• Tidak ada hasil yang ditemukan

PARADIGMA DAKWAH GAFATAR DI DUNIA MAYA DALAM PERSPEKTIF SHIFTING PARADIGM

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "PARADIGMA DAKWAH GAFATAR DI DUNIA MAYA DALAM PERSPEKTIF SHIFTING PARADIGM"

Copied!
14
0
0

Teks penuh

(1)

Abstract: Gafatar Propagation Paradigm in the Cyber World in the Perspective of Shifting Paradigm. This study discusses the Gafatar propagation in the perspective of shifting paradigm. With this perspective, the paradigm of Gafatar propagation can be measured and understood in the framework of the Philosophic Science. In practice, this study uses qualitative research methods and inductive empirical analysis. Conclusions achieved are: First, Gafatar has

changed its ideological movement that is normaly scientifically is not much different from the earlier “pack” named

Millah Abraham and al-Qiyadah al-Islamiyah. Second, Gafatar becomes an audience propagation appeal in social activities . Third, Ahmad Mushaddeq poses a scientist who has created doctrinal teachings in normal science that experiences anomalies in the form of resistance from various organizations and government leading to the revolution movement (paradigm shift) from normal science to be a new paradigm in the form of social activity.

Keywords: Gafatar; Propagation paradigm; A Paradigm Shift.

Abstrak: Paradigma Dakwah Gafatar di Dunia Maya dalam Perspektif Shifting Paradigm. Tulisan ini membahas tentang dakwah Gafatar dalam perspektif shifting paradigm. Dengan perspektif ini, maka paradigma dakwah Gafatar dapat diukur dan dipahami dalam kerangka berpikir Filsafat Ilmu. Dalam pelaksanaannya, kajian ini menggunakan metode penelitian kualitatif dan analisis empirik induktif. Simpulan yang berhasil dicapai adalah:

Pertama, Gafatar telah merubah ideologi gerakannya yang secara normal science tidak jauh berbeda dengan

“bungkus” awal yang bernama Millah Abraham maupun Al-Qiyadah Al-Islamiyah. Kedua, Gafatar menjadi daya tarik dan pemikat audien dakwah dengan melakukan kegiatan sosial kemasyarakatan yang berlanjut pada ajakan untuk bergabung dalam kegiatan-kegiatan sosial lanjutan. Ketiga, Ahmad Mushaddeq menempati posisi seorang ilmuan yang telah melahirkan ajaran doktrinal dalam kubangan normal science-nya yang mengalami anomali-anomali berupa perlawanan dari berbagai ormas maupun pemerintah sehingga melahirkan revolusi gerakan (pergeseran paradigma) dari normal scince menjadi paradigma baru berupa kegiatan sosial kemasyarakatan.

Kata Kunci: Gafatar; Paradigma Dakwah; Pergeseran Paradigma.

PARADIGMA DAKWAH GAFATAR DI DUNIA MAYA

DALAM PERSPEKTIF SHIFTING PARADIGM

Fatmawati & Vicky Diania

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

Jl. Ir. H. Juanda No.95, Ciputat Jakarta 15412 Indonesia E-mail: fatmaw35@mail.com

Pendahuluan

Dakwah bukanlah kegiatan mimbar untuk mendoktrin dengan ajaran Islam, melainkan suatu gerakan transformasi Islam ke dalam realitas sosial.1 Oleh karena itu, paradigma dakwah

lebih memposisikan masyarakat sebagai subjek, sementara da’i sebatas “fasilitator” perubahan. Watak paradigma ini antara lain: Pertama, memberi ruang kebebasan kepada masyarakat untuk mengubah keadaan dirinya. Pada paradigma ini, dibangun kesadaran bahwa sesungguhnya semua anggota masyarakat adalah da’i bagi dirinya sendiri,

1 Ahmad Sarbini, “Paradigma Baru Pemikiran Dakwah

Islam,” Jurnal Ilmu Dakwah (Vol. 4 No. 15 Januari-Juni 2010), h. 881.

yang tak mungkin terjadi perubahan berarti bila ia tidak mau mengubah apa yang ada pada dirinya. Kedua, gerakan dakwah diorientasikan sebagai sebuah sarana dialog untuk membangkitkan potensi masyarakat sebagai makhluk kreatif sehingga terbangun kesadaran bahwa mereka diciptakan Allah untuk berkemampuan mengelola diri dan lingkungannya dengan kekuatan intelegensi, kreativitas, dan imajinasi-nya sendiri.

(2)

konseptual, yang memberikan kesempatan kepada umatnya untuk menyatakan pandangannya, merencanakan dan mengevaluasi perubahan sosial yang mereka kehendaki, serta secara bersama-sama menikmati hasil proses dakwah. Selain itu, paradigma baru pemikiran dakwah Islam lebih melihat dakwah sebagai sebuah kebutuhan yang bersifat universal. Karenanya ia harus senantiasa berjalan sesuai dengan perkembangan zaman dan kebudayaan yang mengikutinya. Hal ini dilakukan karena aktivitas dakwah dimana pun akan selalu bersentuhan dengan realitas masyarakat dan budayanya, sekaligus bersentuhan dengan beragam problem yang terdapat di dalamnya.2

Alih-alih menerapkan paradigma dakwah pula, maka komunitas Gerakan Fajar Nusantara (Gafatar) yang ramai diperbincangkan telah melakukan pergerakan dakwah dari hari ke hari dengan berbagai paradigma dan strategi dakwahnya. Dengan semboyan untuk memberikan pencerahan terhadap sang mad’u, namun kenyataan yang dialami oleh sang mad’u memberikan gambaran yang berbeda. Mereka menjadi anggota, disadari maupun tidak dari komunitas gerakan tersebut dengan meninggalkan seluruh atribut yang sudah dimilikinya, baik pekerjaan, harta kekayaan, kekeluargaan dan kerabat, hingga status pernikahannya.

Dalam melakukan gerakannya, Gafatar berangkat dari sebuah paradigma dakwah bi al­hal, bukan hanya sekedar retorika semata. Organisasi Gafatar ini lebih banyak bergerak di bidang sosial. Misalnya donor darah, bercocok tanam, beternak ayam, perbaikan jalan, pembangunan masjid, dan bakti sosial lainnya.3 Oleh sebab itu, paradigma

dakwah yang diterapkan oleh Gafatar ini sudah mengalami pergeseran secara revolusioner dari sekedar normatif ideologis menjadi gerakan dakwah bi al­hal atau bersifat sosial kemasyarakatan. Tentunya, tujuan dari dakwah ini berdasarkan hipotesa awal adalah untuk menarik simpati masyarakat menjadi anggota (jama’ah)-nya.

2 Ahmad Sarbini, “Paradigma Baru Pemikiran..., h. 885,

lebih jelasnya lihat A. Ahmad (Ed.), Dakwah Islam dan Perubahan Sosial, (Yogyakarta: PLP2M, 1985), h. 2.

3 Contoh nyata kegiatan Gafatar dapat dilihat pada Gafatar

Depok sebagai salah satu bagian dari Gafatar Indonesia, telah melakukan berbagai kegiatan sosial kemasyarakatan bersama anggotanya, untuk menarik simpari masyarakat. Lihat http:// inspirasifajardepok.blogspot.co.id, diakses tanggal 25 Juni 2016.

Terlepas dari ideologisasi ajaran Gafatar dan prinsip dakwah yang diajarkan4 serta munculnya

fatwa sesat dan menyesatkan, baik dari MUI, NU dan Muhammadiyah.5Gerakan dakwah yang sudah

terbentuk ini menarik untuk dicermati dan ditelaah lebih mendalam, mengingat sebagai sebuah gerakan baru, ternyata dapat menarik simpati masyarakat yang secara kuantitatif, jumlah keanggotaannya di beberapa wilayah cukup banyak. Hal ini sangat berbeda jauh ketiga organisasi ini belum merubah nama, pola gerakan, terutama paradigma dakwahnya beberapa tahun sebelumnya.

Berdasarkan paparan di atas, maka per-tanyaan lanjutan yang menarik untuk diteliti adalah bagaimana paradigma dakwah Gafatar ini bisa dimaknai dan dipahami dalam perspektif shifting paradigm sehingga melahirkan sebuah revolusi gerakan yang berpuncak pada pilihan masyakarat untuk turut serta menjadi anggotanya, kendati tidak menutup kemungkinan terdapat “ajaran yang salah” dan perlu disikapi secara arif. Oleh sebab itu, maka penelitian tentang pergeseran paradigma dakwah Gafatar ini menarik untuk dilakukan dan menemukan relevansinya.

Me tode Penelitian

Jenis penelitian ini lebih tepat dikategorikan sebagai penelitian literatur dan termasuk dalam lingkup penelitian kualitatif untuk memahami pergeseran paradigma dakwah Gafatar di dunia maya sebagai sebuah fenomena yang dialami oleh

4 Tentang ajaran dan strategi dakwah Gafatar, dapat

dilihat dalam 6 Ajaran Gafatar Menurut Buku “Memahami dan Menyikapi TradisiTuhan,” dalam http://nasional.rimanews. com, diakses tanggal 25 Juni 2016.

5 Fatwa seputar Gafatar bermunculan di dunia maya dan

(3)

obyek penelitian secara holistik dan dengan cara deskripsi.6 Oleh sebab itu, maka dalam penelitian

ini, pendekatan kualitatif lebih tepat digunakan untuk mengetahui pergeseran paradigma dakwah Gafatar tersebut.

Dengan persoalan yang akan diteliti maka sumber data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data primer dan data sekunder. Data primer adalah data yang diperoleh secara langsung yang berkaitan langsung dengan Gafatar, maupun pandangan komunitas Gafatar itu sendiri yang dipaparkan melalui referensi lain yang tersebar. Sedangkan data sekunder adalah data yang mendukung data primer yang memiliki keterkaitan dengan permasalahan yang dihadapi. Proses pengumpulan data yang akan dipakai dalam penelitian ini adalah studi dokumen, web dan referensi yang dipandang perlu untuk dijadikan rujukan dan bahan kajian.

Tehnik analisa data dilakukan secara induktif dan dengan model interaktif melalui tiga tahap, yaitu: data yang terkumpul direduksi sedemikian rupa; setelah itu disajikan dalam suatu paparan yang sistematis; dan kemudian disimpulkan.7

Selanjutnya kesimpulan itu dikembalikan lagi pada pengumpulan data apabila masih memerlukan data tambahan. Oleh karena itu, maka proses analisis seperti itu disebut analisis bolak-balik. Walaupun penelitian ini dipusatkan pada tujuan dan pertanyaan yang telah dirumuskan, namun sifatnya tetap lentur dan spekulatif karena segalanya ditentukan oleh keadaan sebenarnya di lapangan. Dengan demikian, cara analisisnya menggunakan pola pemikiran kualitatif yaitu yang bersifat empiris induktif. Setelah dakwah Gafatar di dunia maya terkumpul, maka langkah selanjutnya adalah mengolah data tersebut. Data yang peneliti peroleh lewat sumber primer, sekunder, maupun pendukung sebagaimana yang disebutkan di atas diolah secara kritis dan mendalam untuk dapat mengetahui bagaimana sebenarnya paradigma dakwah Gafatar di dunia maya apabila dilihat dengan pendekatan shifting paradigm.

6 Nurul Zuriyah, Metode Penelitian Sosial dan Pendidikan,

Teori Aplikasi, (Jakarta: PT Bumi Aksara, 2006), h. 92.

7 MB Miles dan Haberman, Analisis Data Kualitatif,

(Jakarta: UI Press, 1972), h. 21.

Shifting Paradigm dalam Filsafat Ilmu

Penelitian tentang “Paradigma Dakwah Gafatar di Dunia Maya dalam Perspektif Shifting Paradigm” ini sebenarnya menggunakan pen dekatan filsafat ilmu yang secara teoritis telah dilakukan oleh Thomas Kuhn tentang shifting paradigm­nya.8 Dalam hal ini,

paradigma dapat dipahami sebagai keseluruhan konstelasi ke percayaan, nilai dan teknik yang dimiliki suatu komunitas ilmiah dalam memandang sesuatu (fenomena). Paradigma membantu merumuskan tentang apa yang harus dipelajari, persoalan apa yang harus dijawab dan aturan apa yang harus diikuti dalam menginterpretasikan jawaban yang diperoleh.

Sedangkan pergeseran paradigma adalah ketika perubahan yang signifikan terjadi biasanya dari satu tampilan mendasar untuk pandangan yang berbeda. Dalam kebanyakan kasus, beberapa jenis diskontinuitas besar terjadi juga. Dalam istilah awam, pergeseran paradigma adalah pergeseran atau transformasi dari cara seseorang memandang manusia, peristiwa, orang, lingkungan, dan kehidupan lainnya. Hal ini bisa berupa pergeseran lokal, nasional, maupun internasional, dan bisa memiliki efek yang dramatis baik positif atau negatif.

Dalam melihat pergeseran paradigma ini, Thomas Kuhn memiliki tiga tahapan teoritis.9

Pertama, normal science yang pahami oleh Kuhn sebagai paradigma ilmu yang membimbing dan mengarahkan aktifitas ilmiah dalam masa normal tanpa ada sikap kritis dan terdapat fenomena yang tidak dapat diterangkan dengan paradigma yang digunakan dan ini disebut sebagai anomali. Kedua, menumpuknya anomali dapat menimbulkan krisis kepercayaan dari para ilmuan terhadap paradigma. Paradigma mulai diperiksa dan dipertanyakan. Para ilmuan mulai keluar dari jalur ilmu normal. Ketiga, para ilmuan bisa kembali lagi pada cara-cara ilmiah yang lama sembari memperluas dan mengembangkan suatu paradigma tandingan yang dipandang bisa memecahkan masalah dan membimbing aktivitas ilmiah berikutnya. Proses peralihan dari paradigma lama ke paradigma baru

8 FX Joko Priyono, “Resensi Buku Archie J. Bahm

Analisis tentang What is Science,” Makalah tidak Diterbitkan, (Semarang: UNDIP, 2000), h. 3.

9 Muhammad Muslih, Filsafat Ilmu: Kajian atas Asumsi

Dasar Paradigma dan Kerangka Teori Ilmu Pengetahuan,

(4)

inilah yang dinamakan revolusi ilmiah.

Dalam hal ini, Kuhn berpendapat bahwa kemajuan ilmu itu pertama-tama bersifat revolusioner dan tidak bersifat evolusioner atau komulatif. Kesemuanya itu dimulai dengan adanya “paradigma”. Menurutnya ilmu yang sudah matang, dikuasai oleh suatu paradigma tunggal. Paradigma ini berfungsi sebagai pembimbing kegiatan ilmiah dalam masa ilmu normal yang mana ilmuwan berkesempatan menjabarkan dan mengembangkan paradigma secara rinci dan mendalam karena tidak sibuk dengan hal-hal yang mendasar. Paradigma diterima oleh suatu kelompok masyarakat ilmiah jika paradigma itu mewakili karya yang telah dilakukannya. Dalam hal ini, paradigma memperoleh status karena: (a) berhasil memecahkan masalah-masalah dalam praktek; (b) memperluas pengetahuan tentang fakta-fakta yang oleh paradigma diperlihatkan sebagai pembuka pikiran; (c) menaikkan tingkat kecocokan antara fakta dengan perkiraan paradigma itu sendiri; (d) dengan artikulasi lebih lanjut tentang paradigma itu sendiri. Sementara itu, manfaat paradigma adalah: (a) lebih fokus daripada dalil dan kaidah-kaidah; (b) memberi contoh langsung maupun dalil-dalil; (c) bisa menemukan kaidah-kaidah sebagaimana sains yang normal.10

Jika paradigma baru itu diterima oleh komunitas ilmiah, maka hal itu berarti bahwa paradigma terdahulu ditolak atau ditinggalkan. Paradigma yang baru akan diterima sebagai pengganti yang lama, jika paradigma baru itu mampu memberikan penyelesaian terhadap anomali yang ditemukan dan tidak terselesaikan dalam kerangka paradigma lama, memiliki lebih banyak prefisi kuantitatif dan dapat meramalkan fenomena baru, memiliki kualitas estetika tertentu atau didukung oleh sejumlah anggota komunitas yang berpengaruh. Diterimanya paradigma baru berarti terbentuk ilmu normal baru yang akan berkembang sampai terjadi lagi revolusi ilmiah. Demikianlah bahwa dalam dinamika kegiatan ilmiah, para ilmuwan dapat menyadari adanya peningkatan anomali yang penyelesaiannya menyimpang dari paradigma yang berlaku.11

10 Winahyu Erwiningsih, “Perkembangan Sains: Suatu

Telaah Atas Pendekatan Paradigma Baru Thomas S. Kuhn,”

Jurnal Ilmu Hukum , (Vol. 10, No. 1, Maret 2007), h. 80.

11 Winahyu Erwiningsih, “Perkembangan Sains: Suatu..., h. 81.

Perubahan paradigma itu menimbulkan berbagai perubahan dalam kegiatan ilmiah. Hal itu akan menimbulkan redefinisi ilmu yang bersangkutan. Beberapa masalah dinyatakan sebagai masalah yang termasuk dalam disiplin lain atau dinyatakan bukan masalah ilmiah lagi. Dengan demikian, yang sebelumnya dianggap bukan masalah atau hanya masalah kecil, kini menjadi masalah pokok. Standar dan kriteria untuk menentukan keabsahan masalah dan keabsahan solusi masalah dengan sendirinya juga berubah. Secara umum dapat dikatakan bahwa perubahan paradigma itu membawa transformasi dalam “the scientific imagination” dan dengan itu juga terjadi “transformation of the world”.12

Berdasarkan kenyataan itulah, maka per-tanyaan dalam penelitian ini akan dijawab dengan menggunakan teori tersebut, sehingga paradigma dakwah Gafatar yang awalnya bersifat sederhana dan normatif tidak bisa diterima begitu saja oleh masyarakat. Ketika dakwah ini tidak banyak memberikan kenyataan yang diharapkan sehingga menjadi sebuah anomali dan menjadi krisis kepercayaan pada komunitas Gafatar, maka memunculkan paradigma tandingan dengan melakukan kegiatan bakti sosial langkah-langkah nyata lainnya, sehingga menjadi aktifitas baru yang berbeda dengan sebelumnya. Oleh sebab itu, maka teori ini sangat tepat digunakan dalam penelitian ini.

Dakwah Normatif Gafatar

Sebagai sebuah gerakan baru, dapat diketahui bahwa kelahiran Gafatar dimulai dari pecahnya pemahaman antara Ahmad Mussadek dan Panji Gumilang, yang keduanya adalah anggota NII (Negara Islam Indonesia). Setelah pecah kongsi itu, lalu Panji Gumilang mendirikan ormas baru bernama NIM. Sementara itu, Mussadek mendirikan Al-Qiyadah Al-Islamiyah, setelah itu diganti lagi menjadi menjadi Komunitas Millah Abraham (Komar). Namun Komar ini tidak bertahan lama. Apalagi, setelah Majelis Ulama Indonesia mengeluarkan fatwa bahwa ormas ini sesat. Diperkuat lagi dengan putusan pidana empat tahun terhadap pimpinannya, Ahmad Mussadek pada 2009 lalu. Selanjutnya untuk menghilangkan jejak, akhirnya ganti kulit

(5)

menjadi ormas Gafatar yang dipimpin Mahful Muis Manurung, dengan meng-cover kegiatannya yang bersifat sosial.13

Sebagai sebuah gerakan baru, Gafatar me-nawarkan ajaran sosial keagamaan yang berbeda dengan ajaran mu’tabar Ahlussunnah wal Jama´ah. Beberapa ajaran peribadatan yang berhasil di-rekam oleh Kemendagri di antaranya adalah pembacaan syahadat dengan melafalkan kalimat: Ashadu allâ illâha illa Allah, wa asyhadu anna al­ Masih al­Maw’ud Rasulullah (saya bersaksi bahwa tiada Tuhan selain Allah dan saya bersaksi bahwa al­Masih al­Maw’ud adalah Rasullulah. Sedangkan rukun Islam lainnya, seperti salat, zakat, puasa, dan berhaji tidak diwajibkan. Kendati demikian, setiap orang di luar anggota al-Qiyadah, Millah Abraham dan Gafatar dinyatakan masih musyrik karena tidak mengakui al­Masih al­Maw’ud.14

Syahadat yang menjadi persaksian anggota Gafatar di atas mengindikasikan secara nyata adanya nabi setelah Nabi Muhammad Saw. Nabi yang dimaksud dalam syahadat tersebut adalah al­Masih al­Maw’ud dengan nama asli Ahmad Mushaddiq pendiri Al-Qiyadah Al-Islamiyah, Millah Abraham dan Gerakan Fajar Nusantara. Pernyataan Mushaddiq sebagai al­Masih al­Maw’ud, Nabi akhir zaman ini berdasarkan visi Tuhan yang diperolehnya setelah melakukan semedi dan bermimpi di Gunung Putri Bogor Jawa Barat. Visi Tuhan dimaksud adalah titah kenabian (nubuwwah) dan sebagai kabar gembira (mubashirat) dari Allah.15

Setelah menjadi anggota Gafatar, maka mereka diminta untuk berjanji secara normatif dengan lafadz: “Atas nama Tuhan Yang Maha Esa dengan ini saya berjanji: Saya menyatakan iman kepada Tuhan Yang Maha Esa, dan siap menjadi anggota atas dasar kesadaran dan penuh tanggung jawab, serta tidak akan berkhianat kepada Gerakan Fajar Nusantara. Saya tidak akan mencuri, tidak akan berzina, tidak akan membunuh, tidak akan berdusta, dan sanggup berbudi pekerti luhur serta akan

13 Inilah Perjalanan SejarahTerbentuknya Gafatar, dalam

http://m.news.viva.co.id, diakses tanggal 12 Mei 2016.

14 Sejarah Lahirnya Gafatar: Dari Mushadeq Ke Mushadeq

Lagi, dalam https://m.tempo.co, diakses tanggal 12 Mei 2016.

15 Bahasan menarik tentang mimpi dengan membawa Visi

Tuhan dalam perspektif Tasawuf dapat ditelaah lebih lanjut dalam Lalu Agus Satriawan, Analisa Sufistik Mimpi Nubuwwah Dalam Proses Kenabian,” Teosofi: Jurnal Tasawuf dan Pemikiran

Islam (Volume 1 Nomor 1 Juni 2011), h. 19-35.

berbuat baik terhadap sesama manusia. Saya siap menerima pembinaan, dan sanggup mengemban Visi Misi Gerakan Fajar Nusantara, serta akan mentaati segala aturan sesuai dengan petunjuk dan bimbingan organisasi, untuk menegakkan nilai-nilai kebenaran sejati di bumi Nusantara. Semoga Tuhan Yang Maha Esa menerima janji yang saya nyatakan ini, dan membimbing saya menjadi manusia berkat bagi seluruh alam.”16

Menurut serambi mata.com, Janji resmi anggota Gafatar yang diwajibkan cukup dengan mengucapkan tiga butir janji. Janji tersebut bersifat mengikat. Dalam blog lainnya juga terungkap, para anggota harus merelakan harta dan jiwanya untuk perjuangan organisasi ini. Bahkan disebutkan bahwa “Kini, bangsa Indonesia telah sampai pada pintu gerbang kemerdekaan, tinggal selangkah lagi menuju kemerdekaan sejati. Gafatar hadir untuk meneruskan perjuangan para pendahulu bangsa dan menggenapi apa yang diramalkan/dinubuahkan para leluhur untuk membangkitkan kembali kejayaan bangsa Nusantara, menjadikan bangsa Nusantara ini menjadi bangsa yang damai sejahtera.”17

Setelah anggota Gafatar menyatakan janji nya secara normatif, maka mereka harus siap menerima pembinaan dan penyatuan yang disebut dengan “Negara Kesatuan Tuan Semesta Alam.” Dalam hal ini, semangat yang dibangun adalah mendirikan negara khilafah dengan enam fase. Pertama, sirrun, yaitu gerakan rahasia, berdakwah rahasia, dan merekrut anggota secara rahasia. Kedua, jahrun, yaitu berdakwah secara terang-terangan, mengaji secara terang-terangan, merekrut anggota secara terang-terangan. Ketiga, hijrah, yaitu representasi dari sejarah perpindahan Nabi Muhammad Saw dari Kota Makkah ke Madinah untuk berdirinya Ibu kota Negara yang disebut Ummul Qura. Keempat, qital, yaitu perang terbuka dengan orang kafir demi kemenangan agama Islam. Kelima, futuh, yaitu menang dari peperangan melawan orang kafir. Keenam, khilafah, yaitu membentuk pemerintahan negara Islam dengan memberlakukan hukum Islam.18

16 Inilah Isi Janji Anggota Gafatar dalam http://gafatarian.

blogspot.co.id, diakses tanggal 1 Mei 2016.

17 Mengungkap Sepak Terjang dan Ajaran Kelompok

Terlarang Gafatar, dalam https://serambimata.com, diakses tanggal 12 Mei 2016.

18 Gafatar dan Penyimpangan Beragama, dalam http://

(6)

Sikap keagamaan yang dimunculkan oleh gerakan semacam al-Qiyadah, Millah Abraham maupun Gafatar ini mengindikasikan sebuah pemahaman ekstrim yang berbeda dengan pemahaman keagamaan pada umumnya. Sikap ini ditambah dengan eksklusifisme beragama dan keyakinan tentang khilafah berdasarkan perspektif mereka. Fenomena inipun membuktikan Gafatar sebagai gerakan radikal dalam beragama yang memiliki ciri yang sangat mencolok menurut para antropolog.19 Pertama, gerakan radikal

keagamaan seringkali dibarengi oleh gerakan ratu adil (millenarian movement). Gerakan ini seringkali diilhami oleh faktor budaya dan agama yang terdesak oleh kekuatan lain, kolonialisme maupun introduksi dari budaya asing. Dalam kasus Gafatar, kehadiran Ahmad Mushaddeq sebagai pendiri dan pencetus utama gerakan ini menjadikan dirinya sebagai sosok al-Masih, nabi setelah Nabi Muhammad. Bahkan Mushaddeq diyakini oleh pengikutnya dapat memberikan keselamatan dan kesejahteraan bagi bangsa Indonesia.

Kedua, gerakan radikal memakai simbol-simbol perlawanan dengan memakai budaya maupun ritus keagamaan yang khas yang sangat berbeda dengan mainstream masyarakat. Pada gejala kedua ini terlihat misalnya, dengan cara berpakaian yang khas maupun ritual keagamaan mereka yang khas pula. Dengan demikian, gerakan radikal dalam pandangan antropologi dipandang sebagai kebangkitan (revivalism) untuk membangkitkan kembali dari keterpurukan budaya. Pada sisi yang lain, gerakan radikal merupakan perlawanan (struggle) sekaligus penolakan (rejection) terhadap budaya maupun kekuatan asing. Dalam kasus Gafatar ini, maka fenomena keagaman dapat dilihat dari persaksian awal, pengucapan salam, dan ritual peribadatan lainnya yang berbeda dari Islam mainstream. Berbagai ritual keagamaan yang longgar dan memberi keleluasaan bagi pengikutnya, bahkan dengan mengkompilasikan ajaran tiga agama (Islam, Kristen dan Yahudi) menjadi jalan tengah bagi manusia yang penuh dengan keraguan dan mencari kemudahan semu.

Sebagai sebuah gerakan yang berbeda dari Islam mainstream, maka gerakan ini melakukan

19 Jamjari dan Jajang Jahroni, Gerakan Salafi Radikal di Indonesia, (Jakarta: Rajawali Press, 2004), h. 36-37.

dakwahnya pada fase sirrun, yaitu gerakan rahasia, berdakwah rahasia, dan merekrut anggota secara rahasia dan mencapai momentumnya dengan melakukan deklarasi/baiat. Dakwah sirrun ini, telah dilakukan oleh komunitas dengan kulit awal sejak kelahiran Al-Qiyadah Al-Islamiyah dan merubah namanya menjadi Millah Abraham. Proses baiat, transfer keilmuan dan doktrin keagamaannya dilakukan dalam komunitas terbatas. Hanya saja, dengan dakwah sirrun ini, tidak banyak pengikut yang bisa direkrut untuk menjadi anggotanya. Hal ini dimungkinkan rekrutmen yang bersifat kerja sel/door­to­door/self­to­self dan cenderung normatif, hanya terfokus pada doktrin dan ajaran keagamaannya saja.

Dakwah yang dilakukan Gafatar pada masa itu, tidak jauh berbeda dengan model dakwah Jamaah Tabligh dengan model dakwah infiradi -nya. Dengan model ini, maka komunikasi dakwah antar pribadi dibangun dengan penyampaian pesan moral antara seorang mubaligh (subjek dakwah) dengan seorang muballagh (objek dakwah). Model ini dilakukan ketika bertemu dengan seseorang, baik di rumah, di jalan, di masjid, ataupun di mana saja. Oleh karena itu, model dakwah ini bersifat rileks, santai, dan tidak formal karena sifatnya non formal, maka komunikasinya berjalan apa adanya, tidak didesain secara terstruktur, tetapi pesan dakwah yang disampaikan oleh muballigh relatif sama dengan bentuk dakwah yang lain, yaitu sekitar masalah-masalah akidah, ibadah, akhlak, dan mengajak tabligh atau berdakwah keluar.20

Selanjutnya, dalam melaksanakan dakwah infiradi ini seorang mubaligh tidak disyaratkan harus memiliki pendidikan khusus atau pelatihan tertentu, misalnya seorang sarjana atau ustadz lulusan pesantren. Siapapun bisa menjadi mubaligh, yang penting dia memiliki kesiapan mental, niat yang ikhlas, memiliki iman yang kuat, memiliki ilmu yang cukup, berani, mampu menahan malu, dan menjaga akhlak al­karimah. Artinya, seorang kader dalam kelompok Jamaah Tabligh diharuskan melakukan kerja dakwah sesuai dengan kemampuan masing-masing.21

20 Ujang Saefullah, “Dakwah Jama’ah Tabligh” dalam

Kajian Dakwah Multiperspektif: Teori, Metodologi, Problem, dan Aplikasi, (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2014), h. 156.

(7)

Di sini, makna hijrah pada dasarnya mencakup tiga aspek. Pertama, segala sesuatu yang harus dihindarkan. Kedua, segala sesuatu yang harus ditegakkan. Ketiga, segala sesuatu yang harus dijalankan secara konsisten dan tidak ke luar dari batas-batas yang telah ditentukan. Secara operasional hijrah dapat dirumuskan sebagai upaya meninggalkan segala kesulitan menuju berbagai kemudahan serta tidak ke luar dari ketentuan yang telah ditetapkan oleh syari‘at, baik secara lahiriah mapun batiniah. Atau dengan kata lain bahwa hijrah adalah suatu usaha yang dilakukan oleh seseorang dalam menjauhkan diri dari berbagai bentuk penyimpangan menuju tata aturan secara benar dan konsisten. Di sisi lain, hijrah dalam perspektif historis dapat dimaknai sebagai tindakan pragmatis monumentalis yang di dalamnya juga mencakup nilai-nilai normatif. Karena itu, kajian hijrah tidak cukup hanya dilihat pada dimensi historis romantis monumentalis saja, melainkan harus terisi dengan nilai-nilai normatif yang bersumber pada Alquran maupun Hadis.22

Berbeda dengan Jamaah Tabligh ketika pertama kali datang ke Indonesia sekitar tahun 1952, mereka telah menamakan dirinya sebagai jamaah khuruj, yakni jamaah yang pergi keluar untuk berdakwah, melatih memperbaiki diri dan mengajak kaum muslim untuk melaksanakan ajaran-ajaran Islam dengan mencontoh perilaku Nabi dan para sahabatnya. Pada perkembangan berikutnya. Pada tahap selanjutnya, konsep khuruj ini menjadi ciri khas aktivitas Jamaah Tabligh dimana setiap anggotanya diharuskan untuk menyisihkan sebagian waktunya untuk melakukan kegiatan dakwah ke luar dari tempat tinggalnya sendiri. Lama khuruj bagi setiap anggota ini sekurang-kurangnya 3 hari dalam 1 bulan, 40 hari dalam setahun, atau 4 bulan seumur hidup.23

Menyikapi dua gerakan dakwah ini, maka perbedaan yang sangat fundamental antara dakwah infiradi Jamaah Tabligh dengan dakwah Gafatar ini lebih kepada legalitas ajaran atau pesan dakwah

22 Lihat Aswadi, “Refomulasi Epistemologi Hijrah Dalam

Dakwah,” dalam Islamica: Jurnal Studi Keislaman (Vol. 5, No. 2, Maret 2011), h. 341.

23 Lebih jelasnya lihat Abdul Aziz, “The Jamaah Tabligh

Movement in Indonesia: Peaceful Fundamentalist,” Studia Islamika: Indonesian Journal for Islamic Studies, (Vol. 11, No. 3, 2004), h. 468.

yang disampaikan kepada audien, dimana masalah akidah dan ibadah memiliki perbedaan yang sangat mencolok. Gafatar mengakui al­Masih al­Maw’ud sebagai nabinya, dan membolehkan jamaahnya untuk tidak melaksanakan shalat yang lima waktu. Berbeda dengan Jamaah Tabligh yang masih mengakui Nabi Muhammad Saw sebagai Nabi dan pembawa syariatnya dengan tetap melaksanakan shalat lima waktu yang telah diperintahkannya. Sedangkan persamaan dari keduanya terletak pada pesan doktrinal untuk melakukan tabligh atau mengajak keluar (hijrah) para anggota jamaahnya dengan memahami makna hijrah Nabi Muhammad Saw dari Makkah ke Madinah sebagai salah satu bagian terpenting dari dakwah kedua gerakan ini.

Pergeseran Paradigma Dakwah Gafatar

Berdasarkan paparan di atas, maka dakwah Al-Qiyadah Al-Islamiyah dan Millah Abraham masih dalam porsi normatif, melakukan dakwah berdasarkan ontologi ajaran yang menjadi normal science­nya—menurut Kuhn. Dalam hal ini, ideologi gerakan menjadi materi utama sebagai “barang yang dipasarkan.” Dakwah normatif semacam ini hanya bisa menarik minat masyarakat dalam skala terbatas untuk menjadi anggota jamaahnya. Dakwah Gafatar dengan menyuguhkan ajaran Abrahamisme atau penyatuan agama-agama dalam keyakinannya menjadikan gerakan ini diminati oleh bukan hanya umat Islam, tetapi juga dari umat kristiani. Hanya saja, pengikut ajaran ini sangat terbatas.

(8)

komunitas Lia Eden ini dikenal dengan sebutan Sekte Kerajaan Tuhan24 dengan berbagai ajaran

agama yang ada di dalamnya.

Penyatuan ajaran yang kurang relevan bagi masyarakat Indonesia, ditambah lagi dengan hadirnya MUI dan ormas lain bersama fatwa sesatnya menjadikan gerakan ini mengalami anomali-anomali sehingga harus melakukan manuver agar tetap bisa berada di tengah-tengah masyarakat. Di samping melakukan perubahan nama dan bentuk gerakan, Gafatar juga melakukan perubahan pola dakwah dan rekrutmen anggotanya.

Anomali terhadap gerakan ini berupa fatwa MUI tentang aliran Al-Qiyadah Al-Islamiyah ini memutuskan dan menetapkan bahwa: Pertama, aliran Al-Qiyadah Al-Islamiyah yang mengajarkan ajaran, antara lain: (1) adanya syahadat baru, yang berbunyi: “Asyhadu alla ilaha illa Allah wa asyhadu anna Masih al­Maw’ud Rasul Allah”, (2) adanya nabi atau rasul baru sesudah Nabi Muhammad Saw., (3) belum mewajibkan salat, puasa dan haji, yang bertentangan dengan ajaran Islam. Kedua, ajaran Al-Qiyadah Al-Islamiyah tersebut sesat dan menyesatkan serta berada di luar Islam, dan orang yang mengikuti ajarannya keluar dari Islam (murtad). Ketiga, bagi mereka yang terlanjur mengikuti ajaran Al-Qiyadah Al-Islamiyah supaya bertobat dan segera kembali kepada ajaran Islam (al­ruju’ ila al­haq). Ajaran aliran Qiyadah Al-Islamiyah telah terbukti menodai dan mencemari agama Islam karena mengajarkan ajaran yang menyimpang dengan mengatasnamakan Islam.25

Syahadat dari Al-Qiyadah Al-Islamiyah tidak jauh berbeda dengan Ahmadiyah. Kedua aliran ini sama-sama mengajarkan syahadat yang baru dan meyakini adanya nabi/rasul setelah Muhammad Saw. Keyakinan aliran Ahmadiyah ini bersumber dari klaim Mirza Ghulam Ahmad sendiri yang mengklaim diri sebagai Mahdi Ma’hud dan Masih al-Maw‘ud serta sebagai nabi/rasul. Demikian pula dengan aliran Al-Qiyadah Al-Islamiyah, meski ada perbedaan sedikit. Ahmad Moshaddeq, pendiri

24 Bahasan tentang sesatnya Lia Eden dapat dilihat dalam

Umi Sumbulah, “Aliran Sesat dan Gerakan Baru Keagamaan (Perspektif UU PNPS No. 1 Tahun 1965 dan Hak Asasi Manusia)”

dalam de Jure, Jurnal Syariah dan Hukum, (Volume 6 Nomor 2,

Desember 2014), h. 158.

25 Tulisan ini diambil dari Dimyati Sajari, “Fatwa MUI

Tentang Aliran Sesat di Indonesia (1976-2010),” Miqot (Vol. XXXIX No. 1 Januari-Juni 2015), h. 61.

aliran Al-Qiyadah Al-Islamiyah, mengklaim diri sebagai al-Masih al-Maw’ud dan sebagai Rasul Allah. Dalam hal ini berarti Ahmad Moshaddeq bukan saja mengajarkan syahadat yang baru, tetapi juga mengajarkan adanya rasul yang baru, yaitu dirinya sendiri. Ahmad Moshaddeq pun mengajarkan bahwa salat, puasa dan haji belum wajib dilaksanakan. Jika dilihat dari indikator kesesatannya, maka kesesatan aliran Al-Qiyadah Al-Islamiyah boleh dikatakan sama dengan kesesatan aliran Ahmadiyah, yaitu sesat dalam hal keyakinan dan atau akidah yang tidak sesuai dengan Alquran dan Sunah; meyakini turunnya wahyu setelah Alquran; melakukan penafsiran Alquran yang tidak berdasarkan kaidah-kaidah tafsir, mengingkari Nabi Muhammad Saw sebagai nabi dan rasul terakhir; dan mengkafirkan sesama tanpa dalil syar’i, seperti mengkafirkan Muslim hanya karena bukan kelompoknya. Dengan demikian, terdapat lima indikator kesesatan aliran Al-Qiyadah Al-Islamiyah, sama dengan indikator kesesatan aliran Ahmadiyah.26

Terlepas dari diskursus sesat tidak-nya gerakan ini, sebagai bagian dari anomali—menurut Kuhn— perubahan model dan pola dakwah Gafatar ini sebenarnya juga didukung oleh ajaran doktrinalnya tentang “Negara Kesatuan Tuan Semesta Alam” yang memasuki tahap atau fase gerakan kedua, yaitu tahap atau fase jahrun.27 Pada fese ini, berdakwah secara terang­terangan, mengaji secara terang­terangan, merekrut anggota secara terang­ terangan adalah renstra lanjutan atau renstra lain pasca dakwah sirrun. Dengan jahrun, maka seluruh aktifitas dakwah Gafatar dapat diketahui oleh masyarakat luas. Oleh sebab itu, pada masa ini, telah terjadi pergeseran paradigma dakwah Gafatar dari sirrun menuju jahrun, dari normatif doktrinal menuru historis aplikatif. Namun ketika terjadi pergeseran paradigma dakwah Gafatar dari sekedar gerakan normatif menuju gerakan aplikatif, dan dari sebatas pemikiran dakwah menuju aktivitas dakwah di lapangan, maka berbagai strategi dakwah harus dilakukan.

Apa yang dilakukan oleh Gafatar kiranya sejalan dengan semangat dakwah dalam skala global dan bersifat universal untuk melakukan

26 Dimyati Sajari, “Fatwa MUI..., h. 61.

27 Gafatar dan Penyimpangan Beragama, dalam http://

(9)

transformasi. Dalam hal ini, aktivitas dakwah harus terus bergerak mengikuti laju zaman dengan segala dinamika peradaban yang berkembang di dalamnya. Di sisi lain, dakwah juga bergerak menyiasati laju zaman dan dinamika peradabannya agar berjalan searah dengan visi dan misi dakwah. Visi dakwah adalah perbaikan kualitas kehidupan manusia dalam segala aspeknya, dan misinya adalah seluruh ritme kehidupan dapat berjalan sesuai dengan nilai keislaman dan nilai luhur peradaban yang berkembang di masyarakat.28

Kendati demikian, persoalan Islam seperti yang dialami oleh Gafatar akan tetap menuai masalah, kendati visi dan misi dakwah yang ditawarkannya sangat visioner. Bahkan, revolusioner paradigmatik menurut Kuhn. Hal ini dengan meminjam ulasan Nawari Ismail, disebabkan oleh beberapa faktor. Pertama, secara historis dan pengalaman negara-negara yang masyarakatnya plural dalam banyak aspek, termasuk pluralitas dalam pemahaman keagamaan, persoalan relasi sosial terus menjadi isu aktual. Indonesia sebagai satu negara yang masyarakatnya plural secara keagamaan tidak bisa melepaskan diri dari sejarah dan pengalaman tersebut. Pada saat ini dan ke depan persoalan relasi sosial antar kelompok beragama, khususnya intrakomunal Islam, akan terus terjadi dengan berbagai ragam bentuk, kualitas dan kuantitasnya. Kedua, sejalan dengan isu global yang lebih mengedepankan makna penting individu atau kelompok sebagai agen dalam relasinya dengan pihak lain. Isu yang berkaitan dengan protes dan tuntutan pemenuhan keadilan sosial-ekonomi-politik, hak azasi manusia, dan perjuangan untuk penafian diskriminasi oleh minoritas menunjukkan hal itu.29

Dalam konteks Indonesia, maka isu-isu global itu bukan hanya merambah dan merubah cara berpikir dan bertindak masyarakat (Islam) kota-kota besar, namun juga di kota-kota-kota-kota kecil dan perdesaan. Orang atau kelompok Islam yang dianggap tidak berdaya dan banyak diam ketika menghadapi tindakan pihak lain mulai berani

28 Dindin Solahudin dan Ahmad Sarbini, “Kajian Dakwah

Multiperspektif Sebuah Pengantar“ dalam Kajian Dakwah

Multiperspektif: Teori, Metodologi, Problem, dan Aplikasi

(Bandung: Remaja Rosdakarya, 2014), h. 12.

29 Nawari Ismail, “Kelompok Islam Sempalan di Indonesia:

Kasus Gafatar,” Makalah (Disajikan dalam Diskusi Awal Tahun

Pasca Sarjana UMY, 15 Januari 2016), dalam http://repository. umy.ac.id/handle/123456789/1845, diakses tanggal 25 Juni 2016.

melakukan perlawanan, misalnya melalui protes dan tuntutan. Semuanya menunjukkan bahwa dalam batas-batas tertentu individu jumawan atau berdaulat dalam berelasi dengan pihak lain sekaligus mampu merubah tindakanpihak lain, dari sosok aktif, kreatif, dan manipulatif. Akibatnya pusat kejumawanan menjadi tersebar, ia bukan sekedar ’dimiliki’ pihak-pihak penguasa struktur (elite negara, ekonomi, dan kelompok agama mapan). Kejumawanan yang menyebar itu melahirkan kontestasi, dan resistensi dalam hubungan internal umat beragama maupun hubungan kelompok agama dengan lingkungan di luar dirinya seperti isu diskriminasi, dan hak azasi manusia dalam beragama-berkepercayaan.30

Dalam ulasan bintang.com disebutkan bahwa Gafatar sebagai organisasi kemasyarakatan ber tekad untuk memperjuangkan keadilan, kemakmuran, dan kesejahteraan bagi seluruh rakyat Indonesia menuju tatanan kehidupan yang damai dan sejahtera, maka strategi yang dilakukan oleh Gafatar adalah mengembalikan jati diri dan nilai-nilai luhur bangsa, mengangkat harkat, martabat dan kejayaan Nusantara di tengah-tengah percaturan dunia.31 Oleh

sebab itu, maka dimulainya paradigma dakwah yang baru secara jahrun atau terang-terangan dengan melakukan berbagai kegiatan sosial kemasyarakatan yang mereka lakukan di beberapa cabang atau kabupaten membuktikan resistrensi dan kontestasi gerakan tersebut. Kegiatan bakti sosial dengan melakukan bersih-bersih selokan, jalanan di perkampungan, fasilitas umum dan lain sebagainya telah menarik minat masyarakat untuk turut serta dalam kegiatan sosial yang dilakukan. Bahkan salah satu kegiatan sosial kemasyarakatan yang dilakukan di Kota Depok, Jawa Barat, telah menggambarkan suasana guyub dan bersahabat dari para Gafatarian tanpa embel­embel dakwah normatifnya. Walhasil, sikap simpatik yang dihadirkan dalam kegiatan sosial kemasyarakat telah menyedot perhatian masyarakat untuk turut serta dan bergotong royong dalam kegiatan tanpa harus mendiskusikan terlebih dahulu dakwah normatif mereka.

Beberapa kegiatan sosial kemasyarakatan

30 Nawari Ismail, “Kelompok Islam Sempalan..., dalam

http://repository.umy.ac.id/handle/123456789/1845.

31 6 Fakta Mengejutkan tentang Organisasi Gafatar, dalam

(10)

yang telah dilakukan oleh Gafatar Depok misalnya, apabila ditelusuri melalui dunia maya, maka pemberitaan sangat menarik untuk dicermati di antaranya adalah melaksanakan Bakti sosial pembersihan lingkungan atas undangan Ketua RW 09. Kegiatan tersebut dipusatkan di Komplek Perumahan Lemigas RW 09 Kelurahan Meruyung Kecamatan Limo (31/3).32 Melakukan

aksi membersihkan lingkungan di lapangan RRI, dalam rangka mempersiapkan tempat upacara untuk Memperingati Hari Kemerdekaan Republik Indonesia ke-67 tahun yang akan dilangsungkan pada Tanggal 17 Agustus 2012. Kegiatan kebersihan dihadiri oleh kurang lebih 50 peserta dari anggota Gerakan Fajar Nusantara Dewan Perwakilan Kota Depok, dan dikawal oleh sebagian pengurus Dewan Perwakilan Daerah (DPD) Gafatar Jawa Barat dan Dewan Perwakilan Pusat (DPP) Gafatar.33

Pada hari Selasa (01/4/14) kembali melaksanakan bakti sosial (Baksos) pembersihan lingkungan atas undangan Ketua RW 09 Komplek Perumahan Lemigas, Kelurahan Meruyung Kecamatan Limo.34

Gerakan Fajar Nusantara beserta TNI Polri, Laskar Merah Putih dan juga Satgas Banjir Kota Depok, melakukan bakti sosial kepada korban banjir dan rumah longsor di RT/RW 03/08 Kelurahan Sukmajaya pada hari Selasa (21/1/14).35

Begitu juga dengan kegiatan sosial ke-masyarakatan yang dilakukan oleh Gafatar di Kota Tangerang Selatan Provinsi Banten, telah menyedot perhatian masyarakat dan dipublikasikan sebaik mungkin. Kegiatan ini pernah dilakukan di tahun 2013 dengan menggelar kegiatan bhakti sosial membersihkan lingkungan yang dilakukan oleh masyarakat dipinggiran Kampung Parigi Baru RT 02 RW 06, Kelurahan Parigi Baru, Kecamatan Pondok Aren, pada hari Minggu (6/1/2013).36 Kemudian

sekitar 30 orang yang tergabung dalam Gerakan Fajar Nusantara (Gafatar) Kota Tangerang Selatan,

32 Gafatar Depok Bakti Sosial & Soialisasi KKP Kepada

Masarakat Komplek Lemigas, dalamhttp://inspirasifajardepok. blogspot.co.id, diaksestanggal 12 Mei 2016.

33 Baksos Gafatar Mempersiapkan Upacara Hut RI ke

67 dalam http://inspirasifajardepok.blogspot.co.id, diakses tanggal 9 Mei 2016.

34 Gafatar, TNI, serta Relawan Lakukan Baksos diLokasi Banjir

Sukmajaya http://www.depoknews.id, diakses tanggal 2 Juni 2016.

35 Gafatar Depok Gotong Royong Bersihkan Lingkungan

Warga Meruyung, dalam http://www.depoknews.id, diaksestanggal 2 Juni 2016.

36 Gafatar Tangsel Awali Tahun dengan Baksos, dalam

http://www.beritatangsel.com, diakses tanggal 2 Juni 2016.

kembali melakukan Bhakti Sosial (Baksos) bersih lingkungan diwilayah RT06 RW10 jalan Kampung Pondok Sentul, Kelurahan Ciater-Tangerang Selatan (Tangsel) pada tanggal 27 Januari Tahun 13 dan mendapat sambutan positif dari warga RW 10.37 Kemudian di jalan Suka Bhakti I yang berada

di wilayah RT004/RW06, Kelurahan Serua Indah, Kecamatan Ciputat – Tangerang Selatan menjadi target baksos Gafatar Tangsel yang di komandoi oleh Rahmat Wijaya, pada hari Minggu (03/02/2014). Baksos yang dilakukan berbeda dengan baksos-baksos sebelumnya, kalau baksos-baksos sebelumnya cuma membersihkan seluruh jalan dan got-got saja, namun untuk baksos pada tanggal ini dengan melakukan donor darah dan cek kesehatan secara gratis.38

Dalam hal ini, peneliti melihat bahwa kegiatan sosial kemasyarakatan yang dilakukan oleh Gafatar menjadi bagian dari—menurut istilah Kuhn— revolusi ilmiah sekaligus paradigma tandingan terhadap kebijakan pemerintah dan fatwa MUI yang melarang komunitas Millah Abraham sebagai bagian tidak terpisahkan dari Qiyadah Al-Islamiyah. Sedangkan kontestasi gerakan, lebih mengarah kepada makna kontes atau berlomba-lomba dalam memajukan gerakan dan komunitas barunya di tengah-tengah masyarakat nusantara dan komunitas gerakan lainnya. Oleh karena itu, tidaklah mengherankan apabila Gafatar melakukan langkah-langkah strategis sebagai bagian dari revolusi ilmiah dari gerakan dakwahnya.

Bisa jadi, cara jahrun ini menjadi dakwah lanjutan dari dakwah fase awal Gafatar secara sirrun atau menjadi ajang kombinatif antara metode jahrun dan sirrun. Namun pastinya, dalam fase dakwah jahrun semisal yang terjadi di Depok maupun di daerah lain, Gafatar bukan sekedar melakukan aksi bersih-bersih dalam kegiatan sosial kemasyarakatan saja, tetapi pesan-pesan simbolik sebagai paradigma tandingan dalam revolusi ilmiah gerakannya sangat nampak dalam kegiatan tersebut. Beberapa revolusi ilmiah simbolik yang dilakukan dalam fase jahrun-nya di antarajahrun-nya: Pertama, bendera Gafatar dengan warna dasar orange menjadi simbol utama dalam kegaiat sosial kemasyarakat yang mereka bawa

37 GafatarTangsel Baksos diPondok Sentul, dalamhttp://

www.beritatangsel.com, diaksestanggal 2 Juni 2016.

38 Lagi GafatarTangsel Lakukan Baksos dan Donor Darah,

(11)

dan letakkan di area yang mudah terlihat oleh masyarakat dan pengguna jalan. Kedua, spanduk tentang kegiatan sosial kemasyarakat ini dicetak besar dan diletakkan di pintu masuk lokasi kegiatan dan akan digunakan sesaat setelah kegiatan sosial dilaksanakan untuk pengambilan foto bersama. Ketiga, seluruh anggota Gafatar tanpa terkecuali, telah menggunakan pakaian atau kaos berwarna orange dengan matahari terbit di bagian punggung atau tersemat kecil di dada. Keempat, tidak jarang dari mereka ada yang menggunakan topi orange sebagai penutup kepala dalam kegiatan bhakti sosial. Kelima, mereka juga membawa majalah Gafatar yang dibagikan secara gratis kepada warga dan masyarakat yang secara kebetulan melintasi wilayah sosialnya.

Pasca kegiatan sosial kemasyarakat di-maksud, Gafatar akan melakukan berbagai langkah nyata sebagai fase jahrun sebagai bagian yang berkelanjutan dari kegiatan sosial tadi. Beberapa langkah yang dilakukan adalah: Pertama, mengekspose atau mempublikasikan hasil kegiatan sosial kemasyarakatan yang telah dilakukan bersama masyarakat secara bergotong-royong tadi melalui media cetak berupa majalah Gafatar sebagai media penghubung antar cabang, antar jamaah atau angggota, dan antara Gafatar dan masyarakat pada umumnya. Namun tidak jarang beberapa cabang melakukan press release tentang hasil kegiatan dimaksud atau membuat berita tentang kegiatan sosial tersebut di beberapa koran lokal harian. Sedangkan langkah kedua, melalui media elektronik dapat berupa siaran atau pemberitaan radio lokal, maupun informasi melalui laman web secara elektronik, baik di alamat web resmi Gafatar maupun di alamat web elektronik lainnya.

Bisanya, Gafatar akan memanfaatkan momentum kegiatan sosial kemasyarakatan sebagai iklan dalam konsep dakwah jahrun-nya secara maksimal. Dalam hal ini, Gafatar akan melibatkan tiga komponen di luar komunitas Gafatar, yaitu warga dengan testimoninya yang secara kebetulan wilayahnya menjadi zona kegiatan sosial, tokoh masyarakat dengan responnya, serta komentar pejabat pemerintah setempat, baik di tingkat desa, kecamatan, maupun kabupaten atau kodya. Bahkan tidak jarang Gafatar menyuguhkan foto bersama warga dan pejabat pemerintah dalam kegiatan sosial kemasyarakatan dimaksud. Ketiga komponen

ini dipublikasin oleh Gafatar dalam majalah dan web Gafatar sebagai bukti bahwa masyarakat dan pemerintah telah merestui gerakan tersebut. Bahkan dapat membangun persepsi bahwa Gafatar adalah organisasi dan gerakan sosial yang legal dan tidak perlu dipermasalahkan lagi di tengah-tengah masyarakat Indonesia. Tentunya, strategi ini dilakukan oleh Gafatar dengan berbagai maksud dan tujuan sebagai makna dari dakwah dalam fase jahrun.

Dalam kegiatan sosial kemasyarakat yang dilakukan oleh Gafatar, tidak pernah lepas dari simbol atau atribut gerakan, baik bendera maupun kostum Gafatar yang berwarna orange. Atau kegiatan sosial sebagai bagian dari seremoni. Bagi Sapir, penggunaan atribut menjadi petunjuk terhadap keberadaan Gerakan Fajar Nusantara di wilayah tersebut dan kegiatan sosial men-jadi simbol penentu, dimana ada bendera dan anggota Gafatar, maka di sana ada kegiatan sosial kemasyarakat dengan melakukan bersih-bersih selokan jalan kampung, dan lain sebagainya.

Dalam hal ini, Sapir telah membedakan simbol tersebut menjadi dua kelas. Pertama, simbol-simbol referensial (referential symbols) yang mencakup pembicaraan oral, bendera, dan organisasi-organisasi simbol lain yang di anggap sebagai petunjuk. Dalam hal ini, bendera, kostum spanduk, topi dan sebagainya menjadi simbol referensial dimaksud. Simbol ini biasanya merupakan sistem pengetahuan yang mengacu pada pemahaman akan kenyataan atau keberadaan di tengah-tengah masyarakat. Kedua, simbol-simbol penyingkatan (condensation symbols), mencakup sebagian besar simbol-simbol upacara, yang oleh Sapir diartikan sebagai bentuk-bentuk penyingkatan yang lebih tinggi untuk mengatur ekspresi dan memperbolehkan pelepasan ketegangan melalui bentuk-bentuk yang disadari maupun tidak disadari.39 Dalam hal ini, kegiatan

sosial menjadi simbol upacara dimaksud.

Menurut Irwan Abdullah perbedaan kedua-nya terletak pada dasar simbol itu sendiri, yaitu disadari atau tidak disadari. Simbol-simbol referensial berkembang dengan penguraian secara formal apa yang disadari, sedangkan

simbol-39 Victor W. Turner, “Symbols in Ndembu Ritual”, dalam

Victor W. Turner, The Forest Symbols: Aspects of Ndembu Ritual,

(12)

simbol kondensasi merupakan penemuan lebih dalam dan mengakar dalam ketidaksadaran yang menyebarkan sifat emosi terhadap berbagai tipe tingkah laku dan seringkali situasi ini akan bergerak jauh dari arti yang sebenarnya.40

Berdasarkan pernyataan Irwan Abdullah ini, maka Gafatar pada dasarnya telah memasuki kawasan emosional di antara ketidaksadaran masyarakat dan warga yang wilayahnya menjadi tempat kegiatan sosial kemasyarakatan dimaksud. Dalam ketidaksadaran masyarakat dan warga inilah, maka Gafatar memperkenalkan dirinya sebagai komunitas gerakan yang bergerak dalam kegiatan sosial kemasyarakatan yang melakukan langkah-langkah nyata untuk mensejahterakan masyarakat Nusantara sebagaimana visi dan misi gerakan yang telah dipaparkan pada bab sebelumnya.

Bertitik tolak dari berbagai indikator ter sebut, kiranya dapat dijadikan barometer bahwa perubahan nama dari Al-Qiyadah Al-Islamiyah menjadi Millah Abraham dan menjadi Gafatar, serta polarisasi fase atau strategi dakwah normatif atau sirrun menuju dakwah pragmatis atau jahrun adalah bagian tidak perpisahkan dari pembangunan paradigma dakwah Gafatar yang sudah tertata dengan baik. Dalam hal ini, paradigma dakwah Gafatar lahir menurut zamannya. Setiap paradigma yang muncul di-peruntukkan mengatasi dan menjawab teka-teki atau permasalahan yang dihadapi pada zaman tertentu. Jika mengikuti pendapat Kuhn, bahwa ilmu pengetahuan itu terikat oleh ruang dan waktu, maka sudah jelas bahwa paradigma dakwah hanya cocok dan sesuai untuk permasalahan yang ada pada saat tertentu saja sehingga apabila dihadapkan pada permasalahan berbeda dan pada kondisi yang berlainan, maka perpindahan dari satu paradigma ke paradigma yang baru yang lebih sesuai adalah suatu keharusan.41 Oleh sebab itu, maka Gafatar

apabila meminjam istilah Kuhn tadi, telah melakukan pergeseran paradigma (shifting paradigm). Pergeseran yang terjadi sebagaimana paparan-paparan di atas, dari paradigma dakwah normatif atau fase sirrun-nya menuju paradigma dakwah pragmatis atau fase jahrun­nya demi kebutuhan

40 Irwan Abdullah, Simbol, Makna dan Pandangan Hidup

Jawa: Analisis Gunungan pada Upacara Garebeg (Yogyakarta: Balai Kajian Sejarah dan Nilai Tradisional, 2002), h. 17.

41 Paradigm Shift Thomas Kuhn, dalam http://loekisno.

wordpress.com, diakses tanggal 12 Maret 2016.

ruang dan waktu. Di samping menghindari fatwa sesat MUI dan meminimalisir larangan hukum dari pemerintah, juga untuk membangun pola rekrutmen yang akan dibahas lebih lanjut pada sub-bab berikutnya. Kebutuhan ruang bagi Gafatar adalah ruang untuk berekspresi dan ruang untuk melakukan gerakan secara maksimal yang berbeda dari Islam mainstream kebanyakan. Ruang inipun dapat bermakna ruang pikir dan ruang gagasan tentang ajaran doktrinal yang memiliki distingsi secara normatif dengan gerakan lainnya. Sedangkan kebutuhan waktu lebih kepada moment pasca reformasi dimana Gafatar bisa hadir di tengah-tengah masyarakat kapanpun dan di ruang manapun tanpa harus menunggu legalitas hukum dan fatwa MUI tentang sesat tidaknya ajaran yang dibawa.

Menyikapi keterbatasan ruang dan waktu inilah, maka Gafatar melakukan pergeseran paradigma dakwahnya, baik secara simbolik maupun secara seremonial, yang berbeda dengan kehadiran komunitas awal dengan bungkus lamanya sebagai Millah Abraham. Bagi peneliti, berbagai perubahan dakwah secara jahrun dan pragmatis yang terjadi pada Gafatar sangatlah signifikan dibanding dengan fase awal secara sirrun dan normatif, kendati ajaran yang dibawa dan disampaikannya secara normatif doktrinal memiliki persamaan.

Penutup

Berdasarkan paparan tentang pergeseran paradigma dakwah Gafatar di atas, maka dapat disimpulkan sebagai berikut:

(13)

geraknya sangat terbatas. Pada saat menjadi kepompong ini, banyak orang yang tidak menyadari “semedi” atau proses perubahannya. Ketika menjadi kupu-kupu (Gafatar) yang sebenarnya berasal dari kepompong (Millah Abraham), masyarakat banyak dikejutkan dengan keanggunan dan ke cantikannya.

Gafatar sebagai kupu-kupu gerakan telah merubah sekaligus mengkaburkan dirinya dan ideologi gerakan dakwahnya ketika masih men-jadi ulat (Al-Qiyadah Al-Islamiyah) dan kepompong (Millah Abraham). Bahkan dengan kupu-kupunya (Gafatar), gerakan ini terbang bebas dan mem-biarkan masyarakat memperhatikan keelokan dan kepakan sayapnya. Selanjutnya tidak berbeda dengan seekor kupu-kupu yang terbang di taman bunga yang menghinggap dari satu kembang menuju kembang lainnya, maka Gafatar dengan berbagai dakwah jahrun­nya telah melakukan manuver gerakan dari satu cabang menuju cabang lainnya, dan dari satu wilayah menuju wilayah lainnya di seluruh nusantara. Manuver yang dilakukan Gafatar dengan mengaburkan ideologi gerakannya ini sudah dapat ditelisik sejak perubahan nama Al-Qiyadah Al-Islamiyah menjadi Millah Abraham kemudian menjadi Gerakan Fajar Nusantara.

Kedua, Gafatar menjadi daya tarik dan pemikat audien dakwah, dalam hal ini masyarakat yang menjadi sasaran kegiatan-kegiatan dakwah Gafatar. Dengan melakukan kegiatan sosial ke masyarakatan, maka banyak warga dan ma syarakat yang daerahnya dilakukan kegiatan Gafatar menjadi tertarik untuk turut serta dalam kegiatan dimaksud. Bahkan tanpa disengaja, keikutsertaan warga bukan hanya sekedar fisik semata, tetapi mereka juga berkontribusi dalam pengadaaan konsumsi dan logistik selama kegiatan berlangsung. Sebagai kelanjutan dari kegiatan sosial ini, biasanya Gafatar akan mengajak warga untuk bergabung dalam kegiatan-kegiatan sosial lanjutan. Ketika terdapat warga yang tertarik untuk mengikuti jadwal kegiatan sosial Gafatar, maka disela-sela kegiatan itulah, maka beberapa tim melakukan brainstorming dan pemberian wawasan normative tentang Gafatar.

Ketiga, berdasarkan teori shifting paradigm sebagaimana dalam Filsafat Ilmu, maka awal mula hadirnya dakwah Gafatar—menurut Kuhn adalah normal science suatu gerakan. Dalam hal ini, Ahmad Mushaddeq menempati posisi seorang ilmuan yang

telah melahirkan ajaran doctrinal dalam kubangan normal science-nya. Namun normal science yang ditawarkan oleh Mushaddeq mengalami anomal-anomali berupa perlawanan dari berbagai ormas maupun pemerintah, dari sekedar fatwa hingga vonis hukuman. Menyikapi hal ini, maka Mushaddeq yang menempati posisinya sebagai ilmuan melakukan revolusi gerakan (pergeseran paradigma) dari normal scince menjadi paradigma baru sekaligus tandingan dari anomali yang sudah ada. Paradigma tandingan yang dimaksud adalah Gafatar sebagai gerakan baru dengan visi, misi dakwahnya yang mengggunakan paradigma dakwah baru berupa kegiatan sosial kemasyarakat dalam fase jahrun­nya.

Pustaka Acuan

A. Ahmad (Ed.), Dakwah Islam dan Perubahan Sosial, Yogyakarta: PLP2M, 1985.

Abdullah, Irwan, Simbol, Makna dan Pandangan Hidup Jawa: Analisis Gunungan pada Upacara Garebeg, Yogyakarta: Balai Kajian Sejarah dan Nilai Tradisional, 2002.

Aswadi, “Refomulasi Epistemologi Hijrah Dalam Dakwah,” dalam Islamica: Jurnal Studi keislaman, Vol. 5, No. 2, Maret 2011.

Aziz, Abdul, “The Jamaah Tabligh Movement in Indonesia: Peaceful Fundamentalist,” Studia Islamika: Indonesian Journal for Islamic Studies, Vol. 11, No. 3, 2004.

Dimyati Sajari, “Fatwa MUI Tentang Aliran Sesat di Indonesia (1976-2010),” Miqot. Vol. XXXIX No. 1 Januari-Juni 2015.

Erwiningsih, Winahyu, “Perkembangan Sains: Suatu Telaah Atas Pendekatan Paradigma Baru Thomas S. Kuhn,” Jurnal Ilmu Hukum, Vol. 10, No. 1, Maret 2007.

Ismail, Nawari, “Kelompok Islam Sempalan di Indonesia: Kasus Gafatar,” Makalah (Disajikan dalam Diskusi Awal Tahun Pasca Sarjana UMY, 15 Januari 2016), dalam http://repository.umy. ac.id/handle/123456789/1845, diakses tanggal 25 Juni 2016.

Jamjari, dan Jajang Jahroni, Gerakan Salafi Radikal di Indonesia, Jakarta: Rajawali Press, 2004. Lalu Agus Satriawan, Analisa Sufistik Mimpi

(14)

Muslih, Muhammad, Filsafat Ilmu: Kajian atas Asumsi Dasar Paradigma dan Kerangka Teori Ilmu Pengetahuan, Yogyakarta: Belukar, Cet. ke- V, 2008.

Priyono, FX Joko, “Resensi Buku Archie J. Bahm Analisis tentang What is Science,” Makalah tidak Diterbitkan, Semarang: UNDIP, 2000. Saefullah, Ujang, “Dakwah Jama’ah Tabligh”

dalam Kajian Dakwah Multiperspektif: Teori, Metodologi, Problem, dan Aplikasi. Bandung: Remaja Rosdakarya, 2014.

Sarbini, Ahmad, “Paradigma Baru Pemikiran Dakwah Islam,” Jurnal Ilmu Dakwah. Vol. 4 No. 15 Januari-Juni 2010.

Solahudin, Dindin dan Ahmad Sarbini, “Kajian Dakwah Multiperspektif Sebuah Pengantar“ dalam Kajian Dakwah Multiperspektif: Teori, Metodologi, Problem, dan Aplikasi, Bandung: Remaja Rosdakarya, 2014.

Sumbulah, Umi, “Aliran Sesat Dan Gerakan Baru Keagamaan (Perspektif UU PNPS No. 1 Tahun 1965 dan Hak Asasi Manusia)” dalam de Jure, Jurnal Syariah dan Hukum. Volume 6 Nomor 2, Desember 2014.

Turner, Victor W, “Symbols in Ndembu Ritual”, dalam Victor W. Turner, The Forest Symbols: Aspects of Ndembu Ritual, Ithaca: Cornell University, 1967.

Internet:

6 Ajaran Gafatar “Memahami dan Menyikapi Tradisi Tuhan,”dalam http://nasional.rimanews.com, diakses tanggal 25 Juni 2016

Fakta Mengejutkan tentang Organisasi Gafatar, dalam http://www.bintang.com, diaksestanggal 2 Juni 2016.

Baksos Gafatar Mempersiapkan Upacara Hut RI ke 67 dalam http://inspirasifajardepok.blogspot. co.id, diakses tanggal 9 Mei 2016

Gafatar Depok Bhakti Sosial & Soialisasi KKP Kepada Masarakat Komplek Lemigas, dalam http://inspirasifajardepok.blogspot.co.id, diakses tanggal 12 Mei 2016.

Gafatar Tangsel Awali Tahun dengan Baksos, dalam http://www.beritatangsel.com, diakses tanggal 2 Juni 2016.

Gafatar, TNI, serta Relawan Lakukan Baksos diLokasi Banjir Sukmajaya http://www. depoknews.id,diakses tanggal 2 Juni 2016. Gafatar Akui Keluar dari Islam Mainstream, ‘Tolak’

Fatwa Sesat MUI, dalam http://sidomi.com, diakses tanggal 15 Mei 2016.

Gafatar dan Penyimpangan Beragama, dalam http:// www.yuk-kenal-nu.net, diaksestanggal 28Juni 2016.

Gafatar Depok Gotong Royong Bersihkan Lingkungan Warga Meruyung, dalam http:// www.depoknews.id, diakses tanggal 2 Juni 2016.

Gafatar Kelompok Eksklusif yang Berbahaya, dalam http://www.nu.or.id, diakses tanggal 28Juni 2016.

Gafatar Menyimpang Semakin Ditentang, dalam http://www.gresnews.com, diakses tanggal 28Juni 2016.

Gafatar Tangsel Baksos diPondok Sentul, dalamhttp://www.beritatangsel.com, diakses tanggal 2 Juni 2016.

Inilah Isi Janji Anggota Gafatar dalam http://gafatarian.blogspot.co.id, diakses tanggal 1 Mei 2016.

Inilah Perjalanan SejarahTerbentuknya Gafatar, dalam http://m.news.viva.co.id, diakses tanggal 12 Mei 2016.

Kejagung Cecar 10 Eks Aktivis Gafatar Ini Hasilnya, dalam http://www.jawapos.com, diakses tanggal 2 Juni2016.

Lagi GafatarTangsel Lakukan Baksos dan Donor Darah, dalam http://www.beritatangsel.com, diakses tanggal 2 Juni 2016.

Mengungkap Sepak Terjang dan Ajaran Kelompok Terlarang Gafatar, dalam https://serambimata. com, diakses tanggal 12 Mei 2016.

Menteri Agama: Gafatar Menyatukan Ajaran Islam, Kristen, Yahudi, dalam http://m.tribunnews. com/nasional, diakses tanggal 12 Mei 2016 MUITegaskan Gafatar Anutal-Qiyadahal-Islamiyah

Haram Sejak2007, dalam http://www. galamedianews.com, diakses tanggal 28Juni 2016.

Paradigm Shift Thomas Kuhn, dalam http:// loekisno.wordpress.com, diaksestanggal 12 Maret 2016.

Sejarah Lahirnya Gafatar: Dari Mushadeq Ke Mushadeq Lagi, dalam https://m.tempo.co, diakses tanggal 12 Mei 2016.

Referensi

Dokumen terkait

Prinsip keadilan dalam satu generasi yang terkait erat dengan permasalahan lingkungan hidup tersebut, menghendaki kebersamaan masyarakat secara totalitas dalam satu

Kebutuhan terkait dukungan sosial yang dibutuhkan pasien paska stroke diantaranya adalah mendapatkan dukungan teman, keluarga, dan kelompok, membutuhkan bantuan untuk menjalankan

World Fashion Center sebagai pusat komersial yang mewadahi kegiatan promosi dan pemasaran. Dimana para lulusan sekolah desain serta para desainer baik nasional maupun

“…pendidikan karakter dilakukan sedini mungkin dari kelas satu, melalui pelajaran akidah akhlak untuk menanamkan akidah dan karakter pada jiha para siswa tersebut, sedangkan

Rumusan masalah dina skripsi ieu nyangkut kana: (1) Naon tema nu aya dina novel Habibie dan Ainun?; (2) Kumaha alur carita nu aya dina novel Habibie dan Ainun?; (3) Saha wae tokoh

Puji dan syukur penulis sampaikan ke hadirat Allah swt. yang telah memberikan rahmat, hidayah, dan inayah-Nya. Atas izin Allah swt. penulis telah menyelesaikan skripsi ini

Secara kesimpulannya didapati responden bersetuju bahawa ketiga-tiga faktor intrinsik,ekstrinsik dan persekitaran faktor intrinsik merupakan faktor yang member

Data primer diperoleh dengan mengamati parameter keberhasilan okulasi yaitu (1) persentase keberhasilan okulasi pada berbagai kondisi batang bawah, (2) persentase