• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pengaruh Suplementasi Fe, Asam Folat, Vitamin A dan Vitamin B12 terhadap Peningkatan Kadar Hemoglobin (Hb) Pekerja Wanita di PT. X Kabupaten Simalungun 2012

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Pengaruh Suplementasi Fe, Asam Folat, Vitamin A dan Vitamin B12 terhadap Peningkatan Kadar Hemoglobin (Hb) Pekerja Wanita di PT. X Kabupaten Simalungun 2012"

Copied!
19
0
0

Teks penuh

(1)

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Anemia

Anemia adalah suatu keadaan menurunnya kadar hemoglobin, hematokrit dan

jumlah sel darah merah di bawah nilai normal yang dipatok untuk perorangan.

Sedangkan anemia gizi adalah keadaan dimana kadar hemoglobin, hematokrit dan sel

darah merah lebih rendah dari nilai normal sebagai akibat dari defisiensi dari salah

satu atau beberapa unsur makanan yang esensial yang dapat mempengaruhi

timbulnya defisiensi besi (Arisman, 2004).

Menurut Ramakrishnan, 2001 ada dua faktor penyebab anemia gizi yaitu

defisiensi besi dan defisiensi mikronutrien lain. Defisiensi besi dapat diakibatkan oleh

(1) meningkatnya kebutuhan akan zat besi, seperti pada masa kehamilan, menstruasi,

masa pertumbuhan pada bayi dan remaja, (2) asupan dan ketersediaan zat besi dalam

tubuh yang rendah, dan (3) infeksi dan parasit, seperti malaria, infeksi HIV, dan

infeksi cacing. Infeksi parasit terutama cacing tambang dapat menyebabkan

kehilangan darah yang banyak, karena cacing tambang menghisap darah. Malaria

khususnya Plasmodium falciparum juga dapat menyebabkan pecahnya sel darah

merah. Sedangkan defisiensi karena mikronutrien lain adalah defisiensi vitamin A,

riboflavin, asam folat dan vitamin B12.

Faktor-faktor yang mempengaruhi terjadinya anemia adalah sosial ekonomi,

(2)

menentukan kualitas dan kuantitas makanan dan mempunyai hubungan yang erat

dengan masalah gizi. Pendapatan keluarga yang rendah akan mempengaruhi

permintaan pangan sehingga menentukan hidangan dalam keluarga tersebut baik dari

segi kualitas makanan, kuantitas makanan dan variasi hidangannya (Supariasa dkk,

2002). Risiko terjadinya anemia pada pekerja wanita dengan penghasilan di bawah

UMR (Upah Minimum Regional) adalah 9 kali lebih tinggi dibandingkan dengan

yang berpenghasilan di atas UMR. Hal ini dikarenakan dengan penghasilan yang

rendah maka daya beli terhadap makanan sumber zat gizi berkurang dan akses

terhadap pelayanan kesehatan juga berkurang (Raharjo, 2003). Dalam bidang

pendidikan, ada kecenderungan pendidikan makin tinggi maka jumlah kejadian

anemia makin menurun, karena tingkat pendidikan dapat menentukan mudah

tidaknya seseorang menyerap dan memahami ilmu pengetahuan yang diperoleh.

Tingkat pengetahuan gizi seseorang diperoleh dari pengalaman sendiri maupun dari

pengalaman orang lain, serta dari latar belakang pendidikannya, semakin baik

pengetahuan gizinya, semakin kecil kemungkinan menderita anemia (Apriadji, 1996).

Berdasarkan umur, penelitian Raharjo, 2003 diketahui bahwa usia 20-35 tahun

lebih banyak menderita anemia dibanding usia <20 tahun. Hal ini dikarenakan usia

20-35 tahun merupakan periode yang penting dalam kehidupan wanita, karena pada

periode tersebut pada umumnya mereka menikah, hamil dan menyusui anak.

Berdasarkan status perkawinan, penelitian Mulyawati (2003) diketahui bahwa risiko

anemia pada Subjek yang menikah adalah 3,32 kali dibandingkan dengan Subjek

(3)

Menurut Departemen Kesehatan RI (1999) upaya pencegahan dan

penanggulangan anemia pada dasarnya adalah mengatasi penyebabnya. Pada anemia

berat (kadar Hb <8 g %) biasanya pada penyakit yang melatarbelakangi, yaitu antara

lain penyakit TBC, infeksi cacing atau malaria sehingga selain penanggulangan pada

anemianya, harus dilakukan pengobatan terhadap penyakit-penyakit tersebut. Upaya

yang dilakukan untuk pencegahan dan menanggulangi anemia akibat kekurangan

konsumsi besi adalah (1). Meningkatkan konsumsi besi dari sumber alami melalui

penyuluhan gizi, terutama makanan sumber hewani besi heme yang mudah diserap,

seperti : hati, ikan dan daging. Selain itu perlu ditingkatkan juga makanan yang

banyak vitamin C dan vitamin A untuk membantu penyerapan besi dan membantu

proses pembentukan hemoglobin. (2). Fortifikasi bahan makanan yaitu menambahkan

besi, asam folat, vitamin A dan asam amino essensial pada bahan makanan yang

dimakan secara luas oleh kelompok sasaran. (3). Suplementasi besi-folat secara rutin

selama jangka waktu tertentu untuk meningkatkan kadar hemoglobin secara cepat.

Dengan demikian, suplementasi tablet besi hanya merupakan salah satu upaya

pencegahan dan penanggulangan anemia, dan perlu diikuti dengan cara lain, seperti

pengobatan terhadap penyakitnya. Untuk anemia berat yakni kadar hemoglobin

kurang dari 8 g/dl harus dirujuk ke rumah sakit untuk mendapatkan penangganan dan

(4)

2.1.1 Anemia karena Kekurangan Zat Besi (Fe)

Anemia karena kekurangan Zat Besi adalah suatu keadaan dimana jumlah sel

darah merah atau hemoglobin (protein pengangkut oksigen) dalam sel darah berada di

bawah normal, yang disebabkan karena kekurangan zat besi.

Menurut Media Indonesia, 1996, sekitar 50% dari 25 juta pekerja wanita di

Indonesia menderita anemia gizi atau kekurangan zat besi. Salah satu penyebabnya

adalah mereka tidak bisa mengkonsumsi makanan bergizi. Hal ini dikarenakan upah

yang mereka terima masih rendah sehingga membeli dan mengkonsumsi makanan

yang berkualitas pun rendah. Akibatnya produktivitas kerja mereka menjadi rendah.

Untuk menanggulangi masalah tersebut, perusahaan-perusahaan yang

mempekerjakan tenaga wanita dihimbau memberikan vitamin yang dibutuhkan.

Selain zat besi, harus pula diberikan vitamin A, yodium dan obat cacing.

Pemenuhan Fe oleh tubuh memang sering kurang tercukupi disebabkan oleh

rendahnya tingkat penyerapan Fe di dalam tubuh, terutama dari sumber Fe nabati

yang hanya diserap 1-2%. Penyerapan Fe asal bahan makanan hewani dapat

mencapai 10-20%. Fe bahan makanan hewani (heme) lebih mudah diserap daripada

Fe nabati (non heme). Sumber bahan makanan yang tinggi zat besi adalah makanan

yang berasal dari hewan seperti daging, ikan dan telur yang sering disebut zat besi

heme mempunyai bioavailabilitas tinggi dibanding zat besi dalam bentuk non heme.

Makanan yang dapat menghambat absorbsi zat besi adalah tanin (pada teh), polifenol

(vegetarian), oksalat, fosfat dan fitat (serealia), albumin pada telur dan yolk,

(5)

Cd dan Co. Teh yang diminum bersama-sama dengan hidangan lain ketika makan

akan menghambat penyerapan besi non hem sampai 50 % (Muchtadi et al, 1993).

Keanekaragaman konsumsi makanan sangat penting dalam membantu

meningkatkan penyerapan Fe di dalam tubuh. Kehadiran protein hewani, vitamin C,

vitamin A, zink (Zn), asam folat, zat gizi mikro lain dapat meningkatkan penyerapan

zat besi dalam tubuh. Manfaat lain mengkonsumsi makanan sumber zat besi adalah

terpenuhinya kecukupan vitamin A. Makanan sumber zat besi umumnya merupakan

sumber vitamin A. Berdasarkan penelitian Raharjo, 2003 diketahui bahwa risiko

Subjek dengan asupan zat besi tidak mencukupi sesuai AKG (Angka Kecukupan

Gizi) adalah sebesar 7 kali lebih tinggi untuk menderita anemia dibandingkan dengan

Subjek yang asupan zat besinya sesuai AKG.

Anemia gizi besi dapat mengakibatkan gangguan kesehatan dari tingkat

ringan sampai berat. Anemia sedang dan ringan dapat menimbulkan gejala lesu, lelah,

pusing, pucat, dan penglihatan sering berkunang-kunang. Bila terjadi pada anak

sekolah, anemia gizi akan mengurangi kemampuan belajar. Sedangkan pada orang

dewasa akan menurunkan produktivitas kerja. Selain itu, penderita anemia lebih

mudah terserang infeksi. Anemia pada ibu hamil akan menambah risiko mendapatkan

bayi yang berat badannya rendah, risiko perdarahan sebelum dan pada saat

persalinan, bahkan dapat menyebabkan kematian ibu dan bayi jika ibu hamil

(6)

2.1.2 Anemia karena Kekurangan Asam Folat

Asam folat atau folic acid, folate, folacin, vitamin B9, pteroyl-L-glutamic acid, pteroyl-L-glutamate, pteroylmonoglutamic acid adalah vitamin yang diperlukan oleh anak-anak dan orang dewasa untuk memproduksi sel darah merah dan mencegah

anemia. Tanpa asam folat, tubuh akan mudah terserang penyakit seperti depresi,

kecemasan, kelelahan, insomnia, kesulitan mengingat, lidah merah dan luka hingga

gangguan pencernaan. (Uraeka.com).

Asam folat terdapat pada sayuran mentah, buah segar dan daging; tetapi

proses memasak biasanya dapat merusak vitamin ini. Karena tubuh hanya

menyimpan asam folat dalam jumlah kecil, maka suatu makanan yang sedikit

mengandung asam folat, akan menyebabkan kekurangan Asam folat dalam waktu

beberapa bulan.

Kekurangan asam folat terjadi karena tidak cukup memakan sayuran berdaun

yang mentah, adanya gangguan penyerapan asam folat itu sendiri ataupun karena

kebutuhuhannya yang sedang meningkat, seperti pada penderita penyakit usus halus

tertentu, terutama penyakit Crohn dan sprue, pada orang yang mengkonsumsi obat

anti-kejang tertentu dan pil KB, terjadi gangguan penyerapan asam folat, dan pada

wanita hamil dan wanita menyusui, serta penderita penyakit ginjal yang menjalani

(7)

2.1.3 Anemia karena Kekurangan Vitamin A

Vitamin A berperan dalam memobilisasi cadangan besi di dalam tubuh untuk

dapat mensintesa hemoglobin. Status vitamin A yang buruk berhubungan dengan

perubahan metabolisme besi pada kasus kekurangan besi (Gillespie, 1998). Beberapa

hasil studi cross sectional menunjukkan bahwa peningkatan asupan vitamin A dapat

mendorong ke arah peningkatan status besi. Penelitian tersebut membuktikan bahwa

vitamin A mempunyai peranan yang penting dalam meningkatkan kadar hemoglobin.

Pemberian suplemen vitamin A 110 mg pada anak yang kekurangan vitamin A

(retinol < 0,60 mol/L) dapat meningkatkan hemoglobin dan transferrin saturasi

(Bloem, 1990).

Suplementasi besi yang dikombinasi dengan vitamin A selama 2 bulan pada

anak-anak yang menderita anemia mempunyai pengaruh yang lebih besar pada

peningkatan kadar hemoglobin dan transferin saturasi, dibandingkan dengan yang

hanya diberikan suplemen besi atau vitamin A saja (Meijia and Chew, 1988).

Pemberian dosis tunggal vitamin A 200.000 IU pada anak yang menderita

xerossis conjuctival setelah dua minggu ternyata dapat meningkatkan hemoglobin, hematokrit, serum besi dan transferin saturasi (Bloem, 1995). Hasil penelitian yang

dilakukan terhadap ibu hamil di Indonesia menghasilkan kesimpulan yang sama. Ibu

hamil yang anemia dengan kadar retinal < 1.1 mol/L yang diberikan suplementasi

vitamin A dan besi (besi 60 mg dan vitamin A 2.4 mg) mempunyai perubahan yang

(8)

dengan kelompok yang hanya mendapat suplementasi besi atau vitamin A saja

(Suharno, 1993).

Penelitian pada tikus menunjukkan bahwa kekurangan vitamin A marginal

mengganggu eritropoeisis, tetapi tidak mempengaruhi penyerapan dalam intestinal

terhadap besi dalam makanan sehari-hari (Roodenburg, 1994). Beberapa hasil

penelitian cross sectional menyimpulkan bahwa peningkatan asupan vitamin A dapat

mendorong ke arah peningkatan status vitamin A dan status besi (Schultink dan Goss,

1998).

Penelitian lainnya telah menemukan suatu korelasi signifikan antara serum

retinol dan konsentrasi hemoglobin, diantara anak pra sekolah di India pada studi ini

menunjukkan kadar hemoglobin lebih rendah pada mereka yang mempunyai serum

retinol di bawah 20 g/dL, dibandingkan dengan yang mempunyai kadar hemoglobin

normal. Suplementasi vitamin A pada anak yang defisiensi meningkat secara

signifikan pada kadar hemoglobin, hematokrit dan besi serum. Observasi ini

menunjukkan bahwa defisiensi vitamin A bisa memberikan kontribusi terhadap

anemia dan akan mepunyai efek positif pada status besi (IVACG, 1998).

Vitamin A (retinol) terdapat pada minyak ikan, hati, kuning telur, mentega

dan krim. Sayuran berdaun hijau dan sayuran berwarna kuning mengandung karoten

(misalnya beta-karotin), yang secara perlahan akan diubah oleh tubuh menjadi

vitamin A. Penelitian Bernado, menyatakan bahwa bone mineral density optimal bila

(9)

2.1.4 Anemia karena Kekurangan Vitamin B12

Defisiensi vitamin B12 hampir sama dengan asam folat yaitu menyebabkan anemia makrositik. vitamin B12 ini sangat penting dalam pembentukan RBC (Red Blood Cell), yaitu sebagai co-enzim untuk mengubah folat menjadi bentuk aktif dan juga dipergunakan dalam fungsi normal metabolisme semua sel, terutama sel-sel

saluran cerna, sumsum tulang, dan jaringan saraf (Almatsier, 2001). Manifestasi

defisiensi vitamin B12 terjadi pada tahap awal dengan konsentrasi serum yang rendah kemudian ada indikasi transcobalamin II yang rendah, pada tahap berikutnya

konsentrasi vitamin dalam sel yang rendah dan selanjutnya defisiensi secara biokimia

dengan terjadinya penurunan sintesis DNA. (Goff, et al, 2005). Anemia pernisiosa

yang disertai rasa letih yang parah merupakan akibat dari defisiensi vitamin B12. Vitamin B12 hanya terdapat pada produk hewani seperti daging, susu dan telur terutama hati, dan tidak terdapat pada sayuran atau tumbuhan, itu sebabnya

vegetarian sering ditemukan kekurangan vitamin ini (Linder, 1992).

2.2 Hemoglobin

Hemoglobin merupakan protein utama tubuh manusia yang berfungsi

mengangkut oksigen dari paru-paru ke jaringan perifer dan mengangkut CO2 dari

jaringan perifer ke paru-paru (Martin, 1984). Sintesis hemoglobin merupakan proses

biokimia yang melibatkan beberapa zat gizi atau senyawa-senyawa. Proses sintesis

ini terkait dengan sintesis heme dan protein globulin. Mekanisme sintesis heme dapat

(10)

Suksinil-KOA + Glisin

Aminolevulenat sintase Vitamin B6 aktif ( B6-PO4) Asam aminolevulenat

Aminolevulenat dehidratase

Porfobilinogen

Uroporfirinogen I sintase

Hidroksimetilbilane

Uroporfirinogen III kosintase

Uroporfirinogen III

Uroporfirinogen Dekarboksilase

Koproporfirinogen III

Koproporfirinogen Oksidase

Protoporfirinogen III

Protoporfirinogen oksidase

Protoporfirin III

Ferroketolase Fe2+ HEME

Gambar 2.1. Sintesis Heme (Murray, Ganner, Robert, Peter & Victor, 1996) Berdasarkan Gambar 1. dapat diketahui keterlibatan beberapa zat gizi atau

senyawa-senyawa seperti asam amino glisin dan vitamin B6 pada reaksi awal. Selanjutnya, di dalam sitosol dua molekul Asam Aminolevulenat (ALA)

(11)

porfobilinogen. Keterlibatan besi adalah dalam proses sintesis hemoglobin, yaitu

pada tahap akhir proses pembentukan heme. Pada tahap ini terjadi penggabungan besi

ferro ke dalam protoporfirin III yang dikatalis oleh enzim ferroketalase. Untuk

sintesis globin diperlukan asam amino, biotin, asam folat, vitamin B6 dan vitamin B12. Selanjutnya interaksi antara heme dan globin akan menghasilkan hemoglobin.

Berdasarkan hal tersebut, maka dapat disimpulkan bahwa untuk sintesis

hemoglobin diperlukan beberapa zat gizi yang saling terkait (Murray, Ganner,

Robert, Peter & Victor, 1996).

Faktor - faktor yang dapat mempengaruhi kadar hemoglobin adalah variasi

biologis individu, umur dan jenis kelamin, ras, ketinggian, defisiensi zat besi,

defisiensi mikronutrien lain, infeksi parasit dan berbagai status penyakit. Variasi

biologis individu akan mempengaruhi kadar hemoglobin. Kadar hemoglobin

cenderung lebih rendah pada saat sore hari dibanding pagi hari (Gibson, 2005). Umur

dan jenis kelamin adalah faktor penting yang menentukan kadar hemoglobin. Nilai

median hemoglobin naik selama 10 tahun pada masa kanak-kanak selanjutnya akan

meningkat pada masa pubertas dan dewasa. Perbedaan kadar hemoglobin pada jenis

kelamin yang berbeda jelas nyata pada usia enam bulan. Anak laki-laki mempunyai

kadar hemoglobin lebih rendah dibandingkan dengan anak perempuan (DeMaeyer,

1993; Gibson, 2005).

Menurut WHO (1989) patokan batas kadar anemia berdasarkan umur, jenis

(12)

Tabel 2.1. Batas Kadar Hemoglobin

Kelompok Batas Nilai Hemoglobin (g/dl)

Anak 6 bulan - 6 tahun 11,0

Anak 6 tahun – 14 tahun 12,0

Pria Dewasa 13,0

Wanita Dewasa 12,0

Ibu Hamil 11,0

Sumber : WHO, 1989.

Tabel 2.2. Batas Hemoglobin untuk Anemia pada Wanita Dewasa

Kelompok Batas Nilai Hemoglobin (g/dl)

Normal 12

Anemia Ringan 10-11,9

Anemia Sedang 8-9,9

Anemia Berat <8

Sumber : WHO, 1989.

2.3Kaitan Fe, Asam folat, Vitamin A dan Vitamin B12 dengan Hemoglobin Sebagian besar pekerja, terutama wanita, memiliki masalah kurang gizi.

Selain disebabkan oleh stres, baik lingkungan maupun beban kerja, wanita juga

mengalami menstruasi secara berkala dan cenderung melakukan diet. Faktor lainnya

adalah kurang memperhatikan asupan nutrisi karena alasan sibuk. Padahal, asupan

gizi yang kurang dapat menyebabkan penyakit salah satunya anemia (Kompas, 2010).

Pada umumnya anemia gizi di Indonesia terjadi karena kekurangan unsur besi

dan asam folat, oleh karena itu suplementasi besi atau tablet tambah darah perlu

mengandung besi dan asam folat. Penyertaan zat lain yang membantu penyerapan

besi dan mempercepat hematofoesis juga dianjurkan, misalnya dengan vitamin A dan

vitamin C (Departemen Kesehatan RI, 1996). Pada beberapa penelitian melaporkan

(13)

suplementasi besi (Meija & Chew, 1988; Suharno, West, Karyadi, & Hautvast, 1993).

Selanjutnya penelitian Mulyawati (2003) menunjukan bahwa suplementasi besi

dengan vitamin C mempunyai efek peningkatan kadar hemoglobin lebih tinggi

dibandingkan dengan suplementasi besi tanpa vitamin C.

Vitamin A adalah vitamin larut lemak yang pertama ditemukan. Vitamin ini

esensial untuk pemeliharaan kesehatan dan kelangsungan hidup. Defisiensi vitamin A

dapat meningkatkan risiko anak terhadap penyakit infeksi seperti infeksi saluran

pernafasan dan diare, serta keterlambatan pertumbuhan (Almatsier, 2003). Beberapa

penelitian telah mengkonfirmasikan interaksi antara defisiensi Vitamin A dan status

besi. Suplementasi vitamin A pada orang yang mengalami defisiensi besi dapat

meningkatkan kadar hemoglobin sekitar 10 g/ L (Sommer dan West, 1996).

Retinol dan besi, sama-sama diangkut oleh negative phase protein, yaitu

Retinol Binding Protein (RBP) dan transferin. Sintesis kedua protein ini tertekan bila ada infeksi. Apabila asupan Vitamin A diberikan dalam jumlah cukup, maka dengan

kemampuan vitamin A melawan infeksi, akan terjadi penurunan derajat infeksi.

Akibatnya sintesis retinol binding protein dan transferin kembali normal. Kondisi ini

memungkinkan besi retinol yang semula terjebak di tempat penyimpanan dapat

dimobilisasi kembali. Dengan menghilangnya infeksi, besi yang semula ditahan

makrofag akan dilepas kembali ke sirkulasi dan diangkut transferin untuk

kepentingan eritropoeisis (Turnham, 1993). Vitamin A juga berperan dalam

pembentukan sel darah merah, kemungkinan melalui interaksi dengan besi.

(14)

berdampak pada metabolisme besi dan eritropoeisis yang gilirannya akan

menurunkan kadar hemoglobin.

Vitamin A berperan dalam memobilisasi cadangan besi di dalam tubuh untuk

dapat mensintesa hemoglobin. Status vitamin A yang buruk berhubungan dengan

perubahan metabolisme besi pada kasus kekurangan besi (Gillespie, 1998). Beberapa

hasil studi cross sectional menunjukkan bahwa peningkatan asupan vitamin A dapat

mendorong ke arah peningkatan status besi. Vitamin A mempunyai peranan yang

penting dalam meningkatkan kadar hemoglobin. Pemberian suplemen vitamin A 110

mg pada anak yang kekurangan vitamin A (retinol < 0,60 mol/L) dapat

meningkatkan hemoglobin dan transferrin saturasi (Bloem, 1990). Suplementasi besi

yang dikombinasi dengan vitamin A selama 2 bulan pada anak-anak yang menderita

anemia mempunyai pengaruh yang lebih besar pada peningkatan kadar hemoglobin

dan transferin saturasi, dibandingkan dengan yang hanya diberikan suplemen besi

atau vitamin A saja (Meijia and Chew, 1988). Pemberian dosis tunggal vitamin A

200.000 IU pada anak yang menderita xerossis conjuctival setelah dua minggu

ternyata dapat meningkatkan hemoglobin, hematokrit, serum besi dan transferin

saturasi (Bloem, 1995). Hasil penelitian yang dilakukan terhadap ibu hamil di

Indonesia menghasilkan kesimpulan yang sama. Ibu hamil yang anemia dengan kadar

retinal <1.1 mol/L yang diberikan suplementasi vitamin A dan besi (besi 60 mg dan

vitamin A 2.4 mg) mempunyai perubahan yang lebih besar pada peningkatan kadar

hemoglobin dan transferin saturasi, dibandingkan dengan kelompok yang hanya

(15)

Vitamin A berpengaruh terhadap transferin saturasi, tetapi tidak berpengaruh

pada peningkatan cadangan besi dalam tubuh. Mekanisme yang pasti tentang peranan

Vitamin A terhadap status besi belum jelas benar. Diperkirakan bahwa kekurangan

Vitamin A dapat menghambat penggunaan kembali cadangan besi yang disimpan

dalam hati (Bloem, 1995 ; Schultink dan Goss, 1998).

Penelitian pada tikus menunjukkan bahwa kekurangan vitamin A marginal

mengganggu eritropoeisis, tetapi tidak mempengaruhi penyerapan dalam intestinal

terhadap besi dalam makanan seharihari (Roodenburg, 1994). Beberapa hasil

penelitian cross sectional menyimpulkan bahwa peningkatan asupan vitamin A dapat

mendorong ke arah peningkatan status vitamin A dan status besi (Schultink dan Goss,

1998). Penelitian lainnya telah menemukan suatu korelasi signifikan antara serum

retinol dan kosentarsi hemoglobin, diantara anak pra sekolah di India pada studi ini

menunjukkan kadar hemoglobin lebih rendah pada mereka yang mempunyai serum

retinol di bawah 20 g/dL, dibandingkan dengan yang mempunyai kadar hemoglobin

normal. Suplementasi vitamin A pada anak yang defisiensi meningkat secara

signifikan pada kadar hemoglobin, hematokrit dan besi serum. Observasi ini

menunjukkan bahwa defisiensi vitamin A bisa memberikan kontribusi terhadap

anemia dan akan mempunyai efek positif pada status besi (IVACG, 1998).

Vitamin A juga diperlukan untuk mengubah Asam folat dalam bentuk aktif,

meningkatkan penyerapan besi dan meningkatkan proses pembentukan hemoglobin

dalam tubuh sehingga kadar hemoglobin menjadi lebih tinggi. Pemberian tablet besi

(16)

meningkatkan status besi, dibandingkan dengan hanya memberikan suplementasi besi

dalam bentuk dosis tunggal.

Defisiensi vitamin B12 hampir sama dengan asam folat yaitu menyebabkan anemia makrositik. Vitamin B12 ini sangat penting dalam pembentukan RBC (Red Blood Cell), yaitu sebagai co-enzim untuk mengubah folat menjadi bentuk aktif dan juga dipergunakan dalam fungsi normal metabolisme semua sel, terutama sel-sel

saluran cerna, sumsum tulang, dan jaringan saraf (Almatsier, 2001). Manifestasi

defisiensi vitamin B12 terjadi pada tahap awal dengan konsentrasi serum yang rendah kemudian ada indikasi transcobalamin II yang rendah, pada tahap berikutnya

konsentrasi vitamin dalam sel yang rendah dan selanjutnya defisiensi secara biokimia

dengan terjadinya penurunan sintesis DNA. (Goff, et al, 2005). Anemia pernisiosa

yang disertai rasa letih yang parah merupakan akibat dari defisiensi vitamin B12.

2.4 Konsumsi Makanan

Konsumsi makanan merupakan banyaknya atau jumlah pangan, secara

tunggal maupun beragam, yang dikonsumsi seseorang atau sekelompok orang yang

bertujuan untuk memenuhi kebutuhan fisiologis, psikologis dan sosiologis. Tujuan

fisiologis adalah upaya untuk memenuhi keinginan makan (rasa lapar) atau untuk

memperoleh zat-zat gizi yang diperlukan tubuh. Tujuan psikologis adalah untuk

memenuhi kepuasan emosional atau selera, sedangkan tujuan sosiologis adalah untuk

memelihara hubungan manusia dalam keluarga dan masyarakat (Sedioetama, 1996).

(17)

selanjutnya bertindak menyediakan energi bagi tubuh, mengatur proses metabolisme,

memperbaiki jaringan tubuh serta untuk pertumbuhan (Harper et al, 1986).

Konsumsi, jumlah dan jenis pangan dipengaruhi oleh tiga faktor. Menurut

Harper et al. (1986), faktor-faktor yang sangat mempengaruhi konsumsi pangan

adalah jenis, jumlah produksi dan ketersediaan pangan. Untuk tingkat konsumsi

(Sedioetama, 1996), lebih banyak ditentukan oleh kualitas dan kuantitas pangan yang

dikonsumsi. Kualitas pangan mencerminkan adanya zat gizi yang dibutuhkan oleh

tubuh yang terdapat dalam bahan pangan, sedangkan kuantitas pangan mencerminkan

jumlah setiap gizi dalam suatu bahan pangan. Untuk mencapai keadaan gizi yang

baik, maka unsur kualitas dan kuantitas harus dapat terpenuhi. Apabila tubuh

kekurangan zat gizi, pada tahap awal akan meyebabkan rasa lapar dan dalam jangka

waktu tertentu berat badan akan menurun yang disertai dengan menurunnya

produktivitas kerja. Kekurangan zat gizi yang berlanjut akan menyebabkan status gizi

kurang dan gizi buruk. Apabila tidak ada perbaikan konsumsi energi dan protein yang

mencukupi, pada akhirnya tubuh akan mudah terserang penyakit infeksi yang

selanjutnya dapat menyebabkan kematian (Hardinsyah dan Martianto, 1992).

Metode yang digunakan untuk pengukuran konsumsi makanan adalah metode

Recall 24 jam dengan mencatat jenis dan jumlah bahan makanan yang dikonsumsi pada periode 24 jam hari kemarin, dimulai sejak bangun pagi hingga tidur malam.

Biasanya dilakukan minimal 2 kali pada hari yang berbeda, sehingga diperoleh

gambaran asupan zat gizi yang lebih optimal dan memberikan variasi yang lebih

(18)

mengidentifikasi kelebihan dan kekurangan zat gizi dengan cara mengkonversikan

konsumsi makanan tersebut kedalam bentuk zat gizi dengan menggunakan Daftar

Komposisi Bahan Makanan (DKBM) (Supariasa, 2002)

Kebutuhan gizi per hari bagi pekerja menurut umur, jenis kelamin dan

aktivitas fisik dapat dilihat pada Tabel 2.3.

Tabel 2.3. Kebutuhan Gizi per hari Pekerja Wanita Menurut Umur, dan Aktivitas Fisik

Berdasarkan tabel di atas, selain dapat diketahui jumlah asupan zat gizi, dapat

juga dinilai tingkat konsumsi. Kategori tingkat konsumsi dapat dilihat pada tabel 2.4 :

(19)

2.5 Kerangka Konsep

Gambar 2.2. Kerangka Konsep Penelitian

Kadar hemoglobin dipengaruhi oleh proses eritropoeisis (pembentukan sel

darah merah) dan oksigenasi sel (penyediaan oksigen bagi sel). Agar proses

eritropoeisis dan oksigenasi sel terjadi secara maksimal, maka perlu konsumsi zat gizi

(energi, protein, Fe, asam folat, vitamin A, vitamin B12 dan vitamin C) yang cukup dan suplementasi Fe, asam folat, vitamin A dan vitamin B12. Fe, asam folat dan vitamin B12 adalah zat pembentuk sel darah merah, Vitamin B12 juga mengaktifkan kerja asam folat sehingga penyerapan asam folat menjadi maksimal. Sementara

vitamin A berperan membantu proses mobilisasi Fe dari simpanan besi dalam hati,

meningkatkan proses penyerapan Fe dan mengatasi anemia yang disertai infeksi.

Status sosial ekonomi (pendidikan, pendapatan) juga secara tidak langsung

mempengaruhi kadar hemoglobin karena dapat mempengaruhi konsumsi.

- Suplementasi Fe, asam folat dan vitamin A

- Suplementasi Fe, Asam folat dan Vitamin B12

Status Sosial Ekonomi (pendidikan, pendapatan) keluarga

Gambar

Gambar 2.1. Sintesis Heme (Murray, Ganner, Robert, Peter & Victor, 1996)
Tabel 2.1. Batas Kadar Hemoglobin
Tabel 2.3.  Kebutuhan Gizi per hari Pekerja Wanita Menurut Umur,  dan Aktivitas Fisik
Gambar 2.2. Kerangka Konsep Penelitian

Referensi

Dokumen terkait

Hasil penelitian ini menunjukan bahwa: (1) terdapat perbedaan yang signifikan hasil belajar IPA antara siswa yang mengikuti model PBL berbasis asesmen kinerja dan siswa yang

70 Tahun 2012 beserta petunjuk teknlsnya, maka dengan ini kami umumkan Perusahaan yang yang melaksanakan pekerjaan tersebut adalah sebagai berikut :. Kegiatan

dijual.Debitur menjual kepada pihak ketiga benda jaminan atau melakukan fidusia ulang terhadap benda yang sudah dijaminkan tersebut.(b) Waktu penyelesaian yang lama, ekonomi

konsep surat izin penelitian 1 hari surat izin penelitian Jika pejabat tidak berada di tempat. Menulis dalam buku register dan

[r]

Secara keseluruhan apa yang telah dilakukan oleh kepala Desa Tolinggula Pantai baik dari pelayanan terhadap masyarakat dan tugas berdasarkan dari hasil

Guru menyebutkan satu bagian tubuh dan meminta siswa tersebut untuk menunjuk gambar bagian tubuh yang dimaksud serta membaca kartu nama bagian tubuh tersebut.. Setelah membaca

Pada lapisan dermis ditemukan proliferasi sel, nukleus bulat-oval (gambar 7), pleomorfik ringan (gambar 8), beberapa atipikal, sebagian kromatin halus