• Tidak ada hasil yang ditemukan

4.1 Tonggak Sejarah Pewayangan Jawa (1)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "4.1 Tonggak Sejarah Pewayangan Jawa (1)"

Copied!
74
0
0

Teks penuh

(1)

4.1 Tonggak Sejarah Pewayangan Jawa

Dari perspektif tradisi, wayang dikatakan merupakan hasil karya para wali. Konsep tersebut termuat dalam cerita-cerita legenda Jawa dalam upaya memasyrakatkan agama Islam di tengah-tengah rakyat yang telah akrab dengan kehidupan agama dan kebudayaan Hindu-Budha. Di pihak lain, dengan melihat materi wayang, terutama aspek cerita yang didominasi oleh budaya Hindu, tumbuh anggapan bahwa wayang pada hakikatnya merupakan produk budaya Hindu yang berasal dari India. Sementara itu data dan fakta ilmiah akademik dengan mempertimbangkan aspek bahasa dan asal-usul kata, wayang dianggap produk Jawa asli yang muncul jauh sebelum Islam dan Hindu datang dan berpengaruh di Jawa (Poerbatjaraka, 1952). Dalam konteks ini wayang dikaitkan dengan upaya atau aktivitas pemujaan terhadap nenek moyang dengan dilatari kepercayaan animisme dan dinamisme.

Pigeaud (1967) mengungkapkan bahwa peran para wali sebagaimana dikemukakan pandangan tradisi dapat dikombinasikan dengan pendapat ilmiah tentang hal yang sama. Kombinasi itu dijadikan dasar asumsi bahwa pada awal perkembangan Islam di Jawa, semua mitos dan kepercayaan animistis, termasuk seni pertunjukan wayang, pada masa pra Islam yang semula dianggap sakral, kemudian dipopulerkan para wali menjadi seni profan yang disesuaikan dengan kebutuhan pengembangan Islam. Wayang menjadi sarana komunikasi yang efektif bagi pengembangan agama dan dan sikap budaya Islami sehingga pada akhirnya muncul mitos penciptaan wayang oleh para wali.

(2)

mengembangkan wayang membuat wayang menjadi lebih komunikatif. Perkembangan wayang dalam bentuknya yang baru, langsung atau tidak langsung turut berperan dalam mengubah sifat sakral wayang menjadi seni pertunjukan yang lebih profan.

Data terawal berkaitan dengan wayang ada dalam prasasti Dya Balitung berangka tahun 829 Saka (907 M). Dalam prasasti tersebut terdapat kata mawayang (si galigi mawayang buat hyang macarita bhima ya kumara). Artinya, pun Galigi memeragakan peraga dewa dalam cerita Bhima Kumara. Dalam prasasti Wimalaasmara berangka tahun 852 Saka (930 M) memuat kata wayang wwang1 (Timoer, 1988:33-34). Dari kedua prasasti tersebut terungkap bahwa seni

wayang pertama kali diperagakan oleh orang.

Timoer (1988:41) mengungkapkan, sumber kepustakaan Jawa Kuna menyebutkan bahwa pertunjukan wayang kulit berkembang sekitar tahun 1000-an. Kakawin Arjuna Wiwaha karya Mpu Kanwa (sekitar tahun 1030 M) dalam pupuh Cikharini bait ke 9 berbunyi:

Hananonton ringgit manangis asekel muda hidepen, huwus wruh towin yan walulang inukir molah angucap, haturning wwang tresneng wisaya malaha tar wwihikana, ri tatwanyan maya sahana-hananing bhawa siluman.

Ada yang menonton wayang menangis sedih. Ia sungguh bodoh. Sudah tau bahwa yang bergerak dan berbicara itu adalah kulit yang diukir. Begitulah rupanya orang yang lekat dengan sasaran indera, sampai tak tahu. Bahwa hakikatnya mayalah segala yang ada, sulapan belaka.

(3)

Dikaitkan dengan keberhasilan pementasan wayang, sebagaimana yang dilukiskan dalam kakawin Arjuna Wiwaha, tidak mustahil bahwa berkembangnya kakawin hingga ke puncak puitika Jawa Kuna berpengaruh terhadap perkembangan seni pentas tradisional. Di samping itu, mungkin juga kepercayaan magis religius yang ada pada masyarakat pada sat itu memungkinkan terbangunnya suasana yang sakral dan mistis. Oleh sebab itu, kondisi tersebut memudahkan penonton terlena dan terkena wasiya2.

Paparan di atas adalah data sekaligus kondisi awal yang diketahui tentang wayang. Tonggak-tonggak penting perkembangan wayang tampak dari beberapa pendapat pakar wayang, seperti Kats (1923) dalam Het Javanhe Toonel: Wayang Poerwa; Hardjowirogo (1949) dalam Sedjarah Wayang Poerwa; Pigeaud (1967) dalam literature of Java, I; Brandon (1970) dalam on thrones of gold: Three Javanese Shadow Plays; Raffles (1978) dalam History of Java, Mulyono (1982) dalam Wayang: asal-usul, filsafat, dan masa depanya, dan Ismunandar (1985) dalam wayang asal-usul dan jenisnya. Inti sari dari tonggak perkembangan wayang tersebut sebagai berikut:

Pada awal abad XII, seorang pujangga istana Kediri bernama Mpu Panuluh menggubah sebuah kakawin epik berjudul Gatotkacasraya. Aspek yang menarik dari kakawin itu adalah struktur naratif-dramatik kakawin yang sedikit berbeda dengan kakawin sebelumnya. Kakawin tersebut digubah dengan gaya yang sangat mirip dengan naskah panduan bagi dalang untuk mementaskan cerita. Artinya, teks kakawin Gatotkacasraya tersebut mirip dengan sebuah naskan lakon. Hal lain yang juga menarik adalah pemunculan tokoh-tokoh punakawan sebagai pendamping, sebagai abdi sekaligus penasehat tokoh utama.

(4)

Hasil kreasi para seniman istana itu kemudian dibakukan sebagai panduan para dalang dalam setiap pagelaran wayang. Pembakuan tersebut meliputi bahasa pedalangan, struktur pagelaran, corak dan jenis lakon gending pengiring, dan beberapa aspek pewayangan lain (Hardjowirogo, 1949); Brandon, 1970). Sampai sekarang dalam batas tertentu, hasil pembakuan itu masih menjadi pedoman dalam pewayangan Jawa. Pagelaran wayang pada saat itu telah menjadi semacam wadah nilai-nilai budaya yang sangat besar pengaruhnya pada kehidupan sosial budaya masyarakat pada umumnya.

Dalam perkembangan selanjutnya, pagelaran wayang Jawa mengalami penjelmaan ke dalam bentuk penampilan. Wayang kulit (wayang purwa) merupakan bentuk yang paling populer dengan daerah perkembangan yang sangat luas, terutama di Jawa tengan dan Jawa Timur. Daerah penyebaranya menjangkau daerah yang lebih luas, seperti Bali, Lombok, serta daerha Sumatra bagian selata; meskipun di daerah-daerah tersebut wayang menempuh jalur perkembangan tersendiri.

Jenis kedua, berupa wayang golek dari kayu yang berdimensi tiga matra. Mula-mula berkembang dipesisir utara Jawa, kemudian berkembang pesat di daerah Jawa Barat. Subyek cerita berkisar Ramayana dan Mahabarata. Baru pada dekade berikutnya muncul wayang golek yang berbeda, dinamai golek menak yang mengambil cerita kepahlawanan Wong agung Menak atau Amir Hamzah. Wayang golek di pesisir utara Jawa Timur dikenal dengan wayang Thengul.

Pada perkembangan selanjutnya muncul jenis wayang madya dan wayang gedhog yang terbuat dari kulit berukir. Wayang madya mengambil cerita dari kisah raja-raja. Keturunan Parikesit yang berkuasa di Jawa hingga berdirinya kerajaan Kediri. Sementara itu , wayang gedhog merupakan penyambung wayang madya yang meceritakan kisah raja-raja Kediri dan sekitarnya dengan tokoh Panji Inu Kertapati.

(5)

mengambil dari kisah sejarah Majapahit dengan tokoh utamanya Damar Wulan. Nama wayang klithik diambil dari bunyi klithik-klithik hasil sentuhan badan wayang dengan pegangan tangan wayang. Sedang nama krucil diambil dari wujud atau bentuknya yang cenderung lebih kecil dari wayang kulit purwa sebagai prototipenya.

Jenis wayang yang agak berbeda adalah wayang beber. Wayang ini berbeda dengan jenis wayang yang lain jika dilihat dari bentuk dan teknik pementasanya.wayang ini berupa kain yang direntangkan (dibeber) diantara dua tiang yang ditancapkan, sementara dalam tiap lembar kain terlukis gambar-gambar wayang yang berisi cerita. Ceritanya mengambil dari kisah Panji.

Wayang lain adalah wayang wong atau wayang orang. Jenis wayang ini muncul di lingkungan istana Jawa pada abad XIX, sejalan dengan memuncaknya perkembangan seni tari di kalangan istana. Wayang wong baru menjadi populer dalam lingkungan masyarakat umum pada awal abad XX.

Pada paruh kedua abad XX bermunculan wayang lain baru yang umumnya terbuat dari kulit. Wayang-wayang baru itu adalah wayang wahyu yang yang bercerita tentang rasul-rasul dalam agama nasrani. Wayang sadat, yang mengambil cerita tentang dakwah islam yang melakukan para wali sembilan di Jawa. Wayang suluh atau wayang pancasila bercerita tentang topik kehidupan masyarakat Indonesia saat melawan penjajah sampai setelah merdeka. Wayang ini berfungsi untuk memberi penyuluhan masyarakat. Wayang kancil bercerita tentang kisah dalam dongeng kancil. Dalam perkembangan terakhir muncul wayang dupara yakni jenis wayang purwa yang dimodifikasi dengan senirupa kontemporer.

4.2 Mitos Kemunculan Wayang Mbah gandrung

Kemunculan WMG diawali dengan ulah tapa3 mbah Proyosono di gunung

(6)
(7)

boneka wayang yang ditemukan yaiktu Mbah Gandrung dan Nyai Gandrung dan boneka wayang dapat digunakan untuk menolong warga desa. Mbah Proyosono menyuruh orang Cina dan orang kuna yang mapu mengukir untuk membuat sejumlah boneka wayang tambahan dan perangkat gamelan. Wayang Jakaluwar diperkirakan juga dari gunung Simping. Boneka wayang raden Sidanapapa berasal dari gunung Pandhan yang tiba-tiba muncul saat WMG pentas di desa parang. Kemunculannya diiringi hujan deras disertai petir yang menyambar-nyambar. Bersamaan itu pula, orang yang menanggap wayang pingsan karena kesurupan. Di desa Pagung juga terjadi gempa.

(wawancara tanggal 17 Juni 2000)

Uraian mengenai sejarah kemunculan WMG menyuratkan bahwa boneka WMG terbuat dari kayu. Dari bahan boneka wayang maka WMG termasuk ke dalam jenis wayang krucil atau wayang klithik. Istilah krucil bermakna kecil, sedikit, dan kurus, sementara kata klithik atau kelithik berasal dari kata kethik, mengingatkan kepada perkataan sethithik dan kedik, klithak-klithik suara benturan kayu (Mulyono, 1982:154). Pengertian wayang krucil berasal dari wayang kecil. Hal itu sesuai dengan perkataan krucil itu terbuat dari kayu yang pipih dengan ukuran rata-rata relatif kecil. Ukuran relatif kecil tersebut untuk membandingkan dengan ukuran wayang purwa sebagai prototipenya.

Prawoto (1981) mengemukakan istilah klithik diambil dari suara pating klithik sama dengan suara kayu kecil yang beradu satu ama lain. Haryanto (1988:99) menambahkan bahwa wayang klithik mempunyai bentuk dan bahan khusus. Bentuknya menyerupai wayang kulit, yaitu terdiri atas dua dimensi, dengan bahan yang terbuat dari kayu meskipun tidak sama dengan wayang golek yang bentuknya tiga dimensi. Wayang Klithik tidak memakai cempurit4, seperti

wayang kulit, sebab cempuritnya sekaligus merupakan lanjutan dari badan wayang yang terbuat dari kayu itu, yang berbentuk kayu pipih, tidak bulat seperti wayang golek.

(8)

menghasilkan suara klithik-klithik. Oleh karena itu wayang krucil juga disebut wayang klithik. Haryanto (1988:64) mencatat menurut sejarah wayang, wayang krucil merupakan wayang wasana, setelah jaman madya yang diwakili oleh wayang madya, sedangkan wayang purwa (Mahabarata dan Ramayana) merupakan wayang yang mewakili jaman purwa.

Data filologis menunjukkan bahwa kata wayang krucil terdapat dalam teks nanaruci, yaitu:

Asrang swara nikang tabeh-tabehan, asanggani lawang ikang mrdangga. Amelangi karba swara ning bheri, kala, cangka umung. Aganti kang angambuh, amacanggih, amanglangkaran mwang awayang Cina; wayang krucil anelakitak. Sinerang dening rubet-rubet, aganti lawan amanani mwang atatali analapuk (priyohoetommo, 1934:86)

(Suara tetabuhan yang bersahut-sahutan, ditambah lagi dengan suara panjak (pradangga). Suara tambur (bheri), terompet gemuruh memekakkan telinga. Ada juga yang menyanyikan tembang bacangah, dan wayang cina; cerita wayang (pentas) wayang krucil dan diselingi oleh berbagai keributan, berubah atau berganti dengan keindahan yang menawan)

Data di atas menunjukkan bahwa istilah wayang krucil sudah dikenal sejak jaman Majapahit mengingat Serat Nawaruci diciptakan pada jaman Majapahit. Di pihak lain, para penyusun buku sejarah wayang belum ada kata sepakat tentang pencipta dan asal mula wayang krucil.

Sajid (1971:102) menyatakan bahwa wayang krucil berasal dari Jawa Timur. Wayang ini milik rakyat, khususnya rakyat desa dan rakyat pegunungan. Jumlah boneka wayang tidak banyak, hanya 40 buah, tanpa kelir, dan instrumen musiknya berlaras slendro5, terdiri atas 1 kendhang, dua buah saron (dengan 9

bilah), kempul laras 6, kethuk, dan kenong laras nem. Wayang ini berfungsi untuk, ngamen6 ke kota semasa di desa terjadi paceklik7 dan sewaktu di desa tak ada

pekerjaan sebab masa menggarap sawah telah usai.

(9)

Selanjutnya wayang tersebut diperbaiki oleh Sunan Bonang untuk melakonkan cerita Damarwulan.

Indikasi bahwa wayang krucil berasal dari Jawa Timur juga diakui Cokronegoro (1906) dalam buku Kawruh Pedhalangan dan K.G.A. Kusumodilogo dalam buku Pakem Serat Sastra Miruda (tanpa tahun) wayang krucil diciptakan oleh Raden Pekik di Surabaya. Sementara itu, Senosastromidjojo (1964:42) menyatakan bahwa pencipta wayang krucil adalah Sunan Kudus di daerah pesisir utara pulau Jawa.

Berdasarkan berbagai pendapat yang ada mengenai asal mula dan pencipta wayang krucil, Hutomo (1996:153) menyimpulkan bahwa ide pemula penciptaan wayang krucil yaitu Raja Brawijaya V. Hal itu dapat ditilik dari bukti-bukti: (1) cerita yang dilakonkan mula-mula berupa cerita panji, (2) nama wayang krucil telah disebut dalam buku nawaruci, dengan kata kurucil, dan (3) wayang itu juga disebut dalam Panji Malat.

Groenendael (1987:188) menyebutkan bahwa wayang krucil (klithik) mula-mula mengangkat cerita Damarwulan. Pernyataan yang sama dikemukakan oleh Brandon (1966) dan Timoer (1980). Dalam perkembangannya wayang krucil cenderung mempertunjukkan lakon yang diambil dari hikayat Amir Hamzah (Serat Menak) yang diperuntukakan syiar agama Islam. Perkembangan selanjutnya mengambil cerita (1) sejarah, (2) babad, (3) cerita rakyat lokal.

Perkembangan wayang krucil berdasarkan penggarapannya dibedakan menjadi dua macam, yaitu: (1) berkembang dengan bentuknya yang asli. Jenis ini meliputi wayanga krucil berfungsi khusus untuk adat melepas nazar. Jenis ini ditandai dengan muatan mistis dan magis, dalam pagelaran selalu disertai sesaji. Pelaku pentas terdiri atas dalang dan penabuh gamelan tanpa waranggana8, (2)

berkembang dengan mendapat pengaruh terutama dari wayang purwa. Jenis yang kedua menekankan pada fungsi hiburan, menerima kehadiran waranggana, pagelaran tidak sakral, struktur lakon mengikuti perkembangan jaman.

(10)

modern yang memenuhi selera masyarakat. Di samping itu penyebab utamanya adalah para pewaris wayang krucil belum mengungkapkan nilai-nilai budaya yang serasi dengan kemajuan tuntutan jaman (Sudikan, 1992:29).

Sebagai varian dari wayang krucil yang berkembang dengan bentuknya yang asli, WMG memiliki karakteristik yang sangat berbeda dengan wayang krucil lain. Perbedaan itu tampak pada lakon yang digelarkan, unsur pendukung pagelaran, dan yang terpenting adalah fungsi yang diembannya. Di beberapa daerah di Jawa Timur memiliki wayang krucil namun lebih mengutamakan fungsi hiburan dan tidak memiliki keunikan sebagaimana yang dimiliki WMG, seperti kabupaten Tuban, Bojonegoro, Lamongan, Nganjuk, Tulungagung, dan trenggalek. WMG dari kemunculannya sampai sekarang tetap mengemban fungsi utamanya yaitu sebagaisarana ritual.

Mitos kemunculan WMG mengandung muatan magis. Kemagisan WMG tampak pada ulah tapa Mbah Proyosono yang melatarbelakangi kemunculan cikal bakal9 WMG. Pertapa biasanya memiliki tingkat spiritual yang tinggi, bersih

hatinya sehingga mampu menangkap kodrat ilahi melalui getaran alam. Hal itu terwujud dalam bentuk wangsit (petunjuk ilahi) yang diterimanya. Di samping itu beberapa keajaiban yang muncul merupakan bukti bahwa WMG sarat muatan magis.beberapa keajaiban tersebut, pertama, adanya petunjuk yang diterima melalui mimpi. Kedua, gelondong kayu bergerak dan berjalan melawan arus air sungai yang sangat deras. Ketiga, gelondong kayu yang selalu mundur jika didekatkan api. Keempat, keberadaan dua boneka wayang dalam batang kayu setelah terbelah. Kelima, syarat untuk digelarkan tayub tujuh hari-tujuh malam jika akan memboyong boneka wayang. Keenam, sakitnya para pejabat dan pegawai Kediri yang telah merampas boneka wayang, dan ketujuh, kemunculan boneka wayang Sidanapapa yang disertai kejadian alam yang menyeramkan. Muatan-muatan magis tersebut telah membawa WMG ke arah sifat mistis.

(11)

Sifat mistis WMG telah memunculkan sebuah mitos dalam masyarakat. Menurut Bascom (Danandjaja, 1984: 50), mite diartikan sebagai cerita prosa rakyat yang dianggap benar-benar terjadi serta dianggap suci oleh yang empunya cerita. Ciri utama mite adalah munculnya keyakinan masyarakat bahwa cerita itu sungguh terjadi dan bersifat suci. Bukti keberadaan sebuah mite terwujud dalam bentuk ritus baik berupa benda ataupun yang lain.

Peursen (1988: 37) mengungkapkan bahwa mitos merupakan sebuah cerita yang memberikan pedoman dan arah tertentu kepada sekelompok orang. Dari batasan tersebut tampak jelas bahwa mitos bukanlah sekedar cerita belaka, namun memiliki makna luas dan mendalam. Mitos tidak semacam rangkaian peristiwa yang menggetarkan atau semacam reportase mengenai peristiwa-peristiwa yang dulu terjadi, sebuah kisah mengenai dewa-dewa dan dunia ajaib. Mitos memberikan arah kepada kelakuan manusia dan merupakan semacam pedoman untuk kebijakan manusia. Mitos akan menuntun sikap kelakuan masyarakat. Di samping itu, mitos dapat menuntun peran masyarakat terhadap kejadian-kejadian di sekitarnya bahkan dapat menanggapi daya-daya kekuatan alam.

Lebih lanjut, Peursen (1988:38) mengemukakan fungsi mitos bagi masyarakat. Fungsi pertama adalah mitos menyadarkan manusia bahwa ada kekuatan-kekuatan ajaib. Mitos tidak sekedar memberikan bahan informasi mengenai kekuatan itu, tetapi membantu manusia agar dapat menghayati daya-daya tersebut sebagai kekuatan yang mempengaruhi dan menguasai alam kehidupannya. Mitos menjadi media manusia untuk berhubungan dengan kekuatan alam sekitar bahkan menguasai kekuatan ajaib tersebut demi kelangsungan hidupnya. Fungsi kedua, mitos memberi jamina pada masa kini, dan fungsi ketiga, mitos memberikan pengetahuan tentang dunia.

(12)

kita, dan tokoh-tokohnya adalah para dewa atau makhluk setengah dewa (Bascom, 1954: 4).

Lebih lanjut, Frazer (Caairier, 1990: 116) mengungkapkan bahwa dunia mitos adalah dunia dramatis, dunia tindakan, dunia daya-daya, dunia kekuatan-kekuatan yang saling bertentangan. Objek mitos selalu membahayakan atau aman, bersahabat atau bermusuhan, biasa atau aneh, memikat atau menjijikkan, menyenangkan atau menakutkan dan seterusnya. Sementara itu, O Dea (1985: 79) menyatakan bahwa mitos adalah prngungkapan pemikiran yang paling sederhana dalam usaha manusia untuk memahami fenomena kosmos, tetapi sekaligus menampilkannya kembali walaupun kebanyakan ditampilkan dalam bentuk simbolik. Bentuk-bentuk simbolik adalah meripakan ungkapan dari gagasan (White, 1973: 337).

Menurut Masinambow (1990: 1-2) simbol adalah perwujudan eksternal konsep, sedangkan konsep adalah perekaman pengalaman ke dalam pengetahuan. Jadi mitos adalah pengejawantahan realitas, memuat berbagai pertanyaan mendasar sekaligus jawabannya.

(13)

Penamaan WMG tidak dapat dilepaskan dari konsep mitos. Nama WMG didasarkan pada nama tokoh Mbah Gandrung sosok gaib yang merupakan tokoh sentral kekuatan magis dan mistis. Menurut Pak Sukansar, penamaan juga bertolak dari “pengaruh” yang ditimbulkan terhadap penonton, yakni mampu membuat mereka terpesona, jatuh cinta, gandrung, menyimpan rindu, dan tumbuh keterikatan batin kepada pementasan wayang beserta prosesi upacara ritualnya. Pak Sukandar juga mengungkapkan, “wong gandrung ki wong seneng. Dadi wong seneng ki pengin seneng nentremake kawula, tulung kawula. Dadi gandrung tujuane kepengin bisa ketekan karepe. Saliyane niku masyarakat ya bisa gandrung isaa nulungi sipate manugsa”. Artinya, orang jatuh cinta (gandrung) itu orang yang senang. Jadi orang senag itu selalu ingin membuat warga masyarakat tentram, senang memberi pertolongan. Jadi, gandrung ( Jatuh Cinta) bertujuan ingin tercapai semua keinginannya. Di samping itu, masyarakat selalu merasa jatuh cinta, sedang dia tetap senang dapat memberi pertolongan kepada semua manusia.

Nama lain WMG adalah wayang asmara. Jika ditilik dari kata yang digunakan, kata gandrung memiliki makna dan arti yang sama dengan kata asmara, yakni perasaan senang, jatuh cinta. Bukan mustahil, menurut seorang informan yang telah berusia lanjut, penamaan WMG tersebut memang diberikan sebagai sebutan kehormatan karena kedua tokoh gaib itu merupakan trah atau keturunan dan pewaris kerajaan Kediri sekaligus leluhur mereka yaitu Panji Asmarabangu atau Panji Kudadasmara dengan kekasih (istri)-nya Dewi Sekartaji.

Sebagai seni wayang khas Kabupaten Kediri, WMG telah berumur tua. Penentuan umur dapat ditilik dari silsilah pemilik, yakni sejak boneka WMG diketemukan sampai sekarang. Pemilik WMG sekarang (Pak Lamidi) adalah generasi keempat. Secara lengkap silislah pemilik WMG adalah sebagai berikut:

PROYOSONO

PAWIRO SENTONO

(14)

LAMIDI

Jika dilihat dari usia dari masing-masing pemilik, Mbah Proyosono meninggal pada usia 115 tahun, Mbah Prawiro Sentono meninggal pada usia 110 tahun, Mbah Darmin meninggal pada usia 95 tahun, dan pak lamidi sekarang berusia 65 Tahun, dengan masa overlap pergenerasi 50 tahun maka usia WMG kurang lebih 185 tahun.

Pemilik WMG sekaligus berperan sebagai juru kunci. Prawiroatmodjo (1981: 196) memberi arti juru kunci sebagai orang yang diserahi menjaga makam, dan sebagainya. Kamus Besar Bahasa Indonesia (1988:370), juru kunci sebagai penjaga dan pengurus tempat keramat, makam, dan sebagainya. Dalam konteks WMG juru kunci diartikan sebagai penjaga dan pengurus benda keramat, yaitu WMG. Mandat sebagai Juru Kunci diperoleh melalui petunjuk gaib (wangsit) dari roh gaib Mbah Gandrung.

Juru kunci memegang peranan penting, yaitu: (1) sebagai perantara pemuja dengan roh gaib Mbah Gandrung saat mengadakan upacara pemujaan, (2) memohon ijin dan pembuka kotak kotak wayang juga menata (menyimping) tokoh-tokoh sakral. Selain itu, mengambil tokoh sakral dari larapan untuk prosesi upacara luwaran, (3) penentu biaya upacara luwaran baik nanggap, ngedegake, dan metri, (4) memimpin upacara luwaran ngedegake, (5) memandu upacara luwaran metri, (6) melaksanakan upacara berulang tetap, yaitu brokohan, tironan, siraman, dan malam jumat, (7) memohon petunjuk gaib Mbah Gandrung jika ada pelaku pentas tidak mampu melaksanakan tugas serta memberi mandat jika petunjuk gaib telah diterima.

(15)

Upah dalang dan penabuh gamelan merupakan kebijakan juru kunci. Mereka hanya pasrah dan hanya bersikap menerima terhadap upah yang diterima.

Akibat dari kondisi di atas, terjadi dominasi juru kunci terhadap para pelaku pentas lain. Di samping itu juru kunci juga memiliki dominasi terhadap masyarakat yang mengadakan upacara luwaran yang terwujud dalam biaya yang harus diserahkan. Penentuan biaya upacara ditentukan sepenuhnya oleh juru kunci dan pelaksana upacara tidak boleh menawar, sebab ada dogma bahwa biaya upacara tidak boleh ditawa. Dengan demikian berapapun biaya yang diminta juru kunci harus dipenuhi pelaksana upacara.

4.3 Profil Desa Pagung Kec. Semen Kab. Kediri

Eksistensi WMG sebagai seni wayang ritual magis sangat ditentukan oleh aspek fungsinya. Sejak kelahirnnya sampai sekarang WMG hanya mengemban satu fungsi yaitu sebagai sarana ritual magis. Kebertahanan fungsi tersebut ditentukan oleh beberapa faktor, yaitu kuatnya muatan magis dan mistis, kondisi pendidikan masyarakat, serta kondisi sosial masyarakat. Kekuatan muatan magis dan mistis tampak dari mitos kemunculan WMG.

Koentjaraningrat (1984: 25) mengungkapkan bahwa Kediri dari perspektif kanekaragaman regional kebudayaan Jawa diistilahkan dengan daerah mancanegari yang berarti daerah luar. Kebudayaan Jawa yang ada di daerah Kediri juga Madiun serta daerah delta sungai Brantas sebenarnya sama dengan kebudyaan Jawa Tengah di Yogya dan Solo (negarigung10). Seperti halnya di Solo,

maka di Kediri dan Madiun gerakan kebatinan dan gerakan religio-magi banyak berkembang. Kebudayaan rakyat dan kesenian rakyat di daerah tersebut sangat mirip dengan yang ada di Yogya dan Solo.

(16)

daerah-daerah pedalaman yang jauh dari kota-kota pesisir utara Jawa pengaruh Islam agak terlambat. Akibatnya banyaknya muncul aliran kepercayaan serta corak Islam sedikit berbeda dengan di daerah pesisir utara Jawa. Saat ini Kediri didominasi kelompok NU yang domotori oleh pondok pesantren Lirboyo yang membuka cabang di beberapa tempat, termasuk di desa Pagung, tidak berpengaruh terhadap adat lokal yang bertentangan dengan akidah agama Islam. Tampaknya, kalangan santri tidak mau mengusik perilaku masyarakat yang mempertahankan adat.

Desa Pagung termasuk desa yang terletak di daerah dataran tinggi. Sebagaimana desa-desa di daerah pegunungan, jarak antara dusun satu dengan dusun lain tergolong jauh. Antara dusun satu dengan dusun lain dipisahkan oleh anak gunung dan jurang. Satu dusun masih terbagi-bagi menjadi beberapa kampung yang dihuni puluhan rumah. Di antara dusun-dusun itu, dusun Pagung merupakan dusun yang paling padat penduduknya.

Desa Pagung terbagi ke dalam sembilan dusun, yaitu Pagung, Pagu, Oro-oro Ombo, Nunggulan, Ngasinan, Duwet, Getuk, Tegir, dan Sekarputih. Di samping terletak di daerah pegunungan, desa Pagung sebelah utara berbatasan dengan hutan milik perhutani. Desa Pagung berada di ujung barat kabupaten Kediri. Jarak desa Pagung dengan pusat kota Kediri sekitar 20 km. Beruntung, di sebelah barat Pagung terdapat daerah wisata hutan (wana wisata) Sumberpodang sehingga desa tersebut dilalui angkutan pedesaan dan jalan beraspal. Jumlah penduduk desa Pagung ada 4.290 jiwa terdiri atas 1.283 kepala keluarga (KK).

(17)

dominan dalam pembentukan kebudayaan. Ihromi (1986: 28) mengungkapkan bahwa pada umumnya kebudayaan dikatakan adaptif, karena kebudayaan itu melengkapi manusia dengan cara-cara penyesuaian diri pada kebutuhan fisiologis dari badan mereka sendiri, dan penyesuaian pada lingkungan yang bersifat fisik-geografis, maupun pada lingkungan sosialnya.

Selaras dengan beberapa konsep di atas, kondisi geografis sangat memegang peranan penting bagi eksistensi dan perkembangan WMG. Pertama, letak desa Pagung yang jauh dari pusat kota menyebabkan pembaharuan sulit dirasakan warga desa, kedua, kondisi desa Pagung yang berada di daerah dataran tinggi atau daerah pegunungan menyebabkan warganya harus hidup dengan ulet dan keras, dan ketiga, kondisidesa pagung yang dekat dengan kawasan hutan merupakan faktor penting kebertahanan hidup. Boneka BMG yang terbuat dari bahan kayu sangat dekat dengan kondisi alam desa Pagung dan kecamatan Semen yang dekat dengan kawasan hutan. Bukti lain, dari beberapa daerah yang memiliki wayang krucil selalu berada di daerah yang dekat dengan hutan. Wayang krucil tidak dikenal di daerah perkotaan.

Kodisi ritual keagamaan warga desa Pagung didimonasi oleh warga pemeluk agama Islam. Data terakhir menunjukkan jumlah pemeluk Islam 4.186 jiwa, sedang 104 jiwa memeluk agama Kisten (Katolik dan Protestan). Sarana atau rumah ibadah terdiri atas masjid dan langgar, jumlah masjid ada sembilan dan langgar ada lima. Di samping itu terdapat pula dua aliran kepercayaan yaitu Perjalanan dan Ilmu Sejati. Kedua aliran kepercayaan tersebut bersumber pada agama Islam. Bahkan, di desa Pagung terdapat sebuah pondok pesantren cabang dari pondok pesantren Lirboyo Kediri, walaupun jumlah santrinya hanya sedikit.

(18)

arah mistik yang tercampur menjadi satu dan diakui sebagai agama Islam. Sedang Agama Islam Santri yang walaupun juga tidak sama sekali bebas dari unsur-unsur animisme dan unsur-unsur Hindu-Budha, lebih dekat dengan dogma-dogma ajaran Islam yang sebenarnya.

Fisher (1980: 139), mengutip pendapat Schrijnen, membedakan perilaku keagamaan dengan istilah “agama rakyat” dan “agama kerakyatan”. Agama rakyat adalah perilaku keagamaan penduduk yang dilandasi oleh ajaran-ajaran resminya, seperti Islam dengan Qur’an dan Hadits, atau Nasrani dengan Injilnya. Hal itu berbeda dengan agama kerakyatan yang lebih merupakan religio magis di mana manusia tak sekedar menyalurkan kepada sikap rohani yang mengabdi dan menghamba terhadap kekuasaan-kekuasan adi kodrati, tetapi sekaligus mempunyai kemauan menguasainya. Karena berakar dari budaya setempat, agama kerakyatan oleh Subagya (1981: 8) diistilahkan sebagai agama asli Indonesia.

Geertz (1989: 165-178, 202-267) melihat apa yang diistilahkan sebagai agama kerakyatan ini adalah abangan sedangkan agama rakyat sebagai santri. Dalam dunia santri, terbagi menjadi dua kelompok, yang pertama adalah kelompok tradisional yang diwakili oleh NU sebagai organisasi masyarakatnya. Dalam perilaku keagamaan, anggota-anggotanya menjalankannya tidak saja apa yang tertuang Qur’an dan Hadits, namun juga ajaran para wali yang bemuatan tasawuf dan menerima adat (sinkretis). Kelompok yang kedua adalah pembaharuan (modernis) yang diwakili oleh Muhammadiyah yang menghendaki semua perilaku keagamaan harus berpangkal dari ajaran yang sesungguhnya, yaitu Qur’an dan Hadits. Kelompok ini dikenal juga sebagai pemurnian (puritan11).

Lebih lanjut Geertz (1989: 1-164) mengemukakan bahwa istilah abangan ditemukan dalam masyarakat Jawa untuk orang tidak taat menjalankan kewajiban agama. Karakteristik lain dalam istilah itu adalah adanya kepercayaan kepada memedi, lelembut, tuyul, demit, dan danyang serta upacara selamatan untuk mata pencaharian dan lingkaran hidup (life Cycle).

(19)

Menurut Sobary (1996: 131-134), ciri-ciri sosial pendukung varian rasa adalah ia orang lugu dan sederhana, tetapi memiliki ketulusan dan kehangatan iman. Meski melek huruf Arab, melek bahasa Arab, dan bisa membaca, namun belum tentu ahli, serta karena pendidikannya rendah atau fanatik terhadap paham tertentu, mereka memahami secara teks, terlepas dari konteks sosio historis dan kulturalnya. Status formal keagamaannya adalah rubuh-rubuh gedang12 sehingga

tidak memiliki paham keagamaan, selain perangkat aturan ritus, bahkan agama dianggap ritus itu sendiri.

Penggunaan istilah abangan sebenarnya dipakai untuk membedakan dengan golongan putihan, yaitu penganut ajaran Islam murni. Poensen (Koentjaraningrat, 1984: 209), menyebut abangan untuk orang-orang yang tidak mematuhi ajaran-ajaran agama Islam, sedangkan putihan adalah orang-orang yang patuh terhadap ajaran agama Islam. Kata abangan berasal dari kata Arab abaa masih dipakai dalam bahasa Indonesia dalam kata abai, mengabaikan. Kata putihan berasal dari kata Arab muthia yang berarti mentaati.

Apapun varian keagamaan masyarakat Pagung dan sekitarnya, kondisi ritual keagamaan tersebut sangat mendukung kebertahanan fungsi WMG. Kondisi ritual keagamaan tersebut menyebabkan kekuatan magis dan mistis WMG semakin diakui dan dipercaya. Kategori Islam abangan harus disikapi dengan bijak bahwa setiap pengambilan unsur-unsur “luar” sebagai ramuan budaya keagamaan (Islam) belum tentu akan meniadakan esensi keislaman itu sendiri. Sebagai bukti, walaupun mereka percaya terhadap kekuatan magis dan mistis dalam diri WMG yang ditandai dengan aktivitas pemujaan, namun dalam kesehariannya kewajiban agama mereka lakukan dengan baik. Fenomena seperti itu terkadang sulit dibedakan antara konsep Islam dengan konsep keagamaan sebelum Islam juga adat telah dianut dalam kurun waktu yang lama.

(20)

bayi berumur lima hari (sepasar) yang dibarengi dengan pemberian nama. Selapanan yaitu upacara yang diadakan saat bayi berumur 35 hari (selapan). Neloni yaitu upacara yang diadakan saat anak berumur tiga lapan (3x35 hari). Mitoni (piton-piton) yaitu upacara yang diadakan saat anak berumur tujuh lapan (7x35hari). Istilah lain dari upacara mitoni adalah upacara tedhak siti (upacara menyentuh tanah). Setaunan yaitu upacara yang diadakan saat anak berusia stu tahun.

Upacara sepanjang lingkaran hidup setelah setaunan dan bersifat khusus di antaranya ngruwat atau ruwatan jika dia tergolong anak sukerta, yaitu anak yang membawa sifat kotor sejak lahir. Sunatan atau khitanan yaitu upacara yang diadakan saat anak dikhitankan. Upacara yang lain adalah upacara pembangunan rumah, upacara pindah rumah atau menempati rumah baru. Masyarakat Pagung juga mengadakan upacara yang bersifat keagamaan, untuk memperingati bulan-bulan keramat seperti upacara besaran (upacara saat bulan-bulan besar), suran (upacara saat bulan suro), rejeban (upacara saat bulan rejeb), megengan (upacara menjelang bulan puasa), maleman (upacara saat puasa memasuki hari ke-21 sampai hari ke-29), riyayan (upacara saat hari raya idul fitri tiba), kupatan (upacara saat hari ke-5 bulan syawal). Upacara yang bersifat kolektif adalah upacara bersih desa yang dilakukan semua warga desa. Upacara sepanjang lingkaran hidup dapat disebut sebagai tasyakuran, artinya mengucap syukur atas limpahan anugerah yang diberikan Tuhan.

(21)

kematian. Upacara nyewu yaitu upacara yang diadakan seribu hari setelah kematian.

Kondisi pendidikan di desa Pagung tergolong belum maju. Seperti halnya di daerah pegunungan, kesadaran orang tua untuk menyekolahkan anaknya belum tinggi. Data terakhir tercatat jumlah lulusan Sekolah Dasar (SD) ada 420 jiwa, lulusan SLTP ada 160 jiwa, lulusan SLTA ada 40 jiwa, lulusan Perguruan Tinggi ada 5 jiwa (2 sarjana, 3 diploma). Untuk menampung anak usia sekolah, di desa Pagung ada 3 Sekolah Dasar Negeri dan 1 TK. Jumlah sekolah tersebut tergolong sedikit untuk ukuran desa yang terdiri atas sembilan dusun.

Kondisi pendidikan sangat berpengaruh terhadap kebertahanan fungsi WMG. Kondisi pendidikan warga yang rendah menyebabkan kemajuan pola pikir warga juga rendah. Kondisi tersebut juga mengakibatkan aktivitas keagamaan cenderung memasukkan rasa dan kurang rasionalis. Dengan kekuatan rasanya, mereka terlalu percaya terhadap hal-hal yang berbau tahayul dan pralogis. Jika kondisi pendidikan masyarakat tinggi, mereka cenderung melihat agama sebagai soal rasio. Tak ada agama tanpa akal merupakan pijakan terkuat mereka untuk selalu mendobrak. Segenap laku keagamaan dipertanyakan pijakan rasionalitasnya. Ciri-ciri sosial mereka adalah cukup intelek, meski tidak dengan sendirinya otomatis masuk dalam kategori elit dalam penghayatan dan pemahaman keagamaan.

(22)

Berkaitan dengan desa Pagung yang sebagian besar masyarakatnya berprofesi sebagai petani, Redfield (Danandjaja, 1988: 45-46) membedakan masyarakat di dunia ini menjadi tiga macam, yakni: masyarakat folk (folk society), masyarakat petani desa (peasant sosiety). Hal itu ditandai dengan banyaknya penggunaan teknologi modern dalam kehidupannya, seperti alat-alat elektronik serta kendaraan bermotor. Gaya hidup masyarakat telah mencontoh gaya hidup masyarakat perkotaan yang tampak dari pakaian serta perhiasan yang digunakan. Model rumah dan perabot rumah tangga meniru apa yang dimiliki masyarakat perkotaan.

Sebagai masyarakat petani desa, gaya hidup masyarakat Pagung tidak jauh dengan gaya hidup masyarakat petani desa yang dikemukakan Redfield (Danandjaja, 1988: 46-47), yakni yang ditandai oleh seperangkat sikap dan nilai sebagai berikut:

1) Sikap yang praktis dan mencari yang berfaedah terhadap alam. Motivasinya untuk bekerja bukan saja untuk menghasilkan sesuatu bagi hidupnya, melainkan juga untuk memenuhi perintah dewa.

2) Mereka lebih menonjolkan dari segi perasaan daripada rasio.

3) Mereka sangat mengutamakan pada kesejahteraan hidup dan kepastian hidup.

4) Mereka sangat menghargai prokreasi, yakni untuk mempunyai keturunan yang banyak.

5) Mereka mendambakan kekayaan.

6) Menghubungkan keadilan sosial dengan pekerjaan.

7) Mereka bersikap konservatif.

8) Mereka gemar mmamerkan kekayaan.

(23)

Walaupun telah menjadi masyarakat petani desa, masyarakat Pagung tidak dapat melepaskan diri dari sikap dan perilaku masyarakat folk yang tampak dari solidaritas sosialnya. Masyarakat Pagung tetap mempertahankan sifat gotong royong, yang tampak dalam semua aspek kehidupan. Selain itu, hubungan kekerabatan masih memegang peranan penting dan tujuan hidupnya adalah untuk menjadi kaya, punya banyak keturunan, memperoleh keamanan dan kesejahteraan hidup.

Catatan :

(24)

3. Ulah tapa : bertapa

4. Cempurit : penggapit boneka wayang kulit terbuat dari olahan tanduk binatang

5. Slendro : laras dalam gamelan Jawa

6. Ngamen : mengamen

7. Paceklik : masa tidak ada pekerjaan di sawah setelah masa tanam sampai menjelang panen

8. Waranggana : kata lain dari pesindhen, yaitu penyanyi wanita dalam pagelaran wayang dan seni karawitan

9. Cikal bakal : yang pertama ada (muncul)

10. Negarigung : terdiri dari kata nagari dan agung, yaitu pusat kerajaan (kraton) Solo dan Yogyakarta

11. Puritan : yang datang (berpengaruh) belakangan

12. Rubuh-rubung gedhang : anut grubyug, bersikap dan bertindak ikut-ikutan

BAB V

(25)

Aspek bentuk diarahkan pada unsur pendukung pagelaran. Unsur pendukung WMG dimaksudkan sebagai semua unsur yang berperan dalam mendukung pagelaran WMG. Unsur pendukung pagelaran WMG terdiri atas :

5.1 Dalang

Menurut Mulyono (1982: 11) kata dalang berarti orang yang mempertunjukkan wayang. Kata dalang dapat dianggap sebagai bentuk pengulangan dengan disimilasi bentuk akar kata lang. Bahasa Melayu lalang berarti berkeliling, memutari, mengelilingi, sesuai juga dengan kata Jawa lalang. Hal ini mengingatkan kita pada peribahasa ambarang wayang yang beserta teknis dijalankan oleh dalang dengan berarti seseorang yang berkeliling mempertunjukkan wayang di sana-sini.

Status dalang saat ini merupakan pergeseran fungsi dari status shaman atau syaman pada saat wayang digunakan untuk sarana pemujaan. Mulyono (1982: 56-57) mengungkapkan bahwa saat mula adanya pertunjukkan wayang, yang kemudian terus berkembang setahap demi setahap dalam waktu yang cukup lama, namun tetap mempertahan fungsi intinya sebagai suatu kegiatan gaib yang berhuhungan dengan kepercayaan dan kegiatan magis, religius, didaktis), sehingga sekarang mudahlah dipahami bahwa: wayang semula berupa bayang-bayang, gambar atau ujud roh itu kemudian berupa menjadi wayang kulit purwa, layar menjadi kelir, medium atau shaman atau pendeta menjadi dalang, sajian menjadi sajen, nyanyian dan hymne menjadi seni suara, bunyi-bunyian menjadi gamelan, tempat pemujaan/ tahta batu menjdi pangguing atau debog, dan blencong menjadi lampu penerangan.

Dalang dalam konteks sosial berstatus sebagai intelektual tradisional. Intelektual tradisional adalah mereka yang menyandang tugas kepemimpinan intelektual dalam suatu masyarakat. Gramci (1983: 122) memberikan contoh intelektual tradisional yang terpopularisasi, dipresentasikan melalui manusia literer (literary man), filsuf, dan artis.

(26)

sekaligus filsuf, sehingga dalang dapat dipandang sebagai intelektual. Sebagai intelektual tradisional di pedesaan dalang WMG termasuk bagian dari kelompok sosial yang berkuasa.

Dalang WMG yang sampai sekarang masih aktif mendalang adalah Bapak Sukandar, usianya sekitar 65 tahun (lihat LG. 13). Pekerjaan tetapnya adalah sebagai seorang petani dan hanya mengenyam pendidikan di Sekolah Rakyat. Dalam WMG keberadaan dalang memiliki karakteristik yang berbeda dengan dalang pada jenis wayang lain. Dalang WMG dalam satu generasi hanya ada satu dalang. Penunjukkan untuk menjadi dalang dilakukan oleh Mbah Gandrung dengan petunjuk gaib (wangsit) melalui mimpi. Pergantian dalang di samping diterima sang calon dalang juga diterima oleh juru kunci. Hal itu disebabkan jika dalang tua meninggal atau tidak mampu mendalang, juru kunci memohon petunjuk gaib tersebut telah diterima juru kunci mendatangi calon dalang untuk diberi mandat menjadi dalang.

Sebagai contoh, Pak Sukandar saat ditunjuk menjadi dalang, ia bermimpi disuruh seseorang untuk menjalankan pedati. Ia merasa tidak bisa karena belum pernah menjalankan pedati tetapi orang itu memaksanya untuk mencoba. Dalam mimpinya pak Sukandar mampu menjalankan pedati walaupun jalan yang dilalui naik ke gunung dan ia berhasil mencapai mimpi yang hampir sama yaitu ia disuruh orang yang sudah tua yang tidak dikenalnya untuk menjalankan truk menuju puncak gunung. Pak Sukandar berusaha menolak karena tidak pernah menjalankan truk. Orang itu memaksanya dan iapun mencoba menjalankan truk. Ternyata ia bisa dan sampai di jalan rata di puncak gunung. Pagi harinya ia didatangi dalang. Keunikan dalam regenerasi dalang adalah dalang WMG dalam satu ikatan silsilah keluarga. Regenerasi dalang bersifat vertikal.

(27)

wisik atau penunjuk gaib tanpa berlatih, pendidikan, maupun nyantrik1 pada

dalang senior. Sebagai dalang tiban Pak Sukandar, dan ekspresi imajinasi seninya sangat rendah. Hal itu berpengaruh pada panampilannya atau performance art-nya yang kurang memikat penonton, dan terkesan apa adanya serta tidak ada usaha menciptakan pembaharuan dan pengembangan.

Dari beberapa kepustakaan, ada beberapa kategori atau jenis dalang. Senosastroamidjojo (1964: 90-91) menyebutkan beberapa jenis dalang, yaitu: dalang sejati, dalang purba, dalang dewasa, dalang guna, dan dalang wikapala. Sementara itu, haryanto (1988: 8) menambahkan, dalam pedalangan Sunda dikenal istilah dalang suluk, dalang pakem, dalang antawacana, dalang sabet, dalang dakwah, dan dalang rame. Oleh karena itu konsep dalang tiban atau dalang wahyu (karena mendapat wahyu dalang) hanya ditemukan dalam konteks WMG.

Walaupun regenerasi dalang bersifat vertikal, secara khusus sebenarnya tak seorangpun dalang WMG dari generasi ke generasi mempersiapkan dirinya menjadi seorang dalang WMG yang handal. Bahwa kemudian mereka dapat menjadi dalang wmg yang memiliki fungsi utama sebagai peruwat atau peluwar2

yang setidaknya memiliki daya gaib tertentu di samping kecakapan seorang dalang, semua itu datang begitu saja melalui wangsit yang mereka terima.semua kemampuan yang mereka miliki, ketrampilan dan kecakapan seorang dalang dan daya luwih sebagai seorang pemimpin ritual magis yang memiliki tanggung jawab tertentu, tidak pernah mereka pelajari dan tidak pernah diprsipkan lebih dahulu. Hal yang demikian juga berlaku untuk para penabuh gamelan.

Proses pewarisan kedudukan dalang (dan juga penabuh gamelan serta juru kunci) dalam WMG berlangsung secara gaib dan tidak pernah terduga sebelumnya. Meraka tidak mampu menduga-duga siapakah penggatinya kelak, seandainya wangsit dan madat telah oncat3 dari dirinya. Proses pewarisan

betul-betul tidak pernah berlangsung dalam persiapan khusus, tanpa kaderisasi, serta tanpa dapat diperkirakan. Regenerasi dalam WMG tampak pada bagan berikut ini:

(28)

Sarwi atau Kartono

(anak dalang I)

Gunakaryo

(saudara dalang II)

Kartayasa

(anak dalang II)

Sipon atau Prawiroulama

(menantu dalang III)

Kasdi

(anak dalang II)

Sukandar

(anak dalang II)

(29)

dan telah melaksanakan nazar (lihat lampiran 8). Peran ketiga adalah sebagai pemimpin selamatan yang diadakan mengiringi pagelaran.

Upah dalang WMG tidak sebanding dengan ongkos pagelaran. Ongkos pagelaran WMG sebesar Rp 750.000 sampai Rp 1.500.000. Namun yang diterima dalang hanya Rp 70.000 untuk pagelaran sehari atau semalam dan Rp 150.000 untuk pagelaran sehari semalam. Pak Sukandar tidak mempersoalkan upah yang diterima sebab menjadi dalang sudah merupakan berkah. Iapun berprinsip bahwa dalam WMG dalang ikut wayang, artinya yang dipenntingkan adalah wayang dan dalang hanyalah pelaksana belaka. Pak Sukandar hanya ngalab berkah, dengan menjadi dalang WMG ia berharap dapat panjang umur, senantiasa sehat, bersama keluarganya ia dapat hidup tentram. Fenomenna tersebut menunjukkan bahwa dalang tidak mempunyai posisi tawar terhadap pagelaran yang dilakukan. Dalang hanya menurut kepada perintah juru kunci dan bersikap pasrah terhadap kebijakan juru kunci.

Lakon yang dipentaskan pak Sukandar didapat saat ia mengikuti ayahnya mendalang. Semua lakon beserta urutan cerita dicatat dalam ingatan. Pak Sukandar tidak menambah lkon baru karena ia merasa tidak dapat mengarang cerita. Dengan demiikian lakon yang digelarkan tidak berbeda dengan lkon yang digelarkan ayahnya. Perbendaharaan lakon dalamWMG ada sepuluh judul, yaitu:

1) Ngerum – Mursada

2) Dewi Sri

3) Damarwulan

4) Kuda Dasmara

5) Jaran Tandang

6) Baron Sekender

7) Tumenggung Yamayuda atau Pandawa Lima

(30)

9) Siung Wanara

10) Iman Aruman

Dalam setiap pagelaran, lakon yang dipentaskan tidak pernah tuntas, sebab akhir pagelaran tidak didasarkan pada berakhirnya lakon tetapi didasarkan pada kode yang diberikan juru kunci. juru kunci segera memberi kode (isyarat) untuk mengakhiri pagelaran jika roh gaib Mbah Gandrung telah datang. Tanda kedatangan roh gaib Mbah Gandrung hanya dapat dirasakan juru kunci yaitu jika bahu kirinya terasa berat dan keduten4. Menurut juru kunci, roh gaib Mbah

Gndrung tidak selalu bersemayam pada boneka wayang Mbah Gandrung. Untuk itu, jika diperlukan, misalnya ada ucapan luwaran maupun pemujaan, ia harus dipanggil. Pemanggilan roh dilakukan dengan jalan membakar dupa. Untuk upacara luwaran berupa pagelaran wayang, pemanggilan roh dilakukan oleh dalang sebelum selamatan buka kotak dilaksanakan. Dalang membakar dupa lalu ia memnggil roh Mbah Gandrung untuk datang membebaskan nazar (janji) yang telah diucapkan penazar.

Akibat dari kondisi di atas, awal dan akhir pagelaran satu lakon jika dipentaskan pada tempat yang berbeda akan berbeda pula. Terkadang, dalang hanya mencuplik sebagian dari suatu lakon, entah bagian awal, tengah, atau akhir. Misalnya, lakon Tumenggung Yamayuda atau Pandawa Lima, dalang mencuplik sebagian dari bagian tengah lakon. Tidak tuntasnya lakon yang dipentaskan juga disebabkan adanya anggapan bahwa pagelaran wayang bukan bagian yang penting, yang terpenting adalah upacara luwarannya.

5.2 Gamelan Peengiring, Gending Pengiring, Penabuh Gamelan

(31)

kumpulan alat-alat musik (bunyi-bunyian) tradisional dalam jumlah besar yang terdapat (terutama) di pulau Jawa. Gamelan pengiring dalam konteks WMG diartikan sbagai seperangkat instrumen yang digunnakan untuk mengiringi pagelaran WMG.

Gamelan pengiring WMG terdiri atas 5 (lima) perangkat gamellann, yaitu; (1) sebuah kendhang (lihat LG.10), (2) sebuah gambang berjumlah 17 bilah, rancak5 gambang terbuat dari batang pisang sedang tatakan6 bilah gambang

tersebut dari plepah daun pisang yang sudah kering (lihat LG.11), (3) dua buah kenong bernada 2 (loro) dan 3 (telu) (lihat LG.12), (4) sebuah gong ukuran kecil bernada 2 (loro) atau empul (lihat LG.14), dan (5) sebuah rebab ukuran kecil. Gamelan pengiring berlaras pelog7 hanya gong 2 (loro) artau kempul yang

berlaras slendro 8.

Seperangkat gamelan pengiring di atas melahirkan 4 (empat) gending pengiring WMG. Keempat gending pengiring tersebut adalah, (1) gending ayak-ayak, digunkan untuk mengiringi jejer pertama, (2) gending jangkung, digunakan untuk mengiringi jejer kedu yaitu jejer raja simpingan kiri, (3) gending gandrung, digunakan untuk mengiringi jejer tokoh utama, dan (4) gending kambang-kambang, digunakan untuk mengiringi upacara luwaran.

Penabuh gamelan dalam bahasa Jawa sering disebut dengan nama niyaga, pradangga, dan panjak, yaitu sekelompok orang yang bertugas menabuh atau membunyikan gamelan untuk mengiri suatu pagelaran wayang. Dalam WMG jumlah penabuh gamelan ada 4 (empat) orang, yaitu: (1) seorang penabuh gong dan kenong, yaitu bapak Lamidi menangkap juru kunci (lihat LG.14), (2) seorang penabuh gambang bambu, yaitu bapak Muslan (lihat LG.16), (3) seorang penabuh kendhang, yaitu bapak Musran (lihat LG.15), dan (4) seorang penggesek rebab, yaitu bapak Parwito.

(32)

sebelumnya. Dengan demikian, regenerasi penabuh gamelan juga bersifat vertikal. Jika ada penabuh gamelan yang meninggal atau sakit, juru kunci akan memohon petunjuk pada Mbah Gandrung. Jika belum ada petunjuk gaib yang diterima, juru kunci tidak berani mengajak sembarang orang mengisi kekosongan penabuh gamelan.

Kejadian kekosongan penabuh gamelan terjadi saat ini (saat penelitian dilakukan), bapak Parwito menderita sakit sehingga tidak mampu melaksanakan tugasnya. Pak Lamidi sebagai juru kunci sudah beberapa kali memohon petunjuk gaib kepada Mbah Gandrung namun sampai kini belum ada wangsit yang diterima. Akibatnya, beberapa bulan terakhir ini setiap ada pagelaran jumlah penabuh gamelan hanya tiga orang. Penabuh gamelan setiap akan melaksanakan tugasnya dituntut untuk dalam keadaan suci, sehingga sebelum ia berangkat ke tempat pagelaran harus bersuci dengan mandi keramas seperti halnya dalang, penabuh gamelan hanya menurut kepada perintah juru kunci jika ada pagelaran. Berapapun upah yang diberikan juru kunci diterima dengan ikhlas tanpa ada protes. Kepasrahan tersebut sebagai bukti bahwa apa yang mereka lakukan mata sebagai pengabdian kepada Mbah Gandrung. Mereka bukan semata-mata mengharapkan imbalan uang, namun kesehatan, kebahagiaan, ketentraman, kesejahteraan dirinya beserta keluarganya yang mereka harapkan tetap dilimpahkan Mbah Gandrung kepadanya.

5.3 Boneka Wayang

(33)

Sementara, semua boneka wayang golongan perempuan menggunakan model rambut oren (rambut terurai).

Jumlah boneka WMG tidak terlalu banyak, hanya sekitar 42 (empat puluh dua buah). Dari jumlah itu bonekawayang dapat dikelompokkan ke dalam dua golongan yaitu boneka wayng tergolong sakral dan boneka wayng tidak sakral. Boneka wayang golongan sakral ada lima yaitu boneka wayang Kyai Gandrung, Nyai Gandrung, Jakaluwar, Raden Sidanapapa dan Mbah Semar. Seperti pada jenis wayang lain, penataan boneka wayang diletakkan secara teratur berderet di sebelah kanan dan kiri dalam pada sebuah kelir, dan ditancapkan pada larapan9

yang terbuat dari kayu panjang bersusun dua dan berlubang pada beberapa bagian tubuhnya. Kelir terbuat dari kain bermotif kembang-kembang berwarna kekuningan. Panjang kelir 2,5 meter, dan tingginya 1,25 meter. Karena boneka wayang terbuat dari kayu, maka kelir bagian tengah tempat dalang memainkan wayang (panggungan) berlubang. Dengan wujud kelir berlubang, pagelaran wayang dapat ditonton dari depan dan belakang dalang. Sementara itu, panjang larapan 2,5 meter bersusun dua yaitu larapan atas dan larapan bawah.

Deretan wayang pada kelir disebut simpingan. Simpingan terdiri atas simpingan kanan dan simpingan kiri. Simpingan kanan terdiri atas simpingan kanan atas dan simpingan kanan bawah, sedang simpingan kiri terdiri atas simpingan kiri atas dan simpingan kiri bawah. Pada simpingan kanan atas ditata sebelas buah wayang. Empat diantaranya selalu ditutup kain kerudung yaitu boneka wayang Mbah Gandrung, Nyai Gandrung, Mbah Jakaluwar dan Raden Sidanapapa. Karena keempat boneka wayng tersebut disakralkan, di samping senantiasa tertutup kerudung, sepanjang pagelaran di bawah keempat boneka wayang selalu diberi wewangian dupa ratus (kemenyan) yang dibakar sehingga asapnya selalu mengena boneka wayang dan memenuhi ruangan. Pada simpingan kanan bawah ditata 10 boneka wayang, 2 wayang laki-laki dan 8 wayang perempuan (lihat LG.27). Sementara itu pada simpingan kiri atas ditata 10 buah wayang, sedang simpingan kiri bawah ditata 9 buah wayang (lihat LG.28).

Di samping itu masih ada dua boneka wayang punakawan10 yang

(34)

diantara dua wayang itu adalah Mbah Semar yang juga dianggap wayang sakral, yang selalu dimunculkan untuk membuka pagelaran, di samping fungsinya sebagai punakawan dalam lakon. Beberapa wayang golongan binatang, seperti naga, kuda dan garuda, sebuah boneka wayang raksasa, golongan pusaka terbuat dari bahan kulit ditempatkan dalam kotak. Khusus untuk gunungan terbuat dari anyaman bulu ekor dan sayap burung merak, dibentuk seperti gunungan wayang mirip bentuk dadak merak atau barongan pada seni reog Ponorogo (lihat LG.26).

Sebelum dan sesudah pagelaran, boneka wayang disimpan dalamkotak wayang berukuran kecil dengan panjang 96,5 cm, lebar 38 cm, dan tinggi 32 cm (lihat LG.9). di samping untuk menyimpan wayang, kotak juga digunakan untuk menyimpan kelir dan talinya cempala11 dan kepyak12. Perangkat yang tidak boleh

ketinggalan adala sebuah anglo, terbuat dari tanah dengan bentuk tertentu digunakan untuk tempat pembakaran arang sebagai tempat membakar kemenyan (lihat LG.17).

Untuk membawa perangkat pagelaran, terdapat aturan yang bersifat mistis, sehingga harus ditaati dan harus dilaksanakan. Aturan tersebut adalah dalam mengusung semua perangkat pagelaran ke tempat pementasan berapapun jauhnya tidak boleh dinaikkan kendaraan apapun, tetapi harus dipikul. Dalam memikulpun juga ada aturan yang khusus yaitu tidak sembrono, kepala boneka wayang Mbah Gandrung harus menghadap arah tujuannya, tidak boleh mebelakangi arah tujuan. Hal yang terpenting adalah jangan sampai kotak wayang dilangkahi. Jika aturan tersebut dilanggar akan terjadi kecelakaan atau kemalangan, yang besarnya tergantung kesalahan yang dilakukan para penandunya. Untuk mengusung perangkat pagelaran diperlukan empat orang. Dua orang menggotong kotak, seorang menggotong gong, kenong, rebab, dan kaki kendang, dan seorang lainnya menggotong kendang dan gambang. Biasanya, untuk menuju tempat pagelaran dalang dan penabuh gamelan berjalan mengiringi para penandu (lihat LG.8).

(35)

setianya yang merasa tidak repot menjalankan tugas ritualnya. Tetapi, dari sisis praktis aturan itu membatasi ruang gerak WMG, sebab tidak dapat menjangkau daerah yang jauh. Dengan kata lain aturan tersebut mengisolasi ruang gerak WMG.

Sementara itu, perlu dikemukakan juga bahwa sebagai jenis wayang rakyat yang dapat disebut wayang pinggiran, WMG benar-benar tampak sebagai hasil ekspresi kesenian rakyat yang serba lugu, sederhana dan terkesan apa adanya. Sifat tersebut menjauhkan WMG dari kesan sebagai karya seni yang rumit dan adiluhung13, yang tampak dari perangkat pagelaran serta tampak jelas dari

penggunaan bahasa dalampagelaran lakon. Bahasa WMG merupakan cermin bahasa rakyat yang serba spontan, tanpa basa-basi, sangat komunikatif, sederhana (lugas), dan terkesan agak kasar. Kesederhanaan bahasa yang digunakan tidak saja tampak dari antawacana14 tetapi juga tampakpada suluk15, janturan16, dan

pocapan17 yang seharusnya lebih puitis. Kesederhanaan bahasa menunjukkan

rendahnya ketrampilan olah basa18 dalang yang disebabkan rendahnya tingkat

pendidikan dalang juga proses pewarisan dalang.

Perlengkapan pentas WMG jika dalam suasana pagelaran ditata seperti gambar di bawah ini:

1

(36)

6 7 8

5

KETERANGAN 1. Larapan dan kelir 6. Kenong

2. Kotak 7. Gambang bambu

3. Tutup kotak 8. Kendhang

4. Rebab 9. Tempat pembakaran menyan

5. Gong

Lampiran :

1. Nyantrik : berguru, belajar pada yang senior

2. Peruwat/peluwar : yang memimpin upacara ruwatan atau luwaran 3. Oncat : pergi, berpindah atau telah meninggalkan dari

tempat semula

(37)

alamat atau pertanda

5. Rancak : bagian alat gamelan untuk meletakkan atau menaruh bilah atau buah gamelan, misal untuk gambang, gender, bonang, kenong dll. Rancak berfungsi untuk ruang resonansi

6. Tatakan : atas

7. Pelog : laras dalam gamelan Jawa 8. Slendro : laras dalam gamelan Jawa

9. Larapan : kayu, gedebog (batang pisang) untukmenancapkan boneka wayang

10. Punakawan : tokoh abdi sekaligus penasihat tokoh utama (satria)

11. Cempala : alat yang terbuat dari kayu yang berbentuk kerucut dengan bendolan di bagian bawah untuk pemukul kotak dalampagelaran wayang yang berfungsi untuk memberi perintah kepada penabuh gamelan 12. Kepyak : lempengan logam berbentuk kotak berbentuk 4-6 buah yang digantung pada sisi kotak sebelah luar yang dibunyikan dengan menjejakkan telapak kaki bagian depan

13. Adiluhung : bernilai seni tinggi

14. Antawacana : dialog, percakapan antar boneka wayang

15. Suluk : nyanyian (tembang) dalang yang dilakukan ketika akan memulai suatu babak atau adegan dalam pagelaran wayang. Fungsi suluk untukmemberi warna pada adegan yang dibawakan

(38)

keadaan suatu adegan dengan diiringi suara gending sayup-sayup

17. Pocapan : lirik-lirik yang diucapkan dalan yang isinya menceritakan dan melukiskan suasana suatu adegan atau keadaan tanpa diiringisuara gending sayup-sayup

18. Olah basa : olah bahasa,kemampuan merangkai bahasa sesuai dengan tujuan

BAB VI

ASPEK FUNGSI WAYANG MBAH GANDRUNG

(39)

yaitu faktor internal, yakni faktor yang berasal dari dalam WMG, seperti sejarah dan bentuk, religius magis, simbolik, dan fungsi. Faktor yang kedua adalah faktor eksternal, yaitu faktor yang berasal dari luar WMG yang keberadaannya tidak dapat dipisahkan dengan kehidupan WMG, seperti kondisi geografis, kondisi sosial, kondisi pendidikan, dan kondisi ritual keagamaan.

Kebertahanan WMG sangat ditentukan oleh upacara yang dilakukan oleh masyarakat pengguna, sedang pelaksanaan upacara sangat ditentukan oleh faktor internal dan eksternal. Faktor internal mengarah pada aspek bentuk yang dipaparkan pada bab V. Faktor eksternal mengaraj pada ekologi yang melatarbelakangi kehidupan WMG telah diuraikan pada bab IV. Aspek fungsi WMG tidak dapat dipisahkan dari teori ekologi kebudayaan sebab aspek fungsi yang berwujud upacara baik pemujaan, luwaran maupun upacara yang bersifat berulang tetap sangat ditentukan lingkungan yang mendukungnya.

Teori fungsi Malinowski yang mengatakan bahwa fungsi unsur-unsur kebudayaan itu untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan naluri manusia sangat relevan untuk mengkaji aspek fungsi WMG. Hal itu disebabkan upacara yang ada dalam sistem fungsi WMG semata-mata untuk memenuhi kebutuhan naluri manusia yaitu naluri untuk menyembah adikodrati demi kesejahteraannya. Teori fungsi Brown bahwa fungsi unsur-unsur kebudayaan itu adalah memelihara keutuhan dan sistematik struktur sosial tampak pada pelaksanaan brokohan. Teori fungsi Bascom yang tepat untuk digunakan adalah yang keempat yaitu sebagai alat pemaksa dan pengawas agar norma-norma masyarakat akan selalu dipatuhi dalam anggota kolektifnya. Implikasi teori ekologi kebudayaan dan teori fungsi tampak pada uraian di bawah ini.

6.1 Aktifitas Ritual Magis dalam WMG

(40)

yang di dalamnya terdapat aturan-aturan dan perintah-perintah untuk dilaksanakan muncullah agama yang dilengkapi dengan kitab suci sebagai pedoman.

Di samping mengakui kekuasaan yang Ilahi, dalam interaksnya dengan alam, manusia mengakui pula bahwa ada kekuatan lain di luar dirinya yang muncul dari alam. Kekuatan tersebut sangat berpengaruh terhadap kehidupannya. Berkaitan dengan kekuatan alam, Suseno (1988:87) mengungkapkan bahwa sifat gaib alam menyatakan diri melalui kekuatan-kekuatan yang tak kelihatan dan dipersonifikasikan sebagai roh-roh. Semua kekuatan alam dikembalikan kepada roh-roh dan kekuatan-kekuatan halus. Ada roh pelindung desa (dhanyang) atau si cikal-bakal, memedi, lelembut, dhemit, dan banyak makhluk halus lain. Sakit dan kecelakaan dianggap disebabkan oleh roh-roh itu, begitupula sukses dan kebahagiaan. Untuk menjaga keselarasan dengan alam, manusia melakukan aktivitas-aktivitas ritual tertentu. Muncullah pemujaan-pemujaan yang dilakukan manusia, serta aneka persembahan dalam bentuk sesajen untuk roh-roh gaib.

Kebertahanan hidup WMG sangat bergantung dari fungsi ritual magis yang diembannya, baik upacara pemujaan maupun luwaran yang dilakukan oleh masyarakat. Pengertian upacara yang tepat untuk konteks ini adalah rangkaian tindakan atau perbuatan yang terikat kepada aturan-aturan adat atau agama (KBBI, 1988:994). Sementara itu, Koentjaraningrat (dalam Mulyono, 1982: 42) mengatakan bahwa upacara adalah perbuatan-perbuatan untuk mengadakan hubungan gaib. Upacara dalam WMG dapat dikelompokkan dari beberapa aspek, seperti aspek tujuan, aspek pelaku, dan aspek waktu. Uraian dari pengelompokan tersebut adalah:

(1) Dari aspek tujuan, upacara dikelompokkan menjadi dua, yaitu:

a. Upacara pemujaan, yaitu upacara yang dilakukan dengan tujuan mengadakan pemujaan untuk meminta sesuatu sesuai dengan niat dan maksud pemujanya.

(41)

(2) Dari aspek pelaku, upacara dikelompokkan menjadi dua, yaitu:

a. Upacara yang dilakukan oleh masyarakat pengguna, yaitu upacara yang dilakukan oleh masyarakat untuk meminta sesuatu.

b. Upacara yang dilakukan oleh pemilik WMG, yaitu upacara yang dilakukan oleh anak keturunan dari Mbah Proyosono sebagai pemilik WMG.

(3) Dari aspek waktu, upacara dikelompokkan menjadi dua, yaitu:

a. Upacara yang dilakukan secara insidental atau kadangkala, yaitu upacara yang waktu pelaksanaannya tidak tertentu, sesuai dengan permintaan pemuja dan penazar.

b. Upacara yang dilakukan secara berulang tetap, yaitu upacara yang pelaksanaannya secara rutin dengan waktu yang telah tertentu.

6.1.1 Upacara Pemujaan

Upacara pemujaan dilaksanakan jika ada anggota masyarakat ingin meminta sesuatu sesuai dengan maksud yang diinginkannya. Perlengkapan yang harus dibawa dan disediakan untuk upacara pemujaan adalah sebungkus bunga, satu pak rokok, kemenyan, dan minyak wangi srimpi. Pemuja mendatangi rumah juru kunci untuk mengutarakan keinginannya. Setslah bersuci dengan mandi keramsa, juru kunci mengajak pemuja ke rumah gandok tempat penyimpanan perlengkapan WMG (lihat LG. 1). Inti perlengkapan WMG adalah kotak wayang tempat boneka WMG disimpan. Kotak wayang ditempatkan pada sebuah dipan (tempat tidur) lengkap dengan tikar, bantal, dan kelambu. Bantal diletakkan di bawah kotak tepat arah kepala Mbah Gandrung (Lihat LG. 3 dan LG. 4). Kelambu selalu dalam keadaan tertutup, kelambu dibuka jika akan ada upacara.

(42)

kotak tepat posisi kepala boneka WMG lalu bunga diperciki dengan minyak wangi sampai isi dalam botol habis. Sebelum membakar kemenyan, juru kunci sekali lagi menanyakan nama, alamat, maksud yang diinginkan, serta nazar yang akan diucapkan. Setelah dijawab oleh pemuja, juru kunci mulai membakar kemenyan di hadapan kotak wayang untuk menyampaikan apa yang diinginkan pemujanya. Diiringi kepulan asap dupa, juru kunci mengucapkan salam kepada Mbah Gandrung, Nayi Gandrung, Mbah Semar Nyai Semar, Mbah Jakaluwar Nyai Jakaluwar, Mbah Raden Sidanapapa beserta pengikutnya. Perhatikan kutipan berikut :

Salam ikum salam. Pepundhen kula Mbah Gandrung jeler estri, Mbah Semar jaler estri, Mbah Jakaluwar Jaler estri, Mbah Raden Sidanapapa sak punggawanipun sedaya.

(Salam ikum salam. Junjungan saya Mbah Gandrung suami istri, Mbah Semar suami istri, Mbah Jakaluwar suami istri, Mbah Raden Sidanapapa beserta para pengikutnya).

Setelah mengucapkan salam kepada beberapa tokoh sakral, juru kunci menyampaikan apa yang diinginkan dan nazar yang diberikan pemuja. Perhatikan kutipan berikut:

Kejawi menika buyut panjenengan Sulasmi Sidorejo sowanipun ngarsa panjenengan dinten setu paing menika nedhi idi dhateng panjenengan sakitipun saged mantun, angsale nyambut gawe saged sekeco boten kalah kalih rencange. Benjing nek empun kinabulan kalih panjenengan sowan mriki nyaosi metri kalih panjenengan.

(Selain itu cucu Sulasmi Sidorejo mengahadap pada hari sabtu pahing ini untuk memohon rida agar sakit yang diderita dapat sembuh, dan dapat lancar dalam bekerja tidak kalah dengan teman-temanya. Besok, jika telah terkabul akan datang lagi untuk mengadakan selamatan metri dihadapan Mbah).

Juru kunci memintakan bekas pancen (bunga) untuk sarana terkabulnya keinginan pemuja. Perhatikan kutipan di bawah ini:

(43)

(Selain itu cucu Sulasmi Sidorejo minta bekas pancen (sesajen) untuk srana menyembuhkan penyakitnya, dan untuk sarana agar lancar dalam bekerja seperti teman-temanya).

Di samping itu, juru kunci juga memintakan maaf dan memohon agar setiap langkah pemuja mendapat ridha. Perhatikan kutipan berikut:

Kejawi menika buyut panjenengan Sulasmi samang ideni wilujeng, sak laku jantrane nedhi tambahing pangestu, enten kekiranganipun sowanipun ngarsa panjenengan Sulasmi Sidorejo nggih sewu-sewu panglepatanipun, buyut panjenengan Sulasmi nyuwun pangapunten dhateng panjenengan. (Selain itu cucu Sulasmi mohon diridai agar setiap langkahnya mendapat restu, jika ada kekurangan dalam menghadap mohon beribu-ribu ampun). Setelah selesai menyampaikan maksud dan nazar pemuja, juru kunci mengambilkan beberapa bunga dari dalam mangkuk dan diberikan kepada pemuja. Juru kunci memberi tahu cara penggunaannya, misalnya, untuk penyembuhan penyakit caranya bunga direndam dalam air lalu airnya diminum. Untuk kelancaran dalam bekerja bunga dimasukkan dalam dompet sehingga kemanapun dapat selalu terbawa. Untuk kelancaran usaha (misal, dagang) bunga ditempatkan pada kotak penyimpanan uang.

Berkaitan dengan upacara pemujaan, tujuan atau maksud mengadakan pemujaan bermacam-macam, yaitu:

(1) minta obat atau tamba,

(2) minta rumah (cepat dapat membuat rumah),

(3) minta penglarisan (dalam berdagang dapat laris),

(4) minta jodoh (bagi orang yang sulit mencari jodoh),

(5) minta anak, bagi suami istri yang lama berumahtangga tidak punya anak,

(6) minta pangkat (untuk pejabat atau pegawai),

(44)

(8) minta kelancaran dalam bekerja (berhasil dalam merantau, dll.),

(9) minta jabatan (calon kepala desa agar berhasil menjadi kades),

(10) minta proyek (usulan proyek agar disetujui),

(11) minta kelancaran dalam melahirkan,

(12) minta kelancaran dalam menjual tanah,

(13) minta agar terbebas dari perkara yang dihadapi.

Nazar atau janji yang diucapkan pemuja bermacam-macam, diantaranya:

(1) nanggap, artinya menggelarkan atau mementaskan WMG

(2) ngedekake, artinya boneka wayang Mbah Gandrung, Nyai Gandrung, dan Jakaluwar dikeluarkan dan ditancapkan dilarapan,

(3) metri, artinya mengadakan selamatan dengan perlengkapan sudah ditentukan,

(4) nyukani tedhan, artinya memberi makanan berupa kemenyan, bunga, minyak wangi, dan roko.

Cara pemuja menyampaikan maksud dan mengungkapkan nazar ada dua cara, yaitu:

(1) cara langsung, artinya pemuja datang ke juru kunci untuk menyampaikanmaksud serta nazarnya dan juru kunci menyampaikan maksud dan nazar tersebut kepada Mbah gandrung,

(45)

Iapun mengadakan upacara ritual ngedekake sebelum anaknya dinikahkan (lihat lampiran 16).

6.1.2 Upacara Luwaran

Upacara luwaran dilakukan jika pemuja telah merasa terkabul apa yang diinginkan. Bentuk upacara yang dilaksanakan harus sesuai dengan nazar yang diucapkan saat melakukan pemujaan. Jika seorang bernazar akan menanggap WMG satu hari, maka ia harus mementaskan WMG satu hari, tidak boleh lebih. Begitu pula bernazar akan mengadakan metri, ngedekake, dan nyukani tedhan maka ia harus melaksanakan upacara luwaran sesuai dengan nazar tersebut.

Dari empat bentuk nazar, nazar metri yang paling banyak diucapkan dan diadakan pemuja. Pemilihan bentuk nazar metri lebih dikarenakan dari sisi biaya yang harus dikeluarkan tidak terlalu banyak. Bentuk nazar nanggap memerlukan biaya paling banyak. Untuk pelaksanaan upacara luwaran nanggap seseorang harus mengeluarkan biaya sekitar Rp. 750.000 jika rumahnya sekitar desa pagung. Biaya tersebut mencapai Rp. 1.000.000 bahkan lebih jika tempat tinggal pelaksana nazar jauh dari desa Pagung. Biaya tersebut belum termasuk biaya pelaksanaan dua kali selamatan dan aneka sesajen yang harus disiapkan.

Uraian di atas menunjukkan bahwa kebertahanan WMG sangat tergantung dari upacara pemujaan. Bahkan pementasan WMG juga sangat bergantung jumlah pemuja dan keberhasilan yang dicapai pemuja. Jika jumlah pemuja banyak dan tingkat keberhasilannya tinggi maka pagelaran WMG akan banyak pula. Demikian pula bentuk upacara luwaran yang lain. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa pagelaran WMG semata-mata hanya untuk sarana upacara luwaran bukan untuk konsumsi hiburan. Jika ada seseorang ingin mementaskan WMG akan tetapi ia tidak pernah bernazar akan mementaskan, maka juru kunci dan pelaku pentas WMG tidak berani melayani. Untuk itu, sampai sekarangpun sakralitas WMG tetap terjga dan profanitas tidak dijumpai ada dalam WMG.

Gambar

gambar di bawah ini:

Referensi

Dokumen terkait

Kemudian selain faktor kekuatan otot lengan dan koordinasi mata-tangan sebenarnya masih banyak faktor yang mempengaruhi dalam keberhasilan melakukkan passing bawah

Dok.. Tidak henti - hentin yan k ita men unduk ka n kepa la karena h anya dengan kehendak -Nya kita mampu mewujud kan keinginan da n cita - cita luhur untuk mendukung

Asam fitat yang terlarut bergantung pada pH pelarut, konsentrasi asam asetat yang tinggi akan selaras dengan penurunan pH larutan dan menghasilkan asam fitat

Dari empat stasiun yang dianalisis statistik hubungan panjang total dengan bobot tubuh ternyata stasiun Sungai Lematang, Selangis, dan Ndikat mempunyai nilai b lebih besar dari 3,

SMK Negeri 1 Banyudono merupakan salah satu SMK negeri di Kabupaten Boyolali.Keberhasilan dapat dilihat dari hasil prestasi siswa dalam pemberian tugas sangat berpengaruh

Dari hasil penelitian yang dilakukan didapatkan bahwa pada stabilitas muatan 100% sebelum di modifikasi menunjukan tidak memenuhi syarat standar IMO, namun pada

Berdasarkan hasil analisis yang telah dilakukan terhadap hipotesis yang telah dirumuskan, maka dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut ; secara simultan atau bersam- sama