• Tidak ada hasil yang ditemukan

Penginderaan Jauh dan Sistem Informasi G

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "Penginderaan Jauh dan Sistem Informasi G"

Copied!
95
0
0

Teks penuh

(1)

PENGINDERAAN JAUH DAN SISTEM INFORMASI GEOGRAFI

UNTUK PEMETAAN POTENSI KETERSEDIAAN AIR

DI DAERAH ALIRAN SUNGAI BLONGKENG

TUGAS AKHIR

Diajukan untuk Memenuhi Syarat Memperoleh Gelar Ahli Madya Sekolah Vokasi Universitas Gadjah Mada

Disusun Oleh : Dewi Novita Sari 11/315410/DGE/00886

PROGRAM DIPLOMA

PENGINDERAAN JAUH DAN SISTEM INFORMASI GEOGRAFI SEKOLAH VOKASI

UNIVERSITAS GADJAH MADA YOGYAKARTA

(2)

PENGINDERAAN JAUH DAN SISTEM INFORMASI GEOGRAFI UNTUK PEMETAAN POTENSI KETERSEDIAAN AIR

DI DAERAH ALIRAN SUNGAI BLONGKENG

TUGAS AKHIR

Diajukan sebagai salah satu syarat untuk lulus Program Diploma III Penginderaan Jauh dan Sistem Informasi Geografi dan memperoleh Gelar Ahli Madya

Disusun Oleh :

Dewi Novita Sari

11/315410/DGE/00886

PROGRAM DIPLOMA

PENGINDERAAN JAUH DAN SISTEM INFORMASI GEOGRAFI

SEKOLAH VOKASI

UNIVERSITAS GADJAH MADA

YOGYAKARTA

(3)
(4)
(5)

-iii-

PENGINDERAAN JAUH DAN SISTEM INFORMASI GEOGRAFI UNTUK PEMETAAN POTENSI KETERSEDIAAN AIR

DI DAERAH ALIRAN SUNGAI BLONGKENG

Oleh: Dewi Novita Sari 11/315410/DGE/00886

INTISARI

Kekeringan yang semakin meluas di beberapa wilayah pada musim kemarau berkaitan dengan pengelolaan sistem Daerah Aliran Sungai (DAS) sekitar Ketersediaan air menjadi penting mengingat semakin hari kebutuhan akan penggunaan air semakin meningkat tetapi wadah tampungan airnya bersifat tetap dan tidak berubah secara signifikan, penginderaan jauh dan sistem informasi geografi merupakan perpaduan yang lebih mudah untuk perolehan data spasial secara digital dan dapat menyajikan informasi dalam pemetaan potensi ketersediaan. Tujuan dari penelitian ini antara lain: 1) Mengaplikasikan Penginderaan Jauh dan Sistem Informasi Geografi untuk mengetahui daerah yang berpotensi memiliki ketersediaan air di Daerah Aliran Sungai (DAS) Blongkeng.

Sumber data primer yang digunakan yaitu citra Landsat 8 perekaman Juni 2013 daerah Jawa Tengah dan Sekitarnya dan plotting sumber mata air. Sumber data sekunder yaitu data curah hujan tahunan, data kemiringan lereng, peta geomorfologi skala 1:100.000, peta batas DAS Blongkeng skala 1:100.000, dan peta Rupabumi Indonesia digital. Metode penelitian yang digunakan adalah analisis kuantitatif berjenjang dengan menumpang-tindihkan beberapa parameter yang berpengaruh terhadap potensi ketersediaan air, metode manual digunakan untuk melakukan pengkelasan hasil skoring yang didapatkan.

Hasil yang didapatkan daerah yang memiliki potensi ketersediaan air besar utamanya di musim kemarau adalah Mungkid, sebagian Muntilan, dan sebagian Ngluwar. Daerah yang memiliki potensi ketersediaan sedang yaitu sebagian Dukun dan Srumbung. Daerah yang memiliki potensi ketersediaan air kecil adalah Sawangan dan Candimulyo. Daerah yang tidak memiliki cadangan air di musim kemarau antara lain Selo, Pakis, dan Sawangan Utara.

(6)

-iv-

KATA PENGANTAR

Puji syukur penyusun panjatkan kehadirat Allah SWT atas segala rahmad dan hidayahNYA sehingga Tugas Akhir dengan judul “Penginderaan Jauh

dan Sistem Informasi Geografi untuk Pemetaan Potensi Ketersediaan Air di

Daerah Aliran Sungai Blongkeng” dapat selesai tepat pada waktunya dan tidak

mengalami hambatan yang berarti. Tugas Akhir ini disusun sebagai syarat untuk memperoleh gelar Ahli Madya D3 Program Diploma Penginderaan Jauh dan Sistem Informasi Geografi, Sekolah Vokasi, Universitas Gadjah Mada.

Penyusun menyadari Tugas Akhir ini tidak akan terlaksana tanpa bantuan pihak-pihak yang terlibat dalam proses pembuatannya. Ungkapan terima kasih penyusun sampaikan kepada:

1. Alloh SWT yang selalu melindungi dan memberikan kesempatan untuk menimba ilmu yang baik dan bermanfaat.

2. Kedua orang tua dan keluarga yang selalu memberikan dorongan semangat, doa, dan kasih sayang.

3. Drs. Sudaryatno, M.Si, selaku Dosen Pembimbing Tugas Akhir yang telah memberikan pengarahan dengan sabar dan jawaban atas semua pertanyaan penulis sehingga Tugas Akhir ini dapat terselesaikan.

4. Dr. Tjahyo Nugroho Adji M.Sc.Tech, selaku dosen penguji yang telah memberikan koreksi dan sarannya guna perbaikan Tugas Akhir ini. 5. Taufik Hery Purwanto, M.Si, selaku Ketua Program Diploma

Penginderaan Jauh dan SIG, Sekolah Vokasi, Universitas Gadjah Mada. 6. Prima Nugroho, A.Md, yang membantu bertukar pikiran dalam

pembuatan Tugas Akhir ini

7. Sahabat-sahabatku Tomy Yogo Wassiso, Farida Rizki Utami, Septian Galih Widhi Asta, dan Isna Mardiyana yang selalu menyemangati pembuatan Tugas Akhir ini

(7)

-v-

9. Semua pihak yang tidak bisa disebutkan satu persatu dan telah membantu sampai selesainya Tugas Akhir ini.

Atas segala bantuan yang telah diberikan dalam proses penyelesaian Tugas Akhir ini penyusun mengucapkan terima kasih. Penyusun menyadari bahwa Tugas Akhir ini masih jauh dari kesempurnaan, apabila ada kekeliruan dan kekurangan dalam penulisan laporan ini dengan kerendahan hati penyusun mohon maaf. Segala kritik dan saran yang sifatnya membangun guna pembenahan lebih lanjut diterima dengan lapang dada. Semoga Tugas Akhir ini dapat bermanfaat bagi semua pihak. Amin.

Yogyakarta, 12 Agustus 2014 Penulis

(8)

-vi- DAFTAR ISI

Cover ... i

Halaman Pengesahan ... ii

Intisari ... iii

Kata Pengantar ... iv

Daftar Isi ... vi

Daftar Tabel ... ix

Daftar Gambar ... x

BAB I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang ... 1

1.2 Perumusan Masalah ... 2

1.3 Tujuan Penelitian ... 3

1.4 Manfaat Penelitian ... 4

BAB II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Daerah Aliran Sungai (DAS) ... 5

2.2 Pewilayahan DAS ... 6

2.3 Kebutuhan dan Ketersediaan Air ... 7

2.4 Penginderaan Jauh Non Fotgrafi ... 8

2.5 Landsat 8 ... 8

2.6 Sistem Informasi Geografi ... 12

BAB III. DESKRIPSI WILAYAH 3.1 Kondisi Fisik DAS Blongkeng ... 14

3.1.1 Geografis ... 14

3.1.2 Geomorfologi ... 14

3.1.3 Iklim ... 15

3.1.4 Tata Guna Lahan ... 15

(9)

-vii-

3.3.1 Jumlah dan Kepadatan Penduduk ... 16

3.3.2 Mata Pencaharian ... 17

3.3 Kondisi Sosial dan Budaya ... 18

BAB IV. METODE PENELITIAN 4.1 Alat dan Bahan ... 19

4.1.1 Alat ... 19

4.1.2 Bahan ... 19

4.2 Metodologi ... 19

4.2.1 Metode Kuantitatif Berjenjang ... 19

4.2.2 Metode Manual ... 20

4.3.3.2 Pengolahan Data Citra untuk Parameter Indeks Vegetasi ... 24

4.3.3.3 Pengolahan Data Citra untuk Parameter Penggunaan Lahan ... 28

4.3.3.4 Pengolahan Data Citra untuk Parameter Bentuklahan ... 36

4.3.3.5 Pengolahan Data Kemiringan Lereng ... 41

4.3.3.6 Pengolahan Data Curah Hujan ... 41

4.3.3.7 Pengolahan Data Sumber Mata Air ... 45

4.3.4 Cek atau Survey Lapangan ... 47

4.3.5 Analisis Data Parameter ... 48

(10)

-viii-

4.3.6.1 Pembuatan Peta Parameter dan Potensi Ketersediaan Air

... 49

4.4 Diagram Alur ... 51

BAB V. HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1 Hasil ... 52

5.2 Pembahasan ... 52

5.2.1 Daerah Aliran Sungai Blongkeng ... 52

5.2.2Transformasi Indeks Vegetasi (NDVI) ... 54

5.2.3 Penggunaan Lahan ... 59

5.2.4 Bentuklahan ... 64

5.2.5 Curah Hujan Tahunan ... 69

5.2.6 Sumber Mata Air dan Kelerengan ... 72

5.2.7 Potensi Ketersediaan Air di DAS Blongkeng ... 77

BAB VI. KESIMPULAN DAN SARAN 6.1 Kesimpulan ... 81

6.2 Saran ... 81

(11)

-ix-

DAFTAR TABEL

Tabel 3.1 Pemanfaatan lahan di DAS Blongkeng ... 16

Tabel 3.2 Jumlah penduduk per kecamatan ... 16

Tabel 3.3 Jumlah penduduk menurut pencaharian ... 17

Tabel 4.1 Tabel klasifikasi kerapatan vegetasi berdasarkan NDVI ... 27

Tabel 4.2 Klasifikasi interpretasi penggunaan lahan ... 30

Tabel 4.3 Tabel interpretasi penggunaan lahan menggunakan Landsat 8 komposit 568 ... 34

Tabel 4.4 Tabel klasifikasi penggunaan lahan ... 35

Tabel 4.5 Klasifikasi Bentuklahan menurut Verstapen (1985) ... 37

Tabel 4.6 Tabel interpretasi bentuklahan menggunakan Landsat 8 komposit 568 ... 39

Tabel 4.7 Klasifikasi bentuklahan ... 40

Tabel 4.8 Klasifikasi Kemiringan lereng ... 41

Tabel 4.9 Daftar stasiun pengamat hujan ... 42

Tabel 4.10 Klasifikasi curah hujan tahunan ... 44

Tabel 4.11 Klasifikasi jarak sumber mata air ... 46

Tabel 4.12 Klasifikasi skor potensi ketersediaan air ... 49

Tabel 5.1 Matriks Uji Akurasi Transformasi Indeks Vegetasi (NDVI) ... 55

Tabel 5.2 Perbandingan Transformasi NDVI dan lapangan ... 57

Tabel 5.3 Luas lahan pertanian penggunaan air ... 59

Tabel 5.4 Matrik uji akurasi penggunaan lahan ... 60

Tabel 5.5 Perbandingan hasil interpretasi PL dan lapangan ... 62

(12)

-x-

DAFTAR GAMBAR

Gambar 2.1 Perbandingan band landsat ETM dan 8 ... 10

Gambar 4.1 Cara pemilihan komposit citra ... 22

Gambar 4.2 Histogram band merah komposit 568 ... 23

Gambar 4.3 Spasial subset pada ENVI 4.5 ... 24

Gambar 4.4 Proses transformasi NDVI pada ENVI ... 25

Gambar 4.5 Interval pengkelasan nilai NDVI menggunkan density slice ... 26

Gambar 4.6 Hasil pengolahan NDVI sebelum & sesudah density slice ... 26

Gambar 4.7 Proses digitasi penggunaan lahan ... 29

Gambar 4.8 Proses digitasi bentuklahan ... 36

Gambar 4.9 Data titik curah hujan sekitar DAS Blongkeng ... 43

Gambar 4.10 Proses geostatical analyst dalam AcGis 10.0 ... 43

Gambar 4.11 Record data statistik dan nilai error ... 44

Gambar 4.12 Cek lapangan dan plotting sumber mata air ... 45

Gambar 4.13 Tampilan pemrosesan data lapangan menggunakan software Mapsource ... 46

Gambar 4.14 Diagram alur pembuatan peta potensi ketersediaan air ... 51

Gambar 5.1 Sedimentasi di sekitar sungai Blongkeng ... 54

Gambar 5.2 Peta klasifikasi NDVI ... 56

Gambar 5.3 Peta Penggunaan lahan DAS Blongkeng ... 61

Gambar 5.4 Peta Bentuklahan DAS Blongkeng ... 65

Gambar 5.5 Foto bentuklahan DAS Blongkeng ... 67

Gambar 5.6 Peta intensitas curah hujan ... 56

(13)

-xi-

Gambar 5.8 Peta sumber mata air dan kelerengan ... 73 Gambar 5.9 Peta jarak sumber mata air ... 74 Gambar 5.10 Foto beberapa sumber mata air di

DAS Blongkeng

... 76

Gambar 5.11 Peta Potensi Ketersediaan Air Daerah Aliran Sungai Blongkeng

(14)

1

BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Secara keseluruhan jumlah air di planet bumi ini relatif tetap dari masa kemasa (Suripin, 2002). Ketersediaan air yang merupakan bagian dari fenomena alam, sering sulit untuk diatur dan diprediksi dengan akurat. Hal ini karena ketersediaan air mengandung unsur variabilitas ruang (spatial

variability) dan variabilitas waktu (temporal variability) yang sangat tinggi.

Konsep siklus hidrologi adalah bahwa jumlah air di suatu luasan tertentu di hamparan bumi dipengaruhi oleh masukan (input) dan keluaran (output) yang terjadi. Kebutuhan air di kehidupan kita sangat luas dan selalu diinginkan dalam jumlah yang cukup pada saat yang tepat. Oleh karena itu, analisis kuantitatif dan kualitatif harus dilakukan secermat mungkin agar dapat dihasilkan informasi yang akurat untuk perencanaan dan pengelolaan sumberdaya air.

Apabila keluaran air di suatu wilayah lebih banyak daripada masukannya dinamakan defisit air dan berpotensi terjadinya kekeringan. Ketersediaan air menjadi penting mengingat semakin hari kebutuhan akan penggunaan air semakin meningkat tetapi wadah tampungan airnya bersifat tetap dan tidak berubah secara signifikan. Daerah Aliran Sungai (DAS) merupakan salah satu wadah bagi input dan output air dimana kajian hidrologi mempengaruhi jumlah air yang melewati suatu DAS. Sub DAS merupakan bagian dari DAS yang berperan dalam pembentukan siklus hidrologi di dalam DAS dimana mencakup wilayah yang lebih sempit.

(15)

2 Batang. Magelang yang notabene berada di daerah tengkuk lereng dan dikelilingi oleh beberapa gunung seharusnya menyimpan cadangan air dan tidak mungkin terjadi kekeringan tetapi tahun 2013 Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Kabupaten Magelang mencatat ada 11 kecamatan dan 21.782 kepala keluarga terancam kekeringan memasuki musim kemarau. Kesebelas kecamatan itu meliputi Srumbung, Salam, Mungkid, Sawangan dan Ngluwar, Ajoran, Borobudur, Candimulyo, Pakis, Secang dan Salaman. (Kompas 10/2013).

Penginderaan jauh memungkinkan perolehan data dengan lebih cepat dan lebih murah untuk kajian hidrologi. Data citra maupun foto udara dapat diolah menjadi informasi baru yang berguna untuk mengetahui kondisi berbasis spasial di suatu wilayah. Penginderaan jauh sangat membantu dalam hal ini untuk efisiensi waktu dan biaya.

Sistem Informasi Geografi (SIG) mempunyai kemampuan untuk menghasilkan informasi baru dengan cepat dan mudah, di samping itu SIG merupakan suatu sistem yang memuat data dengan rujukan spasial, yang dapat dianalisis dan dikonversi menjadi informasi untuk keperluan tertentu. Kunci kemampuan suatu SIG adalah adalah analisis data untuk menghasilkan informasi baru.

Dengan menggabungkan kedua teknologi tersebut yaitu penginderaan jauh dan sistem informasi geografi merupakan perpaduan yang lebih mudah untuk perolehan data spasial secara digital dan dapat menyajikan informasi dalam pemetaan potensi ketersediaan air di DAS Blongkeng.

1.2 Rumusan Masalah

(16)

3 akurat untuk mengetahui dimana saja lokasi yang perlu diperhatikan sebagai penyimpan cadangan air di DAS Blongkeng.

Berbagai parameter lingkungan seperti curah hujan, mata air, vegetasi, dan penggunaan lahan yang terkontrol mempengaruhi simpanan air baik di dalam tanah maupun permukaan. Selain itu ada beberapa parameter yang bisa dikaji dengan integrasi Penginderaan Jauh dan Sistem Informasi Geografi yang bersumber dari pengambilan data citra satelit merupakan teknologi untuk dapat memetakan hingga memonitoring ketersediaan air.

DAS Blongkeng yang terletak di antara Gunung Merapi dan Merbabu Jawa Tengah memiliki beberapa sungai seperti Blongkeng, Pabelan, Belan yang bertemu di Progo selanjutnya ke selatan menuju outlet. Hal inilah yang memungkinkan banyak cabang sungai yang dapat digunakan sebagai sumber air sebagai upaya mengimbangi kebutuhan air, dimana memungkinkan tetap adanya pelestarian lingkungan agar di kemudian hari tidak terjadi kasus kekeringan yang lebih parah. Dari ulasan singkat diatas dapat dirumuskan menjadi beberapa point antara lain:

1. Bagaimana peran Penginderaan Jauh dan Sistem Informasi Geografi dalam mengidentifikasi dan memetakan potensi ketersediaan air?

2. Dimana lokasi yang berpotensi memiliki ketersediaan air ketika musim kemarau?

1.3 Tujuan Penelitian

(17)

4

1.4 Manfaat Penelitian

Tugas Akhir ini mempunyai manfaat, baik secara ilmiah maupun praktis, antara lain:

a. Ilmiah

1. Hasil penelitian memberikan gambaran sejauh mana integrasi Penginderaan Jauh dan Sistem Informasi Geografi dapat memetakan potensi ketersediaan air

2. Dapat menjadi bahan refrensi studi terapan bidang hidrologi b. Praktis

1. Memberikan informasi mengenai daerah yang berpotensi memiliki ketersediaan air dalam kaitannya dengan sistem DAS

(18)

5

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Daerah Aliran Sungai (DAS)

(19)

6 penyelenggaraan kehutanan adalah untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat yang berkeadilan dan berkelanjutan dengan meningkatkan daya dukung DAS (UU No. 41 Tahun 1999). Pengelolaan lahan yang produktif dengan memperhatikan asas konservasi dan ekologi tata air perlu disusun dalam suatu sistem perencanaan dalam satuan pengelolaan DAS.

2.2 Pewilayahan DAS

Pada garis besarnya badan sungai dapat dibedakan menjadi tiga bagian yaitu:

Bagian Hulu Sungai (terletak di sekitar gunung), Ciri-ciri dari sungai bagian hulu, antara lain:

1. Kemiringan sungainya sangat besar.

2. Aliran sungai deras dan banyak ditemukan jeram (air terjun) 3. Erosi sungai sangat aktif.

4. Erosinya kearah vertical (ke arah dasar sungai). 5. Lembah sungainya berbentuk V

Bagian Tengah Sungai, Ciri-ciri dari sungai bagian tengah, antara lain: 1. Kemiringan sungai sudah berkurang.

2. Aliran sungai tidak seberapa deras dan jarang dijumpai jeram. 3. Erosi sungai agak berkurang dan sudah ada sedimentasi. 4. Erosi sungai berjalan secara vertical dan horizontal. 5. Lembah sungainya berbentuk U

Bagian Hilir Sungai (terletak di daerah muara sungai), Ciri-ciri dari sungai bagian hilir, antara lain:

1. Kemiringan sungai sangat landai. 2. Aliran sungai berjalan sangat lamban.

(20)

7 2.3 Kebutuhan dan Ketersediaan Air

Kebutuhan air untuk penduduk mencakup kebutuhan air untuk domestik, irigasi dan industri. Kebutuhan air untuk domestik ditetapkan sebesar 200 liter/hari/kapita untuk kota besar, 100 liter/hari/kapita untuk kota sedang dan 75 liter/hari/kapita untuk kota kecil.

Estimasi jumlah air di suatu wilayah didekati dengan neraca air secara hidrometeorologis, satuan wilayah perhitungan dapat menggunakan satuan pulau atau satuan daerah aliran sungai. Rumus umum yang digunakan seperti yang dikemukakan oleh Seyhan (1977), yaitu konsep neraca air secara meteorologis pada suatu DAS :

P = R + Ea ± Δ St

Apabila neraca air tersebut diterapkan untuk periode rata-rata tahunan, maka Δ St dapat dianggap nol, sehingga surplus air yang tersedia adalah :

R = P – Ea

Dan jumlah air yang tersedia diperkirakan sebesar 25% hingga 35% dari surplus air. Indeks kekritisan air merupakan perbandingan antara ketersediaan dengan kebutuhan air, yang dapat dirumuskan sebagai berikut :

Indeks kekritisan = kebutuhan air / ketersediaan air x 100%

Pada umumnya daerah yang mengalami kritis air mempunyai jumlah penduduk yang tinggi dan lahan sawah yang luas sehingga kebutuhan air banyak. Karena apabila diperhatikan, kebutuhan air sebagian besar diperuntukkan untuk irigasi sawah. Pendekatan perhitungan kekritisan air menggunakan imbangan air tahunan secara meteorologis, sehingga simpanan air dalam DAS yang berupa simpanan lengas tanah, simpanan air permukaan dan simpanan airtanah tidak diperhitungkan dan perubahannya dianggap nol.

(21)

8 2.4 Penginderaan Jauh Non Fotografi (Sistem Satelit)

Penginderaan jauh adalah ilmu dan seni untuk memperoleh informasi tentang suatu obyek, daerah, atau fenomena melalui analisis data yang diperoleh dengan suatu alat tanpa kontak langsung dengan obyek, daerah, atau fenomena yang dikaji. Penginderaan jauh dapat diartikan sebagai suatu proses membaca (Lillesand & Kiefer, 1990).

Penginderaan jauh non-fotografik merupakan penginderaan jauh yang menggunakan satelit sebagai wahana yang memanfaatkan tenaga elektromagnetik pada spektrum gelombang mikro untuk mendapatkan data citra. Sistem non-fotografik adalah sistem menggunakan tenaga elektromagnetik alami maupun buatan, perekaman obyek menggunakan sensor elektrik (scanner) dengan detektor pita magnetik. Menurut Sutanto (1987) satelit dibedakan menjadi 4 jenis, yaitu satelit sumberdaya bumi, satelit cuaca, satelit militer, dan satelit kelautan. Menurut Curran (dalam Sutanto, 1987) Satelit sumberdaya bumi dapat dibedakan atas dua kelompok, yaitu : (1) satelit berawak, dan (2) satelit tak berawak. Satelit berawak membawa sensor fotografik yang keluarannya berupa foto satelit, sedang satelit tak berawak membawa sensor non-fotografik yang keluarannya berupa citra satelit maupun data digital. Sensor yang dipakai

Citra digital hasil perekaman satelit dikirim dan ditangkap oleh stasiun penerima data di bumi. Data ini kemudian akan disimpan dengan berbagai penyimpanan data salah satunya BIL, BSQ, dan BIP. Data yang telah tersimpan kemudian akan diolah kembali untuk mendapatkan citra yang siap digunakan.

2.5 Landsat 8

Tanggal 11 Februari 2013, NASA melakukan peluncuran satelit

Landsat Data Continuity Mission (LDCM). Satelit ini mulai menyediakan

(22)

9 kepada USGS sebagai pengguna data terhitung 30 Mei tersebut. Satelit ini kemudian lebih dikenal sebagai Landsat 8. Pengelolaan arsip data citra masih ditangani oleh Earth Resources Observation and Science (EROS) Center. Landsat 8 hanya memerlukan waktu 99 menit untuk mengorbit bumi dan melakukan liputan pada area yang sama setiap 16 hari sekali. Resolusi temporal ini tidak berbeda dengan landsat versi sebelumnya.

Landsat 8 merupakan kelanjutan dari misi Landsat yang untuk pertama kali menjadi satelit pengamat bumi sejak 1972 (Landsat 1). Landsat 1 yang awalnya bernama Earth Resources Technology Satellite 1 diluncurkan 23 Juli 1972 dan mulai beroperasi sampai 6 Januari 1978. Generasi penerusnya, Landsat 2 diluncurkan 22 Januari 1975 yang beroperasi sampai 22 Januari 1981. Landsat 3 diluncurkan 5 Maret 1978 berakhir 31 Maret 1983; Landsat 4 diluncurkan 16 Juli 1982, dihentikan 1993. Landsat 5 diluncurkan 1 Maret 1984 masih berfungsi sampai dengan saat ini namun mengalami gangguan berat sejak November 2011, akibat gangguan ini, pada tanggal 26 Desember 2012, USGS mengumumkan bahwa Landsat 5 akan dinonaktifkan. Berbeda dengan 5 generasi pendahulunya, Landsat 6 yang telah diluncurkan 5 Oktober 1993 gagal mencapai orbit. Sementara Landsat 7 yang diluncurkan April 15 Desember 1999, masih berfungsi walau mengalami kerusakan sejak Mei 2003

(http://geomatika.its.ac.id, 2013).

(23)

10 Seperti dipublikasikan oleh USGS, satelit landsat 8 terbang dengan ketinggian 705 km dari permukaan bumi dan memiliki area scan seluas 170 km x 183 km (mirip dengan landsat versi sebelumnya). NASA sendiri menargetkan satelit landsat versi terbarunya ini mengemban misi selama 5 tahun beroperasi (sensor OLI dirancang 5 tahun dan sensor TIRS 3 tahun). Tidak menutup kemungkinan umur produktif landsat 8 dapat lebih panjang dari umur yang dicanangkan sebagaimana terjadi pada landsat 5 (TM) yang awalnya ditargetkan hanya beroperasi 3 tahun namun ternyata sampai tahun 2012 masih bisa berfungsi.

Satelit landsat 8 memiliki sensor Onboard Operational Land Imager

(OLI) dan Thermal Infrared Sensor (TIRS) dengan jumlah kanal sebanyak

11 buah. Diantara kanal-kanal tersebut, 9 kanal (band 1-9) berada pada OLI dan 2 lainnya (band 10 dan 11) pada TIRS. Sebagian besar kanal memiliki spesifikasi mirip dengan landsat 7. Jenis kanal, panjang gelombang dan resolusi spasial setiap band pada landsat 8 dibandingkan dengan landsat 7 seperti tertera pada tabel di bawah ini :

Gambar 2.1 Perbandingan band landsat ETM dan 8

(24)

11 Dibandingkan versi-versi sebelumnya, landsat 8 memiliki beberapa keunggulan khususnya terkait spesifikasi band-band yang dimiliki maupun panjang rentang spektrum gelombang elektromagnetik yang ditangkap. Sebagaimana telah diketahui, warna objek pada citra tersusun atas 3 warna dasar, yaitu Red, Green dan Blue (RGB). Dengan makin banyaknya band sebagai penyusun RGB komposit, maka warna-warna obyek menjadi lebih bervariasi.

Ada beberapa spesifikasi baru yang terpasang pada band landsat ini khususnya pada band 1, 9, 10, dan 11. Band 1 (ultra blue) dapat menangkap panjang gelombang elektromagnetik lebih rendah dari pada band yang sama pada landsat 7, sehingga lebih sensitif terhadap perbedaan reflektan air laut atau aerosol. Band ini unggul dalam membedakan konsentrasi aerosol di atmosfer dan mengidentifikasi karakteristik tampilan air laut pada kedalaman berbeda.

Deteksi terhadap awan cirrus juga lebih baik dengan dipasangnya kanal 9 pada sensor OLI, sedangkan band thermal (kanal 10 dan 11) sangat bermanfaat untuk mendeteksi perbedaan suhu permukaan bumi dengan resolusi spasial 100 m. Pemanfaatan sensor ini dapat membedakan bagian permukaan bumi yang memiliki suhu lebih panas dibandingkan area sekitarnya. Pengujian telah dilakukan untuk melihat tampilan kawah puncak gunung berapi, dimana kawah yang suhunya lebih panas, pada citra landsat 8 terlihat lebih terang dari pada area-area sekitarnya.

(25)

12 Terkait resolusi spasial, landsat 8 memiliki kanal-kanal dengan resolusi tingkat menengah, setara dengan kanal-kanal pada landsat 5 dan 7. Umumnya kanal pada OLI memiliki resolusi 30 m, kecuali untuk pankromatik 15 m. Dengan demikian produk-produk citra yang dihasilkan oleh landsat 5 dan 7 pada beberapa dekade masih relevan bagi studi data

time series terhadap landsat 8.

Kelebihan lainnya tentu saja adalah akses data yang terbuka dan gratis. Meskipun resolusi yang dimiliki tidak setinggi citra berbayar seperti Ikonos, Geo Eye atau Quick Bird, namun resolusi 30 m dan piksel 12 bit akan memberikan begitu banyak informasi berharga bagi para pengguna. Terlebih lagi, produk citra ini bersifat time series tanpa striping (kelemahan landsat 7 setelah tahun 2003). Dengan memanfaatkan citra-citra keluaran versi sebelumnya, tentunya akan lebih banyak lagi informasi yang dapat tergali.

2.6 Sistem Informasi Geografi

Sistem informasi geografi merupakan suatu sistem berbasis komputer yang memberikan empat kemampuan untuk menangani data bereferensi geografis, yaitu pemasukan, pengelolaan atau manajemen data (penyimpanan dan pengaktifan kembali), manipulasi, dan analisis keluaran (Aronoff, 1989).

(26)

13 membentuk grid, sedangkan data vektor menggunakan titik, garis, atau poligon disertai atribut.

(27)

14

BAB III

DESKRIPSI WILAYAH

1.1 Kondisi Fisik DAS Blongkeng

1.1.1 Geografis

Daerah Aliran Sungai (DAS) Blongkeng merupakan cabang dari DAS Progo yang memanjang dari Kabupaten Temanggung hingga Yogyakarta. Di dalam DAS Blongkeng tedapat beberapa bagian/sub DAS yang membentuk sistem DAS antara lain Sub DAS Blongkeng, Sub DAS Pabelan, Sub DAS Batang, Sub DAS Putih, dan Sub DAS Mangu.

DAS Blongkeng tepat berada di Kabupaten Magelang dan sebagian Kabupaten Boyolali dengan batas wilayah administrasi sebagai berikut: Sebelah Utara : Kabupaten Magelang

Sebelah Selatan : Kabupaten Sleman Sebelah Timur : Kabupaten Boyolali Sebelah Barat : Kabupaten Magelang

1.1.2 Geomorfologi

(28)

15 hingga curam dikarenakan sistem pewilayahan DAS dari hulu hingga hilir. Semakin ke Hulu solum tanah semakin kasar dengan material batuan piroklastik dan breksi yang berasal dari gunung api sedangkan semakin ke hilir solum tanah semakin tipis dengan material batuan aluvium.

1.1.3 Iklim

Umumnya beriklim tropis dan mempunyai 2 musim hujan dan kemarau yang silih berganti. Temperatur udara rata-rata antara 24oC – 32oC. Kawasan gunungapi ini mempunyai curah hujan tahunan cukup tinggi (berkisar 2000 – >3900 mm/tahun). Hujan di kawasan ini merupakan sumber air permukaan dan air tanah bagi daerah tersebut dan daerah hilirnya. Air hujan yang meresap ke tanah akan menjadi air tanah, dan muncul kembali ke permukaan sebagai mata air (spring) dan rembesan

(seepage). Air permukaan dan air tanah dipergunakan penduduk sebagai

sumber air minum dan irigasi (Darmakusuma D. dan Sudarmadji, 1997: 1). Hal ini tidak lepas dari peranan hutan yang berada di kawasan Gunungapi Merapi.

1.1.4 Tata Guna Lahan

(29)

16

Tabel 3.1 Pemanfaat lahan di sekitar DAS Blongkeng Pemanfaatan Lahan (Ha)

Sumber: Magelang dalam Angka.BPS Kabupaten Magelang tahun 2012 Luas penggunaan lahan di sekitar DAS Blongkeng utamanya lahan pertanian yaitu sawah 20617 Ha, Tegalan 36908 Ha, hutan rakyat/ perkebunan campuran 2780 Ha. Penggunaan lahan seperti bangunan dan pekarangan memiliki luas 1878 Ha namun untuk luas industri masih belum terdata. Penggunaan lahan lain-lain meliputi hutan, pekarangan, parwisata dan sebagainya memiliki luas 4635 Ha.

1.2 Kependudukan

1.2.1 Jumlah dan Kepadatan Penduduk

Jumlah penduduk di sekitar DAS mempengaruhi penggunaan dan kebutuhan air yang tersedia, semakin tinggi jumlah penduduk semakin banyak jumlah air yang dibutuhkan sebagai air baku (domestik, rumah tangga, dan industri).

Tabel 3.2 Jumlah penduduk per kecamatan

No. Kecamatan Kabupaten 2011 2012 2013 Laju

(30)

17 Jumlah penduduk di sekitar DAS Blongkeng pada tahun 2011 hingga 2013 (dalam jiwa) antara lain tertinggi di kecamatan Muntilan dengan jumlah penduduk di tahun 2011 yaitu 74.336 jiwa, tahun 2012 yaitu 74.782 jiwa, dan tahun 2013 sebesar 75.231 jiwa, namun laju pertumbuhan tertinggi terdapat di kecamatan Srumbung yaitu 0,9 %. Sedangkan jumlah penduduk terendah ada di kecamatan Selo Kabupaten Boyolali dengan jumlah penduduk di tahun 2011 yaitu 26.919 jiwa, tahun 2012 yaitu 26.956 jiwa, dan tahun 2013 sebesar 26.993 jiwa artinya mengalami laju pertumbuhan terendah yaitu 0,14%. Total laju pertumbuhan penduduk di sekitar DAS Blongkeng yaitu 0,87 % per tahun.

1.2.2 Mata Pencaharian

Jumlah Penduduk Menurut Mata Pencaharian di sekitar DAS Blongkeng antara lain berjumlah ±629.968 jiwa dimana sebagian besar masyarakat bekerja di sektor pertanian.

Tabel 3.3 Jumlah penduduk menurut mata pencaharian No. Mata Pencaharian Jumlah (Jiwa) Presentase

1 Petani 159.938 25,39%

Sumber: BPS Kabupaten Magelang dan Boyolali

(31)

18

1.3 Sosial Budaya dan Ekonomi

Kondisi sosial kemasyarakatan di sekitar DAS Blongkeng tidak bisa dilepaskan dari karakteristik lingkup budaya Negari Gung yang terpengaruh oleh kebudayaan dari Keraton Yogyakarta, sehingga kehidupan gotong royong dan kemasyarakatan dalam kehidupan sehari-hari sangat menonjol. Sebagai perwujudannya banyak kegiatan kesenian seperti topeng ireng, jathilan, kubro, dan sebagainya.

(32)

19

BAB IV

METODE PENELITIAN

4.1 Alat dan Bahan

4.1.1 Alat

1. Separangkat Laptop ASUS dengan spesifikasi Intel Core i3, 1.8 GHz, 4GB RAM, dan hard disk 500 GB.

2. Printer Canon PIXMA iP2770.

3. Software input dan pengolah data SIG yaitu ArcGIS 10.0, Map Source dan Envi 4.5

4. GPS (Global Positioning System) Handheld GARMIN DAKOTA 5. Alat tulis

6. Kamera

4.1.2 Bahan

1. Citra Landsat 8 perekaman Juni 2013 daerah Jawa Tengah dan Sekitarnya

2. Data curah hujan Tahunan Sebagian Kabupaten Magelang 3. Data Lereng DAS Blongkeng

4. Data Plotting titik mata air DAS Blongkeng dan sekitarnya 5. Peta batas DAS Blongkeng skala 1:100.000

6. Peta Geomorfologi sebagian Kabupaten Magelang skala 1:100.000 7. Peta Rupabumi Indonesia Digital Sebagian Kabupaten Magelang

4.2 Metodologi

4.2.1 Metode Kuantitatif Berjenjang

(33)

20 fenomena dengan jalan memberikan nilai yang telah ditentukan pada setiap parameter, sehingga diperoleh kelas berdasarkan perhitungan tersebut. Teknik pengharkatan (scoring) yang dilakukan menggunakan teknik penjumlahan, dimana seluruh variabel dijumlah berdasarkan harkat yang dimiliki.

4.2.2 Metode Manual

Pembuatan kelas dari hasil yang didapat antara lain penentuan interval dengan metode manual/interval teratur yaitu perhitungan selisih antara data dalam satu kelas menggunakan rerata nilai tertinggi dan terendah. Untuk menentukan besarnya interval (x) dapat dilakukan menggunakan rumus :

X = (max - min) /∑kelas

Dimana:

max = nilai data tertinggi min = nilai data terendah Penentuan interval kelasnya Kelas I = A s/d A + X

Kelas II = (A + X) + 1 s/d (A + X + 1) + X ...Kelas ke-n = (A+Xn) + 1 s/d (A + X + 1) + X Dimana:

A = nilai data terendah X = interval kelas n = urutan kelas

4.3 Tahapan Penelitian

4.3.1 Tahap Persiapan

(34)

21

4.3.2 Tahap Pengumpulan Data

Pengumpulan data terdiri dari sumber-sumber data yang akan digunakan untuk penelitian, antara lain berasal dari pengukuran/perolehan langsung (Primer) dan data dari instansi penyedia sumber data (Sekunder).

4.3.2.1Data Primer

1. Citra Landsat 8 perekaman Juni 2013 daerah Jawa Tengah dan Sekitarnya. Download data dari www.Glovis.USGS.gov

2. Data titik mata air yang didapat dari plotting GPS di Lapangan

4.3.2.2 Data Sekunder

1. Data Curah Hujan Tahunan Sebagian Kabupaten Magelang dari BPN Kabupaten Magelang

2. Data Lereng Sebagian Kabupaten Magelang dari BPN Kabupaten Magelang

3. Peta Batas DAS Blongkeng yang didapat dari BPDAS Serayu Opak Progo divisi Program

4. Peta geomorfologi sebagai acuan klasifikasi dari BPN Kabupaten Magelang

5. Peta Rupabumi Digital untuk penentuan batas administrasi didapat dari Badan Informasi Geospasial (BIG)

4.3.3 Tahap Pemrosesan data

4.3.3.1 Pengolahan Data Citra Awal

1. Data citra Landsat 8 yang akan digunakan untuk penelitian dapat didownload melalui alamat website glovis.usgs.org sesuai scene atau daerah yang diinginkan

(35)

22 citra tertentu mudah terdeteksi apabila pada sebuah citra kontras antara bentuk tersebut dengan backgroundnya tinggi, agar objek yang nantinya akan dibedakan lebih nampak dan berbeda antara satu dengan lainnya.

3. Setelah melakukan koreksi dipilih komposit citra agar kenampakan objek terlihat lebih jelas. Komposit RGB Landsat 8 yang digunakan adalah 568 karena Band 5 (0,845 – 0,885 μm ; reflected IR) berguna untuk meneliti biomasa tanaman, dan juga membedakan batas tanah tanaman dan daratan air. Band 6 (1,56 – 1,66 μm ; SWIR) menunjukkan kandungan air tanaman, tanah dan awan. Band 8 (0,500 – 0,680 μm ; Pankromatik) berhubungan dengan mineral berguna untuk mendeteksi batuan dan mineral tanah.

Gambar 4.1 Cara Pemilihan Komposit Citra

(36)

23 Gambar 4.2 Histogram Band Merah pada Komposit 568 5. Data citra yang telah dikoreksi kemudian dapat diolah dengan

memotong citra sesuai wilayah kajian yaitu Daerah Aliran Sungai (DAS) Blongkeng di sebagian wilayah Kabupaten Magelang dan Boyolali. Batas DAS Blongkeng berupa shapefile yang didapatkan dari divisi Program Badan Pengelolaan Daerah Aliran Sungai (BPDAS) Serayu Opak Progo. Penentuan batas DAS beracuan pada beberapa aspek utama DAS antara lain orde sungai, sungai utama, dan pola aliran.

(37)

24

Gambar 4.3 Spasial Subset pada ENVI 4.5

7. Citra yang telah terpotong dapat dieksport dalam format Raster tipe umum yaitu *.TIFF/GeoTIFF agar dapat diolah menggunakan software berbasis Informasi Geografi (spasial) lainnya.

Kemudahan penelitian menggunakan citra penginderaan jauh antara lain data citra bisa didapatkan secara gratis sesuai waktu perekaman dan jenis citra yang tersedia, sedangkan Kesulitan yang sering dialami dalam proses ini antara lain lamanya waktu download data citra yang tidak dapat diprediksi.

4.3.3.2Pengolahan Data Citra untuk Parameter Indeks Vegetasi

Normalized Difference Vegetation Index merupakan besaran

nilai kehijauan vegatasi yang diperoleh dari pengolahan sinyal digital data nilai kecerahan (brightness) beberapa kanal data sensor satelit. NDVI didapat menggunakan rumus:

(38)

25 vegetasi, seperti air, tanah terbuka ataupun awan. NDVI berguna dalam hal mengetahui evaporasi dan transpirasi serta serapan air oleh vegetasi di sekitar DAS. Pembuatan parameter indeks dilakukan menggunakan software pengolahan citra ENVI dengan langkah sebagai berikut

1. Menampilkan data citra yang telah dipotong sesuai wilayah kajian dengan komposit 568 RGB Color

2. Memilih menu basic tool pada ENVI kemudian memilih Band

match untuk menuliskan rumus NDVI disesuaikan dengan

citra Landsat 8

3. Sesuai Rumus NDVI band yang digunakan adalah Red = 4 dan NIR = 5 namun pada ENVI 4.5 belum ada tipe file baru untuk Landsat 8. Band 4 pada Landsat 8 sama halnya dengan band 3 pada Landsat TM, sedangkan Band 5 pada NIR sama dengan band 4 pada Landsat TM.

Gambar 4.4 Proses transformasi NDVI pada ENVI 4.5

4. Hasil dari proses tersebut kemudian didapat nilai NDVI yang dikelaskan menurut kerapatan vegetasinya. Pengkelasan nilai NDVI dapat diintegrasikan dengan nilai spektral RGB (color

(39)

26 5. Density slice merupakan sub menu dari Tools, color mapping.

Hasil yang diperoleh yaitu kelas dan interval yang tampilannya dibedakan menggunakan warna.

Gambar 4.5 Interval pengkelasan nilai NDVI menggunkan

density slice

Gambar 4.6 Hasil Pengolahan NDVI sebelum dan sesudah density slice

6. Pengkelasan NDVI tersebut merupakan format data raster yang dapat dieksport dalam bentuk *.TIFF/GeoTIFF dimana selanjutnya dapat dibuka pada software ArcGis, data raster dikonversikan menjadi format vektor menggunakan Raster to

(40)

27 7. Format vektor memiliki attribut tabel yang dapat diolah lebih lanjut dan memudahkan nantinya dalam proses overlay dengan parameter lainnya.

8. Setelah data NDVI menjadi format vektor, dapat dilakukan proses reclasifikasi sesuai nilai NDVI yang dimiliki (-0,1689 sampai dengan 0,3492).

9. Interval nilai NDVI disesuaikan dengan keterangan nilai kerapatan vegetasi, semakin nilai mendekati 1 kerapatannya semakin tinggi sedangkan semakin mendekati nilai -1 kerapatannya semakin jarang.

11. Transformasi NDVI memerlukan cek lapangan karena hasil yang diperoleh dari pengolahan software hanya menilai dari kenampakan spektral objek vegetasi. Nantinya hasil sementara dari peta tentatif transformasi indeks vegetasi dilakukan uji ketelitian untuk mengetahui kebenaran dari nilai yang telah diolah sebelumnya. Tabel uji akurasi tersebut berisi tentang perbandingan data hasil pengolahan menggunakan software GIS dengan pengamatan langsung di lapangan. Pembacaan ketelitian akurasi berdasarkan jumlah benar interpretasi dibanding jumlah total sampel yang didapatkan dikalikan seratus persen.

12. Apabila trasformasi dianggap telah benar (mendekati 100%) maka selanjutnya yaitu analisa data kerapatan vegetasi dengan menambahkan field harkat pada attribut layer sesuai nilai NDVI yang telah dikelompokan kedalam kelas sebagai berikut.

Tabel 4.1 Klasifikasi kerapatan Vegetasi berdasarkan NDVI

No. Nilai NDVI Kelas Harkat

1 0,2196 sd 0,3492 Rapat 4

2 0,0901 sd 0,2196 Sedang 3

3 -0,0394 sd 0,0901 Jarang 2

(41)

28 13. Peta Transformasi Nilai Vegetasi yang telah ditambahkan

harkat tiap kelasnya merupakan salah satu parameter Vegetasi (V) bagi potensi ketersediaan air di DAS Blongkeng.

Kelebihan menggunakan NDVI dalam menentukan kerapatan vegetasi dibandingkan menggunakan transformasi lainnya karena NDVI memiliki efektivitas untuk memprediksi sifat permukaan ketika kanopi vegetasi tidak terlalu rapat dan tidak terlalu jarang seperti yang ada di DAS Blongkeng. Kesulitan memproses data citra menggunakan NDVI adalah konversi data raster menjadi vektor yang menyebabkan terbentuk poligon-poligon kecil yang harus disederhanakan dan direklasifikasi.

4.3.3.3Pengolahan D ata C itra u ntuk P arameter P enggunaan

Lahan

Interpretasi penggunaan lahan digunakan untuk mengetahui ketergantungan terhadap air baik dalam bentuk irigasi, serapan oleh vegetasi maupun keperluan penggunaan lahan lain. Interpretasi penggunaan lahan meliputi 8 unsur interpretasi yaitu: rona/warna, Bentuk, Ukuran, Pola, Bayangan, Tekstur, Situs, dan Asosiasi.

1. Citra yang telah dipotong sesuai wilayah kajian dan dieksport, dilakukan pembuatan geodatabase agar nantinya hasil pengolahan data dapat tercover dalam satu folder. Shapefile penggunaan lahan bertipe poligon karena proses digitasi berupa area.

2. Setelah terbentuk geodatabase penggunaan lahan, dipilih komposit citra yang sesuai untuk merepresentasikan objek pada citra Landsat 8 yaitu 568 karena kenampakan vegetasi lebih cerah dan pembedaan antar objeknya lebih terlihat.

(42)

29 4. Memulai mendigitasi tiap bagian wilayah kajian sesuai unsur

dan klasifikasi interpretasi. Digitasi penggunaan lahan juga memperhatikan kunci interpretasi karena dilakukan secara manual, dibantu dengan knowledge interpreter diharapkan kenampakan pada citra mendekati kenampakan asli di lapangan.

Gambar 4.7 Proses digitasi penggunaan lahan

5. Klasifikasi penggunaan lahan menggunakan dasar klasifikasi dari BSNI (Badan Standar Nasional Indonesia) karena lebih detail dalam klasifikasi utamanya lahan bervegetasi (pertanian). Hasil digitasi yang diperoleh nantinya diberikan pewarnaan yang mengacu pada standar pewarnaan penggunaan lahan dan dilakukan survey lapangan untuk menentukan ketelitian interpretasi.

(43)

30

Tabel 4.2 Tabel klasifikasi interpretasi penggunaan lahan

No. Penggunaan Kelas

Lahan Deskripsi

1 Daerah bervegetasi

Daerah dengan liputan vegetasi (minimal 4%) sedikitnya selama 2 bulan, atau dengan

liputan Lichens/Mosses lebih dari 25% (jika tidak terdapat vegetasi lain).

1.1 Daerah pertanian Areal yang diusahakan untuk budi daya tanaman pangan dan holtikultura. Vegetasi alamiah telah dimodifikasi atau dihilangkan dan diganti dengan tanaman anthropogenik dan memerlukan campur tangan manusia untuk menunjang kelangsungan hidupnya. Antar masa tanam, area ini kadang-kadang tanpa tutupan vegetasi. Seluruh vegetasi yang ditanam dengan tujuan untuk dipanen termasuk kelas ini. 1.1.1 Sawah Areal pertanian yang digenangi air atau diberi air, baik

dengan teknologi pengairan, tadah hujan, maupun pasang surut. Areal pertanian dicirikan oleh pola pematang, dengan ditanami jenis tanaman pangan berumur pendek (padi).

1.1.2 Sawah pasang surut

Sawah yang diusahakan dalam lingkungan yang terpengaruh air pasang surut air laut atau sungai.

1.1.3 Ladang Pertanian lahan kering dengan penggarapan secara temporer atau berpindah-pindah. Ladang adalah area yang digunakan untuk kegiatan pertanian dengan jenis tanaman selain padi, tidak memerlukan pengairan secara ekstensif, vegetasinya bersifat artifisial dan memerlukan campur tangan manusia untuk menunjang kelangsungan hidupnya.

1.1.4 Perkebunan Lahan yang digunakan untuk kegiatan pertanian tanpa pergantian tanaman selama 2 tahun. Catatan : Panen biasanya dapat dilakukan setelah satu tahun atau lebih 1.1.5 Perkebunan

Campuran

Lahan yang ditanami tanaman keras lebih dari satu jenis atau tidak seragam yang menghasilkan bunga, buah, dan getah dan cara pengambilan hasilnya bukan dengan cara menebang pohon.Catatan : Perkebunan campuran di Indonesia biasanya berasosiasi dengan permukiman perdesaan atau pekarangan, dan diusahakan secara tradisional oleh penduduk.

1.2 Tanaman Campuran

Lahan yang ditumbuhi oleh berbagai jenis vegetasi.

1.2.1 Hutan lahan kering

Hutan yang tumbuh dan berkembang di habitat lahan kering yang dapat berupa hutan dataran rendah, perbukitan dan pegunungan, atau hutan tropis dataran tinggi.

1.2.1.1 Hutan lahan kering primer

(44)

31

tinggi, yang masih kompak dan belum mengalami intervensi manusia atau belum menampakkan bekas penebangan.

1.2.1.2 Hutan lahan kering sekunder

Hutan yang tumbuh dan berkembang di habitat lahan kering yang dapat berupa hutan dataran rendah, perbukitan dan pegunungan, atau hutan tropis dataran tinggi yang telah mengalami intervensi manusia atau telah menampakkan bekas penebangan (kenampakkan alur bercak bekas tebang).

1.2.2 Hutan lahan basah Hutan yang tumbuh berkembang pada habitat lahan basah berupa rawa, termasuk rawa payau dan rawa gambut. Wilayah lahan basah berkarakteristik unik, yaitu: (1) dataran rendah yang membentang sepanjang pesisir, (2) wilayah berelevasi rendah, (3) tempat yang dipengaruhi oleh pasang surut untuk wilayah dekat pantai, (4) wilayah dipengaruhi oleh musim yang terletak jauh dari pantai, dan (5) sebagian besar wilayah tertutup gambut.

1.2.2.1 Hutan lahan basah primer

Hutan yang tumbuh berkembang pada habitat lahan basah berupa rawa, termasuk rawa payau dan rawa gambut. Wilayah lahan basah berkarakteristik unik, yaitu: (1) dataran rendah yang membentang sepanjang pesisir, (2) wilayah berelevasi rendah, (3) tempat yang dipengaruhi oleh pasang surut untuk wilayah dekat pantai, (4) wilayah dipengaruhi oleh musim yang terletak jauh dari pantai, dan (5) sebagian besar wilayah tertutup gambut, belum mengalami intervensi manusia.

1.2.2.2 Hutan lahan basah sekunder

Hutan yang tumbuh berkembang pada habitat lahan basah berupa rawa, termasuk rawa payau dan rawa gambut. Wilayah lahan basah berkarakteristik unik, yaitu: (1) dataran rendah yang membentang sepanjang pesisir, (2) wilayah berelevasi rendah, (3) tempat yang dipengaruhi oleh pasang surut untuk wilayah dekat pantai, (4) wilayah dipengaruhi oleh musim yang terletak jauh dari pantai, dan (5) sebagian wilayah tertutup gambut, mengalami intervensi manusia.

1.2.4 Semak dan belukar

Kawasan lahan kering yang telah ditumbuhi dengan berbagai vegetasi alami heterogen dan homogen dengan tingkat kerapatan jarang hingga rapat. Kawasan tersebut didominasi vegetasi rendah (alami). Catatan : Semak belukar di Indonesa biasanya kawasan bekas hutan dan biasanya tidak menampakkan lagi bekas atau bercak tebangan.

1.2.5 Padang rumput, alang-alang, sabana

Areal terbuka yang didominasi berbagai jenis rumput yang tinggi serta rumput rendah heterogen.

(45)

32 2 Daerah Tak

bervegetasi

Daerah dengan total liputan vegetasi kurang dari 4% selama lebih dari 10 bulan, atau dengan liputan Lichens/Mosses kurang dari 25% (jika tidak terdapat vegetasi berkayu atau herba).

2.1 Lahan terbuka Lahan tanpa tutupan lahan baik yang bersifat alamiah, semi alamiah maupun artifisial. Menurut karekteristik permukaannya, lahan terbuka dapat dibedakan menjadi consolidated dan unconsolidated surface.

2.1.1 Lahar dan lava Lahan terbuka bekas aliran lava gunung berapi. 2.1.2 Hamparan pasir

pantai

Lahan terbuka yang berasosiasi dengan aktivitas marine dengan material penyusun berupa pasir.

2.1.3 Benting pantai Bagian dataran yang paling luar ke arah laut dan saat air pasang daerah ini tergenang serta merupakan daerah empasan ombak.

2.1.4 Gumuk pasir Bukit pasir yang terbentuk oleh endapan pasir yang terbawa angin. Gumuk pasir biasa terdapat di gurun atau sepanjang pantai. Terdapat beberapa tipe gumuk pasir yang ditentukan oleh banyaknya pasir, kekuatan dan arah angin, karakteristik permukaan lokasi pengendapan (pasir atau batuan), keberadaan penghalang dan air tanah.

2.2 Permukiman dan lahan bukan pertanian

Lahan terbangun dicirikan adanya substitusi penutup lahan bersifat alami atau Semi alami oleh penutup lahan bersifat artifisial dan seringkali kedap air.

2.2.1 Lahan terbangun Area yang telah mengalami substitusi penutup lahan yang bersifat alami atau semi alami dengan penutup lahan buatan yang biasanya bersifat kedap air dan relatif permanen.

2.2.1.1 Permukiman Aeral atau lahan yang digunakan sebagai lingkungan tempat tinggal atau lingkungan hunian dan tempat kegiatan yang mendukung kehidupan orang.

2.2.1.2 Bangunan industri Areal lahan yang digunakan untuk bangunan pabrik atau industri yang berupa kawasan industri atau perusahaan.

2.2.1.3 Jaringan jalan Jaringan prasarana transportasi yang diperuntukkan lalu lintas kendaraan.

2.2.1.3.1 Jalan arteri Jalan yang melayani angkutan utama dengan ciri-ciri perjalanan jarak jauh dan kecepatan rata-rata tinggi, sesuai dengan SNI 6502.4.

2.2.1.3.1 Jalan kolektor Jalan yang melayani angkutan dengan ciri-ciri perjalanan jarak sedang dan kecepatan ratarata sedang, sesuai dengan SNI 6502.4

2.2.1.3.1 Jalan lokal Jalan yang melayani angkutan dengan ciri-ciri perjalanan jarak dekat dan kecepatan ratarata rendah, sesuai dengan SNI 6502.3.

2.2.1.4 Jaringan jalan kereta api

Rel kereta api

(46)

33 2.2.1.5 Pelabuhan Laut Tempat yang digunakan sebagai tempat sandar dan

berlabuhnya kapal laut beserta aktivitas penumpangnya dan bongkar muat kargo.Catatan : Fasilitas pelabuhan dilengkapi bangunan sandar kapal, gudang, dan terminal penumpang.

2.2.1.6 Lahan tidak terbangun

Lahan ini telah mengalami intervensi manusia sehingga menutup lahan alamiah (semi alamiah) tidak dapat dijumpai lagi. Meskipun demkian lahan ini tidak mengalami pembangunan sebagaimana terjadi pada lahan terbangun.

2.2.2 Pertambangn Lahan terbuka sebagai aktivitas pertambangan, dimana penutup lahan, batu ataupun material bumi lainnya dipindahkan oleh manusia.

2.2.2.1 Tempat penimbunan sampah/deposit

Lokasi yang digunakan sebagai tempat penimbunan material yang dipindahkan oleh manusia. Material yang ditimbun pada lokasi tersebut biasanya justru berasal dari luar lokasi yang bersangkutan.

2.2.2.2 Perairan Semua kenampakan perairan, termasuk laut, waduk, terumbu karang, dan padang lamun

2.3.1 Danau atau waduk

Areal perairan dangkal, dalam dan permanen.

2.3.2 Tambak Aktivitas untuk perikanan atau penggaraman yang tampak dengan pola pematang di sekitar pantai.

2.3.3 Rawa Genangan air tawar atau air payau yang luas dan permanen di daratan

2.3.4 Sungai Tempat mengalir air yang bersifat alamiah.

2.3.5 Anjir pelayanan Tempat mengalirnya air, bersifat artifisial, dan berasosiasi dengan laut atau pantai dan pelayaran. 2.3.6 Terumbu karang Kumpulan fauna laut yang berkumpul menjadi satu

membentuk terumbu.

2.3.7 Gosong pantai Kenampakan pasir di permukaan laut dan kadang-kadang tenggelam pada saat pasang perbani, lebarnya < 50m, dan belum ditumbuhi vegetasi.

(47)

34

Tabel 4.3 Tabel interpretasi penggunaan lahan menggunakan citra landsat 8 komposit 568

No. Rona/Warna Ukuran Tekstur Bentuk Pola Bayangan Situs Asosiasi Hasil

Kode Nama

1 Hitam

Kemerahan Besar Kasar Area

Tidak

Teratur Ada Vegetasi Tinggi Dekat Lahan Terbuka H Hutan

2 Hijau Tosca Sedang Halus Area Tidak

Teratur Tidak Ada Puncak Gunung - LT Lahan Terbuka

3 Merah Cerah Sedang Kasar Bergerombol Tidak

Teratur Ada Variasi Vegetasi - PC Perkebunan Campuran

4 Cyan Sedang Sedang Bergerombol Tidak

Teratur Tidak Ada Atap Di Daerah Datar P Permukiman

5 Hijau

Kemerahan Besar Halus Area

Tidak

Teratur Tidak Ada -

Dekat Sungai dan

Pemukiman SW Sawah

6 Merah Gelap Besar Sedang Area Tidak

Teratur Ada Bercak Vegetasi - T Tegalan/Ladang

7 Hijau Cerah Kecil Halus Berkelok Tidak

Teratur Tidak Ada Air

Memanjang dari Hulu

hingga outlet S Sungai

8 Cyan Cerah Kecil Halus Memanjang

Teratur Tidak Ada Garis Lurus

Ditengah Padat

(48)

35 7. Hasil interpretasi penggunaan lahan ditumpangsusunkan

dengan shapefile jalan, sungai dan batas administrasi supaya memudahkan dalam pembacaan peta dan survey lapangan. 8. Peta tentatif penggunaan lahan yang telah dibuat dilakukan cek

lapangan seperti pada transformasi NDVI untuk mendapatkan nilai kebenaran hasil interpretasi. Analisa dari pembacaan tabel juga dapat digunakan untuk mengetahui kesalahan interpreter terhadap pembacaan objek interpretasi menggunakan citra penginderaan jauh.

9. Hasil pengolahan data interpretasi penggunaan lahan yang telah dilakukan survey lapangan dapat diinterpretasi ulang menggunakan acuan data lapangan tersebut, proses ini dinamakan reinterpretasi data. Selain penggunaan lahan reinterpretasi dilakukan untuk parameter bentuklahan dan kemiringan lereng.

10. Apabila data penggunaan lahan yang dibuat telah dianggap benar dan valid, proses selanjutnya adalah penambahan field harkat sesuai sumber yang telah ada sebagai berikut:

Tabel 4.4 Klasifikasi Penggunaan Lahan

No. Penggunaan Lahan Harkat

1 Permukiman 4

Sumber : Direktorat Geologi Tata Lingkungan dengan modifikasi, 1996

(49)

36 kesalahan lain karena citra yang digunakan tahun 2013, ada beberapa daerah yang mengalami perubahan penggunaan lahan di DAS Blongkeng, contohnya perkembangan permukiman selama setahun di daerah dengan aksebilitas yang baik seperti kecamatan mungkid dan muntilan. Adanya reinterpretasi diharapkan dapat merubah informasi hasil interpretasi sesuai keadaan di lapangan yang memuat informasi terbaru.

4.3.3.4Pengolahan Data Citra untuk Parameter Bentuklahan

Intepretasi bentuklahan digunakan untuk mengetahui kondisi geomorfologi wilayah kajian terhadap ketersediaan air. Dalam menentukan kenampakan bentuklahan secara umum digunakan unsur interpretasi diantaranya Rona, Bercak, Pola, Bentuk, Bayangan, Letak Topografi, dan Situasi. Tingkat lanjut penentuan bentuklahan dapat mengacu pada pola aliran, batuan, proses, hingga detail bentuklahan.

Interpretasi bentuklahan menggunakan langkah yang sama dengan penggunaan lahan, baik pemilihan komposit citra Landsat yang digunakan dan pembuatan geodatabase awal.

1. Dimulai dengan pembuatan shapefile bertipe poligon dalam geodatabase bentuklahan. Digunakan tipe poligon karena interpretasi yang dilakukan berupa area

(50)

37 2. Memulai mendigitasi citra dengan langkah start editing pada toolbar kemudian select seluruh wilayah kajian agar nantinya mudah dalam input attribut tabel.

3. Digitasi yang beracuan dari klasifikasi Verstapen (1985) dapat dianalisa lebih lanjut sesuai bentuklahan yang didapatkan. Menurut Verstapen (1985) terdapat 9 bentuklahan di dunia antara lain: denudasional, fluvial, eolin, marine, vulkanik, organik, struktural, glasial, dan solusional dengan spesifikasi dan pewarnaan yang berbeda.

Tabel 4.5 Klasifikasi Bentuklahan menurut Verstapen (1985) di DAS Blongkeng

1. Bentuklahan asal proses Fluvial (F) warna dasar biru

No Kode Nama BentukLahan (Indonesia) 1 F1 Dasar sungai

2 F2 Danau, rawa-rawa, rawa belakang, sungai yang ditinggalkan

3 F3 Dataran banjir, dataran banjir musiman/rawa belakang, bekas alur sungai

4 F4 Cekung fluvial/rawa belakang atau dasar danau tua 5 F5 Tanggul fluvial, gugusan aluvial

6 F6 Teras fluvial 7 F7 Kipas aluvial aktif 8 F8 Kipas aluvial tidak aktif

9 F9 Delta, tanggul alam dan gugusan delta kecil 10 F10 Rawa belakang delta fluvial

11 F11 Pantai delta 12 F12 Aluvial aktif

13 F13 Aluvial tua (tidak aktif)

2. Bentuklahan asal proses Denudasional (D) warna dasar cokelat

No Kode Nama BentukLahan (Indonesia) 1 D1 Perbukitan terkikis dan tererosi ringan

2 D2 Perbukitan terkikis dengan erosi sedang-berat 3 D3 Perbukitan dan pegunungan terkikis

4 D4 Bukit sisa terisolasi 5 D5 Dataran

6 D6 Dataran terangkat/plato 7 D7 Kaki lereng

(51)

38 9 D9 Zona singkapan/lereng terjal

10 D10 Kipas aluvial dan rombakan kaki lereng 11 D11 Daerah dengan gerakan massa tanah berat 12 D12 Sisi lembah curam

13 D13 Punggung bukit 14 D14 Dasar lembah 15 D15 Lahan rusak

3. Bentuklahan asal proses Volkanik (V) warna dasar merah

No Kode Nama BentukLahan (Indonesia)

1 V1 Kawah letusan/maars/kawah gunung api 2 V2 Kerucut vulkanik tertoreh sedang

3 V3 Kerucut vulkanik tertoreh berat

4 V4 Lereng tengah atas kerucut vulkanik, agak tertoreh-tertoreh sedang

5 V5 Lereng tengah atas kerucut vulkanik, tertoreh berat 6 V6 Lereng bawah vulkanik agak tertoreh/kaki fluvio

vulkanik atas

7 V7 Lereng bawah vulkanik tertoreh berat/kaki lereng atas fluvio vulkanik

8 V8 Dataran fluvio vulkanik bawah

9 V9 Fluvio vulkanik paling bawah, dataran antara gunung api yang luas

10 V10 Ladang solfatar/fumarol

11 V11 Padang lava/aliran lava, titik erupsi lava 12 V12 Padang abu vulkanik, padang lapili/dataran 13 V13 Planasi

14 V14 Bukit vulkanik terkikis (vulkanik terkikis dan bingkai kaldera)

15 V15 Rangka vulkanik/leher vulkanik

4. Seperti halnya proses pembuatan peta penggunaan lahan, dibuat tabel interpretasi bentuklahan untuk memudahkan pengambilan kesimpulan. Tabel tersebut berisi unsur-unsur interpretasi bentuklahan, batuan, proses, kode, dan nama. 5. Setelah seluruh wilayah kajian terinterpretasi, didapatkan peta

(52)

39

Tabel 4.6 Tabel interpretasi bentuklahan menggunakan citra landsat 8 komposit 568

No. Warna Rona/ Tekstur Bentuk dan Bentuk dan Pola Morfologi aliran, letak, dan situasi Batuan Proses Bentuklahan

pola struktur Pola aliran Kode Nama

1 Hijau

Kemerahan Sedang - Dendritik Datar bercabang Aluvium Pengangkutan F12 Aluvial

2 Cyan Cerah Halus Lancip Centrifugal Mengerucut Piroklastik Aktivitas

Vulkanik V1 Kerucut Gunung Api

3 Hitam

Kemerahan Kasar Lancip Centrifugal Mengerucut Breksi Gunung Api

Aktivitas

Vulkanik V3 Lereng Atas Gunung Api

4 Merah

Marun Kasar Membulat Dendritik

Bercabang dengan

Vulkanik V5 Lereng Tengah Gunung Api

5 Merah

Cerah Sedang Membulat Dendritik

Bercabang dengan

Vulkanik V7 Lereng Bawah Gunung Api

6 Hijau

Kemerahan Halus - Dendritik Bercabang

Aluvium dan Endapan Endapan Vulkanik Gunung Merapi Tua

Pengangkutan dan

Pengendapan

V8 Dataran Fluvio Vulkan

7 Merah

Cerah Kasar Lancip Rectangular

Membentuk sudut

siku-siku Massif Pelapukan D1

Perbukitan Terkikis dan Tererosi Ringan

8 Merah

Cerah Kasar Lancip Rectangular

(53)

40 6. Penambahan field harkat pada peta bentuklahan sesuai hasil

pengolahan data interpretasi karena belum ada sumber terkait yang dapat mencakup keseluruhan bentuklahan yang ada di DAS Blongkeng.

Tabel 4.7 Klasifikasi Bentuklahan

No. Bentuklahan Harkat

1 Aluvial 4

2 Dataran Fluvio Vulkan/Lereng Bawah Gunung Api

3

3 Lereng Tengah Gunung Api/ Lereng Atas Gunung Api

2

4 Perbukitan Terkikis dan Tererosi ringan sampai Berat

1

5 Kerucut Gunung Api 0

Sumber: Pengolahan Data, 2014

(54)

41

4.3.3.5Pengolahan Data Kemiringan Lereng

Kemiringan lereng berhubungan dengan bentuklahan yang telah diinterpretasi, selain itu kemiringan lereng juga dapat mengidentifikasi karakteristik pewilayahan DAS. Data kemiringan lereng berupa shapefile didapat dari instansi BPN Magelang yang bersumber dari peta topografi daerah Magelang.

1. Data shapefile yang didapatkan ditampalkan dengan batas wilayah DAS agar sesuai dengan koordinat

2. Attribut shapefile data tersebut nantinya ditambahkan field keterangan kelas kemiringan lereng dan field harkat

Tabel 4.8 Klasifikasi Kemiringan Lereng

No. Kemiringan Lereng Kelas Lereng Harkat

1 0-5% Datar 4

2 5-10% Landai 3

3 10-30% Agak Curam 2

4 >25% Curam 1

Sumber: Cook dalam Lestari 2011

3. Visualisasi data kemiringan lereng ditampilkan dengan pemberian warna gradasi di tiap kelasnya untuk memudahkan pembacaan, semakin curam kelas lerengnya semakin gelap pewarnaannya begitupun sebaliknya.

4.3.3.6Pengolahan Data Curah Hujan Tahunan

(55)

42 1. Data titik stasiun hujan berupa shapefile type point dilakukan penyamaan sistem koordinat agar sesuai dengan wilayah kajian. Selain data shapefile, didapatkan 13 stasiun pengamat hujan. Berikut ini merupakan daftar stasiun pengamat hujan di wilayah sekitar DAS Blongkeng.

Tabel 4.9 Daftar stasiun pengamat hujan

No. Stasiun Pencatat Curah Hujan

Sumber: BMG Dephub Jakarta dan Puslitbang Pengairan Dari ke-13 stasiun pencatat hujan tersebut ada beberapa yang sudah tidak dapat berfungsi dengan baik sebagai pencatat curah hujan tahunan. Untuk itu proses pengolahan data curah hujan hanya menggunakan data shapefile yang memiliki curah hujan tahunan lengkap.

(56)

43

Gambar 4.9 Data titik curah hujan sekitar DAS Blongkeng

3. Melakukan proses geostatistical wizard pada arcGis, dipilih metode invers distance weighted karena dalam persebaran interpolasinya lebih sederhana dengan perhitungan rerata dari nilai data yang diketahui.

Gambar 4.10 Proses geostatistical analyst dalam ArcGis 10.0 4. Dalam proses pengolahan persebaran interpolasi digunakan use

mean karena akan mengolah data sesuai nilai rerata dan

cenderung mendapatkan persebaran yang teratur.

5. geostatistical wizard dapat mengetahui nilai error/kesalahan

(57)

44

Gambar 4.11 Record data statistik dan nilai error

6. Persebaran curah hujan tersebut dapat diolah lebih lanjut dengan mengeksport data menjadi shapefile bertipe poligon yang dapat dipotong sesuai wiayah kajian.

7. Hasil yang didapatkan berupa peta persebaran curah hujan tahunan, data tersebut ditambahkan field harkat tiap kelas sesuai klasifikasinya. Interval curah hujan tersebut didapatkan dari pengolahan data menggunakan metode interval teratur.

Tabel 4.10 Klasifikasi Curah Hujan Tahunan

No. Curah Hujan (mm/tahun) Harkat

1 1000 - 2000 4

2 2000 - 3000 3

3 3000 - 4000 2

4 >4000 1

Sumber: Pengolahan Data, 2014

(58)

45

4.3.3.7Pengolahan Data Sumber Mata Air

Plotting sumber mata air di sekitar DAS Blongkeng

mendapatkan 19 titik mata air, pencarian sumber mata air tersebut dibantu secara partisipatif oleh masyarakat sekitar DAS Blongkeng. Mata air yang dijadikan parameter adalah yang selalu mengalir meskipun pada musim kemarau (non musiman), beberapa mata air yang ditemukan belum dimanfaatkan oleh masyarakat sebagai alternatif sumber air. Kebanyakan letak mata air berada di daerah Barat DAS Blongkeng seperti Sawangan, Candimulyo, dan Selo.

Gambar 4.12 Cek lapangan dan plotting sumber mata air

1. Memulai plotting sumber mata air dengan menggunakan GPS, yang pertama dilakukan yaitu akurasi data GPS bertujuan mencari satelit aktif agar perekaman data plotting dapat dilakukan.

2. Plotting sumber mata air di sebagian DAS Blongkeng yang

(59)

46 untuk memudahkan perekaman data, track adalah jejak yang otomatis direkam oleh GPS ketika kita berada di lapangan.

Gambar 4.13 Tampilan pemrosesan data lapangan menggunakan Software MapSource

3. Data plotting lapangan sumber mata air tersebut diolah dengan

software ArcGis 10.0 menggunakan analisis data multiple ring

buffer. Analisis ini menggambarkan tingkatan area berupa

lingkaran dengan perhitungan jarak terdekat dari data input (sumber mata air), jarak yang digunakan sesuai sumber berkisar 0-100 meter untuk jarak terdekat, jarak sedang 100-1000 meter, dan jarak jauh 100-1000-2000 meter.

4. Analisis multiple ring buffer ini tidak melihat batas wilayah kajian dan hanya beracuan pada unit jarak yang telah ditentukan, sehingga diperlukan proses overlay intersect yang berguna memotong hasil analisa buffer agar sesuai dengan batas wilayah DAS Blongkeng.

Tabel 4.11 Klasifikasi jarak sumber mata air

No. Klasifikasi Jarak Harkat

1 <100 meter 4

2 100-1000 meter 3

3 1000-2000 meter 2

4 >2000 meter 1

(60)

47 5. Proses selanjutnya yaitu menambahkan field harkat dan

memberikan harkat untuk tiap klasifikasi jarak sesuai pada tabel diatas

6. Parameter jarak sumber mata air (MA) diperlukan untuk menganalisa kebutuhan penggunaan air oleh masyarakat sekitar DAS terhadap ketersediaan airnya.

Kelebihan pembuatan peta jarak sumber mata air yang berasal dari data plotting lapangan diolah menggunakan multiple ring buffer antara lain dapat memprediksi jarak dengan spesifik tanpa menghilangkan input data di dalamnya, dapat menentukan interval jarak terhadap data input sesuai keinginan pengguna tanpa menghilangkan refrensi spasial, dan mampu menggabungkan lebih dari satu interval jarak terhadap input data yang sama. Sedangkan kesulitan pengolahan data sumber mata air ini yaitu pengambilan data di lapangan harus tepat dengan lokasi mata air yang ada agar akurasi pada GPS sesuai dengan peta yang akan dibuat.

4.3.4 Cek atau Survey Lapangan

Cek atau survey lapangan ditentukan dengan memilih beberapa sampel yang mewakili beberapa wilayah kajian secara menyeluruh. Selain itu cek lapangan juga berguna mengetahui kondisi sesungguhnya dari lapangan. Penentuan sampel yang digunakan bersifat proporsional random

sampling, teknik ini di gunakan apabila objek mempunyai anggota atau

(61)

48 bentuklahan serta kemiringan lereng dari landscape yang terlihat di DAS Blongkeng.

Survey lapangan dilakukan tanggal 15-18 Mei 2014 dan tanggal 16 Agustus 2014 menggunakan alat bantu Global Possitioning System (GPS), cheklist, dan peta tentatif yang telah dibuat sebelumnya. Didapatkan 30 titik sampel penggunaan lahan, 30 titik sampel bentuklahan dan kemiringan lereng, serta 20 titik sampel transformasi NDVI. Tiap titik sampel dicatat posisi koordinat dan ketinggian tempatnya, kemudian dimasukan dalam tabel cheklist yang telah dibuat untuk diolah kembali menggunakan matrik uji ketelitian dan reinterpretasi seperti yang telah dibahas sebelumnya.

4.3.5 Analisis Data Parameter

Seluruh parameter yang telah dibuat dapat ditambahkan field baru untuk memberikan harkat sesuai pengaruhnya terhadap ketersediaan air di DAS Blongkeng. Penentuan harkat berdasar pada kelas yang diperoleh tiap parameter, semakin tinggi nilai harkatnya maka semakin besar pengaruhnya terhadap potensi ketersediaan air di wilayah kajian. Beberapa harkat parameter merupakan hasil pengolahan data seperti NDVI, analissi bentuklahan dan intensitas curah hujan, karena beberapa sumber memiliki wilayah kajian yang berbeda dengan kajian DAS Blongkeng, sehingga pengkelasan tiap harkatnya pun tidak sesuai bila digunakan untuk mengetahui potensi ketersediaan air. Pengkelasan dan penentuan harkat harus disesuaikan dengan kondisi wilayah kajian.

(62)

49

V+PL+BL+L+CH+MA. Dimana:

V = Transformasi Indeks Vegetasi (NDVI) PL = Penggunaan Lahan

BL = Bentuklahan

L = Kemiringan Lereng

CH = Intensitas Curah Hujan Tahunan MA = Sumber Mata Air

Perhitungan hasil overlay keseluruhan parameter tersebut dapat digunakan untuk menentukan skor kelas potensi ketersediaan air. Perhitungan interval pembuatan skor menggunakan metode manual (interval teratur).

Hasil min =5, hasil max =25, jumlah kelas = 4

Interval = (data maksimum – data minimun) ∑kelas

= (25-5)/4 = 5

Tabel 4.12 Klasifikasi skor potensi ketersediaan air

Kode Keterangan Skor

P1 Potensi air besar 20-25

P2 Potensi air sedang 15-20

P3 Potensi air kecil 10-15

P4 Langka air <10

Sumber: Pengolahan Data, 2014

4.3.6 Penyajian Data

4.3.6.1Pembuatan Peta Parameter dan Potensi Ketersediaan Air

Overlay atau tumpangsusun merupakan penyatuan data layer yang

(63)

50 skor tinggi dalam perhitungan dapat diartikan memiliki potensi dalam ketersediaan air utamanya di musim kemarau. Sebaliknya bila skor yang dimiliki kecil dapat dipastikan daerah tersebut langka air dan perlu diberdayakan lebih lanjut.

Kelebihan menggunakan overlay intersect dan dissolve untuk mmbuat peta potensi ketersediaan air karena intersect menggabungkan tiap parameter dengan memotongnya sesuai batas wilayah yang terkecil, ini memungkinkan seluruh wilayah kajian tercover oleh proses. Sedangkan

dissolve digunakan untuk menyederhanakan/menggeneralisasi hasil

intersect yang masih terdapat poligon-poligon kecil dianggap tidak

mempengaruhi secara signifikan terhadap hasil yang diperoleh. Kelemahan proses overlay adalah hanya memberikan visualisasi data menurut hasil penggabungan tiap parameter, hasil ini dapat dikatakan akurat apabila dilakukan kembali pengecekan lapangan.

(64)

51

4.4 Diagram Alur

Gambar 4.14 Diagram Alur Pembuatan Peta Potensi Ketersediaan Air Data Curah Citra Landsat 8 Juni

Gambar

Gambar 2.1 Perbandingan band landsat ETM dan 8
Tabel 3.1 Pemanfaat lahan di sekitar DAS Blongkeng
Tabel 3.3 Jumlah penduduk menurut mata pencaharian
Gambar 4.1 Cara Pemilihan Komposit Citra
+7

Referensi

Dokumen terkait

Overlay dilakukan pada peta curah hujan, kemiringan lereng, peta infiltrasi tanah dan peta penggunaan lahan yang merupakan parameter kerentanan banjir yang digunakan

Parameter yang mempengaruhi metode tersebut yaitu Daerah Tangkapan Air berdasarkan pada data DEM hasil interpolasi data Lidar, nilai koefisien aliran, dan nilai intensitas hujan

Interpretasi visual citra dibantu dengan peta geologi dan peta lereng derivasi dari DEM, diperoleh bentuklahan di daerah ini merupakan hasil proses denudasional

Berdasarkan pengolahan data kerapatan vegetasi, anomali curah hujan dan faktor bencana, secara umum Kabupaten Purworejo wilayahnya berada pada kondisi cukup tahan

Sebagian wilayah kecamatan Kupang Timur merupakan wilayah yang rawan (20,62 %) dan sangat rawan (28,68 %) terhadap banjir karena memiliki curah hujan yang tinggi dan

Berdasarkan hasil overlay dengan perkalian antar parameter yaitu peta kemiringan lereng, curah hujan, tutupan lahan, dan jenis tanah, maka diperoleh klasifikasi

Sebagai contoh, analisis keberlanjutan sumberdaya air berbasis data beberapa satelit dengan variabel curah hujan dari TRMM, serta NDVI, suhu permukaan, dan penutup lahan dari

Gambar 4.4 Peta rawan longsor kabupaten TTU Umumnya longsor terjadi pada daerah yang memiliki intensitas curah hujan tinggi, kemiringan lereng tinggi dan tutupan lahan berupa tanah