• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pengaruh Tingkat Kecerdasan Emosional Dan Tingkat Kecerdasan Spiritual Terhadap Kinerja Karyawan di PDAM Tirtanadi Instalasi Pengolahan Air Limau Manis

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Pengaruh Tingkat Kecerdasan Emosional Dan Tingkat Kecerdasan Spiritual Terhadap Kinerja Karyawan di PDAM Tirtanadi Instalasi Pengolahan Air Limau Manis"

Copied!
16
0
0

Teks penuh

(1)

5

Kajian-kajian mengenai pengaruh kecerdasan emosional dan kecerdasan spiritual terhadap kinerja karyawan telah banyak dilakukan oleh peneliti-peneliti sebelumnya. Melalui penelusuran literatur hasil penelitian jurnal online/internet dan penelitian jurnal cetakan, kecerdasan emosional dan kecerdasan spiritual yang dihubungkan dengan kinerja karyawan.

Trihandini (2005) dalam penelitiannya yang berjudul “Analisis Pengaruh Kecerdasan Intelektual, Kecerdasan Emosi dan Kecerdasan Spiritual terhadap Kinerja Karyawan (Studi Kasus di Hotel Horison Semarang)”. Hasil penelitiannya menemukan bahwa seluruh hipotesis dalam penelitian ini telah terbukti secara signifikan. Kecerdasan intelektual, kecerdasan emosi dan kecerdasan spiritual berpengaruh positif dan signifikan terhadap kinerja karyawan. Variabel yang memiliki pengaruh paling besar adalah kecerdasan emosi. Implikasi pada penelitian ini adalah kecerdasan intelektual, kecerdasan emosi dan kecerdasan spiritual memiliki peran yang sama penting baik secara individu atau secara bersama-sama dalam meningkatkan kinerja karyawan.

Penelitian terdahulu di atas, mempunyai persamaan dengan penelitian yang dilakukan oleh penulis. Persamaannya adalah pada variabel bebas dan variabel terikatnya, yaitu sama-sama meneliti tentang pengaruh kecerdasan emosional dan kecerdasan spiritual, sedangkan perbedaannya adalah terletak di lokasi penelitian, yaitu Hotel, sedangkan penelitian ini lokasinya di perusahaan daerah air minum (PDAM).

Nasution (2010) dalam penelitiannya yang berjudul “Analisis Pengaruh Kecerdasan Intelektual, Kecerdasan Emosional dan Kecerdasan Spiritual Terhadap Kinerja Karyawan (Studi Kasus di Bank Rakyat Indonesia Cabang Bengkulu)”. Hasil penelitiannya menemukan bahwa bahwa kinerja karyawan Bank Rakyat Indonesia (Cabang Bengkulu) dipengaruhi oleh Kecerdasan Intelektual (IQ), Kecerdasan Emosional (EQ) dan Kecerdasan Spiritual (SQ).

Penelitian terdahulu di atas, mempunyai persamaan dengan penelitian yang dilakukan oleh penulis. Persamaannya adalah pada variabel bebas dan variabel terikatnya, yaitu sama-sama meneliti tentang pengaruh kecerdasan emosional dan kecerdasan spiritual, sedangkan perbedaannya adalah terletak di lokasi penelitiann, yaitu industri perbankan, sedangkan penelitian ini lokasinya di perusahaan daerah air minum (PDAM).

2.2 Landasan Teori 2.2.1 Pengertian Kinerja

Kinerja merupakan suatu konsep yang bersifat universal yang merupakan efektifitas operasional suatu organisasi, bagian organisasi, dan karyawannya berdasarkan standar dan kriteria yang telah ditetapkan sebelumnya. Organisasi pada dasarnya dijalankan oleh manusia maka

(2)

kinerja sesungguhnya merupakan perilaku manusia dalam memainkan peran yang mereka lakukan di dalam suatu organisasi untuk memenuhi standar perilaku yang telah ditetapkan agar membuahkan hasil dan tindakan yang diinginkan.

Kinerja karyawan secara umum merupakan hasil yang dicapai oleh karyawan dalam bekerja yang berlaku untuk suatu pekerjaan tertentu. Robins (2001) lebih lanjut mendefinisikan kinerja sebagai fungsi hasil interaksi antara kemampuan dan motivasi. Menurut (Simamora, 2001), maksud dan tujuan kinerja adalah menyusun sasaran yang berguna, tidak hanya bagi evaluasi kinerja pada akhir periode tertentu, melainkan hasil proses kerja sepanjang periode tersebut.

Menurut Mangkunegara (2001) bahwa, kinerja (prestasi kerja) adalah hasil kerja secara kualitas dan kuantitas yang dicapai oleh seorang karyawan dalam melaksanakan tugasnya sesuai dengan tanggung jawab yang diberikan kepadanya. Jadi dengan demikian kinerja (performance) adalah suatu hasil yang telah dikerjakan dalam rangka mencapai tujuan organisasi yang dilaksanakan secara legal, tidak melanggar hukum serta sesuai dengan moral dan tanggung jawab yang

dibebankan kepadanya. Menurut Dharma (2003) bahwa kinerja adalah sesuatu yang dikerjakan atau produk/jasa yang dihasilkan dan diberikan oleh seseorang atau sekelompok orang. Mathis dan Jackson (2002) berpendapat bahwa, kinerja pada dasarnya adalah apa yang dilakukan atau tidak dilakukan karyawan. Kinerja karyawan adalah yang mempengaruhi seberapa banyak mereka memberi kontribusi kepada organisasi yang antara lain termasuk: (1) kuantitas output, 2) kualitas output, (3) jangka waktu output, (4) kehadiran di tempat kerja, dan (5) sikap kooperatif.

Berdasarkan beberapa pendapat di atas, dapat disimpulkan bahwa kinerja karyawan merupakan hasil yang dicapai karyawan dalam pelaksanaan suatu pekerjaan yang diberikan kepadanya baik secara kuantitas maupun kualitas melalui prosedur yang berfokus pada tujuan yang hendak dicapai serta dengan terpenuhinya standard pelaksanaan.

2.2.2 Faktor-faktor yang Mempengaruhi Kinerja

Kinerja yang dicapai karyawan merupakan suatu hal yang sangat penting dalam menjamin kelangsungan hidup organisasi. Dalam mencapai kinerja yang tinggi ada beberapa faktor yang mempengaruhi untuk menjadi pemicu apakah kinerja karyawan tinggi atau rendah. Faktor yang mempengaruhi pencapaian kinerja yang baik, menurut Mathis dan Jackson (2001) diantaranya adalah : “Kemampuan, motivasi, dukungan yang diterima, keberadaan pekerjaan yang mereka lakukan dan hubungan mereka dengan organisasi.

Sedangkan menurut Mangkunegara (2000) faktor-faktor yang mempengaruhi kinerja adalah :

(3)

Motivasi terbentuk dari sikap (attitude) seorang karyawan dalam menghadapi situasi kerja. Motivasi merupakan kondisi menggerakkan diri karyawan yang terarah untuk mencapai tujuan organisasi.

b. Faktor Kemampuan

Secara psikologis, kemampuan (ability) karyawan terdiri dari kemampuan potensi (IQ) dan kemampuan reality (Knowledge+ skill). Artinya, karyawan yang memiliki IQ di atas rata-rata (IQ 110-120) dengan pendidikan yang memadai untuk jabatannya dan terampil dalam mengerjakan pekerjaan sehari-hari, maka ia akan lebih mudah mencapai kinerja yang diharapkan. Oleh sebab itu karyawan perlu ditempatkan pada pekerjaan yang sesuai dengan keahliannya.

Selanjutnya Stern dalam Mangkunegara (2006) menyatakan bahwa faktor-faktor yang mempengaruhi kinerja karyawan adalah faktor individu dan faktor lingkungan kerja organisasi. a. Faktor Individu

Secara psikologis, individu yang normal yang memiliki integritas yang tinggi antara fungsi psikis (rohani) dan fisiknya (jasmaniah). Dengan adanya integritas yang tinggi antara fungsi psikis dan fisik, maka inidividu tersebut memiliki konsentrasi diri yang baik. Konsentrasi yang baik ini merupakan modal utama individu manusia untuk mampu mengelola dan mendayagunakan potensi dirinya secara optimal dalam melaksanakan kegiatan atau aktivitas kerja sehari-hari dalam mencapai tujuan organisasi. Dengan kata lain, tanpa adanya konsentrasi yang baik dari individu dalam bekerja, maka mimpi pimpinan mengharapkan mereka dapat bekerja produktif dalam mencapai tujuan organisasi. Konsentrasi individu dalam bekerja sangat dipengaruhi oleh kemampuan potensi, yaitu kecerdasan pikiran/Intelegensi Quotiont (IQ) dan kecerdasan emosi/Emotional Quotiont (EQ).

b. Faktor Lingkungan Organisasi

Faktor lingkungan kerja organisasi sangat menunjang bagi individu dalam mencapai kinerja. Faktor lingkungan organisasi yang dimaksud antara lain uraian jabatan yang jelas, autoritas yang memadai, target kerja yang menantang, pola komunikasi kerja efektif, hubungan kerja harmonis, iklim kerja respek dan dinamis, peluang berkarir dan fasilitas kerja yang relatif memadai. Sekalipun, jika faktor lingkungan organisasi kurang mendukung, maka bagi individu yang memiliki tingkat kecerdasan pikiran memadai dengan kecerdasan emosi baik, sebenaranya ia tetap dapat berprestasi dalam bekerja. Hal ini bagi individu tersebut, lingkungan organisasi itu dapat diubah dan bahkan dapat diciptakan oleh dirinya serta merupakan pemacu (pemotivator), tantangan bagi dirinya dalam berprestasi di organisasinya. Timple dalam Mangkunegara (2006) menyatakan faktor-faktor kinerja terdiri dari faktor internal dan eksternal.

(4)

seseorang itu tipe pekerja keras, sedangkan seseorang mempunyai kinerja jelek disebabkan orang tersebut mempunyai kemampuan rendah dan orang tersebut tidak memiliki upaya-upaya untuk memperbaiki kemampuannya.

b. Faktor eksternal yaitu faktor-faktor yang mempengaruhi kinerja seseorang yang berasal dari lingkungan. Seperti perilaku, sikap dan tindakan-tindakan rekan kerja, bawahan atau pimpinan, fasilitas kerja, dan iklim organisasi.

Dari beberapa kutipan di atas dapat diambil kesimpulan bahwa kinerja seorang karyawan dipengaruhi oleh individu (internal) dan faktor yang ada di lingkungan kerja karyawan (faktor eksteral). Kinerja yang optimal selain didorong oleh motivasi seseorang dan tingkat kemampuan yang memadai, oleh adanya kesempatan yang diberikan, dan lingkungan yang kondusif. Meskipun seorang individu bersedia dan mampu, bisa saja ada rintangan yang jadi penghambat.

Kinerja karyawan setiap periodik perlu dilakukan penilaian. Hal ini karena penilaian kinerja karyawan tersebut nantinya dapat digunakan sebagai analisis untuk kebutuhan dilaksanakannya pelatihan (Ivancevich, 2001). Penilaian kinerja adalah proses evaluasi seberapa baik karyawan mengerjakan pekerjaan mereka ketika dibandingkan dengan satu set standar dan kemudian mengkomunikasikannya dengan para karyawan (Mathis dan Jackson, 2002).

2.2.3 Penilaian Kinerja

Untuk mengetahui tinggi-rendahnya kinerja seseorang, perlu dilakukan penilaian kinerja. Mangkunegara (2000) menyatakan bahwa: “Penilaian kinerja adalah suatu proses penilaian kinerja karyawan yang dilakukan pemimpin perusahaan secara sistematik berdasarkan pekerjaan yang ditugaskan kepadanya.

Sastrohadiwiryo (2002) menyatakan bahwa: “Penilaian kinerja adalah suatu kegiatan yang dilakukan manajemen/penyelia penilai untuk menilai kinerja tenaga kerja dengan cara membandingkan kinerja atas kinerja uraian/deskripsi pekerjaan dalam suatu periode tertentu biasanya setiap akhir tahun. Menurut Hasibuan (2005) bahwa: “Penilaian kinerja adalah menilai hasil kerja nyata dengan standar kualitas maupun kuantitas yang dihasilkan setiap karyawan. Menempatkan kebijaksanaan berarti, apakah karyawan akan dipromosikan, didemosikan, dan atau balas jasanya dinaikkan.”

Berdasarkan pendapat di atas, penilaian kinerja adalah suatu proses penilaian kinerja karyawan yang dilakukan pemimpin perusahaan secara sistematik berdasarkan pekerjaan yang ditugaskan kepadanya. Masalah penilaian kinerja merupakan suatu hal yang sangat penting, karena penilaian kinerja mempunyai banyak manfaat, baik bagi karyawan maupun perusahaan. Penilaian kinerja sangat perlu diperhatikan karyawan untuk pengembangan karier karyawan tersebut lebih lanjut.

(5)

keterampilan, kebersihan. Kuantitas kerja terdiri dari output dan penyelesaian kerja dengan ekstra. Keandalan terdiri dari mengikuti instruksi, inisiatif, kehati-hatian, kerajinan. Sedangkan sikap terdiri dari sikap terhadap perusahaan, karyawan lain dan pekerjaan serta kerjasama. Sedangkan Sastrohadiwiryo (2002) menyatakan unsur-unsur yang dinilai dalam penilaian kinerja antara lain : kesetiaan, prestasi kerja, tanggung jawab, ketaatan, kejujuran, kerja sama, prakarsa dan kepemimpinan.

Bernardin dan Russel dalam Rosyidi (2007) menyebutkan adanya enam kriteria untuk mengukur kinerja seorang karyawan, yaitu:

a. Quality, sejauh mana kemampuan menghasilkan sesuai dengan kualitas standar yang ditetapkan perusahaan.

b. Quantity, sejauh mana kemampuan menghasilkan sesuai dengan jumlah standar yang ditetapkan perusahaan.

c. Timeleness, tingkat sejauh mana suatu kegiatan diselesaikan pada waktu yang dikehendaki dengan memperhatikan koodinasi out put lain serta waktu yang tersedia untuk kegiatan lain. d. Cost of effectiveness, sejauh mana tingkat penerapan sumberdaya manusia, keuangan,

teknologi, dan material yang mampu dioptimalkan.

e. Need of supervision, sejauh mana tingkatan seorang karyawan untuk bekerja dengan teliti tanpa adanya pengawasan yang ketat dari supervisor.

f. Interpersonal input, sejauh mana tingkatan seorang karyawan dalam pemeliharaan harga diri, nama baik dan kerjasama, diantara rekan kerja dan bawahan.

Keseluruhan unsur/komponen penilaian kinerja di atas harus ada dalam pelaksanaan penilaian agar hasil penilaian dapat mencerminkan kinerja dari para karyawan. Secara umum, penilaian kinerja bertujuan untuk memberikan feedback kepada karyawan dalam upaya memperbaiki tampilan kerjanya dan upaya meningkatkan produktifitas organisasi, dan secara khusus dilakukan dalam kaitannya dengan berbagai kebijaksanaan terhadap karyawan, seperti tujuan promosi (pengembangan karier), kenaikan gaji, pendidikan dan pelatihan.

2.2.4 Tujuan dan Manfaat Penilaian Kinerja

Agar tercapainya tujuan perusahaan, maka diharapkan terjadinya hubungan yang harmonis pada pihak atasan dan bawahan. Dengan adanya penilaian kinerja karyawan dan pimpinan akan melakukan tugasnya seperti dalam hal berjalannya promosi jabatan terhadap karyawan, begitu pula sebaliknya. Tujuan penilaian kinerja karyawan menurut Hasibuan (2005), sebagai berikut :

a. Sebagai dasar pengambilan keputusan yang digunakan untuk promosi, demosi, pemberhentian dan penempatan besarnya balas jasa.

(6)

d. Sebagai dasar untuk mengevaluasi program latihan dan keefektifan jadwal kerja dan peralatan kerja, struktur organisasi, gaya pengawasan, kondisi kerja dan peralatan kerja.

e. Sebagai indikator untuk menentukan kebutuhan akan latihan bagi karyawan yang berada didalam organisasi.

f. Sebagai alat untuk mendapatkan motivasi kerja karyawan sehingga dicapai tujuan untuk mendapatkan performance kerja yang baik.

g. Sebagai alat untuk bisa melihat kekurangan atau kelemahan dan kelebihan dimasa lampau dan meningkatkan kemampuan karyawan selanjutnya.

h. Sebagai kriteria didalam menentukan seleksi dan penempatan karyawan. i. Sebagai alat memperbaiki atau mengembangkan kecakapan karyawan. j. Sebagai dasar untuk memperbaiki dan mengembangkan uraian pekerjaan.

Sedangkan menurut Sastrohadiwirjo (2002) penilaian kinerja dilakukan dengan tujuan sebagai berikut :

a. Sumber data untuk perencanaan ketenaga kerjaan dan kegiatan pengembangan jangka panjang bagi perusahaan yang bersangkutan.

b. Nasihat yang perlu disampaikan kepada para tenaga kerja dalam perusahaan.

c. Alat untuk memberikan umpan balik yang mendorong kearah kemajuan dan kemungkinan memperbaiki/meningkatkan kualitas kerja bagi para tenaga kerja.

d. Salah satu cara untuk menetapkan kinerja yang dihadapkan dari seorang pemegang tugas dan pekerjaan.

e. Landasan/bahan informasi dalam pengambilan keputusan pada bidang ketenagakerjaan baik promosi, mutasi maupun kegiatan ketenagakerjaan lainnya.

Menilai perilaku dan kinerja karyawan untuk kebijakan masa yang akan datang oleh pimpinan sebagai dasar untuk mengambil keputusan tentang promosi, mutasi, demosi dan lainnya adalah hal yang wajib dilakukan. Keselarasan hubungan yang baik antara pimpinan dengan bawahan adalah suatu akses yang diinginkan oleh perusahaan.

Menurut Handoko (2000) manfaat atau kegunaan-kegunaan penilaian kinerja antara lain adalah :

a. Perbaikan kinerja.

Umpan balik pelaksanaan kerja memungkinkan karyawan, manajer dan departemen personalia dapat memperbaiki kegiatan-kegiatan mereka demi perbaikan kinerja.

b. Penyesuaian-penyesuaian kompensasi

Evaluasi pretasi kerja membantu pada pengambil keputusan dalam menentukan kenaikan upah, pemberian bonus dan bentuk kompensasi lainnya.

c. Keputusan-keputusan penempatan

(7)

d. Kebutuhan-kebutuhan latihan dan pengembangan

Kinerja yang jelek mungkin menunjukan kebutuhan latihan. Demikian juga, kinerja yang baik mungkin mencerminkan potensi yang harus dikembangkan.

e. Perencanaan dan pengembangan karier.

Umpan balik kinerja seseorang karyawan dapat mengarahkan keputusan-keputusan karier, yaitu tentang jalur karier tertentu yang harus diteliti.

f. Penyimpangan-penyimpangan proses staffing.

Kinerja yang baik atau yang jelek mencerminkan kekuatan atau kelemahan prosedur staffing departemen personalia.

g. Ketidakakuratan informasional.

Kinerja yang jelek mungkin menunjukan kesalahan-kesalahan dalam informasi analisa jabatan, rencana-rencana sumber daya manusia, atau komponen-komponen sistem informasi manajemen personalia lainnya. Menggantungkan diri pada informasi yang tidak akurat dapat mengakibatkan keputusan-keputusan personalia yang diambil menjadi tidak tepat.

h. Kesalahan-kesalahan desain pekerjaan.

Kinerja yang jelek mungkin merupakan suatu tanda kesalahan dalam desain pekerjaan. Penilaian prestasi membantu diagnosa kesalahan-kesalahan tersebut.

i. Kesempatan kerja yang adil

Penilaian kinerja secara akurat akan menjamin keputusan-keputusan penempatan internal diambil tanpa diskriminasi.

j. Tantangan-tantangan ekstenal.

Kadang-kadang kinerja dipengaruhi oleh faktor-faktor di luar lingkungan kerja, seperti : keluarga, kesehatan, kondisi financial atau masalah-masalah pribadi lainnya. Dengan penilaian kinerja tersebut departemen personalia dimungkinkan untuk dapat menawarkan bantuan kepada semua karyawan yang membutuhkan atau yang diperkirakan memerlukan.

2.2.5 Pengertian Kecerdasan Emosi

Kecerdasan merupakan salah satu hal yang mempengaruhi kinerja seorang karyawan. Kecerdasan merujuk pada suatu kapasitas individu untuk mengerjakan berbegai tugas dalam suatu pekerjaan. Untuk lebih jelasnya berikut ini dikemukan pendapat para ahli tentang pengertian kecerdasan diantaranya menurut Robbins (2001) yang menyatakan: “Kecerdasan adalah suatu kapasitas individu untuk mengerjakan berbagai tugas dalam suatu pekerjaan.” Hasibuan (2005: “Kemampuan/kecerdasan menunjukkan potensi orang untuk melaksanakan pekerjaan.” Menurut Kreitner dan Kinicki (2003) : Kecerdasan adalah kapasitas berfikir, bernalar dan memecahkan persolan konstruktif.

(8)

tugas/pekerjaan tertentu dan keterampilan (skill) kecerdasan teknis untuk melakukan sesuatu dengan baik.

Sebelum membahas kecerdasan emosi terlebih dahulu diberikan pengertian emosi tersebut. Kata emosi berasal dari bahasa latin yang berarti movere yang diartikan bergerak/menggerakkan dan menjauh. Lebih lanjut dalam Kamus Bahasa Inggiris Oxford mendefenisikan emosi sebagai suatu kegiatan atau pergolakan pikiran, suatu keadaan biologis dan psikologis dan serangkaian kecenderungan untuk bertindak.

Salah satu definisi akurat tentang emosi diungkap Lazarus dalam Kreitner dan Kinicki (2003): Emosi adalah reaksi-reaksi organisme yang rumit dan terpola mengenai bagaimana kita berpikir mengenai apa yang kita lakukan sepanjang hidup untuk bertahan hidup dan memeriahkan hidup serta untuk mencapai apa yang kita inginkan untuk diri kita sendiri.

Emosilah yang seringkali menghambat orang tidak mau melakukan perubahan. Ada perasaan takut dengan apa yang akan terjadi, ada rasa cemas, ada rasa khwatir, ada pula rasa marah karena adanya perubahan. Hal tersebut itulah yang seringkali menjelaskan mengapa orang tidak mengubah polanya untuk berani mengikuti jalur-jalur menapaki jenjang kesuksesan. Hal ini sekaligus pula menjelaskan pula mengapa banyak orang yang sukses yang akhirnya kelewat puas dengan kondisinya, lantas takut melangkah. Berikutnya mereka menjadi orang yang gagal.

Emosi pada prinsipnya menggambarkan perasaan manusia menghadapi berbagai situasi yang berbeda. Oleh karena emosi merupakan reaksi manusiawi terhadap berbagai situasi nyata maka sebenarnya tidak ada emosi baik atau emosi buruk. Tantangan menonjol bagi pekerja saat ini terutama adalah bertambahnya jam kerja serta keharusan untuk mengelola hal-hal berpotensi stress dan berfungsi efektif di tengah kompleksitas bisnis. Selain itu pekerja dituntut mampu menempatkan kedupan kerja dan keluarga selalu dalam posisi seimbang. Tak hanya soal kemampuan logika, kini tantangan pekerjaan juga terletak pada kemampuan berelasi dan berempati. Dalam berkata, bertindak dan mengambil keputusan, seseorang membutuhkan kecerdasan emosi yang tinggi, sehingga mampu melihat sesuatu dari sudut pandang orang lain.

Emosi menjadi penting karena ekspresi emosi yang tepat terbukti bisa melenyapkan stress pekerjaan. Semakin tepat kita mengkomunikasikan perasaan, semakin nyaman perasaan kita. Ketrampilan manajemen emosi memungkinkan kita menjadi akrab dan mampu bersahabat, berkomunikasi dengan tulus dan terbuka dengan orang lain. Istilah kecerdasan emosi (EQ) baru dikenal secara luas pada pertengahan tahun 1990 dengan diterbitkannya buku Daneil Goleman

(9)

Dapat disimpulkan kecerdasan emosi dapat diartikan kemampuan untuk mengenali, mengelola dan mengekspresikan dengan tepat, termasuk untuk memotivasi diri sendiri, mengenali emosi orang lain, serta membina hubungan dengan orang lain. Jelas bila seorang individu mempunyai kecerdasan emosi tinggi, dapat hidup lebih bahagia dan sukses karena percaya diri serta mampu menguasai emosi atau mempunyai kesahatan mental yang baik.

Berdasarkan pengalaman, apabila suatu masalah menyangkut pengambilan keputusan dan tindakan, aspek perasaan sama pentingnya dan sering kali lebih penting daripada nalar. Emosi itu memperkaya; model pemikiran yang tidak menghiraukan emosi merupakan model yang miskin. Nilai-nilai yang lebih tinggi dalam perasaan manusia, seperti kepercayaan, harapan, pengabdian, cinta, seluruhnya lenyap dalam pandangan kognitif yang dingin, Kita sudah terlalu lama menekankan pentingnya IQ dalam kehidupan manusia. Bagaimanapun, kecerdasan tidaklah berarti apa-apa bila emosi yang berkuasa. Kecerdasan emosional menambahkan jauh lebih banyak sifat-sifat yang membuat kita menjadi lebih manusiawi.

2.2.6. Dimensi-Dimensi Kecerdasan Emosional

Kecerdasan yang dimiliki seorang ternyata tidak hanya sebatas kecerdasan intelektual (IQ) semata seperti yang selama ini kita kenal. Ada beberapa kecerdasan yang ikut mempengaruhi jalan keberhasilan dan kebahagiaan kita. Menurut Goleman (2005) terdapat lima dimensi atau komponen kecerdasan emosional (EQ) yang keseluruhannya diturunkan menjadi dua puluh lima kompetensi. Kelima dimensi atau komponen tersebut adalah:

a. Pengenalan diri, artinya mengetahui keadaan dalam diri, hal yang lebih disukai, dan intuisi. Kompetensi dalam dimensi pertama adalah mengenali emosi sendiri, mengetahui kekuatan dan keterbatasan diri, dan keyakinan akan kemampuan sendiri.

b. Pengendalian diri, artinya mengelola keadaan dalam diri dan sumber daya diri sendiri. Kompetensi dimensi kedua ini adalah menahan emosi dan dorongan negatif, menjaga norma kejujuran dan integritas, bertanggung jawab atas kinerja pribadi, luwes terhadap perubahan, dan terbuka terhadap ide-ide serta informasi baru.

c. Motivasi, artinya dorongan yang membimbing atau membantu peraihan sasaran atau tujuan. Kompetensi dimensi ketiga adalah dorongan untuk menjadi lebih baik, menyesuaikan dengan sasaran kelompok atau organisasi, kesiapan untuk memanfaatkan kesempatan, dan kegigihan dalam memperjuangkan kegagalan dan hambatan.

d. Empati, yaitu kesadaran akan perasaan, kepentingan, dan keprihatinan orang. Dimensi keempat terdiri dari kompetensi understanding others, developing others, customer service, menciptakan kesempatan-kesempatan melalui pergaulan dengan berbagai macam orang, membaca hubungan antara keadaan emosi dan kekuatan hubungan suatu kelompok.

(10)

pesan yang jelas, kemampuan menyelesaikan pendapat, semangat leadership, kolaborasi dan kooperasi, serta team building.

2.2.7 Faktor-faktor yang Mempengaruhi Kecerdasan Emosi

Secara fisik, bagian yang paling menentukan dan berpengaruh terhadap Kecerdasan Emosi seseorang adalah anatomi saraf emosinya atau dengan kata lain yaitu otaknya. Bagian yang digunakan untuk berpikir yaitu: korteks sebagai bagian yang berbeda dari bagian otak yang mengurus emosi yaitu sistem limbik.

Tetapi sesungguhnya hubungan antara kedua bagian inilah yang menentukan Kecerdasan Emosi seseorang. Shapiro (1997) mengemukakan beberapa faktor yang mempengaruhi perkembangan kecerdasan emosi, yaitu:

a. Fisik, secara fisik bagian yang paling menentukan atau paling berpengaruh terhadap perkembangan kecerdasan emosi seseorang adalah anatomi saraf emosinya atau dengan kata lain bagian otaknya. Bagian-bagian otak yang digunakan untuk berpikir yaitu korteks (kadang-kadang disebut neokorteks) sebagai bagian yang berbeda dari bagian otak yang mengurusi emosi yaitu sistem limbik, tetapi sesungguhnya hubungan antara keduanya inilah yang menentukan kecerdasan emosi seseorang.

b. Psikis, kecerdasan emosi selain dipengaruhi oleh kepribadian individu juga dapat dipupuk dan diperkuat dalam diri individu. Kecerdasan emosi tidak ditentukan sejak lahir.

Kecerdasan emosi selain dipengaruhi oleh kepribadian individu juga dapat dipupuk dan diperkuat dalam diri individu. Kecerdasan emosi tidak ditentukan sejak lahir tetapi dapat dilakukan melalui proses pembelajaran.

Ada beberapa faktor yang mempengaruhi kecerdasan emosi seseorang menurut Goleman (2005), yaitu:

a. Lingkungan keluarga. Kehidupan keluarga merupakan sekolah pertama dalam mempelajari emosi. Peran serta orang tua sangat dibutuhkan karena orang tua adalah subyek pertama yang perilakunya diidentifikasi, diinternalisasi yang pada akhirnya akan menjadi bagian dari kepribadian anak. Kecerdasan emosi ini dapat diajarkan pada saat anak masih bayi dengan contoh-contoh ekspresi. Kehidupan emosi yang dipupuk dalam keluarga sangat berguna bagi anak kelak di kemudian hari, sebagai contoh: melatih kebiasaan hidup disiplin dan bertanggung jawab, kemampuan berempati, kepedulian, dan sebagainya. Hal ini akan menjadikan anak menjadi lebih mudah untuk menangani dan menenangkan diri dalam menghadapi permasalahan, sehingga anak-anak dapat berkonsentrasi dengan baik dan tidak memiliki banyak masalah tingkah laku seperti tingkah laku kasar dan negatif.

(11)

peran. Anak berperan sebagai seseorang diluar dirinya dengan emosi yang menyertainya sehingga anak akan mulai belajar mengerti keadaan orang lain.

Berdasarkan uraian diatas dapat disimpulkan faktor-faktor yang dapat mempengaruhi kecerdasan emosi seseorang antara lain lingkungan keluarga dan non keluarga, faktor fisik dan psikis.

2.2.8 Pengertian Kecerdasan Spiritual

Kecerdasan seseorang tidak hanya dilihat dari kecerdasan intelektualnya saja

akan tetapi juga dari kecerdasan emosinya dan kecerdasan spiritualnya. Setelah kecerdasan intelektual dan kecerdasan emosi maka ditemukan kecerdasan yang ketiga yaitu kecerdasan spiritual yang diyakini sebagai kecerdasan yang mampu memfungsikan kecerdasan intelektual dan kecerdasan emosi secara efektif dan kecerdasan spiritual merupakan kecerdasan tertinggi (Zohar dan Marshall, 2007).

Pengertian kecerdasan spiritual menurut Zohar (2001) adalah kecerdasan yang bertumpu pada bagian dalam diri kita yang berhubungan dengan kearifan diluar ego atau jiwa sadar. Kecerdasan spiritual menjadikan manusia yang benar-benar utuh secara intelektual, emosi dan spiritual. Kecerdasan spiritual adalah kecerdasan jiwa. Kecerdasan spiritual dapat membantu manusia menyembuhkan dan membangun diri manusia secara utuh. Menurut Gunawan (dalam Yusup, 2005), kecerdasan spiritual ialah suatu kecerdasan di mana kita berusaha menempatkan tindakan-tindakan dan kehidupan kita ke dalam suatu konteks yang lebih luas dan lebih kaya, serta lebih bermakna.

Kecerdasan spiritual merupakan dasar yang perlu untuk mendorong berfungsinya secara lebih efektif, baik kecerdasan intelektual maupun kecerdasan emosi. Jadi, kecerdasan spiritual berkaitan dengan kecerdasan intelektual dan kecerdasan emosi. Mujib & Mudzakir (2001) mengungkapkan bahwa kecerdasan spiritual lebih merupakan konsep yang berhubungan bagaimana seseorang cerdas dalam mengelola dan mendayagunakan makna-makna, nilai-nilai, dan kualitas-kualitas kehidupan spiritualnya, kehidupan spiritual disini meliputi hasrat untuk hidup bermakna (the will to meaning) yang memotivasi kehidupan manusia untuk senantiasa mencari makna hidup (the meaning of life) dan mendambakan hidup bermakna (the meaningful life).

(12)

Kecerdasan spiritual tidak selalu berhubungan dengan agama. Bagi sebagian orang, kecerdasan spiritual diungkapkan melalui agama formal, tetapi beragama tidak menjamin memiliki kecerdasan spiritual yang tinggi. Agama formal adalah seperangkat aturan dan kepercayaan yang dibebankan secara eksternal, bersifat top down, diwarisi dari pendeta, nabi, dan kitab suci atau ditanamkan melalui keluarga dan tradisi (Zohar dan Marshall, 2007). Kecerdasan spiritual seperti yang telah dijelaskan di atas, merupakan kemampuan internal bawaan otak dan jiwa manusia yang sumber terdalamnya adalah alam semesta itu sendiri, yang memungkinkan otak untuk menemukan dan menggunakan makna dalam memecahkan persoalan dalam hidupnya.

Dari beberapa pengertian di atas, penulis mengambil kesimpulan bahwa kecerdasan spiritual adalah kecerdasan yang membangun manusia secara utuh untuk menghadapi dan memecahkan persoalan makna hidup untuk menilai bahwa tindakan yang dilakukan atau jalan hidup seseorang lebih bermakna dibandingkan dengan yang lain.

2.2.9. Aspek-aspek Kecerdasan Spiritual

Kecerdasan spiritual merupakan kecerdasan untuk menghadapi dan memecahkan persoalan makna dan nilai. Menurut Zohar & Marshall (2007), tanda-tanda kecerdasan spiritual yang telah berkembang baik dalam diri seseorang mencakup hal-hal berikut:

a. Kemampuan bersikap fleksibel

Kemampuan seseorang untuk bersikap adaptif secara spontan dan aktif, memiliki pertimbangan yang dapat dipertanggungjawabkan di saat mengalami dilematis.

b. Tingkat kesadaran diri yang tinggi

Kemampuan seseorang yang mencakup usaha untuk mengetahui batas wilayah yang nyaman untuk dirinya, yang mendorong seseorang untuk merenungkan apa yang dipercayai dan apa yang dianggap bernilai, berusaha untuk memperhatikan segala macam kejadian dan peristiwa dengan berpegang pada agama yang diyakininya.

c. Kemampuan untuk menghadapi dan memanfaatkan penderitaan

Kemampuan seseorang dalam menghadapi penderitaan dan menjadikan penderitaan yang dialami sebagai motivasi untuk mendapatkan kehidupan yang lebih baik di kemudian hari. d. Kemampuan untuk menghadapi dan melampaui rasa sakit

Kemampuan seseorang dimana di saat dia mengalami sakit, ia akan menyadari keterbatasan dirinya, dan menjadi lebih dekat dengan Tuhan dan yakin bahwa hanya Tuhan yang akan memberikan kesembuhan.

e. Kualitas hidup yang diilhami oleh visi dan nilai- nilai

Kualitas hidup seseorang yang didasarkan pada tujuan hidup yang pasti dan berpegang pada nilai-nilai yang mampu mendorong untuk mencapai tujuan tersebut.

(13)

Seseorang yang mempunyai kecerdasan spiritual tinggi mengetahui bahwa ketika dia merugikan orang lain, maka berarti dia merugikan dirinya sendiri sehingga mereka enggan untuk melakukan kerugian yang tidak perlu.

h. Berpikir secara holistik

Kecenderungan seseorang untuk melihat keterkaitan berbagai hal.

i. Kecenderungan untuk bertanya mengapa dan bagaimana jika untuk mencari jawaban-jawaban yang mendasar

j. Menjadi pribadi mandiri

Kemampuan seseorang yang memilki kemudahan untuk bekerja melawan konvensi dan tidak tergantung dengan orang lain.

Emmons (dalam Rakhmat, 2007) menyatakan bahwa komponen dari kecerdasan spiritual adalah:

a. Kemampuan untuk mentransendensikan yang fisik dan material. b. Kemampuan untuk mensucikan pengalaman sehari-hari.

c. Kemampuan untuk mengalami kondisi-kondisi kesadaran puncak.

d. Kemampuan untuk menggunakan potensi-potensi spiritual untuk memecahkan masalah. e. Kemampuan untuk terlibat dalam berbagai kebajikan.

Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya bahwa menurut Aziz dan Mangestuti (2006), kecerdasan spiritual adalah suatu bentuk kecerdasan dalam memahami makna kehidupan yang dicirikan dengan adanya kemampuan yang ersifat internal dan eksternal. Komponen-komponen dari kemampuan tersebut adalah :

a. Kemampuan yang bersifat internal yaitu kemampuan yang berhubungan antara diri dengan Tuhan, cirinya adalah kesadaran terhadap sesuatu yang transenden, adanya visi yang bersifat spiritual, dan kemampuan untuk mngambil hikmah dari penderitaan.

b. Kemampuan yang bersifat eksternal yaitu kemampuan yang berhubungan dengan sesama manusia, cirinya adalah keengganan untuk berbuat sesuatu yang merugikan orang lain dan kecenderungan untuk mengajak pada kebaikan.

(14)

2.2.10. Faktor-faktor Penghambat Kecerdasan Spiritual

Otak manusia selalu berkembang untuk menuju perubahan yang bermanfaat bagi kehidupannya, begitu juga dengan adanya perkembangan kecerdasan spiritual dalam diri manusia. Terdapat beberapa hal yang menghambat kecerdasan spiritual untuk berkembang, diantaranya adalah (Zohar & Marshall, 2007):

a. Adanya ketidakseimbangan id, ego, dan superego. b. Adanya orang tua yang tidak cukup menyayangi anaknya. c. Mengharapkan terlalu banyak.

d. Adanya ajaran yang mengajarkan menekan insting. e. Adanya aturan moral yang menekan insting alamiah.

f. Adanya luka jiwa yang menggambarkan pengalaman menyangkut perasaan terbelah, terasing, dan tidak berharga.

Faktor-faktor yang disebutkan di atas, melahirkan perilaku-perilaku yang dapat disimpulkan menjadi tiga sebab yang membuat seseorang terhambat secara spiritual yaitu (Zohar & Marshall, 2007):

a. Tidak mengembangkan beberapa bagian dari dirinya sama sekali.

b. Telah mengembangkan beberapa bagian, namun tidak proposional, atau dengan cara yang negatif atau destruktif.

c. Bertentangan atau buruknya hubungan antara bagian-bagian.

2. 3 Kerangka Konseptual

Kecerdasan emosional merupakan kemampuan untuk mengenali, mengekspresikan, dan mengelola emosi, baik emosi dirinya sendiri maupun emosi orang lain, dengan tindakan konstruktif, yang berupaya bekerja sama sebagai tim yang mengacu pada produktivitas dan bukan pada konflik. Kecerdasan emosional mencakup pengendalian diri, semangat, dan ketekunan, serta kemampuan untuk memotivasi diri sendiri dan bertahan menghadapi frustrasi, kesanggupan untuk mengendalikan dorongan hati dan emosi, tidak melebih-lebihkan kesenangan, mengatur suasana hati dan menjaga agar beban stress tidak melumpuhkan kemampuan berpikir, untuk membaca perasaan terdalam orang lain (empati) dan berdoa, untuk memelihara hubungan dengan sebaik-baiknya, kemampuan untuk menyelesaikan konflik, serta untuk memimpin.

(15)

Kehadiran kecerdasan emosi sebagai salah satu faktor yang mempengaruhi kinerja seseorang telah mengundang pro dan kontra dikalangan para ahli (focus online, 2004). Gordon (dalam focus_online, 2004) adalah salah satu yang menentang pendapat tersebut. Ia berpendapat bahwa kecerdasan emosi lebih banyak berhubungan dengan kepribadian dan mood (suasana hati), sedangkan cara terbaik untuk meningkatkan kinerja para pekerja adalah dengan kemampuan analisis dan kemampuan kognitif dalam hal ini yang berperan adalah kecerdasan intelektualnya. Pendapat tersebut didukung oleh Carruso (1999). Carrusso dalam penelitiannya mengemukakan bahwa walaupun ia mendukung keberadaan kecerdasan emosi tetapi pada kenyataannya kecerdasan intelektual yang diukur dengan IQ masih merupakan hal yang penting dalam kesuksesan kerja. Tulisan mengenai masalah tersebut menyebutkan bahwa para ahli masih mempercayai jika seseorang memiliki skor IQ yang tinggi maka ia akan dapat lebih berhasil dalam pekerjaannya.

Kecerdasan spiritual atau spiritual intelligence atau spiritual quotient (SQ) ialah suatu intelegensi atau suatu kecerdasan dimana kita berusaha menyelesaikan masalah - masalah hidup ini berdasarkan nilai-nilai spiritual atau agama yang diyakini. Kecerdasan spiritual ialah suatu kecerdasan di mana kita berusaha menempatkan tindakan-tindakan dan kehidupan kita ke dalam suatu konteks yang lebih luas dan lebih kaya, serta lebih bermakna. Kecerdasan spiritual merupakan dasar yang perlu untuk mendorong berfungsinya secara lebih efektif, baik Intelligence Quotient (IQ) maupun Emotional Intelligence (EI).

(16)

Dari uraian di atas maka, kerangka berpikir dari penelitian ini dapat digambarkan sebagai berikut.

Gambar 2.1. Kerangka Konseptual

2.4. Hipotesis

Berdasarkan kerangka berpikir, maka dihipotesiskan sebagai berikut : “Kecerdasan Emosional (EQ) dan Kecerdasan Spiritual (SQ) berpengaruh positif dan signifikan terhadap kinerja karyawan operator bagian produksi di PDAM Tirtanadi Instalasi Pengolahan Air Limau Manis”.

Kinerja Karyawan

(Y)

Kecerdasan Emosi

(X

1

)

Gambar

Gambar 2.1. Kerangka Konseptual

Referensi

Dokumen terkait

kepuasan kerja dan kinerja, sedangkan kecerdasan spiritual memiliki pengaruh. signifikan terhadap kepuasan kerja dan

Puji dan Syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT Yang Maha Pengasih Lagi Maha Penyayang, yang selalu memberikan rahmat dan hidayah-Nya kepada penulis sehingga dapat

Sampel ditambahkan mineral stabilizer, polivinyl alcohol dispersing agent dan reagent nessler dan diukur kadar amoniaknya dengan menggunakan spektrofotometer DR 2800 pada

Pengantar Ilmu Kesehatan Lingkungan.. Pengantar

Parameter yang tidak langsung berhubungan dengan kesehatan a...

Meta analisis yang dilaksanakan dari beberapa hasil penelitian, memberikan pemikiran terintegratif guna melihat kecerdasan emosional serta kecerdasan spiritual pada

Penelitian ini mencoba untuk menguji beberapa faktor yang diduga memiliki pengaruh terhadap kinerja karyawan, yaitu kecerdasan emosional dan kecerdasan

Kecerdasan intelektual, kecerdasan emosional, dan kecerdasan spiritual adalah tiga kecerdasan yang terdapat pada diri manusia. Kecerdasan intelektual hanya dapat