INTELIGENSI (Teori)
31
JAN2013Tinggalkan komentarby primasuci in Perkembangan Anak BAB I
PENDAHULUAN A. Latar Belakang
Inteligensi atau kecerdasan merupakan salah satu bagian terpenting dalam proses pertumbuhan dan perkembangan seorang individu selama masa hidupnya. Dengan inteligensi seseorang dapat menyesuaikan dirinya dengan lingkungan pendidikan maupun masyarakat sekitar. Tingkat kecerdasan seseorang biasanya di ukur dengan alat ukur psikologis sehingga nantinya menghasilkan skor kecerdasan. Hasil dari pengukuran itu sendiri, yang pada umumnya disebut dengan IQ (Intelligence Quotient). Lamanya masa kehamilan hingga persalinan merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi inteligensi. Hal ini menentukan lengkap atau tidaknya dan sempurna atau tidaknya organ-organ dalam individu dapat berkembang dengan baik. Proses kelahiran tepat waktu maupun kelahiran prematur menjadi penentu kecerdasan seseorang dengan segala proses perkembangan selanjutnya setelah bayi dilahirkan. Para ahli mengatakan bahwa keberhasilan belajar dipengaruhi oleh banyak faktor yang bersumber dari dalam diri (internal) maupun dari luar (eksternal) individu. Faktor internal meliputi keadaan fisik secara umum. Sedangkan psikologi meliputi variable kognitif termasuk di dalamnya adalah kemampuan khusus (bakat) dan kemampuan umum (intelegensi). Variabel non kognitif adalah minat, motivasi, dan variabel–variabel kepribadian. Faktor eskternal meliputi aspek fisik dan sosial. Kondisi tempat belajar, sarana dan perlengkapan belajar, materi pelajaran dan kondisi lingkungan belajar merupakan aspek fisik. Sedangkan dukungan sosial dan pengaruh budaya termasuk aspek sosial.
Keberhasilan atau prestasi belajar ditentukan oleh interaksi berbagai faktor. Peranan faktor penentu itu tidak selalu sama dan tetap. Besarnya kontribusi salah satu faktor akan ditentukan oleh kehadiran faktor lain dan sangat bersifat situasional, yaitu tidak dapat diprediksikan dengan cermat akibat keterlibatan faktor lain yang sangat variatif. Inteligensia sebagi unsur kognitif dianggap memegang peranan yang cukup penting. Bahkan kadang–kadang timbul
anggapan yang menempatkan inteligensia pada peranan yang melebihi proporsi yang sebenarnya.
dan diterapkan di masyarakat atau lembaga pendidikan, khususnya bagi mahasiswa yang membacanya.
B. Rumusan Masalah
1. Apakah hakikat Intelligensi? 2. Bagaiman teori-teori Intelligensi? 3. Apakah Emotional Intelligence? 4. Apakah Spiritual Intelligence? C. Tujuan
1. Menjelaskan hakikat Intelligensi. 2. Menjabarkan teori-teori Intelligensi. 3. Menjelaskan Emotional Intelligence. 4. Menjelaskan Spiritual Intelligence. BAB II
PEMBAHASAN
A. Hakikat Intelligensi
Inteligensi merupakan topik yang biasanya menarik perhatian para orang tua, guru, dan para profesional. Akan tetapi, berbicara tentang hakikat inteligensi, sampai saat ini belum ada definisi yang standart yang dapat mengungkapkan arti inteligensi secara tepat.
Inteligensi bukan merupakan kata asli yang berasal dari bahasa Indonesia. Kata inteligensi adalah kata yang berasal dari bahasa latin yaitu “ inteligensia “. Sedangkan kata “ inteligensia “ itu sendiri berasal dari kata inter dan lego, inter yang berarti diantara, sedangkan lego berarti memilih. Sehingga inteligensi pada mulanya mempunyai pengertian kemampuan untuk memilih suatu penalaran terhadap fakta atau kebenaran.
Inteligensi berasal dari kata Latin ‘intelligere’ yang berarti menghubungkan atau menyatukan satu sama lain (to organize, to relate, to bind together). Masyarakat umum mengenal inteligensi sebagai istilah yang menggambarkan kecerdasan, kepintaran, ataupun kemampuan untuk memecahkan problem yang dihadapi.
Untuk memperjelas pengertian inteligensi, maka penulis memaparkan beberapa definisi inteligensi yang di kemukakan oleh beberapa ahli psikologi maupun pendidik diantaranya :
a. Menurut Verman Inteligensi merupakan hasil interaksi antara faktor genetis dan faktor lingkungan pra lahir maupun lingkungan pasca lahir: inteligensi tidak tampak dari luar tetapi tercermin dalam tingkah laku individu baik dalam bentuk tindakan-tindakan, ucapan-ucapan, maupun pikiran-pikiran sebagai seorang yang inteligen atau seorang yang tidak inteligen.
b. Menurut Sperman berpendapat bahwa inteligensi merupakan suatu kemampuan umum.
dampaknya tampak dalam kehidupan sehari-hari. Ia mendapatkan “jejak” adanya individu-individu yang cerdas dan yang kurang cerdas. Seperti yang dikemukakan oleh Binet bahwa usaha untuk mengetahui atau meneliti inteligensi adalah ibarat seorang yang berburu ke hutan untuk mencari binatang buruan yang tidak seorang pun pernah melihatnya. Tetapi seorang yakin bahwa binatang buruan tersebut ada dan pasti akan muncul karena ulahnya yang tampak dalam kehidupan sehari-hari dengan merusak kandang-kandang ayam penduduk, tetapi tidak seorang pun dapat mendeskripsikannya dengan jelas. Menurut binet bahwa inteligensi bukan merupakan kapasitas tunggal, melainkan merupakan kemampuan yang kompleks.
d. Menurut Terman berpendapat bahwa individu yang cerdas adalah individu yang dapat menggunakan kemampuannya untuk berfikir secara abstrak. Di sini dibedakan adanya kecakapan yang berhubungan dengan lambang, dihubungkan antar masalah dan cara mengatasi suatu masalah.
e. Menurut Freeman menggolongkan denifisi inteligensi menjadi tiga golongan diantaranya :
1) Inteligensi sebagai kemampuan untuk menyesuaikan diri terhadap lingkungannya.
2) Inteligensi sebagai kemampuan untuk belajar.
3) Inteligensi sebagai kemampuan untuk berfikir abstrak dalam arti dapat mengenal dan menggunakan lambang-lambang secara efektif, baik yang berupa symbol verbal maupun symbol bilangan.
f. Menurut Amthauer menemukan “jejak-jejak” inteligensi antara individu yang satu dengan yang lainnya saling berlainan. Menurutnya inteligensi adalah suatu aspek kepribadian yang merupakan bagian kehidupan individu sehari-hari, sebagai aspek psikologis yang terdapat dalam diri individu. Inteligensi merupakan sesuatu yang abstrak yang tidak tampak di luar.
g. Menurut Chaplin , mendefinisikan inteligensi sebagai, (a) kemampuan menghadapi dan menyesuaikan diri terhadap situasi baru secara cepat dan efektif; (b) kemampuan menggunakan konsep abstrak secara efektif; dan (c) kemampuan memahami pertalian-pertalian dan belajar dengan cepat sekali. Ketiga perumusan ini sama sekali tidak terlepas satu sama lain ketiganya hanya menekankan aspek-aspek yang berbeda dari prosesnya.
h. Menurut Woodworth , mendefinisikan inteligensi sebagai kemampuan umum untuk memecahkan masalah-masalah intelektual atas dasar hasil belajar masa lampau dan kemampuan untuk memahami dan mengerti hakekat hidup masa kini.
i. Wechsler mendefinisikan inteligensi sebagai:
“Intelligence is the aggregate or global capacity of the individual to act
untuk dapat bertingkah laku secara terarah, berpikir secara rasional, serta berhubungan secara efektif dengan lingkungannya.
Wechsler mengemukakan tiga alasan mengapa pernyataan di atas diajukan : a. Hasil dari perilaku inteligen bukan hanya merupakan suatu fungsi dari sejumlah kecakapan atau kualitas kecakapan tersebut, tapi juga tergantung pada konfigurasi kecakaan-kecakapan tersebut (cara kecakapan kecakapan tersebut dikombinasikan).
b. Ada faktor-faktor selain kecakapan intelektual, misalnya dorongan (drive) dan hadiah (incentive), yang melebur dengan perilaku inteligen.
c. Karena tingkah laku inteligen mempersyaratkan berbagai derajat kecakapan intelektual, maka kecakapankecakapan tertentu bisa saja memberikan
sumbangan yang kurang berarti terhadap perilaku sebagai suatu keseluruhan. Berdasarkan definisi tersebut maka dapai disimpulkan bahwa Inteligensi merupakan suatu kemampuan umum dan kompleks yang dimiliki individu dari faktor genetis maupun lingkungan yang mempengaruhinya untuk dapat berfikir secara abstrak, menyesuaikan diri belajar, memahami hakikat hidup dan
mengatasi suatu masalah secara terarah, rasional, dan efektif.
Inteligensi merupakan suatu fungsi, dalam arti faktor-faktor yang menentukan inteligensi merupakan suatu fungsi secara keseluruhan. Faktor-faktor tersebut meliputi pembawaan, kematangan dan pembentukan.
1. Faktor Pembawaan
Faktor pembawaaan merupakan faktor pertama yang berperan di dalam
inteligensi. Semua individu membawa sifat-sifat tertentu sejak lahir. Sifat-sifat alami ini yang menentukan pembawaan kita. Contohnya, terdapat anak-anak yang dengan susah payah dapat mengikuti pelajaran di bangku sekolah dasar (SD), termasuk ada yang dengan sangat mudahnya dapat mencapai gelar di universitas. Tetapi di sisi lain, betapapun giatnya mengikuti pelajaran-pelajaran tambahan di luar sekolah sekalipun, namun ada anak-anak yang tidak sanggup mengikuti pelajaran yang lebih tinggi dari SD. Artinya, mereka tidak memiliki kesanggupan yang memadai untuk mengikuti pelajaran, berkaitan dengan kekurangan faktor pembawaan.
2. Faktor Kematangan
Andaikata anak itu normal dan berusia sekitar ± 14 tahun, besar kemungkinan hitungan itu tidak akan sulit diselesaikan.
3. Faktor Pembentukan
Faktor pembentukan, yakni perkembangan di bawah pengaruh
keadaan-keadaan dari luar. Misalnya, seorang anak normal yang berusia 14 tahun, pada umumnya tidak akan menjumpai kesulitan dengan persoalan hitungan
sederhana. Akan tetapi, tidak setiap anak normal 14 tahun dapat membuat hitungan seperti itu. Jika anak itu tinggal di sebuah dusun yang terpencil dan tidak pernah bersekolah, ia akan sulit menyelesaikan hitungan tersebut, sekalipun ia telah memiliki kematangan untuk hitungan tersebut. Jadi
pembentukan merupakan faktor yang sangat penting dalam inteligensi. Dan dalam pembentukan, sekolah dan lingkungan memegang peranan yang sangat penting.
B. Berbagai Teori Intelligensi
Penjelasan teori menunjukkan kepada tokoh-tokoh yang membahas tentang teori inteligensi. Di antara para ahli yang dapat disebutkan di sini adalah dari Spearman, Thurstone, Guildford, Cattel and Horn, Strenberg dan Gardner. Pada dasarnya teori-teori tersebut dikembangkan berdasarkan dua pendekatan: (1) teori yang dikembangkan oleh Spearman, Thurstone, Guildford, dan Cattel and Horn, yaitu teori inteligensi yang menerapkan teknik statistik, yaitu anlisis faktor; (2) teori yang dikembangkan oleh Stenberg dan Gardner, yaitu teori berdasarkan proses penggunaan informasi dalam pemecahan masalah (Papalia & Olds dalam Jamaris)
1. Teori Inteligensi Spearman
Charles Spearman ( 1863-1945) merupakan seorang ahli psikologi British. Spearman (1927) telah menggunakan analisis statistik (analisis faktor) untuk menentukan daerah korelasi di antara prestasi-prestasi dalam berbagai tugas. Sekiranya prestasi dalam tugas-tugas tertentu mempunyai korelasi positif yang tinggi, yang diwujudkannya dengan mencerminkan pengaruh faktor yang mendasarinya. Dengan itu, beliau menyatakan bahawa kecerdasan adalah keupayaan umum yang mendasari berbagai tingkah laku. Maksudnya,
kecerdasan mempunyai satu faktor dasar (umum) yang sama iaitu kecerdasan umum ( g -general intelligence). Menurut beliau, individu yang cerdas dalam sesuatu bidang akan turut cerdas dalam bidang-bidang yang lain. Dengan menggunakan kaedah statistik korelasi, beliau mendapati bahwa terdapat korelasi yang tinggi di antara aspek-aspek kecerdasan yang berkaitan. Ini kerana, mengikut beliau terdapat kecerdasan umum yang mendasari korelasi tersebut. Contohnya, sekiranya prestasi ujian perbendaharaan kata, ujian bacaan, dan ujian tulisan adalah berkorelasi positif secara tinggi, maka kesemua ini mencerminkan pengaruh faktor umum iaitu “keupayaan
(G).
Analisis faktor adalah suatu bentuk teknik statistik yang digunakan untuk menemukan hubungan yang ada diantara dua jenis variabel yang kelihatannya ada hubungan. Dalam faktor analisis dapat diketahui korelasi di antara variabel atau dua faktor. Hubungan tersebut dapat berbentuk; (1) hubungan positif, (2) hubungan negatif, (3) tidak ada hubungan. Apabila hubungan diantara dua faktor tersebut adalah positif dan negatif maka hubungan kedua faktor tersebut sangat tinggi. Spearman menggunakan teknik ini untuk mengukur kemampuan kognitif anak.
Charles Spearman adalah seorang ahli matematika berkebangsaan Inggris. Pada tahun 1904, Speaman mengemukakan teori dua-faktor.
Faktor pertama seperti yang dikemukakan oleh Stern, yaitu kapasitas umum. Hubungan teori Spearman dan Stern adalah digunakannya huruf yang sama. Spearman menggunakan huruf g, sedangkan Stern menggunakan huruf G untuk menggambarkan kemampuan umum inteligensi. Tetapi Spearman tidak seperti Stern, yang hanya menggambarkan G sebagai satu faktor tunggal. Spearman lebih jauh membahas bahwa inteligensi merupakan komposisi faktor umum (g) yang mendasari fungsi-fungsi mental dan faktor-faktor khusus (s) yang
berhubungan dengan tugas-tugas dan situasi.
Dalam teori Spearman, orang berbeda karena tingkat faktor umum dan karena faktor-faktor khusus yang terlibat dalam suatu tugas sehingga seseorang dapat memiliki inteligensi yang lebih daripada orang lain. Hal ini mungkin disebabkan karena seseorang tinggi di bidang g dan rendah di bidang s.
Dalam inteligensi faktor g adalah faktor yang berkaitan dengan intelligensi umum, yang merupakan kapasitas intelligensi yang dibawa sejak lahir dan mempengruhi seluruh kemampuan individu. Faktor spesifikasi berkaitan dengan kemampuan khusus seperti, perbedaan skor dalam tes yang berbeda.
Ia mulai dengan g (kapasitas umum), kemudian menelitinya dengan metode-metode statistik. Akhirnya ia mengambil intinya s (inteligensi khusus) yang tidak sama dengan inteligensi umum dalam berbagai hal. Dengan demikian penyelidikan Spearman memisahkan faktor g dengan faktor-faktor s.
Pada gambar 2.1, s1 s2 dan s3 menunjukkan jenis inteligensi khusus yang porsinya tidak sama dengan faktor umum. Porsi inteligensi yang sama dengan faktor general ditunjukkan dengan adanya arsir berwarna abu-abu. Yang diarsir dari s1 dan g lebih besar daripada yang diarsir di daerah s2 dan g. Perbedaan ini sengaja dibuat untuk menunjukkan bahwa s2 lebih independen daripada s1 terhadap g.
sama jumlah faktor snya, sedangkan ukuran atau ruang dan bentuk faktor-faktor s itu yang berbeda antara orang satu dengan orang lainnya.
Apabila diikhtisarkan, teori Spearman tentang teori perbedaan individual adalah sebagai berikut:
a. Orang memiliki jumlah g (kapasitas general) yang berbeda. b. Dalam diri seseorang, jumlah faktor-faktor s berbeda. c. Orang memiliki perbedaan jumlah dan jenis faktor g dan s.
Spearman tidak memberikan nama tertentu terhadap faktor g dan faktor-faktor s ini. Ia hanya menyebutkan bahwa faktor g adalah energy mental umum yang dimiliki individu. Sedangkan faktor s merupakan pola syaraf atau mesin yang bekerja melalui faktor g.
Namun demikian Spearman tidak menstabilisasikan ide-idenya. Sebagai seorang yang ahli statistik, ia kemudian menyempurnakan teknik dan metode korelasinya.
Teori ini merupakan hasil akhir pembahasan Spearman. Kita lihat dalam gambar, bahwa s4 dan s5 memiliki “overlapping” (tumpangtindih). Daerah itu membuat dua ide baru; daerah arsiran lebih hitam, sebagai tiga gabungan faktor g, s4 dan s5 dan daerah lebih kelabu yang merupakan gabungan s4 dan s5 saja. Spearman tidak pemah memberikan arti terhadap daerah yang diarsir lebih hitam untuk faktor g, s4 dan s5 . Kita hanya dapat meraba-raba saja. Kita hanya tahu bahwa hal ini merupakan salah satu kemajuan pembahasannya saja. Dia hanya memberikan nama “faktor’ kelompok,” yang jumlahnya ada 5 daerah. Dia memberikan namanama untuk masing-masing daerah: kemampuan verbal, kemampuan numerikal, kemampuan mekanikal, perhatian, dan imaginasi. Imaginasi ini disebut kecepatan mental. Pada akhirnya Spearman memberikan nama dan tanda untuk 3 daerah non-intelektual itu. Nama-nama dan tanda-tanda tersebut adalah:
a. “perseveration” ( P ) atau ketabahan/keteguhan hati. b. “oscillation” ( 0 )atau kegoncangan
c. “will factor” (W) atau keinginan.
Dengan demikian, kita lihat bahwa teori inteligensi telah mengalami kemajuan dari teori “sesuatu yang tunggal” (Stern) yang mengungkapkan kemampuan memecahkan masalah, menuju ke teori yang lebih kompleks (Spearman) yang menunjukkan bahwa inteligensi kita berisi kemampuan umum dan 5
kemampuan khusus.
2. Teori Inteligensi Thurstone
Thurstone (1938) adalah orang Amerika yang bersama isterinya Thelma Gwinn Thurstone, merupakan ahli di bidang psikologi statistik. Di samping sebagai ahli psikologi, mereka adalah ahli statistik yang brilian.
menyelenggarakan 56 tes dengan hasil tidak ada faktor inteligensi umum. Thurstone mengambil kesimpulan bahwa tidak ada faktor umum dalam inteligensi. Inteligensi adalah sejumlah kemampuan mental yang bersifat primer. Penelitiannya menunjukkan bahwa kemampuan mental dapat
dikelompokkan menjadi 7 faktor. Inteligensi dapat diukur dengan mengambil sample ‘performance’ atau penampilan/prestasi individu melalui 7 bidang: a. kemampuan di bidang angka, yaitu kecepatan dan ketepatan dalam perhitungan aritmatika sederhana
b. kemampuan dalam kelancaran kata, yaitu kecepatan menyebutkan kata-kata dalam kategori tertentu, misalnya menyebutkan nama makanan yang dimulai dengan huruf s.
c. kemampuan dalam ingatan asosiatif, yaitu keterampilan dalam tugas-tugas yang menuntut ingatan, misalnya belajar mengasosiasikan pasangan item-item yang tidak berhubungan
d. kemampuan dalam penalaran induktif, yaitu kemampuan menemukan hukum-hukum.
e. kemampuan dalam penguasaan ruang, yaitu memvisualisasikan bagaimana objek tiga dimensi dapat tampak jika dirotasikan atau dipecah-pecahkan.
f. kemampuan dalam pemahaman verbal, yaitu kemampuan dalam jumlah kosa kata, pemahaman bacaan, dan analogi verbal.
g. kemampuan dalam kecepatan perceptual, yaitu kemampuan dalam tugas-tugas klerikal sederhana, seperti memeriksa kesamaan dan perbedaan detail visual.
Thurstone mengasumsikan bahwa kombinasi faktor-faktor itu muncul dalam “performance” (penampilan/prestasi) pada berbagai tugas intelektual. Konsepnya sampai kini masih digunakan da1am tes yang disebut tes
“Kemampuan Mental Primer.” Teori inteligensi Thurstone banyak disebut para penulis sebagai teori “multi-faktor”.
a. Jumlah Kemampuan mental primer pada teori Thurstone.
b. Hubungan masing-masing kemampuan mental primer dengan kemampuan mental primer lainnya.
c. Hubungan antara kemampuan mental primer dengan kemampuan mental general (umum).
Ke-3 ide dasar tersebut akan dibahas satu persatu, untuk memperoleh gambaran tentang teori inteligensi Thurstone.
maka ia akan memperoleh skor yang tinggi pula dalam kemampuan mental yang lainnya.
Ad.1. Jumlah Kemampuan Mental Primer.
Terdapat 7 Kemampuan mental yang terpisah-pisah; angka, penguasaan kata, arti verbal, memori, penalaran, ruang dan kecepatan perseptual. Kecepatan mental masing-masing tidak ditentukan secara aktual oleh Thurstone dalam penelitiannya. Tetapi kemampuan ini dimasukkan karena ada hubungannya dengan testing di masa-masa mendatang.
Berbeda dengan tes-tes yang biasa dilaksanakan dengan pelemparan dadu atau kartu, Thurstone secara arbitrare menggunakan 60 sub-tes untuk ujian. Ujian ini dilaksanakan, dengan teknik statistik yang disebutnya analisa faktor. Dengan menggunakan metode ini, ia menyempurnakan 60 sub-tes itu menjadi 2. Tetapi oleh para ahli psikologi 21 tes tersebut hanya 11 tes yang biasa digunakan untuk mengukur kemampuan mental primer.
Ad 2. Hubungan Antar Kemampuan Mental Primer.
Masing-masing kemampuan mental telah digambarkan sedemikian rupa, sehingga nampak kaitan antar masing-masing kemampuan mental primer dengan kemampuan yang lain. Persilangan tersebut menunjukkan hubungan satu, sama lain secara positif. Di dalamnya terdapat angka angka, yang menunjukkan koefisien korelasi. Bukan tugas kita untuk mencari koefisien korelasi tersebut. Koefisien korelasi ini menunjukkan koefisien korelasi antar kemampuan mental yang saling berkaitan. Thurstone telah menguji koefisien korelasi tersebut dengan caranya sendiri.
Ada 2 set kemampuan mental yang memiliki koefisien korelasi yang sama besar, yaitu:
a. Penalaran dengan angka.
b. Penalaran dengan penguasaan kata. Keduanya memiliki koefisien korelasi 0,54.
Dua kemampuan mental yang memiliki koefisien korelasi kecil adalah ruang dan memori. Korelasi dari kedua kemampun mental tersebut hanya 0,14.
Kemampuan mental yang tidak memiliki korelasi sama sekali adalah kecepatan perseptual, sebab Thurstone tidak menunjukkannya.
Ad 3. Hubungan antara Kemampuan-kemampuan Mental Primer dengan Kemampuan Umum.
Semua kemampuan mental primer setelah berjalan horizontal, kemudian
kemampuan mental umum (0,33). Sedangkan yang tidak ada korelasi sama sekali adalah kecepatan perseptual dengan kemampuan mental umum, karena Thurstone tidak menunjukkannya.
Hasil korelasi pada gambar 4.5, tidak sama dengan hasil tes dari studi lainnya dengan responden yang berbeda. Dalam memandang kemampuan mental umum (G), Thurstone mempertanyakan; “Apakah faktor umum yang unik itu dapat ditentukan?.” Pertanyaan ini menimbulkan kekhawatiran pada konsep Spearman. Seperti telah kita ketahui bahwa Spearman mulai bahasannya dengan premis sebuah faktor general. Kemudian Spearman mengembangkan lebih lanjut bahwa faktor-faktor khusus dapat muncul di luar faktor general ini. Sedangkan Thurstone berangkat dari faktor-faktor primer atau kemampuan mental primer kemudian menuju pada kemampuan mental umum. Setidak-tidaknya dua teori itu memiliki kesamaan. Perbedaan hanya terletak pada sistem pendekatannya. Spearman dari umum ke khusus, sedangkan Thurstone dari khusus ke umum.
Dalam teori Thurstone, kemampuan mental primer berkorelasi dengan faktor general melalui masing- masing faktor primer. Setiap kemampuan mental primer dipandang sebagai suatu kombinasi kemampuan mental independen dengan suatu kemampuan mental general. Thurstone menganggap bahwa interpretasi psikologis tentang kemampuan mental general itu hanyalah tentatif belaka. Untuk memperjelas konsep Thurstone tentang inteligensi, berikut ini dibahas khusus tentang Kemampuan Mental Primer.
3. Teori Inteligensi Guildford
J.P Guildford (1897-1987) merupakan pakar inteligensi utama dalamabad modern. Teori inteligensi yang dikemukakan menekankan multiple cognitive abilities atau kemampuan kognitif majemuk. Melalui penelitian yang dilakukan ia menemukan tiga komponen inteligensi yaitu: (1) operasi inteligensi, (2) isi inteligensi, (3) produk inteligensi (Woolfolck McCune Nicolich dalam Jamaris). , Operasi Inteligensi mencakup: kognitif, memori, berpikir divergen, berpikir konvergen dan evaluasi. Isi inteligensi mencakup: figural, symbol, semantic, dan perilaku. Produk inteligensi terdiri dari: unit, klas, relasi, system, transformasi, dan implikasi.
Hidup berarti menghadapi masalah, dan memecahkan masalah berarti tumbuh berkembang secara intelektual (J.P. Guilford) .P. Guilford mengemukakan bahwa inteligensi dapat dilihat dari tiga kategori dasar atau “faces of intellect”, yaitu : a. Operasi Mental (Proses Befikir)
1) Cognition (menyimpan informasi yang lama dan menemukan informasi yang baru).
2) Memory Retention (ingatan yang berkaitan dengan kehidupan seharihari). ///Memory Recording (ingatan yang segera).
alternatif).
4) Convergent Production (berfikir memusat atau hanya satu kemungkinan jawaban/alternatif).
5) Evaluation (mengambil keputusan tentang apakah suatu itu baik, akurat, atau memadai).
b. Content (Isi yang Dipikirkan)
1) Visual (bentuk konkret atau gambaran). 2) Auditory.
3) Word Meaning (semantic).
4) Symbolic (informasi dalam bentuk lambang, kata-kata atau angka dan notasi musik).
5) Behavioral (interaksi non verbal yang diperoleh melalui penginderaan, ekspresi muka atau suara).
c. Product (Hasil Berfikir)
1) Unit (item tunggal informasi).
2) Kelas (kelompok item yang memiliki sifat-sifat yang sama). 3) Relasi (keterkaitan antar informasi).
4) Sistem (kompleksitas bagian saling berhubungan).
5) Transformasi (perubahan, modifikasi, atau redefinisi informasi. 6) Implikasi (informasi yang merupakan saran dari informasi item lain).
Salah satu teori inteligensi multifaktor telah dikemukakan oleh Guilford (1959). Kemudian terus direvisi sampai tahun 1988. Ia menggunakan teknik “analisis faktor” statistik untuk mengembangkan model berbentuk kubus yang ia sebut sebagai model “struktur intelek” atau dalam bahasa Inggris disebut Structure of Intellect (SOI). Ia membuat hipotesis untuk mengklasifikasikan komposisi
sistem kemampuan intelektual menurut “tiga dimensi”. Sistem kemampuan intelek tersebut terdiri atas :
a. Material atau isi yang diproses b. Proses atau operasi dari material
c. Bentuk atau produk informasi yang telah diproses
Model pemikiran Guilford tentang teori inteligensi mulitifaktor tersebut dapat digambarkan sebagai berikut :
Gambar 2.4 Structure of Intellect (SOI)
Gambar 2.4 menunjukkan tiga jenis faktor intelek dalam bentuk model kubus. Secara teoritis dari model itu meliputi kategori-kategori yang berbeda-beda (5 isi x 6 operasi x 6 produk) sehingga dapat ditemukan 180 sel dalam model ini atau 180 kemampuan yang berbeda-beda. Model ini mengungkapkan bahwa inteligensi individu tidak dapat diukur dengan alat yang hanya menghasilkan skor tunggal.
Dimensi pertama, yaitu isi. Dimensi ini berisi 5 sub-kategori :
diterima (misalnya model-model, bagan, diagram dan sebagainya). b. Isi simbolik, yang menunjukkan tulisan; huruf; angka; bentuk-bentuk konvensional dan sebagainya.
c. Isi pendengaran, yang menunjukkan menerima stimulus auditory. d. Isi semantic, yang menunjukkan arti ide-ide verbal/kata-kata.
e. Isi behavioral adalah inteligensi social, yang menunjukkan kemampuan untuk menerima dan menginterpretasikan pikiran, perasaan, dan sikap orang lain. Dimensi kedua yaitu operasi. Dimensi ini berisi 6 sub-kategori :
a. Kognisi yaitu pendalaman informasi b. Memori retensi yaitu menahan informasi
c. Memori reproduksi yaitu proses pengutaraan kembali atau memproduksi kembali informasi
d. Pemikiran konvergen yaitu proses menghasilkan jawaban yang tepat dan benar dari informasi yang telahdiketahui dan diingat pada satu arah.
e. Pemikiran divergen yaitu proses pikiran terhadap arah yang berbeda-beda dan beraneka ragam dari informasi yang telah ada.
f. Evaluasi yaitu proses pengambilan keputusan atas informasi yang diterima Penerapan operasi mental ke dalam dimensi isi menghasilkan jenis produk tertentu (dimensi ke-3 model Guilford). Dimensi produk dibagi ke dalam 6 sub-kategori :
a. Unit yaitu pekerjaan mental yang terpisah misalnya kata-kata atau imaginasi khusus
b. Kelas atau kelompok-kelompok unit informasi yang ada pada karakteristik umum
c. Relasi yang menunjukkan hubungan unit-unit informasi. Misalnya “lebih tinggi daripada”, “lebih besar daripada”.
d. Sistem yang berupa penstrukturan informasi yang kompleks,
e. Transformasi menunjukkan perubahan informasi yang ada sebelumnya menjadi informasi selanjutnya
f. Implikasi menunjukkan penunjukkan atau prediksi yang diperoleh dari pengetahuan yang dimiliki sekarang dan diterapkan pada waktu yang akan datang
Guilford (1967) menolak teori faktor g dan faktor kelompok kemampuan spesifik. Ia mengungkapkan teori kompleksitas inteligensi. Model Guilford memiliki 2 efek yang menguntungkan :
a. Teori ini merupakan mata rantai studi inteligensi dengan menggunakan pengetahuan tentang belajar, psikoliguistik, pikiran, konsep, dan sebagainya sebagai pembagian tugas intelektual.
b. Teori ini meliputi bidang-bidang fungsi intelektual yang terlokalisasi dengan sedikit sekali terwakili oleh testes inteligensi standar. Sebagai contoh, banyak tes-tes inteligensi yang hanya mengukur pemikiran konvergen yang hanya memiliki jawaban yang benar. Misalnya jika ada pertanyaan, “Apakah sesuatu yang keras, berwarna merah, digunakan untuk bangunan dan tembok?”. Maka hanya ada satu jawaban, “batu bata”. Jika pertanyaan itu dibalik dengan sistem “divergen thinking”, maka pertanyaan dapat menjadi, “Bangunan apa yang banyak menggunakan batu bata?”. Tentu jawabannya akan banyak dan akan menciptakan proses yang kreatif.
4. Teori Inteligensi Cattel & Horn
R.B Cattel (1965) dan J.L. Horn (1987) mengemukakan dua dimensi inteligensi yang disebut dengan istilah fluid intelligence (Gf) dan crystallized intelligence (Gc). Fluid intelligence (Gf) berkaitan dengan kemampuan untuk
mengembangkan teknik pemecahan masalah yang baru dan berbeda dari teknik sebelumnya. Fluid intelligence tentukan oleh perkembangan neurologis dan relatif terbebas dari pengaruh pendidikan dan kebudayaan (Papalia & Olds, dalam Jamaris).
Crystallized intelligence (Gc) berkaitan dengan kemampuan mengemukakan pengalaman-pengalaman yang telah dipelajari sebelumnya dalam memecahkan masalah yang dihadapi. Kemampuan ini mencakup kemampuan dalam
menggunakan informasi umum untuk mempertimbangkan sesuatu dan
memecahkan masalah. Oleh sebab itu, crystallized intelligence merupakan hasil belajar yang dipengaruhi oleh pendidikan dan kebudayaan.
Teori kecerdasan yang agak baru yang berdasarkan kepada analisis faktor telah dibentuk oleh John Horn dan Raymond Cattell(1963), mereka telah mengenal pasti dua faktor kecerdasan . yaitu:
a. Kecerdasan bendalir. Kecerdasan bendalir mencerminkan kemampuan berfikir, keupayaan ingatan, dan pemprosesan maklumat secara cepat. Horn dan Cattell(1963) percaya bahawa kecerdasan bendalir adalah sebahagian besarnya diwarisi, kurang dikesani oleh latihan, dan semakin menurun ketika mengharungi zaman dewasa.
Walaupun kecerdasan bendalir semakin menurun ketika umur seseorang semakin meningkat dewasa, namun ia boleh ditingkatkan melalui program pendidikan yang khusus, dan program pendidikan juga boleh
mempertingkatkan lagi kecerdasan berhablur. 5. Teori Inteligensi Stenberg
Psychologist Robert Strenberg mendefinisikan inteligensi sebagai aktivitas mental yang diarahkan pada kegiatan yang bertujuan untuk menyesuaikan diri, memilih dan membentuk lingkungan yang sesuai dengan kehidupan individu (Strenberg dalam Jamaris, 2010:122) . Inteligensi muncul dalam tiga bentuk yaitu analitis, kreatif, dan praktis. Inteligensi analitis melibatkan kemampuan menganalisis, menilai, mengevaluasi, membandingkan dan membedakan. Inteligensi kreatif terdiri atas kemampuan untuk menciptakan, merancang, menemukan, memulai, dan membayangkan. Inteligensi praktis berfokus pada kemampuan untuk menggunakan, menerapkan, mengimplementasikan dan mempraktikkan. Salah satu contoh dari kegiatan inteligensi atau kegiatan mental adalah cara yang dilakukan dalam memecahkan masalah. Dalam hal ini, individu yang sedang melakukan kegiatan dalam memecahkan masalah
menggunakan informasi yang telah diperolehnya untuk memecahkan masalah yang dihadapnya.
Pada hakikatnya ia mendukung pendapat Gardner yang mendefinisikan inteligensi dalam lingkup yang lebih luas dari general ability, akan tetapi, ia berpendapat bahwa rumusan defenisi Gardner lebih cocok diterapkan untuk mengetahui bakat seseorang. Teori inteligensi yang dikembangkan oleh Strenberg dikenal dengan istilah Triarchic Theory of Intelligence yang terdiri dari Componential Subtheory, Experiential Subtheory, dan Contextual
Subtheory.
1. Componential Subtheory
Componential Subtheory disebut juga dengan istilah Analytical Inteligence yang berkaitan dengan kemampuan dalam memecahkan masalah. Seperti yang dilakukan pada standard psychometric, analitycal inteligence dapat diukur melalui pemecahan masalah seperti masalah akademik, misalnya: analogis dan puzzle. Pemecahan masalah ini dilakukan berdasarkan operasi mental secara bersamaan yang disebut metacomponents yaitu langkah- langkah yang
ditempuh dalam rangka pemecahan masalah dan keputusan yang diambil dalam pemecahan masalah tersebut. Kegiatan ini membutuhkan proses kognitif
tingkat tinggi yang digunakan untuk menentukan langkah yang mana yang paling tepat digunakan untuk memecahkan masalah sesuai dengan konteksnya dan kemampuan dalam menggabungkan langkah-langkah yang dibutuhkan serta pertimbangan tentang waktu yang dibutuhkan dalam setiap langkah pemecahan masalah yang diambil dan kualitas hasil yang akan diperoleh
a) Metacomponents yang berfungsi mengontrol, memonitor dan mengevaluasi proses kognitif. Ketiga aktivitas mental tersebut disebut executive functions yang bekerja untuk mengatur dan mengorganisasi komponen pencapaian hasil atau performance components.
b) Performance components yang berfungsi melaksanakan strategi yang telah dibangun oleh metacomponents. Komponen ini merupakan operasi dasar yang dalam operasinya selalu melibat kegiatan kognitif sehingga manusia mampu memahami makna stimulus atau informasi yang ditangkap oleh pancaindera, menyimpan informasi tersebut dalam bentuk ingatan jangka pendek (short term memory), lalu melakukan perhitungan yang diikuti oleh pertimbangan yang dilakukan dengan jalan membandingkannya dengan stimulus atau informasi yang lain yang dilaksanakan dengan jalan memanggil kembali ingatan jangka panjang (long term memory).
c) Knowledge acquisition components yaitu proses yang digunakan dalam memperoleh dan menyimpan pengetahuan baru. Kemampuan ini membantu manusia untuk mengingat hal- hal yang telah dipelajarinya atau dialaminya dan mengklasifikasikan hal- hal tersebut sesuai dengan klasifikasinya di dalam ingatan. Hasil dari proses tersebut dikenal dengan istilah schemata.
Contoh dari Inteligensi analitis yaitu Andi adalah anak yang mendapatkan skor tinggi dalam tes inteligensi tradisional, seperti yang diusungkan oleh Stanford-Binet. Selain itu Andi adalah anak pemikir analitis yang hebat. Inteligensi analitis yang dimiliki Andi adalah seperti apakah inteligensi dalam konteks tradisional dan apa yang biasanya dinilai oleh tes inteligensi. Dalam pandangan Sternberg, inteligensi analitis terdiri atas beberapa komponen yaitu
kemampuan untuk mendapatkan atau menyimpan informasi, menyimpan atau mendapatkan kembali informasi, mentransfer informasi, merencanakan, membuat keputusan dan menyelesaikan masalah serta untuk menerjemahkan pikiran menjadi perbuatan.
2. Experiential Subtheory
Experiential Subtheory atau Creative Inteligence adalah suatu kemampuan yang mencakup pemahaman atau insights, synthesis dan kemampuan bereaksi terhadap stimulus dan situasi yang sulit yang menuntut tindakan kreatif dan innovatif. Creative Inteligence merefleksikan kemampuan manusia dalam menghubungkan kemampuan internalnya, seperti schemata, motivasi dan keuletan dengan realitas yang dihadapinya, sehingga ia mampu melakukan adaptasi secara kreatif dan innovative terhadap lingkungan atau situasi baru yang dihadapinya.
Sternberg meyakini bahwa semakin pintar individu maka semakin mudah bagi individu tersebut untuk menghadapi situasi- situasi yang sulit dan secara kreatif melakukan berbagai tindakan yang dibutuhkan. Experiential Subtheory
otomatisasi.
Contoh dari Creative Inteligence atau inteligensi kreatif yaitu Rina tidak
mendapatkan skor tes yang terbaik, tetapi mempunyai pikiran yang kreatif dan berwawasan luas. Sternberg mengkategorikan jenis pemikiran Rina unggul pada Inteligensi kreatif. Menurut Sternberg, orang- orang yang kreatif mempunyai kemampuan untuk menyelesaikan masalah baru dengan cepat, tetapi mereka juga mempelajari cara menyelesaikan masalah serupa secara otomatis, sehingga pikiran mereka bebas untuk menangani masalah- masalah lain yang membutuhkan wawasan dan kreativitas.
3. Contextual Subtheory
Contextual Subtheory atau Practical Intelligence mencakup kemampuan
memahami dan memecahkan berbagai masalah yang dihadapi dalam kehidupan sehari- hari. Kemampuan ini merefleksikan kemampuan manusia dalam
berhubungan dengan orang- orang di sekitarnya.
Practical Intelligence dapat dikatakan sebagai kecerdasan yang digunakan dalam memecahkan masalah- masalah konkrit di dalam dunia nyata. Individu yang memiliki kecerdasan ini mampu melakukan adaptasi. Oleh sebab itu kecerdasan ini tidak hanya melibatkan inteligensi, akan tetapi, juga melibatkan emosi dan sikap serta perilaku. Dengan demikian Practical Intelligence adalah integrasi dari berbagai kemampuan seperti berikut ini.
1) Kemampuan beradaptasi dengan lingkungan agar dapat mencapai tujuan yang telah ditetapkan.
2) Kemampuan dalam mengatur dan memodifikasi lingkungan dalam upaya mencapai tujuan yang diharapkan.
3) Kemampuan dalam berpindah dari rencana yang satu kepada rencana yang lain apabila rencana pertama tidak berjalan sesuai dengan harapan atau tujuan yang akan dicapai.
Contoh dari Practical Intelligence atau inteligensi praktis yaitu Banu adalah seorang anak yang mendapatkan skor rendah dalam tes IQ tradisional, tetapi dengan cepat memahami masalah kehidupan nyata. Ia dengan mudah menyerap pengetahuan tentang bagaimana dunia berjalan. Keahlian yang praktis dan cerdas dari Banu adalah apa yang disebutkan oleh Sternberg dengan inteligensi praktis. Inteligensi praktis mencakup kemampuan untuk keluar dari kesulitan dan kepandaian khusus untuk bergaul dengan orang-orang. Sternberg
mendeskripsikan inteligensi praktis sebagai semua informasi penting tentang cara untuk bertahan di dunia, yang tidak diajarkan untuk Anda di sekolah. 6. Teori Inteligensi Gardner
Teori inteligensi yang dikembangkan oleh Gardner dikenal dengan istilah
pada memfokuskan perhatiannya pada kegiatan menganalisis skor tes
inteligensi, karena Gardner meyakini bahwa perhitungan secara angka tidak akurat dijadikan pedoman untuk menentukan kemampuan manusia, oleh sebab itu untuk memprediksi kemampuan manusia maka fokus perhatiannya dialihkan dari angka kepada proses. Teori inteligensi yang akan dikembangkan berbasis skill dan kemampuan dalam berbagai kelompok yang terdiri dari delapan kelompok jenis inteligensi (Santrock, 2011:140) , yaitu:
a. Keahlian verbal yaitu kemampuan untuk berpikir dengan kata dan menggunakan bahasa untuk mengekspresikan makna (penulis, wartawan, pembicara).
b. Keahlian matematika yaitu kemampuan untuk menyelesaikan operasi matematika (ilmuan, insinyur, akuntan).
c. Keahlian spasial yaitu kemampuan untuk berpikir tiga dimensi (arsitek, perupa, dan pelaut).
d. Keahlian tubuh-kinestetik yaitu kemampuan untuk memanipulasi objek dan cerdas dalam hal- hal fisik (ahli bedah, pengrajin, penari, atlet).
e. Keahlian music yaitu sensitive terhadap nada, melodi, irama, dan suara (komposer, musisi dan pendengar yang sensitif).
f. Keahlian intrapersonal yaitu kemampuan untuk memahami diri sendiri dan menata kehidupan dirinya secara efektif (teolog, prikolog).
g. Keahlian interpersonal yaitu kemampuan untuk memahami dan berinteraksi secara efektif dengan orang lain (guru teladan, professional kesehatan mental). h. Keahlian naturalis yaitu kemampuan untuk mengamati pola- pola di alam dan memahami system alam dan system buatan manusia (petani, ahli botani, ahli ekologi, ahli tanah).
Menurut (Landa dalam Santrock, 2011: 133) mengatakan bahwa pendekatan multiple intelligences adalah cara terbaik untuk mengajar anak sebab anak punya kemampuan yang berbeda-beda. Dia mengatakan bahwa peranannya sebagai guru sekarang sangat berbeda dengan beberapa tahun lalu. Dia tak lagi berdiri di depan kelas dan mengajari murid-muridnya. Kini dia lebih bertindak sebagai fasilitator ketimbang sebagai pengatur pada saat murid belajar di berbagai pusat belajar yang berhubungan dengan kecerdasan yang berbeda. Murid berpartisipasi dalam kelompok belajar kooperatif di pusat tersebut. pusat belajar itu menyediakan kesempatan bagi mereka untuk mengembangkan inteligensi interpersonal mereka.
C. Pengukuran Potensi Inteligensi
Intelegensi tidak dapat di ukur seperti tinggi badan atau berat badan, karena kecerdasan hanya dapat di ukur secara tidak langsung melalui tindakan cerdas yang dilakukan seseorang dan melalui tes intelegensi secara tertulis.
yang menghindari tes budaya, tes tersebut telah di kembangkan dalam dua jenis yang bebas bias budaya. Yang pertama mencakup pertanyaan yang di kenal orang-orang dari semua latar belakang sosial ekonomi dan etnis. Misalnya pertanyaan untuk orang-orang yang memiliki pendidikan yang tinggi akan berbeda dengan orang yang belum berpendidikan tinggi.
Pengukuran terhadap inteligensi dikembangkan pada pertengahan abad ke Sembilan belas. Tes inteligensi pertama dikembangkan oleh sepasang dokter asal Perancis, salah seorang diantara mereka memfokuskan tes tersebut pada kemampuan verbal. Selanjutnya, Francis Golton (1883), seorang ahli biologi kebangsaan Inggris, mengembangkan teori yang dilandasi keyakinannya bahwa inteligensi merupakan factor yang dibawa sejak lahir dan diturunkan. Ia
memfokuskan tes inteligensinya pada kemampuan dalam sensory discrimination (diskriminasi pancaindera). Oleh sebab itu, untuk mengukur diskriminasi visual maka digunakan garis yang didesain sedemikian rupa sehingga seolah-olah di antara dua garis ada yang lebih panjang, akan tetapi, pada hakikatnya tidak. Untuk mengukur diskriminasi pendengaran diukur melalui kemampuan individu dalam mendengar suatu dalam pitch (tingkat kekerasan suara) yang berbeda. Untuk mengukur diskriminasi kinestetik, individu yang dites diminta
mengangkat sejumlah beban (Papalia dalam Jamaris, 2010:131).
Tes inteligensi yang sering digunakan diklasifikasikan menjadi dua bagian yaitu tes individual dan tes kelompok. Adapun tes inteligensi yang mengukur secara individual yaitu Binet-Simon Intelligence Scale, Stanford- Binet Intelligence Scale dan Wechsler Intelligence Scale. Kemudian tes inteligensi yang mengukur secara kelompok yaitu Lorge-Thorndike Intelligence Test, Kuhlman-Anderson Intelligence Tests, dan Otis Lennon School Mental Abilities Tests.
1. Tes Inteligensi untuk Individu
Psikolog Ribert J. Sternberg, mengingat bahwa ia merasa takut untuk mengikuti tes IQ ketika masih anak-anak. Ia mengatakan bahwa ia benar- benar terdiam ketika tiba saatnya untuk mengikuti tes semacam itu. Bahkan sebagai orang dewasa, Sternberg ingat akan hinaan terhadap dirinya karena mengikuti tes IQ dengan anak kelas lima, sedangkan ia berada di kelas enam. Sternberg
akhirnya mengatasi rasa gelisahnya tentang tes IQ. Ia tidak hanya mulai mengerjakan dengan baik, tetapi pada usia 13 tahun ia membuat tes IQ-nya sendiri dan mulai menggunakannya untuk menilai teman- teman sekelas sampai kepala sekolah mengetahuinya dan memarahi dirinya. Sternberg menjadi begitu terpesona oleh inteligensi sehingga ia mempelajarinya seumur hidupnya.
2. Binet-Simon Intelligence Scale
pengajaran kelas biasa ke sekolah khusus. Binet dan siswanya, Teophile Simon, mengembangkan sebuah pengujian inteligensi untuk memenuhi permintaan ini. Tes ini disebut 1905 Scale. Tes ini terdiri atas 30 pertanyaan, yang berkisar dari kemampuan untuk menyentuh telinga seseorang sampai kemampuan untuk menggambar rancangan dari ingatan dan mendefinisikan konsep- konsep abstrak . Tes ini pada mulanya ditujukan untuk mengetahui anak- anak mental retardasi di antara anak- anak non mental retardasi di kelas, agar anak-anak tersebut dapat berkembang secara optimal. Tes inteligensi yang dikembangkan oleh Binet dan Simon menekankan pada keterampilan verbal yang memiliki tingkat kesulitan yang teratur. Apabila seorang anak dapat menyelesaikan butir tes sebanyak 80-90 % dari tes yang diperuntukkan kelompok usianya misalnya untuk usia tiga tahun, maka ia dapat dinyatakan memiliki inteligensi sama dengan usianya atau kemampuan mental atau mental age yang normal.
Selanjutnya, tes Binet menyimpulkan apabila skor tes seorang berada di bawah kemampuan kelompok seusianya maka anak tersebut dapat dinyatakan sebagai anak yang memiliki kemampuan mental di bawah normal .
Pada perkembangan selanjutnya, istilah mental age diganti dengan istilah IQ (intelligence quotient) yang dinyatakan dalam bentuk angka. IQ adalah rasio dari mental age (MA) seorang individu dan choronological age atau usia kronologisnya yang dikalikan dengan 100, seperti di bawah ini.
Operasi rumus tersebut dapat diuraikan dalam penjelasan berikut ini.
a) Seorang anak berusia (CA) 10 tahun yang memperoleh skor tes inteligensi setingkat dengan anak usia 10 tahun maka ia memiliki IQ 100 = Normal b) Seorang anak berusia (CA) 10 tahun yang memperoleh skor tes inteligensi setingkat dengan anak usia 8 tahun maka ia memiliki IQ 80 = di bawah normal c) Seorang anak berusia (CA) 10 tahun yang memperoleh skor tes inteligensi setingkat dengan anak usia 12 tahun maka ia memiliki IQ 120 = di atas normal (Jamaris, 2010).
Berikut adalah klasifikasi IQ menurut Binet: Klasifikasi IQ
Genius 140 ke atas Sangat Cerdas 130 – 139 Cerdas (Superior) 120 – 129 Di atas rata- rata 110 – 119 Rata- rata 99 – 109
Di bawah rata- rata 80 – 79 Garis bawah (bodoh) 70 – 79 Moron (lemah pikir) 50 – 69 Imbisil, Idiot 49 ke bawah
3. Stanford – Binet Intelligence Test
bisa digunakan di USA. Revisi tersebut dilakukan di Stanford University. Oleh sebab itu tes inteligensi yang telah direvisi tersebut dikenal dengan istilah Stanford–Binet Intelligence Scale. Dalam pelaksanaannya tes ini
diadministrasikan secara individual dan dikenal dengan istilah intelligences quotient atau IQ yang merupakan rasio antara mental age (MA) dan
chronological age (CA). Selanjutnya, the Stanford Binet pada saat ini dipakai untuk menghitung skor inteligensi yang terkenal dengan istilah the standard age score, yang dalam pelaksanaannya menggunakan ide Galton tentang distribusi normal dari karakteristik inteligensi manusia.
Dengan menguji sejumlah besar orang dengan usia yang berbeda dan dari latar belakang yang berbeda, peneliti menemukan bahwa skor- skor dalam tes
Stanford-Binet diperkirakan berdistribusi normal. Distribusi normal adalah distribusi simetris dengan mayoritas nilai ada di tengah kisaran nilai yang mungkin dan beberapa nilai yang muncul di ekstrem kisaran tersebut. The Stanford–Binet saat ini dilakukan secara individual untuk orang yang berusia 2 tahun sampai dewasa. Tes ini mencakup berbagai soal, beberapa soal membutuhkan respon verbal, soal yang lainnya membutuhkan respons
nonverbal. Sebagai contoh, soal- soal yang mencerminkan tingkat prestasi anak berusia 6 tahun dalam tes mencakup kemampuan verbal untuk mendefinisikan setidaknya enam kata, seperti jeruk dan amplop, begitu pula dengan
kemampuan nonverbal untuk menemukan jalan yang berliku- liku. Soal- soal yang mencerminkan tingkat prestasi orang dewasa rata- rata mencakup definisi kata- kata yang tidak sepadan (disproportionate) dan salam (regard),
menjelaskan pepatah, dan membandingkan bermalas- malas (idleness) dengan kemalasan (laziness).
Edisi keempat dari Stanford–Binet diterbitkan pada tahun 1985. Satu tambahan penting untuk versi ini adalah analisis respons-respons individual sehubungan dengan empat fungsi, yaitu penalaran verbal, penalaran kuantitatif, penalaran visual abstrak, dan ingatan jangka pendek. Umumnya, nilai gabungan yang didapatkan masih mencerminakan inteligensi secara keseluruhan. Stanford-Binet terus menjadi salah satu tes yang digunakan untuk menilai inteligensi siswa (Aiken dalam Santrock).
The Stanford–Binet Intelligence Scale memiliki banyak keuntungan, akan tetapi, juga banyak mengandung banyak kelemahan. Keuntungan yang diberikan oleh tes tersebut antara lain adalah bahwa tes tersebut memberikan standard baku tentang tes inteligensi yang sangat valid dalam menjelaskan inteligensi seorang individu. Kelemahan tes ini adalah karena keinginan tes tersebut untuk
mendeteksi individu yang diklasifikasikan sebagai individu gifted, sehingga tes ini menjadi sangat sulit.
4. Wechsler Intelligence Scales
Wechsler yang dikembangkan oleh psikolog David Wechsler. Wechsler Intelligence Scales biasa disebut deviation IQ individual yang ditetapkan berdasarkan skor tes inteligensi yang diperoleh individu dan hubungannya dengan skor inteligensi individu normal. Pada hal-hal tertentu lebih baik dari pada Standford Binet Tes karena dapat mencapai rentangan umur dari rentang umur anak sampai umur dewasa dan berisi subtes-subtes yang dapat
menganalisis pola skor individual.
Wechsler Intelligence Tests mencakup Wechsler Adult Intelligence Scales
(WAIS) untuk mengukur inteligensi orang dewasa, Wechsler Intelligence Scales for children Revised (WISC-R) untuk mengukur inteligensi anak dan remaja dari usia 6-16 tahun, dan Wechsler preschool and primary scale of Intelligence (WPPSI) untuk mengukur inteligensi anak usia 4-6,5 tahun. Ketiga jenis inteligensi tersebut digunakan secara luas hampir di seluruh dunia di luar assessment inteligensi yang digunakan dalam bidang neuropsychological assessments.
Berikut adalah Klasifikasi menurut Wechsler: KLASIFIKASI IQ
Very Superior 130 ke atas Superior 120 –129
Bright Normal 110 –119 Average 90 – 109
Dull Normal 80 – 89 Borderline 70 –79
Mental Deffective 69 ke bawah (Harriman dalam Jahja, 2011:46)
Wechsler berpendapat bahwa keseluruhan inteligensi seseorang tidak dapat diukur. IQ adalah suatu nilai yang hanya dapat ditentukan secara kira- kira karena selalu dapat terjadi perubahan- perubahan berdasarkan factor- factor individualdan situasional .
Tiga puluh empat tahun setelah diterbitkannya tes inteligensi yang pertama oleh Binet-Simon, atau dua tahun setelah munculnya revisi Stanford-Binet, David Wechsler memperkenalkan versi pertama tes inteligensi yang dirancang khusus untuk digunakan bagi orang dewasa.
menimbulkan penghargaan dari mereka.
b) Tahun 1949 Wechsler menerbitkan pula skala inteligensi untuk digunakan pada anak-anak yang dikembangkan berdasarkan skala W-B. Skala ini diberi nama Wechsler Intelligence Scale for Children (WISC). Isinya terdiri dari dua sub bagian yaitu sub bagian Verbal (V) dan sub bagian Perfomance (P).
Penggunaan tes WISC hanya cocok untuk mengevaluasi inteligensi pada anak dan bukan untuk mendiagnosa anak berkebutuhan khusus. WISC sangat efektif untuk menunjukkan diskrepensi ataru ketimpangan antara skor inteligensi dengan pencapaian hasil belajar anak di sekolah. Untuk mengetahui kelainan atau kebutuhan khusus yang dimiliki anak dapat dilakukan multi tes seperti Woodcock Johnson III atau Wechsler Individual Achievement Tes II.
c) Tahun 1974 terdapat revisi pada tes WISC dengan terbitan WISC-R (huruf R disingkat dari kata revised). Edisi revisi inilah yang digunakan sampai
sekarang.
d) Tahun 1955, Wechsler menyusun skala lain untuk mengukur inteligensi orang dewasa dengan memperluas isi tes WISC. Skala baru ini dinamakan Wechsler Adult Intelligence Scale (WAIS). Sebagaimana WBIS, WAIS pun berisi sebelas sub tes yang terdiri atas dua bagian. Bagian pertama adalah skala verbal yang berisi enam subtes dan bagian kedua adalah skala perfomansi yang berisi lima subtes. Untuk standarisasinya, Wechsler menggunakan populasi nonrandom yang terdiri atas 1700 orang dewasa. Revisi terhadap WAIS telah dilakukan dan diterbitkan pada tahun 1981 dengan nama WAIS-R. Item tes WAIS mencakup pengetahuan umum, aritmatik, kosa kata, melengkapi gambar yang belum lengkap, menyusun balok dan gambar dan menyusun objek.
e) Wechsler Preschool and Primary Scale of Intelligences atau WPPSI adalah suatu tes yang dibuat dengan beraneka warna yang menarik perhatian anak. Tes ini digunakan untuk mengukur IQ umum, verbal IQ, performance IQ, and Processing Speed dan General Language Composite. WPPSI merupakan tes yang dapat digunakan untuk memprediksi IQ anak. WPPSI terdiri dari
serangkaian tes yaitu Full Scale IQ (FSIQ) yaitu kemampuan dalam menerima informasi, kosa kata, dan alasan yang rasional, Verbal IQ (VIQ) yaitu untuk mengetahui kemampuan dalam memperoleh pengetahuan, kemampuan
mengemukakan alasan rasional dan perhatian terhadap stimulus verbal. VIQ ini terbagi atas dua yaitu information dan Vocabulary. Terakhir dari WPPSI yaitu performance IQ Sub Tes yang terdiri dari Block Design, Matrix Reasoning, dan Picture Concepts.
5. Tes Inteligensi untuk Kelompok
bagaimana laporan disusun, minat dan perhatian murid, apakah ada kecemasan dalam pengerjaan tugas, da tingkat toleransi murid menghadapi rasa frustasi. Sejalan dengan perkembangan tes inteligensi individual, mulai pula dirasakan perlunya tes inteligensi yang dapat dikenakan pada sekelompok individu secara serentak (tes kelompok). Adapun tes inteligensi untuk kelompok mencakup Lorge-Thorndike Intelligence Test, Kuhlman-Anderson Intelligence Tests, dan Otis Lennon School Mental Abilities Tests. Tes kelompok lebih nyaman dan ekonomis ketimbang tes individual, namun juga ada kekurangannya. Saat tes dilakukan pada satu kelompok besar, peneliti tak dapat menyusun laporan individual, menentukan tingkat kecemasan murid, dan sebagainya. Dalam situasi tes kelompok besar, murid mungkin tidak memahami instruksi atau mungkin diganggu oleh murid lainnya.
Oleh karena itu keterbatasan tersebut, saat membuat keputusan penting mengenai siswa, tes inteligensi kelompok perlu dilengkapi dengan informasi kemampuan siswa tersebut. Untuk hal itu, strategi yang sama berlaku untuk tes inteligensi individual, meskipun biasanya bersikap bijaksana untuk tidak begitu saja memercayai akurasi skor inteligensi kelompok. Banyak siswa mengerjakan tes dalam kelompok- kelompok besar di sekolah, tetapi keputusan untuk
menempatkan seorang siswa dalam satu kelas bagi siswa- siswa yang
mempunyai keterbelakangan mental, kelas pendidikan khusus, atau kelas untuk siswa- siswa yang berbakat seharusnya tidak hanya didasarkan pada tes
kelompok. Dalam kasus- kasus seperti ini, harus diperoleh banyak informasi yang relevan tentang kemampuan siswa di luar situasi pengujian (Domino dalam Santrock, 2009).
C. Klasifikasi IQ Menurut Terman
Rodrigo de la Jara yang dikutip oleh Martini Jamaris , menguraikan klasifikasi IQ menurut Terman yang biasa dikenal dalam masyarakat dan yang biasa digunakan dalam bidang pendidikan, seperti di bawah ini.
IQ KLASIFIKASI
140 ke atas Genius or near genius 120 –140 Very superior
110 –120 Superior
90 – 110 Normal or average intelligence 80 – 90 Dullness
70 –80 Borderline deficiency
Di bawah 70 Definite feeble-mindedness
Kelainan mental diklasifikasikan oleh masyarakat ke dalam klasifikasi IQ seperti di bawah ini.
Skor IQ Klasifikasi IQ
20 – 49 Imbecile Below 20 Idiot
Klasifikasi kelainan mental yang bisa digunakan dalam pendidikan adalah sebagai berikut.
Klasifikasi Mental Retardasi Berdasarkan Pandangan Pendidikan Skor IQ Klasifikasi IQ
50 – 69 Mild 35 – 49 Moderate 20 – 34 Severe Below 20 Profound
D. Emotional Intelligence (Kecerdasan Emosi) 1. Intelligence (Kecerdasan)
Menurut Spearman dan Jones sebagaimana dikutip oleh Hamzah B. Uno bahwa ada suatu konsepsi lama tentang kekuatan (power) yang dapat melengkapi akal pikiran manusia dengan gagasan abstrak yang universal, untuk dijadikan
sumber tunggal pengetahuan sejati. Kekuatan demikian dalam bahasa Yuniani disebut nous, sedangkan penggunaan kekuatan disebut noesis. Kedua istilah tersebut kemudian dalam bahasa Latin dikenal sebagai intellectus dan
intelligensia. Selanjutnya, dalam bahasa Inggris masing-masing diterjemahkan sebagai intellect dan intelligence. Transisi bahasa tersebut, ternyata membawa perubahan makna yang mencolok. Intelligence, yang dalam bahasa Indonesia kita sebut integensia (kecerdasan), semula berarti penggunaan kekuatan
intelektual secara nyata, tetapi kemudian diartikan sebagai suatu kekuatan lain. Dalam perkembangan selanjutnya, pengertian intelegensi banyak mengalami perubahan, namun selalu mengandung pengertian bahwa inteligensi
merupakan kekuatan atau kemampuan untuk melakukan sesuatu. Masyarakat umum mengenal inteligensia sebagai istilah yang menggambarkan kecerdasan, kepintaran ataupun kemampuan untuk memecahkan problem yang dihadapi. Sementara menurut pandangan kaum awam inteligensia diartikan sebagai ukuran kepandaian.
Para ahli psikologi lebih suka memusatkan perhatian pada masalah perilaku inteligen (intelligence behavior), daripada membicarakan batasan inteligensi. Mereka beranggapan bahwa inteligensi merupakan status menta yang tidak memerlukan definisi, sedangkan perilaku inteligen lebih konkret batasan dan ciri-cirinya sehingga lebih untuk dipelajari. Dengan mengidentifikasi ciri dan indikator perilaku inteligen, maka dengan sendirinya definisi inteligensi akan terkandung di dalamnya.
yang berkembang. Sebaliknya, perilaku yang lamban, tidak cepat mengerti, kurang mampu menyelesaikan problem mental yang sederhana, dan
semacamnya, dianggap sebagai indikasi tidak dimilikinya inteligensi yang baik. Kecerdasan yang didefinisikan oleh Hagenhan dan Oslon dalam tulisan Hamzah B. Uno menjelaskan bahwa inteligensi merupakan suatu tindakan yang
menyebabkan terjadinya penghitungan atas kondisi-kondisi yang secara optimal bagi organisme dapat hidup berhubungan dengan lingkungan secara efektif. Sebagai suatu tindakan, inteligensi selalu cenderung menciptakan kondisi-kondisi yang optimal bagi organisme untuk bertahan hidup dalam kondisi-kondisi yang ada.
Feldam mendefinisikan kecerdasan sebagai kemampuan memahami dunia, berpikir secara rasional, dan menggunakan sumber-sumber secara efektif pada saat dihadapkan dengan tantangan. Dalam pengertian ini, kecerdasan terkait dengan kemampuan memahami lingkungan atau alam sekitar, kemampuan penalaran atau berpikir logis, dan sikap bertahan hidup dengan menggunakan sarana dan sumber-sumber yang ada.
Henmon dalam kutipan Hamzah B. Uno juga mendefisikan inteligensi sebagai daya atau kemampuan untuk memahami. Wechsler mendefinisikan inteligensi sebagai totalitas kemampuan seseorang untuk bertindak dengan tujuan
tertentu, berpikir secara rasional, serta menghadapi lingkungan dengan efektif. Berbagai definisi di atas memandang bahwa inteligensi merupakan suatu
kemampuan tunggal (overal single score).
Masyarakat umum mengenal intelligence sebagai istilah yang menggambarkan kecerdasan, kepintaran, kemampuan berpikir seseorang atau kemampuan untuk memecahkan problem yang dihadapi. Gambaran sesorang yang memiliki inteligensi tinggi, biasanya merupakan cerminan siswa yang pintar, siswa yang pandai dalam studinya. Memang, hal tersebut tidak bisa dipungkiri, apalagi sejarah telah mencatat bahwa sejak tahun1904, Binet, seorang ahli psikologi berbangsa Prancis dan kelompoknya telah berhasil membuat suatu alat untuk mengukur kecerdasan, yang disebut dengan Intelligece Quotient (IQ) .
Dalam psikologi, dikemukakan bahwa intelligence, yang dalam bahawa Indonesia disebut inteligensi atau kecerdasan berarti penggunaan kekuatan intelektual secara nyata. Akan tetapi, kemudian diartikan sebagai suatu kekuatan lain. Oleh karena itu, intelegensi atau kecerdasan terdiri dari tiga komponen, yaitu (a) kemampuan untuk mengarahkan pikiran atau mengarahkan tindakan; (b) kemampuan untuk mengubah arah tindakan apabila tindakan tersebut telah dilaksanakan; (c) kemampuan untuk mengubah diri sendiri atau melakukan autocritism.
Setelah 80 tahun IQ diperkenalkan, Gardner, seorang ahli psikologi, menentang pendapat lama tentang IQ. Gardner merumuskan kecerdasan sebagai
merupakan konsekuensi dalam suasana budaya atau masyarakat tertentu. Penelitian Gardner telah menguak rumpun kecerdasan manusia yang lebih luas daripada kepercayan manusia sebelumnya, serta menghasilkan konsep
kecerdasan yang sungguh pragmatis dan menyegarkan. Gardner tidak memandang “kecerdasan” manusia berdasarkan skor tes standar semata, namun Gardner menjelaskan kecerdasan sebagai: (1) kemampuan untuk
menyelesaikan masalah yang terjadi dalam kehidupan manusia; (2) kemampuan untuk menghasilkan persoalan-persoalan baru untuk diselesaikan; (3)
kemampuan untuk menciptakan sesuatu atau menawarkan jasa yang akan menimbulkan penghargaan dalam budaya seseorang. Definisi Gardner tentang kecerdasan manusia tersebut menegaskan hakikat teorinya.
Kemudian Gardner mengemukakan tujuh kecerdasan dasar, yaitu (1) Kecerdasan Musik (Musical Intelligence); (2) Kecerdasan Gerakan-Badan (Bodily-Kinesthetic Intelligence); (3) Kecerdasan Logika-Matematika (Logical-Mathematical Intelligence); (4) Kecerdasan Linguistik (Linguistic Intelligence); (5) Kecerdasan Ruang (Spasial Intelligence); (6) Kecerdasan Antarpribadi (Interpersonal Intelligence); (7) Kecerdasan Intra Pribadi (Intrapersonal Intelligence).
Dalam tujuh kecerdasan tersebut, Thomas Amstrong berpendapat: (1) setiap orang memiliki semua tujuh kecerdasan tersebut; (2) kebanyakan orang dapat mengembangkan setiap kecerdasan tersebut sampai derajat kompetensi tertentu; (3) kecerdasan biasanya bekerja dalam cara yang kompleks; (4) banyak cara untuk menjadi cerdas dalam setiap kategori.
Pendapat Gardner tentang tujuh kecerdasan yang dijabarkan oleh Amstrong tersebut adalah formula sementara, karena setelah dilakukan penelitian lebih jauh, terdapat beberapa kecerdasan jenis lainnya yang mungkin tidak
memenuhi kriteria di atas. Kecerdasan lain yang dikemukakan Gardner mencakup: (1) sprirituality (spiritualitas); (2) moral sensibiity (snesibilitas moral); (3) sexuality (seksualitas); (4) intuition (intuisi); (5) Creativity (kreativitas)) ; (6) culinary ability (kemampuan memasak); (7) offactory
perception (kepekaan tinggi terhadap penciuman); (8) ability of shyntesize the other itelligences.
2. Emotional (Emosi)
Berkaitan dengan hakikat emosi, Beck mengungkapkan pendapat James&Lange yang dikutip oleh Hamzah B. Uno, menjelaskan bahwa emosi adalah persepsi perubahan jasmaniah yang terjadi dalam memberi tanggapan (respons) terhadap suatu peristiwa. Definisi ini bermaksud menjelaskan bahwa pengalaman emosi merupakan persepsi dari reaksi terhadap situasi.
latin, emosi dijelaska sebagai motus anima yang arti harfiahnya “Jiwa yang menggerakkan kita”. Berlawanan dengan kebanyakan pemikiran konvensional, emosi bukan sesuatu yang bersifat positif atau negatif, tetapi emosi berlaku sebagai sumber energi autentistas, dan semangat manusia yang paling kuat dan dapat menjadi sumber kebijakan ituitif.
Sementara itu, Lerner dalam kutian Hamzah B. Uno menjelaskan arti emosi sebagai dua komponen yang pada umumnya dipercayai membentuk
pengalaman emosi, yaitu tanggapan-tanggapan psikologis dan perasaan-perasaan subjektif. Selanjutnya, Lerner mengungkapkan bahwa pada saat seseorang mengalami emosi, sebagai perubahan psikologis dapat terjadi sepert: (1) bola mata membesar; (2) detak jantung meningkat; (3) desahan atau tarikan nafas yang dalam atau tersengal-sengal; (4) bulu roma di badan berdiri; (5) gerakan gentrointestinal berhenti sementara membuat darah mengalir dengan deras dari perut memasuki otot-otot; (6) hati membebaskan gula memasuki aliran darah untuk meningkatkan energi; (7) keringat meningkat, sementara produksi air liur menurun.
Hamzah B. Uno juga mengemukakan beberapa temuan Lerner dan teman-temannya bahwa emosi tidak sama dengan motif atau dorongan. Emosi timbul sebagai tanggapan atas aspek lingkungan. Sebaliknya, motif cenderung muncul sebagai rangsangan internal, misalnya rasa lapar yang diarahkan kepada objek di lingkungan, karena terlihat makanan. Di samping itu, emosi juga mencakup perubahan dan perasaan subjektif.
Berbeda dengan pendapat Lerner, Crooks&Stein mengungkapkan bahwa
hubungan motivasi dan emosi (perasaan-perasaan dan gejolak subjektif) sangat erat sekali. Menurutnya, emosi acap kali memotivasi tindakan. Sebagai contoh pada seorang anak kecil yang sedang marah, menyebabkannya menendang tembok ke kamarnya, atau pada saat seorang siswa merasa takut akan gagal, ia emotivasi dirinya utnuk meninggalkan kelas.
Selain pendapat Lerner di atas, Wortman juga mengemukakan beberapa pedapat tentang emosi. Menurutnya, kebahahagiaan adalah suatu emosi yang positif, termasuk kepuasaan batin dan kesenangan aktif. Para ahli psikologi yang telah berusaha mencari akar kebahagiaan mengajukan beberapa teori, yaitu (1) kebahagiaan terletak pada kecenderungan membuat konspirasi yang memungkinkan (favourable) antara diri sendiri dan orang lain; (2) orang-orang yang paling bahagia adalah mereka yang mempunyai ciri-ciri khusus
kepribadian apa adanya yang diiringi kualitas ketegangan saraf yang rendah; (3) kebahagiaan datang dari kemampuan untuk “menghilangkan” sendiri dalam beberapa tugas yang menjadi tantangan, sehingga mengejar kesadaran atas kebahagiaan dapat dilupakan.
hanya diserahkan pada otak. Bahaya yang mungkin terjadi adalah kehilangan yang menyedihkan, bertahan mencapai tujuan kendati dilanda kekecewaan, ketertarikan dengan pasangan dan membina keluarga. Setiap emosi
menawakan pola tindakan tersendiri, dan masing-masing menuntut kita ke arah yang telah terbukti berjalan baik ketika menangani tantangan yang datang berulang-ulang dalam hidup manusia.
Emosi pada dasarnya adalah dorongan untuk bertindak, rencana seketika untuk mengatasi masalah yang ditanamkan secara berangsur-angsur oleh evolusi. Pengertian emosi tersebut masih membingungkan, baik menurut para ahli psikologi maupun ahli filsafat. Akan tetapi, makna paling harfiah dari emosi didefinisikan sebagai setiap kegiatan atau pergolakan pikiran, perasaan, dan nafsu; setiap keadaan mental yang hebat atau meluap-luap. Oleh karena itu, emosi merujuk pada suatu perasaan dan pikiran-pikiran khasnya, suatu keadaan biologis, psikologis, dan serangkaian kecenderungan untuk bertindak.
Menurut Golemen ada ratusan emosi, bersama dengan campuran, variasi, mutasi, dan nuansanya. Lingkup kajian emosi masih menjadikan perdebatan para peneliti, mana yang benar-benar dianggap sebagai emosi primer, biru, apakah memang ada emosi primer semacam itu. Sejumlah teoretikus
mengelompokkan emosi dalam golongan-golongan besar, meskipun tidak semua sepakat tentang penggolongan ini.
Prinsip dasar emosi mudah dapat dicari berdasarkan kerangka kelompok atau dimensi, dengan cara mengambil kelompok besar emosi, seperti marah, sedih, takut, bahagia, cinta, malu, dan sebagainya adalah sebagai titik tolak bagi nuansa kehidupan emosional yang tidak habis-habisnya. Ada beberapa kegunaan emosi menurut sumber yang dikutip Hamzah B. Uno , antara lain sebagai berikut:
a. Bertahan Hidup
Alam mengembangkan emosi melalui evolusi selama jutaan tahun. Hasilnya adalah kemampuan emosi untuk melayani sebagai sistem pemandu
antarsesama. Contohnya, ekspresi dapat meyampaikan sejumlah emosi. Jika sedih atau terluka, dapat memberikan tanda bahwa seseorang butuh bantuan. Melalui latihan secara lisan, seseorang dapat mengekspresikan lebih banyak untuk memenuhinya.
b. Mempersatukan (unity)
Mungkin emosi merupakan sumber potensi terhebat untuk menyatukan semua manusia. Secara jelas, agama, budaya, dan politik tidak dapat menyatukan, bahwa secara ebih jauh dapat memecahkan secara tragis dan fatal. Hal ini sesuai dengan pendapat Darwin dalam bukunya “The Expression of Emotional in Man Animal”, emosi dari empati, perasaan iba, kerjasama, dan untuk orang lain, semuanya dapat menyatukan kita sebagai sesama.
bahwa emosi kita, seperti halnya atau lebih daripada tubuh dan pikiran kita, berisi riwayat kita, semua yang kita alami, pemahaman kita yang mendalam, dan hubungan dalam hidup kita. Emosi meliputi perasaan tentang siapa kita, dan memasuki kita dalam wujud energi. Energi inilah sumber utama pengaruh dan kekuasaan. Emosi tersusun dari energi yang terus mengalir dalam diri, terus menggerakkan sejumlah proses mendalam yang memegaruhi setiap aspek hidup. Apabila kita meningkatkan kecerdasan emosional, berarti kita mengubah wujud energi ini, dan selanjutnya energi itu mengubah apa yang kita alami dalam kerja, hidup, dan pergaulan.
Beberapa studi mengungkapkan bahwa emosi penting sebagai “energi pengaktif” untuk nilai-nilai etika, misalnya kepercayaan, integritas, empati, keuletan, dan kredibilitas, serta untuk modal sosial yang berupa kemampuan membangun dan mempertahankan hubungan bisnis yang menguntungkan dan didasarkan pada saling percaya. Yang paling penting dari semua ini adalah sesuatu yang tampaknya dimiliki oleh setiap pemimpin besar, yaitu kemampuan membangkitkan semangat. Emosi adalah pengorganisasi yang hebat dalam bidang pikiran dan perbuatan. Emosi juga berfungsi membangkitkan intuisi dan rasa ingin tahu, yang akan membantu mengantisipasi masa depan yang tidak menentu dan merencakan tindakan-tindakan kita sesuai dengan itu.
Menurut Josh Hammond, president America Quality Foundation, sebagaimana dikutip oleh Hamzah B. Uno, emosi telah didefinisikan sebagai sesuatu yang mempunyai makna penting (high performance) di hampir semua perusahaan terkemuka. Untuk melihat hal tersebut, Hammond membandingkan makna emosi menjadi dua, yaitu makna konvensional dan makna high performance sebagai berikut .
Tabel Makna Konvensional vs Makna High Performance Konvensioal High Performance
Lambang kelemahan Lambang kekuatan
Tidak boleh ada dalam bisnis Penting dalam bisnis Harus dihindari Emosi memicu semangat belajar Membingungkan Memperjelas
Harus dipisahkan Harus dipadukan
Menghindari orang yang emosional Mencari orang yang emosional Hanya pikiran yang diperhatikan Emosi harus didengarkan
Menggunakan kata-kata tanpa emosi Menggunakan kata-kata emosional Kemudian berdasarkan penelitian terakhirnya, Hammond menambahkan sebagai berikut:
Konvensional High Performance
Tanda kerentanan Membuat kita nyata dan hidup
Menghalangi atau memperlambat penalaran Mendorong atau mempercepat penalaran
Mengahalangi mekanisme kontrol Membangun kepercayaan dan keakraban Memperlemah sikap-sikap yang sudah baku Mengaktifkan nilai-nilai etika
Menghambat aliran data objektif Menyediakan informasi dan umpan balik yang vital
Merumitkan perencanaan manajemen Memicu kreativitas dan inovasi Mengurangi otoritas Mendatangkan pengaruh tanpa otoritas
(Sumber: Robert K. Cooper dalam kutipan Hamzah B. Uno)
Menurut Johm Mayer dikutip oleh Hamzah B. Uno , orang cenderung menganut gaya-gaya khas dalam menangani dan mengatasi emosi mereka.
a. Sadar diri
b. Tenggelam dalam permasalahan c. Pasrah
3. Emotional Intelligence (Kecerdasan Emosi)
Setelah mengetahui apa itu kecerdasan dan apa itu emosi, selanjutnya akan dibahas tentang kecerdasan emosional atau Emotional Intelligence (EI). Kecerdasan emosional merupakan kemampuan seperti kemampuan untuk memotivasi diri sendiri dan bertahan menghadapi frustasim mengendalikan dorongan hati dan tidak melebih-lebihkan kesenangan, mengatur suasana hati dan menjaga agar beban stres tidak melumpuhkan kemampuan berpikir, berempati, dan berdoa.
Menurut saphiro dikutip oleh Hamzah B. Uno, istilah kecerdasan emosi pertama kali dilontarkan pada tahun 1990 oleh dua orang ahli, yaitu Peter Salovey dan John Mayer untuk menerangkan jenis-jenis kualitas emosi yang dianggap penting untuk mencapai keberhasilan. Jenis-jenis kekuatan emosi yang dimaksudkan antara lain: (1) empati, (2) mengungkapkan dan memahami perasaan, (3) mengendalikan amarah, (4) kemampuan kemandirian, (5) kemampuan menyesuaikan diri, (6) diskusi, (7) kemampuan memecahkan masalah antarpribadi, (8) ketekunan, (9) kesetiakawanan, (10) keramahan, dan (11) sikap hormat.
Kecerdasan emosional sangat dipengaruhi oleh lingkungan, tidak bersifat menetap, dapat berubah-ubah setiap saat. Untuk itu peranan lingkungan terutama orang tua pada masa kanak-kanak sangat memengaruhi dalam pembentukan kecerdasan emosional.
Sebuah model pelopor lain tentang kecerdasan emosional diajukan oleh Bar-On pada tahun 1992 seorang ahli psikologi Israel, yang mendefinisikan kecerdasan emosional sebagai serangkaian kemampuan pribadi, emosi dan sosial yang memengaruhi kemampuan seseorang untuk berhasil dalam mengatasi tututan dan tekanan lingkungan (Goleman, 2000).
Gardner (dalam Goleman, 2000) mengatakan bahwa bukan hanya satu jenis kecerdasan yang monolitik yang penting untuk meraih sukses dalam kehidupan, melainkan ada spektrum kecerdasan yang lebar dengan tujuh varietas utama yaitu linguistik, matematika/logika, spasial, kinestetik, musik, interpersonal dan intrapersonal. Kecerdasan ini dinamakan oleh Gardner sebagai kecerdasan pribadi yang oleh Daniel Goleman disebut sebagai kecerdasan emosional. Menurut Gardner, kecerdasan pribadi terdiri dari: ”kecerdasan antar pribadi yaitu kemampuan untuk memahami orang lain, apa yang memotivasi mereka, bagaimana mereka bekerja, bagaimana bekerja bahu membahu dengan kecerdasan. Sedangkan kecerdasan intra pribadi adalah kemampuan yang korelatif, tetapi terarah ke dalam diri. Kemampuan tersebut adalah kemampuan membentuk suatu model diri sendiri yang teliti dan mengacu pada diri serta kemampuan untuk menggunakan modal tadi sebagai alat untuk menempuh kehidupan secara efektif.” (Goleman, 2000)
Dalam rumusan lain, Gardner menyatakan bahwa inti kecerdasan antar pribadi itu mencakup “kemampuan untuk membedakan dan menanggapi dengan tepat suasana hati, temperamen, motivasi dan hasrat orang lain.” Dalam kecerdasan antar pribadi yang merupakan kunci menuju pengetahuan diri, ia
mencantumkan “akses menuju perasaan-perasaan diri seseorang dan kemampuan untuk membedakan perasaan-perasaan tersebut serta memanfaatkannya untuk menuntun tingkah laku”. (Goleman, 2000).
Berdasarkan kecerdasan yang dinyatakan oleh Gardner tersebut, Salovey (Goleman, 2000) memilih kecerdasan interpersonal dan kecerdasan
intrapersonal sebagai dasar untuk mengungkap kecerdasan emosional pada diri individu. Menurutnya, kecerdasan emosional adalah kemampuan seseorang untuk mengenali emosi diri, mengelola emosi, memotivasi diri sendiri, mengenali emosi orang lain (empati) dan kemampuan untuk membina hubungan (kerjasama) dengan orang lain.
Menurut Goleman (2000), kecerdasan emosional adalah kemampuan seseorang mengatur kehidupan emosinya dengan inteligensi (to manage our emotional life with intelligence); menjaga keselarasan emosi dan pengungkapannya (the appropriateness of emotion and its expression) melalui keterampilan kesadaran diri, pengendalian diri, motivasi diri, empati dan keterampilan sosial.