BAB II
KONSELING MULTIKULTURAL, PASTORAL BUDAYA DAN KONSELING
PRAPERNIKAHAN
Pada bab II ini penulis akan membahas mengenai landasan teori yang digunakan untuk
menganalisa data. Teori tersebut ialah teori konseling multikultural dan teori konseling
prapernikahan yang pembahasannya mencangkup pemahaman, karakteristik, dan tujuan.
2.1 Pemahaman Konseling Multikultural
Masyarakat pada umumnya mengenal yang namanya budaya sebagai akibat dari interaksi
antarindividu yang dipengaruhi oleh interaksi dalam keluarga, pendidikan dan masyarakat.
Budaya juga dikenal pada tataran subkultur yang meliputi ilmu pengetahuan, kepercayaan,
kesenian, moral, hukum, adat istiadat dan kebiasaan yang mempengaruhi dan dipengaruhi oleh
masyarakat.1 Setiap manusia pasti memiliki sikap yang berbeda karena situasi atau keadaannya,
pengalamannya dan kepribadiannya yang unik. Dari pemahaman seperti ini, dapat disimpulkan
bahwa kebudayaan dianggap sebagai proses individual dalam masyarakat dan kelompok,
sehingga tidak ada seseorang pun yang memiliki budaya yang sama dengan budaya individu
lainnya.2
Pernyataan tentang tidak ada seseorang yang memiliki budaya yang sama dengan budaya
individu lainnya, itu berarti bahwa masyarakat hidup dengan multikultural atau banyak budaya.
Dalam budaya pada umumnya masyarakat memiliki kesamaan nilai-nilai yang diakui, dimana
manusia berhak menentukan hidupnya sendiri, manusia mempunyai kebebasan, manusia anti
dengan peperangan dan manusia mementingkan perdamaian. Nilai-nilai tersebut hanya dimiliki
oleh masyarakat atau suku/etnis tertentu dan tentunya berbeda dari kelompok atau bangsa yang
1
J.D. Engel, Konseling Pastoral dan Isu-isu Kontemporer, (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2016), 63. 2
lain.3 Nilai budaya yang dianut oleh masyarakat dianggap sebagai sebuah kebenaran yang mutlak
dan mereka meyakini bahwa apa yang dianggap benar itu dapat dijadikan pegangan atau panutan
dalam menjalani hidup sehari-hari. Selain itu, dari nilai budaya yang dimiliki tersebut diyakini
dapat dipergunakan untuk membantu menyelesaikan masalah yang terjadi dalam satu kelompok
suku/etnis. 4
Tidak bisa dipungkiri bahwa setiap individu dalam sebuah masyarakat memiliki
perbedaan kepribadian, ide, nilai, rasa, dan tujuan.5 Oleh karena itu, setiap individu tidak selalu
cocok dengan individu lain dan itulah yang kerap kali menjadi pemicu timbulnya perpecahan
atau konflik. Untuk menyelesaikan masalah di dalam masyarakat diperlukan konseling dengan
mengunakan pendekatan konseling multikultural. Awal dari adanya gerakan konseling
multikultural adalah dari munculnya kelompok budaya yang merasa terpinggirkan, seperti Afrika
Amerika, Asia, dan Indian Amerika.6 Kelompok-kelompok inilah yang dianggap perlu untuk
mendapatkan kepedulian dari seorang konselor yang memiliki pengetahuan tentang nilai-nilai
dan norma dari suatu budaya, yang tentu saja sangat mempengarui proses konseling.
Pengetahuan yang dimaksud adalah bagaimana norma dan nilai-nilai suatu budaya dapat
mempengarui kepribadian seseorang.7
Konseling merespon multikulturalisme dengan menggunakan dua cara, yaitu pendekatan
konseling yang bersifat monokultural. Pendekatan ini didesain dan diaplikasikan dalam konteks
masyarakat barat. Pada tahun 1960 dan 1970, konseling berusaha untuk bereaksi terhadap adanya
tekanan politik, legislatif, dan personal yang bersumber dari gerakan persamaan kesempatan dan
3
J.D. Engel, Konseling Pastoral dan Isu-isu Kontemporer, 65. 4
J.D. Engel, Konseling Pastoral dan Isu-isu Kontemporer, 66. 5 J.D. Engel,
Konseling Pastoral dan Isu-isu Kontemporer, 66. 6
Multicultural and Social Justice Counseling Competencies: Guidelines for the Counseling Profession, 31. 7
perdebatan seputar rasisme dan persamaan hak untuk mengembangkan strategi demi membangun
kesadaran yang lebih besar terhadap isu kultural dalam pendidikan dan praktis konseling.
Tahapan ini kemudian menghasilkan banyak literatur dalam bidang pendekatan konseling
dan psikoterapi terhadap adanya isu silang budaya, transkultural dan interkultural.8 Respon yang
pertama ini adalah usaha untuk menghubungkan dimensi budaya ke dalam konseling. Respon
kedua muncul dari adanya kesadaran akan perbedaan kultur yang berjuang untuk membangun
pendekatan konseling dan menempatkan konsep kultur sebagai citra person nya.9 Inti dari
konseling multikultural menurut Falicov adalah sensitivitas terhadap berbagai cara yang
memungkinkan fungsi kultur dan interaksi terleburkan menjadi kepedulian tentang pengalaman
kultural orang lain.10
Ramirez berpendapat bahwa konseling multikultural adalah tantangan untuk hidup dalam
masyarakat multikultural. Tujuan utama dalam menghadapi klien yang berbeda etnis adalah
mengembangkan fleksibilitas kultural. Kelompok etnis yang dominan merasakan
ketidaksesuaian antara siapa diri kita dan apa yang diharapkan orang lain dari kita. Oleh karena
itu pendekatan yang digunakan oleh Ramirez adalah penyesuaian gaya dan pemahaman kultural
klien oleh konselor di pertemuan awal, kemudian mendorong untuk mencoba berbagai bentuk
perilaku kultural. Pendekatan ini membutuhkan fleksibilitas kultural dan kesadaran diri tingkat
tinggi dalam diri. Pendekatan penting lainnya adalah fokus pada hubungan antara persoalan
personal dan realitas sosial/politik. Dalam hal ini klien tidak hanya dipandang dari segi psikologi
8 John McLeod,
Pengantar Konseling Teori dan Studi Kasus, (Jakarta: Kencana, 2006), 273-274. 9
John McLeod, Pengantar Konseling Teori dan Studi Kasus, 274. 10
murni, tetapi juga dipahami sebagai anggota aktif dari kultur, dimana pengalaman, perasaan dan
identitas dari klien dibentuk oleh lingkungan kultur.11
Istilah konseling berasal dari bahasa Inggris to counsel, yang secara harafiah memiliki
arti memberi arahan atau nasihat. Orang yang melakukan konseling disebut sebagai konselor.
Dalam bahasa Inggris, konselor mempunyai arti penasihat dalam hubungan dengan tugas
ahli-ahli hukum.12 Konseling menempatkan konselor selalu bersentuhan dengan apa yang disebut
relasi terhadap sesamanya. Relasi yang mendalam hanya dapat dibangun jika konselor
memandang orang yang mengalami masalah itu sangat berharga. Dalam arti orang tersebut
bukan hanya sekedar dikasihani, tetapi dicintai. Oleh sebab itu, konseling adalah proses
pertolongan antara konselor dan konseli/klien dengan maksud bukan hanya untuk membantu
meringankan masalah dari konseli, tetapi memberdayakannya.13 Dalam proses konseling yang
telah dibangun antara konselor dan konseli harus ada kasih sebagai satu dasar agar tercipta relasi
yang baik dan juga dapat menimbulkan nilai spiritual.14 Untuk mewujudkannya dibutuhkan rasa
empati atau perasaan yang mendalam untuk memahami dunia orang lain.15
Konseling adalah suatu fungsi yang bersifat memperbaiki, yang dibutuhkan ketika orang
mengalami krisis yang merintangi pertumbuhannya. Seseorang membutuhkan penggembalaan
sepanjang hidupnya, tetapi mungkin orang hanya membutuhkan konseling ketika mengalami
krisis yang hebat.16 Konseling harus memberikan nuansa berbeda dari biasanya, dimana tidak
hanya memampukan seseorang keluar dari masalahnya, tetapi dapat meyakinkan seseorang
untuk mengembangkan dimensi spiritualnya, sehingga seseorang dapat lebih bertumbuh,
11
John McLeod, Pengantar Konseling Teori dan Studi Kasus, 286. 12
J.D. Engel, Konseling Pastoral dan Isu-isu Kontemporer, 67. 13
J.D. Engel, Pastoral dan Kebutuhan Dasar Konseling, (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2016), 1. 14 J.D. Engel,
Konseling suatu Fungsi Pastoral, (Salatiga: Tisara Grafika, 2007), 2. 15
J.D. Engel, Pastoral dan Kebutuhan Dasar Konseling, 49. 16
berkembang dan kreatif. Melalui pengembangan spiritualnya seseorang dapat
memperbaiki,membangun, dan membina hubungan dengan sesamanya.17
Pada saat ini yang menjadi hambatan konseling adalah salah satu kenyataan pengalaman
yang menguatkan dugaan bahwa penerapan konseling tanpa mempertimbangkan aspek sosial dan
budaya yang berlangsung di masyarakat dan berujung pada benturan dan kesenjangan konseling
dalam masyarakat plural. Hal ini disebabkan oleh adanya faktor memahami kultur lama yang
melekat pada karakter ilmu pengetahuan yang seringkali begitu saja diterapkan tanpa melihat
falsafah, nilai-nilai darimana ilmu pengetahuan itu berasal, karena kemungkinan ada perbedaan
atau bahkan bertentangan. Begitu juga dengan metode yang lebih menekankan pada paradigm
berpikir psikologi, yaitu pemenuhan kebutuhan, kompetensi intrapersonal dan interpersonal
tanpa melihat individu sebagai makhluk berbudaya.18 Tanpa kita sadari pemahaman
sosio-kultural sangat diperlukan dalam menyikapi dilema konseling terhadap dinamika masyarakat
plural dengan nilai-nilai hidup yang dimilikinya dan perubahan sosial yang semakin cepat. Bisa
dikatakan sebagai makhluk sosial dan berbudaya, setiap manusia dan komunitas pasti memiliki
falsafah hidup dan nilai spiritual yang berkembang dalam keragaman potensi dan keunikan untuk
membangun suatu pendekatan konseling yang kontekstual.19
2.1.1. Karakteristik Konseling Multikultural
Menurut Van Beek konseling diartikan sebagai seorang yang berusaha menolong orang
lain melalui pendekatan psikologis dengan maksud untuk meringankan penderitaan konseli atau
orang yang ditolong. Pendapat Beek ini didukung juga dengan adanya pendapat dari Adhiputra
yang mempertegas adanya hubungan antar budaya yang beragam. Konseling melibatkan
17 J.D. Engel,
Pastoral dan Kebutuhan Dasar Konseling, 10. 18
J.D. Engel, Konseling Pastoral dan Isu-isu Kontemporer, 14. 19
konselor dan konseli yang berasal dari latar belakang budaya yang berbeda, dan dapat memicu
terjadinya bias-bias budaya pada pihak konselor sehingga proses konseling menjadi tidak efektif.
Jika konseling ingin berjalan dengan efektif, maka karakteristik yang dibutuhkan oleh konselor
adalah :
a. Memiliki kepekaan terhadap budaya dan keterampilan-keterampilan yang responsif
secara budaya.20 Menurut penulis, sekalipun konselor dan konseling berbeda budaya,
tetapi proses konseling harus tetap berjalan. Karena jika kita mau menolong konseli, latar
belakang budaya bukanlah sesuatu yang penting untuk dipertanyakan atau
dipermasalahkan. Justru kitalah yang harus peka dengan budaya konseli agar proses
konseling dapat menjadi perjumpaan budaya.
b. Selanjutnya perlu adanya pemahaman yang tepat atas nilai-nilai budaya yang telah
menjadi keyakinan dan menjadi pola perilaku individu. Dalam konseling sendiri
penemuan dan pemahaman konselor dan konseli terhadap akar budaya menjadi sangat
penting. Karena dengan cara seperti ini mereka dapat melakukan evaluasi diri
masing-masing sehingga terjadi pemahaman terhadap identitas dan keunikan cara pandang
masing-masing.21
c. Kunci keberhasilan konseling adalah kemampuan yang tepat terhadap
pengalaman-pengalaman budaya tradisional sebagai suatu sumber perkembangan pribadi. Budaya
yang dimaksud adalah segala pengalaman yang memfasilitasi individu berkembang baik
secara sadar ataupun tidak. Hal yang dimaksudkan tidak disadari menurut Jung adalah
20
J.D. Engel, Konseling Pastoral dan Isu-isu Kontemporer, 67-68. 21
ketidaksadaran kolektif, yaitu nilai-nilai budaya yang diturunkan dari generasi ke
generasi.22
d. Untuk melakukan proses konseling multikultural dalam konteks masyarakat yang
multibudaya, maka diperlukan strategi dan pola pendekatan yang terstruktur serta
konstruktif agar dapat menolong konseli menjalani kehidupannya.23
Berdasarkan karakteristik di atas, tidak bisa dihindarkan bahwa budaya memainkan peran
yang sangat penting dalam membentuk pengertian kita tentang diri dan identitas. Budaya
memiliki pengaruh yang besar dalam konteks kehidupan manusia. Perbedaan budaya terbentuk
didasarkan pada sistem dan aturan kehidupan yang dijalani oleh manusia atau kelompok orang
dalam komunitasnya, lingkungan tempat tinggal dan sifatnya sendiri sebagai atributnya, maupun
oleh perilaku, pikiran dan perasaan di masa lalu serta perilaku, pikiran dan perasaan di masa
depan.24 Menurut penulis konseling multikultural merupakan sebuah pendekatan yang baru
dalam pelayanan konseling pastoral dan ini menjadi sesuatu yang unik. Dikatakan unik karena
pendekatan ini melibatkan beberapa ilmu, seperti antropologi budaya, psikologi, dan sosiologi.
2.1.2 Tujuan Konseling Multikultural
Bentuk dari konseling didasarkan pada konseling yang bersifat one to one atau tatap
muka, dimana orang yang terlibat di dalamnya hanyalah konselor dan klien. Bentuk konseling
seperti ini masih mempertahankan kemurniannya yang prinsip serta prosesnya telah
teridentifikasi dan terdokumentasi dengan baik.25 Seiring berjalannya waktu muncullah
bentuk-bentuk konseling yang lain antara lain, konseling kelompok, konseling telepon, konseling online,
dll. Berbagai bentuk inilah yang menimbulkan banyak tantangan dan mengharuskan mereka
22 J.D. Engel, Konseling Pastoral dan Isu-isu Kontemporer, 70. 23
J.D. Engel, Konseling Pastoral dan Isu-isu Kontemporer, 72.
24
J.D. Engel, Konseling Pastoral dan Isu-isu Kontemporer, 73.
25
mengikuti perkembangan jaman. Apapun bentuk konseling yang dilakukan, tentunya memiliki
tujuan yang ingin dicapai, antara lain :
a. Untuk memampukan dan memberdayakan konseli agar dapat beradaptasi dengan situasi
dan lingkungan, serta berapa banyak hal yang harus dilakukannya untuk mengubah
keadaan. Tujuan ini ingin membawa konseli memasuki konteks baru, sehingga fokus
pada dasar-dasar orientasi atau tujuan hidup.26
b. Pemahaman. Memiliki pemahaman terhadap akar dan perkembangan emosional serta
mengarah kepada peningkatan kapasitas untuk lebih memilih kontrol rasional ketimbang
perasaan dan tindakan.
c. Berhubungan dengan orang lain. Menjadi lebih mampu membentuk dan mempertahankan
hubungan yang bermakna dan memuaskan dengan orang lain, misalnya dalam keluarga
atau tempat kerja.
d. Kesadaran diri. Menjadi lebih peka terhadap pemikiran dan perasaan yang selama ini
ditahan dan ditolak atau mengembangkan perasaan yang lebih akurat berkenaan dengan
bagaimana penerimaan orang lain terhadap diri.
e. Penerimaan diri. Pengembangan sikap positif terhadap diri, yang ditandai oleh
kemampuan menjelaskan pengalaman yang selalu menjadi subjek kritik diri dan
penolakan.
f. Aktualisasi diri atau individuasi. Pergerakan ke arah pemenuhan potensi atau penerimaan
integrasi bagian diri yang sebelumnya saling bertentangan.
g. Pencerahan. Membantu klien mencapai kondisi kesadaran spiritual yang lebih tinggi.
26
h. Pemecahan masalah. Menemukan pemecahan problem tertentu yang tak bisa dipecahkan
seorang diri.
i. Pendidikan psikologi. Membuat klien mampu menangkap ide dan teknik untuk
memahami dan mengontrol tingkah laku.
j. Memiliki keterampilan sosial. Mempelajari dan menguasai keterampilan sosial dan
interpersonal seperti mempertahankan kontak mata, tidak menyela pembicaraan dan
pengendalian amarah.
k. Perubahan kognitif. Modifikasi atau mengganti kepercayaan yang tak rasional atau pola
pemikiran yang tidak dapat beradaptasi, yang diasosiasikan dengan tingkah laku
penghancuran diri.
l. Perubahan tingkah laku. Modifikasi atau mengganti pola tingkah laku yang rusak.
m. Perubahan sistem. Memperkenalkan perubahan dengan cara beroperasinya system sosial.
n. Penguatan. Berkenaan dengan keterampilan, kesadaran dan pengetahuan yang akan
membuat klien mampu mengontrol kehidupannya.
o. Restitusi. Membantu klien membuat perubahan kecil terhadap perilaku yang merusak.
p. Reproduksi dan aksi sosial. Menginspirasikan dalam diri seseorang hasrat dan kapasitas
untuk peduli terhadap sesama, membagi pengetahuan dan menyalurkan kebaikan bersama
melalui kesepakatan politik dan kerja komunitas. 27
Tujuan yang dipaparkan di atas terbagi atas dua, yaitu yang berfokus pada diri sendiri dan
juga yang berfokus pada klien. Dari beberapa tujuan diatas tentunya ada hasil yang ingin dicapai,
baik untuk diri sendiri maupun untuk klien.
27
2.2 Pemahaman Pastoral Budaya
Pastoral menurut Jacob merupakan suatu upaya untuk memanusiakan sesama manusia.
Dalam upaya memanusiakan itulah terkandung makna pemberdayaan yang menjadi tujuan utama
suatu proses pendampingan dan konseling dilakukan.28 Jadi, pastoral bisa dipahami sebagai suatu
proses pertolongan yang membuat orang diberdayakan untuk hidup yang menghidupkan serta
memanusiakan sesama. Hal ini berarti bahwa pastoral tidak sekedar membawa orang keluar dari
keterpurukan dan penderitaan hidupnya, tetapi mengembangkan potensi-potensi yang
dimilikinya untuk memberdayakan dirinya dan orang lain.
Pendapat lainnya muncul dari Van Beek, yang mengatakan bahwa pastoral berasal dari
bahasa latin pastore. Dalam bahasa Yunani disebut poimen yang berarti gembala.29 Dari kedua
pendapat tokoh ini menurut penulis, untuk memanusiakan dan memberdayakan manusia
tentunya membutuhkan peran dari seorang gembala untuk mendampingi setiap proses pastoral
yang dilakukan. Clinebell berpendapat bahwa mendampingi dalam hal ini adalah bagaimana
seorang gembala menjalankan fungsinya untuk membimbing, merawat, melindungi, menolong
dan memperbaiki relasi yang terputus dengan diri sendiri, orang lain dan Allah.30
Istilah “pendampingan” berasal dari kata kerja mendampingi sebagai suatu kegiatan
menolong, karena suatu sebab perlu didampingi. Interaksi yang terjadi dalam proses
pendampingan membuat pendampingan memiliki arti bahu membahu, menemani, berbagi
dengan tujuan untuk saling menumbuhkan dan mengutuhkan. Pendampingan yang berhasil
menurut Van Beek adalah bagaimana menempatkan baik pendamping maupun yang didampingi
28
J.D. Engel, Materi Kuliah Pastoral Masyarakat, 10 Mei 2017.
29
J.D. Engel, Pastoral dan Kebutuhan Dasar Konseling, 2.
30
dalam kedudukan yang seimbang dan dalam hubungan timbal balik yang serasi serta harmonis.31
Bila pendampingan seperti ini terus-menerus dilakukan maka, individu akan merasa bahwa
dirinya sangat dihargai, bahkan dari situlah muncul kepercayaan diri untuk mengembangkan
potensi yang ada dalam dirinya dan menemukan makna hidup. Krisetya mengemukakan bahwa
pendampingan pastoral berhubungan dengan manusia tidak peduli kepercayaannya, kedudukan
sosialnya, atau kemampuannya. Pendampingan pastoral ditujukan pada kebutuhan-kebutuhan
manusia dalam perjalanan hidup ini.32 Jadi, ada saja kemungkinan bahwa pelayanan pastoral itu
selalu dibutuhkan, karena pendampingan pastoral merupakan panggilan yang harus dilakukan
oleh siapa pun, tidak harus orang-orang tertentu.
Pendampingan pastoral harus dijadikan sebagai jawaban terhadap kebutuhan setiap orang
yang menginginkan kehangatan, perhatian penuh, dan dukungan. Kebutuhan ini biasanya terjadi
ketika tekanan dalam diri memuncak dan kekacauan sosial terjadi. Pendampingan pastoral adalah
ungkapan yang bersifat memperbaiki dan berusaha untuk membawa kesembuhan bagi orang
yang membutuhkan.33 Pendampingan pada hakikatnya adalah memberi pertolongan psikologis
dengan tujuan untuk meringankan beban penderitaan dari seseorang, sehingga
pendamping/gembala menjalankan fungsi pendampingan. Perlu diketahui bahwa pendampingan
pastoral bukan sekedar meringankan beban masalah, tetapi bagaimana menempatkan orang
dalam relasi dengan Tuhan dan sesama dalam pengertian menumbuhkan dan mengutuhkan orang
dalam kehidupan spiritualnya untuk membangun dan membina hubungan dengan sesamanya,
31
J.D. Engel, Pastoral dan Kebutuhan Dasar Konseling, 2.
32
J.D. Engel, Pastoral dan Kebutuhan Dasar Konseling, 2-3.
33
mengalami penyembuhan dan pertumbuhan serta memulihkan orang dalam hubungan dengan
Tuhan.34
Pendapat yang sama juga ikut dikemukakan oleh Totok, menurutnya pendampingan
pastoral tidak hanya memusatkan diri pada tindakan penyembuhan, melainkan juga pencegahan,
peningkatan, pemulihan, dan pemberdayaan.35 Oleh sebab itu, pendamping/gembala/konselor
harus mampu membantu menghilangkan perasaan susah, terkejut, bingung, tertekan, dan putus
asa yang dialami. Melalui proses ini diharapkan kedepannya orang yang mengalami masalah
dapat menolong dirinya apabila permasalahan kembali datang dan dia dapat menjadi penolong
bagi orang lain. Jadi dapat dikatakan bahwa ketika kita telah mendapatkan pendampingan
pastoral dari orang lain, itulah yang mendorong kita agar ketika masalah yang baru datang kita
sudah mampu menolong diri kita sendiri dan kita juga bisa menjadi penolong untuk orang lain.
Inilah yang dimaksudkan dengan pemberdayaan dalam proses pastoral.
Setelah membahas beberapa teori mengenai pastoral timbul pertanyaan, bagaimana bila
pastoral dalam hal ini pendampingan dan konseling pastoral dikaitkan dengan budaya ?
Konseling pastoral dalam analisa budaya membuka cakrawala berpikir kita untuk memiliki
kemampuan mengkaji falsafah dan nilai-nilai hidup dalam kearifan lokal budaya dan kemudian
mentransformasi, menginternalisasi, memodifikasi, dan mengintegrasikan teori-teori konseling
pastoral Barat ke dalam falsafah hidup dan nilai-nilai kearifan lokal menjadi suatu teori
konseling pastoral yang kontekstual dan berpusat pada budaya. Terakhir, mengaplikasikan
bidang keahlian dalam konseling pastoral dengan memanfaatkan nilai-nilai spiritual dalam ritus
dan simbol-simbol budaya untuk menyelesaikan masalah.
34
J.D. Engel, Pastoral dan Kebutuhan Dasar Konseling, 4. 35
2.2.2 Fungsi Pastoral
Sehubungan dengan fungsi pendampingan dan konseling pastoral, Van Beek mengartikan
fungsi sebagai kegunaan atau manfaat yang dapat diperoleh dari pekerjaan pendampingan dan
konseling dengan tujuan yang hendak dicapai dalam memberikan pertolongan. Beberapa fungsi
pendampingan dan konseling pastoral, yaitu:36
a. Fungsi bimbingan (guiding)
Fungsi ini menurut Clebsch dan Jaekle membantu konseli yang berada dalam
kebingungan untuk menentukan pilihan-pilihan dan pengambilan keputusan yang pasti,
jika pilihan dan keputusan demikian dipandang sebagai yang mempengaruhi keadaan
jiwanya sekarang dan yang akan datang. Fungsi ini dibutuhkan ketika terjadi
perubahan-perubahan dalam hidup konseli agar tidak terjadi kebingungan dan tertekan antara pikiran
dan tindakan.
b. Fungsi penopangan (sustaining)
Fungsi menopang membantu konseli yang sakit atau terluka agar dapat bertahan dan
mengatasi suatu kejadian yang terjadi pada waktu lampau. Fungsi ini menolong konseli
untuk dapat melewati masa-masa sulit dan menerima kenyataan sebagaimana adanya,
mandiri dalam keadaan yang baru, serta bertumbuh secara penuh dan utuh. Clebsch dan
Jaekle membedakan fungsi menopang dalam empat tugas. Pertama adalah penjagaan
(preservation) untuk mendukung orang yang telah mengalami kehilangan agar ia tidak
tenggelam lebih jauh dan kesedihan sedapatnya mungkin dapat diatasi. Kedua, tugas
penghiburan (consolation) sejauh penderita terbuka terhadapnya. Ketiga, tugas
pemantapan (consolidation) yang berusaha mengerahkan dan menyusun kembali sisa
36
tenaga agar konseli menangani situasinya secara mandiri. Keempat, tugas pemulihan
(redemption) bila konseli mulai membangun rancangan hidup baru, agar berpangkal pada
situasi yang baru, mengusahakan pembaruan semaksimal mungkin. Dari beberapa
pemikiran di atas, fungsi menopang dapat diartikan menolong konseli menghadapi
keadaan sekarang sebagaimana adanya, dan menerima kenyataan pahit yang dialami,
serta tetap berjuang untuk menjalani hidup dengan baik.
c. Fungsi penyembuhan (healing)
Fungsi penyembuhan menurut Abineno merupakan pelayanan pastoral secara
holistik, lahir dan batin, jasmani dan rohani, tubuh, dan jiwa. Fungsi ini menuntun konseli
mengungkapkan perasaan hatinya yang terdalam. Sebab bukan tidak mungkin secara fisik
merupakan akibat dari sebuah tekanan secara psikis emosional. Melalui interaksi yang
terbuka konseli dibawa pada hubungan dengan Tuhan baik melalui doa, pembacaan
firman Tuhan dan percakapan pastoral. Menurut Clebsch dan Jeakle penyembuhan
merupakan fungsi pastoral yang bertujuan mengatasi beberapa kerusakan,
mengembalikan orang itu kepada kondisi sebelumnya.
d. Fungsi memulihkan/memperbaiki hubungan (reconciling)
Fungsi memulihkan berarti membantu konseli memperbaiki kembali hubungan yang
rusak antara dirinya dan orang lain. Fungsi ini menolong konseli memaafkan kesalahan
yang telah dilakukan orang dan memberi mereka pengampunan. Dengan mengampuni,
hubungan konseli dan sesama yang telah rusak diperbaiki kembali. Selain itu, Clebsch
dan Jeakle berpendapat bahwa fungsi pemulihan juga merupakan usaha membangun
kembali hubungan-hubungan yang telah rusak antara manusia dengan Tuhan dan
komunikasi dengan sesama, tetapi juga mengembangkan spiritualitasnya dalam hubungan
dengan Tuhan.
e. Fungsi memelihara/mengasuh (nurturing)
Fungsi memelihara atau mengasuh memampukan konseli untuk mengembangkan
potensi-potensi yang diberikan Tuhan kepadanya. Potensi tersebut dilihat sebagai sesuatu
yang bisa ditumbuhkembangkan dan dijadikan sebagai kekuatan dalam menjalankan
kehidupannya, sehingga mereka didorong ke arah pertumbuhan dan perkembangan secara
holistik. Dengan demikian, pendampingan dan konseling pastoral melaksanakan fungsi
penggembalaan dengan tujuan utama mengutuhkan kehidupan manusia dalam segala
aspek kehidupannya, yakni fisik, sosial, mental dan spiritual serta membantu menemukan
makna hidupnya.
2.2.3 Tujuan Pastoral
Dalam setiap proses konseling pastoral ada tujuan yang ingin dicapai, sehingga
mendorong konselor untuk melakukan proses ini. Adapun tujuannya ialah:37
a. Membantu konseli mengalami pengalamannya dan menerima kenyataan tentang apa yang
sedang terjadi atas dirinya secara penuh dan utuh. Ini berarti dalam dan melalui proses
ini, konselor memfasilitasi konseli sedemikian rupa sehingga konseli bersedia dan
mampu mengalami pengalaman dan perasaan-perasaannya secara penuh dan utuh.
Termasuk memahami kekuatan dan kelemahan yang ada dalam dirinya serta kesempatan
dan tantangan yang dihadapi di luar dirinya. Mengalami pengalamannya sendiri
37
merupakan pondasi yang paling kukuh bagi pertumbuhan secara utuh, penuh dan
berkelanjutan.
Menurut Kubler Ross, konseli harus melewati gejala-gejala yang penuh duri
sebelum mencapai penerimaan, yaitu penolakan, terkejut, pengharapan, kesendirian,
kecewa, marah, tawar-menawar, depresi, dan akhirnya penerimaan. Konselor pada
dasarnya membantu konseli untuk mencapai tingkat kedewasaan dan kepribadian yang
penuh dan utuh seperti diharapkan sehingga dia tidak mempunyai kepribadian yang
terpecah dan mampu mengintegrasikan diri dalam segala aspek kehidupan secara utuh,
selaras, serasi, dan seimbang. Begitu pula melalui konseling pastoral, konselor membantu
konseli untuk menyadari bahwa dirinya mempunyai sumber-sumber untuk mengatasi
permasalahan yang sedang dihadapinya dan bertumbuh.
b. Membantu konseli mengungkapkan diri secara penuh dan utuh. Melalui konseling
pastoral, konseli dibantu agar dapat secara spontan, kreatif, dan efektif mengekspresikan
perasaan, keinginan, dan aspirasinya. Dengan demikian, konseli dapat secara penuh dan
utuh dapat mengungkapkan perasaan yang sebenarnya.
c. Membantu konseli berubah, bertumbuh, dan berfungsi maksimal. Dalam proses ini
konselor secara berkesinambungan memfasilitasi konseli menjadi agen perubahan bagi
dirinya dan lingkungannya. Pada hakikatnya, konseli adalah agen utama perubahan dan
konselor dapat disebut mitra perubahan bagi agen perubahan utama. Dengan begitu
konseli tidak berhenti pada titik penerimaan, melainkan maju selangkah lagi sehingga
berani dan bersedia mengubah diri, bertumbuh serta berfungsi secara maksimal.
d. Membantu konseli menciptakan komunikasi yang sehat. Karena berbagai sebab, banyak
lingkungannya. Hal ini memunculkan berbagai persoalan baik dalam diri seseorang atau
lingkungannya. Oleh sebab itu, konseling pastoral dapat membantu orang untuk
menciptakan komunikasi yang sehat. Konseling pastoral juga dapat dipakai sebagai
media pelatihan bagi konseli untuk berkomunikasi dengan lebih baik pada
lingkungannya.
e. Membantu konseli bertingkah laku baru. Konseling pastoral dapat dipakai sebagai media
untuk menciptakan dan berlatih tingkah laku baru yang lebih sehat. Tujuan ini sangat
penting bagi konseli untuk menghentikan semua kebiasaan buruk yang ada dalam dirinya.
f. Membantu konseli bertahan dalam situasi baru. Dalam hal ini konseli dapat bertahan
pada kondisinya pada masa kini sebagaimana adanya dan akhirnya menerima keadaan itu
dengan lapang dada dan mengatur kembali kehidupannya yang baru. Hal ini dilakukan
apabila keadaan konseli tidak mungkin dapat dikembalikan pada keadaan yang sama
sebelum dia mengalami krisis.
g. Membantu konseli menghilangkan gejala-gejala yang mengganggu sebagai akibat dari
krisis. Konseling diharapkan dapat mengurangi atau memperkecil gejala
ketidaknormalan, mungkin bisa secara patologis, sehingga dapat berfungsi secara normal
kembali.
2.3. Pemahaman Konseling Prapernikahan
Pernikahan merupakan bagian penting dari proses perjalanan hidup manusia. Melalui
sebuah pernikahan terbentuklah kehidupan rumah tangga, yang di dalamnya terdiri dari suami,
istri dan anak-anak. Kehidupan rumah tangga perlu untuk mendapat pembinaan agar dapat
Secara personal, kebahagiaan dan penderitaan kita ditentukan oleh dan di dalam keluarga.
Manusia bisa saja memiliki segalanya dalam hidup, akan tetapi kalau kehidupan keluarganya
hancur, pastinya ia akan menderita. Sebaliknya, jika keluarga itu biasa-biasa saja, tetapi
kehidupan keluarganya harmonis dan bertumbuh sehat, keluarga itu pasti tidak jauh dari
kebahagiaan. Kita tidak bisa memungkiri bahwa semua orang menginginkan agar melalui
pernikahannya dapat dibina sebuah keluarga yang utuh.38
Pernikahan sebenarnya tidak pernah gagal, yang bisa gagal adalah orang-orang yang ada
dalam pernikahan tersebut. Oleh karena itu, agar tidak mudah gagal maka perlu untuk belajar
banyak tentang nilai-nilai yang paling penting melalui pengalaman di lingkungan keluarga dan di
sekitar kita, karena keluarga sangat berpengaruh dalam membentuk dan menetapkan nilai-nilai
moral, etis, dan spiritualitas, bahkan nilai-nilai yang sudah ada dalam keluarga itu sendiri,
sehingga dapat saling melengkapi.
Selain itu, kita harus ingat bahwa setiap orang memiliki latar belakang pengalaman
hidup, status sosial, budaya, nilai-nilai, karakter dan pendidikan yang berbeda-beda. Untuk
menyatukan itu semua dibutuhkan proses yang cukup panjang dan bila proses ini dipahami tidak
benar-benar dipahami secara mendalam dan tidak disadari oleh calon pasangan masing-masing,
maka akan terjadi masalah besar dalam perjalanan pernikahan mereka.39 Menyikapi semua
permasalahan ini, maka seharusnya sebelum memasuki kehidupan pernikahan, penting untuk
dilakukan konseling prapernikahan bagi calon pasangan. Konseling prapernikahan dapat
dijadikan sebagai media untuk mengurangi perceraian dan mempererat hubungan keluarga40
38
Yvonne D. Taroreh-Loupatty, Kawin, Siapa Takut ! Langkah Awal Membentuk Keluarga Bahagia, (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2017), 1-2.
39 Yvonne D. Taroreh-Loupatty,
Kawin, Siapa Takut ! Langkah Awal Membentuk Keluarga Bahagia, 2-3. 40
Pada pertengahan tahun 1930 di Amerika Serikat Ernest Groves mempelopori dengan
membuka kursus pertama yang modern mengenai pernikahan. Kursus ini awalnya bersifat
akademik saja, tetapi sekarang kebanyakan telah bersifat fungsional dan dirancang untuk
penyesuaian hidup.41 Di Negara-negara maju konseling prapernikahan sudah banyak dipraktikan
oleh para pendeta dan imam. Bagi orang-orang Katolik sejak bangku SLTA telah diajarkan
liku-liku pernikahan dengan menggunakan bahan-bahan dari Catholic Marriage Advisory Council.42
Pengertian konseling harus ditempatkan pada kedudukan yang tepat, sebelum seseorang
berbicara tentang konseling prapernikahan. Pada dasarnya konseling prapernikahan dan
konseling pernikahan memang tidak ada yang berbeda, baik tentang metodenya maupun issunya.
Dalam konseling pernikahan isue yang dibicarakan sedang dan sudah terjadi, sedangkan dalam
konseling prapernikahan isue yang dibicarakan sedang dan akan terjadi.43 Pendapat yang sama
juga diungkapkan oleh Loekmono yang mengatakan bahwa konseling prapernikahan berkaitan
erat dengan konseling pernikahan. Lobby menilai bahwa adalah baik untuk menolong orang
mengatasi kesulitan-kesulitan itu sebelum kesulitannya timbul. Gagasan untuk menolong
seseorang mempersiapkan pernikahannya memang baik karena ibaratnya kita tidak mungkin
meninggalkan kapal terbang tinggal landas sebelum dicek untuk memastikan bahwa kapal itu
layak terbang. Orang-orang muda yang memutuskan untuk menikah mulai berpikir berapa
banyak perceraian yang terjadi. Oleh sebab itu, mereka tidak ingin mengalami nasib yang sama,
dan mulai memiliki prinsip lebih baik mencegah daripada mengobati.44
Konseling prapernikahan merupakan bentuk konseling yang menitikberatkan perhatian
pada hal-hal atau permasalahan seputar hubungan antar pribadi seorang pria dan wanita pada
41
J.T. Lobby Loekmono, Konseling Pernikahan, (Salatiga: Pusat Bimbingan UKSW, 1989), 22. 42 Mesach Krisetya,
Konseling Pernikahan dan Keluarga, (Salatiga: Katalog Dalam Terbitan, 1999), 17. 43
Mesach Krisetya, Konseling Pernikahan dan Keluarga, 17-18. 44
tahap-tahap sebelum mereka menjadi suami-istri. Melalui konseling ini, pasangan dibantu untuk
menilai hubungan mereka serta diperkenalkan kepada cara-cara mengusahakan pernikahan yang
bahagia dan berhasil. Dalam konseling prapernikahan, berbagai kesulitan yang biasa muncul
dalam hubungan suami istri dibicarakan secara konkrit dengan memperhatikan keunikan pribadi
masing-masing.
Konseling ini memberikan kesempatan terbuka bagi pasangan untuk membicarakan diri
mereka, teman hidup atau keluarga mereka. Tidak banyak orang memiliki peluang untuk
membicarakan masalah-masalah psikologis yang penting dalam pengambilan keputusan untuk
keluarga. Konseling dapat menjadi pelepasan untuk mengatasi kesulitan seperti itu. Melalui
konseling prapernikahan pasangan mendapatkan kesempatan untuk tumbuh secara emosional
dan pribadi sehingga mereka ditolong dalam membentuk dasar yang teguh dalam kehidupan
pernikahan. Selain itu, pasangan juga dibantu untuk memahami dan mengetahui apakah mereka
sudah matang untuk menikah dan apakah kita memang harus menikah.45
Ada tiga pendekatan yang bisa dilakukan dalam proses konseling prapernikahan, yang
pertama pendidikan prapernikahan. Melalui pendidikan pranikah banyak informasi yang bisa
didapatkan tentang lika-liku pernikahan dan keluarga. Dalam pendidikan prapernikahan
bahan-bahan tentang pernikahan dan keluarga bisa diberikan melalui percakapan. Informasi yang
dibutuhkan meliputi bidang-bidang seperti, latar belakang perkawinan dan keluarga ditinjau dari
sisi agama dan sejarah, tempat dan fungsi keluarga dalam masyarakat dan budaya yang
berubah-ubah, pengertian tentang peranan laki-laki dan perempuan dalam keluarga dan pekerjaan,
prinsip-prinsip keuangan, pengertian tentang seksualitas, hubungan dengan mertua dan
kemampuan menyelesaikan masalah.
45
Kedua, bimbingan prapernikahan. Bimbingan bisa dikatakan sebagai instruksi secara
individual, dimana seorang individu atau pasangan mengikuti prinsip-prinsip yang telah
digariskan dan mengembangkan suatu rencana atau program mereka sendiri. Bimbingan harus
selalu berorientasi kepada kebutuhan khusus dan sumber potensi pasangan tersebut.
Ketiga, konseling prapernikahan. Konseling ini dibutuhkan pada saat ada kecemasan,
keragu-raguan, perasaan salah, kekerasan atau emosi-emosi yang negatif yang menyebabkan
ketegangan dan ketidakpastian.46 Jadi, bisa disimpulkan bahwa pendidikan dilakukan pada saat
informasi dibutuhkan, bimbingan diberikan pada saat rencana yang khusus perlu untuk
diselesaikan atau dikerjakan dan konseling dilakukan ketika ada masalah muncul, rasa stress
yang berat atau pada saat ada hal-hal yang perlu diatasi.
Dalam pelaksanaan proses konseling prapernikahan ada manfaat yang bisa kita petik,
antara lain:47
a. Proses pertolongan yang berhubungan dengan usaha mempengaruhi perubahan tingkah
laku calon pasangan dan memungkinkan mereka betul-betul dapat mengerti serta
mengenal apa yang sebenarnya terjadi pada diri mereka, juga tujuan ke depan yang
mereka dambakan, sehingga mereka tidak saja melihat tujuan hidup mereka dalam
tanggung jawab pasangan, tetapi juga terutama tanggung jawab dan relasi mereka dengan
Tuhan, serta mencapai tujuan itu dengan kekuatan dan kemampuan.
b. Pelayanan konseling adalah pertolongan yang memiliki perspektif bersedia untuk
merawat, menolong, memelihara, mengobati, dan melindungi calon pasangan.
46
Mesach Krisetya, Konseling Pernikahan dan Keluarga, 18-19. 47
c. Dalam pelayanan konseling ada sumbangan ilmu pengetahuan lainnya, khususnya
psikologi yang dapat kita terima, sehingga kita memperoleh informasi yang
melatarbelakangi tingkah laku manusia yang normal dalam hidupnya atau gejala-gejala
kejiwaan yang dapat dikategorikan sebagai abnormalitas.
d. Pelayanan konseling yang memberikan sumbangan tentang teknik-teknik pendekatan
terhadap calon pasangan, sehingga mereka dapat mengembangkan potensi-potensi positif
yang ada dalam diri mereka dan mengurangi hal-hal negatif dalam diri mereka, agar tidak
menjadi masalah dikemudian hari dalam pernikahan mereka.
e. Memiliki pandangan ke depan yang lebih terarah.
f. Mempermudah penyatuan visi dan misi termasuk membantu memahami kedua keluarga
masing-masing pasangan. Ketika memasuki pernikahan, masing-masing harus
berkomitmen untuk membangun relasi yang baik dengan keluarga pasangan dan seiring
berjalannya waktu ini juga akan mempengaruhi ketika sudah memiliki anak-anak.
g. Mengulas isu finansial dengan lebih terarah. Isu ini merupakan hal penting untuk
didiskusikan sebelum menikah.
h. Mengasah kemampuan berkomunikasi. Hubungan yang sehat berangkat dari komunikasi
yang baik. Kemampuan mendengarkan penting dimiliki oleh pasangan yang akan
menikah, jika ingin memiliki hubungan yang lebih kuat.
i. Meningkatkan kepuasan pernikahan. Konseling prapernikahan membantu pasangan
mengomunikasikan, mengidentifikasi kekhawatiran mereka, hasrat, keyakinan, nilai,
mimpi-mimpi, kebutuhan dan beban hidup lainnya yang kebanyakan dihindari atau
kepercayaan, sehingga pasangan yang akan menikah mampu melewati masa-masa sulit
setiap harinya.
j. Memiliki kemampuan menyelesaikan konflik. Pasangan bisa belajar cara berkomunikasi
yang baik dan meningkatkan kemampuan menyelesaikan konflik.
Dari beberapa manfaat konseling prapernikahan yang bisa kita dapatkan, tentunya tidak
terlepas oleh adanya peran dari seorang konselor. Karena konselor merupakan orang pertama
yang konseli cari untuk membantu mereka menyelesaikan persoalan kehidupan mereka dan
keluarga.
2.2.1. Karakteristik Konseling Prapernikahan
Sebagai seorang konselor yang melakukan konseling prapernikahan, maka konselor perlu
untuk memahami karakteristik dari calon pasangan yang sedang bergumul. Pemahaman ini
tentunya akan membantu konselor dalam menilai hubungan antar laki-laki dan perempuan
sebelum mereka memasuki jenjang pernikahan. Ada beberapa karakteristik yang perlu dipahami
oleh konselor, antara lain:48
a. Pasangan secara emosional sudah matang, artinya mereka mempunyai kondisi jasmani
yang sehat dan berasal dari keluarga yang bahagia dimana mereka telah membuat
penyesuaian diri yang baik, baik secara emosional maupun secara sosial. Konselor
membantu mereka untuk semakin memperkuat hubungan mereka.
b. Pasangan mengalami salah penyesuaian dalam berbagai hal atau seringkali mereka tidak
matang/dewasa dan emosi belum stabil. Oleh karena itu, konselor harus siap menghadapi
kasus seperti ini, sekalipun harus meragukan keberhasilan dari pernikahan mereka.
Konseling harus membantu mereka untuk menjadi realistis dalam menghadapi
48
perbedaan-perbedaan serta konflik-konflik yang ada pada diri mereka. Melalui konseling
juga mereka harus dibantu untuk menerima diri mereka yang tidak bisa diubah lagi.
Konseling yang baik mungkin saja membawa perubahan berarti pada aspek-aspek
kepribadian mereka.
c. Perkembangan mengenai keadaan fisik perlu diperhatikan oleh konselor dalam proses
konseling prapernikahan. Konselor dapat membantu masing-masing menerima cacat
salah satu pihak dan mengembangkan kerjasama antar mereka dalam mengarungi hidup
bersama.
d. Individu yang neutotik (gangguan mental ringan) dan psikotik (halusinasi) perlu untuk
mendapat pendampingan, karena kita tahu bahwa bila salah satu dari pasangan
mengalami hal tersebut maka mereka tidak akan mampu memikul tanggung jawab dalam
kehidupan pernikahan dan menjalankan tugas sebagai orang tua. Disinilah konselor harus
mampu mengenali individu semacam ini dan membawanya ke psikolog atau psikiater
untuk memperoleh pertolongan khusus. Dalam kelompok ini juga termasuk mereka yang
kecanduan alkohol atau obat bius serta mereka tingkah laku mereka yang terlihat
antisosial.
e. Pasangan dapat memahami pentingnya spiritualitas dalam pernikahan yang menolong
mereka untuk meningkatkan kesadaran dan bagaimana membangun relasi serta
komunikasi yang saling terbuka juga di area mana mereka harus bertumbuh.49
f. Pasangan dapat memahami dan mengenal prinsip-prinsip dasar tentang pernikahan dan
kehidupan berkeluarga sebelum dan sesudah melangkah ke dalam pernikahan.50
49
Yvonne D. Taroreh-Loupatty, Kawin, Siapa Takut ! Langkah Awal Membentuk Keluarga Bahagia, 3. 50
g. Pasangan dapat memperkuat hubungan mereka sebelum memasuki pernikahan, sehingga
mereka siap menghadapi masalah apapun, bahkan tantangan dan konflik yang mungkin
dihadapi di masa mendatang.51
Dari beberapa karakteristik konseling prapernikahan di atas, kita dapat melihat bahwa
betapa pentingya mempersiapkan diri untuk menuju ke pernikahan. Karena sebuah pernikahan
bukanlah sesuatu yang mudah, tetapi perlu adanya kesiapan secara menyeluruh, baik dalam diri
sendiri, maupun pasangan kita. Entah itu berkaitan dengan fisik ataupun mental keduanya. Untuk
proses konseling prapernikahan menuju pernikahan, tentunya membutuhkan peran konselor guna
membimbing dan menolong dalam mewujudkan keluarga yang bahagia. Konselor juga ikut
menilai apakah pasangan sudah siap untuk menikah ataukah masih perlu untuk saling mengenal
lebih jauh melalui karakteristik yang ada. Karena tidaklah gampang untuk pasangan bisa saling
menerima kekurangan masing-masing.
2.2.2. Tujuan Konseling Prapernikahan
Kemajuan jaman yang disertai dengan adanya perkembangan nilai-nilai, mau tidak mau
mempengaruhi penghayatan hidup berkeluarga. Dalam perkembangan ini ada nilai-niai positif
yang berupa kesadaran akan martabat manusia, kesadaran etika, kesadaran gender, dll. Selain itu
juga, berkembang nilai-nilai yang merendahkan martabat hidup pernikahan, seperti poligami,
perceraian, seks pranikah, perselingkuhan, kekerasan dalam rumah tangga dan masih banyak
lainnya. Sebagai tindakan antisipasi untuk mengatasi tantangan hidup berkeluarga tersebut, maka
salah satu cara perlu adanya konseling prapernikahan.52
51
Yvonne D. Taroreh-Loupatty, Kawin, Siapa Takut ! Langkah Awal Membentuk Keluarga Bahagia, 3.
52
Konseling prapernikahan tidak hanya dilakukan begitu saja tanpa ada tujuan yang harus
dicapai, tetapi sebaliknya konseling prapernikahan dilakukan untuk mencapai beberapa tujuan,
sebagai berikut:53
a. Sebagai langkah awal bagi calon pasangan untuk hidup berkeluarga yang baik dan suatu
usaha memberikan bekal dalam menjalani hidup sebagai keluarga.
b. Melengkapi kebutuhan pasangan dalam pengetahuan tentang psikologi, moral,
seksualitas, kesehatan, ekonomi, paham gender dan pengetahuan lainnya yang berkaitan
erat dengan hidup berkeluarga.
c. Memberikan pegangan bagi pasangan untuk mengambil tindakan dan mengatur hidupnya
sendiri.
d. Memberikan penjelasan bagi pasangan tentang hal-hal yang berhubungan dengan
masalah pernikahan dan masalah keluarga.
Selain tujuan konseling prapernikahan yang dipaparkan menurut pemahaman Katolik, ada juga
pendapat lain dari Jonathan Trisna berkaitan dengan tujuan konseling pranikah, antara lain:54
a. Mendeteksi dan menyadarkan calon pasangan tentang adanya masalah dan situasi yang
mungkin menghancurkan pernikahan mereka kelak. Setelah menyadari adanya masalah
atau potensi masalah, pasangan itu dapat berusaha menyelesaikannya bersama dengan
konselor.
b. Mengajar kepada pasangan makna suatu upacara pernikahan, mengerti arti janji nikah
yang akan mereka ucapkan dan komitmen yang akan mereka pikul sepnajang pernikahan
mereka.
53
Kursus Persiapan Hidup Berkeluarga, (Yogyakarta: Kanisius, 2007), 14. 54
Jonathan menekankan bahwa konseling prapernikahan bukanlah suatu halangan atau
rintangan yang harus dilalui sebelum pasangan menikah, tetapi justru merupakan suatu
perlindungan bagi mereka. Konseling prapernikahan adalah salah satu usaha agar pasangan
mengalami pernikahan yang bahagia dan harus dilakukan dengan sukacita, bukan malah menjadi
suatu beban atau sebuah kecemasan.
Pada intinya menurut Lobby tujuan dari konseling prapernikahan ini adalah untuk
membantu individu atau pasangan dalam mempersiapkan diri membangun keluarga yang
berhasil dan bahagia. Oleh karena itu, ada beberapa hal yang hendak dicapai dari konseling ini,
yaitu:55
a. Menilai kesiapan untuk menikah yang diperoleh dari pengamatan konselor dan
pembicaraan antara konselor dengan pasangan mengenai beberapa persoalan seperti,
alasan yang kuat untuk menikah, harapan mereka, apakah mereka sudah saling
memahami dan menerima segala perbedaan yang ada dalam diri mereka masing-masing.
b. Membantu pasangan menilai diri berkaitan dengan kematangan psikologis dan spiritual
sebelum menikah serta melihat kembali kekuatan, kelemahan, nilai-nilai, prasangka,
keyakinan, sikap terhadap suami/istri dalam pernikahan juga harapan dan rencana masa
depan.
c. Mengembangkan keterampilan komunikasi yang efektif untuk menghindari masalah
dalam pernikahan. Oleh sebab itu pasangan perlu menunjukkan spontanitas, kejujuran
serta kepekaan dalam berkomunikasi. Melalui komunikasi juga diharapkan pasangan
belajar untuk membuka diri dan mendiskusikan segala sesuatu.
d. Menghindari ketegangan dalam penyesuaian diri
55
e. Merencanakan perayaan pernikahan dengan memperhatikan apakah persyaratan penting
untuk berlangsungannya pernikahan sudah terpenuhi atau belum. Persyaratan yang
dimaksud misalnya pemeriksaan medis, surat-surat, biaya,dll.
f. Memperjelas peran yang akan dimainkan untuk sama-sama dapat belajar menerima
perbedaan kemampuan dan menyetujui bidang-bidang yang menjadi tanggung jawab
suami dan istri.
g. Mencapai pengertian seksual yang sehat, sehingga mencegah terjadinya hubungan seks
sebelum menikah.
Untuk mencapai tujuan atau maksud dari konseling prapernikahan di atas dibutuhkan lima
atau enam kali pertemuan yang berlangsung selama kurang lebih satu jam.56 Namun kadang kala
berubah dikarenakan kesibukan dari pasangan. Oleh sebab itu, konselor dituntut harus bijaksana
dalam menghadapi pasangan dan menanamkan dalam diri konselor bahwa ini merupakan
tanggung jawab besar sebagai usaha memberikan landasan kuat bagi hidup pernikahan.
56