• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II KAJIAN TENTANG WARISAN MENURUT HUKUM ISLAM DAN HUKUM ADAT A. Pengertian Warisan Menurut Hukum Islam dan Hukum Adat 1. Menurut Hukum Islam - Kajian Yuridis Pelaksanaan Warisan Pada Masyarakat Adat Batak Mandailing Di Padang Lawas

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2019

Membagikan "BAB II KAJIAN TENTANG WARISAN MENURUT HUKUM ISLAM DAN HUKUM ADAT A. Pengertian Warisan Menurut Hukum Islam dan Hukum Adat 1. Menurut Hukum Islam - Kajian Yuridis Pelaksanaan Warisan Pada Masyarakat Adat Batak Mandailing Di Padang Lawas"

Copied!
31
0
0

Teks penuh

(1)

BAB II

KAJIAN TENTANG WARISAN MENURUT HUKUM ISLAM DAN HUKUM ADAT

A. Pengertian Warisan Menurut Hukum Islam dan Hukum Adat 1. Menurut Hukum Islam

Kata waris berasal dari bahasa arab yaitu warasa-yarisu-warisan yang berarti

berpindahnya harta seseorang kepada seseorang setelah meninggal dunia. Adapun

dalam Al-Qur’an ditemukan banyak kata warasa yang berarti menggantikan

kedudukan, memberi atau menganugerahkan, dan menerima warisan. Sedangkan

Al-miras menurut istilah para ulama ialah berpindahnya hak kepemilikan dari orang

yang meninggal kepada ahli warisnya yang masih hidup baik yang ditinggalkan itu

berupa harta,tanah atau apa saja yang berupa hak milik legal secara syar’i.5

Istilah kewarisan berasal dari bahasa arab Al-irts yang secara leksikal berarti

perpindahan sesuatu dari seseorang kepada orang lain. Dan secara terminologi, ia

berarti pengalihan harta dan hak seseorang yang telah wafat kepada seseorang yang

amsih hidup dengan bagian-bagian tertentu, tanpa terjadi Aqad lebih dahulu.6

Kewarisan (Al-miras) yang disebut juga sebagai faraidh berarti bagian tertentu

dari harta warisan sebagaimana telah diatur dalam nash Al-Qur’an dan Al-Hadits,

Sehingga dalam konteks ini dapat disimpulkan bahwa pewarisan adalah pepindahan

hak dan kewajiban tentang kekayaan seseorang yang telah meninggal dunia terhadap

orang-orang yang masih hidup dengan bagian-bagian yang telah ditetapkan dalam

nash-nash baik Al-Qur’an dan Al-Hadits.7

Yang dimaksud dengan hukum kewarisan Islam disini adalah hukum

kewarisan yang diatur dalam Al-Qur’an. Sunnah Rasul dan fikih sebagai hasil ijtihad

5

Habiburrahman, Rekonstruksi Hukum Kewarisan Islam di Indonesia, Kencana Prenada Media Group, Jakarta, 2011, h.17

6

Ali Parman, Kewarisan Dalam Alquran, Raja Grafindo Persada, 1995 , h.9

7

Habiburrahman., loc. cit.

(2)

para fukaha dalam memahami ketentuan Al-Qur’an dan sunnah Rasul. Dengan

demikian, hukum kewarisan Islam merupakan bagian dari agama Islam. Oleh

karenanya, tidak aneh jika bagi umat Islam, tunduk kepada hukum kewarisan Islam

itu merupakan tuntutan keimanannya kepada Allah swt.8

Dalam hubungan ini QS An Nisaa’ (4) : 65 mengajarkan,

Maka demi Tuhanmu, mereka ( pada hakikatnya ) tidak beriman hingga

mereka menjadikan kamu hakim terhadap perkara yang mereka perselisihkan,

kemudian mereka tidak merasa dalam hati mereka sesuatu keberatan terhadap

putusan yang kamu berikan dan mereka menerima dengan sepenuhnya.”

Kewarisan menurut hukum Islam ialah proses pemindahan harta peninggalan

seseorang yang telah meninggal, baik yang berupa benda yang wujud maupun yang

berupa hak kebendaan, kepada keluarganya yang dinyatakan berhak menurut

hukum.9

Bertolak dari batasan ini, terlihat bahwa harta milik seseorang baru dikatakan

berpindah apabila pewaris telah wafat dan ada dalil warisnya. Ahli waris

memperoleh saham secara pasti sesuai ketentuan Al-Qur’an, apabila mereka telah

memenuhi segala syarat pewarisan. Ada syarat yang melekat pada pewaris, ahli

waris, dan bahkan ada syarat pada harta yang akan di wariskan.10

Batasan tersebut menegaskan juga bahwa menurut hukum Islam, yang

tergolong ahli waris hanyalah keluarga, yaitu yang berhubungan dengan pewaris

dengan jalan perkawinan (suami atau isteri) atau dengan adanya hubungan darah

(anak, cucu, orang tua, saudara, kakek, nenek, dan sebagainya).11

8

Ahmad Azhar Basyir, Hukum Waris Islam, UII Pres, Yogyakarta, 2001., h.130

(3)

Ringkasnya hukum kewarisan adalah hukum yang mengatur tentang

pemindahan hak pemilikan harta peninggalan (hirkah) pewaris, menentukan

siapa-siapa yang berhak menjadi ahli waris dan berapa bagiannya masing-masing.12

Sedangkan harta warisan adalah benda yang ditinggalkan oleh orang yang

meninggal dunia yang menjadi hak ahli waris. Harta itu adalah sisa setelah diambil

untuk berbagai kepentingan, yaitu biaya perawatan jenazah hutang-hutang dan

penunaian wasiat.13

Hukum Islam adalah hukum Allah yang menciptakan alam semesta

ini,termasuk manusia didalamnya. Hukumnya pun meliputi semua ciptaan Nya

itu.Hanya, ada yang jelas sebagaimana yang ‘tersirat’ di balik hukum yang tersurat

dalam Alquran itu. Selain yang tersurat dan tersirat itu, ada lagi hukum Allah yang

‘tersenbunyi’ dibalik Al-Qur’an. Hukum yang tersirat dan tersembunyi inilah yang

harus dicari, digali dan ditemukan oleh manusia yang memenuhi syarat melalui

penalarannya. Untuk menemukan hukum yang tersirat dan tersembunyi tersebut di

perlukan wawasan yang jelas dan kemampuan untuk mencari dan menggali hakikat

hukum ilahi serta tujuan Allah menciptakan hukum-hukum Nya.14

Hukum waris menduduki tempat amat penting dalam hukum Islam. Ayat

Alquran mengatur hukum hukum waris dengan jelas dan terperinci. Hal ini dapat di

mengerti sebab masalah warisan pasti di alami oleh setiap orang. Kecuali itu, hukum

waris langsung menyangkut harta benda apabila tidak diberikan ketentuan pasti,

amat mudah menimbulkan sengketa diantara ahli waris. Setiap terjadi peristiwa

kematian seseorang, segera timbul pertanyaan bagaimana harta peninggalannya

12

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 1 tahun 1974 Tentang Perkawinan dan Kompilasi Hukum Islam, Buku II, Hukum Kewarisan, Bab I Ketentuan Umum, Pasal 171, Citra Umbara, Bandung, 2013, h.375

13

Abdul Ghofur Anshori., Hukum Kewarisan Islam di Indonesia, Ekonisia, Yogyakarta, 2002, h.20

14

Mohammad Daud Ali, Hukum Islam, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2006, h.124

(4)

harus diperlakukan dan kepada siapa saja harta itu dipindahkan, serta bagaimana

caranya. Inilah yang diatur dalam hukum waris.15

Hukum kewarisan, termasuk salah satu aspek yang diatur secara jelas dalam

Al-Qur’an dan Sunnah Rasul. Hal ini membuktikan bahwa, masalah kewarisan

cukup penting dalam agama Islam.16

Dari seluruh hukum yang berlaku dalam masyarakat, maka hukum perkawinan

dan kewarisanlah yang menentukan dan mencerminkan sistem kekeluargaan yang

sekaligus merupakan salah satu bagian dari hukum perdata.17

2. Menurut Hukum Adat

Hukum waris adat meliputi aturan-aturan hukum yang bertalian dengan proses

penerusan dan peralihan kekayaan materiel dan immaterieel dari turunan ke

tururunan. Hanya tinggal ditunjukkan saja sampai dimana berlakunya pengaruh lain

aturan hukum atas lapangan hukum waris dalam masing-masing lingkungan

hukum.18

Istilah waris di dalam kelengkapan istilah hukum waris adat diambil alih dari

bahasa Arab yang telah menjadi bahasa Indonesia, dengan pengertian bahwa di

dalam hukum waris adat tidak semata-mata hanya akan menguraikan tentang waris

dalam hubungannya dengan ahli waris, tetapi lebih luas dari itu.19

Sebagaimana telah dikemukakan di atas hukum waris adat adalah hukum adat

yang memuat garis-garis ketentuan tentang sistem dan azas-azas hukum waris,

tentang harta warisan, pewaris dan waris serta cara bagaimana harta warisan itu

dialihkan penguasaan dan pemilikkannya dari pewaris kepada waris. Hukum waris

Ter Haar Bzn Terjemahan K. Ng. Soebakti Poesponoto, Asas-Asas dan Susunan Hukum Adat,

Pradnya Paramita, Jakarta, h.231

19

Hilman Hadikusuma, Hukum Waris Adat, Citra Aditya Bakti, Bandung, 2013, h.7

(5)

adat sesungguhnya adalah hukum penerusan harta kekayaan dari suatu generasi

kepada turunannya.20

Dalam hal ini adapun pendapat para ahli hukum adat di masa lampau tentang

hukum waris adat yakni:

…Soepomo, menyatakan bahwa hukum waris adat memuat peraturan-peraturan yang mengatur proses meneruskan serta mengoperkan barang-barang harta benda dan barang-barang-barang-barang yang tidak berwujud benda (immateriele goederen) dari suatu angkatan manusia (generatie) kepada

turunannya. Proses tersebut tidak menjadi akuut oleh sebab orang tua

meninggal dunia. Memang meninggalnya bapak atau ibu adalah suatu peristiwa yang penting bagi proses itu, akan tetapi sesungguhnya tidak mempengaruhi secara radikal proses penerusan dan pengoperan harta benda

dan harta bukan benda tersebut.21

…Ter Haar, merumuskan hukum waris adat meliputi peraturan-peraturan

hukum yang bersangkutan dengan proses yang sangat mengesankan serta yang akan selalu berjalan tentang penerusan dan pengoperan kekayaan materiil, dan

immaterial dari suatu generasi kepada generasi berikutnya.22

…Wirjono Prodjodikoro, memberi pengertian bahwa warisan itu adalah soal apakah dan bagaimanakah pelbagai hak-hak dan kewajiban-kewajiban tentang kekayaan seseorang pada waktu ia meninggal dunia akan beralih kepada orang

lain yang masih hidup.23

Dengan demikian hukum waris itu memuat ketentuan-ketentuan yang

mengatur cara penerusan dan peralihan harta kekayaan (berwujud atau tidak

berwujud) dari pewaris kepada para warisnya. Cara penerusan dan peralihan harta

kekayaan itu dekat berlaku sejak pewaris masih hidup atau setelah pewaris

meninggal dunia.24

Mengartikan waris dari sudut hukum adat maka pada kenyataannya sebelum

pewaris wafat sudah dapat terjadi perbuatan penerusan atau pengalihan harta

kekayaan waris. Perbuatan penerusan atau pengalihan harta dari pewaris kepada

20

Hilman Hadikusuma, loc. cit.

21

Soerjono Soekanto, Hukum Adat Indonesia, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2012, h.259

22

Soerojo Wignojodipoero, Pengantar dan Asas-Asas Hukum Adat, Haji Masagung, Jakarta, 1988, h.161

23

Soerojo Wignojodipoero, loc. cit.

24

Hilman Hadikusuma, op.cit., h.8

(6)

waris sebelum pewaris wafatdapat terjadi dengan cara penunjukan, penyerahan

kekuasaan atau penyerahan pemilikan atas bendanya oleh pewaris kepada waris.25

Hukum waris adat itu mempunyai corak dan sifat-sifat tersendiri yang khas

Indonesia, yang berbeda dari hukum Islam maupun hukum barat. Sebab

perbedaannya terletak dari latar belakang alam fikiran bangsa Indonesia yang

berfalsafah Pancasila dengan masyarakat yang Bhineka Tunggal Ika. Latar belakang

itu pada dasarnya adalah kehidupan bersamayang bersifat tolong menolong guna

mewujudkan kerukunan, keselarasan dan kedamaian didalam hidup.26

Bangsa Indonesia yang murni alam fikirannya berazas kekeluargaan dimana

kepentingan hidup yang rukun damai lebih diutamakan dari sifat-sifat kebendaan

dan mementingkan diri sendiri. Jika pada belakangan ini Nampak sudah banyak

kecenderungan adanya keluarga-keluarga yang mementingkan kebendaan dengan

merusak kerukunan hidup kekerabatan atau ketetanggan maka hal itu merupakan

suatu krisis akhlak, antara lain disebabkan pengaruh kebudayaan asing yang

menjajah alam fikiran bangsa Indonesia.27

25

Ibid.

26

Ibid., h.9

27

Ibid.

(7)

B. Dasar Hukum Pembagian Warisan Menurut Hukum Islam dan Hukum Adat

1. Menurut Hukum Islam

Hukum kewarisan Islam di Indonesia adalah hukum waris yang bersumber

kepada Al Qur’an dan Hadits, hukum yang berlaku universal di bumi mana pun di

dunia ini.28 Hukum kewarisan Islam disebut juga hukum fara’id, jamak dari kata

farida, erat sekali hubungannya dengan kata fard yang berarti kewajiban yang harus

dilaksanakan.29

Sebelum datangnya agama Islam, isteri ataupun anak perempuan bukanlah

dipandang sebagai orang-orang yang memilik hak waris. Sebaliknya mereka

dianggap sebagai harta warisan, dan oleh karena itu boleh diwariskan. Wahyu

Al-Qur’an kemudian di turunkan dalam hal waris-mewaris sebagai perbaikan terhadap

keadaan-keadaan sebelumnya dimana pada masa itu wanita merupakan kekayaan,

begitu juga laki-laki yang tidak mampu ke medan perang untuk bertempur juga

dianggap bukan sebagai orang-orang yang berhak mewaris. Munculnya Islam

dengan peraturan baru tentang hukum waris untuk perempuan dan anak-anak kecil

telah memberikan perubahan yang sangat signifikan bagi status kaum perempuan

dan anak-anak.30

Hak waris bagi wanita maupun laki-laki, diatur dalam berbagai ayat seperti

dalam Surat An-Nisaa’ ayat 7, 11, 12, 176, yang mengatur tentang hak-hak

seseorang dalam pewarisan. Sebsgai surat pertama tentang hak pewarisan ayat ini

28

Habiburrahman, op. cit.,h.79

29

Mohammad Daud Ali, op. cit., h. 313

30

Habiburrahman, Op. cit.,h.80

(8)

merupakan perrbaikan, khususnya bagi wanita termasuk anak perempuan, isteri, dan

ibu.31

Untuk lebih jelasnya ayat-ayat kewarisan inti ini,secara berurutan dapat

dicantumkan terjemahannya sebagai berikut:

a. Surat An-Nisaa’ ayat 7, yang artinya: “Bagi orang laki-laki ada hak bagian

dari harta peninggalan ibu-bapaknya dan kerabatnya, dan bagiorang wanita ada hak bagian (pula) dari harta peninggalan ibu-bapaknya dan kerabatnya,baik

sedikit atau banyak menurut bagian yang telah ditetapkan.”32

b. Surat An-Nisaa’ ayat 11, yang artinya: “Allah mensyariatkan bagimu

tentang (pembagian pusaka untuk) anak-anakmu. Yaitu bagian seorang anak lelaki sama dengan bagian dua anak perempuan; dan jika anak itu semuanys perempuan lebih dari dua, maka bagi mereka dua pertiga dari harta yang ditinggalkan jika anak perempuan itu seorang saja, maka ia memperoleh separuh harta. Dan untuk dua orang ibu-bapak, bagi masing-masingnya seperenam dari dari harta yang ditinggalkan, jika yang meninggalkan itu mempunyai anak; jika yang meninggalkan itu tidak mempunyai anak dan ia diwarisi oleh ibu-bapaknya (saja), maka ibunya mendapat sepertiga, jika yang meninggal itu mempunyai beberapa saudara, maka ibunya mendapat seperenam. (pembagian tersebut diatas) sesudah di penuhi wasiat yang ia buat atau (dan) sesudah dibayar hutangnya, (tentang) orang tuamu dan anak-anakmu, kamu tidak mengetahui siapa diantara mereka yang lebih dekat (banyak) manfaatnya bagimu. Ini adalah ketetapan dari

Allah. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana.”33

c. Surat An-Nisaa’ ayat 12, yang artinya: “Dan bagimu (suami-suami)

seperdua dari harta yang ditinggalkan oleh istri-istrimu, jika mereka tidak mempunyai anak. Jika istri-istri itu mempunyai anak maka kamu mendapat seperempat dari harta yang ditinggalkannya seusfah dipenuhi wasiat yang mereka buat atau (dan) sesudah dibayar hutangnya. Para istri memperoleh seperempat harga yang ditinggalkan kamu jika kamu tidak mempunyai anak. Jika kamu mempunyai anak, maka para istri memperoleh seperdelapan dari harta yang kamu tinggalkan sesudah dibayar huyang-hutangmu. Jika sseorang mati, baik laki-laki maupun perempuan yang tidak meninggalkan ayah dan tidak mempunyai anak, tetapi mempunyai saudara laki-laki (seibu saja), maka bagi masing-masing dari kedua jenis saudara itu seperenam harta. Tetapi jika saudara-saudara seibu iu lebih dari seorang, maka mereka bersekutu dalam yang spertiga itu, sesudah dipenuhi wasiat yang dibuat olehnya atau sesudah dibayar hutangnya dengan yidak member madharat (kepada ahli waris). (Allah) menetapkan yang demikian itu sebagai syari’at yang benar-benar dari Allah, dan Allah Maha Mengetahui lagi

Maha Penyantun.34

d. Surat An-Nisaa’ ayat 33, yang artinya: “Bagi tiap-tiap harta peninggalan

dari harta yang ditinggalkan ibu-bapaknya dari karib-kerabatnya, kami jadikan pewaris-pewarisnya Dan (jika ada) orang-orang yang kamu telah bersumpah

(9)

setiap dengan mereka, maka berilah kepada mereka bagiannya. Sesungguhnya

Allah menyaksikan segala sesuatu.”35

e. Surat An-Nisaa’ ayat 176, yang artinya: ‘’Mereka meminta fatwa kepadamu

tentang kalalah). Katakanlah: Allah member fatwa kepadamu tentang kalalah (yaitu): jika seseorang meninggal dunia, dan ia tidak mempunyai anak dan mempunyai saudara perempuan. Dan perempuan maka bagi saudaranya yang perempuan itu seperdua dari harta yang ditinggalkannya, dan saudaranya yang laki-laki mempusakai (seluruh harta saudara perempuan), jika tidak mempunyai anak: tetapi jika saudara perempuan itu dua orang, maka bagi keduanya dua pertiga dari hrta yang ditunggalkan oleh orang yang meninggal. Dan jka mereka (ahli waris itu sendiri) saudara laki-laki dan perempuan, maka bagian seorang saudara laki-laki seabnyak bagian dua orang saudara perempua. Allah menerangkan (hukum ini) kepadamu, supaya kamu tidak sesat. Dan Allah Maha

Mengetahui segala sesuatu.”36

Surat An-Nisaa’ ayat 11 dan Surat An-Nisaa’ ayat 12 kedua ayat tersebut

merupakan pendahuluan tentang ketentuan memberi kepada setiap pemilik hak-hak

sah mereka, juga menegaskan bahwa ada hak buat lelaki dan perempuan berupa

bagian tertentu dari warisan ibu, bapak, dan kerabat yang akan diatur oleh Allah.

Kedua ayat tersebut kemudian memerinci ketetapan-ketetapan mengenai ahli waris

dan bagiannya, yaitu bagian anak seorang anak lelaki dan anak kamu, kalau

bersamanya ada anak-anak perempuan dan tidak ada halangan yag ditetapkan agama

baginya untuk memperoleh warisan, misalnya membunuh pewaris atau bebeda

agama dengannya, maka dia berhak memperoleh warisan yang kadarnya sama

dengan dua orang anak perempuan.37

Ketentuan hukum waris Islam hendaknya tidak berakibat mudharat kepada

ahli waris, beberapa tindakan yang tidak diperbolehkan dan dianggap bertentangan

dengan syariat adalah:

1) Mewariskan lebih dari sepertiga harta pusaka;

(10)

2) Berwasiat dengan mkasud mnegurangi harta warisan, sekalipun kurang dari

sepertiga, dianggap sebagai hal yang memberi mudharat dan tidak

diperbolehkan.38

Hadits yang berhubungan dengan hukum waris:

“…Berikanlah bagian-bagian tertentu kepada orang yang berhak, sesudah itu sisanya untuk orang laki-laki yang lebih utama.” (HR.bukhari dan Muslim).

“…Berikanlah 2/3 untuk dua anak Saad, 1/8 untuk jandanya dan sisanya adalah untukmu (paman).” (HR. Abu Dawud At Tirmidzi, Ibnu Majah, dan Ahmad).

“…1/3 adalah banyak atau besar (untuk pelaksanaan wasiat) jika kamu meninggalkan ahli warisanmu dalam keadaan yang cukup adalah lebih baik daripada meninggalkan mereka dalam keadaan miskin yang meminta-minta kepada orang banyak.” (HR.Bukhari dan Muslim).

Pembagian warisan menurut hukum waris Islam dilakukan dengan cara sebagai

berikut:

a) Dilakukan terlebih dahulu pembayaran utang-utang dari pewaris

diselesaikan, termasuk biaya rumah sakit dan biaya pemakaman.

b) Pada saat pembagian warisan, dihadiri oleh pejabat Balai Harta Peninggalan

dan dilakukan di depan notaris yang dipilih oleh ahli waris sendiri. Bila

tidak ada kesepakatan tentang notaris mana yang dipilih, pengadilan agama

menunjuk seorang notaris untuk pencatatan pembagian warisan tersebut.

c) Dibuat daftar harta benda warisan baik yang berwujud maupun tidak

berwujud, bergerak maupun tetap. Bila terdapat perubahan harta benda

warisan, harus dinyatakan perubahannya itu dikuatkan oleh notaries.

d) Harta benda warisan di atas ditaksir nilainya oleh yang berkompeten di

bidangnya.

e) Ahli waris yang satu terhadap yang lain dapat mengajukan pembatalan

pembagian warisan atas pembagian warisan yang dilakukan dengan tekanan,

38

Ibid.

(11)

paksaan, penipuan dan dapat menimbulkan kerugian hingga ¼ bagian yang

dikarenakan kesalahan penaksiran nilai harta benda warisan.

f) Apabila salah seorang ahli waris tidak memasukkan harta warisan dalam

daftar warisan, diadakan pembagian warisan lanjutan.

g) Jangka waktu pembatalan adalah dalam rentang waktu tiga tahun sejak

warisan dibagikan. Atas pembatalan ini, keadaan warisan kembali pada

keadaan semula yang tidak terbagi, untuk kemudian diulangi kembali

pembagian warisan seperti di atas.39

Adapun dasar pembagian warisan menurut Kompilasi Hukum Islam yakni:

Pasal 176: Anak perempuan bila hanya seorang ia mendapat separuh bagian,

bila dua orang atau lebih mereka bersama-sama mendapat dua pertiga bagian, dan

apabila anak perempuan bersama-sama dengan anak laki-laki, maka bagian anak

laki-laki adalah dua berbanding satu dengan anak perempuan.

Pasal 177: Ayah mendapat sepertiga bagian bila pewaris tidak meninggalkan

anak, bila ada anak, ayah mendapat seperenam bagian.

Pasal 178: Ibu mendapat seperenam bagian bila ada anak atau dua saudara

atau lebih. Bila tidak ada anak atau dua orang saudara atau lebih, maka ia mendapat

sepertiga bagian. Ibu mendapat sepertiga bagian dari sisa sesudah diambil oleh janda

atau duda bila bersama-sama dengan ayah.

Pasal 179: Duda dari pewaris mendapat separoh bagian bila pewaris tidak

meninggalkan anak, dan bila pewaris meningaglkan anak, maka duda mendapat

seperempat bagian.

39

Ibid., h.128

(12)

Pasal 180: Janda dari pewaris mendapat seperempat bagian bila pewaris tidak

meninggalkan anak, dan bila pewaris meninggalkan anak, maka janda dari pewaris

mendapat seperdelapan bagian.

Pasal 181: Bila seorang meninggal tanpa menimggalkan anak dan ayah, maka

saudara laki-laki dan saudara perempuan seibu masing-masing mendapat seperenam

bagian. Bila mereka itu dua orang atau lebih maka mereka bersama-sama mendapat

sepertiga bagian.

Pasal 182: Bila seorang meninggal tanpa meninggalkan ayah dan anak, sedang

ia mempunyai satu saudara perempuan kandung atau seayah, maka ia mendapat

separuh bagian. Bila saudara perempuan tersebut bersama-sama dengan saudara

perempuan kandung atau seayah dua orang atau lebih, maka mereka bersama-sama

mendapat dua pertiga bagian. Bila saudara perempuan tersebut bersama-sama

dengan saudara laki-laki kandung atau seayah, maka bagian saudara laki-laki adalah

dua berabnding satu dengan saudara perempuan.

Pasal 183: Para ahli waris dapat bersepakat melakukan perdamaian dalam

pembagian harta warisan, setelah masing-masing menyadari bagiannya.

Pasal 184: Bagi ahli waris yang belum dewasa atau tidak mampu

melaksanakan hak dan kewajibannya, maka baginya diangkat wai berdasarkan

keputusan Hakim atas usul anggota keluarga.

Pasal 185: Ahli waris yang meninggal lebih dahulu dari pada si pewaris maka

kedudukannya dapat digantikkan oleh anaknya. Bagian ahli waris pengganti tidak

boleh melebihi dari bagian ahli waris yang sederajat dengan yang diganti.

Pasal 186: Anak yang lahir di luar perkawinan hanya mempunyai hubungan

saling mewaris dengan ibunya dan keluarga dari pihak ibunya.

(13)

Pasal 187: Bilamana pewaris mennggalkan harta peninggalan maka oleh

pewaris semasa hidupnya atau oleh para ahli waris dapat ditunjuk beberapa orang

sebagai pelaksana pembagian harta warisan dengan tugas:

- Mencatat dalam suatu daftar harta peninggalan baik berupa benda bergerak

maupun tidak bergerka yang kemudian disahkan oleh para ahli waris yang

bersangkutan, bila perlu dinilai harganya dengan uang.

- Menghitung jumlah pengeluaran untuk kepentingan pewaris.

Selanjutnya dari pengeluaran dimaksud diatas adalah merupakan harta warisan

yang harus dibagikan kepada ahli waris yang berhak.

Pasal 188: Para ahli waris baik secara bersama-sama atau perseorangan dapat

mengajukan permintaan kepada ahli waris yang lain untuk melakukan pembagian

harta warisan. Bila ada diantara ahli waris yang tidak menyetujui permintaan iyu,

maka yang bersangkutan dapat mengajukan gugatan melalui Pengadilan Agama

untuk dilakukan pembagian harta warisan.

Pasal 189: Bila harta warisan yang akan dibagi berupa lahan pertanian yang

luasnya kurang dari 2 hektar, supaya dipertahankan kesatuannya sebagaimana

semula, dan dimanfaatkan untuk kepentingan bersama para ahli waris yang

bersangkutan. Bila ketentuan tersebut tidak dimungkinkan karena diantara para hali

waris yang bersangkutan ada yang memerlukan uang, maka lahan tersebut dapat

dimilik oleh seorang atau lebih ahli waris dengan cara membayar harganya kepada

ahli waris yang berhak sesuai dengan bagiannya masing-masing.

Pasal 190: Bagi pewaris yang beristeri lebih dari seorang, maka

masing-masing isteri berhak mendapat bagian atas gono-gini dari rumah tangga dengan

suaminya, sedangkan keseluruhan bagian pewaris adalah menjadi hak para ahli

warisnya,

(14)

Pasal 191: Bila pewaris tidak meningglkan ahli waris samas sekali,ahli

warisnya tidak diketahui ada atau tidaknya, maka harta tersebut atas putusan

Pengadilan Agama diserahkan penguasaannya kepada Baitul Mal untuk kepentingan

agama Islam dan kesejahteraan umum.

2. Menurut Hukum Adat

Hukum adat waris meliputi norma-norma hukum yang menentukan harta

kekayaan baik yang materil maupun yang inmateriil yang manakah dari seseorang

yang dapat diserahkan kepada keturunannya serta yang sekaligus juga mengatur

saat, cara dan proses peralihannya.40 Hukum adat waris menunjukkan corak-corak

yang khas dari aliran pikiran tradisional Indonesia.41

Hukum adat waris menetapkan dasar persamaan hak, hak sama ini

mengandung hak untuk diperlakukan sama oleh orangtuanya di dalam proses

meneruskan dan mengoperkan harta benda keluarga. Disamping dasar persamaan

hak hukum adat waris juga meletakkan dasar kerukunan pada proses pelaksanaan

pembagian berjalan secara rukun dengan memperhatikan keadaan istimewa dari tiap

waris. Harta warisan tidak boleh di paksakan untuk dibagi antara para ahli waris.

Harta peninggalan dapat bersifat tidak dapat dibagi atau pelaksanaan pembagiannya

ditunda untuk waktu yang cukup lama ataupun hanya sebagian yang dibagi-bagi.

Pembagiannya merupakan tindakan bersama, berjlan secara rukun dalam suasana

ramah-tamah dengan memperhatikan keadaan khusus tiap waris. Harta peninggalan

tidak merupakan satu kesatuan harta warisan, melainkan waib diperhatikan

sifat/macam, asal dan kedudukan hukum dari pada barang-barang masing-masing

(15)

Pembagian warisan menurut hukum adat dilaksanakan menurut daerah masing

masing, yang berarti pula mempunyai adat masing-masing.43 Hukum waris adat

diwarnai oleh sistem kekeluargaan dalam masyarakat, sistem tersebut dibedakan

sebagai berikut:

a. Sistem Patrilineal, yaitu sistem kekeluargaan yang meraik garis keturuanan

pihak nenek moyang laki-laki. Didalam sistem ini kedudukan dan pengaruh

pihak laki-laki dalam hukum waris sangat menonjol.

b. Sistem Matrilineal, yaitu sistem kekeluargaan yang meraik garis keturunan

pihak nenek moyang perempuan. Didalam sistem kekeluargaan ini pihak

laki-laki tidak menjadi pewaris untuk anak-anaknya. Anak-anak mereka

merupakan bagian dari bagian keluarga ibunya, sedangkan ayahnya masih

merupakan anggota keluarganya sendiri.

c. Sistem Parental atau Bilateral, yaitu sistem ynag menarik garis keturunan

dari dua sisi, baik dari pihak ayah maupun dari pihak ibu. Didalam sistem

iini kedudukan anak laki-laki dan perempuan dalam hukum waris sama dan

sejajar. Artinya baik anak laki-laki maupun anak perempuan merupakan

ahli waris dari harta peninggalan orangtua mereka.44

Pada umumnya hukum adat tidak menentukan kapan waktu harta warisan itu

akan dibagi atau kapan sebaiknuya diadakan pembagian, begitu pula siapa yang

menjadi juru bagi tidak ada ketentuannya. Menurut adat kebiasaan waktu pembagian

setelah wafat pewaris dapat dilaksanakan setelah upacara sedekah atau selamatan

yang disebut waktu nujuh hari, waktu empat puluh hari, nyeratus hari atau waktu

43

F.Satriyo Wicaksono, Hukum Waris, Visimedia, Jakarta, 2012, h.85

44

Habiburrahman, Op. cit.,h.89

(16)

seribu hari setelah pewaris wafat, oleh karena pada waktu-waktu tersebut para

anggota waris berkumpul.45

Apabila harta warisan akan dibagi maka yang menjadi juru bagi dapat

ditentukan anatara lain adalah:

1) Orang tua yang masih hidup (janda atau duda dari pewaris), atau

2) Anak tertua lelaki atau perempuan,atau

3) Anggota keluarga tertua yang dipandang jujur adil dan bijaksana, atau

4) Anggota kerabat tetangga, pemuka masyarakat adat atau pemuka

Agama yang diminta, ditunjuk atau dipilih para waris untuk bertindak

sebagai juru bagi.46

Selama pembagian warisan itu berjalan baik, rukun dan damai diantara para

waris, maka tidak diperlukan adanya campur tangan dari orang luar keluarga

bersangkutan. Campur tangan dan kesaksian petua adat atau para pemuka

masyarakat hanya diperlukan apabila ternyata jalannya musyawarah untuk mencapai

mufakat menjadi seret dan tidak lancar.47

Hukum adat tidak mengenal cara pembagian dengan perhitungan matematika,

tetapi selalu didasarkan atas pertimbangan mengingat wujud benda dan kebutuhan

waris bersangkutan. Jadi walaupun hukum waris adat mengenal asas kesamaan hak

tidak berarti bahwa setiap waris akan mendapat bagian warisan dalam jumlah yang

(17)

Di Indonesia yang menjunjung tinggi musyawarah untuk mufakat,

menetapkan pembagian warisan menurut musyawarah diantara ahli waris, dengan

cara sebagai berikut:

a) Pembagian warisan dilaksanakan dalam waktu menurut adat kebiasaan

masyarakat setempat, ada yang 40 hari setelah pewaris meninggal dunia dan

ada pula 100 hari setelah pewaris meninggal dunia. Hal ini dilakukan untuk

ketenangan almarhum/almarhumah pewaris dan mencerminkan sifat

masyarakat yang tidak matrealistik.

b) Selama anak-anak pewaris belum dewasa, harta warisan tidak akan dibagi.

c) Dilakukan musyawarah yang diwarnai rasa kekeluargaan, agar dalam

membagi waris dapat menghasilkan pembagian yang adil bagi ahli waris.

d) Adakalanya dalam pembagian waris tersebut diperlukan bantuan dari ulama

untuk mengingatkan rasa keadilan dalam membagi waris serta telah

terpunhinya hukum Agama yang dianutnya. Para ahli waris dapat memilih

untuk menggunakan hukum waris adat atau hukum waris Islam.

e) Apabila musyawarah tidak menemui kesepakatan, diselesaikan melalui

pengadilan negeri.

f) Sebelum harta warisan dibagi kemasing-masing ahli waris, para ahli waris

bertanggung jawab untuk melunasi utang dari pewaris. Harta warisan dipakai

untuk melunasi uatng dari pewaris setelah itu dibagi keahli waris. Hibah

yang telah dilakukan pewaris semasa hidupnya dapat dipakai untuk melunasi

utang pewaris apabila harta warisan tidak cukup. Namun di beberapa daerah

adat tidak dapat dipakai untuk melunasi uatang pewaris.

g) Besarnya bagian masing-masing ahli waris sebagai berikut:

(1) Anak kandung baik laki-laki maupun perempuan mendapatkan

pembagian yang sama, tetapi ada kalanya berlaku prinsip sepikul

(18)

segendong (yang artinya 2:1), bagian anak perempuan separuh dari

bagian anak laki-laki.

(2) Anak angkat mendapatkan harta warisan bersifat serelanya dan ahli

waris yang lain atas harta warisan yang ada, dapat pula berlaku hanya

berhak atas harta pencaharian orang tua angkatnya. Apabila anak anak

angkat menerima wasiat atau hibah ada adat tertentu menetukan tidak

boleh lebih dari ½ seluruh harta warisan.

(3) Anak tiri mendapatkan harta warisan bersifat serelanya dari ahli waris

yang lain atas harta warisan orang tua tirinya, atau adakalanya hanya

dapat mewarisi harta dari orang tua kandungnya saja.

(4) Anak tidak sah hanya mewarisi dari ibu kandungnya saja. Dibeberapa

adat menetapkan bahwa anak tidak sah, walaupun pada akhirnya ibu

menikah dengan ayah biologisnya.

(5) Janda/duda menerima bagian warisan sama besar dengan seorang anak,

apabila tidak ada anak, harta warisan jatuh semua pada

Janda/menerima wasiat atau hibah ada adat tertentu menetukan tidak

boleh lebih dari ½ seluruh harta warisan.

(6) Anak tiri mendapatkan harta warisan bersifat serelanya dari ahli waris

yang lain atas harta warisan orang tua tirinya, atau adakalanya hanya

dapat mewarisi harta dari orang tua kandungnya saja.

(7) Anak tidak sah hanya mewarisi dari ibu kandungnya saja. Dibeberapa

adat menetapkan bahwa anak tidak sah,walaupun pada akhirnya ibu

menikah dengan ayah biologisnya.

(8) Janda/duda menerima bagian warisan sama besar dengan seorang anak,

apabila tidak ada anak, harta warisan jatuh semua pada Janda/duda,

sedangkan harta pusaka kembali ke asal. Janda/duda berhak atas ½

harta pencaharian.

(19)

Hukum waris adat di Indonesia banyak terpengaruh oleh hukum Islam, ahli

waris hanya bertanggung jawab sebatas pada harta peninggalan saja. Sehingga, ahli

waris harus menyelesaikan kewajiban dari pewaris atas seluruh utang-utangnya dari

para kreditur.49

C. Macam-Macam Ahli Waris Menurut Hukum Islam dan Hukum Adat 1. Menurut Hukum Islam

Macam-macam ahli waris menurut pasal 174 Kompilasi Hukum Islam terdiri

dari:

a. Menurut hubungan darah:

1). Golongan laki-laki terdiri dari: ayah,anak laki-laki, saudara laki-laki,

paman dan kakek;

2) Golongan perempuan terdiri dari: ibu, anak perempuan, saudara perempuan

dan nenek.

b. Menurut hubungan perkawinan terdiri dari duda atau janda.50

Bagian ahli waris menurut sistem bilateral, sebagai berkut:

1)Ahli waris dzul faraid, yakni ahli waris yang bagiannya telah diatur dalam

Alquran dan hadis yaitu ibu, bapak, duda, saudara laki-laki seibu, saudara

perempuan kandung, saudara perempuan sebapak, kakek dan nenek.

2)Ahli waris dzul qarabat, yakni ahli waris yang mendapat bagian warisan

yang tidak ditentukan jumlahnya dan mendapatkan sisa warisan. Ahli waris

49

F.Satriyo Wicaksono, Op. cit., h.86

50

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 1 tahun 1974 Tentang Perkawinan dan Kompilasi Hukum Islam, Buku II, Hukum Kewarisan, Op. cit., h.376

(20)

ini mempunyai hubungan dengan pewaris melalui garis laki-laki dan

perempuan, yaitu anak laki-laki, anak perempuan yang mewaris bersama

anak laki-laki, bapak, saudara laki-laki apabila pewaris tidak ada keturunan,

dan saudara perempuan apabila pewaris tidak mempunyai keturunan.

3)Ahli waris mawali (pengganti), yakni ahli waris yang menggantikan

seseorang yang meninggal untuk mendapatkan bagian warisan yang akan

didapatkan oleh orang yang digantikan seandainya ia hidup. Misalnya, cucu

yang menggantikan ayahnya dalam mewarisi harta kekayaan dari kakeknya.

Ahli waris menurut sitem waris patrilineal, sebagai berikut:

a) Ahli waris dzul faraid, yakni ahli waris yang mendapatkan bagian sesuai

ketentuan dalam Al-Qur’an dan Hadits, antara lain: ibu, bapak, duda,

saudara laki-laki seibu, saudara perempuan seibu, cucu perempuan dari

anak laki-laki, saudara perempuan kandung, saudara perempuan sebapak,

kakek dan nenek.

b)Ahli waris ashabah, yakni ahli waris yang tidak memperoleh bagian

tertentu, tapi mendapatkan seluruh harta warisan apabila tidak ada ahli

waris dzul faraid, dan mendapatkan seluruh sia harta warisan setelah

dibagikan kepada ahli waris dzul faraid atau tidak menerima apapun jika

telah halus dibagikan kepada ahli waris dzul faraid

Ahli waris ashabah terbagi dalam tiga golongan yakni:

(1) Asabah binafsihi, merupakan ahli waris ashabah karena dirinyya sendiri

bukan karean bersama ahli waris lainnya, yaitu: anak laki-laki, bapak,

kakek, cucu laki-laki dari anak laki-laki, saudara laki-laki kandung,

saudara laki-laki sebapak, paman kandung, paman sebapak, anak laki-laki

paman kandung, dan anak laki-laki paman sebapak.

(21)

(2) Asabah bil-ghairi, merupakan ahli waris ashabah karena bersama ahli

waris lainnya, yaitu seorang wanita yang menjadi ahli waris asabah karena

ditarik oleh ahli waris laki-laki, yaitu anak perempuan yang mewaris

bersama anak laki, cucu perempuan yang mewaris bersama cucu

laki-laki, saudara perempuan kandung yang mewaris dengan saudara laki-laki

kandung, saudara perempuan sebapak yang dengan saudara yang mewaris

bersama saudara laki-laki sebapak.

(3) Asabah ma’al-ghairi, yakni saudara peremouan kandung atau sebapak

yang menjadi ahli waris asabah karena mewaris bersama dengan

keturunan perempuan, yaitu: saudara perempuan kandung yang mewaris

dengan anak perempuan atau cucu perempuan dari anak laki-laki, saudara

perem[uan sebapak yang mewaris dengan anak perempuan atau cucu

perempuan dari anak laki-laki.

Ahli waris dzul arham, yakni ahli waris yang mempunyai pertalian darah

dengan pewaris lewat keluarga perempuan, yang termasuk ahli waris ini adalah cucu

dari anak perempuan, anak perempuan saudara laki-laki, anak perempuan pama,

paman seibu, saudara laki-laki ibu, dan bibi.

Didalam kewarisan patrilineal selalu memberikan kedudukan yang lebih

kepada pihak laki-laki, termasuk bagian antara ibu dan bapak atas harta warisan dari

anaknya sendiri.51

2. Menurut Hukum Adat

Menurut hukum adat, untuk menentukan siapa yang menjadi ahli waris

digunakan dua macam garis pokok, yaitu:

a. Garis pokok keutamaan

51

F.Satriyo Wicaksono, Op. cit., h.129

(22)

b. Garis pokok pengganti

Garis pokok keutamaan adalah garis hukum yang menentukan urutan-urutan

keutamaan diantara golongan-golongan dalam keluarga pewaris dengan penegrtian

bahwa golongan yang satu lebih diutamakan dari pada golongan yang lain. Dengan

garis pokok keutamaan tadi, maka orang-orang yang mempunyai hubungan darah

dibagi dalam golongan-golongan sebagai berikut:

1) Kelompok keutamaan I: keturunan pewaris,

2) Kelompok keutamaan II: orang tua pewaris,

3) Kelompok keutamaan III: saudara-saudara pewaris, dan keturunannya,

4) Kelompok keutamaan IV: kakek dan nenek pewaris,

5) dan seterusnya.

Garis pokok penggantian adalah garis hukum yang bertujuan untuk

menentukan siapa diantara orang-orang didalam kelompok keutamaan tertentu,

tampil sebagai ahli waris. Yang sungguh-sungguh menjadi ahli waris adalah:

a) Orang yang tidak mempunyai penghubung dengan pewaris,

b) Orang yang tidak ada lagi penghubungnya dengan pewaris.

Di dalam pelaksanaan penetuan para ahli waris dengan mempergunakan garis

pokok keutamaan dari penggantian, maka harus diperhatikan dengan seksama

prinsip garis keturunan yang dianut oleh suatu masyarakat tertentu. Demikian pula

harus diperhatikan kedudukan pewaris, misalnya sebagai bujangan, janda, duda, dan

seterusnya.52

Pada umumnya para waris ialah anak termasuk anak dalam kandungan ibunya

jika lahir hidup, tetapi tidak semua anak adalah ahli waris, kemungkinan para waris

lainnya seperti anak tiri, anak angkat, anak piara, waris balu, waris kemenakan, dan

52

Soerjono Soekanto, Op. cit., h.260

(23)

para waris pengganti seperti cucu, ayah-ibu, kakek-kakek, waris anggota kerabat dan

waris lainnya. Kemudian berhak tidaknya para waris tersebut dipengaruhi oleh

sistem kekerabatan bersangkutan dan mungkin juga karena pengaruh Agama,

sehingga antara daerah yang satu dan yang lain terdapat perbedaan. Adapun rincian

para ahli waris menurut hukum adat adalah53:

(1)Anak Kandung

Anak kandung adalah anak yang lahir dari kandungan ibu dan ayah

kandungnya. Kedudukan anak kandung sebagai waris dipengaruhi oleh perkawinan

yang dilakukan orang tuanya baik secara sah ataupun tidak sah. Di beberapa daerah

terdapat perbedaan hukum waris adat yang berlaku mengenai kedudukan anak

sebagai waris dari orangtuanya. Disamping itu terdapat pula perbedaan antara anak

lelaki dan anak perempuan dalam pewarisan, atau juga anak sulung, anak tengah,

anak bungsu dan anak pangkalan.

(a) Anak Sah

Di berbagai golongan masyarakat yang dikatakan anak sah ialah anak kandung

yang lahir dari perkawinan orangtuanya yang sah menurut ajaran Agama. Sehingga

anak yang lahir dari perkawinan yang tidak menurut hukum Agama pada dasarnya

tidak berhak sebagai ahli waris yang sah dari orang tua kandungnya. Sedangkan

anak yang sah baik anak lelaki maupun anak perempuan pada dasarnya adalah waris

dari orang tua yang melahirkannya.

(b) Anak Tidak Sah

Anak tidak sah adalah anak yang lahir dari perbuatan orang tua yang tidak

menurut ketentuan Agama. Anak-anak tidak sah ini mempunyai tidak hanya

mempunyai hubungan hukum dengan ibunya tetapi juga dengan ayah biologisnya,

53

Hilman Hadikusuma, Op. cit., h.67

(24)

melalui pembuktian yang didukung oleh ilmu pengetahuan dan teknologi dan/atau

alat bukti lain menurut hukum mempunyai hubungan darah, termasuk hubungan

perdata dengan keluarga ayahnya. Hal ini terdapat dalam putusan MK RI No.

46/PUU-VIII/2010.

(c) Waris Anak Lelaki

Anak lelaki sebagai waris dapat diketahui dalam sistim kekerabatan patrilinial

dimana kebanyakan berlaku bentuk perkawinan jujur seperti terdapat di tanah Batak,

Lampung, pepadun, di Bali dan juga di daerah Nafri Jayapura Irian Jaya. Sedangkan

anak-anak perempuan tidak sebagai waris tetapi dapat sebagai penerima bagian harta

warisan untuk dibawa sebagai harta bawaan kedalam perkawinannya mengikuti

pihak suami.

Apabila pewaris tidak punya keturunan sama sekali, maka pewaris

mengangkat anak lelaki dari saudara kandungnya lelaki yang terdekat, demikian

seterusnya sehingga hanya anak lelaki yang menjadi waris, dimana segala

sesuatunya harus didasarkan atas musyawarah dan mufakat para anggota kerabat.

(d) Waris Anak Perempuan

Sebagai kebalikan dari pewarisan dalam sistem kekerabatan patrilinial ialah

pewarisan pada anak-anak wanita yang berlaku pada sistem kekerabatan matrilineal,

dimana bentuk perkawinan semenda yang berlaku dan suami setelah perkawinan

mengikuti kedudukan isteri atau tidak termasuk kekerabatan isteri seperti berlaku di

Minangkabau.

Apabila pewaris tidak mempunyai anak wanita tetapi hanya mempunyai

anak-anak laki-laki saja, sebagaimana berlaku di daerah semendo maka salah seorang

(25)

anak lelaki diambilkan wanita sebagai isterinya dalam bentuk perkawinan semendo

ngangkit.

(e) Waris Anak Lelaki dan Anak Perempuan

Kedudukan anak lelaki dan anak perempuan sebagai waris yang berhak sama

atas harta warisan orang tuanya berlaku dikalangan masyarakat dengan sistem

kekeluargaan parental. Yang dimaksud semua anak lelaki dan perempuan adalah

sama haknya atas harta warisan tidak berarti bahwa jenis atau jumlah harta warisan

dibagi merata diantara semua waris, dapat dengan begitu saja dinilai harganya

dengan uang.

(f) Waris Anak Sulung

Pada umumnya keluarga-keluarga Indonesia menghormati kedudukan anak

tertua, ia patut dihargai sebagai pengganti orangtua setelah orangtua tidak ada lagi,

kepadanyalah sepantasnya setiap anggota keluarga meminta petunjuk dan nasehat.

Jika anak tertua masih kecil maka kakek atau nenek menggantikan tanggung jawab

orang tua dan jika kakek dan nenek tidak ada lagi tanggung jawab diteruskan pada

paman atau bibik. Diberbagai daerah ada hukum adat yang menegaskan kedudukan

anak tertua lelaki dan anak tertua perempuan.

(g) Waris Anak Pangkalan dan Anak Bungsu

Dibeberapa daerah disamping kedudukan anak sulung yang menjadi penerus

keturunan dan pengganti tanggung jawab orang tua sebagai kepala keluarga dalam

mengurus rumah tangga, terdapat pula yang disebut anak pangkalan dan anak

bungsu sebagia orang pertama da orang kedua dalam menentukan pewarisan harta

warisan orang tua.

(26)

(2)Anak Tiri dan Anak Angkat

Pada dasarnya anak tiri bukan waris dari ayah tiri atau ibu tirinya, tetapi ia

adalah waris dari ayah-ibu kandungnya sendiri.

(a) Anak tiri

Anak tiri jika anak kandung m,asih ada tidak akan menjadi waris dari orang

tua tirinya. Namun dalam kehidupan rumah tangaga sehari-hari ia dapat ikut

menikmati kesejahteraan rumah tangga bersama bapak tiri atau ibu tiri bersam

dengan saudara-suadara tirinya. Ada kemungkinan anak kandung sebagai waris

dapat disisihkan anak tiri.

(b) Anak Angkat

Menurut hukum Islam anak angkat tidak diakui untuk dijadikan sebagai dasar

dan sebab mewaris, Karena prinsip pokok dalam kewarisan adalah hubungan darah

atau arham. Tetapi nampaknya diberbagai daerah yang masyarakat adatnya

menganut agama Islam, masih terdapat dan berlaku pengangkatan anak dimana si

anak angkat dapat mewarisi harta kekayaan orang tua angkatnya. Bahkan karena

sayangnya pada anak angkat pewarisan bagi anka angkat telah berjakan sejak

pewaris masih hidup. Sejauhmana anak angkat dapat mewarisi orang tua nagkatnya

dapat dilihat dari katar belakang sebab terjadinya anak angkat itu.

(c) Anak Angkat Mewaris

Hanya didalam pewarisan jika anak kandung masih ada maka anak angkat

mendapat warisan yang tidak sebanyak anak kandung, dan jika orang yua angjat

takut anak angkat tidak mendapat bagian tyang wajar atau mungkin tersisih sama

sekali oleh anak kandung dengan menggunakan dasar hukum Islam, maka sudah

menjadi adat kebiasaan orang tua angkat itu member bagian harta warisan kepada

(27)

anak anagkat sebelum ia wafat dengan cara penunjukan, atau hibah/wasiat.

Betapapun anak angkat itu berhak mewaris dari orang tua angkatnya, namun ia tidak

boleh melebihi anak kandung.

(d) Waris Balu, Janda Atau Duda

Sesungguhnya kedudukan balu sebagai waris atau bukan waris dipengaruhi oleh

sistem kekerabatan dan masyarakat bersangkutan dan bentuk perkawinan yang

berlaku diantara mereka.

Dalam masyarakat adat batak ahli waris janda selama ia masih tetap tinggal

dikampung dimana suaminya berada, biasanya harta peninggalan suami yang telah

meninggal diserahkan sepenuhnya kepada kepada istrinya (janda) selama ia belum

menikah dan selama ia tidak meninggalkan perkampungan suaminya, tetapi jika ia

menikah kembali atau pindah dari kampung suaminya maka harta peninggalan

suaminya beralih pada anak kandungnya yang di amanahkan kepada mertua atau

keluarga mertuanya.

Khusus untuk duda harta warisan peninggalan istri sepenuhnya dikuasainya

sebatas ia belum menikah dengan orang lain, karena ia merupakan tulang punggung

dalam menghidupi anak-anak dan keluarganya. Jika ia menikah kembali maka harta

peninggalan istrinya tetap menjadi penguasaannya selama ia masih membiayai dan

memelihara anak-anaknya, jika kalau ada tuntutan dari pihak keluarga istrinya

biasanya diberikan sebagian harta peninggalan istrinya sekedar pemberian kasih

sayang dan penghormatan pada mertuanya.

(28)

D. Sebab-Sebab Terhalangnya Seseorang Mendapatkan Warisan Menurut Hukum Islam dan Hukum Adat

1. Menurut Hukum Islam

Memperoleh hak mewaris tidak cukup hanya karena adanya penyebab

kewarisan, tetapi pada seseorang itu juga harus tidak ada penyebab yang dapat

menghalangnya untuk menerima warisan. Karena itu, orang yang dilihat dari aspek

penyebab-penyebab kalau kewarisan sudah memenuhi syarat untuk menerima

warisan, tetapi kalau ia dalam keadaan dan atau melakukan sesuatu yang

menyebabkan dia tersingkir sebagai ahli waris, maka pemenuhan terhadap aspek

pertama tadi tidak ada artinya. Faktor-faktor penghalang kewarisan itu ialah54:

a. Faktor pembunuhan

b. Faktor beda Agama

c. Faktor perbudakan

d. Faktor murtad

e. Faktor berlainan Negara

f. Faktor mati bersama-sama antara anak dan bapak.

1) Faktor Pembunuhan

Islam secara tegas melarang pembunuhan, khususnya sesama muslim (QS

Al-Baqarah (2) : 176) karena pembunuhan termasuk salah satu dari bentuk kejahatan

(dosa besar) dan mendapat hukuman didunia. Sangsi hukumannya ialah qishosh

yaitu dalam proses pembunuhan, kecuali jika pembunuh dapat pemaafan dari ahli

waris terbunuh dengan cara membayar diat (ganti rugi). Dalam kaitannya dengan

hak waris mewaris, maka orang yang membunuh pewaris ia tidak mendapat hak

mewarisi dari pewaris tersebut. Hal ini tercatum secara tegas dalam sabda Rasulullah

yang menyatakan bahwa, Seseorang yang membunuh tidak berhak menerima

54

Abdul Ghofur Anshori, Op.cit., h.31

(29)

warisan dari orang yang dibunuhnya (HR Abu Daud dan Ibnu Majah dari Abu

Hurairah).

2) Faktor Beda Agama

Berbeda Agama disini ialah perbedaan agama antara pewaris dengan ahli

waris, satu pihak beragama Islam sedangkan yang lain beragama bukan Islam. Dasar

hukumnya seperti yang disabdakan Rasulullah melalui Usamah Ibnu Zaid yang

diriwayatkan Bukhari Muslim. Abu Daud, Tirmidzi dan Ibnu Majah bahwa seorang

muslim tidak menerima warisan dari yang bukan muslim dan sebaliknya seorang

bukan muslim tidak mewarisi dari seorang muslim.

3) Faktor Perbudakan

Seorang budak tidak mempunyai hak untuk mewarisi dan diwarisi. Hal ini

sedikitnya karena dua hal yaitu, seorang budak dipandang tidak memiliki kecakapan

untuk mengelola harta benda (QS An-Nahl (16): 75). Disamping itu status

kekeluargaan dari kerabatnya dianggap putus karena ia sudah termasuk keluarga

asing (Idris Ramulya, 1984 : 40).

4) Faktor Murtad

Orang murtad ialah orang yang keluar dari Agama Islam karena ia telah keluar

dari Islam, maka ia tidak dapat mewarisi harta peninggalan keluarganya, alasannya

karena salah satu faktor terjadinya pewarisan adalah hubungan keagamaan (Islam) di

antara individu (yang berkeluarga).

5) Faktor Berlainan Negara

Perbedaan Negara didasarkan pada kateristik yaitu angkatan perangnya, kepala

negaranya berbeda, dan tidak ada kekuasaan (diplomatik) satu sama lain. Dimaksud

dengan “ tidak ada ikatan kekuasaan” adalah tidak ada hubungan diplomatik atau

kerjasama untuk saling membantu dalam berbagai bidang.

(30)

Kendatipun demikian perlu dicatat bahwa, dalam kasus berlainan yang

kebetulan bermukim di negara berbeda, dapat digolongkan dalam dua macam yaitu:

a) Berbeda Negara antar orang-orang non muslim

b) Berbeda Negara antar orang-orang atau keluarga muslim

Dengan demikian faktor berlainan Negara bisa tidak dijadikan sebagai faktor

yang menghalangi hak kewarisan.

6) Faktor Mati Bersama Antara Anak dan Bapak

Faktor ini sebenarnya telah diuraikan pada pembahasan tentang

persoalan-persoalan sekitar syarat kewarisan. Dalam kasus ini karena antara pewaris dan ahli

waris mati mendadak tidak bisa ditemtukan siapa dari mereka yang mati terlebih

dahulu, misalnya mati karena tenggelam atau kebakaran. Dengan matinya mereka

secara bersamaan, maka sudah jelas bapak tidak bisa mewarisi anaknya dan

sebaliknya, tetapi kalau anak yang mati berasamaan bapak itu memiliki anak, maka

anak tersebut yang memiliki hak mewarisi (sebagai mawali).

2. Menurut Hukum Adat

Setiap orang pada dasarnya adalah waris dari pewaris orang tua kandung atau

orang tua angkatnya berdasarkan hukum adat yang berlaku baginya. Namun

demikian ada kalanya seseorang dapat kehilangan hak mewarisi dikarenakan

perbuatannya yang bertentangan dengan hukum adat. Perbuatan salah yang

memungkinkan hilangnya hak mewaris seseorang terhadap harta warisan orang

tuanya atau dari pewaris lainnya adalah misalnya dikarenakan antara lain sebagai

berikut55:

a. Membunuh atau berusaha menghilangkan nyawa pewaris atau anggota

keluarga pewaris

55

Hilman Hadikusuma, op. cit., h.108

(31)

b. Melakukan penganiayaan atau berbuat merugikan kehidupan pewaris

c. Melakukan perbuatan tidak baik, menjatuhkan nama baik pewaris atau nama

kerabat pewaris karena perbuatan yang tercela

d. Murtad dari agama atau berpindah dari agama dan kepercayaan, dan

sebagainya.

Perbuatan salah yang dimaksud dapat dibatalkan memberi ampunan dengan

nyata dalam perkataan atau perbuatan, sebelum atau ketika warisan dilakukan

pembagian. Pengampunan atas kesalahan waris yang bersalah dapat berlaku atas

semua harta warisan atau hanya untuk pembagian saja. Misalnya waris masih

diperkenankan menerima bagian dari harta pencaharian tetapi tidak diperkenankan

mewarisi harta asal, atau hanya mendapat bagian harta pencaharian yang lebih

sedikit dari bagian waris lainnya.

Referensi

Dokumen terkait

Agar partisipasi masyarakat menjadi lebih baik, penyuluh sosial dituntut untuk meningkatkan kinerjanya melalui dua hal, yaitu kemampuan yang dimiliki meliputi minat,

Penelitian yang dilakukan peneliti bersifat analitik dengan desain Cross Sectional , untuk mengetahui faktor resiko anemia pada ibu hamil di Desa Tanjung Medan tahun

Pembelajaran yang awalnya monoton dan kurang semangat, dengan diberikan model pembelajaran Card Sort ini siswa menjadi termotivasi selama

independen menggunakan uji t dua sisi (karena ingin diketahui tingkat signifikansi koefesien korelasi, tanpa melihat positif atau negatif arah regresi

JUDUL : TEMPAT TIDUR PASIEN BEDREST YANG DILENGKAPI SARANA TOILET. MEDIA : SEPUTAR INDONESIA TANGGAL : 3

Dalam budaya orang Aceh (Adat Aceh) pada masa remaja ini perlu mendapat perhatian penting dari segenap lapisan masyarakat, mulai dari orang tua, sekolah dan

Bagi kelompok Oilseed , semua skenario yang dicoba menurunkan neraca perdagangan Indonesia dengan Filipina, antara US$ -0,01 juta sampai US$ -1,45 juta, sedangkan

Fungsi pelatih dalam beberapa peran T-kelompok (dan di seluruh laboratorium pelatihan). Sebagai peserta, pelatih adalah seperti anggota kelompok lain dalam hal