• Tidak ada hasil yang ditemukan

Isu dan Dilema Dalam Bioetika

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "Isu dan Dilema Dalam Bioetika"

Copied!
24
0
0

Teks penuh

(1)
(2)

Isu dan Dilema Dalam Bioetika

Qomariyah Sachrowardi

Ferryal Basbeth

Penyunting:

J u n e m a n

Penerbit:

Asosiasi Ilmu Forensik Indonesia

bekerjasama dengan

(3)

ISU DAN DILEMA DALAM BIOETIKA

ISBN 978-602-14208-1-2

Penulis:

Qomariyah Sachrowardi

Ferryal Basbeth

Penyunting:

J u n e m a n

Perwajahan sampul: Tommy Hendrawan & Juneman

Hak cipta dilindungi oleh Undang Undang.

Dilarang mengutip atau memperbanyak sebagian atau

seluruh isi buku ini tanpa izin tertulis dari Penulis dan Penerbit.

Cetakan Pertama, Juli, 2013 xv + 190 halaman

14,8 x 21 cm Penerbit:

Asosiasi Ilmu Forensik Indonesia (AIFI) bekerjasama dengan Universitas YARSI d.a. Menara YARSI

Departemen Ilmu Kedokteran Forensik dan Medikolegal Fakultas Kedokteran Universitas YARSI

Jl. Letjen Suprapto, Cempaka Putih, DKI Jakarta 10510 Telp: (021) 4213065; Fax: (021) 4213065

(4)

iii

Pengantar Penyunting

Bioetika secara luas diartikan sebagai etika yang diterapkan dalam ilmu-ilmu kehidupan (life sciences) dan dalam praktik pemeliharaan kesehatan. Kajian bioetika sesungguhnya mencakup bioetika medis, bioetika lingkungan, bioetika klinis, bioetika keperawatan (Reich, 1995), bahkan bioetika hukum.

Buku yang ada di hadapan Anda menyajikan isu dan dilema bioetis pada transplantasi ginjal, resusitasi jantung paru,

surrogacy, dan kanker. Buku ini melengkapi dirinya dengan uraian tentang etika riset dan paten dalam ilmu kedokteran. Sejarah sampai dengan perkembangan kontemporer dari isu dan dilema pada masing-masing bidang bahasan diuraikan secara cukup terperinci oleh para penulis. Oleh karena itu, di samping berguna sebagai referensi mahasiswa ilmu kedokteran dan ilmu kesehatan lainnya dalam perkuliahan dan penyusunan tugas akhir, buku ini diharapkan memberikan penyegaran bagi para aktor di dunia kedokteran dan kesehatan, khususnya yang sempat terhenti dalam gelutnya di dunia tersebut.

Dalam kesempatan ini, saya hendak mengisi relung yang masih kosong yang belum banyak tersentuh oleh kedua penulis. Saya akan memberikan uraian ringkas tentang persoalan interkoneksi antara kultur, termasuk agama dan teknologi, dengan bioetika. Uraian saya berikut ini harus dipandang lebih sebagai stimulan dan tantangan bagi gerakan riset dan praktik yang lebih peka terhadap kultur dalam bidang bioetika di Indonesia yang kaya akan keragaman etnis, budaya, dan agama.

Saya ingin mulai dengan analisis Jafarey dan Moazam (2010) yang menegaskan kritik lama bahwa terdapat gejala yang cukup serius dalam bioetika, yakni “miopia atau rabun jauh kultural”. Yang dimaksud dengan istilah tersebut adalah dominasi model dan paradigma bioetika Amerikanis yang berfokus pada universalisme dan pengabaian atas pengaruh kultural lokal dan religius yang vital bagi pemahaman terhadap kehidupan moral di banyak masyarakat. Padahal menurutnya, sejarah, kebudayaan, sistem nilai, dan situasi-situasi sosio-ekonomi banyak masyarakat

(5)

iv

berbeda secara signifikan dengan Amerika Serikat. Mereka mendengungkan kembali konsep “indigenisasi (pengulayatan) bioetika”. Selanjutnya, menurut mereka, “internasionalisasi bioetika” hanya mungkin terjadi apabila dikotomisasi antara hak dan tanggung jawab, antara yang rasional dan yang non-rasional, dan antara yang etis dan yang religius diluluhkan. Senada dengan mereka, Turner (2003) melalui kajian bioetika komparatif memberikan contoh bahwa dalam sejumlah tradisi religius, pengalaman akan sakit dan penderitaan individu terletak pada horizon pemaknaan yang lebih luas. Penderitaan dibuat dapat dimengerti (intelligible) melalui narasi tentang nasib, takdir, dan pelanggaran moral. Dengan demikian, ameliorisasi penderitaan tidaklah wajib secara moral, sebab penderitaan justru dapat dipandang sebagai hal yang dapat diterima dan merupakan dimensi yang berharga dalam pengalaman manusia.

Debat yang ditujukan kepada “bioetika kultural” tersebut datang dari Bracanovic (2011). Ia menyatakan bahwa walaupun keragaman kultural harus dipahami oleh para pengambil keputusan dalam konteks bioetis (dokter, perawat, anggota komite bioetika, pembuat kebijakan publik, dan sebagainya), namun diversitas kebudayaan bukanlah pilar sentral dari bioetika, sebab (h. 236):

“… not only because such respect is faced with serious empirical and conceptual constraints in both theory and practice, but also because it jeopardizes the normative role of bioethics and thus undermines its very foundations and raison d’être.

Bracanovic mempersoalkan secara serius hal apa yang dimaksudkan dengan “kultur” oleh para penulis dan peneliti bioetika. Apabila bioetika wajib menaruh respek terhadap latar belakang kultural seseorang, pertanyaannya adalah: Unsur kultur yang manakah yang harus diandaikan sebagai signifikan dan berbobot dalam berkontribusi terhadap pandangan moral orang tersebut? Kompleksitas kultural memang merupakan sumber dari banyak dilema bioetis, namun juga kurang jelas sejauh mana

(6)

v Pengantar Penyunting

pengetahuan tentang kompleksitas itu membantu untuk memperoleh penyelesaian atas dilema etis. Dalam bahasa yang lain (Kerry, 2004, h. 668):

Acknowledging cultural differences without understanding their depth, breadth, and meaning will not work and will only lead to moral estrangement in complex, diverse, multicultural societies such as those in which bioethics exists.”

Belum lagi bila kita mempertimbangkan kenyataan bahwa pada saat yang sama orang menjadi anggota sub-sub kelompok kultural yang berbeda (keagamaan, etnisitas, dan sebagainya) dan memiliki berlapis-lapis identitas kultural, yang di dalamnya juga terdapat kontradiksi-kontradiksi baik intra- maupun interkultural. Pertanyaannya: Keanggotaan kultural manakah yang dapat membantu kita merumuskan keputusan bioetis, dan mengapa? Di samping itu, nyata bahwa banyak kebudayaan itu senantiasa bergerak secara dinamis (“living culture”). Pertanyaan selanjutnya: Bagaimanakah sesuatu yang tidak stabil, atau berubah secara adaptif terus-menerus, dijadikan sebagai sandaran bagi pengambilan keputusan bioetis? Jelas di sini bahwa relativisme kultural tidaklah mengimplikasikan relativisme etika. Dalam hal ini, kita patut mempertimbangkan secara cermat peringatan Bertens (2001, h. 15):

Mustahillah bila setiap kebudayaan mempunyai etikanya sendiri. Etika melampaui keterbatasan kebudayaan dan mengikat kita semua sebagai manusia. Etika menuju ke universalisme. Justru karena itu kita bisa berdiskusi tentang masalah-masalah etis dan mengkritik perilaku moral di tempat lain.”

Pertanyaan kritis terhadap proposisi Bertens di atas adalah, “Apakah ‘bioetika global’ itu memang mungkin ada? Apakah bioetika global merupakan antitesis terhadap bioetika kultural?” Bioetika global, menurut salah satu definisi, adalah serangkaian

(7)

vi Pengantar Penyunting

standar, norma, atau prinsip yang diharapkan dapat memperoleh pengakuan global (Zeiler, 2009). Menurut Zelier, bioetika global mungkin ada, bahkan diharapkan ada, sejauh bioetika ini mengakui dan menghormati yang lain (the other) itu sebagai yang sama (same) sekaligus yang berbeda (different) dari diri (self) kita. Hermeneutika kritis dapat membantu kita dalam rangka ini. Yang dimaksud adalah bagaimana para aktor yang bersinggungan dengan masalah etis mengizinkan keragaman etis namun menerima pula adanya prinsip-prinsip inti dalam bioetika yang mengakui adanya komonalitas sekaligus distingsi antara diri dan yang lain. Penggelut bioetika global mampu mempertanyakan praktik-praktik etis diri sendiri ( self-questioning) sekaligus juga mampu mempertanyakan praktik-praktis etis yang lain. Bioetika global membawa kita memiliki pandangan yang positif atas keragaman kultural tanpa harus membawa kepada relativisme etis. Ringkasnya, landasan bioetika global adalah pandangan bahwa (Zeiler, 2009, h. 144):

The otherness of the other is still acknowledged and recognized—and the sameness of the other makes communication possible.”

Dalam kaitannya dengan keragaman etis, Blustein (2001) mengangkat terminologi “urban bioethics”. Ia menekankan adanya tiga masalah dalam bioetika dalam setting perkotaan, yakni ketidaksetaraan sosial-ekonomi sebagai determinan ketidaksetaraan kesehatan, fondasi etika kesehatan publik, serta pengaruh konteks sosial terhadap aliansi terapeutik antara pasien dan tenaga kesehatan. Pernyataan menarik dari Blustein sehubungan dengan hal ini adalah (h. 13-14):

These key ‘elements of urbanism which mark it as a distinctive mode of human group life’—size, density, and heterogeneity—define the context within which urban populations are subject to specific health risks and give rise to pressing urban bioethical problems …. Unlike bioethicists in the past, who tended to talk about ‘the’ doctor-patient

(8)

vii Pengantar Penyunting

relationship as a kind of ideal construction that could be isolated from its context, urban bioethics takes seriously the various factors in contemporary urban life that threaten that relationship …. The doctor-patient relationship as understood by urban bioethics is frequently an embattled relationship, and the trust on which it depends is both elusive and tenuous …. When we act disrespectfully, who or what is wronged or insulted, a culture or an individual?

Blustein menyarankan dengan kuat agar pemecahan masalah bioetis dalam konteks urban meninggalkan pendekatan lama yang bersifat monolog, dan beralih ke pendekatan baru yang bersifat dialog. Yang menarik adalah bahwa dialog tidak selalu berujung pada konsensus. Sebagai contoh konkret, berbagai kelompok di dunia terbelah antara yang pro terhadap distribusi kondom bagi siswa sekolah menengah untuk mencegah penyebaran penyakit seksual, dan yang kontra terhadapnya. Bagaimana pertentangan yang degil (intractable disagreements) yang berakar pada nilai-nilai kultural dan religius yang sangat divergen ini ditangani dalam rangka kepentingan kesehatan publik merupakan salah satu dari banyak permasalahan urgen yang harus diurus oleh bioetika perkotaan (urban bioethics).

Dalam kaitan dengan kemajemukan yang tak terhindarkan itu, Engelhardt (2003) membuka wacana mengenai bagaimana seyogianya kita menyikapi gejala adanya sejumlah konsultan bioetika kontemporer yang tidak menyingkapkan perspektif moralnya. Kenyataannya, mereka bersifat partisan atau berpihak pada perspektif moral, religius, atau ideologis tertentu namun melakukan penyamaran sebagai pembela perspektif moral yang universal. Apakah pemberian advis moral oleh konsultan bioetika di tengah-tengah konteks kultural yang kental diwarnai oleh kontroversi moral ini mensyaratkan agar baik pihak pemberi advis moral maupun pemangku kepentingannya mengakui adanya kontroversi, saling menginformasikan satu-sama lain posisi moral masing-masing?

Persoalan berikutnya berkenaan dengan teknologi. Priaulx (2011) mengajukan keberatan apabila banyak solusi atas

(9)

viii Pengantar Penyunting

persoalan manusia menggantungkan diri pada teknologi. Hal ini disebutnya sebagai gejala “technological imperative”. Keberatan itu diajukannya karena ia mengamati bahwa bioetika akhir-akhir ini terlalu didorong oleh perspektif “technosentric”. Proposisi Priaulx adalah sebagai berikut (h. 174-175, 182-183):

Mainstream bioethical journals ... readily illustrate the extent to which technology dominates the contemporary bioethical imagination .... However, we should be cautious not to overstate the power of technology and, where possible, to explore the presence of other and potentially more fruitful ways of resolving problems …. The danger of unremitting faith in technology is this: if we uncritically believe it to be the solution, this can shape our way of seeing so that it becomes the lens through which we see the world and its problems …. An honest appraisal of what technology can do and, critically, an exploration of its limits will make such a difference to contemporary bioethics.

Kendati demikian, tidak dapat dipungkiri bahwa kemajuan teknologi telah membawa implikasi yang besar dalam diskusi bioetika. Sebagai contoh, bioinformatika—“perkawinan” antara computing dan genetika—yang telah menjadi lahan subur riset

biomedis kontemporer semakin mengintensifkan persoalan etis yang telah lama ada terkait dengan penelitian genomik (Goodman & Cava, 2008).

Yang secara khusus disoroti oleh Gupta (2010) adalah bahwa dalam perdebatan etis dan filosofis dalam bioetika, definisi mengenai “kehidupan” dan “kualitas hidup” telah banyak didiskusikan, namun definisi “manusia” selalu diandaikan sudah kita ketahui. Padahal perkembangan teknologi (termasuk teknologi digital dan terapeutik) dan media baru, seperti operasi kosmetik radikal dan komunikasi yang diasisteni oleh komputer, telah membangkitkan pertanyaan-pertanyaan ontologis tentang “Siapakah manusia (human)?” dan “Siapakah/apakah yang bukan manusia (nonhuman)?”. Pertanyaan ini dapat terus berlanjut. Bagaimanakah manusia berbeda dari “neo-cyborg (cybernetic

(10)

ix Pengantar Penyunting

organism)”? Apabila ya, bagaimana bioetika tradisional memperbincangkan status moral mereka? Apakah bioetika selama ini justru telah terlalu “human-centric” dan melupakan perkembangan “manusia separuh mesin” ini? Contoh pengaruh perkembangan teknologi dalam konteks yang lain: Teknologi dewasa ini telah memungkinkan pameran tubuh manusia yang telah mati di hadapan publik (exhibitions of plastinated cadavers and organs), khususnya untuk kepentingan pendidikan bernuansa estetis (edutainment) tentang anatomi tubuh normal dan patologis (Raikos et al., 2012). Bagaimanakah bioetika kontemporer hendaknya menyikapi perkembangan ini?

Akhirnya, di tengah-tengah perdebatan etis yang ada, di manakah psikologi memainkan peran? Proses pengambilan keputusan etis (ethical decision-making process) merupakan proses interaktif yang dipengaruhi oleh faktor sosial dan kultural ketimbang proses intrapsikis individual (Cottone dalam Testoni & Zamperini, 2004). Dalam menjawab pertanyaan etis tentang “hal apa yang baik bagi manusia”, psikologi berperan dalam menyelidiki proses-proses konstruksi psikologis yang memediasikan berbagai posisi-posisi antagonistik, misalnya antara posisi absolutis dan posisi demokratis, yang ada dalam “common sense” masyarakat modern. Proposisi ini urgen karena Testoni dan Zemperini mencermati adanya gejala “ethical isolation”, yakni keengganan untuk mendorong etika pribadi/ilmuwan/profesional dan/atau institusional untuk beranjak menuju etika publik. Sebagai contoh, “consent” selama ini dipahami sebagai berikut (h. 103):

Consent is one of the forces driving scientific knowledge towards common sense, since only through a process of acculturation is it possible to eliminate hostile and defiant attitudes, based on the fear of the unknown.”

Dewasa ini, perlu disadari bahwa “consent” merupakan sebuah konstruksi sosial. Ambil contoh dalam hal transplantasi organ. Meskipun teknologi medis yang canggih menjamin kesuksesan operasi transplantasi, ternyata kekurangan organ untuk transplantasi masih dialami. Berbagai upaya politis,

(11)

x

legislatif, dan sosial bertujuan untuk meningkatkan ketersediaan organ. Upaya-upaya tersebut menyajikan imajinasi kepada publik bahwa donasi organ merupakan suatu aksi solidaritas (“transplantation = unselfishness”). Sebuah identitas sosial virtual baru dibangun: bahwa ada komunitas warga yang disebut

organ-donating citizen. Semua proses ini merupakan proses psikologis dari pengaruh opini sosial. Implikasinya, perdebatan publik mengenai bioetika sesungguhnya merupakan arena sosial di mana consent-building diupayakan. Psikologi “bertugas” mempelajari pengaruh sosial yang dihasilkan oleh konfrontasi antara pengetahuan ilmiah dan praktik etis yang berorientasi ideologis. Psikologi menganalisis representasi-representasi sosial (bukan hanya representasi ilmiah) yang hidup tentang akseptabilitas dan non-akseptabilitas berkenaan dengan tubuh manusia dan perlakuan pemeliharaan kesehatan terhadapnya.

Pertanyaan maupun uraian yang diajukan di atas saya harapkan membawa kita kepada refleksi yang lebih mendalam mengenai persoalan bioetis yang kita hadapi di masa mendatang. Demikianlah saya hantarkan buku ini ke hadapan pembaca. Selamat berefleksi!

Jakarta, Juli 2013 Penyunting,

Juneman, S.Psi., M.Si.

Anggota Pendiri Asosiasi Ilmu Forensik Indonesia

Daftar Rujukan

Bertens, K. (2001). Perspektif etika: Esai-esai tentang masalah aktual. Yogyakarta: Kanisius.

Blustein, J. (2001). Setting the agenda for urban bioethics.

Journal of Urban Health: Bulletin of the New York Academy of Medicine, 78(1), 7-20.

Bracanovic, T. (2011). Respect for cultural diversity in bioethics: Empirical, conceptual and normative constraints. Medicine, Health Care and Philosophy, 14, 229–236.

(12)

xi

Engelhardt, H. T. (2003). The bioethics consultant: Giving moral advice in the midst of moral controversy. HEC Forum, 15(4), 362-382.

Goodman, K. W., & Cava, A. (2008). Bioethics, business ethics, and science: Bioinformatics and the future of healthcare.

Cambridge Quarterly of Healthcare Ethics, 17, 361–372. Gupta, M. (2010). Proposing an alternative framework for

bioethics: Bioethics in the age of new media. CMAJ, 182(17), 803-804.

Jafarey, A. M., & Moazam, F. (2010). "Indigenizing" bioethics: The first Center for Bioethics in Pakistan. Cambridge Quarterly of Healthcare Ethics, 19, 353–362.

Kerry, B. (2004). What are the limits of bioethics in a culturally pluralistic society? Journal of Law, Medicine & Ethics, 32(4), 664-669.

Priaulx, N. (2011). Vorsprung durch technik: On biotechnology, bioethics, and its beneficiaries. Cambridge Quarterly of Healthcare Ethics, 20, 174–184.

Raikos, A., Paraskevas, G. K., Tzika, M., Kordali, P., Tsafka-Tsoskou, F., & Natsis, K. (2012). Human body exhibitions: Public opinion of young individuals and contemporary bioethics. Surgical and Radiologic Anatomy, 34, 433–440. Reich, W. T. (1995). The word 'bioethics': The struggle over its

earliest meanings. Kennedy Institute of Ethics Journal, 5, 19-34.

Testoni, I., & Zamperini, A. (2004). Modern medical technologies and psychology of consent: A new look at bioethics. Constructivism in the Human Sciences, 9(2), 95-112.

Turner, L. (2003). Bioethics in a multicultural world: Medicine and morality in pluralistic settings. Health Care Analysis, 11(2), 99-117.

Zeiler, K. (2009). Self and other in global bioethics: Critical hermeneutics and the example of different death concepts.

Medicine, Health Care and Philosophy, 12, 137-145.

(13)

xii

Pengantar Penulis

Rasa syukur yang dalam kami sampaikan ke hadirat Allah Yang Maha Pemurah. Berkat kemudahan dan kemurahan-Nya kami dapat menyelesaikan buku ini.

Buku Isu dan Dilema Dalam Bioetika ini membahas isu dan dilema etis yang dihadapi kalangan kesehatan dan kedokteran dalam praktik sehari-harinya. Buku ini juga ditulis dalam rangka memperdalam pemahaman penerapan bioetika dalam praktik kedokteran dan kesehatan. Di samping itu, buku ini bertujuan untuk menjawab kelangkaan buku bioetika yang digunakan sebagai referensi bagi mahasiswa kedokteran dan kalangan kesehatan pada umumnya.

Buku ini merupakan revisi menyeluruh atas aspek redaksional dari buku kami, “Bioetik: Isu dan Dilema”, yang sebelumnya diterbitkan Pensil-324 (ISBN 978-979-3622-84-2). Di samping itu, terdapat penambahan isi satu bab dan indeks pada akhir buku. Buku ini disunting oleh seorang psikolog sosial yang turut mendalami etika klinis, Saudara Juneman, S.Psi., M.Si. Tidak ada pekerjaan yang sempurna, sehingga buku yang kami tulis ini pun sesungguhnya masih perlu banyak penyempurnaan. Oleh karena itu, saran dan kritik sangat kami harapkan. Kami sampaikan pula ucapan terima kasih yang sedalam-dalamnya kepada anak-anak kami tercinta yang telah berkurang waktunya bersama dalam keluarga

Akhirnya kami mengharapkan buku Isu dan Dilema Dalam Bioetika ini dapat digunakan sebagai salah satu referensi bagi mereka yang mempelajari bioetika dengan sebaik-baiknya.

Semoga bermanfaat.

Jakarta, Juli 2013 Penulis,

Prof. dr. Qomariyah Sachrowardi, M.S., P.K.K., A.I.F.M. dr. Ferryal Basbeth, Sp.F., D.F.M.

(14)

xiii

Daftar Isi

Pengantar Penyunting ...iii

Pengantar Penulis...xii

Daftar Isi ...xiii

Bab 1: Kompetensi dan Kapasitas Dalam Pengambilan Consent Seorang Pasien...1

1. Pendahuluan...1

2. Definisi Kompetensi dan Kapasitas ...2

3. Penyebab Penderita Mental Disorder Tidak Cakap Dalam Memberikan Informed Consent ...5

4. Alasan Moral Pentingnya Persetujuan Tindakan Medis ...8

5. Standar Surrogate Dalam Mengambil Keputusan ...10

6. Kompetensi dan Kapasitas Dalam Hubungannya Dengan Etika dan Hukum ...14

7. Kesimpulan ...16

Bab 2: Etika Penggunaan Plasebo dan Mitos Plasebo Ortodoks 18 1. Pendahuluan...18

2. Apakah Plasebo Itu? ...19

3. Mitos Plasebo...25

Bab 3: Transplantasi Ginjal...57

1. Sejarah Transplantasi...57

2. Konsep Kematian ...58

3. Definisi Mati Oleh Negara ...62

4. Informed Consent Pada Transplantasi Ginjal...67

5. Transplantasi Organ Dari Mayat (Kadaver)...70

6. Donor Dari Penderita yang Tidak Kompeten...74

7. Pemeriksaan Donor...77

8. Donor Dari Sisa-sisa Aborsi dan Bayi Anencephalic...79

9. Pasar Organ ...86

10. Xenotransplatasi ...96

(15)

xiv

11. Pertimbangan Biaya Transplantasi Organ...99

Bab 4: Analisis Etika Terkait Resusitasi Jantung Paru ...108

1. Pendahuluan...108

2. Prinsip Etis ...109

3. Do Not Resuscitate dan Allow Natural Death...118

4. Surat wasiat (Advanced Directives dan Living Wills) ...118

5. Wali atau Pengampu Dari Pengambil Keputusan (Surrogate Decision Makers) ...119

Bab 5: Surrogate Mother...121

1. Pendahuluan...121

2. Alasan Surrogacy...122

3. Pandangan Etika: Surrogacy dan Prostitusi ...123

4. Buruh Teralienasi ...125

5. Surrogacy dan Perspektif Islam ...128

Bab 6: Etika Terhadap Pasien Kanker ...133

1. Mengapa Pasien Kanker? ...133

2. Standar Pelayanan Pasien Kanker ...133

3. Persetujuan Tindakan Medis...134

4. Problem Diagnostik: Misdiagnosis dan Keterlambatan Diagnosis ...137

5. Komunikasi dan Pengungkapan Penyakit Kanker Kepada Keluarga...141

6. Sistem Rujukan dan Pemeriksaan Penunjang ...143

7. Kegagalan Untuk Mengikuti Rekomendasi...145

8. Surat Wasiat dan Pasien Kanker...152

9. Kesimpulan ...156

Bab 7: Kepemilikan Jaringan dan Paten Kedokteran ...158

1. Pendahuluan...158

2. Skandal Alder Hey Hospital...167

3. Kasus Mr Moore dan dr David Golde ...168

4. Kasus Catalona: Kepemilikan Jaringan ...170

5. Gen yang Dipatenkan, Kasus Greenberg vs. Miami Children's Hospital Research Institute...171

(16)

xv

6. Tantangan Ke Depan Dalam Paten Gen...173

Daftar Rujukan ...176

Biografi Penulis ...182

Biografi Penyunting...184

Indeks ...185

(17)

184

Biografi Penyunting

Juneman, S.Psi., M.Si., Psikolog sosial. Dosen Tetap pada Jurusan Psikologi, Fakultas Humaniora, Universitas Bina Nusantara; serta Dosen Tidak Tetap pada program-program studi Psikologi Universitas Katolik Indonesia Atma Jaya Jakarta, Universitas Bhayangkara Jakarta Raya, Universitas Pancasila, Universitas Mercu Buana Jakarta, dan Universitas Pelita Harapan. Alumnus program studi S1 Psikologi Universitas Persada Indonesia YAI (UPI YAI) bidang minat Psikologi Klinis, dan Alumnus program Magister Sains Psikologi Sosial Universitas Indonesia (UI). Menjabat sebagai Subject Content Specialist Bidang Metodologi Penelitian Psikologi (2011), selanjutnya Subject Content Coordinator Bidang Psikologi Sosial-Komunitas (sejak 2012) pada Universitas Bina Nusantara. Ia merupakan Peneliti pada Pusat Kajian Terorisme dan Konflik Sosial, Fakultas Psikologi Universitas Indonesia (sejak 2013), Anggota Pengurus Himpunan Psikologi Indonesia (HIMPSI) Wilayah DKI Jakarta (2007-sekarang), Anggota Pengurus Ikatan Psikologi Sosial HIMPSI (periode 2010-2014), Wakil Dekan/Ketua Program Studi S1 Psikologi Universitas Bhayangkara Jakarta Raya (2008-2011), Anggota Pengurus Departemen Pusat Penelitian Ikatan Alumni Fakultas Psikologi Universitas Persada Indonesia YAI (periode 2010-2013), Anggota American Psychological Association (APGS-APA, 2009-2011). Ia merupakan Anggota Pendiri Asosiasi Ilmu Forensik Indonesia (AIFI, 2010), Anggota Aktif Jejaring Komunikasi Kesehatan Jiwa (JEJAK JIWA) Indonesia (2007-sekarang), serta Konsultan dan Pelatih pada Mercu Buana Training & Consulting/MBTC (2006-2010). Ia juga merupakan Anggota Sidang Penyunting Jurnal Ilmiah Psikologi “PSIKOBUANA” Universitas Mercu Buana Jakarta (2008-2011, www.psikobuana.com, ISSN 2085-4242), Jurnal Kesehatan Jiwa Indonesia “ATARAXIS” (2007), Indonesian Journal of Legal and Forensic Sciences/IJLFS (sejak 2008, ISSN 1979-1763), Jurnal Psikologi Ulayat/Indonesian Journal of Indigenous

Psychology (sejak 2012, ISSN 2088-4230); dan Ketua Sidang

Penyunting Jurnal Ilmiah Psikologi Industri dan Organisasi/JPIO (sejak 2012, www.jpio.org, ISSN 2302-8440, bekerjasama dengan Asosiasi Psikologi Industri dan Organisasi HIMPSI). Homepage: http://about.me/juneman Alamat surat elektronik: juneman@socialpsychologist.org; juneman@gmail.com

(18)

185

advanced directives, 11, 108, 113, 119, 152, 153, 154 agama, iii, 17, 62, 63, 65, 73,

97, 100, 123, 131, 132 agen kemoterapi, 147, 148 Allow Natural Death, 118 Al-Qur’an, 129

altruisme, 91 altruistis, 122

ambiguitas, 20, 63, 142 ameliorisasi penderitaan, iv American Heart Association,

108, 109, 110, 112, 113, 118, 119, 120, 176

American Medical Association, 24, 61, 90, 93

anamnesis, 141

anencephaly, 80, 81, 82, 83 angiografi, 59, 61

anomali, 43, 46 antibiotik, 3, 19

armamentarium, 32, 38, 44, 48 arti moral, 64

asas manfaat, 117 Asia, 65, 109

Assisted Reproductive Tech nologies, 121, 123 beban nasional, 160, 161 beneficence, 9, 89, 109, 110 bioetika global, v

bioetika keperawatan, iii bioinformatika, viii blind procedure, 39, 44 blok parafin, 168 brain death, 58, 179

British Medical Association, 153

brutalisasi, 166 Budi Sampurna, 108 buruh terasing, 126

C

Canavan, 171, 172, 174 carry-over effect, 40

(19)

186 definisi operasional, 21, 117 Dewan Ahli Etika Medis, 93 digital, viii

dilema etis., v disabilitas, 111, 114 disparitas global, 71 Do Not Resuscitate, 118 dokter keluarga, 139

durable power of attorney, 119

E

etika jual beli organ, 90

eutanasia, 158, 159, 160, 161,

futility, 115, 116, 181

G

Good Clinical Practice, 33

H

historical controle assumption, 51

Hitler Chancellery, 161

(20)

187

Hospice at home, 151 Hukum Islam, 123

hukum kedokteran, 14, 32 Hukum Perdata, 15 identitas sosial virtual, x ijma, 129

in vitro, 98, 121, 122, 175 in vivo, 98

Incapacity, 3, 180

incompetency, 12, 13, 112 indeks terapeutik, 37, 50 India, 87, 91, 124

Institutional Review Board, 28, 31

internasionalisasi bioetika, iv international tourism, 96 intervensi medis, 4, 5, 6, 7, 8,

9, 29, 115, 117

Intra Cranial Pressure, 59 ipso facto, 56

J

jantung babon, 97 jaringan janin, 84, 85, 86

Jepang, 141, 142 Julian Savulescu, 168

Julius Hallervorden, 158, 159, 163, 179, 180

kebijakan publik, iv, 30, 93 kebijakan rasial, 160

kelalaian, 29, 30, 37, 134, 136, 138, 139, 141, 144, 145 kelompok kontrol, 26, 39, 46 kelompok perlakuan, 27, 28,

keputusan hukum, 2, 17 keputusan kelompok, 109 kesia-siaan fisiologis, 117 kesukarelaan, 2, 31, 93 ketidakadilan, 96, 172 Ketidakcakapan, 4 klausul hati nurani, 64

(21)

188

kode etik, 30

komersial, 49, 124, 132, 153, 169

komite etik, 94

Komite Harvard, 59, 61 komoditi, 129

lives not worth living, 159 living will, 11, 119, 152

M

marjinal, 37, 82, 160

masyarakat medis, 26, 100, 160

mati otak, 58, 59, 61, 62, 64, 65, 66, 67, 82

Medicaid, 103, 105, 106, 107 medikolegal, 133 most people choose, 14 mutagenik, 148

N

Nazi, 158, 179

negara Islam, 122, 123 neuropatolog, 158, 159, 164 neuropsikologis, 5

non-medis, 149, 150, 154, 155 non-rasional, iv

Nuremberg, 30, 164

(22)

189

O

obstetri, 139

onkologi, 133, 134, 135 organ buatan, 104 paliatif, 150, 151, 152 paralisis, 147

parens patriae, 75, 149 Parkinson, 83, 84, 177 pediatrik, 151

peer group, 134, 136 pematenan, 173, 175

pembunuhan belas kasihan, 163

pembutaan, 42

penipuan, 22, 31, 172, 174 penyakit spesialistik, 134 penyakit terminal, 141, 150 penyembuhan spiritual, 149 perawat Macmillan, 151 peresepan, 155

perilaku, v, 126, 160

persistent vegetative state, 82 placebo, 18, 178

properti, 169, 171, 172 prostitusi, 90, 125 radiologi, 60, 139, 144 randomisasi, 24

Resusitasi Jantung Paru, 108 risk-benefit, 30

(23)

190

sia-sia, 8, 25, 63, 115, 116, 117, 118

skizofrenia, 27, 28, 31, 34, 36, 161, 172

spesimen prostat, 170 standar emas, 88 studi terkontrol, 46, 50 substituted judgment, 10, 11 Sunnah, 129, 130

Sunni, 123, 128, 129, 131 surat wasiat, 11, 113, 119, 152 surplus ginjal, 102

surrogacy, iii, 90, 121, 122, 123, 124, 125, 128, 129, 130, 131, 132, 180

surrogacy altruistik, 124, 132 surrogate, 10, 121, 125, 127,

terapi alternatif, 154, 156 terapi konvensional, 149, 154

terpaksa membuat keputusan, 136

Undang Undang Kesehatan Jiwa, 16

urban bioethics, vi, vii, x

W

wali pengampu, 10, 11, 12 wanprestasi, 15

(24)

Referensi

Dokumen terkait

Apabila pengumpulan data di lapangan tidak sesuai dengan agenda yang sudah ditentukan, peneliti harus …. Kesimpulan yang kritis

Dalam penelitian kualitatif, temuan atau data dapat dinyatakan valid apabila tidak ada perbedaan antara yang dilaporkan peneliti dengan apa yang sesungguhnya terjadi pada obyek yang

Pengukuran semacam itu dapat membantu manejemen sumber daya manusia mengerti mengapa para karyawan terdorong untuk bekerja atau tidak, apa yang merupakan kekuatan

Apabila semua itu dapat terwujud dengan baik, maka sebuah pesan atau informasi yang ingin disampaikan oleh para pelaku seni dan budaya serta para desainer

Jadi, para siswa dapat mengetahui bagaimana pertolongan pertama dalam olahraga serta mengatasi cidera ketika berolahraga karena apabila tidak ditangani maka

Dalam hal ini, memanglah satu kechenderungan yang nyata ternampak ada apa para orientalis Barat, se-olah2 sengaja menyaingkan kejadian 2 penting dalam sejarah Islam di

Pengamatan awal peneliti di kawasan Siantan Kecamatan Pontianak Utara dijumpai banyak perempuan (sebagai istri atau ibu dalam suatu keluarga) yang berperan sebagai pencari

Dengan melihat esensi di atas, maka apabila ulama/kiayi, para pemimpin Islam, ikut memperhatikan masalah politik, tidak dapat dikatakan bahwa mereka sudah keluar dari