• Tidak ada hasil yang ditemukan

Makna keseimbangan

Dalam dokumen 4.1 Tonggak Sejarah Pewayangan Jawa (1) (Halaman 63-67)

ASPEK MAKNA DALAM WAYANG MBAH GANDRUNG

7.1 Makna keseimbangan

Keseimbangan bermakna keteraturan dan harmonis. Menurut Mulder (19989:14-15), keteraturan berarti harmoni dengan tujuan kosmos, dan dalam arti ke dalam itulah terjadi kemanunggalan, kesatuan dari pencipta dengan yang diciptakan, kawula dengan gusti, sangkan paran1. Itulah sikap masyarakat Jawa

yang selalu ingin menjaga keseimbangan dengan alam.

Keseimbangan harus dicapai agar manuia hidup dengan aman dan tenteram. Keseimbangan harus selalu dijaga dalam berinteraksi dengan alam, kekuatan di luar diri manusia, juga dengan ruang dan waktu. Untuk menjaga keseimbangan dengan alam orang Jawa berusaha untuk tidak merusak struktur

yang telah terkonstruksi sejak lama. Caranya yaitu dalam segala tindakannya tidak mengganggu sekelilingnya. Masyarakat Jawa bahwa kosmos ini penuh mistis, maksudnya bahwa selain dirinya masih ada makhluk lain yang menjaga alam ini. Untuk itulah orang Jawa senantiasa menjaga keseimbangan dalam interaksinya dengan alam.

Kelahiran WMG jika dikaitkan dengan keseimbangan dengan alam dapat dilacak dari latar belakang Mbah Proyosono pergi bertapa. Mengingat letak desa pagung yang berada di daerah pegunungan, kemungkinan tantangan yang diberikan alam kepada masyarakat sangat memprihatinkan. Dalam keadaan yang demikian kondisi alam mempengaruhi hidup dan kehidupan masyarakat Pagung dengan hebat. Ancaman demi ancaman seperti tanah longsor, gunung meletus, gangguan wabah penyakit, dan lain-lain terus menerus mengganggu warga desa yang menyebabkan kondisi yang tidak seimbang. Untuk menyeimbangkan keadaan, harus dicari sarana penyeimbang dengan usaha tertentu. Bertapa seperti yang dilakukan Mbah Proyosono merupakan salah satu usaha mencari keseimbangan. Dari usaha tersebut didapat sarana keseimbangan yaitu boneka wayang sakral yang dapat digunakan menetralisir kondisi tidak seimbang.

Upacara pemujaan yang dilakukan masyarakat semata-mata karena meraka berada dalam keadaan tidak seimbang. Menderita sakit, kurang beruntung dalam berusaha dan bekerja, tidak mempunyai anak, belum mempunyai pasangan hidup, dan lain-lain merupakan penderitaan masyarakat karena berada dalam kondisi tidak seimbang. Untuk mendapatkan keseimbangan meraka melakukan upacara pemujaan pada WMG. Harapannya tidak lain adalah semua ketidakseimbangan tersebut dapat dinetralisasikan. Penderita sakit dapat sembuh, yang kurang beruntung dalam bekerja dan berusaha dapat berhasil, yang tidak mempunyai anak dapat segera punya anak, yang tidak mempunyai pasangan hidup dapat segera punya jodoh, dan lain-lain sebagai bukti bahwa meraka telah berhasil mencapai keseimbangan.

Walaupun demikian, upacara pemujaan tersebut dan juga melahirkan efek keadaan tidakseimbang yang disebabkan oleh janji atau nazar yang diucapkan. Hal itu disebabkan keberhasilan pemujaan secara psikologis berpengaruh pada dir

pemuja untuk segera mengadakan upacara luwaran. Jika nazar tidak segera dipenuhi atau bahkan tidak dipenuhi, bukan saja keberhasilan yang telah mereka dapatkan (kesembuhan, jodoh, rejeki, pangkat, dsb.) akan hilang musnah melainkan juga akan mencelakakan mereka dengan kemalangan yang tidak terbayangkan. Sebagai contoh apa yang dialami Bu Ponimah sebelum mengadakan upacara luwaran. Ia menderita sakit bahkan sampai rawat inap di rumah sakit. Saat ditanyakan kepada orang pintar (paranormal), ia ditanya apakah ia pernah bernazar. Selain itu munculnya suara gemerincing yang mengitari rumahnya setiap tengah malam sangat mengganggu ketentraman batinnya (lihat lampiran 14).

Upacara luwaraIn yang digunakan untuk melaksanakan nazar atau pemenuhan janji yang telah terucap merupakan usaha untuk mendapatkan keseimbangan. Nazar atau janji adalah hutang yang harus dilunasi. Memenuhi janji hukumnya wajib, apalagi telahberjanji kepada roh gaib yang dipercayai mampu berbuat apa asaja terhadap hambanya yang melanggar janji. Untuk itu betapapun beratnya mengadakan upacara luwaran mereka akan berusaha memenuhi nazarnya. Pengakuan Bu Ponimah, pokoke kula niyat ngluwari. Mbok sak pnten kula nggih kok ngenyang kula nggih boten. Pancen niyat kula ngujari yoga kula (pokoknya niat saya membebaskan janji walaupn berapa saja saya tidak akan menawar. Memang saya berniat menazari anak saya), merupakan pengakuan polos ketidakberatan mengadakan upacara luwaran nanggap walaupun membutuhkan biaya lebih dari satu juta.

Pembebasan janji ditandai dengan penarikan dua kupat yang luwar yang berisi beras kuning, kupat luwar yang terbuat dari janur (daun kelapa yang masih muda) berwarna kuning dan berisi beras yang juga berwarna kuning, melambangkan bersih dan suci. Artinya kembali dalam kondisi normal dan seimbang. Pembebasan janji ditegaskan sebagai pemimpin upacara magis sesaat setelah penarikan kupat luwar, yaitu rehne menika sampun dipun dugeni rembagipun Bu Ponimah nggih sageda luwara rembage wilujenga ingkang dipun luwari pinaringan slamet wilujeng seger kwarasan gangsar nyambut gawe sageda luwar rembagipun Bu Ponimah sak warganipun sedaya wonten dinten

akad pahing, kula aturi nyekseni luwar nggih (lihat lampiran 8). Terjemahannya, oleh karena janji Bu Ponimah telah dipenuhi semoga terbebas semua janjinya diberikan keselamatan, kesehatan, kemudahan dalam bekerja, terbebaslah janji Bu Ponimah sekeluarga di hari minggu pahing ini. Mohon menjadi saksi ya.

Menurt pak Sukandar nazar iku ibarate ngoyak nyawa, artinnya nazar itu ibarat mengejar nyawa. Bukti-bukti tersebut menunjukkan betapa besar keperkasaan dan superioritas Mbah gandrung. Tetapi yang pasti, dari aspek fungsi yang berkenaan dengan unsur kepercayaan dasar manusia akan adanya kekuatan yang menguasi manusia, WMG dimaknai sebagai wayang tradisi dengan kemampuan supraakali. WMG merupakan pangruwat bala2 pada masyarakat

biasa, pelepas papa rakyat jelata.

Dalam upacara luwaran terdapat selamatan (slametan) dengan sajian yang telah ditentukan. Inti tujuan dari selamatan adalah mendapatkan keadaan selamat yang berarti keseimbangan, keselarasan, dan harmonis. Menurut Suseno (1988:15), slametan sebagai ritus religius sentral orang Jawa, yaitu sesuatau perjamuan makan ceremonial sederhana, semua tetangga harus diundang dan keselarasan diantara para tetangga dengan alam raya dipulihkan kembali. Lebih lanjut Suseno (1988:89), mengungkapkan bahwa slametan dapat dimengerti sebagai ritus pemulihan keadaan slamet, ketentraman masyarakat dibaharui dan kekuatan-kekuatan yang berbahaya dinetralisasikan. Karena doa yang diucapkan, roh-roh lokal dimasukkan ke dalam lingkup slametan dan mereka senang mencium sari makanan itu. Dengan demikian slametan mencegah gangguan- gangguan terhadap keselarasan kosmis.

Berkaitan dengan selamatan, koentjaraningrat (1984:344-347) mengemukakan bahwa slametan adalah suatu upacara pokok atau unsur terpenting dari hampir semua ritus dan upacara dalam sitem religi orang Jawa pada umumnya. Selamatan diadakan dalam rangka memelihara hubungan baik dengan arwah nenek moyang. Dalam konteks slametan yang bersifat keramata keputusan untuk mengadakan upacara tersebut didasarkan adanya suatu perasaan khawatir akan hal-hal yang tidak diinginkan atau akan datangnya malapetaka.

Konsep tentang selamatan di atas menyuratkan bahwa selamatan digunakan untuk mencapai keseimbangan, keselarasan, dan harmonis antara manusia dengan alam serta kekuatan gaib di luar diri manusia. Penentuan sajian selamatan dimaksudkan sebagai sarana untuk menetralisir kekuatan gaib yang dapat mengganggu kehidupan manusia. Jenang sengkala yang terdiri atas jenang putih dan jenang abang bermakna keadaan di dunia yang serba dua (dualisme). Sementara itu, jenang sengkala dapat digunakan untuk menolak semua gangguan dan marabahaya dari manapun datangnya, rujak crobo untuk menetralisir saat buruk (naas) dari tahun, bulan, dan hari, rujak sewu untuk sarana memohon beribu-ribu ampunan (maaf) kepada kekuatan-kekuatan gaib. Tumpeng berarti tumekung kang mempeng bermakna panembah marang gusti. Setelah selamatan berharap semakin tebal tingkat keimanannya pada Tuhan. Buceng sebagai istilah lain dari tumpeng bermakna budi sing kenceng atau pendirian yang kokoh. Dengan selamatan berharap semakin kokoh pendiriannya dalam menghadapi kehidupan di dunia. Budi sing kenceng juga bermakna mampu mengendalikan nafsu keduniawian. Bentuk tumpeng atau buceng kerucut semakin ke atas semakin kecil bermakna orang yang mencapai tingkat keimanan yang tinggi serta mampu mengendalikan hawa nafsu sangat sedikit. Hal itu bermakna tidak banyak orang yang mampu mencapai keseimbangan dalam kehidupannya. Selamatan secara simbolis digunakan untuk mencapai keseimbangan.

Hari pelaksanaan upacara luwaran ditentukan dengan perhitungan yang matang yang didasarkan hitungan saat baik dan saat buruk. Saat buruk atau naas merupakan waktu yang harus dihindari, karena bila melanggar akan mendapat bahaya atau kecelakaan. Oleh karena itu penentuan saat baik dan saat buruk dalam pelaksanaan hajat penting merupakan hal yang sangat penting. Penentuan saat baik dan sat buruk dilakukan semata-mata untuk mencari keselamatan, keberuntungan dan ketentraman. Tujuan akhir dari penentuan saat baik dan buruk adalah mendapatkan keseimbangan, keselarasan dan keadaan harmonis.

Dalam dokumen 4.1 Tonggak Sejarah Pewayangan Jawa (1) (Halaman 63-67)

Dokumen terkait