• Tidak ada hasil yang ditemukan

Integrasi Pengelolaan Pertanahan dan Pen

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "Integrasi Pengelolaan Pertanahan dan Pen"

Copied!
27
0
0

Teks penuh

(1)

INTEGRASI PENGELOLAAN PERTANAHAN DAN PENATAAN RUANG: Strategi Pengendalian Penguasaan dan Pemilikan Tanah Pulau-Pulau Kecil

Oleh: Sutaryono

Pengajar Sekolah Tinggi Pertanahan Nasional (STPN) taryo_jogja@yahoo.com

www.manajemenpertanahan.blogspot.com

ABSTRAK

Permasalahan pengelolaan pulau-pulau kecil di Indonesia, semakin hari semakin komplek dan belum mendapatkan alternatif strategi yang memadai. Pengelolaan secara sentralistik dan ekonomistik tanpa mengakomodasi kepentingan ekologis dan kepentingan-kepentingan daerah, masyarakat lokal berikut ragam budaya dan etnisnya sudah menunjukkan dampaknya. Degradasi lingkungan, konflik penguasaan dan pemilikan tanah, konflik penggunaan dan pemanfaatan ruang atas wilayah pulau-pulau kecil, terusir-nya masyarakat dan nelayan lokal serta isu penjualan pulau-pulau kecil adalah realitas yang perlu mendapatkan alternatif penyelesaian.

Naskah ini mencoba memberikan alternatif penyelesaian permasalahan penguasaan dan pemilikan tanah melalui integrasi pengelolaan pertanahan dan penataan ruang. Content analisys dipilih sebagai metode yang tepat untuk mengkaji kondisi eksisting dan kelembagaan terkait pengelolaan pulau-pulau kecil, yang diorientasikan untuk mendapatkan strategi pengintegrasian pengelolaan pertanahan dengan penataan ruang.

Hasilnya menunjukkan bahwa: (a) Pengendalian penguasaan dan pemilikan tanah pada pulau-pulau kecil dapat dilakukan dengan strategi pengintegrasian penyelenggaraan penataan ruang dengan pengelolaan pertanahan; (b) perwujudan tertib ruang dan tertib penguasaan, pemilikan, penggunaan dan pemanfaatan tanah dilakukan melalui agenda-agenda kelembagaan, penyusunan dan penguatan regulasi, penyediaan instrumen pengendalian dan implementasi kebijakan pengendalian; (c) penyatuan agraria dan tata ruang dalam satu kementerian bukanlah suatu hal yang a-historis, tetapi justru memberikan peluang bagi terintegrasinya pengelolaan pertanahan dengan penataan ruang;

A. PENDAHULUAN 1. Latarbelakang

(2)

(archipelago states), Indonesia telah mendapatkan pengakuan dari Konvensi Hukum Laut Internasional 1982 (United Nations Convention Law of the Sea – UNCLOS), dimana memiliki hak berbeda dalam penarikan garis batas wilayah. Perbedaan mendasar negara kepulauan dengan negara pantai biasa adalah dalam penetapan titik dasar untuk penarikan batas perairan teritorial, zona ekonomi eksklusif dan landasan kontinental. Negara kepulauan diperbolehkan menarik titik dasar dari ujung pulau terluar hingga 200 mil, sedangkan negara pantai hanya sampai 12 mil dari daratan.

Sebagai negara kepulauan (archipelago states), Indonesia memiliki sumberdaya wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil yang sangat potensial untuk dikembangkan. Data LAPAN yang direlease oleh www.wikipedia.org, Indonesia memiliki panjang garis pantai mencapai 81.000 km dan memiliki sekitar 18.306 pulau. Dari keseluruhan jumlah pulau, pulau yang sudah bernama hanya mencapai 6.489 pulau, selebihnya belum memiliki nama. Data Departemen Dalam Negeri berdasarkan laporan dari para gubernur dan bupati/wali kota, pada tahun 2004 menyatakan bahwa 7.870 pulau yang bernama, sedangkan 9.634 pulau tak bernama1. Kondisi ini menunjukkan bahwa dalam konteks wilayah, bangsa kita belum memiliki strategi yang tepat untuk melakukan pengelolaan wilayah laut, pesisir dan pulau-pulau kecil yang ada. Keberadaan data yang valid dan aktual berkenaan dengan jumlah pulau saja masih bermasalah, maka menjadi wajar apabila strategi pengelolaannyapun masih dipertanyakan. Namun demikian dengan potensi dan kekayaan yang ada, terwujudnya welfare state sudah di depan mata apabila pengelolaan terhadap sumberdaya laut, pesisir dan pulau-pulau kecil secara nasional dilakukan dengan baik dan berkeadilan. Tetapi perlu diingat pula bahwa potensi disintegrasi bangsa juga terdapat pada bangsa ini, apabila pengelolaan sumberdaya yang ada dilakukan secara sentralistik dan ekonomistik tanpa mengakomodasi kepentingan ekologis dan kepentingan-kepentingan daerah, masyarakat lokal berikut ragam budaya dan etnisnya.

Issu-issu mengenai penyewaan atau bahkan penjualan pulau-pulau kecil terhadap swasta atau pihak asing, ancaman disintegrasi bangsa, degradasi dan deteriorasi lingkungan, serta konflik penguasaan dan pemilikan tanah pada pulau-pulau kecil merupakan persoalan serius yang perlu segera diantisipasi dan

(3)

ditangani agar tidak mengalami ekskalasi ke arah chaos yang cenderung kontraproduktif.

Isu-isu mengenai penyewaan pulau-pulau kecil terhadap swasta atau pihak asing, muncul pada awal tahun 2006 yang mengungkap masalah terjadinya ‘jual beli’ terhadap beberapa pulau kecil di wilayah Nusa Tenggara Timur. Pada tahun 2012 muncul lagi isu penjualan pulau-pulau kecil, bahkan pada akhir tahun 2014 lalu kita dikejutkan dengan adanya penawaran ‘penjualan’ terhadap beberapa pulau kecil di beberapa wilayah. Modus ‘penjualan’ pulau dilakukan melalui pengiklanan di media online dan menyewakan kepada orang asing selama 25-30 tahun. Beberapa pulau yang sudah pernah ‘dijual’ antara lain P. Panjang dan Meriam Besar di NTB, P. Makaroni, Siloinak, Kandul, kemudian P. Piluan di Lampung, P. Gambar di Lauta Jawa, P. Bidadari serta Pulau Sebayur dan Kanawa (Koran Tempo, 5-9-2014). Kondisi tersebut memberikan penyadaran kepada kita, bahwa potensi pulau-pulau kecil, termasuk wilayah pesisir di dalamnya, merupakan modal besar bagi peningkatan kesejahteraan masyarakat.

2. Permasalahan

Realitas di atas menunjukkan bahwa argumentasi pentingnya pengelolaan pulau-pulau kecil mendapatkan konteksnya. Hadirnya UU 27/2007 jo UU 1/2014 tentang Perubahan atas UU Nomor 27/2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil belum menjamin adanya pengelolaan wilayah pulau-pulau kecil yang aman, nyaman, produktif, dan berkelanjutan. Perlu strategi yang mengkhususkan pada pengendalian penguasaan dan pemilikan tanah pada pulau kecil agar pengelolaan pertanahan di wilayah pulau-pulau kecil lebih berkeadilan dan mensejahterakan. Strategi pengendalian penguasaan dan pemilikan tanah pada pulau-pulau kecil secara terencana, terintegrasi, rasional, optimal, bertanggungjawab dengan mengutamakan sebesar-besar kemakmuran rakyat serta memperhatikan kelestarian fungsi dan keseimbangan lingkungan bagi pembangunan berkelanjutan harus dilakukan melalui integrasi pengelolaan pertanahan dan penataan ruang. Pertanyaan yang kemudian mengedepan adalah:

(4)

b. Bagaimana upaya mewujudkan tertib ruang dan tertib penguasaan & pemilikan pada pulau-pulau kecil?

c. Bagaimana peluang kelembagaan dalam integrasinya pengelolaan pertanahan dengan penataan ruang?

3. Tujuan Penulisan

a. Memformulasikan strategi pengendalian penguasaan dan pemilikan tanah pada pulau-pulau kecil melalui pengintegrasian pengelolaan pertanahan dan penataan ruang;

b. Menyusun agenda untuk mewujudkan tertib ruang dan tertib penguasaan & pemilikan tanah pada pulau-pulau kecil;

c. Mengidentifikasi peluang kelembagaan dalam integrasi pengelolaan pertanahan dan penataan ruang.

4. Manfaat

a. Memberikan umpan dan masukan kepada Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional dalam pengelolaan pertanahan pada pulau-pulau kecil;

b. Sebagai dorongan bagi pemerintah daerah untuk melakukan inisiatif dalam pengintegrasian urusan pertanahan dan penataan ruang, utamanya terkait penguasaan dan pemilikan tanah dengan penggunaan dan pemanfaatannya;

c. Secara akademik, membuka diskursus baru berkenaan dengan integrasi pengelolaan pertanahan (land management) dengan penataan ruang (spatial planning).

B. TINJAUAN PUSTAKA

1. Penguasaan dan Pemilikan Tanah dalam Perspektif Land Management Penguasaan dan pemilikan tanah dalam konteks yang lebih luas merupakan bagian dari pengelolaan pertanahan (land management). Dalam hal ini, land management sering dirancukan dengan land administration. Williamson2 mengemukakan bahwa “Land Administration Systems (LAS) provide the infrastructure for implementing land policies and land management strategies in support of sustainable development”. Dalam hal ini Sistem Administrasi Pertanahan yang menyediakan berbagai infrastruktur

(5)

untuk menerapkan kebijakan pertanahan dan strategi pengelolaannya dalam mendukung pembangunan berkelanjutan, mutlak diperlukan dalam rangka memastikan terwujudnya tanah bagi sebesar-besar kemakmuran rakyat. LAS terdiri atas land tenure (penguasaan dan pemilikan tanah), land use (peruntukan dan penggunaan tanah), land value (penilaian tanah), dan land development. Hal ini senada dengan yang tertuang dalam Land Administration Guidelines yang diterbitkan oleh PBB3. Pada naskah ini disebutkan bahwa land management is the process by which the resources of land are put into good effect. Untuk mendapatkan pengelolaan yang berdampak positif, salah satunya melalui administrasi pertanahan, yang meliputi land rights, land use, land valuation and taxation. Dalam konteks pengelolaan pertanahan di Indonesiaan, konsep apapun yang dipilih baik land management maupun land administration, kesemuanya diorientasikan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat.

Berkenaan dengan kajian dan penataan pulau-pulau di Indonesia dapat dilakukan dengan pendekatan-pendekatan geografis yang meliputi spatial approach, ecological approach dan regional complex approach. Namun demikian, pendekatan-pendekatan tersebut perlu dilengkapi secara khusus dengan pendekatan yuridis, terutama berkaitan dengan penguasaan dan pemilikan tanah, mengingat berbagai persoalan yang berkembang dan menimbulkan konflik baik vertikal maupun horisontal pada saat ini salah satunya adalah persoalan penguasaan dan pemilikan tanah. Di samping itu telah terbukti bahwa penguasaan dan pemilikan tanah mempunyai korelasi positif dengan penggunaan dan pemanfaatan tanah, sepanjang mekanisme dan aturan main dalam mendapatkan tanah telah terpenuhi. Hal ini menunjukkan bahwa penataan penguasaan dan pemilikan tanah merupakan basis dalam pengelolaan pertanahan. Artinya, bagaimanapun wujud pengelolaan sebuah wilayah apabila tidak dilandasi oleh penataan penguasaan dan pemilikan tanah yang baik dan berkeadilan, akan memunculkan persoalan-persoalan baru yang semakin komplek.

Pada dasarnya kebijaksanaan pertanahan secara nasional telah diatur dengan Undang-Undang Nomor 5 tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria yang lebih dikenal dengan UUPA (Undang-Undang

(6)

Pokok Agraria). Telah ditegaskan dalam UUPA bahwa bumi, air dan ruang angkasa, termasuk kekayaan alam yang terkandung di dalamnya pada tingkatan tertinggi dikuasai oleh negara sebagai organisasi kekuasaan penjelmaan seluruh rakyat. Untuk selanjutnya kekuasaan tersebut lebih dikenal dengan Hak Menguasai dari Negara (HMN). Ada tiga kewenangan negara: (a) mengatur dan menyelenggarakan peruntukan, penggunaan, persediaan dan pemeliharaan bumi, air dan ruang angkasa; (b) menentukan dan mengatur hubungan-hubungan hukum antara orang-orang dengan bumi, air dan ruang angkasa; (c) menentukan dan mengatur hubungan-hubungan hukum antara orang-orang dan perbuatan-perbuatan hukum yang mengenai bumi, air dan ruang angkasa. Sebagaimana telah diatur dalam UUPA tersebut, kewenangan negara untuk mengatur dan menyelenggarakan peruntukan, penggunaan, persediaan, dan pemeliharaan tanah dapat dilimpahkan kepada Pemerintah Daerah.

Penataan penguasaan dan pemilikan tanah merupakan agenda strategis dan digalakkan oleh Badan Pertanahan Nasional (BPN) yang saat ini terintegrasi ke dalam Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional. Hal ini dilakukan mengingat pelayanan legalisasi aset di Kantor-Kantor Pertanahan Kabupaten/Kota, dalam pelaksanaannya masih dijumpai adanya hambatan dan kendala yang disebabkan rendahnya aksesibilitas masyarakat terutama di daerah-daerah dengan insfrastruktur minim. Dalam hal ini termasuk wilayah pada pulau-pulau kecil, dimana kondisi penguasaan dan pemilikan tanahnya justru lebih rentan menimbulkan konflik.

(7)

2. Kontestasi Ruang Hidup

Kontestasi ruang hidup, dalam hal ini dimaknai sebagai kontestasi penguasaan dan pemilikan tanah sebagai ruang hidup dan penghidupan masyarakat. Kontestasi ini sangat erat hubungannya dengan pembangunan wilayah. Proses kontestasi dalam pembangunan wilayah tidak terlepas dari kebijakan pengelolaan pertanahan. Dalam hal ini pihak-pihak yang berkepentingan terhadap tanah/ruang ditarik ke dalam proses kontestasi (Haughton & Counsel, 2004)4. Keterlibatan berbagai pihak dalam kontestasi penguasaan dan pemilikan tanah sebagai ruang hidup tidak terlepas dengan pemaknaan terhadap tanah sebagai ruang interaksi dan objek pembangunan.

Ruang interaksi dan objek pembangunan dalam konteks ini tidak hanya dipahami pada ruang fisik semata, tetapi juga ruang sosial yang dikonstruksi oleh masyarakat yang merupakan respon terhadap perubahan. Lefebvre dalam The Production of Space mengkonstruksikan space sebagai field (tanah) yang terdiri dari: (1) physical (natural) space; (2) mental space; dan (3) social space (Lefebvre, 1991). Berdasarkan pendapat Haughton & Counsel (2004) dan Lefebvre (1991) terlihat bahwa proses kontestasi penguasaan dan pemilikan tanah merujuk pada keterlibatan pihak yang berkepentingan terhadap tanah ataupun ruang secara luas dalam proses pembangunan wilayah. Hal ini sejalan dengan pendapat Ronaldo Munck, dalam naskahnya Globalization and Contestation (Munck, 2007) yang menyebutkan bahwa kontestasi dimaknai sebagai sebuah persaingan atau proses pertukaran yang sama kuatnya, dengan pasar sebagai media pertukaran. Dalam hal ini pasar sebagai media pertukaran berupa munculnya berbagai transaksi dan berbagai kepentingan yang berhubungan dengan penguasaan dan pemilikan tanah.

Berkenaan dengan hal di atas, dalam perspektif ekonomi menunjukkan bahwa semua subjek hak atas tanah yang berkepentingan dalam pembangunan wilayah berada pada persaingan sempurna. Persaingan yang sempurna terjadi apabila pihak-pihak yang terlibat dalam perebutan penguasaan dan pemilikan tanah mempunyai posisi tawar yang sama dan

(8)

masing-masing tidak dapat menentukan harga secara sepihak. Kontestasi penguasaan dan pemilikan lahan merupakan sebuah keniscayaan, ketika kebutuhan tanah semakin meningkat seiring dengan tuntutan perkembangan peradaban. Dalam perspektif geografis, peralihan hak dan alih fungsi tanah merupakan konsekuensi perkembangan wilayah.

Proses-proses peralihan hak atas tanah dan alih fungsi tanah, termasuk di dalamnya adalah bidang-bidang tanah pada pulau-pulau kecil, apabila tidak dikendalikan, perlahan tetapi pasti akan dikuasai oleh pemilik modal. Dikuasainya akses terhadap tanah oleh pemilik modal, berarti pula mempersempit akses masyarakat terhadap bidang-bidang tanah sebagai sumber penghidupannya. Dalam konteks ini, kontraproduktif dengan semangat ‘tanah untuk ruang hidup yang memakmurkan dan menenteramkan’5.

Proses peralihan hak atas tanah dan alih fungsi tanah yang berujuang pada marjinalisasi masyarakat lokal, secara konseptual digambarkan dalam teori Land Contestation Triangle Model (Sutaryono, 2013). Kontestasi ruang fisik, ruang mental dan ruang sosial ini membentuk segitiga yang saling mempengaruhi (Gambar 1). Physical space contestation ditandai oleh variabel konversi penggunaan lahan (land use conversion) dan konversi penguasaan lahan (land tenure conversion). Kedua variabel tersebut mempengaruhi dan dipengaruhi oleh mental space contestation, yang di dalamnya terdapat pola pikir (mind set) dan tradisi stake holder (tradition). Pola pikir dan tradisi stake holder ini mempengaruhi dan dipengaruhi oleh social space contestation yang di dalamnya terdapat tindakan (action) dan interaksi sosial (social interaction).

(9)

Gambar 1. Diagram Land Contestation Triangle Model (Sutaryono, 2013)

Model pada gambar di atas menunjukkan adanya kontestasi ruang hidup yang berproses menuju terjadinya marjinalisasi pada masyarakat lokal. Teori ini tidak hanya berlaku pada masyarakat pinggiran kota, tetapi juga sangat relevan dengan kontestasi ruang hidup pada masyarakat di pulau-pulau kecil. Tekanan terhadap penguasaan dan pemilikan bidang-bidang tanah masyarakat lokal oleh pemilik modal akan terus terjadi. Apabila tidak mendapatkan pengendalian maka masyarakat lokal akan termarjinalkan.

3. Pengendalian Penguasaan dan Pemilikan Tanah Serta Pengendalian Pemanfaatan Ruang

Pengendalian penguasaan dan pemilikan tanah dalam perspektif land management belum menjadi sebuah mainstream (arus utama), karena selalu terpinggirkan oleh arus besar pendaftaran tanah. Bahkan terminologi pengendalian pertanahan termanifestasi ke dalam kelembagaan pertanahan (level eselon I) baru pada tahun 2006 melalui Perpres 10/2006 tentang Badan Pertanahan Nasional. Inipun menyisakan beberapa persoalan yang belum terselesaikan.

(10)

pihak-pihak yang mempunyai akses berlebih terhadap tanah perlu dikendalikan dan pihak-pihak yang miskin atau tidak punya akses terhadap tanah perlu diberdayakan. Pemaknaan ini terlihat sebagai upaya mensimplifikasi makna sebenarnya. Apabila dikelompokkan, paling tidak terdapat dua hal penting yang perlu didiskusikan ulang.

Pertama, terkait dengan substansi dan penggunaan terminologi pengendalian pertanahan dan pemberdayaan masyarakat. Dari sisi substansi ada kecenderungan mensimplifikasi aspek pengendalian dan makna pemberdayaan masyarakat. Pada sisi penggunaan terminologi yang berhubungan dengan substansi masih sering muncul kerancuan, misalnya antara ”pengendalian pertanahan dan pemberdayaan masyarakat” dan ”pengendalian dan pemberdayaan masyarakat di bidang pertanahan”. Kedua, terminologi tersebut dari sisi bahasa jelas terdapat perbedaan makna, sehingga tidak pada tempatnya menyebutkan pengendalian pertanahan dan pemberdayaan pada satu terminologi. Terminologi pemberdayaan masyarakat memiliki dasar filosofis yang jauh berbeda dengan pengendalian pertanahan. Dalam konteks yang lebih luas, pemberdayaan masyarakat adalah prasyarat penting bagi terwujudnya civil society, di samping keadilan sosial dan kemakmuran.

Kondisi ini hampir sama dengan pengendalian pemanfaatan ruang dalam penataan ruang. Pengendalian pemanfaatan ruang selalu tertinggal dibanding perencanaan dan pemanfaatan ruang, bahkan agenda-agenda pengendalian pemanfaatan ruang jarang ditemukan dalam implementasi kebijakan penataan ruang. Dalam hal ini, pengendalian pemanfaatan ruang terdiri dari peraturan zonasi, perijinan, insentif dan disinsentif dan sanksi.

Pengendalian pemanfaatan ruang adalah suatu proses kegiatan yang secara berkesinambungan mengikuti, mengamati, dan menempatkan pelaksanaan rencana-rencana pemanfaatan ruang yang disusun oleh berbagai instansi sektoral, pemerintah daerah, swasta dan masyarakat secara berdaya guna dan berhasil guna agar dapat mewujudkan Rencana Tata Ruang (RTR) yang telah ditetapkan. Tujuan dari pengendalian pemanfaatan ruang antara lain untuk:

(11)

2) Mencegah dampak negatif pemanfaatan ruang. 3) Melindungi kepentingan umum dan masyarakat luas.

4) Mengakomodasikan kebutuhan ruang yang dinamis dari berbagai kegiatan, baik oleh pemerintah, swasta, maupun masyarakat secara optimal dan betkelanjutan,

5) Menyelesaikan konflik-konflik pemanfaatan ruang baik antara kawasan lindung dengan kawasan budidaya maupun antar kawasan budidaya yang dapat menimbulkan tumpang-tindih dan konflik.

6) Pengendalian pemanfaatan ruang pada hakekatnya terdiri dari tiga kegiatan yang satu sama lain terkait erat, yaitu kegiatan pemantauan, kegiatan pengawasan, dan kegiatan penertiban pemanfaatan ruang.

Dalam pelaksanaan pembangunan, pengendalian memiliki dua fungsi yaitu: (1) fungsi untuk memperbaiki suatu kegiatan yang telah berlangsung namun keberadaanya tidak sesuai dengan rencana tata ruang yang ada; dan (2) fungsi untuk mencegah terjadinya pembangunan yang tidak sesuai dengan acuan yang telah disusun.

Persoalan penataan ruang pada dasarnya berakar pada bagaimana pelaksanaan pembangunan dilakukan. Dalam pelaksanaan pembangunan suatu kawasan seringkali tidak sejalan dengan rencana tata ruang yang telah disusun dan menjadikan keduanya sebagai suatu hal yang bertentangan. Seringkali rencana tata ruang yang telah disusun akan tetap menjadi suatu dokumen sedangkan pelaksanaan pembangunan tetap berjalan berdasarkan permintaan pasar. Ketidaksesuaian antara rencana tata ruang yang telah disusun dengan pelaksanaan pembangunan ini membutuhkan apa yang disebut dengan pengendalian. Dalam UU No. 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang dijelaskan bahwa pengendalian merupakan bagian dari proses penyelenggaraan penataan ruang yang berupaya untuk mewujudkan tertib tata ruang. Kegiatan ini dilakukan dalam rangka memastikan bahwa proses pemanfaatan ruang telah sesuai dengan rencana tata ruang yang berlaku.

(12)

oleh perijinan pemanfaatan tanah/ruang yang mendukung tumbuhnya investasi. Akibatnya, muncullah konflik penguasaan dan pemilikan tanah serta konflik pemanfaatan ruang, serta ancaman degradasi lingkungan dan tersubordinasinya masyarakat lokal dari ruang hidupnya.

C. METODOLOGI

Naskah ini disusun melalui desk study terhadap beberapa regulasi dan beberapa pengalaman empirik berkenaan dengan kondisi kekinian wilayah pulau-pulau kecil. Deskriptif kualitatif digunakan untuk mengartikulasikan realitas dan gagasan pentingnya pengendalian penguasaan dan pemilikan tanah melalui integrasi urusan pertanahan dan penataan ruang.

Content analysis dilakukan untuk mengkaji kondisi eksisting berkenaan dengan pulau-pulau kecil, kebijakan pengelolaan dan problematikanya serta peluang dimunculkannya strategi pengendalian penguasaan dan pemilikan tanahnya. Hal ini dilakukan agar gagasan pengendalian penguasaan dan pemilikan tanah pada pulau-pulau kecil dapat dilakukan dengan taat asas dan sinkron dengan kebijakan pemanfaatan ruang sebagaimana diatur dalam peraturan perundang-undangan.

Analisis terhadap kelembagaan Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional, yang mengintegrasikan urusan pemerintahan di bidang pertanahan dan tata ruang, menjadi peluang dan titik masuk dalam penyusunan alternatif strategi pengendalian penguasaan dan pemilikan tanah pada pulau-pulau kecil di Indonesia.

(13)

beserta kesatuan Ekosistemnya. Definisi ini juga sama dengan definisi yang diatur dalam Pedoman Umum Pengelolaan Pulau-pulau Kecil yang Berkelanjutan dan Berbasis Masyarakat6. Adapun karakteristik pulau-pulau kecil adalah: (a) pulau yang ukuran luasnya kurang atau sama dengan 2000 km2 dengan jumlah penduduk kurang atau sama dengan 200.000 orang; (b) secara ekologis terpisah dari induknya, memiliki batas fisik yang jelas dan terpencil; (c) mempunyai sejumlah besar endemik dan keanekaragaman yang tipikal dan bernilai tinggi; (d) memiliki catchment area yang kecil; (e) bersifat khas dari segi sosial, ekonomi dan budaya masyarakat.

Perlunya pengelolaan pulau-pulau kecil disadari karena pulau-pulau kecil mempunyai arti penting untuk pertahanan keamanan, kepentingan ekonomi dan untuk kepentingan ekologis. Namun demikian, dalam pengelolaan pulau-pulau kecil ditemukan beberapa persoalan, seperti (Patittingi, 2012): (a) belum jelasnya definisi operasional pulau-pulau kecil; (b) kurangnya data dan informasi; (c) kurang berpihaknya pemerintah dalam pengelolaan; (d) belum optimalnya fungsi pertahanan dan keamanan; (e) masih tingginya disparitas pembangunan antar pulau; (f) terbatasnya sarana dan prasarana dasar; (g) tingginya konflik kepentingan; (h) terjadinya degradasi lingkungan.

Menurut Direktur Kawasan Khusus dan Daerah Tertinggal, Bappenas (2010), berbagai permasalahan menyangkut pulau-pulau kecil antara lain: (a) tingkat kesejahteraan masyarakat yang menghuni pulau-pulau kecil sangat rendah umumnya tingkat pendidikannya sangat rendah dan masih banyak yang buta huruf; (b) sebagian terbesar penduduk di pulau kecil sangat bergantung pada sektor pertanian (termasuk perikanan, peternakan dan kehutanan); (c) beberapa pulau di wilayah perbatasan Indonesia dengan negara-negara tetangga rawan terhadap infiltrasi asing, sehingga perlu pengelolaan yang spesifik; (d) lokasi yang terisolir, menyebabkan kurangnya akses terhaap teknologi dan investasi yang menyebabkan produktivitas pengelolaan SDA sangat rendah; (e) sebagian pulau-pulau kecil telah rusak akibat dari eksploitasi; (f) ketersediaan infrastruktur dan prasarana perhubungan sangat terbatas, sehingga biaya transportasi menjadi mahal; (g) kegiatan ekonomi dilakukan berdasarkan pendekatan sektoral maka pengelolaan pulau-pulau kecil cenderung bersifat eksploitatif, dan merusak lingkungan; (h) perencanaan

(14)

pembangunan oleh Pemerintah dan Pemda belum banyak menyentuh pembangunan pulau kecil/ terluar.

Permasalahan lain yang tidak kalah pentingnya berkaitan dengan aspek land management, antara lain: (a) belum jelasnya pengaturan penguasaan dan pemilikan tanahnya, sehingga menimbulkan konflik penguasaan dan pemilikan; (b) belum terpetakannya bidang-bidang tanah secara keseluruhan; (c) munculnya konflik penggunaan dan pemanfaatan tanahnya; (d) adanya kerancuan kelembagaan antar kementerian/lembaga maupun pemerintah daerah; (e) belum sinkronnya mekanisme perijinan pemanfaatan ruang/tanah dengan proses-proses pemberian hak atas tanahnya.

Berkenaan dengan penguasaan tanahnya, secara empirik penguasaan tanah di pulau-pulau kecil terbagi menjadi dua, yaitu dikuasai oleh masyarakat lokal dan dikuasai oleh swasta. Patittingi (2012) menemukan bahwa pulau-pulau kecil yang dikuasai oleh masyarakat lokal dikategorikan menjadi dua, yaitu: 1. Penguasaan pulau oleh perorangan, yakni satu pulau secara keseluruhan

dikuasai oleh satu subjek hukum yang diperoleh secara turun-temurun. Contohnya adalah Pulau Dutungeng dan Pulau Bakki dk Kabupaten Barru, Sulawesi Selatan;

2. Penguasaan tanah dari bagian pulau oleh perorangan, yakni penguasaan tanah di pulau-pulau kecil dengan status hak milik perorangan, yang diperoleh dengan proses pengakuan hak, pemberian hak ataupun penguasaan dengan HGB.

Penguasaan tanah pulau kecil oleh swasta (investor), terbagi menjadi dua yaitu penguasaan dengan HGB dan penguasaan tanah yang didasarkan pada perijinan dan perjanjian kerjasama. Penguasaan tanah dalam bentuk terakhir merupakan penguasaan tanah berdasarkan surat ijin, rekomendasi atau kebijaksanaan dalam bentuk lain (kerjasama) dari pemerintah daerah atau instansi terkait untuk menggunakan tanahnya. Realitas menunjukkan bahwa meskipun hanya berdasarkan pada surat perijinan, tetapi pemegang ijin telah menguasai tanah dan melaksanakan aktivitas seperti layaknya pemegang hak atas tanah (Patittingi, 2012). Kondisi seperti inilah yang berpotensi memunculkan konflik, baik konflik penguasaan maupun penggunaan tanahnya.

(15)

pengelolaan, mengingat hubungan hukum antara subjek dan objek hak atas tanah adalah faktor paling mendasar di wilayah ini. Apabila penataan penguasaan tanah di pulau-pulau kecil sudah dilakukan, maka baru dapat disusun strategi pengelolaan yang mencakup aspek keterpaduan, kewenangan kelembagaan dan partisipasi masyarakat, agar pulau-pulau kecil dapat bermanfaat secara optimal dengan tetap terjaga kelestariannya.

E. STRATEGI PENGENDALIAN PENGUASAAN DAN PEMILIKAN TANAH PADA PULAU-PULAU KECIL

Penataan Penguasaan dan Pemilikan Tanah pada pulau-pulau kecil harus dilakukan secara khusus, tidak sekedar menjadi bagian dari legalisasi aset ataupun pendaftaran tanah sebagaimana lazimnya. Ini penting dilakukan agar segala aktivitas penguasaan, pemilikan, penggunaan dan pemanfaatan tanah, kemungkinan-kemungkinan pengembangannya dapat dilakukan, dimonitor dan dievaluasi secara khusus dan berkelanjutan.

Penataan penguasaan dan pemilikan tanah pada pulau-pulau kecil harus mengedepankan agenda pengendalian, agar penguasaan dan pemilikan tanahnya dapat lebih berkeadilan dan berkelanjutan. Berkenaan dengan hal tersebut, beberapa strategi pengendalian yang dapat diajukan adalah:

1. Strategi Kelembagaan

Terbentuknya Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN) merupakan peluang terwujudnya integrasi kelembagaan pertanahan dan penataan ruang. Berdasarkan Peraturan Presiden Nomor 17 Tahun 2015 tentang Kementerian Agraria dan Tata Ruang, urusan penataan ruang berkembang dari satu ditjend menjadi dua ditjend, yakni Ditjend Tata Ruang dan Ditjend Pengendalian Pemanfaatan Ruang dan Penguasaan Tanah.

(16)

a. perumusan kebijakan di bidang pengendalian pemanfaatan ruang dan penguasaan tanah serta penertiban dan pendayagunaan tanah terlantar; b. pelaksanaan kebijakan di bidang pengendalian pemanfaatan ruang dan

penguasaan tanah serta penertiban dan pendayagunaan tanah terlantar; c. penyusunan norma, standar, prosedur, dan kriteria di bidang pengendalian

pemanfaatan ruang dan penguasaan tanah serta penertiban dan pendayagunaan tanah terlantar;

d. pemberian bimbingan teknis dan supervisi di bidang pengendalian pemanfaatan ruang dan penguasaan tanah serta penertiban dan pendayagunaan tanah terlantar;

e. pelaksanaan evaluasi dan pelaporan di bidang pengendalian pemanfaatan ruang dan penguasaan tanah serta penertiban dan pendayagunaan tanah terlantar;

f. pelaksanaan administrasi Direktorat Jenderal Pengendalian Pemanfaatan Ruang dan Penguasaan Tanah; dan

g. pelaksanaan tugas lain yang diberikan oleh Menteri.

Munculnya kelembagaan pengendalian pemanfaatan ruang dan penguasaan tanah pada level ditjend menunjukkan bahwa aspek pengendalian adalah aspek yang sangat strategis dan perlu mendapatkan perhatian. Hal ini sejalan dengan dicanangkannya Program Peningkatan Pengawasan dan Pengendalian Pemanfaatan Ruang (P5R) oleh Ditjend Penataan Ruang, Kementerian PU pada tahun 2014 lalu. Program ini dikedepankan, mengingat sudah saatnya mengalihkan fokus utama pelaksanaan penataan ruang dan perencanaan tata ruang ke pengendalian pemanfaatan ruang (Hadimoeljono, B. 2013).

Program P5R ini bertujuan untuk meningkatkan efisiensi dan efektivitas pengawasan dan pengendalian pemanfaatan ruang di pusat dan di daerah dalam rangka mewujudkan penyelenggaraan penataan ruang sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan serta menciptakan tertib tata ruang. Untuk mencapai tujuan tersebut, sasaran yang hendak dicapai program ini adalah:

a. Terwujudnya tata kelola dan kelembagaan pengawasan dan pengendalian pemanfaatan ruang yang efektif dan efisien;

(17)

c. Tersedianya mekanisme/tata cara dalam manajemen pengawasan dan pengendalian pemanfaatan ruang;

d. Tersedianya Norma, Standar, Prosedur, dan Kriteria (NSPK) pengawasan dan pengendalian pemanfaatan ruang;

e. Terciptanya aparatur atau Sumber Daya Manusia (SDM) yang berkualitas dalam pengawasan dan pengendalian pemanfaatan ruang.

Meskipun belum operasional karena adanya restrukturisasi kelembagaan, tetapi program ini sejalan dengan menguatnya rejim pengendalian pemanfaatan ruang sekaligus dengan terbentuknya ditjend pengendalian pemanfaatan ruang dan pertanahan. Bahkan content pengendalian pemanfaatan ruang dan penguasaan tanah serta penertiban dan pendayagunaan tanah terlantar yang berada dalam satu ditjend merupakan langkah produktif dan sangat tepat dalam rangka pengendalian pemanfaatan ruang dan penguasaan tanah. Kata pentingnya adalah penyatuan pengendalian pemanfaatan ruang dengan pengendalian penguasaan tanah, yang selama ini masih sektoral dan belum terhubung satu sama lain.

Pembentukan dan pengembangan kelembagaan pengendalian pemanfaatan ruang dan penguasaan tanah merupakan strategi yang harus dijalankan dan dioperasionalkan, baik untuk kelembagaan pada level pusat maupun daerah. Adapun kelembagaan pengendalian penguasaan dan pemilikan tanah pada pulau-pulau kecil menjadi bagian penting dari kelembagaan ini.

2. Strategi Regulasi

Untuk mengharmonikan berbagai regulasi yang mengatur tentang agraria, ruang dan tanah maka strategi penataan regulasi menjadi hal yang urgent sekaligus emergence dalam rangka pengendalian penguasaan dan pemilikan tanah pada pulau-pulau kecil. Beberapa regulasi yang saling terkait dalam pengaturan pulau-pulau kecil adalah UU 5/1960, UU 26/2007, UU 27/2007 dan UU 23/2014.

(18)

dan pemanfaatan ruangnya. Kelembagaan pengendalian pemanfaatan ruang dan penguasaan tanah dalam Kementerian ATR/BPN harus mampu melakukan harmonisasi ini, mengingat kelembagaan tersebut sudah berada dalam satu kementerian.

Di samping itu, harmonisasi juga perlu dilakukan dengan UU 27/2007 dan UU 23/2014, mengingat saat ini masih muncul kerancuan kewenangan dalam pengaturan ruang pada pulau-pulau kecil. Kewenangan dalam hal penguasaan dan pemilikan tanah sudah jelas menjadi otoritas Kementerian ATR/BPN.

3. Strategi Instrumen Pengendalian

Pengendalian penguasaan dan pemilikan tanah pada pulau-pulau kecil mensyaratkan adanya instrumen pengendalian yang dapat dioperasionalkan. Strategi penyusunan instrumen pengendalian menjadi hal yang pokok untuk segera dilakukan. Instrumen pengendalian ini perlu dikembangkan dan diintegrasikan dengan instrumen pengendalian pemanfaatan ruang (peraturan zonasi, perijinan, insentif-disinsentif dan sanksi).

Instrumen pengendalian ini juga harus secara nyata ada di daerah sesuai dengan kewenangan pemerintah daerah. Instrumen dalam bentuk RDTR perlu dikombinasikan dengan instrumen Neraca Penatagunaan Tanah yang merupakan kegiatan penetapan perimbangan antara ketersediaan dan kebutuhan penguasaan, penggunaan, dan pemanfaatan tanah menurut fungsi kawasan (PP 16/2004).

4. Strategi Implementasi Kebijakan

(19)

Gambar 2. Skema Integrasi Pemberian Hak dan Penataan Ruang

F. AGENDA MEWUJUDKAN TERTIB RUANG DAN TERTIB PENGUASAAN & PEMILIKAN TANAH PADA PULAU-PULAU KECIL

Strategi pengendalian penguasaan dan pemilikan tanah pada pulau-pulau kecil perlu dijabarkan ke dalam agenda yang berorientasi pada terwujudnya tertib ruang dan tertib penguasaan dan pemilikan tanah. Agenda tersebut harus mengikuti berbagai tahapan yang taat azas agar hasilnya dapat memberikan arahan dalam pengendalian penguasaan dan pemilikan tanah sekaligus pengendalian pemanfaatan ruang dengan tetap mengakomodasi semua stake holder yang mempunyai kepentingan terhadap keberlanjutan wilayah di pulau-pulau kecil.

1. Agenda Kelembagaan

a. Pembentukan kelembagaan pengendalian penguasaan tanah di pulau-pulau kecil di bawah koordinasi Ditjend Pengendalian Pemanfaatan Ruang dan Penguasaan Tanah;

b. Penguatan Kelembagaan Pertanahan dan Penataan Ruang di Daerah, melalui pemberian kewenangan dalam pengendalian penguasaan dan pemilikan tanah serta pemanfaatan ruang pada pulau-pulau kecil;

c. Identifikasi subjek dan objek hak yang secara eksisting sudah menguasai sebagian wilayah pulau-pulau kecil. Kegiatan ini dikenal dengan Identifikasi Penguasaan, Pemilikan, Penggunaan dan Pemanfaatan Tanah (IP4T) yang menjadi domain BPN.

(20)

e. Pembangunan Sistem Informasi Penguasaan, Pemilikan, Penggunaan dan Pemanfaatan Tanah (P4T) di pulau-pulau kecil;

f. Mempercepat proses penyusunan Rencana Rinci Tata Ruang dalam bentuk Rencana Tata Ruang Pulau;

g. Mendorong tumbuhnya partisipasi masyarakat dalam pengendalian penguasaan tanah dan pemanfaatan ruang pada pulau-pulau kecil;

h. Meningkatkan koordinasi dengan institusi terkait (Kementerian Kelautan dan Perikanan, Kementerian Dalam Negeri, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Kementerian Desa dan Transmigrasi serta Pemerintah Daerah) dalam pengelolaan pertanahan pulau-pulau kecil, utamanya terkait pengendalian penguasaan dan pemilikan tanah serta pengendalian pemanfaatan ruang.

2. Agenda Regulasi

a. Harmonisasi regulasi, melalui pembentukan peraturan perundangan yang mendasarkan pada UUPA, UU Penataan Ruang & UU Pengelolaan Wilayah Pesisir dan PPK, berkenaan dengan pengelolaan pulau-pulau kecil;

b. Melakukan kajian berkenaan dengan integrasi pengelolaan pertanahan (land management) dengan penataan ruang, baik secara substansial maupun secara administratif;

c. Merumuskan definisi dan kriteria pulau-pulau kecil berikut batasan-batasan dalam penguasaan, pemilikan, penggunaan dan pemanfaatan tanahnya.

3. Agenda Penyediaan Instrumen Pengendalian

a. Mewujudkan ketersediaan instrumen pengendalian penguasaan dan pemilikan tanah;

b. Melakukan kajian, penyusunan naskah akademik hingga penyusunan dan penetapan instrumen pengendalian penguasaan dan pemilikan tanah pada pulau-pulau kecil;

c. Memfasilitasi percepatan penyusunan Rencana Tata Ruang Pulau, untuk pulau-pulau kecil di seluruh Indonesia.

(21)

a. Mengimplementasikan seluruh kebijakan pengendalian penguasaan dan pemilikan tanah pada pulau-pulau kecil secara terencana, terintegrasi dan berkelanjutan;

b. Mengintegrasikan perijinan penggunaan dan pemanfaatan ruang/tanah dengan proses pemberian hak atas tanah;

c. Melakukan pengawasan, monitoring dan evaluasi dalam pemberian perijinan penggunaan dan pemanfaatan ruang/tanah;

d. Melakukan pengawasan, monitoring dan evaluasi dalam pemberian hak atas tanah;

e. Mensinkronkan berbagai kewenangan dan kepentingan antar stake holder yang berkepentingan terhadap pengelolaan pulau-pulau kecil.

Agenda-agenda di atas perlu dilakukan secara simultan, berdasarkan strategi yang telah ditetapkan melalui kelembagaan baru yang mengintegrasikan urusan pemerintahan di bidang pertanahan dan penataan ruang. Dalam hal ini, apabila bidang-bidang tanah di wilayah pulau-pulau kecil sudah jelas subjek dan objek haknya, maka semua aktivitas pembangunan, baik yang diinisiasi oleh masyarakat, kalangan swasta maupun pemerintah tinggal menyesuaikan dengan kebutuhan dan mendasarkan pada arahan pembangunan dan zonasi yang telah ditetapkan dalam Rencana Tata Ruang Pulau. Kondisi ini akan menjadi bagian pokok dalam upaya perwujudan pengendalian penguasaan dan pemilikan tanah pada pulau-pulau kecil.

G. PELUANG KELEMBAGAAN DALAM INTEGRASI PENGELOLAAN PERTANAHAN DAN PENATAAN RUANG.

(22)

penataan ruang, berdasarkan UU Penataan Ruang, negara mempunyai kewajiban dalam menyelenggarakan penataan ruang untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat, yang pelaksanaan tugasnya negara memberikan kewenangan penyelenggaraan penataan ruang kepada pemerintah dan pemerintah daerah.

Berdasarkan hal di atas, ternyata kedua regulasi berorientasi pada sebesar-besar kemakmuran rakyat. Bahkan konsep ‘agraria’ pada UUPA dan konsep ‘ruang’ pada UU Penataaan Ruang memiliki makna yang sama dan sesuai dengan konstitusi, utamanya Pasal 33 (3) UUD 1945.

Dalam konteks kekinian, Perpres Nomor 165 Tahun 2014 tentang Penataan Tugas dan Fungsi Kabinet Kerja, telah dibentuk Kementeriaan Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional. Perpres ini telah ditindaklanjuti dengan Perpres Nomor 17 Tahun 2015 tentang Kementerian Agraria dan Tata Ruang dan Perpres Nomor 20 Tahun 2015 tentang Badan Pertanahan Nasional. Kedua perpres ini mengganti Peraturan Presiden Nomor 10 Tahun 2006 tentang Badan Pertanahan Nasional (BPN), yang diubah dengan Perpres 85 Tahun 2012 dan terakhir dengan Perpres 63 Tahun 2013 tentang Badan Pertanahan Nasional.

(23)

kepentingan negara atau pemerintah, tetapi untuk kesejahteraan rakyat Indonesia.

Amanat pengelolaan bumi, air dan kekayaan alam untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat, yang menurut Yance Arizona (2014) sebagai konstitusi agraria, menjadi landasan yang kuat untuk mewujudkan agenda kesejahteraan rakyat melalui pengelolaan agraria, ruang dan pertanahan secara terintegrasi. Disisi lain, Nawacita yang dicita-citakan oleh Jokowi–JK, paling tidak memuat tiga agenda yang bertautan sangat kuat dengan persoalan agraria, tata ruang dan pertanahan, yakni: (1) memberikan jaminan kepastian hukum hak kepemilikan atas tanah, penyelesaian sengketa tanah dan menentang kriminalisasi penuntutan kembali hak tanah masyarakat; (2) peningkatan kesejahteraan masyarakat dengan mendorong landreform dan program kepemilikan tanah seluas 9 juta hektar; serta (3) mewujudkan kedaulatan pangan melalui perbaikan jaringan irigasi dan pembukaan 1 juta hektar sawah baru.

Meskipun belum operasional karena adanya restrukturisasi kelembagaan, tetapi program ini sejalan dengan menguatnya rejim pengendalian pemanfaatan ruang sekaligus dengan terbentuknya Ditjend Pengendalian Pemanfaatan Ruang dan Penguasaan Tanah. Bahkan content pengendalian pemanfaatan ruang dan penguasaan tanah serta penertiban dan pendayagunaan tanah terlantar yang berada dalam satu ditjend merupakan langkah produktif dan sangat tepat dalam rangka pengendalian pemanfaatan ruang dan penguasaan tanah.

(24)

penataan ruang harus berkontribusi positif dalam upaya pengendalian penguasaan dan pemilikan tanah pada pulau-pulau kecil di Indonesia.

Berdasarkan peluang tersebut, maka beberapa hal yang harus segera mendapatkan perhatian dan respon secara memadai berhubungan dengan pengendalian penguasaan dan pemilikan tanah pada pulau-pulau kecil adalah: a. Integrasi Kelembagaan Tata Ruang Daerah. Selama ini kelembagaan tata

ruang di daerah berada di pemerintah daerah, baik di Bappeda maupun di SKPD lainnya. Bahkan ada pemda yang memiliki beberapa struktur institusi yang mengurusi tata ruang, misal: di Bappeda ada Bidang Tata ruang, di Dinas PU juga ada Bidang Tata Ruang dan di Sekretariat Daerah juga ada Bagian Tata Ruang. Sinkronisasi dilakukan oleh BKPRD yang diketuai oleh Sekretaris Daerah. Dalam hal adanya beberapa struktur institusi tata ruang yang berbeda-beda, maka perlu dilakukan integrasi menjadi satu SKPD teknis yang berupa dinas, agar kelembagaan tata ruang daerah dapat berjalan dengan efektif dan efisien.

b. Sinkronisasi kelembagaan dilakukan oleh Kementerian ATR/BPN. Hal ini dilakukan mengingat pengelolaan agraria dan pertanahan dilakukan oleh Kanwil BPN dan Kantor Pertanahan Kabupaten/Kota sebagai institusi vertikal di bawah BPN. Dalam hal ini, Kementerian ATR/BPN mempunyai ‘dua kaki’ di daerah, yakni Pemda dan BPN Daerah (Kanwil dan Kantah).

c. Pengaturan hubungan antara kelembagaan tata ruang daerah dengan Kanwil BPN dan Kantor Pertanahan Kabupaten/Kota. Pengaturan hubungan ini penting dalam rangka integrasi pemberian hak atas tanah (oleh BPN) dengan penggunaan dan pemanfaatan ruang (oleh Pemda) yang keduanya berada di bawah koordinasi Kementerian ATR/BPN.

d. Penyelenggaraan perijinan penggunaan dan pemanfaatan ruang pada wilayah pulau-pulau kecil harus seiring dengan proses pemberian hak atas tanah.

(25)

Indonesia dilakukan melalui pengintegrasian pengelolaan pertanahan dengan penyelenggaraan penataan ruang.

H. KESIMPULAN DAN SARAN 1. Kesimpulan

a. Pengendalian penguasaan dan pemilikan tanah pada wilayah pulau-pulau kecil dapat dilakukan dengan pengintegrasian pengelolaan pertanahan dan penataan ruang melalui bingkai land management;

b. Strategi pengintegrasian pengelolaan pertanahan dan penataan ruang dalam pengendalian penguasaan dan pemilikan tanah dioperasionalisasikan melalui agenda penguatan kelembagaan dan regulasi, penyiapan instrumen pengendalian dan implementasi kebijakan pengendalian penguasaan dan pemilikan tanah pada pulau-pulau kecil secara terencana, terintegrasi dan berkelanjutan

c. Terbentuknya Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional, merupakan peluang yang tepat untuk mengintegrasikan pengelolaan pertanahan dan penataan ruang dalam pengendalian penguasaan dan pemilikan tanah pada pulau-pulau kecil di Indonesia.

2. Saran

a. Perlu dilakukan kajian lebih mendalam terkait pengintegrasian perijinan penggunaan dan pemanfaatan ruang dengan pemberian hak atas tanah pada pulau-pulau kecil;

b. Perlunya pembentukan lembaga di bawah Ditjend Pengendalian Pemanfaatan Ruang dan Penguasaan Tanah (setingkat Eselon II) yang bertugas melakukan pengendalian penguasaan dan pemilikan tanah pada pulau-pulau kecil secara terintegrasi dengan pengendalian pemanfaatan ruang.

(26)

I. DAFTAR PUSTAKA

Arizone, Y. (2014). Konstitusionalisme Agraria. (Yogyakarta: STPN Press)

Direktur Kawasan Khusus dan Daerah Tertinggal Bappenas, 2010. Arah Dan Kebijakan Penanganan Pulau-Pulau Kecil Terluar Secara Kegugusan Pulau Sebagai Kawasan Strategis Nasional. Makalah pada Workshop Pengelolaan dan Pengembangan Pulau-Pulau Kecil Terluar Secara Kegugusan Pulau Sebagai Kawasan Strategis Nasional, Diselenggarakan Ditjen Bangda Kementerian Dalam Negeri, Di Batam, 21 September 2010 Economic Commission for Europe, 1996. Land Administration Guidelines With

Special Reference to Countries in Transition. United Nations. New York And Geneva.

Enemark S. 2007, Land Management in Support of The Global Agenda. International Congress Geomatica. Havana, Cuba, 12-17 February 2007 Haughton, G & Counsell, D. 2004. Region, Spatial Strategies and Sustainable

Development. Routledge. London.

Hadimoeljono, B. (2013). ‘Pengendalian Pemanfaatan Ruang: Mencari Kelembagaan Pemanfaatan Ruang yang Efektif’ dalam Buletin Tata Ruang dan Pertanahan. Edisi II Tahun 2013. (Jakarta: Direktorta Tata Ruang dan Pertanahan, Bappenas).

Lefebvre, Henri. 1991. The Production of Space. Basil Blackwell Ltd. Oxford. Munck, R. 2007. Globalization and Contestation. Routledge. New York.

Nasoetion, Lutfi Ibrahim, 2004. “Arah dan Perkembangan Kadaster Kelautan Di Indonesia”. Keynote Address Seminar Nasional Dalam Rangka Dies Ke-45 Jurusan Teknik Geodesi UGM. Yogyakarta.

Parlindungan, A.P, 1989, Hak Pengelolaan Menurut Sistem UUPA, Mandar Maju, Bandung.

Patittingi F, 2012. Dimensi Hukum Pulau-pulau Kecil di Indonesia. Rangkang Education, Yogyakarta.

Rokhmin Dahuri, dkk. 2004. Pengelolaan Sumberdaya Wilayah Pesisir dan Lautan Secara Terpadu. Pradnya Paramita. Jakarta.

Soegiarto, 1976. Pedoman Umum Pengelolaan Wilayah Pesisir. Lembaga Oseanologi Nasional. Jakarta.

Sutaryono, 2007. Dinamika Penataan Ruang dan Peluang Otonomi Daerah. TuguJogja Grafika. Yogyakarta.

---, 2012. “Tanah Untuk Rakyat: Strategi Menjaga Harmoni Sosial dan Keutuhan NKRI”, dalam NKRI Dari Masa Ke Masa. Sains Press. Bogor. ---, 2013. Kontestasi dan Marjinalisasi Petani, Realitas Petani Negeri

(27)

Gambar

Gambar 1. Diagram Land Contestation Triangle Model (Sutaryono, 2013)

Referensi

Dokumen terkait

Jumlah ini turut dibuktikan melalui data yang dikeluarkan oleh CIDB (2005) berkaitan penggunaan IBS dalam sektor pembinaan iaitu majoriti pemaju di Malaysia masih gemar

"Saya bersumpah,he4anji, bahwa saya akan melakukan pekeq'aan Ilmu Kedokteran, Ilmu Bedah dan Ilmu Kebidanan dengan pengetahuan dan tenaga saya yang

Berdasarkan Rencana Jangka Menengah Tahun 2010-2012 Kampung Totokaton Kecamatan Punggur pelaksanna pembangunan berdasarkan hasil identifikasi, pemetaan swadaya dan

orang-orang, lembaga dan otoritas yang persetujuan diperlukan untuk diadopsi, telah menasihati yang dianggap perlu dan diberitahu tentang efek dari persetujuan mereka, khususnya

Sedangkan 13 indikator lainnya menunjukkan perbedaan karakteristik press release yang timbul lebih menyesuaikan pada perbedaan karakteristik masing – masing organisasi, yaitu:

Metafora sebagai salah satu wujud daya kreatif bahasa di dalam penerapan makna, artinya berdasarkan kata-kata tertentu yang telah dikenalnya dan berdasarkan keserupaan atau

PT Greenspan Packaging System sudah baik, hal ini dapat dilihat dari pembagian tanggung jawab fung- sional diantaranya fungsi penjualan terpisah dengan fungsi gudang untuk

Efektivitas Place Branding Grand Maerakaca yang diukur melalui indikator The People dalam penelitian ini dijabarkan dalam beberapa pernyataan yaitu;