BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Naskah lama merupakan salah satu sumber informasi kebudayaan daerah masa lampau yang sangat penting. Apabila ditinjau dari segi lahir atau wujud yang dapat dilihat atau diraba, naskah lama adalah benda budaya yang berupa hasil karangan dalam bentuk tulisan tangan, namun bukanlah tulisan tangan yang tanpa makna. Di dalamnya terkandung ide-ide, gagasan dan berbagai macam pengetahuan tentang alam semesta menurut persepsi masyarakat yang bersangkutan, ajaran-ajaran moral, filsafat, keagamaan dan unsur-unsur lain yang mengandung nilai-nalai luhur.
peyebarluasan. Kegiatan pemberdayaan dan penyebarlauasan merupakan usaha yang lebih prioritas, karena naskah merupakan sumber informasi dan pengetahuhan terhadap kebudayaan masa lampau. Bidang ilmu yang erat kaitannya dengan usaha penanganan naskah adalah filologi.
yang melahirkannya. Keadaan ini menunjukkan bahwa naskah perlu dibersihkan dari tambahan yang diberikan dalam zaman-zaman kemudian, yang dilakukan pada waktu kegiatan penyalinan naskah. Hal ini penting, supaya isi naskah tidak diinterpretasikan secara salah.
Jenis naskah berdasarkan segi bahasa, ada bermacam-macam antara lain, naskah Bali, Lombok, Bima, Aceh, Batak, Madura, Sunda, Melayu dan tidak terkecuali adalah naskah Jawa. Naskah Jawa, menurut Gerardet-Sutanto (1983: v–vi), dikelompokkan atas lima jenis, yaitu:
a. Kronik, Legenda dan Mite. Di dalamnya termasuk naskah-naskah babad,
pakem, wayang purwa, panji, pustaka raja dan silsilah.
b. Agama, Filsafat dan Etika. Di dalamnya termasuk naskah-naskah yang mengandung unsur-unsur: Hinduisme, Budhisme, Islam, mistik Jawa, Kristen, magik dan ramalan, sastra wulang.
c. Peristiwa kraton, hukum, peraturan-peraturan.
d. Buku teks dan penuntun, kamus ensiklopedi tentang linguistik, obat-obatan, pertanian, antropologi, geografi, perjalanan, perdagangan, masak-memasak dan sebagainya.
e. Seni dan pertunjukan seni. Di dalamnya termasuk tari Jawa, gamelan, tembang Jawa, buku seni, cerita, fabel dan legenda, ikhtisar, periodisasi, bunga rampai.
Pemilihan jenis naskah tersebut karena naskah ini banyak tersebar di beberapa tempat penyimpanan naskah baik milik pemerintah maupun koleksi pribadi.
Secara harfiah Sêrat Wédhasatmaka terdiri dari 3 kata yaitu: kata Sêrat, berarti buku yang memuat cerita(karya sastra), wédha berarti ajaran, satmaka berarti kehidupan(Poerwadarminta:1939:548-680) jadi Sêrat Wédhasatmaka memiliki arti karya sastra yang memuat ajaran kehidupan. Sesuai dengan judulnya Sêrat
Wédhasatmaka iniberisi tentang piwulang awal terjadinya kehidupan, jiwa raga dan
ilmu kesempurnaan ‘ngèlmu kasampurnan’.
Langkah awal penelitian terhadap Sêrat Wédhasatmaka, yaitu melalui penelusuran terhadap berbagai katalog naskah di antaranya :
1. Descriptive Catalogus of the Javanese Manuscripts and Printed Book in
the Main Libraries of Surakarta and Yogyakarta karya Girardet Sutanto
pada tahun 1983.
2. Javanese Language Manuscrips of Surakarta Central Java A Preliminary
Descriptive Catalogus Level I and II karya Nancy K. Florida pada tahun
1994
3. Katalog Induk Naskah-Naskah Nusantara Jilid I Museum Sonobudoyo Yogyakarta karya T.E. Behrend pada tahun 1990.
5. Katalog Induk Naskah-Naskah Nusantara Jilid 4 Perpustakaan Nasional Republik Indonesia karya Jennifer Lindstay pada tahun 1994.
6. Katalog Induk Naskah-Naskah Nusantara Jilid 2 Keraton Yogyakarta karya T.E. Behrend, dkk pada tahun 1994
7. Katalog Naskah-Naskah Perpustakaan Pura Pakualaman Yogyakarta karya Hario Sena & Sri Ratna Sakti Mulya.
8. Daftar Naskah Perpustakaan Museum Radyapustaka Surakarta, Daftar Naskah Perpustakaan Sasanapustaka Keraton Surakarta, Daftar Naskah Perpustakaan Pura Mangkunagaran Surakarta, Daftar Naskah
Perpustakaan Pura Pakualaman Yogyakarta.
Setelah dilakukan inventarisasi naskah, maka selanjutnya adalah mengecek dan mengambil data menurut informasi katalog-katalog di atas. Dari hasil inventarisasi naskah ditemukan 6 naskah carik dengan judul Sêrat Wédhasatmaka
(selanjutnya disingkat SWS) yaitu sebagai berikut:
1. SWS Piwulang dari Hindustan, koleksi perpustakaan Sonobudoyo, Yogyakarta dengan nomer katalog 64005 (SB 101) (Girardet-Sutanto, 1983).
2. SWSPiwulang dari Hindustan dalam bendel naskah Sêrat Pakêmpalan
Warni-warni koleksi perpustakaan Radya Pustaka Surakarta pada halaman 561-584
dengan nomor katalog 38553 (227) (Girardet-Sutanto, 1983).
3. SWS Piwulang dari Hindustan dalam bendel naskah Kêmpalan Sêrat
Warni-warni koleksi perpustakaan Pura Pakualam, Yogyakarta pada halaman 72-106
4. SWSkarangan Mpu Ciptasistawa, atas prakarsa Radèn Mas Arya Suganda dan Sitarja di Pasuruhan dalam bendel naskah Sêrat Pakêmpalan Warni-warni
koleksi perpustakaan Radya Pustaka Surakarta pada halaman 585-623 dengan nomor katalog 38553 (227) (Girardet-Sutanto, 1983)
5. SWS karangan Mpu Ciptasistawa, atas prakarsa Radèn Mas Arya Suganda dan Sitarja di Pasuruhan dalam bendel naskah Hidayat Jati koleksi perpustakaan Reksa Pustaka, Pura Mangkunegaran Surakarta pada halaman 251-268 dengan nomor katalog MN 319 D.9 A 196 SMP 204/1 (Nancy K. Florida, 1996). 6. SWSkarangan Mpu Ciptasistawa, atas prakarsa Radèn Mas Arya Suganda dan
Sitarja di Pasuruhan koleksi pribadi1.
SWS merupakan naskah jamak, selain naskah-naskah tersebut di atas, ditemukan juga buku SWS cetak yang tersimpan di Museum Radya Pustaka Surakarta, di Perpustakaan Sasana Pustaka, Kraton Surakarta, dan di Perpustakaan Reksa Pustaka Pura Mangkunegaran. Buku cetak SWS ini juga berbentuk prosa atau gancaran.
Dari hasil inventarisasi naskah, baik melalui informasi katalog ataupun informasi dari luar katalog yang berkaitan dengan keberadaan naskah SWS ini, peneliti berhasil mengumpulkan naskah SWS yang disebutkan di atas. Setelah naskah dideskripsikan, dan dilakukan pemilihan, maka didapat beberapa informasi yaitu:
SWS merupakan naskah jamak dengan dua versi, ditulis dengan aksara Jawa, dan wujudnya adalah carik (tulisan tangan), bahasa yang digunakan adalah bahasa Jawa
ragam krama, dan berbentuk prosa, tetapi dari naskah yang ditemukan terdapat dua katagori pengelompokan SWS berdasarkan bentuknya. Pengelompokan bentuk tersebut sebagai berikut:
Tabel 1
Perbedaan bentuk diantara dua versi naskah SWS
SWS Piwulang dari Hindustan
(SB.101, SMP-RP 366, Pi.12)
SWS karangan Mpu Ciptasistawa Atas prakarsa Radèn Mas Arya Suganda dan
Sitarja di Pasuruhan
sêrat Wéddhasatmaka wau mijil
sangking gêgêbenganipun para
nimpuna ing tanah HIndustan,
ginêlarakên dhatêng para
pujangga ing tanah Eropah
tuwin tanah Amerikah ingkang
sami dados liding pakumpulan
téyosofi.
Terjemahan :
Asal serat wedhasatmaka tadi,
A W A L
Punika Sêrat Wédhasatmaka ,
têgêsipun wédha, pêpakêm
ing êmpu ciptasistawa, sing agnya
sang Subadha ing kitha
Pasuruan. Radèn Mas Arya
tercipta dari pemikiran para cendekiawan dari Hindustan, disampaiakan kepada pujangga di tanah Eropa dan Amerika yang menjadikan tujuan perkumpulan Theosofi.
ing para putra tuwin wandawa,
kinarya sarana pambukaning
tékad ingkang dados
pambèngkasing sangsaya,
satêmah wignya widada,
kotamanirèng dumadi, ing dalêm
kadadéanira. Purwanya
amangun warana wahya
sangking carita, catur basa
pralampita.
Terjemahan :
Ini adalah Sêrat Wedhasatmaka.
Wedha berarti pedoman ilmu atau
ajaran; Satmaka berarti hidup. Jadi arti kata Wedhasatmaka
adalah pedoman hidup atau ajaran dalam menjalani hidup,
memberikan kepada para putra serta saudara, dipakai sebagai pembuka tekad agar terlepas dari kesusahan, dan akhirnya selamat, keutamaan yang menjadi
takdirnya. Awalnya membangun tirai, diambil dari cerita empat bahasa perlambang.
Bab roh
kaliyan
badan
Tiyang gêsang punika kêdah
maspaos dhatêng gêsangipun.
Sampun ngantos kalintu sêrêp
tuwin pamanggih, nyumêrêpana
bédaning roh kaliyan badan.
Roh punika badan alus ingkang
sipat gêsang ingkang gadhah
èngêtan tuwin pikajêngan.
Wondèning badan inggih
raganing manusa ingkang
maujudaging punika. Wasana
sulêksana, téjané bocah kang lagi
tigas kawuryan , prapta ing
dipunwastani tiyangipun sajati
punika roh (jisim).
Terjemahan :
Orang hidup itu harus mengerti terhadap hidupnya jangan sampai keliru dalam mengerti dan pemikiranya, mengertilah bedanya roh dan badan. Roh adalah badan halus yang bersifat hidup yang memiliki ingatan dan tujuan. Sedangkan badan yaitu raga manusia yang terlihat
itu, akhirnya roh tadi lalu bertempat di badan, jadi yang disebut tiyang sajati adalah roh ( jisim ).
1. Sapa sinambat ing wangi ,
2. Lan ing ngêndi dunungira,
3. Saka ing ngêndi asalira,
4. Arsa marang ngêndi
sedyanira.
Mardi Basa
Mênawi Panduka arsa uninga
nama tuwin kawijilan kula amung
manut lan miturut suraosipun
wasita ingkang badhe
kagiyarakên asêsilih:
1. Si Marêm, ingkang botên
luwé,
2. Ingkang kula dunungi ing don
kasugihan, inggih sugih raja
bêrana,
3. Déné asal kula sangking
katulusan, sêgêr, waras ingkang
botên sakit,
4. Sêdyaning manah kula badhé
dhatêng kawasa wilujêng gêsang
Terjemahan : Pandangan. Aturan.
Nawung kridha
Jangan terlalu dimasukkan ke dalam hati, sementara saya tidak membagi keselamatan, sebab yang menyenang-kan hati, sejak melihat tingkah lakumu yang baik, seperti anak yang lahir dari kerajaan, dekat dengan Sang Mahèswara, anak yang tampan wajahnya, cahaya anak yang memperoleh kemuliaan ada di
hadapanku, 1.Siapa namamu?
2.Dan di mana tinggalmu? 3.Dari mana asalmu?
4.Akan di bawa ke mana niatmu?
Mardi Basa
nasihat yang akan diterangkan dengan nama:
1. Si Marêm yang tidak merasa
lapar,
2. Yang saya tempati dalam kekayaan adalah kaya akan harta benda (berupa intan, emas, berlian),
3. Sedangkan saya berasal dari keselamatan; sehat, segar-bugar; dan tidak sakit, 4. Niat dalam hati saya kepada
yang kuasa untuk keselamatan
hidup yang abadi.
Berdasarkan informasi di atas, dilihat kondisi naskah yang terdiri dari dua versi dan masing-masing versi memiliki perbedaan yang sangat jelas, tidak dimungkinkan untuk diteliti secara bersamaan berdasarkan cara kerja filologi, maka peneliti akan memfokuskan penelitian pada naskah dengan judul Sêrat
Wédhasatmaka yang menggunakan aksara Jawa carik dengan pokok bahasan ajaran
Berdasarkan uraian di atas maka didapat naskah SWS sebagai data primer dalam penelitian ini adalah:
1. SWS koleksi perpustakaan Sonobudoyo, Yogyakarta dengan nomer
katalog 64005 (SB 101) yang selanjutnya disebut dengan naskah A. 2. SWS dalam bendel naskah Sêrat Pakêmpalan Warni-warni koleksi
perpustakaan Radya Pustaka Surakarta pada halaman 561-584 dengan nomor katalog 38553 (227) yang selanjutnya disebut dengan naskah B. 3. SWS dalam bendel naskah Kêmpalan Sêrat Warni-warni koleksi
perpustakaan Pura Pakualam, Yogyakarta pada halaman 72-106dengan
nomor katalog Pi.12 yang selanjutnya disebut dengan naskah C2.
SWS merupakan naskah piwulang yang berbentuk prosa atau gancaran. Judul
SWS ini ada yang tertera di cover depan, di cover dalam, maupun di dalam teks.
1. Sêrat Wédhasatmaka, terdapat pada cover dalam naskah A
Judul SWS pada cover dalam
Gambar 1
Naskah A Berbunyi: “ Sêrat Wédasatmaka Jilid I
Judul SWS yang tertera pada teks
Gambar 2, naskah A
Berbunyi: “Punika sêrat Wéddhasatmaka têgêsipun wéddha ngilmi pakêm, satmaka gêsang, pikajêngipun papakêming ngagêsang”.
(hal. Pengantar)
Terjemahan : “ini serat Wedhasatmaka, Wedha berarti ilmu ajaran , Satmaka hidup. Harapannya menjadi pedoman kehidupan”
2. Pada Naskah B judul tertera dalam teks, menyebutkan Sêrat Wédhasatmaka.
Gambar 3
Naskah B Berbunyi: “Sêrat Wéddhasatmaka Bab Kadhiri
Sêrat piwulang têmbung Walandi lantaran têmbung Jawi” (hal.561)
Judul SWS yang tertera pada teks
Gambar 4
Naskah B Berbunyi: “Punika Sêrat Wéddhasatmaka têgêsipun wéddha : ngèlmi, pakêm : Satmaka :gêsang, pikajêngipun papakeming agêsang…”
(hal.561)
Terjemahan: Ini adalah Serat Wedhasatmaka, wedha berarti ilmu, satmaka berarti hidup, harapanya menjadi pedoman hidup..
3. Pada naskah C judul terdapat pada teks disebutkan Sêrat Wédhasatmaka
Gambar 5, naskah C
Berbunyi: “Punika sêrat Wédhasatmaka, utawi pêpakêming agêsang. Têgêsipun wédha : ngèlmi, pakêm, satmaka : gêsang…”.
(hal.72)
Alasan yang melatarbelakangi SWS dijadikan objek penelitian adalah pertama, karena perlu adanya upaya penyelamatan naskah, mengingat semakin lama keadaan naskah akan semakin rusak, sehingga amat disayangkan apabila tidak ada upaya penyelamatan naskah. Kedua, dalam pandangan filologis di dalam
SWS ini terdapat banyak varian. Oleh karena itu perlu adanya kajian filologis guna mendapatkan suntingan teks yang bersih dari kesalahan. Di dalam teks SWS ini ditemui banyak sekali permasalahan-permasalahan filologis, mulai dari ejaannya, gaya menulis pengarang, dan lain – lain. Berikut varian yang terdapat pada SWS:
Terdapat perbedaan jumlah jilid naskah, yaitu SWS B hanya terdapat satu jilid naskah dan SWS A dan C terdapat dua jilid naskah.
Gambar 6, naskah A
Berbunyi : “ Sêrat Wéddhasatmaka jilid 2, ing jilid kapisan sampun kagêlarakên piwulangipun para nimpuna..”
( hal. 1 Jilid 2 )
Gambar 7, naskah C
Berbunyi : “ candhakipun jilid 2. Péling manawi badhé sagêd nampi piwulang ingkang ginancaraken ing jilid 2, para maos kita rêmbagi, supados pikajênging piwulang ingkang
kapratélakakên ing jilid punika, kamanah kalayan saèstu, sagêda amanjing ing manahipun.3
( hal. 36)
Terjemahan: “dilanjutkan jilid 2. Diingatkan jika dapat menerima ajaran yang dijelaskan pada jilid 2, pembaca harus ingat, supaya tujuan ajaran yang dijelaskan pada jilid ini bisa
masuk dalam hatinya”
a. Terdapat kolofon pada SWS B yang dapat dikatagorikan naskah disalin dari naskah cetak.
Gambar 8, naskah C
Berbunyi : “Punika sêrat Wédhasatmaka, Utawi pêpakêming agêsang Jilid 1 rêgi 75 sèn
Kaêcap ing gasmotor déning tuwan P. Apan Asêrên Pandher példhê, Semarang, Taun 1903
( hal. 1 )
Terjemahan: “ini serat wedhasatmaka atau pedoman kehidupan, jilid 1 harga 75 sen. Diterbitkan di gasmotor oleh Tuwan Pe Apan Aseren Pandher Paldhe, semarang, tahun 1903”
Keterangan kolofon pada SWS cetak yang sama dengan SWS C.
Gambar 9, SWS Cetak
Berbunyi: Sêrat Wédhasatmaka, Utawi pêpakêming tiyang agêsang Jilid 1 rêgi 75 sèn
Kaêcap ing gasmotor déning tuwan P. Apan Asêrên Pandher példhê, Semarang, Taun 1903
( cover depan )
b.Terdapat pergantian judul baru, sedangkan SWS belum selesai ditulis.
Gambar 10, naskah C
Berbunyi : “Punika primbon bab lintang kumukus…”(hal.36) Terjemahan: “ini primbon bab lintang kemukus…”
c. Ketidakkonsistenan penyalinan atau penulisan
Ketidakkonsistenan dalam menulis kata saking dalam teks SWS
Gambar 11, naskah B
Berbunyi : “… sêrat wéddhasatmaka wau mijil saking gêgêbênganipun para nimpuna
ing tanah Indhustan…” ( hal. 561 )
Terjemahan: “serat wedhasatmaka muncul dari pemikiran para cendekiawan di tanah Industan”
Gambar 12, naskah B
Berbunyi : “…Upami pêksi mêsat sangking sêngkêranipun. …”
( hal. 563 )
Ketidakkonsistenan dalam menuliskan kata manungsa dalam teks SWS
Gambar 13, naskah B
Berbunyi : “…badan inggih raganing manusa …”.
( hal. 562 )
Terjemahan: “….badan yaitu raga manusia…”
Gambar 14, naskah B
Berbunyi : “…Manungsanipun sajati kaliyan raganing manusa punika béda…”
( hal. 562 )
Terjemahan: “…manusia sejati dengan raga manusia itu berbeda…”
Naskah A terdapat catatan ketiga yaitu kata malih diganti dengan kata déné dan kata raga, yang awalnya hanya ditulis ra, kemudian ditambahkan aksara ga ( g )
Berbunyi: “……malih déné……… raga….”
(hal.3)
e. Terdapat perbedaan dalam pemilihan kata.
Gambar 16, naskah A
Berbunyi : “Tiyang gêsang punika kêdah maspaos dhatêng gêsangipun sampun ngantos
kalintu sêrêp tuwin pamanggih, nyumêrêpana bédaning roh kaliyan badan…”.
( hal. 20 )
Terjemahan: “manusia hidup itu harus mengerti terhadap hidupnya, jangan sampai keliru
pemahaman dan pemikiran, mengertilah perbedaan roh dengan badan…”
Gambar 17, naskah B
Berbunyi : “Tiyang gêsang punika kêdah waspaos dhatêng gêsangipun, sampun ngantos
kalintu sêrêp tuwin pamanggih nyumêrêpana bédaning roh kaliyan…”.
( hal. 561 )
Gambar 18, naskah C
Berbunyi : “ Tiyang gêsang punika kêdah waspaos dhatêng gêsangipun sampun ngantos
kaliru sêrêp uwin pamanggih, nyumêrêpana bédaning roh kaliyan badan…”.
( hal. 72 )
Terjemahan: “manusia hidup itu harus mengerti terhadap hidupnya, jangan sampai keliru pemahaman dan pemikiran, mengertilah perbedaan roh dengan badan…”
f. Terdapat lakuna yaitu bagian yang terlampaui atau kelewatan, baik huruf, suku kata, kata, kelompok kata ataupun kalimat.
v Lakuna suku kata
Gambar 19
Naskah A, berbunyi: “….sarta wijang-wijanging jiwa raga…” (hal.pengantar)
Terjemahan: “….serata bagian-bagian jiwa raga…”
Gambar 20
Naskah B, berbunyi: “…sarta wijang-wijanging jiwa raga…” (hal.1)
Gambar 21
Naskah C, berbunyi: “…sarta wijang-wijanging waraga…” (hal.1)
Terjemahan: “….serata bagian-bagian raga…”
g. Terdapat Saut du meme au meme yaitu penghilangan suatu kata atau kalimat karena kelupaan/terlampaui karena ada dua kata yang hampir sama.
Gambar 22
Berbunyi: “……Manawi panggraita ingkang awon sêkêdhik ingkang awon sêkêdhik kémawon kabucala sanalika…”
Terjemahan:…..jika angan-angan yang buruk sedikit saja sedikit saja dibuanglah segera..”
Alasan kedua perlunya SWS diteliti adalah isi dari SWS. SWS merupakan jenis naskah piwulang. SWS menjelaskan awal mula kehidupan serta nasehat-nasehat untuk jiwa dan raga yang seharusnya dimengerti oleh orang-orang yang mencari kehidupan yang benar, Sêrat Wédhasatmaka tercipta dari pemikiraan para cendekiawan dari Hindustan, yang disampaikan kepada sastrawan di tanah Eropa dan Amerika, yang dijadikan sebagai pedoman perkumpulan penganut teosofi.
unsur kebaikan dari Tuhan disebutkan menjadi pusat diantara enam roh. Manusia yang berperilaku baik maupun buruk akan digambarkan pada masing-masing roh. Jika manusia berperilaku baik, maka akan sempurna hidupnya dan menempati nirwana, sedangkan jilid kedua menceritakan pembagian manusia dalam dua katagori bagian yaitu bagian luhur dan bagian bawah ‘andhap’ serta menjelaskan watak dasar pada manusia, disebutkan ada tiga yaitu; atma, budi, pramana atau manas. Penjelasan di atas dapat memberi gambaran bahwa SWS ini memuat ajaran-ajaran moral terhadap manusia untuk selalu berbudi baik, berilmu, dan berprasangka baik. Berikut kutipan di dalam SWS.
……manawi roh rokhaninipun tiyang ingkang sampurna, sampun kandha badaning manungsa, punika anandhakakên bilih sampun rinakêtan ing kamulyan, kagunan tuwin kabudayan. Kawasa wicaksana dhatêng saliring kang sinêja, sabab roh rohani wau mratandhani manawi tiyang langkung wicaksana roh rokhaninipun inggih mindhak sampurna jangkêp wijangi sarira, tur cayanipun wêning gumilang maya-maya.
Terjemahan: …..Jika roh rokhani (lapisan badan ketiga) manusia yang sempurna/selalu berbudi baik, menandakan bahwa manusia dekat dengan kemuliaan, kepandaian, dan kesejahteraan, serta dapat bijaksana kepada semua orang. Sebab roh rokhani menandakan jika manusia bertambah bijaksana juga akan mempengaruhi roh rokhani tersebut dan akan berwarna bening menyilaukan.
manusia mau berbuat dan berbudi baik, karena semua itu didapat dari balasan Tuhan kepada makhluknya. Siapa yang berbuat baik akan mendapatkan kebaikan, dan yang berbuat buruk akan mendapatkan keburukan.
Manawi tiyang pinuju tilêm roh rokhaninipun mêdal sangking raga, déné manawi tiyang ingkang tilêm wau taksih bodho tanpa kasagêdan. Roh rokhaninipun inggih botên gadhah daya punapa-punapa, tansah lémbak-lémbak (migêl-migêl) kados mana katêmpuh ing angin, warninipun abrit utawi ijêm, buthêk tanpa cahya, saha botên sagêt pisah têbih kaliyan raga wadhagipun. Amargi botên kulina pisah têbih kados déné roh rokaninipun tiyang ingkang langkung pintêr, manawi tiyang ingkang tilêm wau sampun kathah nalar tuwin kawigyanipun, saèstu roh rokhaninipun inggih sagêt pisah têbih tinimbang tiyang bodho.
Terjemahan: Jika manusia dalam keadaan tidur, roh rokhaninya keluar dari raga. Jika manusia yang tidur tidak berilmu atau bodoh roh rokhaninya juga tidak memiliki daya apa-apa, akan kesana-kemari tertiup angin dan berwarna merah atau hijau dan gelap tanpa cahaya serta tidak akan bisa lepas dari raganya. Hal ini disebabkan karena tidak terbiasa terpisah jauh, sedangkan roh rokhani orang yang berilmu atau pintar saat tertidur akan dapat pisah jauh daripada orang yang tidak berilmu.
Penjelasan di atas memberikan gambaran yang jelas bahwa manusia hidup di dunia harus mamiliki ilmu. Manusia yang tidak berilmu diibaratkan akan mudah tertiup angin, yaitu akan mudah mengalami kebingungan dalam menjalani hidupnya, dan manusia yang berilmu atau pintar pastilah dapat teguh menjalani hidupnya.
Pramila para sujana kêdah èngêt, sampun ngantos kalêbêtan manah awon saking tiyang sanès, lêbêt wêdaling rêmbag, kaping kalihé ingkang prayogi sarta ingkang utami manawi manggih èngêtan ingkang saé dipunandhêman, ingkang awon nuntên kabucala, sampun ngantos manggèn. Manawi sampun lantih utawi kulina dhatêng manah saé, andadosakên santosaning roh
rahmani, saya lami sangsaya botên purun tampi rêmbag awon.
rahmani(lapisan badan yang keempat), dan semakin lama tidak akan melakukan ucapan dan perilaku yang buruk.
Berprasangka baik adalah kunci kententraman hidup. Seprti pada kutipan di atas bahwa manusia yang hidup di dunia ini haruslah memiliki prasangka yang baik kepada siapapun dan dilarang mempunyai hati yang buruk. Jika manusia memiliki prasangka yang buruk segeralah dibuang demi menciptakan keharmonisan di dalam hidupnya. Manusia yang terbiasa berprasangka baik dalam kehidupanya pastilah tidak akan terpengaruh dengan hal-hal yang buruk.
Perkembangan manusia bersifat dinamis, baik peradaban ataupun budaya. berkembang dapat dikatakan sebagai prestasi, di samping itu juga kemunduran pada sisi tertentu. Sebuah realita masyarakat menggambarkan bahwa prestasi manusia diukur dari berkembangnya teknologi. Tetapi di samping sebuah prestasi juga dikatakan sebagai sebuah kemunduran, yaitu kemunduran nilai-nilai dalam hidup manusia. Akibatnya kebahagiaan sebagai tujuan akhir manusia hanya dicapai dari fisik atau materi. Sedangkan kebahagiaan batiniah yaitu ketentraman hidup menjadi semakin jauh. SWS dengan penghayatannya mencoba menyeimbangkan dalam mengatasi persoalan tersebut, yaitu dengan ajaran-ajaran yang dikandungnya.
Paparan di atas merupakan salah satu bagian kecil dari isi SWS, masih banyak ajaran-ajaran lain tentang pendidikan moral, agama, spiritual dan sikap dalam hidup. Piwulang dalam SWS masih relevan digunakan pada masa sekarang sebagai solusi mengatasi permasalahan kehidupan, jika dihayati dan dilakukan sepenuhnya maka yang menjadi cita-cita manusia, yaitu mencapai kebahagiaan ragawi dan suksmawi
Perkembangan manusia yang cepat, menciptakan banyak permasalahan-permasalahan baru yang akhirnya menutup spiritualitas manusia itu sendiri. Oleh karena itu etika dan moral manusia yang seutuhnya menjadi hal yang sangat penting.
SWS dalam ajarannya mencoba menawarkan solusi untuk memulihkan kembali tujuan hidup manusia. Keadaan masyarakat sekarang ini, manusia membutuhkan ajaran-ajaran spiritual untuk ketenangan hidupnya.
Berdasarkan uraian di atas, maka perlu dilakukan penelitian lebih lanjut pada naskah SWS baik secara filologis maupun isi. Kajian filologis digunakan untuk membahas permasalahan-permasalahan filologis yang ada di dalam naskah SWS,
sedangkan kajian isi digunakan untuk mengupas kandungan isi dan ajaran teks SWS.
B. Batasan Masalah
kerja filologis, sedangkan kajian isi digunakan untuk mendeskripsikan ajaran moral yang terdapat pada SWS.
C. Rumusan Masalah
Berdasarkan pembatasan masalah di atas, maka perumusan masalah dalam penelitian teks SWS adalahsebagai berikut :
1. Bagaimana suntingan teks SWS yang asli atau dekat dengan aslinya serta teks yang bersih dari kesalahan?
2. Ajara moral apa saja yang terdapat di dalam SWS ?
D. Tujuan Penelitian
Tujuan yang hendak dicapai dalam penelitian adalah sebagai berikut :
1. Menyajikan suntingan teks SWS yang asli atau dekat dengan aslinya serta teks yang bersih dari kesalahan.
2. Mendeskripsikan ajaran moral yang terdapat dalam SWS.
E. Manfaat Penelitian
Manfaat yang diharapkan dalam penelitian ini terbagi menjadi dua, yakni manfaat praktis dan teoretis, sebagai berikut :
1. Manfaat Praktis
b. Mempermudah pemahaman isi teks SWS, sekaligus memberikan informasi kepada masyarakat tentang isi yang terdapat di dalamnya.
2. Manfaat Teoritis
a. Memperkaya penerapan teori filologi terhadap naskah.
b. Membantu peneliti lain yang relevan untuk mengkaji lebih lanjut naskah
SWS khususnya dan naskah Jawa pada umumnya dari berbagai disiplin ilmu.
c. Menambah kajian terhadap naskah Jawa yang masih banyak dan belum terungkap isinya.
F. Sistematika Penulisan
I. Pendahuluan
Bab ini merupakan uraian tentang latar belakang masalah, batasan masalah, rumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian dan sistematika penulisan.
II. Kajian Teori
Bab ini menguraikan pengertian filologi, objek penelitian filologi dan cara kerja filologi, Sejarah Theosofi di Indonesia, pengertian piwulang: Etika dan Pandangan Hidup Orang Jawa.
III. Metode Penelitian
IV. Pembahasan
Pembahasan diawali dengan pembahasan kajian filologi kemudian dilanjutkan pembahasan kajian isi.
V. Penutup