata-rata insidensi endomiometritis adalah 34% sampai 40%

(14)

c. Etiologi infeksi biasanya polimikrobial.

d. Penggunaan antibiotik profilaksis pada saat pelaksanaan prosedur mengurangi insidensi. Dengan penggunaan antibiotik spektrum luas, insidensi dari komplikasi yang serius seperti sepsis, abses pelvis dan septic thrombophlebitis, kurang dari 2%.

2. Infeksi saluran kemih

a. Infeksi saluran kemih merupakan komplikasi infeksi kedua terbanyak pasca seksio sesarea setelah endomiometritis. Insidensi bervariasi dari 2% sampai 16%.

b. Risiko infeksi saluran kemih dapat dikurangi dengan persiapan pasien yang baik dan meminimalisir durasi penggunaan kateter.

3. Infeksi pada luka (wound infection)

a. Insidensi infeksi pada luka pasca seksio sesarea berkisar antara 2,5% sampai 16%.

b. Faktor risiko termasuk proses persalinan yang lama, ketuban pecah dini, amnionitis, obesitas, anemia, dan diabetes mellitus.

c. Bakteri yang sering diisolasi adalah Staphylococcus aureus, Escherichia coli, Proteus mirabilis, Bacteroides sp., dan streptokokus grup B.

4. Kelainan tromboembolik

a. Insidensi kelainan tromboembolik sekitar 0,24% dari seluruh kelahiran, dan deep vein thromboses terjadi tiga sampai lima kali lebih sering setelah seksio sesarea.

b. Diagnosa dan penanganan sama dengan pada wanita yang tidak hamil. Diagnosa dan penanganan yang cepat mengurangi risiko terjadinya komplikasi emboli pulmonal sebanyak 4,5% dan kematian sebanyak 0,7%.

5. Cesarean hysterectomy

(15)

b. Indikasinya meliputi uterus atonik (43%), plasenta akreta (30%), ruptur uteri (13%), ekstensi dari insisi melintang rendah (low transverse incision) (10%), leiomioma yang menghambat penutupan uterus, dan kanker serviks.

6. Ruptur uteri pada kehamilan berikutnya

a. Risiko ruptur dari bekas operasi sesar (scar) sebelumnya bervariasi bergantung pada lokasi insisinya.

i. Low transverse scar: kurang dari 1% ii. Low vertical scar: 0,5% - 6,5% iii. Classic scar: 10%

b. Pemisahan dari bekas operasi uterus dapat dikategorikan menjadi dehiscence atau ruptur

i. Dehiscence merupakan suatu pemisahan scar asimptomatik yang biasanya ditemukan secara tidak sengaja pada saat seksio sesarea berulang atau pada saat palpasi setelah kelahiran pervaginam. ii. Ruptur uteri merupakan suatu kejadian yang mengancam jiwa

Gambar

Gambar 2.1. Metode insisi pada seksio sesarea
Gambar 2.2.  Jenis-jenis presentasi bokong
Gambar 2.3. Kelainan letak lintang
Gambar 2.4. Jenis-jenis plasenta previa. A: Marginal; B: Parsial; C: Totalis
+2

Referensi

Dokumen terkait

atas partisipasinya dalam penyelenggaraan Ujian Tulis Penerimaan Mahasiswa Baru Jalur Seleksi Mandiri (SM) Gelombang Itr Universitas Negeri yogyakarta. Tahun 2009,

Pada hari ini SENIN tanggal LIMA BELAS Bulan OKTOBER Tahun DUA RIBU DUA BELAS, Panitia Pengadaan Barang dan Jasa Kanwil Kementerian Agama Provinsi Kalimantan Tengah Tahun

Kehra Penerimaan Mahasiswa Baru |alur seleksi Mandiri (sM) Gelombang I universitas Negeri yogyakana memberikan penghargaan. dan mengucapkan terima kasih,

Terhadap calon penyedia yang memenuhi Passing Grade (65) akan dilanjutkan dengan melakukan evaluasi penawaran harga. Demikian untuk diketahui, atas perhatiannya

Sunaryo

[r]

 Dengan mengamati media gambar berbagai pilihan kegiatan Siti, siswa dapat menunjukkan beberapa contoh perilaku yang bertentangan dengan aturan yang berlaku dalam

Universitas Negeri