Mencari, Menemukan, dan Mengomunikasikan
Nilai-nilai Bermain dalam Konteks Pendidikan
Hendar Putranto, M.Hum
Universitas Multimedia Nusantara
Jl. Boulevard, Scientia Garden, Gading Serpong, Tangerang Telp. (021) 54220808 / 37039777, Fax. (021) 54220800
email : [email protected]
Abstracts:
Play is an indispensable dimension to successful and integral education. Nevertheless, our culture today tends to neglect play as its constitutive element. There are several reasons behind the negligence of play within our educational realm. This writing would refresh the way we WKLQNDERXWSOD\LWVDQWKURSRORJLFDODQGSKLORVRSKLFDOVLJQL¿FDQFHDQGLWVLPSRUWDQWUROHLQ shaping child’s character in positive and substantial ways before embarking into mature years as an adult. We also look at why and how we should communicate values of play to students (within the context of the classroom) and to larger audience (within the context of daily life). Some examples taken as role models of play in local context (Laskar Pelangi) and in educa-tional realm would strengthen the main argument of the writing.
Kata Kunci: media communication, intellectual characters, education.
Pengantar
Tulisan ini berangkat dari pengama-tan, pengalaman, dan keprihatinan penulis akan tiga hal berikut ini, yaitu (1) ruang ber-main perber-mainan tradisional bagi anak-anak di kota-kota besar nampak semakin menyempit dan sebagai gantinya menjamurlah ruang-ru-ang transaksi bisnis seperti pusat-pusat perbe-lanjaan, shopping mall, dan juga ruang-ruang bermain kontemporer seperti Dunia Fantasi, Time Zone, play station, dan warung internet; (2) berangkat dari pengalaman penulis yang mengajar di beberapa sekolah dan perguruan tinggi di Jakarta dan sekitarnya (periode 2003 – 2008), metode ‘bermain’ di dalam pelaja-ran nampaknya bukan lagi merupakan me-tode yang diakrabi oleh para siswa. Selain itu, keterlibatan siswa di dalam ‘bermain sebagai metode belajar’ juga terlihat kurang menun-jukkan dimensi spontanitas serta keriangan yang alamiah; (3) tuntutan skor hasil belajar yang bagus (rapor) serta indeks prestasi yang tinggi, yang secara sedemikian sistematis dan konstan digenjot oleh lembaga-lembaga
pen-didikan sejak jenjang penpen-didikan formal yang paling rendah hingga jenjang perguruan ting-gi, ikut berperan memengaruhi para peserta didik menjadi pribadi-pribadi yang di satu sisi teramat kompetitif dan cerdas dalam dimensi kognisi dan kalkulasi. Namun, di sisi lain mis-kin dalam imajinasi, afeksi dan compassion terhadap lingkungan sekitarnya.
Untuk memahami sebaran pengala-man, pengamatan, serta keprihatinan di atas sekaligus menggali lebih dalam alternatif yang mungkin dikembangkan untuk mengimbangi model pendidikan dengan orientasi skor serta pencapaian akademis yang tinggi, tetapi cend-erung mengabaikan dimensi afeksi, imajinasi, dan bela rasa (compassion), penulis berikhtiar mengajukan sebuah tesis yaitu bahwa pen-didikan yang mengabaikan, dalam arti kurang dapat mengomunikasikan, dimensi bermain, baik secara hakiki (by nature) maupun secara operasional (by practice), bukanlah wajah pendidikan yang mampu mengembangkan manusia menjadi sosok yang utuh dan manu-siawi. Guna mengakui dan menerima pent
ingnya bermain dalam pendidikan, tidak bisa tidak kita harus mengenali, menerima, dan mengomunikasikan sejumlah nilai yang
ter-NDQGXQJVHFDUDVLJQL¿NDQEDLNGDODPNRQVHS
maupun aktivitas bermain itu sendiri. Oleh karenanya, untuk menguatkan tesis di atas, penulis secara berturut-turut akan membahas (1) distingsi antara bermain (play) dan games, dan kompetisi (2) dimensi pembentukan karakter dari bermain, (3) dimensi
antropolo-JLVOHELKWHSDWQ\DDQWURSRORJL¿ORVR¿VGDUL
bermain yang melihat kodrat manusia sebagai makhluk bermain (homo ludens), (4) upaya kontekstualisasi nilai-nilai bermain yang su-dah dibahas di bagian (1), (2) dan (3), yang penulis temukan dalam novel Laskar Pelangi, dan (5) sebuah catatan penutup yang berfung-si sebagai ekskursus sekaligus keberfung-simpulan dari penulis.
Distingsi antara Bermain (Play), Games, dan Kompetisi
0HQXUXW KHPDW SHQXOLV PHQGH¿Q -isikan ‘bermain’ (play) dan ‘permainan’
JDPHV VHFDUD ¿ORVR¿V EXNDQODK KDO \DQJ
mudah, untuk tidak mengatakan mustahil .
:LNLSHGLDPHQDZDUNDQGH¿QLVLEHULNXWXQWXN
permainan: “Permainan merupakan sebuah aktivitas rekreasi dengan tujuan bersenang-senang, mengisi waktu luang, atau berolah-raga ringan. Permainan biasanya dilakukan sendiri atau bersama-sama.” Sementara itu,
GH¿QLVL EHUPDLQ \DQJ PXQJNLQ DGDODK µDN -tivitas manusia yang melibatkan segi kognitif,
DIHNWLI GDQ NLQHWLN DWDX PRWRULN¶ 'H¿QLVL
bermain dan permainan di atas bisa jadi terla-lu lebar, atau bahkan beterla-lum mengatakan apa-apa. Jika dipersempit lagi, ‘bermain’ mungkin
ELVDGLGH¿QLVLNDQVHEDJDLµNHJLDWDQPDQXVLD
yang dibatasi oleh aturan-aturan tertentu yang sifatnya mengikat para partisipan yang berada di dalam arena kegiatan tersebut, dan hanya sejauh mereka berada di dalamnya dengan tu-juan untuk bersenang-senang (having fun).”
1DPXQVD\DQJQ\DGH¿QLVLVHPDFDPLQLSXQ
masih nampak kurang memadai, terutama yang berkenaan dengan tujuannya (yaitu ber-senang-senang). Satu keberatan yang dapat
PXQFXODWDVGH¿QLVL\DQJEDUXVDMDGLDMXNDQ
adalah, bukankah bermain juga mempunyai tujuan pedagogis dan pembentukan karakter bagi para partisipannya, dan tidak hanya me-lulu untuk tujuan ‘bersenang-senang’?
Seorang pemikir sosial kontempo-rer asal Polandia, Zygmunt Bauman (kelahi-ran 1925), mencoba menarik garis distingsi antara konsep bermain (play) dan permainan (games). Pembedaan play dengan games yang dibuatnya tidak bisa dilepaskan dari kerang-ka besar pembedaan antara modernitas dan pascamodernitas sebagai kerangka berpikir, merasa, bertindak, dan menilai manusia, baik sebagai individu maupun sebagai bagian dari kolektivitas yang lebih luas. Menurut Bau-man, dunia dan kerangka berpikir modern cenderung dipandu oleh hukum (law), yang ditengarai sebagai buah pencapaian dari kerja akal budi. Sementara itu, dunia dan kerangka berpikir pascamodern tidak lagi melulu dia-tur oleh hukum, tetapi juga oleh adia-turan (rule). Secara kualitatif, ada perbedaan antara hukum dan aturan. Hukum bersifat menekan, memak-sa, dan melarang. Hukum merupakan bench-mark (tolok ukur) yang tetap menyisakan ru-ang atau celah untuk dilru-anggar dan dilampaui (transgression), sekaligus diwacanakan kem-bali. Sementara, aturan tidaklah demikian. Aturan memang membatasi, tetapi ia tidak memaksa. Aturan diciptakan untuk membuat sebuah permainan (games) menjadi lancar dan menarik. Mengingat sifat permainan yang siklis dan berulang (tidak ada permainan yang dilakukan hanya sekali), maka yang ada han-yalah atau ‘berada dalam permainan’ (being in the game) atau ‘meninggalkan gelanggang permainan.’
Selain pengertian di atas, kita juga mengetahui bahwasanya hukum itu mengikat semua orang tanpa pandang bulu, sementara aturan hanya berlaku di dalam permainan dan mengikat pemain yang ikut bermain. Setelah permainan usai, para pemain tidak lagi teri-kat dengan aturan tersebut. Tidak ada aturan permainan yang sifatnya universal melampaui ruang dan waktu, adat dan kebiasaan, budaya dan konteks sosial. Aturan tidak berpretensi
ikasikan
ndidikan
erang 800
ion. NNNeverthelessss, ourrrr severaaaal reasons bebbebehinhinhindddd ld reffffrrresr h the way we GLWVLPPPSRP UWDQWUROHLQ king intototo toomature yeaars ues of pllllaay aa to studennts e context ofof ofoffdaily liffe). ) Pelangi) and ddd din
educa-endidikan formal yang enjang perguruan
ting-engaruhi para peserta ribaaaaadddi d yanaa g di satuuuuusiisisisisi cerrddas dddalam dimmmensiii Nammmun, dddi sisi lain mis- -feksssi daaan compassssionnn kitaarrnyaa.
ami sebaaaraa n pennngnn alaaa- -a keprprprprihatintiinnanan nndddi atatatatatas h dalamalalalallterterterernaternananatnatifififif yfyang n untuk mengimbangi
an orioo entnnnasisisiskkor kkooo serseseeta a aa angttinggt gggggi, tettettettetetapiaapapap ceeeeenndn -mensssi ai ai ai ai afekfefefefe si,iiii immmmmaajinasnnnn i,
on), penulis berikhtiar sis yaiyaiyayy tu tu tu tutu bahahhhhwaaa aa peneenn n-kann, d, ddddalaalaalaalaalam amm aaartirrrr kukukukk rannnnngg kan, dimensi bermain,
natuuure)rerere mammmm upupuppp n sn ecaaara rara ra a ce)),, bukbubububu anlnlnllaah wajjjahahahah ah mpuu memememengembambambambambangkkkkkan anananan yang utuh dan
manu-tidak kita harus men mengomunikasikan se NDQ
NDQ NDQ
NDQGXQJVHFDUDVLJQL¿ maupunpununun aktivitas ber karenanyayaaa, u, ,, ntuk me penulis secaaaaara rrrr berturu (1) distingsi annnntara ber dan kompetisi (2) karakter dari bermmmmain, JLVOHELKWHSDWQ\DDDDDQ bermain yang melihihhat makhluk bermain(h( o kontekstualisasi nilill lai-dah dibahas di baggggian penulis temukan daddadadalam dan (5) sebuah catatatatatan si sebagai ekskkkkuursu us dari penulis.
Distingsi aanaa tara Ber dan KoKoooommmmpem tisi
0HQXUXW KHP i
i
isikan ‘bermain’ (p JDPHV VHFDUD ¿ORVR mudah, untuk tidak m :LNLSHGLDPHQDZDUND per
per per per
pemaimm nan: “PerPerPerPermaim n aktivivivitasittt rekreeeeasi den senang, , m, , enggisi wwwakt raga ra ringgggan.aaa PPPermmmain sendirdiri i aii i tauauuuubbeersaa ama-GH¿QQLVL EEEEEHUPPPPPDDDDLQ \\\DQJ tivittas manunununusia yannng m DIHNNWLI GDQQ NLNQHWWWWLN D ber
b b
b main dan permaina lu lebar, atau bahkan b apa
apa apapa
apa. J. JJJJikaaaadddddiperrrrsemsemsemsemsempit l ELVVDDDDGLGHGHGHGHGH¿QL¿Q¿Q¿Q¿QVLNLNLNLNLNDQDQDQDQDQVHE yang dddibaibibibi tasi ol hll hlehl h atur sifatnya mengikat para d
diiiidalalalalalam arena a nana naakegkkkk iat sejejejejauhejauhauhauhauhmeeerekeerekkkka ba ba baa beraererererda juan untuk bersenang 1DP
1 1 1
1 XQXQXQXQVDVDVDVDV\DQJQ\JQ\JQ\JQ\JQ\DGH mas
ma m ma
yang silih berganti .
Meskipun berjasa dalam membeda-kan ’bermain’ dengan ’permainan’, Bauman tidak secara tegas menarik garis demarkasi di antara keduanya. Ia lebih menyoroti karakter-istik permainan (games), yang ia tempatkan sebagai model yang cocok dijadikan paradig-ma dalam kerangka besar pascamodernitas.
1RQNRQVHNXHQVLDOLVÀHNVLELOLWDVWHULNDWDWX -ran, tetapi tidak memaksa, dan menjanjikan kesenangan serta sensasi adalah beberapa ciri khas permainan yang berhasil digarisbawahi Bauman. Walaupun demikian, bermain seba-gai aktivitas dan permainan sebaseba-gai bentuk konkret dari aktivitas tersebut menurut hemat penulis bukan hanya menjanjikan kesenangan dan sensasi yang tak terkatakan serta datang silih-berganti. Bermain juga merupakan ’pata-han’ (break) dari dunia rutinitas dan regulari-tas yang mencekik dan membosankan. Ber-main menawarkan saat ajaib bagi kita untuk memulihkan diri dari hingar-bingar kompetisi dan hasrat akan pencapaian dengan ratusan target-target serta jejalan jadwal dan appoint-ment.
Pengamatan yang tajam dari Al Gini kurang lebih merangkum pokok ini, ”Un-tuk bisa melakukan segala sesuatunya den-gan baik, Anda harus punya waktu lepas dari apapun yang sedang Anda kerjakan. Waktu senggang untuk tidak terus-menerus mel-akukannya. Waktu untuk memulihkan diri dan berelaksasi. Waktu untuk melakukan hal lain. Waktu untuk melupakannya sejenak. Kita adalah orang-orang yang mencari saat menjadi malas atau bermalas-malasan, untuk menikmati istirahat sebagai obat alamiah atas kelelahan dan frustrasi kerja. Menjadi malas, tanpa beban tugas apapun yang harus diker-jakan, tidak melakukan apa-apa adalah pra-syarat. Namun, bukan kondisi yang mema-dai untuk mencapai waktu luang yang sejati, genuine leisure.” Dalam amatan Gini di atas, ia melihat bermain sebagai aktivitas yang tak bisa dipisahkan dari bermalas-malasan (idle). Gini menempatkan bermain sebagai bagian dari kodrat manusia sebagai makhluk sosial yang berinteraksi dengan sesamanya. Waktu untuk mengikat seseorang atau sekelompok
orang (apalagi seluruh umat manusia) dalam terminologi dan terma persyaratan (terms of condition) universal, yang tidak bisa dirund-ingkan, yang memaksa dan mengeksklusi.
Semesta aturan adalah kemajemukan permainan; banyak permainan dengan be-raneka macam aturan. Dalam dunia kontem-porer, yang oleh Bauman dilihat sebagai dunia pascamodern, kemungkinan seperangkat atu-ran untuk bersinggungan dan menghasilkan sesuatu yang baru amatlah besar. Permainan menjanjikan kesempatan untuk kembali (ber-main) secara berulang-ulang. Contohnya: pertandingan tenis yang mempertemukan jag-oan tenis tunggal putra era 90-an yang sudah ‘pensiun’ pada 2002, Pete Sampras, dengan kampiun tenis tunggal putra era 2000, Roger Federer, yang berlangsung di Madison Square Garden, New York (AS), pada Senin 10 Ma-ret 2008 yang lalu, adalah contoh di mana permainan selalu menjanjikan kesempatan bagi para pemainnya untuk kembali secara berulang, meskipun yang satu (Pete Sampras) sudah cukup lama meninggalkan gelanggang permainan tenis tunggal putra profesional, se-mentara yang satunya (Roger Federer) sampai tulisan ini dibuat masih tetap aktif bermain se-bagai pemain tenis profesional.
Jika dilihat dari tujuannya, maka per-mainan bisa dilihat sebagai desain kegiatan yang tidak mendeterminasi tujuan-tujuannya secara objektif. Permainan adalah soal
kelen-WXUDQÀH[LELOLW\GDQNHFDNDSDQ\DQJGLSHUD -gakan (demonstrated skill). Para pemain tidak menentukan hasil akhir dari permainan yang mereka ikuti. Namun, setiap gerakan mereka tidak luput dari konsekuensi yang tidak bisa mereka prediksi dan rencanakan sebelum mas-uk ke gelanggang permainan. Dalam dunia permainan, kaitan sebab-akibat antara gugus tindakan dan hasil yang diharapkan amatlah longgar, atau bersifat ’tak tertentukan’ (un-decidables). Dunia permainan memang tidak menjanjikan rasa aman karena sifat predict-ability and calculpredict-ability–nya yang relatif ren-dah. Namun, dunia permainan tak pelak lagi menjanjikan dunia sensasi dan kesenangan
senggang adalah ruang di mana bermain men-dapatkan tempatnya yang tepat, sementara waktu kerja cenderung berseberangan dengan waktu senggang sehingga bermain cenderung dilihat sebagai distraksi saja. Keutamaan dari aktivitas bermain sebagai pengisi waktu seng-gang adalah counter-balance dari keutamaan kerja yang adalah produktif, kompetitif,
se-ULXVH¿VLHQHIHNWLIWHUHQFDQDGDQWHUNRQWURO
Penelitian yang dilakukan oleh Maxine Sheets-Johnstone mengeksplorasi hakikat dan pent-ingnya bermain bagi anak-anak dan remaja awal. Selain itu, ia juga menengarai adanya kebutuhan lebih lanjut untuk melindungi ber-main dari serbuan prematur dunia kompetisi yang menjadi ciri khas orang dewasa. Menu-rut Sheets-Johnstone, dunia kompetisi adalah sebentuk penyimpangan dari hakikat bermain itu sendiri. Mengikuti saran dari ahli etolo-gis Inggris Blurton Jones , Sheets-Johnstone
PHQJD¿UPDVL GH¿QLVL ¶EHUPDLQ¶ URXJK DQG
tumble play) sebagai suatu aktivitas yang melibatkan tujuh pola gerakan khas, yaitu
ber-ODULNHMDUNHMDUDQFKDVLQJDQGÀHHLQJEHU -gulat (wrestling), melompat-lompat (jumping up and down with both feet together), saling memukul dengan tangan terbuka, tetapi bukan benar-benar memukul (beating at each other with an open hand without actually hitting), memukul teman bermain dengan mengguna-kan objek, tetapi bumengguna-kan benar-benar memukul (beating at each other with an object but not hitting) dan tertawa riang.
Dari pengamatan Sheets-Johnstone, jenis bermain rough and tumble ini, semakin kurang mendapat tempat dalam iklim kom-petisi, seperti games competition, sports competition, dan seterusnya. Bermain rough and tumble yang tidak mengutamakan target dan tujuan pencapaian, cenderung semakin berkurang dalam permainan anak. Sheets-Johnstone prihatin melihat semangat berkom-petisi yang sering disuntikkan ke dalam per-mainan anak, karena, menurutnya, kompetisi mempercepat motivasi dan tingkat kepuasan yang diperoleh anak melampaui usianya. Ke-tika hasrat akan kekuasaan, dominasi, men-jadi nomor satu dan tak terkalahkan, menmen-jadi
tenar dan dipuja, mendasari motivasi seorang anak untuk bermain, maka kemenangan demi kemenangan menjadi tujuan sekaligus pem-benaran rasa harga diri yang muncul melebihi teman-teman sepermainannya sekaligus rasa menjadi lebih tinggi (superioritas). Kompetisi yang dipaksakan masuk dalam dunia bermain anak pada gilirannya akan menciptakan
at-PRV¿U\DQJNXUDQJVHKDWGDODPXSD\DSHP -bentukan karakter si anak tersebut, terutama karakter sosialnya.
Berbicara tentang dimensi pembentu-kan karakter yang bisa kita dapat dari aktivitas bermain, ada baiknya penulis menyampaikan-nya secara tersendiri di bawah ini berdasarkan
KDVLOSHQJDPDWDQSHQJXMLDQGDQUHÀHNVLSH -nulis selama menjadi seorang pendidik.
Dimensi Pembentukan Karakter dari Ber-main
Berdasarkan pengamatan dan uji coba di lapangan, baik di dalam maupun di luar ru-ang kelas, yru-ang dilakukan oleh penulis selama kurang lebih 5 tahun, penulis mengambil kes-impulan sementara bahwa sejumlah mata pela-jaran pengembangan kepribadian (seperti aga-ma, bimbingan konseling, kewarganegaraan, kajian lintas-budaya atau multikulturalisme) akan lebih efektif penyampaian pesannya jika menggunakan metode bermain atau dinamika kelompok. Mungkin kesimpulan yang penulis sebutkan di atas bukanlah suatu temuan yang baru dan bersifat terobosan. Namun, penulis
WHWDS PHUDVD WHUJHUDN XQWXN PHUHÀHNVLNDQ
sedikitnya lima nilai utama yang kerap mun-cul saat terjadi interaksi antara pengajar (guru, dosen, pelatih) dan siswa yang diajar dalam model permainan.
Nilai yang pertama adalah keriangan (joy). Saat bermain, terutama bermain dengan penuh gerakan dan ekspresi suara maupun visual, para partisipan melebur dalam suatu suasana yang diwarnai keriangan. Keriangan adalah kondisi yang niscaya perlu ada dan diciptakan agar proses pembelajaran menjadi lebih menarik dan nilai-nilai yang mau disam-paikan lewat bermain dapat tertanam dalam benak partisipan atau peserta didik.
asa dalam membeda-’permainan’, Bauman arik garis demarkasi didiii ih menyoroti karaktaktkt kter-s), yang ia temmmmmpatpatpatpatpatkan cok dijadikaan pn araddd dig-esar pascamamamamamoderniiiiitast . HNVLELOLWDVDVDVDV
WHULNDWDWX-ksa, dan mmenjanjikan si adalah beeberapa ciri berhasiiiiil dll diigarisbawbawbawahiahiahi i mikiannn, n bermainnn seba-
-ainannnn sebagai benbbentuktuktuk k ersebuuutt mtt enurut hemat enjanjikikikaikn kesenangan erkatakaaaan serta dataang
juga merrurr pakan ’pa ata-rutinitasddaddn regulararariii i-n membosai-nanannnkan. Ber-ajaib bagi kkkitaitaititt untuk ngar-bingar kompmpmpmpetisi paian dengan ratusan an anann n jadwal dan
appoint-ng tajam dari Al Gini um pokok ini, ”Un-egala sa sa sesuse atunya dedededennn n-unyya yy waakaa tu lepassss dariiii Andaa keerrjakan. WWWaktuuu
teeerus-mmmenerus mel- -tuk k meemmulihkan diriii untnttuk mmelakukannn nhallll elupapapapakannnnnnyanynyn seeejjejenjee akkk.k.k ng yananananng mgggg encari sasasasat rmalas-mallasan, untuk agai obat alamiah atas kerrja.jjj MeMMMMnjanjanjanjajadi i ii i malalaalaas,s,,,, punnyyang ngnnngharharharararususuusu dikikkk ker-n apa-aaapa adalallll h pra-kondisi yangg mema-ktuulululululuanganganangan yaaaang ssejatiaatatt, m amammmataatatataatan Gnnnn iniiniiniiniinididididd atas,as,as,as,as, agai aktivitas yang tak rmalalllasas-as-aas-malmmmm asasaaasn (n ((idle).e).e)e).).
rmainainainin sessessbaggai ggg bbbagb ianianian anan bagai makhllllluk kkkksosiali ll an sesamanya. Waktu
dapatkan tempatnya waktu kerja cenderung wak
wak wak
waktu senggang sehin dilihaaat st tt ebagai distrak aktivitasbebebbermain seba gang adalah hhhhcounter-b kerja yang adadadaldad ah pro ULXVH¿VLHQHIHNHNHNNWLIWH Penelitian yang diiiilakuk Johnstone mengekekekse pl ingnya bermain babaagi awal. Selain itu, iaa aju kebutuhan lebih lannnjut main dari serbuan pre yang menjadi ciri kkhakk rut Sheets-Johnstototoone, sebentuk penyimmmmpang itu sendiri. Meeeengin kut gis Inggris BlBlBluBl rton Jo PHQJD¿UPDPDPDP VLGH¿QLVL tumbleeee pplay) sebagai mel
melelele ibibaibbtkan tujuh pola O
O
ODULNHMDUNHMDUDQFK gulat (wrestling), melo up and down with bot memukul dengan tang ben
benen
benar-a benar memmemememukul with aaaan openhah ndndd w memukukkukukul temmaan bbberm kanoobooo jekk, tkk, ,, etaaapi bbbukan (beaatingngngngat teaeaceacech ooother hittiing) ddadandad teteeeerrrtawwwa ria
Darararari pengggama jen
j j
j iss bermaiiiinn rnnn ougugugh ag kur
k k
k ang mendapat temt petisi, seperti game com
com comom
competpppp itititition,iooo dadadadan san n n n ete andddd tumblmblmblmblmble ye yee ye yangangangangangtittttdak dan tujuajjjj n pencncncapaia berkurangggg dalam per Johoooonstnstnstssonee prihaee hahahahatititintiti me petetetetetisiisiisiisiisi yang nnnngsereeeeringinginging disung mainan anak, karena, m
m m mem
m perpeperpercecececepce at motmomomomoivas yan
yan ya ya
jembatani, tentunya juga diharapkan ada pen-ingkatan kadar partisipasi peserta didik dalam mengenali dan menguasai bahan ajar menjadi lebih penuh.
Nilai yang ketiga adalah pengenalan tubuh, baik segi kerapuhan maupun kekua-tannya. Nilai pengenalan kebertubuhan ada-lah sesuatu yang mungkin jarang disadari dan dieksplisitkan oleh para pendidik. Tu-buh menjadi sesuatu yang asing dalam model kurikulum yang menekankan aspek pengem-bangan kognitif di atas pengempengem-bangan afektif dan volutif (dimensi psiko-motorik). Padahal, kita semua tahu bahwa bermain lebih melibat-kan aspek emosi dan geramelibat-kan. Lewat bermain, para peserta didik diajak untuk kembali men-gakrabi tubuhnya, dengan segala kerapuhan ataupun kekuatannya. Kecekatan (agility),
VSRQWDQLWDVGDQJHUDNUHÀHNVPRELOLWDVGDQ
ketangguhan bisa menjadi beberapa tolok ukur bagi partisipan untuk mengenali bagaimana tubuh merespon aturan main dan tujuan dari bermain itu sendiri. Embodied learning atau proses pembelajaran yang peka terhadap di-mensi kebertubuhan adalah suatu paradigma yang baik untuk diadopsi dalam proses bela-jar.
Nilai yang keempat adalah kerja sama (team-work). Lewat bermain dalam kelom-pok, sekaligus juga dilatihkan kemampuan se-seorang untuk bekerja dalam tim atau kelom-pok. Intelegensi sosial dalam pengertian ” Kemampuan untuk hidup rukun dengan orang lain (get along well with others) dan mampu mengajak mereka bekerja sama” dengan sendirinya akan diasah dan dipertajam dalam situasi bermain. Kerja sama dalam bermain adalah kerja sama yang sportif dalam arti men-junjung tinggi nilai kejujuran dan pengakuan akan arti kemenangan dan kekalahan yang fair. Berbeda dengan situasi dan suasana per-saingan di ruang kelas dalam bidang kognitif (misalnya: yang ditentukan oleh nilai rapor) yang cenderung mengeksklusi satu sama lain, kerja sama dalam bermain menjadi aktivi-tas yang luhur karena ada ’tujuan yang lebih tinggi’ (a higher end) yang mengarahkannya, yaitu ide bahwa manusia adalah makhluk so Dengan menjadi riang, pesan-pesan yang mau
disampaikan oleh pengajar akan terserap se-cara lebih efektif oleh peserta didik. Suasana hati yang riang-gembira akan membuka budi dan hati peserta didik sehingga aturan tidak lagi dirasakan mengekang dan tuntutan un-tuk menjadi lebih (lebih baik, lebih disiplin, lebih berbagi dengan temannya) tidak lagi di-rasakan sebagai beban. Dengan belajar sambil bermain, keriangan niscaya akan menjadi at-mosfer yang dominan, kecurigaan serta pra-sangka negatif menjadi terkikis dan partisipan menjadi lebih siap untuk diisi pengetahuan-nya maupun diasah ketajaman hati nuranipengetahuan-nya. Nilai yang kedua adalah partisipasi yang lebih penuh. Acapkali dijumpai dalam proses be-lajar mengajar di ruang kelas, ada sejumlah siswa yang tidak mengikuti pelajaran den-gan sepenuh hati. Ada sebagian siswa yang terkantuk-kantuk bahkan tidur, ada juga yang sibuk sendiri (corat-coret, menggambar, sms-an), ada yang bengong, ada yang mengob-rol dengan teman sebelahnya, ada juga yang membaca buku atau majalah yang tidak ada kaitannya dengan pelajaran yang sedang
dia-MDUNDQ6DODKVDWXUHÀHNVLSHQXOLVWHQWDQJVLW -uasi semacam ini adalah karena adanya ’jarak’ yang tercipta antara bahan ajar dengan hidup mereka sehari-hari. Yang dimaksud dengan ’jarak’ di sini bukanlah jarak dalam arti
spa-VLDOJHRJUD¿VWHWDSLMDUDNNRJQLWLIGDQMDUDN
dalam arti keterlibatan emosional-motorik. Menarik jarak, dalam arti tertentu, memang diperlukan agar seseorang dapat mengamati
JHMDODGHQJDQOHELKFHUPDWGDQPHUHÀHNVLNDQ -nya (sebagaimana nampak dalam pelajaran sains yang dilakukan di laboratorium, ataupun dalam pelajaran-pelajaran ilmu sosial yang menganalisis gejala sosial-kemasyarakatan). Namun, keberjarakan yang terlalu lebar, tan-pa adanya ikhtiar untuk menjembatani, datan-pat memunculkan perasaan bosan dan terasing dalam diri peserta didik sehingga mereka lalu cenderung mengacuhkan pentingnya pesan yang mau disampaikan oleh pengajar. Lewat bermain, keberjarakan yang dapat berefek pada keterasingan siswa didik dari materi ajar ini diharapkan dapat dijembatani. Setelah
di-sial, dan bukan melulu makhluk individual. Kerja sama dalam bermain akan nampak lebih cemerlang dimensi pembentukan karakternya jika prioritas diberikan pada permainan dalam kelompok.
Nilai yang kelima adalah otonomi sekaligus otentisitas. Otonomi (dari akar ka-tanya auto- artinya diri dan nomos yang art-inya hukum) di sini terutama dimengerti dalam arti kemampuan seorang individu yang rasional untuk membuat keputusan (deci-sion). Otonomi yang dilatihkan dalam proses bermain membuat partisipan mengenali di-rinya sendiri, mengenali kapabilitasnya untuk menjadi diri yang otentik. Seseorang dilatih untuk berpegang teguh pada prinsip-prinsip yang sudah dibatinkannya (stay true to one’s principles) ketika ia ”dicemplungkan” ke dalam situasi bermain karena dalam bermain, ia tidak diperkenankan untuk memanipulasi baik hasil, rekan bermainnya, maupun dirinya sendiri. Berhadapan dengan aturan main yang tidak ia buat sendiri, seorang partisipan dalam bermain bergerak dalam matra otonomi dan heteronomi. Disebut otonomi karena dengan kemampuan rasionalitasnya, pemain akan memutuskan untuk mengikuti koridor yang sudah ditetapkan tanpa ia sendiri menjadi dilumpuhkan oleh adanya koridor tersebut. Disebut heteronomi karena aturan main dari permainan yang ia ikuti (kemungkinan besar) bukanlah aturan main yang ia tetapkan sendi-ri, melainkan atau berupa kesepakatan yang dibuat sebelum mulai bermain, atau sesuatu yang sudah terberi (given). Setiap momen keputusan (apakah itu berlari, atau mence-gat pemain lawan, atau memberi operan, atau melompat atau terjatuh sebagai strategi bermain) adalah moment di mana si pemain menjadi semakin otentik dengan memutuskan untuk dirinya sendiri. Dampak dari keputu-san yang dibuat si pemain akan memengaruhi baik dirinya sendiri, kelompoknya, maupun kelancaran bermain bagi semua yang terlibat dalam bermain tersebut.
Nilai yang keenam adalah kebeba-san. Kebebasan di sini bisa dimengerti secara positif yaitu dalam arti penentuan diri
(self-de-termination), alih-alih selalu diatur dan diten-tukan dari luar dirinya (misalnya: oleh guru, oleh buku, oleh orangtua, dan oleh media). Kebebasan adalah sesuatu yang dirindukan (dimensi batin atau spiritual) sekaligus perlu diupayakan perwujudan atau materialisasinya dalam ruang maupun aktivitas bermain. Kebe-basan menjadi conditio sine qua non (kondisi niscaya) dari para pemain untuk mengaktual-isasikan dirinya dalam bermain. Kebebasan dalam arti nonintervensi juga harus dijaga baik sebelum, selama maupun sesudah ber-main (sehingga nantinya tidak dijumpai lagi skandal pengaturan skor atau pemain yang disuap oleh sponsor untuk ’mengalah’). Kebe-basan dalam bermain bukan berarti kebeKebe-basan semau gue karena matra kebebasan (individu) sudah selalu mengandaikan adanya kebebasan yang lain yang juga memunyai dan sedang mengaktualisasikan kebebasannya. Maka, lebih tepat jika dikatakan bahwa dalam ber-main, kebebasan yang dianut dan dipraktikkan adalah kebebasan yang berlandaskan nilai-nilai tanggung jawab dan respek atau saling menghormati. Tanpa dilandasi nilai-nilai ini, kebebasan dapat menjadi senjata mematikan dan permainan adalah ajang kekacauan.
.HHQDP QLODL \DQJ SHQXOLV UHÀHNVL -kan di atas sifatnya saling melengkapi, dan bukan saling menegasi. Artinya, antara satu nilai dengan nilai yang lain ada dalam ikatan yang saling mengandaikan. Meskipun di per-mukaan mungkin nampak bertabrakan (mis-alnya, antara otonomi dan otentisitas dengan team-work). Namun, sejatinya mereka sudah saling mengandaikan dan saling menguatkan untuk membuat bermain menjadi sarana ung-gul bagi pengembangan karakter.
Dalam pemikiran yang kurang lebih senada
GHQJDQUHÀHNVLSHQXOLVGLDWDV%ULDQ(GPLV -ton dalam bukunya Forming Ethical Identities in Early Childhood Play (2008), berpendapat bahwa bermain bisa menjadi sebuah model alternatif pedagogis yang bertujuan untuk membentuk identitas diri anak yang sedang berkembang menuju dewasa. Edmiston men-gatakan, ”Bermain sebagai sebuah pedagogi etis dalam konteks pengasuhan anak usia dini
asi peserta didik dalam sai bahan ajar menjadi
ga adalah pengenanananallalanl uhan maupun kekekekkekuakk -an kebertubbuhau n aaa ada-ngkin jarananananng dg disadddard i h para ppppendidik. Tu-ng asiTu-ng daalam model ankan aspeek pengem-pengeememmmbbangan afafafektektektif ififf iko-mmomomotorik). Paaadahal,,, bermaaaain lebih mmmelibat- -rakan.. L.. ewat bermain, k untuuuuk kkkk embali men-gan seggalggg a kerapuhhhan Kecekaaaatan (agilitty), UHÀHNVPRPRPREPR LOLWDVGGGGDQDQDQ adi beberapaaaatot lok ukur mengenali bagagaagaggimana main dan tujuan n dn n ari mbodied learning atttau au auauu ang peka terhadap di-dalah suatu paradigma psi dalam proses
bela-mpat adaadaadadalah kerja saaaama mamm ermamain daldd am keellllom- -tihkkkan kkeemampuaaan se- -dalaaam timm atau keelom- -l daaalamm pengertiaan ””” upruruukunn dengan oooorangggg
th otthett rs)s)s)s)) dan mmammampampaampuuu uu kerja samsasasasa a” dengangangan n dan dipertajajjjj m dalam d sama dalam bermain spororrrtift daddddlamamamammarrrrrti t menmenmmm -- -ujuranrara dadddd n pn ppenppenengengen akukukuan
dan kekekkkkalllllahahh n yang tuasi dan suasana per-dalaaaaam bm bm bm bm biidididai ngng ggkogoooo nitittttiif ukan annnoleololeoleolehh nhh nh nilailai rilailailai ri ri ri rapooooor)r)r)r)r) ksklusi satu sama lain, mainininnn memmmmnjaadi aktaaa aa ivivivivi vi-ada ’’tuj’tujujujujuanuuuu yyyyyang ngngngglebbbbbihihihih ih
ang mengarahhhhhkkkkank nya, a adalah makhluk so
Kerja sama dalam berm cemerlang dimensi pe jik
jik
jikika paaa rioritas diberikan kelompmpmpmpok.
Nil Nil Nil Nil
N ai yang k sekaligus otttttenteeee isitas. O tanya auto- artarrtrtrtinyi a di inya hukum) di sin dalam arti kemammpumm an rasional untuk mmmmem sion). Otonomi yannng d bermain membuat pa rinya sendiri, mengggena menjadi diri yang ote untuk berpegangttet gu yang sudah dibatitintininkan principles) ketikikikka ia dalam situasi bbbbeerme ain ia tidak diperererker enanka baik hasil, l, l, ,rrrerekan berm sendiri. i. B. .BBBerB hadapan de tiddddakakak ak ia buat sendiri, se b
b b
bermain bergerak dal heteronomi. Disebut o kemampuan rasional memutuskan untuk m sud
sudududah a ditetapkakakakan tnnn an dilumpmpmpmpuhkan oleo hhh ah d Disebuut ht t t eterooonommmi k permaimmamma nanananan yannng iaaa iku bukanlanlnlnllah aaa atatuatuatuturaaana mmmain ri,mmelaiaiiiinkannnnkan ann nn tauuu be dibuuat sebebelbebbeum mmmulai yan
yan
y gg sg udah h h tterbeeerie ( kep
k k
k utusan (apakkkkkah itu gat pemain lawan, ata
ata atat
atau mu mu mu u elollolompaompat ampampat at at at atautttat t berrrmmmmain) n) n)n) n) aadaadaa lahlahlahlahlahmommmm m menjadddddiii semakinkinkikikinotent untuk dirinya sendiri. sananaaa yayayayayang ddibuatdd atatatatsissss pem baiaiaiaiaik dk dk dk dk dirinyannnn sssessndndndndndiri, kelancaran bermain ba dal
d d d
d ammm m berberbererermaimmm n tn tn tn tteerseee ebu Nil
Nil Nil Nil
hasa Indonesia akan berbunyi sebagai berikut: “banyak bekerja dan kurang bermain membuat Jack menjadi seorang anak yang tumpul.” Dari pepatah tersebut, tersirat sebuah pesan moral yang menganjurkan pentingnya menjaga kes-eimbangan antara ‘bekerja’ (bisa juga diarti-kan, ‘belajar’) dan bermain sehingga seorang anak tetap memunyai kebeningan nurani dan kecerdasan budi yang memampukannya men-jadi sosok manusia yang lebih utuh.
Dalam bukunya Homo Ludens: a study of the play element in culture, Johan Huizinga menekankan pentingnya unsur ber-main dalam budaya dan masyarakat (the play element of culture). Lewat studi komparatif lintas budaya yang dilakukannya, Huizinga sampai pada kesimpulan berupa teori bahwa bermain adalah kondisi primer dan niscaya (meskipun tidak dengan sendirinya bisa dika-takan sebagai ‘kondisi yang memadai’) untuk lahirnya budaya. Menurutnya, “Bermain itu lebih tua daripada munculnya budaya karena budaya selalu sudah mengandaikan adanya masyarakat, dan binatang tidak menunggu manusia untuk mengajarkan kepada mereka bagaimana harus bermain.” Berdasarkan te-muan-temuan tersebut, tidak mengherankan jika Huizinga mendaulat kodrat manusia se-bagai “manusia yang bermain” (homo ludens, dari akar kata Latin ludere yang berarti “ber-main”). Masih menurut Huizinga, bermain mempunyai 3 ciri-ciri pokok, yaitu (1) ber-main adalah kebebasan, (2) berber-main itu tidak identik dengan ‘sehari-hari’ atau hidup yang ‘nyata’ dan (3) bermain itu berbeda dari hidup sehari-hari dalam arti durasi dan tempatnya. Ciri-ciri di atas, khususnya ciri nomor 1, su-dah penulis singgung di bagian sebelumnya, sementara ciri yang kedua dan ketiga dapat dilacak jejaknya dalam paparan selanjutnya di bawah ini.
Pandangan Huizinga tentang kodrat manusia sebagai makhluk yang bermain dan bahwa bermain adalah aktivitas manusia yang primer dan niscaya sebelum lahir dan mun-culnya budaya serta masyarakat, dikuatkan oleh pendapat Joe Robinson, pengarang buku Work to Live, yang pernah mengatakan (early childcare setting) menciptakan ruang
yang mendukung kerja sama antara anak dan orang dewasa untuk membentuk identitas diri yang etis. Praktik yang bisa dikembang-kan dari model pedagogi ini mensyaratdikembang-kan adanya suatu kebiasaan mendengarkan dan berdialog.” Tentang kebiasaan mendengar-kan dan berdialog ini, menurut penulis, ada-lah kunci untuk membuat kita tetap menjadi manusia yang sehat dan waras, yang terbuka terhadap masukan dan kritik, sejauh memang mengembangkan kemanusiaan kita, seperti disindir oleh puisi yang penulis jadikan rang-kuman dari bagian ini. Puisi yang berjudul ”Brueghel’s Two Monkeys” ini merupakan karya pujangga perempuan kelahiran Polandia yang meraih penghargaan Nobel Sastra tahun 1996, Wislawa Szymborska. Dalam puisinya ini, Szymborska melukiskan suasana keterke-kangan siswa yang berupaya menjawab soal ujian sejarah Umat Manusia, sampai ia harus disenggol (diberitahu) oleh seekor monyet yang dirantai. Nampak jelas dalam puisi ini bahwa Szymborska menyoroti secara ironis dimensi bermain dalam setting belajar dan ujian yang serius. Berikut larik puisinya,
“Inilah yang kulihat dalam mimpiku tentang ujian akhir:
Dua ekor monyet, dirantai ke lantai, duduk di selasar jendela,
Langit di belakang mereka meningkah lincah dan segara sedang mandi Mata Ujiannya adalah Sejarah Umat Manusia
Aku tergagap dan mengelak Seekor monyet menatap tajam dan
menden-garkan dengan pandang mengejek Yang lainnya nampak sedang melamun Namun ketika sudah menjadi jelas aku tak
tahu apa yang harus kukatakan Ia menyenggolku dengan lembut ditingkahi
bunyi dencing rantainya.”
'LPHQVL$QWURSRORJLV)LORVR¿V%HUPDLQ
Ada sebuah pepatah terkenal dalam bahasa Inggris yang berbunyi sebagai berikut, “all work and no play makes Jack a dull boy”. Kurang lebih bila terjemahannya ke dalam
ba-bahwa “Hidup yang dihayati tanpa bermain atau waktu-senggang adalah hidup yang mis-kin akan tindakan, tanpa adanya penemuan, pertumbuhan, dan unsur dasar yang nampa-knya sudah kita lupakan yaitu
bersenang-sen-DQJ´3HQGDSDW5RELQVRQLQLMXJDGLD¿UPDVL
oleh tesis yang diajukan Al Gini, yang menga-takan bahwa “...juga meskipun kita mencin-tai pekerjaan kita dan dalam pekerjaan kita tersebut kita menemukan kreativitas, sukses, dan kesenangan. Namun kita juga sangat menginginkan dan butuh untuk tidak bekerja. Tidak peduli apapun yang kita lakukan untuk memperoleh penghasilan, kita juga mencari waktu senggang, relaksasi, dan moment diam sejenak. Kita semua butuh lebih banyak lagi bermain dalam hidup ini.”
Dalam konteks pengalaman estetis (experience of art), Hans-Georg Gadamer juga menggarisbawahi sentralitas konsep ber-main. Dengan menggunakan metode
herme-QHXWLND ¿ORVR¿V XQWXN VDPSDL SDGD SHPD -haman yang tepat dan menyeluruh tentang pengalaman hidup manusia, Gadamer dalam bukunya Wahrheit und Methode (Kebenaran dan Metode) melihat bahwa ”Jika bermain hanya dimengerti sebagai bermain, ia tidak-lah serius. Bermain mempunyai relasi khusus dengan keseriusan. Keseriusanlah yang mem-beri ’tujuan’ pada bermain, sebagaimana dika-takan oleh Aristoteles, kita bermain ’untuk re-kreasi’. Namun, bukan hanya tujuan ini yang membuat bermain menjadi serius. Bermain pada dirinya sendiri mengandung keseriusan, bahkan keseriusan yang suci. Dalam bermain, semua relasi bertujuan yang menentukan ek-sistensi aktif dan peduli daripadanya ditunda, bukannya menghilang. Bermain memenuhi tujuannya hanya jika si pemain kehilangan dirinya dalam bermain. Keseriusan bukanlah sesuatu yang menjauhkan kita dari bermain. Namun sebaliknya, keseriusan dalam bermain adalah hal yang niscaya untuk membuat ber-main menjadi sungguhan.” Dengan penuh ketelitian dan tilikan yang mendalam, Gad-amer mencoba menyelamatkan konsep
”ber-PDLQ´ EDLN GDUL ´MDMDKDQ´ ¿OVDIDW NHVDGDUDQ
rasionalistis yang sudah selalu menempatkan
bermain sebagai ”efek dari intensi kesadaran
VL SHPDLQ´ PDXSXQ GDUL WDQJNDSDQ ¿OVDIDW
pascamodern yang cenderung menempatkan dan memperlakukan bermain sebagai ”main-main.”
Untuk merangkumnya, ada tiga hal yang secara eksplisit dapat kita tangkap dari paparan Gadamer tentang bermain, yaitu bahwa (1) Gadamer memberikan prioritas on-tologis pada ”bermain” di atas ”kesadaran” dari ”yang bermain” (2) Gadamer juga meng-garisbawahi pentingnya dimensi tujuan (telos) dari bermain, dan (3) dengan mempunyai tu-juan dan status ontologis yang primer, maka bermain adalah aktivitas manusiawi yang se-rius sekaligus bermakna.
Dari kedua tokoh di atas (Huizinga dan Gadamer) kita menemukan setidaknya dua pondasi untuk bermain, yang dicapai den-gan menggunakan dua metode yang berbeda. Yang pertama adalah antropologis – kultural (Huizinga) dengan metode historis-kultural, yang kedua ontologis – estetis (Gadamer)
GHQJDQ PHWRGH KHUPHQHXWLV¿ORVR¿V 3HQ -gukuhan pentingnya ”bermain” baik dalam ranah yang dekat dan sehari-hari maupun
GDODP UDQDK DEVWUDN¿ORVR¿V PHPDPSXNDQ
kita untuk bergerak melihat lebih jauh lagi tentang dimensi pedagogis dari bermain.
'DODP NRQWHNV ¿OVDIDW SHQGLGLNDQ
konsep ”bermain” mendapatkan tempat yang cukup istimewa, khususnya dalam setting pendidikan di tahun-tahun awal (misalnya, di tingkat Taman Bermain dan Sekolah Dasar). Seorang pedagog kenamaan asal Amerika, R. F. Dearden, dalam bukunya Philosophy of Pri-mary Education (1968) , mengatakan bahwa bermain memiliki tiga ide mendasar yang berbeda, tetapi saling terkait, yaitu (1) secara hakiki, bermain sifatnya tidak serius sehingga bermain kurang memunyai nilai etis dan kul-tural yang sungguhan, (2) bermain sifatnya cukup-diri (self-contained) sehingga ia berbe-da berbe-dan terpisah berbe-dari dunia ’kewajiban, pertim-bangan serta projek yang menyusun jejaring tujuan-tujuan yang serius dalam hidup sehari-hari’, (3) segi menarik dari bermain terletak pada unsur kesegeraannya (immediate in its
rang bermain membuat nak yang tumpul.” Dari
at sebuah pesan moralalalll ntingnya menjaga kekekek
s-erja’ (bisa juga da da da a diariia ti-main sehinggaggg seorrrrang kebeningannnnnnnurani ddan memamppuukauku nnya
men-g lebih utuhh. a Homo Ludens: a ment innn cnn ulture, Jl JJohaohaohan nnn
pentinnnngnya unsuuur ber--- -n masyyyay rakat (thhhe ppplaylaylay y ewat sssstudi komparatif lakukaaaannynnn a, Huizinga an beruuuuppa ppp teori bahwwa si primerr rr dan niscaaya n sendirinyyayy bisa dikkkkaa a-yang memadadadaddai’) untuk urutnya, “Berrrmaimmmm n itu culnya budaya kakakarkarena mengandaikan adanyanyayayaa ang tidak menunggu arkan kepada mereka ain.” Berdasarkan
te-tidak mengherankan at kodkodododratrr manusia seses se-ermmaainaa ” (homo luddddedns,,, deree yanng berarti “““ber--
-ut HHHuizziinga, bermmmainnn pokkkok, yaitu (1) ber-- -, (2)2)) berrmain itu tttidt akkk k hariiii’ atauauauauau hidupupupp yangngng ngn itu bebeeerberbrrrbda dard i hiduiduidup du durasi dantttempatnya. snya ciri nomor 1, su-di bagbaaa ianananananseseseebelbelbelbelbelumnumnumnumnumnya,a,a,a,a, edua da a an aaannketketketettigaigigaigaigadadaaapatttt papaaranranr selanllll jutj nya di
zingangagagaga tetetetetentantang nnn kkkkodratrrara luk yanyanyang byanangggg ermrmrmainrmrmainainaiai dadadan aannn n aktivitas manusia yang belum umumummlahllalal ir dannnmuuuunnnn n-masyyyyaraaraaraarakrakkat, dikukukuuatkkkkan anananan nson, pengarang bukukkkk nah mengatakan
atau waktu-senggang kin akan tindakan, ta per
per per
pertumbuhan, dan un knya ssssudauuu h kita lupak DQJ´ 3HHHHHQGDQQGQ SDW5RELQ oleh tesis yanananganan diajuka takan bahwa ““..““ .juga tai pekerjaan kkkitaitiit dan tersebut kita mennennmu dan kesenangan. Na menginginkan dan n but Tidak peduli apapuuun y memperoleh penghhhhasi waktu senggang, reeeelak sejenak. Kita semumumua b bermain dalam hidididdup i Dalam kkkonk tek (experience of f f f art), juga menggarararariisbawahi main. Dennnnggang mengg QHXWLND ¿D ¿D ¿D ¿D ¿ORVR¿V XQWX hamamamammaaan yang tepat da pengalaman hidup ma bukunya Wahrheit un dan Metode) meliha hanya dimengerti seb lahahahahserius. Bermaimamaman m denganananan keseriuusuu annn. Ke beri ’tujujujujuanjuu ’ paaada bbberm takan annnn olehhh Ah riisstoteeeles, kreaasii’. ’.’’.’.Namaamamamuuun,un buukan memmbuaaaat bt tt t ermrmrmrrmainnn m padaa dirinynyanyaya sendiiiri m bah
bahkkan kesererrrriusiuii annn nyan semua relasi bebb rtujuant sistensi aktif dan pedu buk
buk bukuk
bukannanananan ya yayaya ya menennnnghighighighighlang tujuanuuu nyanyanyanyanya hanyanyanyanyanya jijjjjka diriiiinyi a dalalll m bm bbbbeerme ain sesuatu yyyang menjauh Nam
Nam Nam Nam
Namuuuun u sebebee aliknyknyknyknyknya, ke adadadadalahdalahlahlahlahhaaaaallll yanganananan nnnninsca main menjadi sungg ket
k k k
k elitiatitiatian dn n n n an tiltiltiltiltilikan ame
am am am
attractiveness). Dari ketiga ide besar yang mencirikan bermain di atas, yaitu tidak serius, cukup-diri serta menarik dalam kesegeraann-ya, Dearden nampak kurang mempertimbang-kan dimensi nilai atau aksiologis dalam aktiv-itas bermain, juga dimensi keseriusan seperti disarankan oleh Gadamer, sebagaimana sudah penulis paparkan di bagian sebelumnya. Temuan yang kurang lebih sama, tetapi cend-erung lebih bersifat personal dan individual,
GLVDPSDLNDQ ROHK DKOL SHQGLGLNDQ ¿VLN GDQ
rekreasional bernama Luther Halsey Gulick (1865 – 1918) dalam bukunya The Philoso-phy of Play . Dalam studinya tentang bermain, Gulick menemukan bahwa lewat bermain, ia dapat menemukan pintu masuk untuk mem-pelajari kemanusiaan itu sendiri. Menurutnya, bermain adalah ”Sesuatu yang baru terjadi jika orang sudah mempunyai makanan, tem-pat berlindung dan pakaian, juga terbebas dari rasa cemas, ketika kebutuhan-kebutuhan hidup jasmaniah untuk sementara dipindah dan roh manusia bebas untuk mencari pemen-uhan kepuasannya. Itulah saat seseorang menjadi yang terbaik dari dirinya.” Gulick percaya bahwa ketersingkapan manusia akan menjadi lebih penuh lewat bermainnya, atau pada bagaimana ia menggunakan waktu lu-angnya. Inilah parameter yang diacu Gulick untuk melihat dan memahami kodrat manusia. Sejajar dengan pemahaman di atas, tetapi den-gan menyertakan analisis yang lebih
substan-VLDO GDQ PHQGDODP VHRUDQJ ¿OVXI EHVDU -HU -man G. W. F. Hegel pernah menyatakan dalam bukunya Philosophy of Right (Grundlinien der Philosophie des Rechts) bahwa anak ada-lah agen yang memiliki kehendak bebas, dan kehendak itu dimanifestasikan pertama-tama dalam keluarga, lalu dalam ranah masyarakat sipil. Mengenai ciri yang asali, yaitu kebeba-san, Hegel mengatakan bahwa “Secara poten-sial, anak adalah makhluk yang bebas, dan hidup adalah perwujudan langsung dari kebe-basan potensial ini. Karenanya, anak bukanlah benda atau barang, dan tidak bisa dikatakan bahwa anak menjadi milik orang tuanya atau siapapun yang lain. Namun demikian, kebe-basan yang mereka miliki masih bersifat
po-tensial. Pendidikan anak yang terkait dengan kehidupan keluarga mempunyai dua tujuan yang saling terkait. Tujuannya yang positif adalah untuk mengangkat kodrat etis yang ada dalam diri setiap anak menjadi sebuah persep-si langsung yang terbebas dari segala bentuk oposisi, dan karenanya memperoleh kedama-ian pikiran, yang menjadi basis dari hidup etis. Anak melewati tahun-tahun awal hidupn-ya dalam cinta, kepercahidupn-yaan, dan kepatuhan. Tujuannya yang negatif adalah mengangkat si anak dari keadaan kodratinya yang seder-hana, the natural simplicity, menjadi pribadi yang mandiri dan bebas, dan ini pada giliran-nya akan memampukan si anak meninggalkan kesatuan yang alamiah yang merupakan ciri khas keluarga.”
Dari kutipan di atas, kita bisa langsung menangkap bahwa Hegel menempatkan dina-mika aktualisasi kebebasan anak (yang masih bersifat potensial) dalam keluarga sebagai kondisi yang niscaya ada sebelum si anak merealisasikan kebebasannya dalam ruang kolektif yang lebih luas, yaitu ruang publik bernama masyarakat sipil (civil society). Se-lain itu, sudah jelas bahwa cinta, kepercayaan, dan kepatuhan adalah tiga keutamaan hidup keluarga yang memampukan si anak tumbuh menjadi pribadi yang cakap dalam mengak-tualisasikan kebebasannya. Secara implisit, penulis dapat mengatakan bahwa dalam masyarakat sipil, kebebasan si anak akan men-jadi semakin penuh jika ia mempunyai ’ruang bermain’ untuk mengaktualisasikan setiap bakat-bakat dan potensi-potensi dirinya. Na-mun, bagaimana jika ’ruang bermain’ tersebut tidak tersedia dalam masyarakat kita? Mung-kin ilustrasi dystopia sebagaimana digambar-kan oleh novelis P. D. James dalam novelnya Children of Men (1992), dan yang sudah di-angkat ke layar lebar pada 2006 oleh sutradara Alfonso Cuaron dengan judul yang sama bisa
PHQMDGLJDPEDUDQVHNLODVXQWXNNLWDUHÀHNVL -kan.
Dalam novel Children of Men, James menuturkan visi agungnya tentang situasi umat manusia di masa yang akan datang (set-ting tahun 2027) yang dicekam ketakutan
ber-global karena umat manusia nyaris punah, mengingat tidak ada lagi bayi yang dilahirkan selama kurun waktu hampir 20 tahun. Dalam
¿OP \DQJ GLLQVSLUDVLNDQ ROHK QRYHOQ\D VH -cara amat dramatis dan tragis digambarkan bagaimana “kegemaran” manusia dewasa un-tuk berperang, bentrok senjata, menyingkir-kan yang lain yang berbeda (misalnya, kaum imigran) dan kegiatan-kegiatan destruktif lainnya telah membuat planet bumi ini men-jadi tanah yang gersang dan senantiasa be-raroma kekerasan. Gedung-gedung yang han-cur, jalanan yang dipenuhi peluru nyasar dan puing-puing bekas ledakan, sekolah-sekolah yang kosong tanpa kehadiran siswa dan guru, serta taman bermain yang sepi nir pekik canda tawa anak-anak adalah pemandangan suram yang lahir dari situasi anarkis yang dibungkus ketercekaman. Kejar-tangkap-tembak adalah mantra keseharian yang mengisi relung na-pas kota, membuat sesak nana-pas mereka yang tak bisa bertahan dalam a game called
sur-YLYDORIWKH¿WWHVW7LGDNQDPSDNODJLVHQ\XP
mengembang di wajah para penduduk kota, yang terpancar dari sorot mata mereka adalah rasa takut dan sekaligus keinginan balas den-dam. Semakin keras semakin baik, semakin kasar semakin penuh sorak-sorai.
Pelajaran yang bisa kita petik dari set-ting visioner semacam ini adalah bahwa untuk membangun masyarakat yang humanis, yang mencintai damai dan menjauhi kekerasan, diperlukan suatu setting dan desain sosial-kul-tural-politis yang rasional serta memadai yang memberikan ruang bermain untuk anak-anak. Tanpa adanya jaminan dan keberpihakan dari orang tua dan para pengambil kebijakan ter-hadap penciptaan ruang bermain yang mem-bebaskan dan mengaktualkan yang terbaik dalam diri anak, visi dystopia P. D. James sebagaimana digambarkan dalam novelnya Children of Men bukan tidak mungkin terjadi dalam waktu dekat ini.
Setelah mendiskusikan bermain di
WDWDUDQ NRQVHS GDQ JDJDVDQ \DQJ ¿ORVR¿V
tibalah saatnya penulis menghantar sidang pembaca untuk sampai pada bagian kontek-stualisasi nilai-nilai yang berhasil kita petik
dari kegiatan bermain, di bawah ini.
Mengomunikasikan Nilai-nilai Kehidupan dalam Aktivitas Bermain: Sebuah Upaya Kontekstualisasi
Laskar Pelangi adalah sebuah novel karya Andrea Hirata yang pertama kali diter-bitkan oleh penerbit Bentang (Yogya) pada September 2005. Dalam novel ini diceritakan kisah hidup sepuluh anak yang berasal dari keluarga miskin yang menimba ilmu pengeta-huan dan kebijaksanaan hidup di sebuah se-kolah bernafaskan prinsip-prinsip keagamaan (Muhammadiyah) di Pulau Belitong (Sumat-era). Nama kesepuluh anak tersebut adalah Ikal, Lintang, Sahara, Mahar, A Kiong, Syah-dan, Kucai, Borek (Samson), Trapani dan Harun. Karena keterbatasan dana dan min-imnya anak yang mendaftar, sekolah Muham-madiyah hanya mampu membuka satu kelas saja sehingga kesepuluh anak yang disebut di atas berada di kelas yang sama sejak SD hingga SMP. Ketangguhan karakter, kebeni-ngan nurani, dan kecerdasan otak kesepuluh anak di atas diasuh dan digembleng oleh Pak Harfan dan Bu Muslimah. Di tengah segala keterbatasan sarana dan prasarana yang di-miliki sekolah, juga keterbatasan
kemam-SXDQ¿QDQVLDOGDULSDUDRUDQJWXDNHVHSXOXK
siswa tersebut, SDN Muhammadiyah berhasil mencetak prestasi yang mengagumkan yaitu kemenangan di lomba Cerdas Cermat (men-galahkan dua tim dari sekolah PN Timah, yang langganan juara) dan kemenangan di lomba karnival seni dalam rangka 17 Agus-tusan (mengalahkan marching band dari se-kolah PN yang sebelumnya juga langganan juara). Demikian ringkasan umum dari novel Laskar Pelangi.
Ada tiga pokok yang hendak penulis
UHÀHNVLNDQGDULQRYHO/DVNDU3HODQJL\DLWX
(1) Tentang keberhasilan para guru dan murid SD Muhammadiyah dalam menerapkan nilai-nilai bermain (di luar ruang kelas) dan belajar (di dalam ruang kelas) dan mengomunikasi-kan nilai-nilai tersebut kepada penduduk seki-tar, kepada sesama insan pendidikan yang ada di sekolah PN Timah (dan sekolah lain
empunyai dua tujuan ujuannya yang positif at kodrat etis yang ada a a a menjadi sebuah persrsrsrsee
ep-bas dari segala ba ba bbbentenenuk memperolehh kedammm ma-jadi basis dss ds ari hiidddupd un-tahun n ann wal hidupn-ayaan, dan kepatuhan. if adalah mmengangkat odratinnynynna yang sesesederder der-icity, menjadi pppribadiii s, dan ini pada giggigliran-
-si anaaaak meninggalkan yang merupakan ciri
atas, kita aabisa langsuung el menemmmpatppp kan dinana na-asan anak (yayayanyaa g masih am keluarga sebagai ada sebelum si iii anaaaa k sannya dalam ruangngngngg as, yaitu ruang publik pil (civil society). Se-wa cinta, kepercayaan, tiga keutamaan hidup pukananannsis anak tummbuhbuhbubuh cakaapaa dalaaam mennnngak-
-nyaaa. Seeecara imppplisit,,, takaaan bbbahwa daalammm asannn si aannak akan mmmen- -a i-a memmmempunyai ’rruuuanu gggg gaktuuauulisasasiaaa kan ssssestiaappppp i-potenenensenn i dirinya. NNNN Na-uang bermaiiiii ’n’ t’’’tersebut asyarakat kita? Mung-ebagaiggg manmamamm a da da a ddigagagggmbambmbbbrr-- -Jamemees ddddaaalam nm nm nm nnoveooveo lnylnln a
), dandanan yang sudddddah hhhh di-da 2006 oleh sutradi-dara n juduududududul yyyyyangaaangsama sssmmmm bisiisssa ODVXQXQXQWXNXQQWXNWXNWXNWXNNLWDWDWDDDUHÀUHÀHNVUHÀUHÀUHÀ VVVVLLLLL-
-hildrdrrrreneen eenof oo MMMMMen, J, amemememeesss ngnyayyya tettetet ntaaanng nn ssituasasasasasiiiii yang akankkk datanttt g (settt t-icekam ketakutan
ber-mengingat tidak ada la selama kurun waktu h ¿OP
¿OP ¿OP
¿OP \DQJ GLLQVSLUDVLN cara aaaamatmmm dramatis d bagaimanannanana “kegemara tuk berperanannnng, g bentro kan yang lain yn yyyyang be imigran) dan kekkgiat lainnya telah memembemem ua jadi tanah yang ggggersa raroma kekerasan. Ged cur, jalanan yang ddipd e puing-puing bekas le yang kosong tanpa a aa keh serta taman bermaiaiaiiin ya tawa anak-anak aaaadala yang lahir dari siiiittuatt si ketercekaman. KKKejar-t mantra kesehehehharian ya pas kota, mmemm mbuat se tak bisa sa sasaa bertahan dal YLYLYYYYDODODODORIWKH¿WWHVW7LG mengembang di waja yang terpancar dari so rasa takut dan sekaligu dam. Semakin keras kas
kasas
kasar aa semakin ppppenuenenen h s Pelajarrranra yyyang ting visiisisisioner seemaacam memmmmbanmbanbbb gugugungu mmmasyyyarak menncinininntait dadddmmmaim dan dipeerlukakakakaan suatuauauatuau seeettin turaal-polititiiiis ysss ang rrrasio memm
memberikan rn rn rn rruanggg bg er Tan
T T
T pa adanya jajjjminan orang tua dan para pe had
had hadad
hadap apapapappenenenciptaaenen taaaaaaan rn n n n uan bebbbaskbaskan an an an an dandandandandan mememememenga dalllllam ddddiri ai naknakak, visikk sebagaimana digamba Chi
Ch C
Chhldrdrdrdrdren oooof MenMenMenMenMen buka dal
dalalalalam amamamamwakaktu dekakaak dekdekdekdekaaat aa ini Setelah mend WDW
W WD W
WDDUDQ NQ NQ NQ NNRRRQVRR HSSSSSGDQGGG J tib
tib tib tib
nya), pejabat pemerintahan di pulau Belitong, maupun sidang pembaca Laskar Pelangi di manapun mereka berada. Menurut penulis, kunci keberhasilan dari Pak Harfan dan Bu Mus dalam mengomunikasikan nilai-nilai ke-hidupan seperti kejujuran, keterbukaan, toler-ansi dan kegigihan berjuang kepada para mu-rid yang belajar di SD-SMP Muhammadiyah adalah karena mereka amat memerhatikan pentingnya dan mempraktikkan secara sung-guh-sungguh ”kebiasaan mendengarkan dan berdialog” seperti sudah disebutkan oleh Bri-an Edmiston di atas. KebiasaBri-an mendengar-kan ini nampak misalnya ketika pelajaran seni suara, Bu Mus memberikan kesempatan ke-pada semua murid untuk menunjukkan kuali-tas vokal dan pemahaman nokuali-tasi musiknya. Meskipun tidak semua siswa seberbakat Ma-har dalam olah vokal, Bu Mus tetap menyi-mak penampilan satu per satu muridnya, juga meskipun ia harus menahan tawa dan kejeng-kelan . Juga saat-saat di mana ”Bu Mus yang berpendirian progresif dan terbuka terhadap ide-ide baru, membebaskan kami berekspre-si.” Kebiasaan mendengarkan dan berdialog yang dipraktikkan para guru ”Laskar Pelangi” membuat Bu Mus dan Pak Harfan menjadi ”ksatria tanpa pamrih, pangeran keikhlasan, dan sumur jernih ilmu pengetahuan di ladang yang ditinggalkan.” yang tidak ragu menegur kemusyrikan tetapi juga tidak sungkan dan ragu memuji pencapaian dan kreativitas anak-anak .
(2) model bermain ”rough and tumble play” sebagaimana disinggung oleh Maxine Sheets-Johnstone di atas ternyata juga ditemukan dalam Laskar Pelangi . Di bab 15, ”Euforia Musim Hujan”, anak-anak SD Muhammadi-yah mengubah dinginnya suhu udara dan de-rasnya curah hujan menjadi setting permain-an ypermain-ang melibatkpermain-an pelepah-pelepah pohon pinang. Rasa nyeri, kulit yang terkelupas, benjolan di kepala Ikal karena terantuk, Syah-dan yang ”pura-pura mati” ternyata semakin menambah kadar keriangan (joy) bermain mereka. Seperti ditulis sendiri oleh Andrea Hirata, ”justru peristiwa terjatuh, terhempas, dan terguling-guling yang menciderai, lalu
disusul dengan tertawa keras saling mengejek itulah yang kami anggap sebagai daya tarik terbesar permainan pelepah pinang ... pesta musim hujan adalah sebuah perhelatan meri-ah yang diselenggarakan oleh alam bagi kami anak-anak Melayu tak mampu.”
(3) ”Bermain yang serius dan bertujuan” dalam bingkai pengalaman estetis sebagaima-na disinggung oleh Gadamer dalam paparan-nya di atas juga tergambar dalam pengalaman Mahar, dkk. saat menyiapkan pesta dan lomba karnival 17 Agustusan. Ide jenial Mahar yang menyiapkan teman-temannya untuk tampil
GDODP´NRUHRJUD¿PDVVDOVXNX0DVDLGDUL$I -rika” pada awalnya mungkin tampak seperti ”main-main saja”. Namun, ketika dieksekusi on stage , tak disangka-sangka penampilan mereka amat fenomenal dan sanggup mema-tahkan dominasi kemenangan marching band nan rapi dan teratur dari SD PN Timah.
Sebuah Catatan Penutup
Apa yang kita temukan setelah bermain? Siapakah diri kita setelah bermain? Menjadi sosok manusia macam apakah setelah kita mendalami dan menghayati bermain dengan segala kompleksitas dimensi maknanya? Satu jawaban yang mungkin menarik dan
menan-WDQJ XQWXN GLMDGLNDQ EDKDQ UHÀHNVL DGDODK
”jati diri yang lebih utuh, yang manusiawi”. Untuk menguatkan jawaban ini, kita bisa be-lajar dari pengalaman (dan penemuan!)
se-RUDQJ¿OVXI3HUDQFLVWHUNHPXND-HDQ-DFTXHV
Rousseau, ketika ia sedang berjalan-jalan di keheningan hutan di St. Germain (Perancis). Berikut deskripsi singkat dari pengalaman itu, sebagaimana dituturkan oleh Robert C. Solo-mon,
”Ketika sedang berjalan-jalan dalam kehen-ingan di hutan rimbun St Germain, di awal lahir dan berkembangnya era modern, Jean-Jacques Rousseau menemukan sesuatu yang ajaib. Sesuatu itu adalah dirinya. Namun diri yang ditemukan Rousseau bukanlah diri ku-rus yang melulu berpikir secara logis (seba-gaimana ditemukan Descartes), juga bukan diri yang skeptis dan ragu-ragu (sebagaimana ditemukan Hume) melainkan diri yang sangat
kaya dan substansial, yang disarati aneka per-asaan yang baik dan juga pelbagai pemikiran yang baik, diri yang begitu ekspansif, alamiah dan berdamai dengan alam semesta, diri yang serta merta dikenali Rousseau sebagai sesua-tu yang melebihi dirinya yang sesua-tunggal. Diri semacam itu adalah jiwa dari kemanusiaan.” Patut dicatat di sini bahwa ’diri’ yang ditemu-kan Rousseau adalah diri yang kita (harapditemu-kan) dapat ditemukan juga dalam aktivitas ber-main. Menjadi homo ludens berarti menjadi manusia yang lengkap, utuh, dan kaya. Homo ludens adalah penubuhan dari semangat ke-manusiaan yang ekspansif, yang selaras (dan menjaga keselarasan itu) dengan lingkungan sekitarnya. Homo ludens adalah diri yang ber-sahabat dan berkarakter, yang berkembang baik dalam dimensi kognitif (logika), afek-tif (rasa-perasaan), voluafek-tif (mempunyai ke-hendak yang teguh) maupun aktif (tindakan) – kontemplatif (merenung dan krasan dalam keheningan).
Daftar Pustaka
Albrecht, Karl, Social Intelligence: The New Science of Success, San Francisco:
Josey-Bass, 2006.
BASIS edisi khusus Pendidikan, No. 07 – 08, Tahun ke-51, Juli – Agustus 2002. Bauman, Zygmunt, Mortality, Immortality
and Other Life Strategies, Cambridge: Polity Press, 1992.
Edmiston, Brian, Forming Ethical Identities in Early Childhood Play, London dan New York: Routledge, 2008. Gadamer, Hans-Georg, Truth and Method,
Second, Revised Edition,
diterjemahkan oleh Joel Weinsheimer dan Donald G. Marshall, London dan New York: Continuum, [1975] 1989. Gini, Al, The Importance of Being Lazy:
In Praise of Play, Leisure, and Vacations, New York dan
London: Routledge, 2003. Hegel, G. W. F., Philosophy of Right,
diterjemahkan oleh S.W Dyde,
Kitchener, Ontario
(Kanada): Batoche Books, [1820] 2001.
Hirata, Andrea, Laskar Pelangi, Yogyakarta:
Bentang, 2005.
Sheets-Johnstone, Maxine, “Child’s Play: A Multidisciplinary Perspective”, dalam jurnal Human Studies (2003)
26, hlm. 409–430, © 2003 Kluwer
Academic Publishers.
Solomon, Robert C., A History of Western Philosophy 7: Continental
Philosophysince 1750, The Rise and Fall of the Self , Oxford dan New York: Oxford University Press, 1988. Tonucci, Fransesco, “Citizen Child: Play as
Welfare Parameter for Urban Life,”
dalam jurnal Topoi (2005) 24, hlm. 183-195, © 2005 Springer.
White, Richard, “Rousseau and the Education of Compassion” dalam Journal of
Philosophy of Education (2008) 42,
No. 1.
Winch, Christopher dan Gingell, John,
Key Concepts in The Philosophy of Education, London dan New York:
Routledge, 1999.
ap sebagai daya tarik lepah pinang ... pesta buah perhelatan meri-n oleh alam bagi kamkamkamka i mampu.”
erius dan bbertujuuuuan” man estetis ss s seebagagimmmmam -damer dalalalaam paparan-bar dalam ppengalaman apkan pestaa dan lomba Ide jennnnni lialMaharM araryayayangngngg mannyyyya untuk tampilll DOVXNNNNX0DVDLGGGDUL$I-II -ungkinnnn tampak seperti mun, kekeeetika dieksekusi ka-sangkgkagkgk penampilllan l dan sanangann gup mem ma-nangan maaraaching bananandddd
i SD PN Timmammmh.
tup
kan setelah bermaiiiin?n?n?n?n? lah bermain? Menjadi m apakah setelah kita
ayati bermain dengan mensi maknanya? Satu n menenenarinaraark dan mennnnananan
an-EDKKDDQDD UUHÀUHUH HNVL DGGGGDOG DKKKK h, yyyang mmanusiawwwi”. abaaan inii, kita bisaaa be-
-(daaan peeenemuan!))) se- -NHPPPXNDD-HDQ-DFFFTXF HVVVV dangggg berrrrrjaljajjajalan-jaljalalallan a ddididid t. Gererrrmaimmmm n (PerP anccccisisis). at dari pengallllaman itu, n oleh Robert C.
Solo-n-jalalaannn dallamam mmm kehkehhh hen-StGGGeGeGermaiiin,ii ddddid awal nya era modern,,
Jean-emukmukukukukananan an nsesuatuuu u yuuuu angnnnn h ddiriiriiriirinyainyanyanyanya. NNNamuamuamuamuamun dddiriiriiriiriiri eau bukanlah diri ku-kir seseseseecarcarcaaara logiogooo s (s sebbbbaaaa a-escaraaa testestesteses)), juguuguuga bukakakakanan nn gu-ragu (sebbbagaimana inkan diri yang sangat
y , y
asaan yang baik dan ju yang baik, diri yang be dan
dan dan
danberdamai dengan serta memememereta dikenali R tu yang mmmmeleee bihi dirin semacam itu uuuuadaaa lah jiw Patut dicatat ddddi si i i i ini ba kan Rousseau addddalaaa h d dapat ditemukan juga main. Menjadi homomomoo manusia yang lengkkkkap ludens adalah penuuubu manusiaan yang ekkkspa menjaga keselarasaaaan i sekitarnya. Homo llllude sahabat dan berkkkark ak baik dalam dimemememensi k tif (rasa-perasaaaana ), vo hendak yang g g gtteguh) m – kontempmpmplplalatl if (meren keheniinngngngan n).
Daftar Pustaka Albrecht, Karl, Social
Science of Succ Josey-Bass, 20 BAS
BAS BAS BAS
BA ISIIS edisi khhhusuusuusuusus Pe Tahun kke-k 5551, J Baumannnnn, Z,,, ygmmmunttt, M andndndnd OtthherLLLife Pol
P P
P ityityiityityPPrPesss, 19 Edmmiston,n,n,n,, Brrrriaiaiaiani , FFForm in EEarEEa ly Chhhildh NewYYYYYork:YY : : R: ou Gadamer, Hans-Georg
Second, Revise dit
dit dit dit
diterjeee emamamamamahkahkhkhkh n dan
dan dan dan
danDooooonalnalnalnalnald Gdddd . N
New YorkYY kkkk: Con Gin
Gin G
Gini, i, i,i,Al, TheTTT Immmmporpppp tan Innn PraPraiseiseiseiseise of Pl Vacaacaaa tioioioioions,s,sss V
V New
London: Routl Heg
H H H
H el,l,,,G.GGWWW. F., WWW .,.,.,PhiPPPP los ditt
dit