• Tidak ada hasil yang ditemukan

Ekonomi Politik Aksi Bela Islam Pluralis

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "Ekonomi Politik Aksi Bela Islam Pluralis"

Copied!
20
0
0

Teks penuh

(1)
(2)

Penanggung Jawab Ahmad Syafii Maarif Jeffrie Geovanie Rizal Sukma

Pemimpin Umum Fajar Riza Ul Haq

Pemimpin Redaksi Ahmad Imam Mujadid Rais Wakil Pemimpin Redaksi Muhd. Abdullah Darraz

Redaktur Tamu Zainal Abidin Bagir

Dewan Redaksi Ahmad Najib Burhani

Ahmad–Norma Permata Clara Juwono

Haedar Nashir Hilman Latief Luthfi Assyaukanie M. Amin Abdullah

Sekretaris Redaksi M. Supriadi

Redaktur Pelaksana Khelmy K. Pribadi, Ahmad Imam Mujadid Rais

Pipit Aidul Fitriyana

Design Layout Deni Murdiani, Harhar Muharam

Keuangan Henny Ridhowati

Sirkulasi Awang Basri, Pripih Utomo

Alamat Redaksi

MAARIF Institute for Culture and Humanity Jl. Tebet Barat Dalam II No. 6, Jakarta 12810 Telp +62-21 8379 4554 Fax +62-21 8379 5758 website : www.maarifinstitute.org

email : jurnal@maarifinstitute.org

mujadid.rais@gmail.com

darrazophy@yahoo.com

Donasi dapat disalurkan melalui rekening :

Yayasan A. Syafii Maarif

BNI MH. Thamrin (Wisma Nusantara)

0114179273

Terbit Perdana Juni 2003

(3)

Abstrak

Artikel ini berusaha memahami kemunculan Aksi Bela Islam (ABI) dengan meletakkannya dalam konteks ekonomi-politik yang lebih luas di Indonesia. Artikel ini berargumen bahwa keberhasilan ABI dapat dipahami sebagai efek dari “dislokasi” narasi pluralisme di Indonesia. Pertama, dislokasi ini tumbuh seiring dengan ketidakmampuan narasi tersebut untuk menjelaskan perluasan ketimpangan, kesulitan hidup, dan kerentanan di dalam masyarakat. Kedua, narasi ini juga tidak dapat memberi kelompok-kelompok rentan tersebut dengan kosakata yang memadai untuk menyuarakan kesulitan yang mereka alami. Kecenderungan narasi pluralisme untuk memberi penekanan yang kuat terhadap politik rekognisi tetapi cenderung mengesampingkan politik redistribusi menjadi sumber utama dari dislokasi ini. Kemunculan ABI bisa dipahami sebagai keberhasilan narasi populisme sayap-kanan untuk mengisi celah dislokasi ini sekaligus menandai kegagalan narasi-narasi alternatif untuk mengisi celah yang ditinggalkan oleh narasi pluralisme.

Pendahuluan

Artikel ini berusaha untuk mempelajari kemunculan rentetan Aksi Bela Islam (ABI) sepanjang tahun 2016 dengan cara meletakkannya dalam konteks ekonomi-politik yang lebih luas di Indonesia. Pembacaan terhadap fenomena ABI selama ini lebih banyak didominasi oleh pembacaan yang berusaha meletakkan ABI sebagai suatu penyimpangan terhadap norma kewargaan, demokrasi, dan pluralisme di Indonesia. Meski analisis semacam ini tak bisa

Ekonomi-Politik Aksi Bela Islam:

Pluralisme dalam Krisis?

(4)

diabaikan, pembacaan-pembacaan ini beresiko mereduksi ABI sebagai suatu fenomena yang berdiri sendiri alih-alih meletakkannya sebagai efek dari kondisi-kondisi sosial tertentu. Berangkat dari latar ini, artikel ini berusaha mempelajari kondisi-kondisi sosial apa yang memungkinkan ABI muncul serta apa implikasi yang dibawa ABI terhadap lanskap ekonomi-politik di Indonesia.

Terdapat sejumlah studi yang berusaha mempelajari hubungan antara pertumbuhan gerakan Islam di Indonesia pasca-reformasi dengan lanskap ekonomi-politik yang melingkupinya. Hadiz (2014) berpendapat bahwa gerakan Islam di Indonesia pasca-reformasi dicirikan dengan adanya perluasan basis sosial dari gerakan-gerakan tersebut. Gerakan Islam yang seringkali disokong oleh kelas pedagang, borjuasi kecil, atau kelas menengah terdidik kini didukung oleh sebuah aliansi besar yang bersifat lintas-kelas. Dalam kondisi ini, gerakan Islam menggunakan retorika ummah untuk mempengaruhi dan mengubah lanskap ekonomi-politik yang ada sedemikian rupa sehingga sumber daya dapat mengalir lebih banyak bagi elemen-elemen gerakan tersebut. Sementara itu, dalam studinya terhadap kelompok vigilantis Islam di Jakarta, Wilson (2011) berpendapat bahwa seiring dengan jatuhnya Suharto, elit politik mendekati kelompok vigilantis dalam rangka meraih dukungan, khususnya dari kalangan Islam konservatif. Hal ini membuat kelompok vigilantis tak lagi semata menjadi klien dari elit politik seperti yang mereka alami selama Orde Baru. Kelompok vigilantis menjadi aktor yang mapan dalam arena politik Indonesia serta dibutuhkan oleh elit politik untuk membuat kekuasaan mereka terjaga. Pada titik ini, retorika moralitas Islam hadir untuk melegitimasi keberadaan kelompok vigilantis tersebut dalam arena politik. Dalam posisi ini, kelompok vigilantis jadi memiliki keleluasaan untuk mengalirkan sumber daya bagi diri mereka maupun kelompok yang mereka representasikan (bdk. Bakker, 2016; Telle, 2014).

(5)

Artikel ini mengusung argumentasi yang sedikit berbeda. Menguatnya narasi keislaman dalam gelanggang politik Indonesia bukan hanya merefleksikan usaha untuk mengubah pembagian sumber daya di dalam masyarakat. Lebih dari itu, menguatnya narasi ini merefleksikan kerapuhan narasi pluralisme di tengah meluasnya ketimpangan dan ketidakpastian di dalam masyarakat. Ketidakmampuan narasi pluralisme untuk mengintegrasikan kesulitan hidup masyarakat ke dalam sistematika penjelasannya mengenai dunia menciptakan apa yang disebut Laclau dan Mouffe sebagai “dislokasi”. Pada momen ini— ketika timbul jarak antara pengalaman sehari-hari masyarakat dengan narasi yang berusaha mengkerangkai pengalaman itu—narasi-narasi lain dapat masuk dan mengisi celah yang ditinggalkan oleh narasi pluralisme. Populisme sayap-kanan—yang diusung utamanya oleh aktor-aktor seperti Front Pembela Islam (FPI), Gerakan Nasional Pengawal Fatwa Majelis Ulama Indonesia (GNPF-MUI), Hizbut Tahrir Indonesia (HTI), hingga elemen-elemen di dalam Nahdlatul Ulama (NU) dan Muhammadiyah—meraih banyak dukungan dan memuncak dalam bentuk ABI karena ia diartikulasikan pada momen krisis ini. Kehadiran populisme sayap-kanan karenanya tak semata-mata bersifat instrumental bagi kepentingan kelompok yang mengusungnya. Menguatnya narasi tersebut juga dimungkinkan oleh proses transformasi yang mendahuluinya. Narasi ABI memberikan masyarakat kosakata untuk menyuarakan keresahan mereka sambil di saat yang sama membantu mereka memahami pengalaman keseharian mereka.

(6)

Ekonomi-Politik Fundamentalisme

Bagian ini berusaha untuk mengurai kerangka teoritik yang akan digunakan oleh artikel ini untuk memahami kemunculan rentetan ABI di Indonesia selama tahun 2016. Bagian ini khususnya berusaha menguraikan bagaimana hubungan antara dinamika ekonomi-politik dan kemunculan gerakan Islam dapat dipahami. Untuk itu, mula-mula, artikel ini mesti menunda penilaian moral terhadap narasi populisme sayap-kanan. Populisme sayap-kanan tak bisa serta merta dinilai sebagai efek dari kekeliruan individu dalam menafsirkan ajaran agama, rendahnya intelegensi dan tingkat pendidikan individu, atau paradigma yang diskriminatif dalam memandang perbedaan. Mereka yang memercayai narasi populisme sayap-kanan tak bisa juga begitu saja diletakkan sebagai individu yang irasional dan dekaden. Posisi-posisi ini—yang disebut Toscano (2010) sebagai “anti-fanatisme”—perlu dihindari karena ia meletakkan fenomena populisme sayap-kanan yang hendak dikaji sebagai suatu fenomena yang berdiri sendiri dan terisolasi dari konteks sosial-politik yang menaunginya. Apa yang luput dari posisi-posisi ini adalah tidak adanya analisis terhadap fenomena populisme sayap-kanan yang berusaha meletakkannya dalam lanskap ekonomi-politik yang lebih luas. Posisi-posisi ini tidak berusaha mengidentifikasi apa proses-proses di dalam struktur masyarakat yang memungkinkan populisme sayap-kanan meluas, berkembang, dan meraih dukungan.

Terdapat setidaknya dua corak analisis berbeda yang berusaha menautkan kemunculan populisme sayap-kanan—khususnya gerakan Islam fundamentalis— dan dinamika ekonomi-politik yang terjadi di dalam masyarakat. Analisis pertama melihat narasi populisme sayap-kanan sebagai produk dari konfigurasi kepentingan di antara berbagai kelas berbeda di dalam masyarakat. Narasi populisme sayap-kanan, hingga derajat tertentu, bisa dibaca sebagai strategi yang digunakan oleh kelas-kelas tertentu untuk memajukan kepentingannya. Sementara itu, analisis kedua membaca narasi populisme sayap-kanan sebagai efek dari krisis yang terjadi di dalam institusi yang saat ini mapan dan dominan.

(7)

ketersediaan kesempatan investasi yang menguntungkan di wilayah tersebut. Pada titik itu, kapital mengalami devaluasi karena ia jadi tak bernilai seiring dengan minimnya kesempatan untuk melakukan investasi dengannya secara menguntungkan. Pada titik inilah kapital mulai bergerak untuk menuju daerah lain yang belum jenuh dengan konsentrasi kapital. Meski demikian, pergerakan kapital ini menimbulkan efek serius bagi daerah yang ditinggalkannya. Selain dengan memburuknya perekonomian karena perginya industri, kapital juga meninggalkan begitu saja berbagai infrastruktur—Harvey menyebutnya “fixed capital”—yang semula dibuat untuk mendukung proses operasinya. Di lain sisi, kehadiran kapital di daerah lain akan diiringi dengan tumbuhnya perekonomian dan pembangunan infrastruktur sebelum, pada akhirnya, kembali memudar seiring dengan perginya kapital dari daerah itu menuju daerah lain yang lebih menguntungkan. Karenanya, bagi Harvey, kapitalisme tidak dapat menimbulkan pembangunan dan kemajuan yang merata. Kapitalisme secara inheren menciptakan ketimpangan secara terus-menerus (Harvey, 2001, 2005, 2006).

(8)

Sementara itu, pemikiran Ernesto Laclau dapat diletakkan sebagai representasi corak analisis kedua. Laclau berangkat dari asumsi bahwa realitas tak hadir begitu saja kepada manusia. Sebaliknya, realitas dimengerti oleh manusia karena manusia menatanya sedemikian rupa dalam cara tertentu. Melalui penataan ini—atau dalam terminologi psikoanalisis, “simbolisasi”—realitas memperoleh koherensinya. Realitas menjadi sesuatu yang sistematis dan bisa dipahami oleh manusia. Realitas tak lagi menjadi rangkaian informasi berserak yang tak saling berhubungan. Ia kini memiliki suatu “aturan diskursif”, suatu “narasi”. Akan tetapi, proses formasi realitas ini tak hanya membuat manusia memperoleh realitas yang koheren di hadapannya. Lebih dari itu, aturan diskursif juga memberi manusia pengetahuan tentang siapa dirinya di dalam realitas tersebut. Dengan kata lain, narasi yang mengatur, membentuk, dan mensistematisasi realitas juga memberi manusia identitas tentang siapa dirinya (Laclau dan Mouffe, 2001; Zizek, 1989; Stavrakakis, 1999; Homer, 2005).

Laclau menggarisbawahi bahwa narasi yang menata realitas tak pernah stabil. Sebaliknya, narasi yang membentuk realitas bisa datang silih berganti seiring dengan terjadinya pergulatan di dalam masyarakat tentang bagaimana realitas semestinya dipotret. Laclau menjelaskan bahwa narasi hegemonik mengenai realitas mulai memperoleh ketidakstabilan ketika suatu “peristiwa” (event) muncul. Peristiwa adalah momen yang berada di luar jangkauan penjelasan narasi hegemonik. Ia adalah sesuatu yang tak bisa diintegrasikan ke dalam sistematika penjelasan tentang realitas, sesuatu yang berada di luar kemampuan aturan diskursif untuk menjelaskannya, dan karenanya mengganggu koherensi realitas maupun identitas manusia yang semula berada dalam naungan realitas itu. Pada titik ini, muncul sebuah “dislokasi”. Narasi yang selama ini menstrukturkan realitas kehilangan kemampuannya untuk menjelaskan. Pada momen inilah narasi alternatif atas realitas masuk dan mengisi celah yang ditinggalkan oleh kegagalan narasi terdahulu (Laclau, 2007; Zizek, 1989; Mouffe, 1992, 2000, 2005).

(9)

yang disediakan oleh narasi lama. Laclau menulis: “[P]opulism presents itself both as subversive of the existing state of things and as the starting point for a more or less radical reconstruction of a new order whenever the previous one has been shaken” (Laclau, 2007: 177).

Sejumlah pembacaan mengenai kemunculan gerakan Islam di Indonesia berpijak di atas asumsi-asumsi yang dibangun oleh analisis pertama. Populisme sayap-kanan hadir sebagai efek dari strategi kelas berkuasa untuk mempertahankan kekuasaannya. Dalam beberapa kesempatan, kelas bawah bergabung dengan kelas berkuasa karena terdapat irisan kepentingan di antara kedua kelas tersebut, setidaknya dalam jangka pendek. Artikel ini tak menolak teknik analisis ini dan justru berpendapat bahwa analisis tersebut mengandung kebenaran. Meski demikian, penjelasan ini cenderung meletakkan sisi politik identitas dari fenomena ini semata-mata sebagai problem sekunder: identitas keislaman yang menguat dalam kemunculan populisme sayap-kanan di Indonesia semata-mata merupakan efek dari strategi kelas-kelas yang ada untuk membangun solidaritas internal atau malah alat yang yang digunakan untuk melegitimasi aktivitas dan kepentingan politik dari aktor-aktor tertentu. Sisi yang cenderung luput dari analisis ini adalah fakta bahwa mereka yang memajukan agenda-agenda populisme sayap-kanan seringkali tak hanya menggunakan Islam sebagai alat politik, tetapi juga sebagai basis bagi identitas kedirian mereka. Mereka tak sedang dengan sengaja menafsirkan Islam dengan cara yang menguntungkan mereka. Sebaliknya, mereka percaya bahwa tafsiran Islam memang sungguh demikian, bahwa Islam secara esensial memang selalu memberi mereka keuntungan sejauh mereka percaya pada Islam.

Di titik ini, corak analisis kedua bisa memberikan tambahan bagi analisis pertama. Dalam skema kedua, narasi populisme sayap-kanan hadir untuk mengisi celah yang ditinggalkan narasi lain. Narasi populisme sayap-kanan datang untuk memberi masyarakat narasi tentang realitas serta identitas baru yang tak lagi bisa diberikan oleh narasi yang sebelumnya hegemonik. Artikel ini berargumen bahwa salah satu dislokasi muncul seiring dengan kegagalan narasi pluralisme untuk menjelaskan mengapa marjinalisasi terus terasa, khususnya bagi mereka yang mesti menghadapi kesulitan terus-menerus dalam kehidupan mereka.

(10)

ekonomi-politik dan tumbuhnya identitas dalam masyarakat tanpa terburu-buru mengatakan bahwa identitas tak lebih dari sekadar cerminan kepentingan ekonomi-politik, maupun mengatakan bahwa dinamika ekonomi-politik tak ada sangkut-pautnya dengan menguatnya identitas. Kedua, pembacaan ini juga memungkinkan kita untuk mempelajari tindakan massa pada dirinya sendiri alih-alih meletakkannya sebagai buah ketidaktahuan, kebodohan, atau provokasi dari elit yang mengendalikan mereka—ringkasnya, suatu “kesadaran palsu”. Pembacaan ini memungkinkan kita menggeser fokus dari elit ke massa.

Populisme Sayap-Kanan: Narasi

Bagian ini berusaha menguraikan bagaimana narasi populisme sayap-kanan yang dominan dalam ABI berusaha untuk menyusun realitas dan menunjukkan bahwa narasi ini hadir dalam usahanya untuk membedakan diri dari apa yang disebut artikel ini sebagai narasi pluralisme.

Narasi populisme sayap-kanan menyimpan suatu ambiguitas penting. Di satu sisi, narasi ini berusaha mengkritik dan menanggalkan narasi pluralisme— tentang perlunya toleransi, demokrasi, pengakuan terhadap perbedaan, aturan hukum, dan menjaga kesatuan Indonesia. Narasi tersebut selama ini diusung oleh berbagai aktor yang merentang dari Jaringan Islam Liberal (JIL), elemen-elemen dalam NU dan Muhammadiyah, hingga aktor negara seperti Kementrian Agama dan Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT). Di sisi lain, narasi ini melakukan afirmasi terhadap ideal-ideal yang diajukan oleh narasi pluralisme. Ambiguitas ini menjadi penanda penting bahwa narasi populisme sayap-kanan hadir dalam rangka mengkonstruksi realitas baru sembari melakukan subversi terhadap narasi pluralisme yang hegemonik. Ambiguitas ini menggambarkan bahwa narasi populisme sayap-kanan datang untuk mengeksploitasi celah yang ditinggalkan narasi pluralisme ketika narasi itu belum sepenuhnya luntur, tetapi mulai menghadapi krisis yang tak dapat dijelaskannya.

(11)

berusaha mengatakan bahwa dirinya merupakan gerakan yang sebetulnya berusaha mewujudkan toleransi yang sesungguhnya di Indonesia. Tindakan Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) yang dianggap menistakan Islam dipandang ABI sebagai suatu tindakan intoleran. Tindakan ABI yang meminta agar Ahok diadili oleh karena itu justru merupakan usaha untuk mengafirmasi toleransi alih-alih menolaknya.

Kedua, ambiguitas posisi ABI juga terekspos dalam sikapnya terhadap demokrasi. Meski berbagai pandangan mengatakan bahwa ABI merupakan bahaya terhadap demokrasi, ABI sebetulnya justru melakukan afirmasi terhadap ideal demokrasi. Pertama, ABI merupakan protes yang diletakkan sebagai ekspresi hak konstitusional warga negara maupun hak asasi manusia seseorang. Kedua, ABI juga diselenggarakan secara damai, nyaris tanpa sedikitpun kekerasan maupun perusakan fasilitas publik. Fenomena ini mengindikasikan setidaknya bahwa ABI mengafirmasi semangat demokrasi untuk menyuarakan perbedaan pandangan tanpa kekerasan serta menaati aturan hukum yang berlaku dalam menyampaikan pendapat. Meski demikian, walau terdapat afirmasi-afirmasi ini, ABI menyuarakan gagasan yang seringkali dipandang tak demokratis. ABI berusaha menyalurkan gagasan yang kuat dengan nuansa sektarian ke dalam ruang publik melalui cara-cara yang selaras dengan demokrasi.

Ketiga, ABI juga memiliki posisi yang ambigu terhadap isu persatuan nasional. Di satu sisi, ABI mengafirmasi ide persatuan nasional. Di lain sisi, ABI juga mengusung gagasan yang tak bisa dengan mudah diselaraskan dengan gagasan persatuan nasional. ABI, misalnya, berargumentasi bahwa usaha melawan penistaan agama yang dilakukan Ahok merupakan usaha untuk menjaga persatuan bangsa yang sudah lebih dahulu diancam oleh kata-kata Ahok yang tak sensitif. Dalam sejumlah kesempatan, ABI juga berusaha mengatakan bahwa gagasan Islam yang mereka pegang sepenuhnya selaras dengan gagasan keindonesiaan. Oleh karena itu, mereka berpendapat bahwa Indonesia akan memperoleh kejayaan dan kesejahteraan apabila Indonesia mau menerapkan gagasan Islam mereka sepenuhnya.

(12)

argumentasi itu menandai horizon realitas dari mereka yang mengatakan dan memercayainya. Melalui ketiga ambiguitas di atas—juga ambiguitas lain yang tak dibicarakan artikel ini—ABI mengekspos posisinya terhadap narasi pluralisme yang ia berusaha tolak. Ambiguitas-ambiguitas tersebut menandai usaha ABI untuk memasukkan tafsiran baru atas realitas dan menggantikan realitas sebelumnya yang dibangun di atas aturan diskursif narasi pluralisme.

Ambiguitas-ambiguitas di atas juga menggambarkan bagaimana narasi populisme sayap-kanan berusaha untuk membentuk ulang realitas. Dalam narasi ini, ABI meletakkan umat Islam sebagai kelompok yang rentan baik secara ekonomi maupun politik. Umat Islam juga terus memperoleh stigmatisasi yang tak semestinya mereka peroleh. Tindakan ABI yang mengafirmasi ideal toleransi, demokrasi, dan persatuan nasional sebetulnya mengindikasikan upaya mereka untuk melampaui eksklusi yang mereka alami selama ini. Kelompok Islam fundamentalis dipandang bukan sebagai subyek politik yang sah untuk memasuki gelanggang politik karena dirasa tak toleran, demokratis, serta mengancam kesatuan nasional. Melalui afirmasi-afirmasi tersebut, ABI berusaha untuk melewati garis batas eksklusi dan menunjukkan bahwa stigma-stigma tersebut tak tepat sasaran. Meski demikian, di saat yang sama, ABI juga berusaha mengatakan bahwa marjinalisasi dan stigmatisasi terjadi karena musuh Islam berusaha mencegah umat Islam meraih kemajuan dan kekuatan serta karena tidak adanya penerapan aturan Islam dalam kehidupan. Penerapan Islam dalam kehidupan masyarakat dirasa dapat menyelesaikan permasalahan yang saat ini mendera umat Islam.

Meskipun kemunculan rentetan ABI terasa mendadak, narasi yang diusung oleh ABI sama sekali tidak baru (Azca, 2011; Hassan, 2005; Subkhan, 2007). Maka, pertanyaan penting yang perlu dijawab pada momen ini adalah mengapa narasi populisme sayap-kanan meraih dukungan yang begitu luas? Bagian selanjutnya berusaha mengeksplorasi kemungkinan-kemungkinan jawaban atas pertanyaan ini.

Dislokasi Narasi Pluralisme

(13)

Agar keuntungan meningkat, kapitalisme dapat melakukan sejumlah inisiatif seperti menurunkan tingkat upah atau, hingga derajat tertentu, melakukan mekanisasi. Di luar itu, kapitalisme juga bekerja dengan cara menciptakan pengangguran dalam skala besar. Hadirnya pengangguran ini—Marx menyebutnya sebagai “industrial reserve army”—membuat tingkat permintaan dan penawaran dalam pasar buruh menjadi tak seimbang. Secara ekonomis, hal ini akan menurunkan tingkat upah buruh. Secara politis, kelas pemodal memiliki fleksibilitas yang tinggi untuk menekan buruh. Ketika buruh melakukan protes, pemodal bisa melakukan pemecatan dan mengubah surplus pekerja menjadi pekerja. Pemodal juga bisa menggunakan surplus pekerja itu sendiri sebagai basis untuk membatasi pergerakan buruh. Terlepas dari isu tersebut, surplus pekerja bisa dibilang sebagai elemen yang paling rapuh dari masyarakat. Mereka terpaksa bekerja pada sektor informal tanpa ada kepastian mengenai masa depan, tanpa jaminan sosial, dengan tingkat kesejahteraan yang minimal dan sensitif terhadap gejolak ekonomi. Mereka juga tersebar nyaris tanpa memiliki organisasi yang mampu memperjuangkan kepentingan mereka (Harvey, 2006; Marx, 1981).

(14)

Gagasan di atas memiliki resonansi dengan apa yang terjadi di Indonesia. Telaah Habibi (2016) menggambarkan bagaimana surplus pekerja terus tumbuh dalam arena ekonomi-politik Indonesia. Tanpa kepastian dan jaminan hak yang memadai, surplus pekerja berada dalam keadaan yang begitu rapuh. Pembacaan van Klinken et. al. (2016) menyepakati gagasan ini sekaligus memberi gambaran yang lebih utuh. Baginya, ketidakpastian yang dihadapi masyarakat miskin membuat mereka terpaksa menautkan diri kepada patron politik yang bisa memberikan sumber daya bagi mereka untuk bertahan hidup. Di lain sisi, keinginan untuk memperoleh kepastian ekonomi membuat posisi-posisi yang stabil di dalam masyarakat menjadi bahan perebutan serius di antara berbagai kelompok. Sementara mereka yang terlempar dari persaingan ini mesti menghadapi kehidupan yang lebih sulit, mereka yang memperoleh posisi-posisi itu perlahan berubah menjadi “elit” yang bisa sedikit mengatur arah sumber daya. Tetapi, mereka sesungguhnya hanya bisa mengendalikan kemana rente dari sumber daya itu mengalir sementara sumber daya itu sendiri tak pernah menjadi milik mereka. Menurut van Klinken, “elit” ini seringkali juga berangkat dari keinginan untuk memperoleh kepastian. Sumber daya yang ada pada akhirnya berada di tangan elit sesungguhnya yang relatif tak punya kedekatan langsung dengan masyarakat miskin (Robison dan Hadiz, 2004). Sejumlah catatan ini menggambarkan bagaimana ketidakpastian dan kesulitan telah meluas ke dalam berbagai segmen masyarakat, mulai dari mereka yang berada di lapis terbawah hingga mereka yang selama ini secara longgar disebut sebagai “kelas menengah”.

Dalam iklim inilah narasi ABI bisa menemukan tempat. Narasi ABI memiliki resonansi dengan pengalaman keseharian masyarakat yang seringkali dihinggapi oleh ketidakpastian dan kesulitan. Meski demikian, hadirnya narasi populisme sayap-kanan sebagai suatu cerita mengenai dunia hanya dimungkinkan sejauh narasi pluralisme yang hegemonik menemui batasnya.

(15)

ketimpangan sebagai sesuatu yang tak diperhatikan dan tak terjelaskan. Kedua, narasi ini juga sukar menjelaskan minimnya akses yang dimiliki suatu kalangan terhadap arena politik. Narasi ini kesulitan menjelaskan mengapa suara seseorang tak terdengar dan tak berpengaruh. Skema narasi ini lagi-lagi akan memahami pertanyaan tersebut dalam kerangka pergulatan politik pengakuan identitas di dalam suatu masyarakat. Solusinya, stigma yang melandasi tindakan diskriminasi mesti dihapuskan.

Di saat yang sama, kedua celah ini bertemu dengan salah satu ciri mendasar dari narasi pluralisme kontemporer: “interpelasi” identitas (Laclau dan Mouffe, 2001; Althusser, 2014; Zizek, 1989; bdk. Foucault, 1982, 1990). Seperti yang sudah diuraikan pada dua bagian sebelumnya, narasi bekerja bukan hanya dengan cara membentuk realitas, melainkan juga dengan memberi identitas kepada manusia yang hidup di dalam realitas itu. Argumentasi Brown (2008) menjadi penting dalam konteks ini. Menurutnya, narasi pluralisme menuntut seseorang untuk memahami dirinya berdasarkan identitas kultural yang dimilikinya: ras, gender, agama, etnis, dan lain sebagainya. Aspek ini merupakan bagian fundamental yang memungkinkan narasi pluralisme bekerja. Untuk bisa menoleransi seorang Nasrani, seseorang mula-mula mesti menyadari bahwa dirinya Islam dan bahwa orang lain adalah Nasrani. Tanpa menyadari identitas kultural masing-masing dan melihat diri sendiri dalam lensa itu, tak akan ada perbedaan apapun yang bisa ditoleransi (Fiala, 2005; Forst, 2006; Mendus, 1988; McKinnon, 2006; lihat juga Forst dan Brown, 2014). Oleh karenanya, agenda politik rekognisi memiliki dua sisi. Meski agenda ini memungkinkan adanya penghormatan terhadap identitas seseorang, hegemoni agenda rekognisi juga membelah masyarakat berdasarkan identitas kultural mereka (Fraser, 1987, 1995, 2000). Dalam kondisi ini, muncul apa yang kerap disebut sebagai “kulturalisasi politik”. Seiring dengan terkulturalisasinya politik, kontestasi terjadi di antara berbagai kelompok yang masing-masing menggunakan identitas kultural sebagai basis kediriannya. Politik menjadi tak lebih dari sekadar pertentangan di antara berbagai perbedaan cara hidup di antara kultur-kultur berbeda (Zizek, 2009; Brown, 2008; lihat juga Zizek, 2002; Wolff et. al. 1970; Marcuse, 1991).

(16)

seseorang untuk terus melihat dirinya sendiri dalam kacamata identitas kultural yang dimilikinya--‘Islam’, ‘pribumi’, ‘Betawi’, dan seterusnya—serta berpolitik dalam kerangka itu. Padahal, permasalahan ketimpangan yang dihadapi oleh masyarakat tak dapat diselesaikan dalam kerangka politik kultural yang dipromosikan oleh narasi pluralisme. Kerentanan seringkali tersebar di dalam masyarakat tanpa mengikuti alur pembelahan identitas kultural. Kerentanan itu sebagian besar juga tak diciptakan oleh adanya suatu agenda ekonomi-politik yang berangkat dari diskriminasi identitas. Di Indonesia, kerentanan menguat seiring dengan tercerabutnya masyarakat dari akses terhadap sumber daya— khususnya tanah—sementara di sisi lain tidak terdapat cukup lapangan kerja yang bisa menyediakan jaminan kesejahteraan bagi mereka. Oleh karenanya, sebagai narasi yang hegemonik dalam gelanggang politik Indonesia, narasi pluralisme tak dapat membuat dirinya menjadi relevan dalam isu redistribusi kesejahteraan. Narasi pluralisme tak bisa mengintegrasikan fenomena kerentanan ke dalam skema penjelasannya mengenai realitas dan, konsekuensinya, menjadikan pengalaman atas kerentanan sebagai sebuah peristiwa, sebagai sesuatu yang tak sepenuhnya terjelaskan. Meskipun permasalahan ini barangkali tak akan timbul dalam masyarakat yang tidak mempunyai masalah ketimpangan, meluasnya kesulitan untuk memperoleh kesejahteraan akan membuat narasi ini rapuh dan terbuka terhadap kemungkinan dislokasi.

(17)

dilupakannya syariat menjadi sejumlah penjelasan yang justru hadir untuk mengurai pertanyaan-pertanyaan tersebut. Sementara narasi populisme sayap-kanan ini menemui banyak resonansi dengan pengalaman keseharian mereka yang diwarnai dengan ketidaksetaraan, ketidakberdayaan, dan ketertinggalan, narasi pluralisme tak punya banyak hal untuk dikatakan.

Kesimpulan

Artikel ini berusaha mengatakan bahwa kemunculan rentetan ABI bisa dipahami sebagai efek dari dislokasi yang dialami narasi pluralisme, khususnya di kalangan kelas sosial yang paling rapuh di dalam masyarakat. Narasi pluralisme tak dapat memberikan penjelasan tentang mengapa kesulitan hidup enggan menghilang sembari di saat yang sama tak mampu melengkapi mereka dengan bahasa yang mampu membantu mereka menyuarakan kepentingan mereka. Narasi populisme sayap-kanan hadir untuk mengisi celah yang ditinggalkan oleh narasi pluralisme ini. Di tengah minimnya data primer mengenai ABI, argumentasi ini tentu saja lebih tepat diperlakukan sebagai suatu perkiraan yang kasar atas fenomena ABI, alih-alih sebagai suatu argumentasi yang sepenuhnya presisi.

Satu hal penting yang belum dieksplorasi oleh artikel ini adalah ketiadaan agenda alternatif selain narasi pluralisme dan populisme sayap-kanan yang dapat mengisi celah narasi pluralisme. Masuknya narasi populisme sayap-kanan, selain dimungkinkan oleh melemahnya narasi pluralisme, juga dimungkinkan oleh ketiadaan narasi alternatif yang bukan hanya bisa memberikan jawaban bagi keresahan yang meluas, tetapi juga cukup kuat untuk bersaing dan menjadi hegemonik dalam arena politik.

(18)

ekonomi-politik. Hal ini tak serta-merta membuat agenda politik pluralisme menjadi tak bermakna dan mesti ditinggalkan. Pertanyaan yang mesti diurai justru adalah bagaimana menautkan “politik kesejahteraan” dengan “politik pengakuan”; antara kesetaraan sumber daya dan kesetaraan identitas. Berbagai jawaban telah berusaha disodorkan untuk menjawab pertanyaan ini (lihat, misalnya, Fraser (1995, 2000) dan Harvey (2000)). Menemukan jawaban yang tepat bagi pertanyaan ini akan menentukan kemana masyarakat Indonesia akan bergerak di masa depan.

vwv

Daftar Pustaka

Althusser, Louis. On the Reproduction of Capitalism: Ideology and Ideological State Apparatuses. London ; New York: Verso, 2014.

Azca, Najib. “After Jihad: A Biographical Approach Toward Passionate Politics in Indonesia,.” Ph.d thesis. Amsterdam Institute for Social Science Research, 2011.

Bakker, Laurens. “Organized Violence and the State: Evolving Vigilantism in Indonesia.” Bijdragen tot de taal-, land- en volkenkunde / Journal of the Humanities and Social Sciences of Southeast Asia 172.2–3 (2016): 249–277. Brown, Wendy. Regulating Aversion: Tolerance in the Age of Identity and Empire.

Princeton, N.J.; Woodstock: Princeton University Press, 2008.

_____. The Power of Tolerance: A Debate. New York: Columbia University Press, 2014.

Fiala, Andrew. Tolerance and the Ethical Life. London: Continuum, 2007.

Forst, Rainer. Toleration in Conflict: Past and Present. Cambridge ; New York: Cambridge University Press, 2013.

Foucault, Michel. The Archaeology of Knowledge. New York, NY: Pantheon Books, 1982.

_____. The History of Sexuality. Vintage Books ed. New York: Vintage Books, 1990.

Fraser, Nancy. “From Redistribution to Recognition: Dilemma of Justice in Post-Socialist Age.” New Left Review 212 (1995): 68–93.

_____. “Rethinking Recognition.” New Left Review 3 (2000): 107–120.

_____. “Women, Welfare and The Politics of Need Interpretation.” Hypatia 2.1 (1987): 103–121.

(19)

Hadiz, Vedi R. “The Organizational Vehicles of Islamic Political Dissent: Social Bases, Genealogies and Strategies.” Between Dissent and Power. Ed. Khoo Boo Teik, Vedi R. Hadiz, and Yoshihiro Nakanishi. London: Palgrave Macmillan UK, 2014. 42–65.

Harvey, David. Cosmopolitanism and the Geographies of Freedom. New York: Columbia University Press, 2009.

Harvey, David. Justice, Nature, and the Geography of Difference. Cambridge, Mass: Blackwell Publishers, 1996.

_____. Spaces of Capital: Towards a Critical Geography. New York: Routledge, 2001

_____. Spaces of Hope. Berkeley: University of California Press, 2000.

_____. The Condition of Postmodernity: An Enquiry into the Origins of Cultural Change. Oxford Cambridge: Blackwell, 1989.

_____. The Limits to Capital. New York: Verso, 2006.

_____. The New Imperialism. Oxford; New York: Oxford University Press, 2005. Hasibuan, Dana, and Rizky Alvian. “Citizenship and the Politics of Space in Indonesia: Reflections on the Politics of Pluralism in DI Yogyakarta.” Yogyakarta, Indonesia: KITLV-UGM, 2016.

Hassan, Noorhaidi. “Laskar Jihad: Islam, Identity, and the Quest for Identity.” Ph.d thesis. Utrecht University, 2005.

Homer, Sean. Jacques Lacan. London ; New York: Routledge, 2005.

Klinken, Gerry van, and Ward Berenschot. In search of Middle Indonesia: kelas menengah di kota-kota menengah. Jakarta: KITLV-Jakarta dan Yayasan

Pustaka Obor Indonesia, 2016. .

Laclau, Ernesto. On Populist Reason. London: Verso, 2007.

Laclau, Ernesto, and Chantal Mouffe. Hegemony and Socialist Strategy: Towards a Radical Democratic Politics. 2nd ed. London ; New York: Verso, 2001. Marcuse, Herbert. One-Dimensional Man: Studies in the Ideology of Advanced

Industrial Society. Boston: Beacon Press, 1991.

Marx, Karl, Ben Fowkes, and David Fernbach. Capital: A Critique of Political Economy. London ; New York, N.Y: Penguin Books in association with New Left Review, 1981. .

McKinnon, Catriona. Toleration: A Critical Introduction. London ; New York: Routledge, 2006.

Mendus, Susan. Justifying Toleration: Conceptual and Historical Perspectives. N.p., 1988.

(20)

_____. On the Political. London ; New York: Routledge, 2005. _____. The Democratic Paradox. London ; New York: Verso, 2000.

Robison, Richard, and Vedi R. Hadiz. Reorganising Power in Indonesia: The Politics of Oligarchy in an Age of Markets. London ; New York: RoutledgeCurzon, 2004.

Smith, Neil. Uneven Development: Nature, Capital, and the Production of Space. 3rd

ed. Athens: University of Georgia Press, 2008.

Stavrakakis, Yannis. Lacan and the Political. London ; New York: Routledge, 1999. Thinking the Political.

Subkhan, Imam. Hiruk Pikuk Wacana Pluralisme Di Yogya: City of Tolerance. Yogyakarta, Indonesia: Penerbit Kanisius : Impulse, 2007.

Telle, Kari. “Vigilante Citizenship: Sovereign Practices and the Politics of Insult in Indonesia.” Bijdragen tot de taal-, land- en volkenkunde / Journal of the Humanities and Social Sciences of Southeast Asia 169.2–3 (2013): 183–212. Toscano, Alberto. Fanaticism: On the Uses of an Idea. London ; New York: Verso,

2010.

Wilson, Ian. “Reconfiguring Rackets: Racket Regimes, Protection and the State in Post-New Order Jakarta.” The State and Illegality in Indonesia. Brill, 2011. 239–259.

Wilson, Ian. “Resisting Democracy: Front Pembela Islam and Indonesia’s 2014 Elections.” ISEAS Perspective 10 (2014)

Wolff, Robert Paul, Barrington Moore, and Herbert Marcuse. A Critique of Pure Tolerance. 5th ing. Boston: Beacon Press, 1970.

Žižek, Slavoj. “A Plea for Leninist Intolerance.” Critical Inquiry 28.2 (2002): 542–566.

Referensi

Dokumen terkait

I serta memperbaikinya agar tidak terulang kembali pada siklus II sehingga mampu mencapai hasil penelitian seperti yang diharapkan adalah dosen harus sering

Darmasaba. Tradisi ini sampai sekarang masih dipertahan dan tradisi ini dilakukan setiap wrespati ngepik yaitu hari kamis. Tradisi Ngerebeg masih bertahan sampai

Monalisa, S.Hut PNS Jorong Koto Nagari Simalanggang Kecamatan Payakumbuh Kabupaten Lima Puluh Kota Provinsi Sumatera Barat Email : monals_eipb@yahoo.com - - -.. Telp :

Kondisi tersebut menunjukkan bahwa diklat responden yang ada di koperasi adalah secara umum diatas hanya dibidang akuntansi dasar dan manajemen yang secara spesifik

Manfaaat penelitian ini adalah untuk memberikan informasi tentang struktur morfologi dan anatomi keong tutut, dan prosedur dalam penelitian ini dapat digunakan sebagai

Ada yang peduli dan ada yang seperti biasa saja, masyarakat cenderung tidak peduli dengan perilaku yang aparat lakukan, yang penting urusan selesai Dari 20 responden

Analisis tanah dilakukan pada tanah sebelum inkubasi dan setelah inkubasi dengan masing-masing perlakuan dengan beberapa parameter analisis yaitu analisis tekstur

bostadsbidrag för pensionstagare, allmänt bostadsbidrag, bostadstillägg till studiestödet och bostadsunder- stöd i samband med militärunderstödet.. År 2015 betalade FPA sammanlagt