• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Arsitektur, Lingkungan dan Perilaku 2.1.1. Hubungan Arsitektur, Lingkungan dan Perilaku - Physical Traces Pada Ruang Terbuka Publik (Studi Kasus: Lapangan Merdeka)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2019

Membagikan "BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Arsitektur, Lingkungan dan Perilaku 2.1.1. Hubungan Arsitektur, Lingkungan dan Perilaku - Physical Traces Pada Ruang Terbuka Publik (Studi Kasus: Lapangan Merdeka)"

Copied!
28
0
0

Teks penuh

(1)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Arsitektur, Lingkungan dan Perilaku

2.1.1. Hubungan Arsitektur, Lingkungan dan Perilaku

Buku yang berjudul Arsitektur, Lingkungan dan Perilaku (Haryadi dan Setiawan, 2010) menjelaskan bahwa ruang sebagai salah satu komponen arsitektur menjadi penting dalam pembahasan studi hubungan arsitektur lingkungan dan perilaku karena fungsinya sebagai wadah kegiatan manusia. Dijelaskan juga oleh Haryadi dan Setiawan (2010) bahwa perilaku dioperasionalisasikan sebagai kegiatan manusia yang membutuhkan seting atau wadah kegiatan yang berupa ruang. Berbagai kegiatan manusia saling berkaitan dalam satu sistem kegiatan. Wadah-wadah berbagai kegiatan tersebut juga terkait dalam suatu sistem pula. Keterkaitan wadah-wadah inilah yang membentuk tata ruang yang merupakan bagian dari bentuk arsitektur.

Lingkungan dapat mempengaruhi manusia secara psikologi. Manusia tinggal atau hidup dalam suatu lingkungan sehingga manusia dan lingkungan saling berhubungan dan saling mempengaruhi (Anthonius, 2011). Hubungan antara lingkungan dan perilaku adalah sebagai berikut :

1. lingkungan dapat mempengaruhi perilaku – lingkungan fisik dapat membatasi apa yang dilakukan manusia.

(2)

3. lingkungan membentuk kepribadian. 4. lingkungan akan mempengaruhi citra diri.

Veitch dan Arkkelin (1995), menjelaskan bahwa psikologi lingkungan merupakan suatu area dari pencarian yang bercabang melalui beberapa disiplin ilmu. Berdasarkan ruang lingkupnya, psikologi lingkungan ternyata selain membahas seting-seting yang berhubungan dengan manusia dan perilakunya, juga melibatkan berbagai disiplin ilmu.

Secara tidak langsung terdapat hubungan antara perilaku dan ruang dalam dua sudut pandang. Pertama, sudut pandang dalam memahami pola perilaku, termasuk keinginan, motivasi, dan perasaan, merupakan hal yang harus dipahami dalam suatu ruang dikarenakan ruang merupakan perwujudan fisik dari pola-pola tersebut. Kedua, sudut pandang terhadap ruang mempengaruhi perilaku dan jalannya kehidupan. Kedua aspek tersebut memiliki dampak yang besar dan menjadi perhatian khusus bagi arsitek dan semua yang terlibat didalamnya (Rapoport, 1969).

(3)

Penelitian Rogers (1974) dalam Anthonius (2011) mengungkapkan bahwa sebelum orang mengadopsi perilaku baru (berperilaku baru), didalam diri orang tersebut terjadi proses yang berurutan, yakni:

1. awareness (kesadaran), yakni orang tersebut menyadari dalam arti mengetahui stimulus (objek) terlebih dahulu.

2. interest, yakni orang mulai tertarik kepada stimulus.

3. evaluation (menimbang – nimbang baik dan tidaknya stimulus bagi dirinya). Hal ini berarti sikap responden sudah lebih baik lagi.

4. trial, orang telah mulai mencoba perilaku baru.

5. adoption, subjek telah berperilaku baru sesuai dengan pengetahuan, kesadaran, dan sikapnya terhadap stimulus.

(4)

2.1.2 Seting Perilaku (Behavior Setting)

Behavioral setting dapat diartikan secara sederhana sebagai suatu interaksi antara suatu kegiatan dengan tempat dan waktu yang spesifik. Dengan demikian, behavioral setting mengandung unsur-unsur sekelompok orang yang melakukan sesuatu kegiatan, aktivitas atau perilaku dari sekelompok orang tersebut dan tempat serta waktu dimana kegiatan tersebut dilaksanakan. Manusia dan obyek adalah komponen primer. Manusia adalah bagian yang paling utama bagi behavioral setting, tanpa keberadaan manusia sebagai pengguna, behavioral setting tidak akan terwujud. Meskipun demikian, hubungan antara manusia dan obyek fisik mewujudkan keberadaan behavioral setting. Contoh dari behavioral setting dapat kita temui di sekeliling kita dalam kehidupan sehari-hari(Haryadi dan Setiawan, 2010).

Menurut Barker (1968), dalam Laurens (2004), behavior setting disebut juga dengan “tatar perilaku” yaitu pola perilaku manusia yang berkaitan dengan

tatanan lingkungan fisiknya. Senada dengan Haviland (1967) dalam Laurens (2004) bahwa tatar perilaku sama dengan “ruang aktivitas” untuk menggambarkan

suatu unit hubungan antara perilaku dan lingkungan bagi perancangan arsitektur. Barker dan Wright (1968) dalam Laurens (2004) mengungkapkan ada kelengkapan kriteria yang harus dipenuhi oleh sebuah identitas, agar dapat dikatakan sebagai sebuah behavior setting yang merupakan suatu kombinasi yang stabil antara aktivitas, tempat, dengan kriteria sebagai berikut:

(5)

tata lingkungan tertentu (circumjacent milieu), milieu berkaitan dengan pola perilaku.

membentuk suatu hubungan yang sama antar keduanya (synomorphy)

dilakukan pada periode waktu tertentu.

Rapoport (1977) dalam Utami (2003) mengatakan bahwa perilaku adalah aspek signifikan dari sebuah proses yang merupakan interaksi pendekatan dialektik antara manusia dan lingkungan dengan mempertimbangkan proses interaksi manusia dalam menetapkan konsepnya sendiri. Pendekatan perilaku memperhatikan hubungan manusia dengan lingkungan yang mempengaruhi apresiasi dan kesadaran manusia.

Lang (1987) mengatakan bahwa seting perilaku merupakan pemahaman tentang lingkungan binaan sebagai bagian perilaku. Jika tampilan lingkungan tidak mampu mengikuti pola perilaku maka manusia juga tidak akan dapat mengikuti tujuan.Jejak merupakan sesuatu yang tertinggal atau mereka sadar akan perubahan (Zeisel, 1980).

2.1.3 Batas Behavior Setting

Batas behavior setting adalah batas dimana suatu perilaku berhenti (tidak berlanjut) yang terdiri dari dua jenis (Laurens, 2004), yaitu:

Batas fisik/ physicalboundary

(6)

pemisah aktivitas, terutama apabila sebagian aspek dari pola perilaku harus dipisahkan dari lainnya. Beberapa objek berfungsi membentuk batas spasial dan objek lain berfungsi mendukung pola aktivitas yang terjadi di dalamnya. Objek pembatas mengelilingi perilaku, sedangkan jenis objek kedua, sebagai pendukung pola aktivitas, perilaku mengelilingi objek kedua.

Batas simbolis

Batas simbolis merupakan batas perilaku yang ditandai dengan simbol, misalnya melalui pola lantai atau warna lantai. Masalah yang muncul dalam batas ini apabila pemisah atau batas yang ada belum tentu dapat dikenali atau diketahui oleh setiap orang yang terlibat dalam aktivitas di daerah itu. Simbol-simbol yang dibuat menjadi tidak efektif dikarenakan hanya dapat dimengerti oleh sekelompok orang tertentu sebagai batas behavior setting.

Personalisasi dan penandaan, seperti memberi nama, tanda atau menempatkan di lokasi strategis, bisa terjadi tanpa kesadaran akan teritorialitas, seperti membuat pagar batas, memberi papan nama yang merupakan tanda kepemilikan. Perilaku personalisasi dapat juga dilakukan secara verbal. Penandaan juga dipakai seseorang untuk mempertahankan haknya di teritori publik, seperti kursi di ruang publik. Personalisasi dan penandaan kadang juga dibuat dengan sengaja dengan maksud tertentu, seperti tulisan “dilarang parkir di depan pintu” dan tulisan lainnya yang menandakan teritorialitas.

(7)

yang melibatkan personalisasi dari penandaan sebuah tempat atau obyek dan

komunikasi yang dimiliki oleh seseorang atau sekelompok orang.

Haryadi dan Setiawan (2010), Altman (1975) membagi teritori menjadi tiga kategori dikaitkan dengan keterlibatan personal (personal), involvement, kedekatan dengan kehidupan sehari-hari individu atau kelompok, dan frekuensi penggunaan. Tiga kategori tersebut adalah: primary, secondary, serta public territory.

Teritori utama (primary) adalah suatu area yang dimiliki, digunakan secara ekslusif, disadari oleh orang lain, dikendalikan secara permanen, serta menjadi bagian utama dalam kehidupan sehari-hari penghuninya. Teritori sekunder (secondary) adalah suatu area yang tidak terlalu digunakan secara ekslusif oleh seseorang atau sekelompok orang, mempunyai cakupan area yang relatif luas, dikendalikan secara berkala oleh kelompok yang menuntunnya. Teritori publik adalah suatu area yang dapat digunakan atau dimasuki oleh siapa pun, tetapi ia harus mematuhi norma-norma serta aturan yang berlaku di area tersebut.

(8)

Gambar 2.1. Personal Space Dan Teritorial

Konsep privacy, personal space dan teritorial memang terkait erat. Definisi privacy ditekankan pada kemampuan individu atau kelompok untuk mengkontrol daya, auditory, dan olfactory dalam berinteraksi dengan sesamanya (Hadinugroho, 2002).

Altman dan Haytorn (1967) dalam Hadinugroho (2002) menunjukkan bahwa dalam teritori terjadi hubungan yang mutual antara dalam penggunaan area/ tempat dan benda sekitarnya oleh person ataupun kelompok. Exclusive use secara tersirat merupakan penegasan terhadap pemenuhan kebutuhan penunjukan status.

(9)

menunjukkan secara jelas pengaruh psikologis individu atau kultural sekelompok individu terhadap kognisinya mengenai ruang.

Terdapat dua faktor yang mempengaruhi batas perilaku (Ardana, 2009), yaitu:

1. tingkat pengenalan batas: yaitu tingkat jelas tidaknya suatu elemen batas perilaku dapat dikenal oleh manusia. Maksudnya disini adalah seberapa jelasnya batas suatu elemen tersebut dilihat oleh setiap orang, baik batas tersebut fisik maupun simbolis. Biasanya semakin jelas visibilitas dari batas tersebut, membuat beberapa orang semakin jelas dalam mengenal dan mengintepretasikan batas-batas tersebut.

(10)

2.1.4. Teori Physical Traces (Jejak Fisik)

Physical traces (jejak yang ditinggalkan) dapat diketahui dengan memperhatikan lingkungan fisik di sekitar untuk menemukan aktivitas sebelumnya. Secara tidak sadar manusia akan meninggalkan jejak pada setiap aktivitasnya, seperti tapak kaki di tanah atau bercak tangan di lantai. Disisi lain, physical traces dapat mengubah perilaku manusia di lingkungan, contohnya pada saat seseorang memasuki gedung baru tentu perilakunya akan berbeda dengan saat ia berada di gedung sebelumnya (Zeisel, 1980).

Physical Traces adalah suatu metode penelitian dalam perilaku manusia yang bertujuan untuk mengetahui jejak yang dapat menjadi acuan perbaikan rancangan. Physical traces juga dapat digunakan sebagai analilis pada rancangan suatu lingkungan dan menilai apakah lingkungan tersebut sudah berfungsi secara efektif (Utami, 2003).

2.2. Ruang Terbuka Publik

2.2.1. Pengertian Ruang Terbuka Publik

Menurut Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 1 Tahun 2007, ruang terbuka adalah ruang-ruang dalam kota atau wilayah yang lebih luas baik dalam bentuk area/ kawasan maupun dalam bentuk area memanjang/ jalur di mana dalam penggunaannya lebih bersifat terbuka yang pada dasarnya tanpa bangunan.

(11)

jam, dan seterusnya. Pedestrian, tanda-tanda, dan fasilitas yang juga mungkin dianggap sebagai elemen ruang terbuka yang dibahas secara terpisah (Shirvani, 1985). Ketersediaan ruang terbuka kota sangat penting dalam perencanaan kota (Darmawan, 2007).

Menurut Hakim (1991), ruang terbuka pada dasarnya merupakan suatu wadah yang dapat menampung kegiatan aktivitas tertentu dari warga lingkungan tersebut baik secara individu atau secara kelompok. Bentuk daripada ruang terbuka ini sangat tergantung pada pola susunan massa bangunan.

Secara garis besar, Krier (1979) dalam Deazaskia (2008) mengklasifikasikan ruang terbuka menjadi dua jenis:

1. ruang terbuka yang bentuknya memanjang (koridor) yang pada umumnya hanya mempunyai batas pada sisi-sisinya, misalnya bentuk ruang terbuka pada jalan.

2. ruang terbuka dengan bentuk bulat yang pada umumnya mempunyai batasan di sekelilingnya, misalnya ruang rekreasi dan lapangan upacara.

Menurut Urban Land Institute dalam Deazaskia (2008) pengertian umum ruang publik adalah ruang-ruang yang berorientasi manusia (people oriented speces). Ruang publik adalah suatu tempat atau ruang yang terbentuk karena adanya kebutuhan manusia akan tempat untuk bertemu ataupun berkomunikasi.

(12)

penyeimbang rutinitas kerja dan kehidupan di rumah, ruang pergerakan, pusat komunikasi, dan taman bermain dan relaksasi.

Peranan ruang publik sebagai salah satu elemen kota dapat memberikan karakter tersendiri, dan pada umumnya memiliki fungsi interaksi sosial bagi masyarakat, kegiatan ekonomi rakyat dan tempat apresiasi budaya (Darmawan, 2007)

Menurut Rapuano (1994) dalam Suwandy (2015), ruang terbuka publik merupakan lahan yang tidak terbangun dengan penggunaan tertentu, ruang terbuka publik tidak ditempati oleh bangunan dan dapat dirasakan apabila mempunyai pembatas di sekitarnya. Ruang terbuka mempunyai fungsi dan kualitas yang terlihat dari komposisinya.

Sedangkan menurut Trancik (1986) dalam Suwandy (2015), ruang terbuka publik lebih ditekankan ke bentuk lorong linear yang berbentuk jalan menerus dengan elemen-elemen disepanjang jalan. Ruang terbuka tersebut berbentuk koridor dan berfungsi untuk sirkulasi yang menghubungkan dua atau lebih fungsi.

2.2.2. Fungsi Ruang Terbuka Publik

Menurut Hakim (1987) fungsi ruang terbuka publik antara lain:

(13)

2. fungsi ekologis, yaitu ruang terbuka sebagai tempat penyerapan air hujan, penyegaran udara, tempat untuk memelihara ekosistem, pengendali banjir dan penghalus arsitektur pada bangunan.

Pendapat lain dikemukakan oleh Ardiyanto (1998) dalam Kartika (2004), secara berurutan ruang terbuka publik tingkatan dan fungsinya terdiri atas:

1. pocket park, merupakan sebuah taman yang dikelilingi oleh sekelompok bangunan, dinikmati oleh penghuni lingkungan disekitarnya.

2. play-lot, merupakan ruang publik yang menghubungkan beberapa kelompok lingkungan, berfungsi untuk menampung kegiatan-kegiatan yang melibatkan penghuni dari blok lain.

3. play ground, merupakan ruang publik yang berfungsi sebagai tempat bermain, dengan fasilitas yang lebih lengkap dan sebagai pusat rekreasi bagi penghuni kawasan.

4. urban park, merupakan ruang publik yang terletak pada pusat kota, yang berfungsi untuk aktivitas-aktivitas yang melibatkan warga kota, dikunjungi oleh masyarakat dari berbagai kawasan, baik di dalam kota yang sama maupun yang berasal dari kota lain.

2.2.3. Ragam Jenis Ruang Terbuka

(14)

maupun yang sengaja ditanam. Ruang terbuka hijau dapat berupa ruang terbuka hijau publik dan ruang terbuka hijau privat.

Ruang terbuka hijau publik merupakan ruang terbuka hijau yang dimiliki dan dikelola oleh pemerintah daerah yang digunakan untuk kepentingan masyarakat secara umum, antara lain berupa taman kota, taman pemakaman umum dan jalur hijau sepanjang jalan, sungai, serta pantai.

Ruang terbuka hijau privat merupakan ruang terbuka hijau yang dimiliki dan dikelola oleh swasta/ masyarakat, antara lain berupa kebun atau halaman rumah/ gedung milik masyarakat/ swasta yang ditanami tumbuhan. Menurut Peraturan Menteri PU no.12 tahun 2009 ruang terbuka privat terdiri dari Ruang Terbuka Hijau (RTH) dan Ruang Terbuka Non Hijau (RTNH):

Ruang Terbuka Hijau (RTH) adalah area memanjang/ jalur dan atau mengelompok, yang penggunaannya lebih bersifat terbuka, tempat tumbuh tanaman, baik yang tumbuh tanaman secara alamiah maupun yang sengaja ditanam (Peraturan Menteri PU no.12 tahun 2009).

(15)

2.3. Peraturan Ruang Terbuka Publik

Ruang terbuka hijau terdiri dari ruang terbuka hijau publik dan privat. Ruang terbuka hijau publik merupakan ruang terbuka hijau yang dimiliki dan dikelola oleh pemerintah daerah kota yang digunakan untuk kepentingan masyarakat secara umum. Yang termasuk ruang terbuka hijau publik, antara lain adalah taman kota, taman pemakaman umum, dan jalur hijau sepanjang jalan, sungai, dan pantai. Sedangkan ruang terbuka hijau privat merupakan ruang terbuka hijau yang dimiliki oleh masyarakat antara lain adalah kebun atau halaman rumah/ gedung milik masyarakat/ swasta yang ditanami tumbuhan.

Berdasarkan UU No. 26 tahun 2007 tentang penataan ruang, khususnya pada pasal 29 ayat (2) mengamanatkan bahwa proporsi 30 (tiga puluh) persen merupakan ukuran minimal untuk menjamin keseimbangan ekosistem kota, baik keseimbangan sistem hidrologi dan sistem mikroklimat, maupun sistem ekologis lain, yang selanjutnya akan meningkatkan ketersediaan udara bersih yang diperlukan masyarakat, serta sekaligus dapat meningkatkan nilai estetika kota. Untuk lebih meningkatkan fungsi dan proporsi ruang terbuka hijau di kota, pemerintah, masyarakat, dan swasta didorong untuk menanam tumbuhan di atas bangunan gedung miliknya.

(16)

sebesar 26.510 Ha, maka idealnya luas ruang terbuka hijau yang harus ada di Kota Medan adalah sekitar 7.953 Ha.

2.4. Pemetaan Perilaku pada Ruang Terbuka Publik

Sebuah arsitektur dibangun untuk memenuhi kebutuhan manusia. Dan sebaliknya, dari arsitektur tersebut muncul kebutuhan manusia yang baru kembali. Hal ini pernah dikemukakan oleh Winston Churchill (Hadinugroho, 2002):

We shape our buildings; then they shape us” – Winston Churchill (1943)

Hadinugroho (2002) menyimpulkan dari pernyataan Churchill (1943) diatas bahwa manusia membangun suatu bangunan sebagai kebutuhan, yang kemudian bangunan itu akan membentuk perilaku penghuni. Bangunan tersebut akan mempengaruhi cara manusia berinteraksi sosial dan mempelajari nilai-nilai dalam hidup. Hal ini menyangkut kestabilan hubungan antara arsitektur dan sosial dimana kedua hal tersebut hidup berdampingan dalam keselarasan lingkungan.

Rapoport (1997) dalam Haryadi dan Setiawan (2010) mengatakan bahwa seting merupakan suatu interaksi antara manusia dan lingkungannya. Seting mencakup lingkungan tempat komunitas berada (tanah, air, ruangan, udara, hawa, pemandangan) dan makhluk hidup yang ada (hewan, tumbuhan, manusia).

(17)

bermanfaat, gagasan membantu perilaku dengan mengingatkan manusia tentang bagaimana mereka bertindak, bagaimana berperilaku, dan apa yang diharapkan dari mereka. Penting untuk ditekankan bahwa s

merupakan satu cara untuk menata dunia dengan membuat sistem tatanan yang dapat dilihat. Manusia hidup dalam waktu. Hal ini dapat bersifat temporal dan dapat dianggap sebagai pengaturan waktu atau yang mencerminkan dan mempengaruhi perilaku dalam waktu (Rapoport, 1977).

Menurut Sarwono (1992), ada dua jenis lingkungan antara manusia dengan kondisi fisik lingkungannya. Jenis pertama adalah lingkungan yang sudah akrab dengan manusia yang bersangkutan. Untuk manusia, lingkungan yang sudah diakrabinya ini memberi peluang lebih besar untuk tercapainya keadaan homeostasis (keseimbangan). Dengan demikian, lingkungan jenis ini cenderung dipertahankan atau kalau seseorang mau melakukan sesuatu ia cenderung mencari lingkungan yang akrab ini. Jenis kedua adalah lingkungan yang masih asing, kemungkinan timbulnya stress lebih besar. Manusia terpaksa melakukan penyesuaian diri dan proses penyesuain diri ini pun bisa menambah besarnya stress.

(18)

perilaku, secara umum, akan mengikuti prosedur yang terdiri dari lima unsur dasar yakni:

1. sketsa dasar area atau seting yang akan diobservasi

2. definisi yang jelas tentang bentuk-bentuk perilaku yang akan diamati, dihitung, dideskripsikan dan didiagramkan

3. satu rencana waktu yang jelas pada saat kapan pengamatan akan dilakukan 4. prosedur sistematis yang jelas harus diikuti selama observasi

5. serta sistem coding yang efisien untuk lebih mengefisienkan pekerjaan selama observasi

Haryadi dan Setiawan (2010) juga membagi jenis-jenis perilaku yang biasa dipetakan antara lain meliputi: pola perjalanan (trip pattern), migrasi (migration), perilaku konsumtif (consumptive behavior), kegiatan rumah tangga (households activities), hubungan ketetanggaan (neighbouring) serta penggunaan berbagai fasilitas publik (misalnya: pedestrian, lapangan terbuka dan lain-lain). Terdapat dua cara untuk melakukan pemetaan perilaku yakni:

1. pemetaan berdasarkan tempat (place-centered mapping)

(19)

2. pemetaan berdasarkan pelaku (person-centered mapping)

Berbeda dengan teknik placed-centered mapping, teknik ini menekankan pada pergerakan manusia pada suatu periode waktu tertentu. Dengan demikian, teknik ini akan berkaitan dengan tidak hanya satu tempat atau lokasi akan tetapi dengan beberapa tempat atau lokasi. Apabila placed-centered mapping Peneliti berhadapan dengan banyak manusia, pada person-centered mapping peneliti berhadapan dengan seseorang yang khusus diamati.

2.5. Diagram Kepustakaan

Perilaku Manusia di Ruang Terbuka Publik

Perilaku

Haryadi dan B. Setiawan (2010), Laurens (2004), Rapoport

(1977), Lang (1987),

Ruang Terbuka Publik Shirvani (1985), Darmawan (2007), Hakim (1991), Krier

(1979)

Seting Perilaku: Haryadi dan B. Setiawan (2010)

Physical Traces: Zeisel (1980),

Utami (2003)

(20)

2.6. Studi Kasus Sejenis

2.6.1. Children Physical Traces in Open Space (Studi Kasus: Taman Ahmad Yani, Medan) (Wahyu Utami), 2003

Taman Ahmad Yani adalah salah satu ruang terbuka publik yang terdapat di kota Medan. Taman ini menjadi tempat bermain anak-anak dan rekreasi. Terdapat empat zona pada taman ini. Dua zona menjadi bagian untuk rekreasi yang menyediakan beberapa tempat duduk, lampu taman, pohon-pohon, dan jalur jalan yang melingkar. Pada zona ini tidak terdapat fasilitas bermain untuk anak-anak. Dua zona lainnya adalah tempat bermain anak-anak seperti jungkat-jungkit, ayunan, panjatan besi dan tempat untuk anak-anak beristirahat atau hanya sekedar duduk dan mengobrol dengan teman-temannya (selain untuk anak-anak, zona ini juga menyediakan fasilitas untuk orang tua yang menemani anaknya).

Rapoport (1977) dalam Utami (2003) mengatakan bahwa aspek signifikan dalam proses desain dan interaksi dialektik bergantung pada hubungan antara manusia dan lingkungan yang menjadi proses interaksi individual manusia dalam konsep seting.

(21)

dalam perbaikan taman. Setelah mengamati semua anak-anak yang bermain di taman, terdapat 10 jalur yang sering digunakan.

Physical Traces dilihat dari kegiatan anak-anak melalui jalurnya, misalnya kerusakan pintu gerbang akibat anak-anak yang melompatinya atau merusaknya sebagai akses masuk yang lebih mudah, kerusakan rumput yang disebabkan oleh anak-anak yang selalu menginjak atau duduk, rusaknya tanah karena anak-anak yang suka menggunakannya sebagai tempat bermain yang nyaman, kerusakan pohon yang dilakukan anak-anak sebagai kemudahan mereka dalam bermain. Disekeliling permainan terdapat beberapa jalur untuk bermain yang sering digunakan. Jika kita ada melihat kerusakan rumput disekeliling permainan maka itu menunjukkan bahwa permainan tersebut sering digunakan. Sehingga terdapat jalur-jalur baru sebagai akses menuju permainan lainnya atau zona yang lain.

2.6.2. Faktor Penentu Setting Fisik Dalam Beraktivitas di Ruang Terbuka Publik (Studi Kasus Alun-alun Merdeka Kota Malang) (Muhammad Satya Adhitama), 2013

(22)

kenyamanan masyarakat Kota Malang dalam memanfaatkan dan beraktivitas di alun – alun Merdeka Kota Malang agar pemanfaatannya sebagai satu – satunya ruang terbuka publik di pusat kota dapat optimal.

Alun – alun penting keberadaannya untuk aktivitas sosial masyarakat karena saat ini semakin sedikitnya ruang terbuka publik di pusat – pusat kota, keberadaan alun – alun sebagai ruang terbuka publik dapat menjadi nafas dan bagian penting dari sebuah kehidupan kota ke depannya.

Behavior setting didefinisikan sebagai suatu kombinasi yang stabil antara aktivitas, tempat, dan kriteria berikut, menurut Barker (1968) dalam Joyce (2005) dalam Adhitama (2013) :

1. terdapat suatu aktivitas yang berulang berupa suatu pola perilaku 2. dengan tata lingkungan tertentu

3. membentuk suatu hubungan yang sama antar keduanya 4. dilakukan pada periode waktu tertentu.

(23)
(24)
(25)
(26)
(27)
(28)

hukum (advokasi) yang

memungkinkan adanya aturan yang baku tentang aksesibilitas kaum difabel pada sarana

aksesibilitas umum ruang publik kota.

Gambar

Gambar 2.1. Personal Space Dan Teritorial
Gambar 2.2 Diagram kepustakaan
Tabel 2.1 Studi kasus sejenis
Tabel 2.2 Studi kasus Lapangan Merdeka

Referensi

Dokumen terkait

PEGADAIAN (Persero) CABANG CPS BLAURAN ditentukan berdasarkan besarnya nilai barang yang dijadikan jaminan, sedangkan yang membedakan perbedaan tarif ijarah yang

Nomor judul Nomor bab Waktu pemutaran T01 C0 0 1 00 : 00 : 19 Bahasa Indonesia Buku Petunjuk Mengubah sudut pengambilan gambar Pada disk DVD video yang gambar direkam dari 2 sudut

Berdasarkan anamnesis dan gambaran klinis yang disebutkan oleh pasien dan orang tua pasien yaitu demam yang timbul mendadak tinggi selama 3 hari dan dirasa terus menerus serta

Pertanyaan berkaitan dengan data demografi responden serta opini atau tanggapan terhadap skeptisme profesional auditor, fraud risk assessment , dan prosedur audit

Masalah yang akan dibahas dalam penulisan skripsi ini adalah bagaimana upacara obon dilihat dari sudut pandang kepercayaan asli masyarakat Jepang yaitu Shinto.. 1.3

Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan, penulis akan meneliti pengaruh dari penerapan PSAK 24 khususnya mengenai imbalan pascakerja terhadap risiko perusahaan dan

Kesimpulan penelitian adalah (1) pengembangan bahan ajar modul matematika materi Statistika dan Peluang dapat diterapkan dalam penelitian, (2) Modul efektif digunakan