BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA 1. Pengobatan Tradisional
1.1 Defenisi
Pengobatan Tradisional adalah suatu upaya kesehatan dengan cara lain dari
ilmu kedokteran dan berdasarkan pengetahuan yang diturunkan secara lisan
maupun tulisan yang berasal dari Indonesia atau luar Indonesia. Dalam 30 tahun
terakhir pelbagai istilah telah digunakan untuk cara-cara pengobatan yang
berkembang di masyarakat. WHO menyebutnya traditional medicine, sedangkan ilmuan yang lainnya menyebut “folk medicine”, “alternatif medicine,”
ethnomedicine,” dan indigenous medicine (Ratna, 2010)
Badan kesehatan Dunia (WHO) menyatakan pengobatan tradisional adalah
ilmu dan seni pengobatan berdasarkan himpunan pengetahuan dan pengalaman
praktek, baik yang dapat diterangkan secara ilmiah ataupun tidak dalam
melakukan diagnosis, prevensi dan pengobatan terhadap ketidakseimbangan fisik,
mental ataupun sosial. Pedoman utama adalah pengalaman praktek, yaitu hasil
pengamatan yang diteruskan dari generasi ke generasi baik secara lisan maupun
tulisan (Ratna, 2010).
Sedangkan menurut Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia
Nomor 1076/MENKES/SK/VII/2003 tentang penyelenggaraan pengobatan
dan/atau perawatan dengan cara, obat, dan pengobatnya yang mengacu
pada pengalaman, ketrampilan turun temurun atau pendidikan/pelatihan dan
diterapkan sesuai dengan norma yang berlaku dalam masyarakat (Menkes RI,
2003).
Sesuai dengan keputusan seminar pelayanan pengobatan altematif
Departemen Kesehatan RI (1978), terdapat dua defenisi untuk pengobatan
tradisional Indonesia (PETRIN), yaitu: a) llmu dan seni pengobatan yang
dilakukan oleh pengobatan tradisional Indonesia dengan cara yang tidak
bertentangan dengan kepercayaan kepada Tuhan Yang Maha Esa sebagai upaya
penyembuhan, pencegahan penyakit, pemulihan dan peningkatan kesehatan jasmani, rohani dan sosial masyarakat. b) Usaha yang dilakukan untuk mencapai
kesembuhan, pemeliharaan dan peningkatan taraf kesehatan masyarakat yang
berlandaskan cara berpikir, kaidah-kaidah atau ilmu diluar pengobatan ilmu kedokteran modern, diwariskan secara turun temurun atau diperoleh secara
pribadi dan dilakukan dengan cara-cara yang tidak lazim dipergunakan dalam
ilmu kedokteran, yang antara lain meliputi akupuntur, dukun/ahli kebatinan,
sinshe, tabib, jamu, pijat dan lain lain (Ratna, 2010).
1.2 Jenis Pengobatan Tradisional di Indonesia
Berdasarkan Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor
1076/MENKES/SK/VII/2003 Pasal 3, pengobat tradisional diklasifikasikan dalam
a. Pengobat tradisional mempunyai keterampilan yang terdiri dari : Pijat urut,
patah tulang, sunat, dukun bayi, refleksi, akupresuris, akupunturis dan
chiroprator.
b. Pengobat tradisional ramuan yaitu pengobat tradisional dengan ramuan
indonesia : jamu, gurah, tabib shinse, homeopathy dan aromatherapist.
c. Pengobat tradisional dengan pendekatan agama : Agama Islam, Kristen,
Katolik dan Budha.
d. Pengobatan tradisional supranatural terdiri dari pengobat tradisional : tenaga
dalam (Prana), paranormal, reiky master, qigong dan dukun kebatinan. 1.3 Tujuan Pengobatan
Menurut Zulkifli (2004) ada dua yang menjadi tujuan pengobatan tradisional
yaitu:
a. Tujuan Umum
Yaitu meningkatnya pendayagunaan pengobatan tradisional baik secara
tersendiri atau terpadu pada sistem pelayanan kesehatan paripurna, dalam rangka
mencapai derajat kesehatan masyarakat yang optimal.
Dengan demikian pengobatan tradisional adalah merupakan salah satu
alternatif yang relatif lebih disenangi masyarakat. Oleh karenanya kalangan
kesehatan berupaya mengenal dan jika dapat mengikut sertakan pengobatan
tradisional tersebut.
b. Tujuan Khusus
1. Meningkatnya mutu pelayanan pengobatan tradisional, sehingga masyarakat
terhindar dari dampak negatif karena pengobatan tradisional.
2. Meningkatnya kemandirian masyarakat dalam mengatasi masalah kesehatan
dengan upaya pengobatan tradisional.
3. Terbinanya berbagai tenaga pengobatan tradisional dalam pelayanan kesehatan.
4. Terintegrasinya upaya pengobatan tradisional dalam program pelayanan
kesehatan paripurna, mulai dari tingkat rumah tangga, puskesmas sampai pada
tingkat rujukannya (Zulkifli, 2004).
1.4 Standarisasi Pengobatan Tradisional
Untuk dapat dimanfaatkannya pengobatan tradisional dalam pelayanan
kesehatan, banyak yang harus diperhatikan. Salah satu diantaranya yang dinilai
mempunyai peranan yang sangat penting adalah upaya standarisasi. Diharapkan,
dengan adanya standarisasi ini bukan saja mutu pengobatan tradisional akan dapat
ditingkatkan, tapi yang penting lagi munculnya berbagai efek samping yang
secara medis tidak dapat dipertanggung jawabkan, akan dapat dihindari (Zulkifli,
2004).
Pengertian standarisasi adalah keadaan ideal atau tingkat pencapaian
tertinggi dan sempurna, yang dipakai sebagai batas penerimaan minimal ( Clinical
Practice Guideline, 1990 ). Standar menunjukkan pada tingkat ideal tercapai,
tetapi masih dalam batas-batas yang dibenarkan (toleransi) (Zulkifli, 2004).
Syarat suatu standar yang baik adalah (1) bersifat jelas artinya dapat
diukur dengan baik, termasuk ukuran terhadap penyimpangan- penyimpangan
saja akan sulit dimanfaatkan tetapi juga akan menimbulkan frustasi para
profesional, (3) mudah dimengerti, suatu standar yang tidak mudah dimengerti
juga akan menyulitkan tenaga pelaksana sehingga sulit terpenuhi, (4) dapat
dipercaya, (5) absah artinya ada hubungan yang kuat dan dapat didefenisikan
antara standar dengan sesuatu (misalnya mutu pelayanan) yang diwakilinya, (6)
meyakinkan, artinya mewakili persyaratan yang ditetapkan. Apabila terlalu rendah
akan menyebabkan persyaratan menjadi tidak berarti, (7) mantap, spesifik,
eksplisit artinya tidak terpengaruh oleh waktu, bersifat khas dan terbuka (zulkifli,
2004).
Standarisasi diharapkan mampu mengatasi berbagai efek samping yang
secara medis tidak dapat dipertanggung jawabkan. Untuk itu dalam Undang –
undang Kesehatan RI no 23 Tahun 1992 pasal 47 menyatakan perlu adanya
pembinaan, pengawasan dan pengembangan terhadap pengobatan alternatif
sehingga dapat mewujudkan derajat kesehatan yang optimal.
KepMenkes No.1076/Menkes/SK/VII/2003 pasal empat disebutkan bahwa
semua pengobat tradisional wajib mendaftarkan diri kepada Kepala Dinas
Kesehatan Kabupaten/Kota setempat untuk memperoleh Surat Terdaftar Pengobat
Tradisional (STPP). Pengobat tradisional yang metodenya telah memenuhi
persyaratan, pengkajian, penelitian, dan pengujian serta terbukti aman dan
bermanfaat bagi kesehatan dapat diberikan SPTT oleh Kepala Dinas Kesehatan
Kabupaten/Kota setempat. Hal ini dimasukkan agar Dinas Kesehatan dapat
melakukan pembinaan dan pengawasan terhadap pengobatan tradisional tersebut.
memberi pembekalan terhadap kebersihan bahan-bahan yang dijadikan obat dan
sehat dikonsumsi.
Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia
No.1076/Menkes/SK/VII/2003 telah mengatur dalam penyelenggaraan
pengobatan tradisional mempunyai prinsip sebagai berikut : (1) tidak
membahayakan jiwa atau melanggar susila dan kaidah agama serta kepercayaan
terhadap Tuhan Yang Maha Esa yang diakui di Indonesia, (2) aman dan
bermanfaat bagi kesehatan, (3) tidak bertentangan dengan upaya peningkatan
derajat kesehatan masyarakat, (4) tidak bertentangan dengan norma dan nilai yang
hidup dalam masyarakat (Menkes RI, 2003).
1.5 Pengobatan patah tulang
Pengobat patah tulang adalah pengobat tradisional yang cara
pengobatannya dengan cara mengurut untuk mereposisi tulang atau otot yang
mengalami patah atau terkilir, memfiksasi, reposisi dengan bidai atau kayu yang
dikenal dengan antai (rantai) dan memberi kompres dengan ramuan daun-daun
atau akar-akaran (Subandi, 1998).
Menurut Saleh (1998) penanggulangan dan pengobatan patah tulang
secara tradisional ada beberapa prinsip yang sama dengan pengobatan mutakhir
yang dapat diterima secara logika antara lain :
1. Prinsip penarikan traksi bagian tubuh yang patah untuk mengembalikan
posisi tulang seperti semula
2. Pemberian bidai dari anyaman kelapa, anyaman alang-alang, baluran daun
posisi semula. Di sini ada beberapa kekurangan dalam fiksasi secara
tradisional karena mempergunakan bahan yang lunak dan fiksasinya tidak
melewati dua atau tiga persendian sehingga tulang yang patah dapat bergerak
dari posisi yang diharapkan.
3. Adanya kompres dengan daun-daun segar yang diharapkan dapat
memperlancar aliran darah sehingga dapat mengurangi pembengkakan.
4. Adanya pemijatan/urut-urut yang dilakukan dalam penanggulangan patah
tulang disertai dengan olesan berupa minyak-minyak kelapa yang mungkin
bertujuan sebagai fisioterapi disertai minyak yang menghangatkan bagian
tubuh yang patah sehingga memperlancar aliran darah, akhirnya
mempercepat penyembuhan.
1.6 Peminat Pengobatan Tradisional
Peminat pengobatan tradisional dipengaruhi oleh beberapa faktor :
(Zulkifli, 2005)
1. Faktor Sosial
Alasan masyarakat memilih pengobatan alternatif adalah selama mengalami
pengobatan alternatif keluarganya dapat menjenguk dan menunggui setiap saat.
Hal tersebut sesuai dengan kodrat manusia sebagai makhluk sosial yang selalu
ingin berinteraksi langsung dengan keluarganya atau kerabatnya dalam keadaan
sakit. Selama perawatan yang dialaminya mereka dapat berkomunikasi dengan
akrab dengan keluarganya. Namun ada juga informasi yang mengemukakan
bahwa masyarakat lebih senang dirawat atau diobati di rumah sakit daripada
pengobatan alternatif bukan atas kemauan sendiri tetapi atas desakan biaya
pengobatan. Biasanya mereka belum pernah ke rumah sakit sehingga tidak bisa
dibandingkan pengobatan alternatif dengan pengobatan di rumah sakit. Disini
tampak adanya faktor pasrah akibat dari keterbatasan pengalaman-pengalaman
dalam interaksi sosial.
2. Faktor Budaya
Salah satu alasan mengapa para penderita memilih tempat pengobatan alternatif
karena pengobatan di tempat ini memiliki seorang ahli yang mempunyai kekuatan
supranatural yang mampu mempercepat kesembuhan penyakit. Disamping itu hal
ini sesuai dengan apa yang dikemukakan oleh Foster dan Anderson bahwa sistem
medis adalah bagian integral dari kebudayaan. Salah satu faktor lain yang
menyebabkan pengobatan alternatif ini masih diminati masyarakat adalah kategori
penyembuhan yaitu siapa yang berhak atau yang tepat dalam menyembuhkan,
misalnya untuk penyakit C hanya D yang berhak, penyakit A hanya B yang tepat
menyembuhkan. Dalam persepsi masyarakat juga menganggap penyakit yang
tidak parah tidak perlu dibawa ke rumah sakit, karena penyakit yang diderita
dianggap tidak mengancam jiwanya, tidak menggangu nafsu makan serta masih
mampu melakukan kegiatan sehari-hari walaupun agak terganggu.
3. Kemudahan
Pasien dapat segera ditangani tanpa harus menunggu hasil rontgen dan hasil
laboratorium lainnya
Masyarakat memilih pengobatan alternatif karena biayanya lebih murah dari pada
rumah sakit, cara pembayarannya juga tidak memberatkan karena pasien tidak
ditarik uang muka. Selain itu bagi yang tidak mampu membayar sekaligus dapat
dicicil setelah pulang. Jika ditinjau dari klasifikasi pasien yang datang ke tempat
pengobatan alternatif ini sebagian besar pekerjaannya adalah buruh kasar, sopir,
tukang parkir, sehingga wajar faktor ekonomi mentukan dalam hal memilih
tempat pengobatan.
1.2 Klasifikasi
Klasifikasi patah tulang menurut bentuk patah tulang adalah
1. Fraktur complet, pemisahan komplit dari tulang menjadi dua fragmen,
2. Fraktur incomplet, patah sebagian dari tulang tanpa pemisahan,
3. Simple atau closed fraktura, tulang patah, kulit utuh.
4. Fraktur komplikata, tulang yang menusuk kulit, tulang terlihat,
5. Fraktur tanpa perubahan posisi yaitu tulang patah, posisi pada tempatnya yang
normal,
6. Fraktur dengan perubahan posisi, ujung tulang yang patah berjauhan dari
tempat yang patah,
7. Communited fraktura, tulang patah menjadi beberapa fragmen dan
8. Impacted fraktura, salah satu ujung tulang yang patah menancap pada yang
Klasifikasi menurut garis patah tulang ada
1. Greenstick, fraktur di mana salah satu sisi tulang patah sedang sisi lainnya
membengkok,
2. Transverse, fraktur sepanjang garis tengah
3. Obligue, garis patah miring,
4. Spiral, fraktur memuntir seputar batang tulang ( Brunner & suddarth, 2002).
1.3 Manifestasi klinis
Adapun Manifestasi klinis fraktur adalah
1. Nyeri yang terus menerus dan bertambah beratnya sampai fragmen tulang diimobilisasi. Spasme otot yang menyertai fraktur merupakan bentuk bidai
alamiah yang dirancang untuk meminimalkan gerakan antar fragmen tulang.
2. Setelah terjadi fraktur, bagian-bagian tak dapat digunakan dan cenderung
bergerak secara tidak alamiah ( gerakan luar biasa) bukannya tetap rigid seperti
normalnya. Pergeseran fragmen pada fraktur lengan atau tungkai menyebabkan
deformitas ( terlihat maupun teraba ) ekstremitas yang hanya diketahui dengan membandingkan dengan ekstremitas normal. Ektremitas tak dapat berfungsi
dengan baik karena fungsi normal otot bergantung pada integritas tulang
3. Pada fraktur panjang, terjadi pemendekan tulang yang sebenarnya karena kontraksi otot yang melekat diatas dan dibawah tempat fraktur. fragmen sering
saling melingkupi satu sama lain 2,5 sampai 5 cm.
4. Saat ektremitas diperiksa dengan tangan, teraba adanya derik tulang dinamakan
krepitus yang teraba akibat gesekan antara fragmen satu dengan yang lainnya.
5. Pembekakan atau perubahan warna lokal pada kulit terjadi akibat trauma dan perdarahan yang mengikuti fraktur.Tanda ini bisa baru terjadi setelah
beberapa jam atau hari setelah cedera ( Brunner & suddarth, 2002 ).
1.4 Prinsip penanganan Fraktur
Prinsip penanganan fraktur meliputi reduksi, imobilisasi, dan pengembalian
fungsi dan kekuatan normal dengan rehabilitasi.
1) Reduksi Fraktur. Reduksi fraktur berarti mengembalikan fragmen tulang pada kesejajarannya dan rotasi anatomis. Adapun untuk mereduksi fraktur dapat
dilakukan dengan reduksi tertutup, traksi dan reduksi terbuka yang dipilih
bergantung sifat fraktur dan dilakukan sesegera mungkin untuk mencegah
jaringan lunak kehilangan elastisitasnya akibat infiltrasi karena edema dan
perdarahan.
a) Reduksi tertutup,
Pada kebanyakan kasus, reduksi tertutup dilakukan dengan mengembalikan
traksi manual. Ektremitas dipertahankan dalam posisi yang diinginkan sementara
gips, bidai, atau alat lain dipasang oleh dokter.
b) Traksi.
Traksi dapat digunakan untuk mendapatkan efek reduksi dan immobilisasi.
Beratnya traksi disesuaikan dengan spasme otot yang terjadi. Ketika tulang
sembuh, akan terlihat pembentukan kalus pada sinar-x. Ketika kalus telah kuat,
dapat dipasang gips atau bidai untuk melanjutkan immobilisasi.
a) Reduksi terbuka.
Pada fraktur tertentu memerlukan reduksi terbuka. Dengan pendekatan bedah,
fragmen tulang direduksi. Alat fiksasi interna dalam bentuk pin, kawat, skrup,
plat, paku, atau batangan logam dapat digunakan untuk mempertahankan fragmen
tulang dalam posisinya sampai penyembuhan yang solid terjadi. Alat ini dapat
diletakkan di sisi tulang atau dipasang melalui fragmen tulang atau langsung ke
rongga sumsum tulang. Alat tersebut menjaga aproksimasi dan fiksasi yang kuat
bagi fragmen tulang.
2) Imobilisasi Fraktur. Setelah direduksi, fragmen tulang harus diimobilisasi, atau dipertahankan dalam posisi atau kesejajaran yang benar sampai terjadi
penyatuan. Imobilisasi dapat dilakukan dengan fiksasi eksterna dan interna.
Mempertahankan dan mengembalikan Fungsi. Latihan isometrik dan setting otot
diusahakan untuk meminimalkan atropi disuse dan meningkatkan peredaran
darah. Partisipasi dalam aktivitas hidup sehari-hari diusahakan untuk
Adapun Faktor yang mempengaruhi penyembuhan fraktur adalah
Immobilisasi fragmen tulang, Kontak fragmen tulang maksimal, asupan darah
yang memadai, nutrisi yang baik, latihan pembebanan berat badan untuk tulang
panjang, hormon-hormon pertumbuhan, tiroid, kalsitonin, vit D, steroid anabolik
dan Potensial listrik pada patahan tulang panjang. Sedangkan Faktor yang
menghambat penyembuhan tulang adalah Trauma lokal ekstensif, kehilangan
tulang, immobilisasi tak memadai, infeksi, keganasan lokal, penyakit tulang
metabolik, radiasi tulang (nekrosis radiasi), nekrosis avaskuler, usia ( lansia
sembuh lebih lama) dan kortikosteroid (menghambat kecepatan perbaikan)
(Brunner & suddarth, 2002 ).
1.5 Proses Penyembuhan Tulang
Proses penyembuhan patah tulang adalah proses biologis alami yang akan
terjadi pada setiap patah tulang. Adapun proses yang terjadi adalah
a. Cedera Apabila tulang pasien patah maka cedera jaringan lunak akan mengelilinginya dan merobek periosteum sekurang-kurangnya satu fragmen.
Hal ini mengakibatkan gangguan suplai darah pada tulang yang berdekatan
dengan fraktur dan mengakibatkan iskemik.
b. Pembentukan kalus selama beberapa minggu periosteum dan endosteum menghasilkan kalus lunak yang penuh dengan sel kumparan yang aktif.
Pergerakan yang lembut dapat merangsang pembentukan kalus pada fraktur
tulang panjang. Kurangnya pergerakan komplit dapat menekan
secara lambat diubah menjadi anyaman tulang longgar terbuka yang membuat
ujung tulang menjadi melekat.
c. Penyatuan Tulang. Makin lama anyaman tulang yang mengelilingi fraktur menjadi lebih keras, dan terfiksasi dengan kuat pada fragmen sehingga dapat
bergerak sebagai satu kesatuan. Ini adalah penyatuan klinis dan merupakan
hal yang sangat penting dalam penyembuhan tulang yang patah. Biasanya
keadaan ini terjadi pada 4-8 minggu setelah cedera, tetapi pada tibia
memerlukan waktu lebih lama. Apabila fraktur pasien telah menyatu secara
klinis, pembidaian dapat dikurangi tetapi harus melindunginya dari stres
secara kontinu, terutama stres yang dapat menyebabkan patah.
d. Konsolidasi dan remodeling. Fragmen yang patah tetap dipertahankan oleh kalus, sedangkan tulang mati pada ujung dari masing-masing fragmen
dihilangkan secara perlahan, dan ujungnya mendapat lebih banyak kalus dan
akhirnya menjadi tulang padat. Semakin sering pasien menggunakan anggota
geraknya, semakin kuat tulang baru ini. Konsolidasi memerlukan waktu yang
sama dengan penyatuan secara klinis, karena itu jika penyatuan memerlukan
waktu delapan minggu, konsolidasi memerlukan waktu 16 minggu. Jangan
membiarkannya melakukan latihan keras hingga konsolidasi telah sempurna (
King & Bewes, 2001) .
1.6 Komplikasi
Menurut Brunner & suddarth (2002), ada 2 jenis komplikasi yang terjadi
Awal terjadi setelah fraktur adalah syok, yang bisa berakibat fatal dalam beberapa jam setelah cedera, Emboli lemak yang terjadi dalam 48 jam atau lebih dan
sindrom kompartemen, yang berakibat kehilangan fungsi ekstremitas permanen
jika tidak ditangani segera. a) Syok. Syok hipovolemik atau traumatik, akibat perdarahan (baik kehilangan darah eksterna maupun yang tak kelihatan) dan
kehilangan cairan ekstrasel ke jaringan yang rusak. Karena tulang merupakan
organ yang sangat vaskuler, maka dapat terjadi kehilangan darah yang sangat
besar sebagai akibat dari trauma. Khususnya pada fraktur femur dan pelvis. b)
Sindrom emboli lemak. Pada saat terjadi fraktur , globula lemak dapat masuk ke dalam darah karena tekanan sumsum tulang lebih tinggi dari tekanan kapiler atau
karena katekolamin yang dilepaskan oleh reaksi stres pasien akan memobilisasi
asam lemak dan memudahkan terjadinya globula lemak dalam aliran darah.
Globula lemak akan bergabung dengan trombosit membentuk emboli, yang
kemudian menyumbat pembuluh darah kecil yang memasok otak,paru,ginjal,dan
organ lain. c) Sindrom kompartemen Sindrom kompartemen merupakan masalah yang terjadi saat perfusi jaringan dalam otot kurang dari yang dibutuhkan
untuk kehidupan jaringan.ini bisa disebabkan karena 1) penurunan ukuran
kompartemen otot karena fasia yang membungkus otot terlalu ketat atau gips atau
balutan yang terlalu menjerat, atau 2) peningkatan isi kompartemen otot karena
edema atau perdarahan sehubungan dengan berbagai masalah. d) Komplikasi awal lainnya berupa tromboemboli, infeksi dan koagulopati intravaskuler diseminata (KID) merupakan kemungkinan komplikasi akibat fraktur. 2)
Penyatuan terlambat terjadi bila penyembuhan tidak terjadi dengan kecepatan
normal untuk jenis dan tempat fraktur tertentu. Penyatuan terlambat mungkin
berhubungan dengan infeksi sistemik dan distraksi fragmen tulang. Tidak adanya
penyatuan terjadi karena kegagalan penyatuan ujung-ujung patah tulang.faktor
yang ikut berperan dalam masalah penyatuan meliputi infeksi pada tempat fraktur,
interposisi jaringan diantara ujung-ujung tulang, imobilisasi dan manipulasi yang
tidak memadai yang menghentikan pembentukan kalus, jarak yang terlalu jauh
antara fragmen tulang, kontak tulang yang terlalu terbatas, dan gangguan asupan
darah yang mengakibatkan nekrosis avaskuler.
2. Keluarga
3.1Defenisi keluarga
Menurut Bergess (1962), keluarga adalah kelompok orang yang
mempunyai ikatan perkawinan, keturunan/hubungan sedarah atau hasil adopsi,
anggota tinggal bersama dalam satu rumah, anggota berinteraksi dan
berkomunikasi dalam peran sosial, serta mempunyai kebiasaan/kebudayaan yang
berasal dari masyarakat, tetapi mempunyai keunikan tersendiri. Sedangkan
Menurut depkes RI (1998), keluarga adalah unit terkecil dari suatu masyarakat
yang terdiri atas kepala keluarga dan beberapa orang yang berkumpul dan tinggal
disuatu tempat dibawah satu atap dalam keadaan saling ketergantungan (Mubarak,
2009).
Menurut Setiadi (2008), dari beberapa pengertian keluarga maka dapat
1. Ikatan atau persekutuan (perkawinan/kesepakatan)
2. Hubungan (darah / adopsi / kesepakatan )
3. Tinggal bersama dalam satu atap (serumah)
4. Ada peran masing-masing anggota keluarga
5. Ikatan emosional
Keluarga merupakan bagian dari masyarakat yang peranannya sangat
penting dalam membentuk kebudayaan yang sehat. Keluarga dijadikan sebagai
unit pelayanan karena masalah kesehatan keluarga saling berkaitan dan saling
mempengaruhi antara sesama anggota keluarga dan akan saling mempengaruhi
pula keluarga-keluarga yang ada disekitarnya atau dalam konteks yang luas
berpengaruh terhadap negara (Setiadi, 2008).
2.2 Karakteristik KeluargaKarakteristik menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia Balai Pustaka (1996) adalah sesuatu yang mempunyai sifat khas sesuai
dengan perwatakan tertentu (Dalimunte, 2011). Berbagai teori pemikiran dari
karakteristik tumbuh untuk menjelaskan berbagai kunci karakteristik manusia
(Boere, 2008). Menurut Diningrum dalam Daulay (2010) bahwa karakrteristik
adalah ciri-ciri dari individu yang terdiri dari data demografi seperti umur, jenis
kelamin, suku, agama, pendidikan, pekerjaan dan sebagainya. Jadi karakteristik
keluarga adalah sifat khas yang dimiliki oleh suatu keluarga berdasarkan ciri
keluarga yang terdapat dalam data demografi.. Adapun karakteristik keluarga
1. Usia
Umur adalah variable yang selalu diperhatikan dalam studi epidemiologi.
Angka kesakitan maupun angka kematian hampir semua menunjukkan hubungan
ke umur. Umur dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia adalah waktu hidup atau
ada sejak dilahirkan. Umur adalah usia individu terhitung sejak saat dilahirkan
sampai saat berulang tahun. Menurut Organisasi kesehatan dunia ( WHO) umur di
golongkan menjadi beberapa kelompok yaitu usia dewasa awal 18-39 tahun, usia
pertengahan (Middle age) 45-59 tahun, usia lanjut (elderly) 60-70 tahun, usia
lanjut tua (old) antara 70-90 tahun, usia sangat tua (very old) diatas 90 tahun
(erna, 2003). Adapun ciri dari dewasa awal adalah Usia banyak masalah yang
berkaitan dengan rumah tangga baru, hubungan sosial, keluarga, pekerjaan dan
faktor kesempatan. Dewasa pertengahan adalah meningkatnya minat terhadap
aktivitas sosial, sebagai warga negara atau minat yang berkaitan dengan hobi,
penyesuaian jabatan atau pekerjaan, penyesuaian yang berhubungan dengan
kehidupan keluarga. Masa Usia lanjut (60-70 tahun) yaitu masa dimana
kemampuan fisik cepat menurun. Pada usia lanjut kemampuan penerimaan dan
mengingat (intelegensia) mengalami penurunan. Menurut Lukman (2011) dalam
Daulay (2010) bahwa Usia yang semakin tinggi dapat menimbulkan kemampuan
seseorang mengambil keputusan semakin bijaksana. Dalam hal ini usia yang
dewasa pertengahanlah dianggap usia yang paling baik dalam mengambil
keputusan yang bijaksana.
Umur yang banyak terjadi pada fraktur femur ini pada usia dewasa muda
kecelakaan, atau pekerjaan. Sedangkan pada usia tua banyak terjadi pada wanita
berhubungan dengan adanya osteoporosis yang ada kaitannya dengan perubahan
hormon (Brunner & Suddarth, 2002). Adapun jenis Olah raga yang biasanya
menyebabkan dislokasi adalah sepak bola, hoki, serta olah raga yang beresiko
jatuh misalnya : terperosok akibat bermain ski, senam, volley, pemain basket dan
pemain sepak bola paling sering mengalami dislokasi pada tangan dan jari-jari
kaki karena secara tidak sengaja menangkap bola dari pemain lainnya, dan
terjatuh dari tangga atau terjatuh saat berdansa diatas lantai yang licin. Sedangkan
pekerjaan yang berisiko mengalami fraktur adalah tukang besi, supir, bangunan,
pembalap mobil, orang dengan penyakit degenarif dan neoplasma. Dan
kecelakaan yang paling sering menjadi penyebab fraktur adalah kecelakaan
sepeda motor.
2. suku
Suku merupakan bagian integral dari budaya. Di provinsi Sumatera Utara
ini hampir seluruh masyarakat didominasi oleh suku Batak. Demikian pula
budaya yang berkembang di Sumatera Utara di dominasi oleh Kebudayaan Batak.
Orang-orang Batak ini mendiami dataran tinggi Karo, langkat Hulu, Deli Hulu,
Serdang Hulu, Simalungun, Dairi, Toba, Humbang hasundutan , dll. Kontak
budaya dengan suku bangsa lain tidak banyak terjadi, kalaupun ada tidak terlalu
mempengaruhi pola kehidupan asli mereka (Damanik, 2009). Sebagai bagian
integral dari budaya, suku dapat mempengaruhi pandangan klien tentang
penyebab penyakit, persepsi keparahannya, dan pilihan terhadap penyembuhan
dipengaruhi oleh suku bangsa yang dianut pasien, jika aspek suku bangsa sangat
mendominasi maka pertimbangan untuk menerima atau menolak didasari pada
kecocokan suku bangsa yang dianut.
3. Agama
Tidak hanya suku, Agama dan sistem kepercayaan lainnya sering kali
terintegrasi dengan kebudayaan. Agama (bahasa Inggris religion, yang berasal
dari bahasa Latin religare, yang berarti “menabatkan”), adalah sebuah unsur kebudayaan yang penting dalam sejarah umat manusia. Dictionary of Philosophy and Religion (kamus Filosopi dan Agama) mendefenisikan agama sebagai
berikut, “...sebuah institusi dengan keanggotaan yang diakui dan biasa berkumpul
untuk beribadah, serta menerima sebuah paket doktrin yang menawarkan hal yang
terkait dengan sikap yang harus diambil oleh individu untuk mendapat
kebahagiaan sejati”. Agama biasa memiliki prinsip, seperti ” 10 firman” dalam
agama Kristen atau “ 5 rukun Islam “ dalam agama Islam. Agama berperan
penting dalam membentuk persepsi klien tentang sehat sakit. Sebagai komponen
integral dari budaya, agama dapat mempengaruhi penjelasan klien tentang
penyebab penyakit, persepsi keparahannya, dan pilihan terhadap penyembuhan (
pilihan pengobatan) ( Mubarak, 2009).
3. Pendidikan
Pendidikan adalah suatu proses belajar yang berarti didalam pendidikan itu
terjadi proses pertumbuhan, perkembangan atau perubahan kearah yang lebih
Sedangkan Menurut Notoadmojo (1997) pendidikan adalah suatu kegiatan atau
proses pembelajaran untuk mengembangkan atau meningkatkan kemampuan
tertentu sehingga sasaran pendidikan itu dapat berdiri sendiri. Dan melalui
pendidikan seseorang akan memperoleh pengetahuan, apabila semakin tinggi
tingkat pendidikan maka hidup akan semakin berkualitas dimana seseorang akan
berfikir logis dan memahami informasi yang diperolehnya.. Menurut wield Herry
A (1996) dalam Daulay (2010) menyebutkan bahwa tingkat pendidikan turut pula
menetukan mudah tidaknya seseorang menyerap atau memahami pengetahuan
yang mereka peroleh, pada umumnya semakin tinggi pendidikan seseorang maka
semakin baik pula pengetahuannya.
4. Pekerjaan dan Penghasilan
Faktor sosial ekonomi merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi
kesehatan seseorang. Faktor sosial ekonomi ini meliputi pekerjaan dan
penghasilan (Syafrudi, 2009). Dalam penelitiannya, Varghese (2004) dalam
Daulay (2010) menyebutkan bahwa 13,04% responden menyatakan pengobatan
alternatif dipilih karena alasan murah. Mahalnya obat-obatan modern dan
tingginya biaya fasilitas kedokteran canggih menjadi alasan masyarakat mencari
jenis pengobatan alternatif, pengobatan modern mengisyaratkan adanya
kemampuan ekonomi yang memadai. Faktor ekonomi mempunyai peranan besar
dalam penerimaan atau penolakan suatu pengobatan. Faktor ini diperkuat dengan
persepsi masyarakat bahwa pengobatan alternatif sedikit membutuhkan tenaga,
dari teknologi yang mahal untuk memecahkan masalah kesehatan, meskipun
kadang hal tersebut tidak efektif (Turana, 2003).
Kedokteran modern menjadi identik dengan unpersonal dan high cost medicine yang hanya terjangkau oleh sekelompok kecil masyarakat dan
kedokteran modern tersebut belum mampu secara meyakinkan menangani
masalah penyakit degeneratif seperti masalah penuaan, kanker, diabetes,
hipertensi. Hal ini mengakibatkan berkurangnya kepercayaan masyarakat dan
minat pencari pertolongan terhadap pengobatan konvensional (Turana, 2003).
3.3 Peran keluarga
Peran adalah sesuatu yang diharapkan secara normatif dari seorang dalam
situasi sosial tertentu agar dapat memenuhi harapan-harapan. Peran keluarga
adalah tingkah laku spesifik yang diharapkan oleh seseorang dalam konteks
keluarga. Jadi peran keluarga menggambarkan seperangkat perilaku interpersonal,
sifat, kegiatan yang berhubungan dengan individu dalam posisi dan situasi
tertentu. Peranan individu dalam keluarga didasari oleh harapan dan pola perilaku
dari keluarga, kelompok dan masyarakat (Setiadi, 2008).
Dalam UU Kesehatan nomor 23 tahun 1992 pasal 5 menyebutkan “ setiap
orang berkewajiban untuk ikut serta dalam memelihara dan meningkatkan derajat
kesehatan perorangan, keluarga, dan lingkungan. Dari pasal ini jelas bahwa
keluarga berkewajiban menciptakan dan memelihara kesehatan dalam upaya
Setiap anggota keluarga memiliki perannya masing-masing seperti Ayah
sebagai pemimpin keluarga mempunyai peran sebagai pencari nafkah, pendidik,
pelindung/pengayom dan pemberi rasa aman bagi setiap anggota keluarga dan
juga sebagai anggota masyarakat kelompok sosial tertentu. Peran Ibu sebagai
pengurus rumah tangga, pengasuh dan pendidik anak-anaknya, pelindung
keluarga, pencari nafka tambahan keluarga dan juga sebagai anggota masyarakat
kelompok sosial tertentu. Peran Anak, anak berperan sebagai pelaku psikososial
sesuai dengan perkembangannya fisik, mental, sosial dan spiritual (Setiadi, 2008)
3.4 Fungsi pokok keluarga
Menurut Friedman (1988), secara umum fungsi pokok keluarga adalah sebagai
berikut :
1) Fungsi Afektif, fungsi afektif berguna untuk pemenuhan kebutuhan
psikososial. Keberhasilan fungsi afektif terlihat dalam keluarga yang gembira
dan bahagia.
2) Fungsi sosialisasi, sosialisasi merupakan suatu proses yang berlangsung
seumur hidup, dimana individu secara kontinu mengubah perilaku mereka
sebagai hasil dari interaksi sosial dan pembelajaran peran-peran sosial yang
mereka alami. Anggota keluarga belajar disiplin, norma, budaya, serta
perilaku melalui hubungan dan interaki dalam keluarga, sehingga individu
mampu berperan di masyarakat.
3) Fungsi Reproduksi, adalah fungsi untuk meneruskan kelangsungan
4) Fungsi Ekonomi, untuk memenuhi kebutuhan keluarga seperti : makan,
pakaian, dan perumahan, maka keluarga memerlukan sumber keuangan.
Fungsi ini sulit dipenuhi pada keluarga yang berada dibawah garis
kemiskinan. Perawat bertanggung jawab untuk mencari sumber-sumber di
masyarakat yang dapat digunakan oleh keluarga dalam meningkatkan status
kesehatan.
5) Fungsi Perawatan Keluarga/Pemeliharaan Kesehatan, fungsi perawatan
kesehatan merupakan pertimbangan vital dalam pengkajian keluarga. Guna
menempatkan dalam sebuah perspektif, fungsi ini merupakan salah satu
fungsi keluarga yang memerlukan penyediaan kebutuhan-kebutuhan fisik,
seperti makan, pakaian, tempat tinggal, dan perawatan kesehatan. Jika dilihat
dari perspektif masyarakat, keluarga merupakan sistem dasar, dimana
perilaku sehat dan perawatan kesehatan diatur, dilaksanakan, dan diamankan
(Mubarak, chayatin, santoso, 2009)
3.5 Struktur keluarga
Menurut Setiadi (2008) Struktur keluarga menggambarkan bagaimana keluarga
melaksanakan fungsi keluarga di masyarakat. Struktur keluarga terdiri dari
bermacam-macam, diantaranya
1) Patrilineal adalah keluarga sedarah yang terdiri dari sanak saudara sedarah
dalam beberapa generasi, diman hubungan ini disusun melalui jalur garis ayah.
2) Matrilineal yaitu beberapa generasi dimana hubungan itu disusun melalui jalur
3) Matriloka Adalah pasangan suami istri yang tinggal bersama keluarga sedarah
istri.
4) Patriloka adalah sepasang suami istri yang tinggal bersama keluarga sedarah
suami.
5) Keluarga Kawin adalah hubungan suami istri sebagai dasar bagi pembinaan
keluarga, dan beberapa sanak saudara yang menjadi bagian keluarga karena
adanya hubungan dengan suami atau istri.
Sedangkan menurut Friedman (1998) struktur keluarga terdiri atas
1) Pola dan proses komunikasi yaitu Komunikasi dalam keluarga dikatakan
berfungsi apabila dilakukan secara jujur, terbuka, melibatkan emosi, konflik
selesai, dan ada hierarki kekuatan. Komunikasi dalam keluarga dikatakan tidak
berfungsi apabila tertutup, adanya isu atau berita negatif, tidak berfokus pada
satu hal, dan selalu mengulang isu dan pendapat sendiri.
2) Struktur peran yaitu serangkaian perilaku yang diharapkan sesuai dengan posisi
sosial yang diberikan. Jadi, pada struktur peran bisa bersifat formal atau
informal.
3) Struktur kekuatan adalah kemampuan dari individu untuk mengontrol,
mempengaruhi atau mengubah perilaku orang lain.
4) Struktur Nilai dan Norma. Nilai adalah sistem ide-ide, sikap, keyakinan yang
pola perilaku yang diterima pada lingkungan sosial tertentu, lingkungan
keluarga, dan lingkungan masyarakat sekitar keluarga.
Adapun yang menjadi ciri-ciri struktur keluarga adalah: Terorganisasi, yaitu saling berhubungan, saling ketergantungan antara anggota keluarga. Adanya keterbatasan, dimana setiap anggota memiliki kebebasan tetapi mereka juga mempunyai keterbatasan dalam menjalankan fungsi dan tugasnya masing-masing.
Adanya perbedaan dan kekhususan, yaitu setiap anggota keluarga mempunyai peranan dan fungsinya masing-masing.
3.6 Faktor-faktor yang memepengaruhi kesehatan keluarga
Keluarga sebagai sistem sosial didalamnya berlangsung interaksi secara
terus-menerus antara anggota keluarga dan lingkungan internal dan eksternal,
maka dengan sendirinya keluarga akan melakukan kompensasi sebagai upaya
untuk menyesuaikan dengan perubahan tersebut sehingga fungsi kesehatannya
dapat terjaga.
Kesehatan keluarga dipengaruhi oleh anggota keluarga dalam menjalankan
fungsinya dengan baik.
Adapun beberapa faktor yang mempengaruhi kesehatan keluarga adalah :
1) Faktor Fisik
Ross, mirowsaky dan Goldstein (1990) memberikan gambaran bahwa
hubungan positif antara perkawinan dengan kesehatan fisik. Contoh dari
hubungan positif tersebut antara lain : seorang suami sebelum menikah
lebih gemuk, beberapa alasan dikemukakan bahwa dengan menikah suami
ada yang memperhatikan dan pola makan lebih teratur begitu sebaliknya
terjadi pada istri.
2) Faktor Psikis
Terbentuknya keluarga akan menimbulkan dampak psikologi yang besar,
perasaan nyaman karena saling memperhatikan, saling menberikan penguatan
atau dukungan. Suami akan merasa tentram dan tararah setelah beristri
begitupun sebaliknya.
3) Faktor Sosial
Status sosial memiliki dampak yang signifikan terhadap fungsi kesehatan
sebuah keluarga. Dalam sebuah keluarga ada kencederungan semakin tinggi
tingkat pendapatan yang diterima semakin baik taraf kehidupannya.
Tingginya pendapatan yang diterima akan berdampak pada pemahaman
tentang pentingnya kesehatan, jenis pelayanan kesehatan yang dipilih, dan
bagaiman berespon terhadap masalah kesehatan yang ditemukan dalam
keluarga. Sedangkan status sosial ekonomi yang rendah memaksa keluarga
untuk memarginalkan fungsi kesehatan keluarganya, dengan alasan
keluarganya akan mendahulukan kebutuhan dasarnya.
4) Faktor Budaya
Setiap suku atau bahkan bangsa memiliki keyakinan dan penilaian yang
berbeda-beda terhadap fungsi kesehatan. Keyakinan keluarga terhadap fungsi
kesehatan sangat dipengaruhi oleh nilai dan keyakinan yang dibawa
sebelumnya.
b) Nilai-nilai Keluarga
Nilai-nilai yang dimiliki oleh keluarga mempengaruhi kesehatan keluarga
yang bersangkutan. Misalnya sebuah keluarga yang kurang memperhatikan
kesehatan akan merasa bahwa tanpa melakukan upaya apapun kesehatan
keluarganya terjaga, tetapi keluarga tersebut akan mengalami kesulitan jika
waktu nilai yang diyakini ternyata salah dan terbukti bahwa kesehatan
keluarganya terganggu.
c) Peran dan Pola Komunikasi Keluarga
Dampak budaya terhadap peran, kekuatan dan komunikasi keluarga
berbeda-beda pada tiap keluarga. Jika terjadi perubahan terhadap budaya dengan
semestinya terjadi pergeseran peran, aturan-aturan, kekuatan dan pola
komunikasi.
d) Koping Keluarga
Koping keluarga dipengaruhi oleh budaya, keluarga akan berusaha
beradaptasi dengan perubahan budaya. Koping diartikan sebagai respon
positif baik kognitif, afektif, maupun psikomotor bagi kehidupan keluarga
3.7 Tugas keluarga dalam bidang kesehatan
Sesuai dengan fungsi pemeliharaan kesehatan, keluarga mempunyai tugas
dibidang kesehatan yang perlu dipahami dan dilakukan. Menurut Friedman,
(1998) membagi 5 tugas keluarga dalam bidang kesehatan yang harus dilakukan,
yaitu :
1) Mengenal masalah kesehatan setiap anggotanya. Perubahan kecil apapun yang
dialami anggota secara tidak langsung menjadi perhatian dan tanggung jawab
keluarga, maka apabila menyadari adanya perubahan perlu segera dicatat kapan
terjadinya, perubahan apa yang terjadi dan seberapa besar perubahannya.
2) Mengambil keputusan untuk melakukan tindakan yang tepat bagi keluarga.
Tugas ini merupakan upaya keluarga yang utama untuk mencari pertolongan
yang tepat sesuai dengan keadaan keluarga, dengan pertimbangan siapa
diantara keluarga yang mempunyai kemampuan memutuskan untuk
menentukan tindakan keluarga maka segera melakukan tindakan yang tepat
agar masalah kesehatan dapat dikurangi atau bahkan teratasi.
3) Memberikan perawatan anggotanya yang sakit atau yang tidak dapat membantu
dirinya sendiri karena cacat atau usianya yang terlalu muda. Perawatan ini
dapat dilakukan di rumah apabila keluarga memiliki kemampuan melakukan
tindakan untuk pertolongan pertama atau kepelayanan kesehatan untuk
memperoleh tindakan lanjutan agar masalah yang lebih parah tidak terjadi.
4) Mempertahankan suasana dirumah yang menguntungkan kesehatan dan
berteduh, berlindung, dan bersosialisasi bagi anggota keluarga. Sehingga
anggota keluarga akan memiliki waktu lebih banyak berhubungan dengan
lingkungan tempat tinggal. Oleh karena itu, kondisi rumah haruslah dapat
menjadikan lambang ketenangan, keindahan, ketentraman, dan dapat
menunjang derajat kesehatan bagi anggota keluarga.
5) Mempertahankan hubungan timbal balik antara keluarga dan lembaga
kesehatan (pemanfaatan fasilitas kesehatan). Apabila mengalami gangguan
atau masalah yang berkaitan dengan kesehatan keluarga atau anggota keluarga
harus dapat memanfaatkan fasilitas kesehatan yang ada disekitarnya. Keluarga
dapat berkonsultasi atau meminta bantuan tenaga keperawatan untuk
memecahkan masalah yang dialami anggota keluarganya, sehingga keluarga
dapat terbebas dari segala macam penyakit.
3.8 Proses pengambilan keputusan
Menuru Webber dalam Adriati (2010), suatu tindakan adalah perilaku
manusia, yang mempunyai makna subjektif bagi pelakunya (Sunarto, 2005). Inti
dari pengambilan keputusan adalah terletak dalam perumusan berbagai alternatif
tindakan sesuai dengan yang dalam perhatian dan dalam pemiliha alternatif yang
tepat setelah suatu evaluasi (penilaian) mengenai keefektivitasanya dalam
mencapai tujuan yang dikehendaki pengambil keputusan (Daulay, 2010)
Salah satu komponen terpenting dari proses pembuatan keputusan adalah
kegiatan pengumpulan informasi dari mana sutu apresiasi mengenai sutu
masalah yang dihadapinya. Pengambilan keputusan adalah pemilihan alternatif
perilaku dari dua alternatif atau lebih. Apabila informasi yang cukup dapat
dikumpulakan guna memperoleh suatu spesifikasi yang lengkap dari semua
alternatif dan tingkat keefktifannya dalam situasi yang sedang menjadi perhatian.
Proses pembuatan atau pengambilan keputusan relatif sangatlah mudah. Akan
tetapi dalam prakteknya sangatlah tidak mungkin untuk mengumpulkan informasi
secara lengkap, mengingat terbatasnya dana, waktu, (Supranto,1991 dalam Purba
2006).pada umumnya pasien memperoleh pengalaman positif tentang
keberhasilan pengobatan melalui informasi langsung dari orang yang telah
mengalami pengobatan atau melihat langsung keberhasilan pengobatan (Daulay,
2010)
Lebih lanjut Foster dan Anderson (1986) menjelaskan, bahwa pengetahuan
masyarakat tentang kesehatan berpengaruh terhadap tindakan yang dilakukannya.
Terbukti bahwa ada masyarakat yang menggunakan jasa sistem medis moderen
dan ada juga yang menggunakan sistem medis tradisional. Atas pengetahuan yang
dimiliki itulah yang mendasari mengapa mereka memilih pengobatan moderen
atau tradisional.
Berdasarkan model Fabrega dalam Purba (2006), seseorang yang melakukan
pertimbangan yang menyangkut rencana pengobatan:
1) Melalui rencana pengobatan, yaitu memperkirakan kemungkinan bahwa setiap
tindakan yang diambil akan mengurangi ancaman yang mungkin timbul akibat
2) Memperhitungkan segala keuntungan yang diperoleh dari suatu tindakan, yakni
seberapa jauh setiap rencana pengobatan akan mengurangi keluhan penyakit
yang dirasakan.
3) Memperhitungkan segala kerugian meliputi biaya, waktu dan tenaga yang
diperlukan untuk melaksanakan setiap tindakan.
4) Menetapkan manfaat dari setiap alternatif rencana pengobatan dengan melihat
selisih kerugian dan keuntungan dari setiap tindakan yang diambil.
Hal terpenting dalam memilih “Rencana pengobatan” dalam proses pemilihan
tindakan yang dilaksanakan orang akan menerapkan aturan-aturan dalam
pengambilan keputusan (misalnya memilih yang termurah, manfaatnya besar dan