• Tidak ada hasil yang ditemukan

42 KERJASAMA INDONESIA-KOREA SELATAN DALAM PENGEMBANGAN DESA MELALUI SISTEM SAEMAUL UNDONG (Studi Kasus Kerjasama Lintas Batas Daerah Istimewa Yogyakara- Gyeongsangbuk-Do)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "42 KERJASAMA INDONESIA-KOREA SELATAN DALAM PENGEMBANGAN DESA MELALUI SISTEM SAEMAUL UNDONG (Studi Kasus Kerjasama Lintas Batas Daerah Istimewa Yogyakara- Gyeongsangbuk-Do)"

Copied!
20
0
0

Teks penuh

(1)

42

Gyeongsangbuk-Do)

Firstyarinda Valentina Indraswari1

Abstract

The role of sub-state is getting wider and strategic in achieving the national interest of the state. The scholars sees this entity could works beyond it’s state in implementing their foreign policy. This capability could bring a positive and a negative impact within the state and toward international system. The specific role of this sub-state, such as province, districs, and village or rural area, has been studied in various sector including in the concept of sister city and cross border cooperation. The studies also covers various issues that needs multiactor participation to resolve it. The issues are such as environment, rural development, healthy, conflict rehabilitation, etc.

This research tend to analyze the cooperation between Special Region of Yogyakarta and Gyeongsangbuk-Do in the scope of rural development issue. These provinces already cooperate for 10 years under various programmes cover by Saemaul Undong system. This is the Korean system in developing rural area and has been adopted in 14 states until today.

By using cross border cooperation concept, this qualitative research found that these provinces has reached the third phase of cooperation process. The last phase, the fourth one, still face a difficult path because of the limitation authority of the local government. Various factors such as economic, culture, historical experience also booster the cooperation.

Keywords: Cross Border Cooperation, Saemaul Undong, Special Region of Yogyakarta, Gyeongsangbuk-Do

Pendahuluan

Peran sub-negara dalam pencapaian politik luar negeri suatu negara sudah semakin meluas dan strategis pada abad ke 21. Negara tidak lagi bergerak sendiri melalui kementerian luar negeri dan diplomatnya. Melainkan terdapat aktor-aktor lain seperti organisasi, individu, termasuk pemerintah daerah. Pemerintah daerah

(2)

ini yang dalam istilah dibeberapa negara diwakilkan dengan nama negara bagian, kota, dan distrik. Pemerintah daerah diberi kewenangan tertentu untuk mencapai kepentingan nasional daerahnya dengan membangun kerjasama dengan aktor sub-negara lain di sub-negara lain. Istilah kerjasama ini yang dikemudian hari dikenal dengan paradiplomasi.

Pemerintah daerah melalui kota, kabupaten, bahkan hingga tingkat desa sebenarnya, menjadi aktor penopang dalam aktivitas paradiplomasi ini. Sayangnya yang masih lebih banyak dibahas adalah sisi pemerintah daerahnya dalam mengaplikasi, mengembangkan, maupun mengevaluasi aktivitas tersebut. Padahal, pada satu titik tertentu, aktor sub-daerah, yaitu desa juga sedikit banyak berperan karena pada umumnya di wilayah merekalah titik budaya, sumber daya alam, dan kearifan lokal secara teknis bertemu dan bersinergis satu sama lain.

Secara khusus, perhatian negara maupun komunitas internasional terhadap pengembangan desa telah banyak dilakukan. Pola pengembangan yang dilakukan pun beragam. Kerjasama sister city dan sister province merupakan skema yang melibatkan kerjasama antara pemerintah daerah. Kerjasama antar pemerintah dan INGO’s (International Non-Governmental Organizations) juga telah banyak dilakukan melalui berbagai proyek. Dan diantara skema-skema tersebut, skema yang melibatkan keterlibatan masyarakat desa setempat menjadi perhatian khusus dan terbukti berpengaruh signifikan pada perubahan kondisi desa. Hal ini disebabkan masyarakat desa sendiri yang mengetahui kebutuhan desanya sehingga pembangunan yang dilakukan lebih tepat sasaran.

(3)

semenjak itu, sistem ini secara intensif dikaji, diformulasi secara terpadu, dan telah diadopsi oleh 70 negara di kawasan Asia, Afrika, dan Amerika Latin (Douglass, 2013). Pemerintah Korea Selatan melalui Pusat Saemaul Undong di beberapa negara tersebut memberikan pendampingan dalam bentuk berbagai proyek dan pelatihan.

Mengglobalnya adopsi sistem ini melalui kerjasama pemerintah Korea Selatan menarik perhatian pemerintah Republik Indonesia. Di tingkat pemerintah pusat kerjasama ini baru diinisiasi pada akhir tahun 2014. Prosesnya baru sampai tahap penandatangan MoU dan belum sampai pada kerjasama teknis. Sedangkan pada tingkat pemerintah daerah, terdapat satu provinsi yang telah lama mengadakan kerjasama dengan provinsi lain di Korea Selatan. Kerjasama sister -province telah terjalin antara Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) dengan Provinsi Gyeongsangbuk-Do sejak tahun 2005 (Biro Kerjasama Setda Propinsi DIY, 2006) . Kerjasama pengembangan desa melalui Sistem Saemaul Undong ini bahkan berlanjut hingga tahun 2015 ini (Giyanto, 2015).

(4)

kerjasama ini diharapkan dapat membantu pemerintah di tingkat pusat untuk mempersiapkan skema kerjasama yang komprehensif.

Pengkajian proses kerjasama antara pemerintah Indonesia dan Korea Selatan perlu dilihat berdasarkan konsep maupun teori yang sesuai dengan ruang lingkup kerjasama itu sendiri. Teori kerjasama yang tepat dibutuhkan untuk memberikan sudut pandang yang komperhensif dalam proses adopsi sistem Saemaul Undong yang meliputi banyak aspek. Selain itu pemahaman mendasar mengenai sistem Saemaul Undong ini sendiri menjadi hal yang vital diperlukan mengingat terdapat sejumlah strategi, proses, dan tahapan yang khas yang memerlukan dasar pengetahuan dan penyesuaian kebijakan secara terpadu. Oleh karena itu, beberapa tulisan berikut disajikan dalam upaya memberikan pemahaman menyeluruh terhadap proses kerjasama yang terjalin antara kedua negara.

Metode Penelitian

Penelitian ini menggunakan jenis penelitian kualitatif dengan sumber data tekstual. Data yang akan dipergunakan terdiri dari data sekunder yang terdiri dari sejumlah jurnal dan hasil penelitian terkait aplikasi sistem Saemaul Undong. Adapun sumber referensi primer seperti wawancara dengan pihak-pihak terkait sayangnya tidak bisa terpenuhi karena lambatnya respon atas pengajuan permohonan penelitian dan tidak tersedianya data kerjasama. Secara khusus, metode analisis data yang digunakan adalah dengan melalui pemahaman akan studi kasus (www.sagepub.com). Kerjasama Provinsi DIY dengan Provinsi Gyeongsangbuk-Do menjadi contoh studi kasus dari penelitian ini. Analisa data dilaksanakan secara deskripsi analitik.

(5)

anggota yang lebih intens dan idealnya membawa harmonisasi yang lebih baik. Tetapi hal tersebut disadari tidak dapat dilakukan dalam waktu singkat mengingat berbagai elemen yang terhubung antara negara yang satu dengan negara yang lain. Elemen tersebut antara lain ketakutan historis, identitas, dan hambatan perdagangan yang tidak terlihat (Van Houtum, 2002, dalam De Sousa, 2012). Upaya Uni Eropa dalam mengharmonisasikan kerjasama antar negara ini kemudian diformulasikan dalam program-program INTERREG dan pembentukan kelompok kerjasama teritorial (Grouping of Territorial Cooperation (EGTC)).

Melalui program dan kelompok yang dibentuk tersebut, terdapat kerangka konseptual yang diberikan untuk memahami pertumbuhan dan keragaman regionalisme lintas batas di dalam konteks Uni Eropa. Kerangka tersebut meliputi kerangka pendorong dan kerangka tingkat kerjasama. Kerangka pendorong tersebut antara lain adalah empati historis dan kultural, pola-pola kerjasama lintas wilayah yang sudah ada sebelumnya, kelengkapan sektor-sektor ekonomi, kapasitas institusi dan kesiapan otoritas regional ataupun lokal dalam merespon tantangan.(De Sousa, 2012). Kerangka pendorong ini dirangkum dalam tiga aspek besar yaitu pendorong ekonomi, pendorong kepemimpinan politik, dan pendorong geografis. (De Sousa, 2012).

(6)

Kerjasama fungsional merupakan tingkat ketiga dari komitmen antara kedua negara. Kerjasama ini lebih permanen. Ia mensyaratkan pemberdayaan sumber-sumber yang lebih besar. Selain itu juga membutuhkan komitmen yang lebih besar dari pejabat-pejabat publik administratif dan politik di tingkat lokal ataupun regional. Kerjasama di tingkat ini bertujuan untuk menyelesaikan sejumlah masalah, menciptakan kesempatan bisnis serta mempromosikan pertukaran budaya dan mengurangi hambatan tak terlihat pada mobilitas buruh.

Pada tingkat yang terakhir, keempat, De Souse melihat dari asumsi ketiga tingkat sebelumnya yang dapat memicu terbentuknya kapasitas institusional antara kedua negara. Tingkat ini ditandai dengan adanya layanan publik maupun sumber-sumber publik yang memiliki pengelolaan yang sama atau umum antara kedua wilayah. Kerjasama di tingkat ini yang memang cenderung masih lemah dan mengurangi keharmonisan hubungan karena perbedaan desain layanan.

Keempat tingkatan di atas menjadi salah satu acuan dalam melihat dan mengidentifikasikan dalamnya hubungan kerjasama lintas batas antar negara. Diharapkan melalui proses yang bertahap masing-masing negara dapat mencapai harmonisasi hubungan dengan negara yang lintas batas dengannya.

Konsep kerjasama lintas batas ini kemudian perlu disinergikan dengan sistem Saemaul Undong yang menjadi potensi adopsi dari kerjasama kedua negara. Sistem ini merupakan sistem yang dikembangkan oleh President Park Chung Hee di era 70-an. Sistem ini oleh Edward P.Reed dianggap sebagai upaya menarik wilayah pedesaan agar dapat mengikuti laju pertumbuhan perekonomian negara yang meningkat melalui industrialisasi di perkotaan (Reed, 2010). Sedangkan oleh Park Sooyoung, sistem ini dianggap sebagai strategi untuk mengurangi angka kemiskinan nasional (Sooyong, 2009). Sistem ini berhasil mengangkat derajat taraf hidup masyarakat di daerah pedesaan di Korea Selatan sehingga menarik negara lain di Asia dan Afrika untuk mengadopsi sistem ini.

(7)

peningkatan pada infrastruktur fisik desa. Pemerintah memberikan sejumlah contoh proyek yang dapat dijadikan panduan oleh masyarakat desa untuk mengembangkan ide-ide original sesuai dengan apa yang mereka mampu lakukan. Pada tahap ini kepercayaan diri masyarakat desa dibangun sebagai langkah awal yang sangat vital. Kepercayaan diri terhadap kemampuan yang dimiliki dan infrastruktur dasar yang ada penting untuk meningkatkan produktifitas pertanian mereka. Pada tahap selanjutnya, setelah masyarakat desa cukup percaya diri, sistem ini mengalihkan fokusnya pada proyek peningkatan pendapatan masyarakat desa. Pada tahap terakhir, fokus sistem ini ditujukan pembanguna kapasitas dan perubahan sikap dengan cakupan berbagai proyek yang telah diiniasi dari tahap awal, semakin dikembangkan lebih luas (Sooyoung, 2009).

(8)

Hasil

Gambaran Umum Kerjasama Indonesia-Korea Selatan

Tidak bisa dipungkiri masa Perang Dingin membawa sejumlah perubahan signifikan bagi aktivitas dan interaksi negara-negara dalam sistem internasional. Bagi negara-negara besar seperti Amerika Serikat (AS) dan Rusia kala itu, aktivitas dan interaksi difokuskan pada perluasan pengaruh melalui ideologi yang dibawa. Sedangkan bagi negara-negara berkembang atau kecil, momen tersebut menjadi titik awal dari kemandirian mereka dalam memutuskan akan berinteraksi dengan negara mana saja untuk mencapai kepentingan nasionalnya. Aktivitas interaksi yang ditargetkan tidak lagi hanya berfokus dengan negara tetangga yang berbatasan langsung dengannya, tetapi juga sudah melampaui sub kawasan dan kawasan.

Begitupun yang terjadi antara Indonesia dan Korea Selatan. Kedua negara ini memulai hubungannya di tahun 1966 pada tingkat konsuler dan disempurnakan dengan hubungan diplomatik pada tahun 1973 ( Yoon, 2007). Semenjak itu berbagai sektor menjadi pintu masuk beragam skema kerjasama. Penanaman modal asing Korea Selatan di Indonesia hingga tahun 2007 tercatat menempati posisi ke empat (Yoon, 2007). Keseriusan kedua negara dalam membangun hubungan semakin diperkuat dengan penandatangan Joint Declaration pada masa pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhono dan Presiden Roh Moo Hyun pada tahun 2006. Penandatangan ini membawa kedua negara kepada babak baru hubungan yang lebih strategis dalam kerangka strategic partnership (Indonesian Embassy Seoul,2014).

(9)

KPDT resmi dibentuk pada tahun 2014 dengan fokus kerja pada sektor pengembangan desa, pengembangan wilayah transmigrasi dan daerah tertinggal. Pada perencanaan dan pelaksanaan fungsi-fungsi kerja tersebut, KPDT tidak hanya berkoordinasi dan bekerja sama dengan kementerian terkait lainnya, tetapi juga dengan aktor-aktor lain termasuk negara lain dan sejumlah LSM. Luasnya cakupan aktor kerjasama ini diharapkan lebih mengoptimalkan peran KPDT dalam membangun desa di Indonesia. Tercatat 17 kementerian lain akan bersinergi dengan KPDT dalam menjalankan program kerjanya (www.kemendesa.go.id, 2014). KPDT juga tidak menutup diri dari upaya membangun desa dengan negara lain. Adapun negara-negara yang tertarik untuk bekerjasama dengan KPDT adalah Korea Selatan. Sedangkan untuk negara yang ditargetkan oleh KPDT untuk melakukan kerjasama antara lain dengan Jepang, Australia, AS, dan beberapa negara lain (www.kemendesa.go.id, 2015).

Ketertarikan Korea Selatan terhadap KPDT ditunjukkan dengan kunjungan Duta Besar Korea Selatan untuk Republik Indonesia, Taiyoung Cho, dua bulan setelah kementerian ini terbentuk (www.kemendesa.go.id, 2014). Hal ini tentunya membawa pesan tersendiri dimana Korea Selatan melihat institusi ini menjadi titik yang cukup strategis dalam meningkatkan hubungan kerjasama antara kedua negara. Dari kunjungan pertama tersebut, inisiasi kerjasama sudah tersampaikan dari kedua belah pihak.

Proses Kerjasama Indonesia-Korea Selatan dalam Membangun Desa melalui

sistem Saemaul Undong

Proses Kerjasama di tingkat Pusat (Negara-Negara)

(10)

kesejahteraan masyarakat desa dan memberikan kontribusi pada pertumbuhan perekonomian negara. Sistem tersebut disebut juga dengan Sistem Saemaul Undong. Sistem ini berfokus pada pemberdayaan masyarakat sebagai jantung pembangunan desa. Hal ini sesuai dengan prinsip pembangunan desa yang sebelumnya pun sebenarnya sudah dimiliiki oleh masyarakat indonesia, yang kita kenal dengan istilah gotong royong.

Pada kunjungan perdana duta besar Korsel untuk Indonesia, inisiasi secara spesifik dalam bentuk kerjasama pembangunan desa melalui sistem Saemaul Undong telah terwacanakan. Menteri KPDT, Marwan Jafar pun sudah membayangkan dalam aspek apa saja Indonesia mampu membangun kerjasama melalui sistem ini. “Secara lebih mendalam, usulan kerja sama akan mengangkat peluang penerapan pembangunan. Mungkin dimulai dari sisi teknologi, mengangkat potensi ekonomi serta perbaikan infrastruktur di perdesaan tersebut,” Sementara itu, duta besar Korsel menyampaikan aspek kerjasama yang dibangun dapat melalui pemberdayaan masyarakat desa melalui sektor usaha kecil menengah (UKM) yang berkoordinasi dengan berbagai perusahaan asal Korea Selatan. (www.kemendesa.go.id, 2014).

Inisiasi kerjasama ini ditindaklanjuti dengan penandatanganan MoU pada bulan Agustus 2015. Penandatangan MoU dilakukan oleh Menteri KPDT Republik Indonesia dengan Menteri Administrasi Pemerintahan dan Dalam Negeri Republik Korea di Jakarta. Kerjasama konkrit akan disepakati dalam kunjungan KPDT ke Korea Selatan pada bulan November 2015 (www.kemendesa.go.id, 2015).

Proses Kerjasama di tingkat Provinsi (Provinsi-Provinsi)

(11)

Kerjasama ini dirintis sejak tahun 2001 dimana utusan Provinsi Gyeongsangbuk-Do yang mengawali inisiasi kerjasama. Proses selanjutnya dtandai dengan serangkaian pertemuan dan penandatangan berbagai kesepakatan. Pada tahun 2003, delegasi DIY berkunjung ke Provinsi Gyeongsangbuk-Do, Korea Selatan untuk penandatanganan Leter of Intent (LoI). Dua tahun berikutnya, pada tahun 2005, Gubernur kedua Provinsi sepakat menandatangi Memorandum of Understanding (MoU) di Yogyakarta.(Biro Kerjasama Setda Propinsi DIY, 2006). Berbagai keuntungan yang dirasakan kedua belah pihak ternyata sampai membawa keduanya pada keputusan keberlanjutan LoI pada bulan September 2015 yang lalu. Sri Sultan HB X menyatakan bahwa keberlanjutan ini disepakati karena melihat karakteritik khusus dari Saemaul Undong yang mampu diadopsi dengan oleh masyarakat desa Yogyakarta dan terbukti meningkatkan kesejahteraan hidup mereka.(Giyanto, 2015).

Berdasarkan konsep kerjasama lintas-batas (cross border cooperation) De Sousa, kerangka tingkatan kerjasama antara provinsi DIY dengan Gyeongsangbuk-Do dapat dilihat dari proses awal tahun 2001 hingga 2015. Terhitung semenjak tahun 2003 hingga 2005 kedua belah pihak rutin melakukan kunjungan bilateral. Kunjungan tersebut dalam rangka penandatangan MoU dan LoI. Program-program yang disepakati dalam MoU dan LoI meliputi bidang budaya, pendidikan, ekonomi, seni, pertanian, perdagangan, industri dan investasi serta pariwisata(Biro Kerjasama Setda Propinsi DIY, 2006).

(12)

pembangunan desa. Aktivitas ini menurut De Sousa dapat dikategorikan pada tingkat pertama dari kerjasama, yaitu peningkatan kesadaran kerjasama.

Pada tingkatan selanjutnya, yaitu kerjasama bantuan mutual, kedua belah pihak juga teridentifikasi melaksanakan berbagai aktivitas tersebut. De Sousa mensyaratkan adanya aktivitas yang terkait dengan kesepakatan pendampingan lintas batas dalam aspek kemanusiaan dan bencana alam. Dalam hal ini, Pihak Provinsi Gyengsangbuk-do telah memiliki program rutin berupa pengiriman relawan muda semenjak tahun 2009-2011 di beberapa wilayah desa di DIY seperti Desa Karangtalun(Badan Kerjasama dan Penanaman Modal Prov.DIY, 2011). Tidak hanya para relawan muda, tetapi para tenaga pengajar, serta staf medis dari Korea Selatan juga secara rutin melaksanakan sejumlah aktivas bersama mahasiswa UGM (https://ugm.ac.id, 2010).Secara detail, De Sousa menyatakan bentuk kerjasama pada tingkat ini sebaiknya tercermin dalam bentuk ad hoc atau kesepakatan formal, maupun sistem manajemen darurat yang dapat diterapkan secara kontinu antara kedua belah pihak. Hal ini yang sejauh ini belum ditemukan dalam proses kerjasama antara DIY dan Gyeongsangbuk-do.

(13)

membangun lima sumur bor, dan membangun infrastruktur jalan sepanjang 1000 meter (https://ugm.ac.id,2010).

Komitmen dari pejabat publik sendiri dapat teridentifikasi pada momen peresmian Pusat Studi Tri Sakti dan Saemaul Undong awal september 2015. Pusat Studi ini didirikan atas kerjasama Fakultas Filsafat, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Fakultas Ilmu Budaya, Fakultas Pertanian, Fakultas Kehutanan UGM dengan pemerintah Korea Selatan. Pusat studi ini diharapkan mampu berkontribusi pada pengembangan kapasitas masyarakat pedesaan. Gubernur DIY yang hadir pada peresmian itu menyatakan harapannya untuk mampu berpartisipasi dalam kontribusi pusat studi ini yang akan membawa manfaat tidak hanya bagi masyarakat Yogyakarta, tetapi juga rakyat Indonesia (http://ugm.ac.id,2015). Penandatanganan LoI lanjutan pada bulan yang sama juga menunjukkan komitmen dari kedua belah pihak untuk menguatkan keberlangsungan kerjasama ini (Giyanto, 2015).

Terkait dengan tingkatan keempat, yaitu terbentuknya institusional antara dua negara. Sejauh ini, dari level pusat, belum sampai pada tahap tersebut. Hal dikarenakan negara yang diwakili oleh KPDT baru menyepakati MoU pada bulan Agustus 2015 yang lalu.

Pembahasan

(14)

mengeksploitasi wilayah-wilayah tanpa mempertimbangkan asas nilai tambah(http://ugm.ac.id,2014). Selain itu kesamaan pengalaman sejarah, berupa sama-sama negara bekas jajahan juga mempengaruhi solidaritas diantara kedua negara( Yuana, 2014).

Pola kerjasama yang terjalin sejak tahun 1966 hingga 2015 sejauh ini menunjukkan trend yang positif. Deklarasi bersama terkait kerjasama strategis pada tahun 2006 semakin memantapkan pentingnya hubungan kedua belah pihak dalam aspek politik keamanan; ekonomi perdagangan dan investasi; serta sosial budaya. Pada masa pemerintahan Presiden Joko Widodo, upaya menghidupkan kembali Joint Commission Meeting (JCM) pada tingkat Menteri Luar Negeri kedua Negara disepakati Presiden Park Geu-Hen pada 11 Desember 2014. Dampak yang dirasakan dari kedua rangkaian kerjasama ini bahkan menempatkan Korea Selatan sebagai investor terbesar ke-4 bagi Indonesia, setelah Jepang, Singapura, dan AS (www.kemlu.go.id, 2009).

Dari aspek kapasitas institusi, keberadaan Pemerintah Provinsi DIY yang didukung oleh institusi pendidikan UGM dapat dikatakan memberi pondasi dan penopang dalam suksesnya realisasi sistem ini di lapangan. Pemerintah Provinsi DIY melalui Badan koordinasi Pelayanan Modal (BKPM) menjadi pintu masuk bagi kerjasama dengan provinsi Gyeongsangbuk-Do. Sedangkan UGM sebagai institusi pendidikan menopang metode dan aplikasi lapangan yang tepat dengan didukung oleh para akademisi dan mahasiswa yang berpengalaman.

(15)

Kemampuan provinsi DIY dalam merintis dan mengembangkan pembangunan desa di atas dapat menjadi contoh bagi pemerintah pusat dalam menyusun skema kerjasama yang lebih optimal dan komprehensif. Secara khusus, kerjasama melalui sistem Saemaul Undong ini menjadi cocok diadopsi oleh provinsi DIY karena terdapat sejumlah faktor pendorong yang cukup membantu. Selain itu tidak adanya resistensi mayor dari masyarakat desa tempat proyek Saemaul Undong dijalankan, juga mencerminkan bagaimana kearifan lokal akan penerimaan budaya asing menjadi aspek penting yang tidak bisa dilepaskan.

Namun disisi lain, terdapat beberapa evaluasi yang juga perlu menjadi pertimbangan dalam mengadopsi proses kerjasama di tingkat daerah ini. Mukti menyatakan bahwa MoU yang disepakati belum ditindaklanjuti secara optimal di lapangan. Tidak ada program kerja lanjutan yang konkrit. Tidak siapnya birokrasi mengelola kerjasama lintas batas negara ini menjadi pekerjaan rumah pemerintah daerah dalam menghadapi tantangan global (Mukti,2013). Sisi pandang lain diungkapkan Suci Lestari Yuana yang melihat kompleksnya mekanisme pengambilan kebijakan di pemerintah daerah menyebabkan kerjsama yang sudah diinisiasi tidak dapat berjalan secara berkelanjutan. Ketidakpastian kerangka hukum dan kewenangan yang terbatas di daerah juga cukup menghambat langkah daerah untuk bergerak dalam skala internasional. Sebagaimana diketahui, perumusan kebijakan luar negeri di daerah membutuhkan persetujuan DPR, berbeda dengan di tingkat pusat yang tidak memerlukan persetujuan DPR. (Yuana, 2014).

(16)

pembangunan tersebut tentunya dilaksanakan oleh masyarakat desa secara mandiri dengan bantuan pendampingan dari relawan Korea Selatan dan mahasiswa UGM.

Pada tahap selanjutnya, fokus kegiatan diarahkan pada peningkatan pendapatan masyarakat. Pada tahap ini, program penggemukan sapi yang dilaksanakan di Desa Kampung tentunya menciptakan pendapatan alternatif bagi masyarakat setempat.

Dan di tahap terakhir, fokus sistem ini ditujukan pada pembangunan kapasitas dan perubahan sikap dengan cakupan berbagai proyek yang telah diiniasi dari tahap awal, semakin dikembangkan lebih luas. Dalam hal ini, langkah yang diambil oleh kedua provinsi adalah memperluas wilayah proyek ke Desa Salamrejo, kecamatan Sentolo, Kabupaten Kulon Progo pada tahun 2010.

Tahapan adopsi sistem Saemaul Undong di tingkat provinsi ini kemudian bisa menjadi bahan bagi skema besar pelaksanaan Saemaul Undong di desa-desa lain di Indonesia. Negara melalui KPDT bisa menjadikan studi kasus di DIY ini sebagai acuan dasar pelaksanaan sistem ini secara nasional.

(17)

Akan tetapi proses kerjasama yang telah terjalin 10 tahun antara kedua provinsi setidaknya sejauh ini menjadi referensi pionir dalam kajian kerjasama pembangunan desa di Indonesia. Kajian yang dimaksudkan khususnya dalam konteks kerjasama dengan aktor dari negara lain, baik negara maupun non-negara. Kwon menguatkan dengan menyatakan bahwa

Mentransfer pengalaman (Saemaul Undong) Korea ke komunitas lain tanpa memahami komunitas lain, akan menjadi hal yang sia-sia. Kolaborasi internasional menjadi penting untuk dilakukan misalnya seperti membentuk worksho para akademisi dan membuat berbagai proyek komunitas umum”

(Kwon, 2010).

Dalam upaya membangun desa, masyarakat internasional dapat bahu-membahu melaksanakannya secara bersama-sama, baik dengan sistem lokal maupun dengan adopsi dari sistem eksternal yang tetap menghargai kearifan lokal. Dengan kolaborasi yang luas dan komprehensif ini, desa diharapkan mampu memberikan peran yang tidak kalah strategis dan vital bagi negaranya maupun masyarakat internasional secara keseluruhan.

Penutup

(18)

tentu saja harus disesuaikan dengan kearifan lokal masing-masing wilayah pedesaan. Selain itu juga perlu melihat hasi evaluasi dari para akademisi yang meneliti perjalanan kerjasama tersebut selama ini untuk hasil yang lebih optimal.

Adapun beberapa saran untuk optimalnya kerjasama kedua belah pihak maupu untuk penelitian selanjutnya antara lain :

1. Mengadakan penelitian lanjutan mengingat proses kerjasama antara kedua provinsi berlanjut. Dari cakupan proyek desa yang berbeda dan dari evaluasi pelaksanaan di desa pertama, akan dapat dilihat apakah terdapat perubahan yang lebh baik dalam peningkatan proses kerjasama tersebut. Hal tersebut dapat memberi kontribusi tambahan dalam pengembangan skema kerjasama pembangunan desa di tingkat pusat.

2. Pihak KPDT mengajak pihak provinsi DIY beberapa pihak terkait dalam ranah birokrasi dan akademisi untuk duduk bersama membahas skema kerjasama yang tepat dalam membangun desa melalui sistem Saemaul Undong tersebut.

3. Mengadakan penelitian perbandingan dengan melihat pelaksanaan kerjasama serupa di negara lain sebagai referensi untuk melengkapi skema kerjasama Indonesia-Korea Selatan.

REFERENSI

Buku, Jurnal, Dokumen Resmi

Badan Kerjasama dan Penanaman Modal Prov.DIY. 2011. Monitoring dan Evaluasi Kerjasama Luar Negeri Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta. Yogyakarta.

(19)

Douglass, Mike.2013. The Saemaul Undong : South Korea’s Rural Development

Miracle in Historical Perspective. Working Paper Series No.197. Asia Research Institute:Singapura.

Kwon, Huck-ju.2010. Implications of Korea’s Saemaul Undong for International

Development Policy- A Structural Perspective. The Korean Journal of Policy Studies.Vol.25, No.3, p.87-100.

Mukti, T. A.2013. Paradiplomacy : Kerjasama Luar Negeri oleh PEMDA di Indonesia.

Yogyakarta : The Phinisi Press Yogyakarta

Reed, Edward P. 2010. Is Saemaul Undong a Model for Developing Countries Today?. Paper pada International Symposium in Commemoration of the 40th Anniversary of Saemaul Undong.

Sooyoung, Park.2009. Analysis of Saemaul Undong : A Korean Rural Development Programme in the 1970s dalam Asia-Pacific Development Journal, Vol.16 No 2 December 2009.

Yoon, Yang Seung.2007. Perjalanan Studi Bahasa Indonesia di Korea : Dahulu, Sekarang, dan Mendatang. Terdapat dalam Humaniora Vol.19 No.2 Juni 2007, p.175-184.

Yuana, Lestari Suci. 2014. Sister-Province Partnership between Indonesia and South Korea. Terdapat dalam Local Governments Newsletter UCLG ASPAC Volume 21, May-October 2014.

_________________.2014. Kerjasama Sister City antara Indonesia dan Korea Selatan : Peran Pemerintah Daerah dalam Kerjasama Internasional.Draft Paper. Unpublished.

Situs Online

Anymous, Penguatan Desa Bisa Meniru Program Saemuel Undong. kompas.com

dalam http://www.kemendesa.go.id/berita/1357/penguatan-desa-bisa-meniru-program-saemuel-undong-di-korea.Diakses pada 21 Oktober 2015

Direktorat Jenderal Hukum dan Perjanjian Internasional Kementerian Luar Negeri, RI. 2013. Daftar Perjanjian Internasional (Tersimpan di Kementerian Luar Negeri, Republik Indonesia). Terdapat dalam

http://treaty.kemlu.go.id/index.php/treaty/index?fullPage=1&Treaty_page=116& sort =treaty_title.desc. Diakses pada 21 Oktober 2015.

Giyanto, Arif. 2015. Saling Menguntungkan, Kerja Sama DIY dengan Provinsi Gyeongsangbuk-Do Berlanjut. Terdapat dalam

http://jogjadaily.com/2015/09/saling-menguntungkan-kerja-sama-diy-dengan-provinsi-gyeongsangbuk-do-berlanjut/. Diakses pada 21 Oktober 2015.

Indonesia Embassy Seoul. 2014. Bilateral RI-Korsel. Terdapat dalam

http://kbriseoul.kr/kbriseoul/index.php/id/indokor. Diakses pada 21 Oktober 2015

(20)

Kedutaan Besar Republik Indonesia di Seoul-Korea Selatan.2009.Korea.Terdapat dalam

http://www.kemlu.go.id/seoul/Pages/CountryProfile.aspx?l=id.2009, diakses pada 21 Oktober 2015.

Kemendesa.2014. Demi Pengembangan Desa, Marwan Jafar Kerja Sama dengan Korea Selatan. [ONLINE] tersedia pada http://www.kemendesa.go.id/berita/ 1356/demi-pengembangan-desa-marwan-jafar-kerja-sama-dengan-korsel {Diakses 7 Mei 2015]

Marwati.2010. From the International Symposium on Saemaul Undong:Movement for Villages in Yogyakarta. Terdapat dalam

https://ugm.ac.id/en/news/5827-from.the.international.symposium.on.saemaul.undong:.movement.for.villages.in.y ogyakarta. Diakses pada 21 Oktober 2015.

______.2014. UGM, Yogyakarta, and Gyeongsangbuk-do Establish Cooperation. Terdapat dalam

https://ugm.ac.id/en/news/9438-ugm.yogyakarta.and.gyeongsangbuk-do.establish. cooperation. Diakses pada 21 Oktober 2015.

_______.2015. UGM-Gyeongsangbuk-do Provincial Government Instal Trisakti-Saemaul Undong Centre. Terdapat dalam https://ugm.ac.id/en/news/10376-ugm.-

.gyeongsangbuk-do.provincial.government.install.trisakti.-.saemaul.undong.centre. Diakses pada 21 Oktober 2015

nn.no date. Qualitative Data Analysis – Sage Publications. Terdapat dalam

www.sagepub.com/upm-data/43454_10.pdf. Diakses pada 21 Oktober 2015.

nn.no date.The Process of Sister Province. Terdapat dalam

thesis.umy.ac.id/datapublik/t51851.pdf. Diakses pada 22 Oktober 2015.

Purnomo, Abdi. 2014. Kabupaten Malang Promosikan 13 Desa Wisata. [ONLINE] tersedia pada http://www.tempo.co/read/news/2014/04/23/203572767/ Kabupaten-Malang-Promosikan-13-Desa-Wisata [Diakses 6 Mei 2015]

Rok. Rp 1,4 M untuk Setiap Desa Sedang Disiapkan. inilah.com terdapat dalam http://www.kemendesa.go.id/berita/1316/rp14-m-untuk-setiap-desa-sedang-disiapkan. 11 November 2014. Diakses pada 21 Oktober 2015.

Sihaloho, Markus Junianto /AF. 2015. Demi Pengembangan Desa, Marwan Jafar Kerja Sama dengan Korsel. beritasatu.com dalam

Referensi

Dokumen terkait

Fakta di atas mengungkapkan bahwa pekerjaan normalisasi sungai untuk kepentingan permukiman dengan tujuan mempercepat arus dari hulu ke hilir sungai telah

Pada siang hari, Kamis (15/12), di waktu yang sama tim dokter yang menangani operasi Tutik dan Direktur Rumah Sakit Pendidikan UNAIR Prof.. Nasronudin, dr.,

Aplikasi ini diharapkan dapat digunakan untuk melihat apa saja kandungan gizi dan berapa jumlah kalori yang terdapat pada makanan, serta mendapatkan makanan yang

Peralatan pengaman dalam gardu induk  Arrester  Rele pengaman Menyimak kuliah dari dosen, bertanya jawab, mengerjakan tugas Mengerjakan tugas dan lati han soal soal

Investor yang akan berinvestasi pada perusahaan di indeks SRI Kehati dapat memperhatikan tingkat resiko keuangan dari perusahaan yang akan dipilih, karena pada hasil

Musyawarah Perencanaan Pembangunan Desa atau yang selanjutnya disebut Musrenbang Desa adalah musyawarah antara BPD, Pemerintah Desa, dan unsur masyarakat yang

Kesimpulan: 1) Sebagian besar keluarga yang membawa anggota keluarga berkunjung berobat memiliki beban keluarga sebanyak 47 orang (58,8%). 2) Sebagian besar keluarga

Khusnul Ain, M.Si selaku Ketua Program Studi S-1 Teknobiomedik, Departemen Fisika, Fakultas Sains dan Teknologi, Universitas Airlangga serta selaku dosen pembimbing