• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pengaruh Self Control Training Terhadap

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "Pengaruh Self Control Training Terhadap"

Copied!
14
0
0

Teks penuh

(1)

Oleh: Shinta Kurnia Avianty shintavianty@gmail.com

Cleoputri Al Yusainy Afia Fitriani

Program Studi Psikologi, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Brawijaya

ABSTRAK

Kecemasan sosial mengakibatkan individu menutup diri dan mengalami ketakutan yang berlebihan pada lingkungan sosial. Self control training memberikan dampak positif pada psikologis individu. Alternatif yang diprediksi efektif adalah self control training melalui

improving posture. Eksperimen kuasi ini (N = 48; p=30, l=18), menguji pengaruh self control

training terhadap kecemasan sosal pada remaja. Partisipan melalui proses pretest dan posttest

menggunakan SIAS (Social Interaction Anxiety Scale). Treatment yang diberikan adalah peningkatan postur tubuh (duduk tegak, berjalan tegap) selama dua minggu. Berlawan dengan hipotesis, analisis t-test dependent menunjukkan self control training membuat skor kecemasan sosial partisipan semakin tinggi dibanding sebelum diberi treatment. Diskusi lebih lanjut akan dipaparkan dalam penelitian ini.

Kata kunci: kontrol diri, kecemasan sosial, self control training

ABSTRACT

The effect of social anxiety can make the individual becomes introvert and also experience an excessive fear of social environment. Self-control training may provide a positive effect for the individual’s psychological conditions. One of the predictable alternative that has been proven effective to overcome social anxiety is self-control training through improving posture exercise. This field experiment (N = 48; f=30, m=18), tested the effect of self-control training on social anxiety in teenager. All participants were going through a pretest and posttest using the SIAS (Social Interaction Anxiety Scale). Treatment consisted of improving posture (sit up straight and to walk with strapping) for two weeks period. Contrary to the hypothesis, t-test dependent analysis indicated self-control training increased social anxiety before the treatment. Further discussion is presented.

(2)

LATAR BELAKANG

Remaja seringkali dikaitkan dengan perkembangan kehidupan sosialnya, mencari tahu bagaimana cara melakukan hubungan secara baik, aman dan dapat diterima dengan teman-teman di lingkungan sekitarnya. Maka dari itu remaja seringkali memiliki perasaan was-was, takut dan cemas akan lingkungan sekitarnya. Kecemasan bisa berpengaruh sangat buruk apabila intensitas timbulnya sering dan terus menerus (Ramaiah, 2000). Hal ini didukung dengan rentang umur remaja saat ini yang disebut dengan

Generation C (connected, communicating,

content-centric, computerized,

community-oriented, always clicking generation),

disebut juga dengan generasi Z (1995-2012) (Munir, 2011). Generasi Z merupakan individu yang lahir dalam rentang tahun 1995 hingga 2012 dan juga individu yang sering dihubungkan dengan proses yang instan, berpikiran dengan ritme kehidupan yang lebih cepat, dan cenderung lebih individualistis dan mengarahkan diri sendiri (Ferincz, Hortovanyi, Szabó, dan Taródy, 2010). Berdasarkan paparan di atas, dapat disimpulkan bahwa sikap individual dan menghindari percakapan dengan teman sekitar bisa terjadi pada remaja generasi Z.

Brecht (dalam Nainggolan, 2011) menjelaskan tentang ciri-ciri individu yang cemas secara sosial, salah satunya adalah

individu yang menghindari interaksi sosial secara sengaja dan mengalami kecemasan sangat berlebihan. Individu yang mengalami kecemasan, takut dan khawatir secara berlebihan terhadap situasi sosial maupun ketika berinteraksi dengan orang lain ini bisa dikarenakan sebelumnya telah berprasangka dan berpandangan negatif pada orang lain atau lingkungan sekitarnya (Nainggolan, 2011). Perasaan takut dan prasangka buruk merupakan bagian dari emosi negatif (Yuliani, 2013). Emosi negatif membuat individu sulit untuk mengendalikan dan menguasai dirinya. Hal-hal seperti bisa membahayakan kehidupan para remaja yakni bisa menyangkut prestasi dan hubungan sosial dengan teman sebayanya, maka diperlukannya kontrol diri yang baik bagi individu yang mengalami kecemasan sosial.

(3)

pelatihan kontrol diri/self control training.

Baumeister (2007) menjelaskan bahwa pelatihan pengendalian diri/self control

training biasanya berlangsung selama

beberapa minggu, melibatkan sebuah latihan teratur maupun tindakan-tindakan kecil untuk mengubah kecenderungan respon dominan individu dalam kegiatan sehari-hari.

Selama ini intervensi yang menyangkut kecemasan sosial individu menggunakan

cognitive behavior therapy. Dalam

penelitian Herbert (2009) mengatakan bahwa desain CBT ini bisa digunakan untuk anak-anak maupun dewasa. Tujuan dari terapi yang mereka gunakan adalah untuk lebih meningkatkan hubungan interpersonal individu, dan mengatasi maupun mengurangi kecemasannya (Herbert, 2009). Kelemahan intervensi ini terletak pada penerapan yang menghabiskan waktu berminggu-minggu untuk mengatasi kecemasan sosial individu, selain itu juga belum tentu target kesembuhannya benar-benar tercapai dan juga memerlukan biaya untuk terapis.

Muraven, Tice dan Baumeister (1999) melakukan studi pelatihan kontrol yang mempekerjakan diri untuk mengatur postur (duduk tegak, berjalan tegak, dll) selama dua minggu dan menguji pengaruh pelatihan ini pada kekuatan pengendalian diri dalam sebuah tugas. Hasilnya terbukti bahwa ketika individu ditekan untuk

melakukan sebuah tugas yang mengandalkan peningkatan pada kekuatan otot, juga bisa berimbas pada peningkatan kekuatan pengendalian diri dalam hal daya kontrol diri (Yusainy, 2013). Jadi bisa disimpulkan bahwa pelatihan kontrol diri ini merupakan pelatihan yang ditujukan agar individu mampu belajar mengendalikan setiap tindakan yang akan dilakukan. Pelatihan kontrol diri memiliki beberapa manfaat, yakni bisa meningkatan kapasitas pada kontrol diri.

Schmeichel dan Inzlicht (2012) menyatakan bahwa keadaan emosional dapat menurunkan maupun meningkatkan pengendalian diri/kontrol diri tergantung pada kemauan individu. Pelatihan kontrol diri bisa bermanfaat dan berimbas pada banyak pengaruh yang diinginkan, ketika individu juga memiliki keinginan yang kuat di dalam dirinya untuk mengontrol diri mereka. Baumeister, Vohs dan Tice (2007) mengatakan bahwa kontrol diri dilakukan secara sengaja, sadar, dan merupakan bagian dari usaha untuk mencapai keinginan diri. Dari sini, disimpulkan bahwa self control training dapat mempengaruhi kecemasan sosial, terlepas dari arah korelasinya.

(4)

perilaku agresif. Penelitian dilakukan pada subjek mahasiswa Universitas Nottingham, di Inggris. Latihan kontrol diri atau

treatment ini diberikan selama dua minggu

melalui improving posture. Hasil penelitian menunjukkan bahwa terdapat penurunan perilaku agresif setelah subjek menjalani

mindfulness dan latihan kontrol diri. Oleh

sebab itu, penelitian ini akan menguji kembali peran self control training melalui

improving posture terhadap kecemasan

sosial pada remaja.

Pada penelitian ini, self control training

dilakukan dengan menggunakan perbaikan postur (improving posture) selama dua minggu lamanya (Muraven, 2010). Peneliti memantau hasil pelatihan kontrol diri melalui Diary Improving Posture (Yusainy, 2013) yang diberikan peneliti saat subjek sudah melalui pretest (menggunakan skala kecemasan sosial: SIAS) (Brown, Turovsky, Heimberg, Juster, Brown, Barlow, 1997) dan subjek diingatkan untuk mengisi diary yang dibawanya setiap sore hari melalui pesan singkat (Yusainy, 2013). Setelah melalui proses pelatihan kontrol diri selama dua minggu, subjek melalui proses posttest (menggunakan skala kecemasan sosial: SIAS) (Brown, Turovsky, Heimberg, Juster, Brown, Barlow, 1997) dan mengumpulkan diary

yang sudah diisi selama dua minggu. Hipotesis yang diajukan yaitu bahwa self

control training mempengaruhi kecemasan

sosial pada remaja.

METODE

Partisipan dan Desain Penelitian

Partisipan penelitian ini berjumlah 48 siswa remaja SMAN (Sekolah Menengah Atas Negeri) 7 Malang yang terdiri dari 30 siswa remaja perempuan dan 18 siswa remaja laki-laki. 48 subjek penelitian merupakan siswa SMAN 7 Malang kelas X (sepuluh) yang berusia sekitar 14-16 tahun dan yang belum pernah mengikuti eksperimen psikologi sebelumnya terutama tentang pelatihan kontrol diri. Sampel pada penelitian ini diambil dengan cara dipilih oleh peneliti dan beberapa wali kelas di SMAN 7 Malang yang membantu proses rekruitmen partisipan. 48 sampel yang diambil dari dua kelas X (sepuluh) yakni X-IS-3 (Kelas Sepuluh-Ilmu Sosial-Tiga) dan X-IS-4 (Sepuluh-Ilmu Sosial-Empat) yang juga akan menjadi partisipan dalam penelitian ini. Metode penelitian menggunakan kuasi eksperimen dengan desain One-Group Pretest-Posttest Design

(tanpa menggunakan kelompok pembanding).

Teknik Pengumpulan Data

a. Skala Kecemasan Sosial/SIAS (Social Interaction Anxiety Scale)

SIAS (Social Interaction Anxiety

(5)

Heimberg, Juster, Brown, Barlow (1997). Skala SIAS dalam penelitian ini digunakan untuk mengukur variabel terikat (kecemasan sosial) kemudian diberi treatment (pelatihan kontrol diri), tahap akhir diukur kembali variabel terikatnya (kecemasan sosial) dengan menggunakan skala yang sama. Skala kecemasan sosial merupakan skala yang bertujuan untuk mengukur seberapa tinggi tingkat kecemasan sosial subjek pada kalangan remaja. Skala kecemasan sosial yang sudah pernah digunakan dalam penelitian Rahmawati (2014) ini terdiri dari 20 butir dengan 5 alternatif respon 1 sampai 5 yaitu (1 = sangat tidak sesuai; 5 = sangat sesuai). Semakin tinggi rata-rata skor total maka semakin tinggi juga tingkat kecemasan sosialnya. Salah satu

contoh dari item SIAS adalah “Saya

merasa tegang jika saya hanya sendiri

dengan orang lain”. Berdasarkan uji

realibilitas dengan analisis Cronbach’s

Alpha didapatkan nilai reliabilitas pada skala kecemasan sosial (SIAS) adalah 0,90, dimana reliabilitas yang tinggi ditunjukkan dengan nilai koefisien alpha mendekati 1 (Rahmawati, 2014). Dari sini bisa dilihat bahwa alat ukur yang digunakan memiliki reliabilitas yang baik.

b. Self control training (Diary Reminder)

Yusainy (2013) dalam penerapan pelatihan kontrol diri ini peneliti meminta peserta untuk menilai seberapa sering mereka mempertahankan postur yang baik sesuai dengan instruksi yang diberikan (duduk tegak, berjalan tegak, dll) setiap saat selama dua minggu, dan diukur menggunakan 6 titik pada skala Likert (1 = hampir tidak pernah dan 6 = hampir selalu). Tata cara pelaksanaan pelatihan adalah subjek diminta untuk memantau dan memperbaiki postur mereka sendiri (duduk tegak, berjalan tegak, dll). Fungsi dari diary reminder ini adalah untuk memantau seberapa sering subjek melakukan perbaikan postur tubuh selama dua minggu (manipulation

check). Diary reminder dibagikan

ketika subjek sudah melalui proses

pretest.

Prosedur

Pertama, peneliti memberikan informed

consent terlebih dahulu kepada partisipan

(6)

demografis (nama, umur, jenis kelamin) terlebih dahulu.

Setelah proses pretest selesai, peneliti membagikan diary improving posture

(sebagai manipulation check). Penerapan

treatment yang dilakukan oleh peneliti

terdahulu, menggunakan diary dengan cara mengingatkan subjek untuk mengontrol diri melalui peningkatan postur tubuh yang baik dan benar. Peneliti bertugas mengingatkan subjek untuk mengisi kolom Diary

Reminder yang sudah peneliti berikan pada

awal pertemuan. Peneliti bisa mengetahui bahwa subjek melakukan instruksi dengan baik yakni subjek merespon SMS (short

message service) yang dikirimkan oleh

peneliti dan tidak lupa untuk mengisi kolom

Diary Reminder.

Tata cara pelaksanaan pelatihan adalah subjek diminta untuk memantau dan memperbaiki postur mereka sendiri (duduk tegak, berjalan tegak, dll). Mereka diberitahu bahwa agar pelatihan bisa mendapatkan hasil yang baik, subjek harus mematuhi dan selalu menilai postur diri (menggunakan diary reminder) mereka selama dua minggu. Peneliti juga menjelaskan bahwa apabila pelatihan tersebut dilakukan dengan baik, partisipan akan merasa lebih senang dan fisik terasa segar. Peneliti melakukan role play pada partisipan, agar tidak terjadi salah pemahaman tentang informasi perbaikan postur yang benar.

Setelah proses treatment selama dua minggu selesai, selanjutnya adalah tahap

post-test dengan menggunakan alat ukur

dan instruksi yang sama dengan pre-test.

Prosesnya pun sama dengan pemberian

pre-test dengan diawali menjelaskan

instruksi pengisian skala oleh peneliti.

Berdasarkan tahap post-test ini diharapkan bisa melihat perubahan keadaan cemas secara sosial pada partisipan.

Analisis data yang digunakan dalam penelitian adalah dependent sample t-test

untuk melihat adakah pengaruh self control

training terhadap kecemasan sosial, pada

(7)

Y1

Gambar 1. Prosedur Penelitian

Mulai

Pembagian kolom Diary Reminder

kepada subjek

Selama 2 minggu, peneliti mengingatkan (melalui SMS)

subjek untuk mengisi Diary Reminder (sebagai manipulation kolom hasil Diary Reminder

kepada peneliti

Selesai

Gambar 2. Tahapan Pelaksanaan

Treatment (Improving Posture Diary)

HASIL

Analisis Utama

Pada analisis utama ini, peneliti menguji hipotesis melalui beberapa cara, yakni:

1. Statistik koefisien; nilai t

2. Confidence interval (CI)

3. Effect Size

4. Bayes Factor (BF10); menggunakan software “R”

Berdasarkan analisis utama menggunakan dependent sample t-test

diperoleh hasil Rxy sebesar 0,776 dengan

p-value=0,032 (p<0.05). Tetapi, dari hasil

mean posttest (M=1.92) dibanding mean

pretest (M=1.80) terlihat bahwa skor

posttest SIAS > pretest SIAS. Skor posttest

(menggunakan Skala SIAS) lebih besar dibandingkan dengan skor pretest

(menggunakan Skala SIAS), jadi pelatihan kontrol diri mengakibatkan subjek semakin cemas atau bisa disebut dengan hasil signifikan dengan arah kebalikan dari prediksi peneliti. Hal ini menjadi bukti bahwa self control training bisa menjadi prediktor yang signifikan tetapi dengan arah kebalikan terhadap kecemasan sosial. Yang dimaksudkan di sini yaitu angka kecemasan sosial partisipan setelah diberi

treatment self control training semakin

tinggi.

(8)

sebesar (-4,65 - -0,22). Selain itu diketahui

effect size sebesar 0,776 dan total varian yg

bisa dijelaskan 0,602 (60,2%) (large size;

pengaruh dalam penelitian ini yang diberikan sangat besar). Kategorisasi effect

size (Small = 0.1, Medium = 0.3 dan Large

0.5). Hasil dari Bayes factor menggunakan BF10 didapatkan nilai sebesar (1,447);

anecdotal result (terdapat bukti yang

lemah). Maka dari itu, dari beberapa penjelasan kajian data di atas dapat dikatakan bahwa terdapat bukti yang lemah untuk mendukung bahwa adanya pengaruh

self control training terhadap kecemasan

sosial tetapi dengan arah kebalikan.

Peneliti juga melakukan analisis korelasi antara sex subjek dengan skor selisih kecemasan sosial. Berdasarkan analisis meggunakan independent sample t-test diperoleh t sebesar 0,735 dengan

p-value = 0,47 (p>0.05), dan taraf

kepercayaan 95% CI (-2,918-6,273). Hasil dari Bayes factor menggunakan BF10 didapatkan nilai sebesar (2,726); anecdotal

result (terdapat bukti yang lemah). Maka

dari itu terdapat bukti yang lemah untuk mendukung bahwa tidak terdapat hubungan antara sex subjek dengan skor selisih kecemasan sosial.

Berdasarkan hasil uji hipotesis dan uji korelasi di atas, secara keseluruhan dapat disimpulkan bahwa (1) self control training

mengakibatkan kecemasan sosial partisipan semakin meningkat. Karena dari deskripsi

hasil uji hipotesis di atas menjelaskan bahwa terdapat bukti (yang lemah) untuk mendukung bahwa adanya pengaruh self

control training terhadap kecemasan sosial

tetapi dengan arah kebalikan. Maka dari itu, hasil analisis self control training dengan kecemasan sosial menunjukkan angka yang signifikan tetapi berbanding terbalik dengan hipotesis awal peneliti (kecemasan sosial semakin meningkat). (2) tidak terdapat korelasi antara sex subjek dengan skor selisih kecemasan sosial, karena dari deskripsi hasil uji korelasi di atas menunjukkan bahwa terdapat bukti (yang lemah) untuk mendukung bahwa tidak terdapat hubungan antara sex subjek dengan skor selisih kecemasan sosial.

Analisis Awal

Variabel Kecemasan Sosial peneliti menggunakan skala SIAS. Skala SIAS memiliki 20 butir yang diantaranya ada 17 butir favorable dan sisanya adalah butir

unfavourable. Berdasarkan uji realibilitas

dengan analisis Cronbach’s Alpha

(9)

Analisis Tambahan

Setelah menganalisis korelasi antara sex

subjek dengan skor selisih kecemasan sosial, peneliti juga menyusun grafik antara skor total pretest dengan skor total

posttest berdasarkan perbedaan jenis

kelamin subjek (lihat: Gambar 3). Pada jenis kelamin perempuan hasil total pretest

(M=36.3; sd=13.83), dan hasil total

posttest (M=39.3; sd=10.27). Jenis

kelamin laki-laki didapati hasil total

pretest (M=35.8; sd=8.38), dan hasil total

posttest (M=37.2; sd=10.62). Setelah

membandingkan hasil masing-masing, peneliti mendapati bahwa hasil posttest

jenis kelamin perempuan dan laki-laki menunjukkan kenaikan angka yang lebih besar dibanding dengan hasil pretest. Dari beberapa teori yang akan dibahas menjelaskan lebih lanjut bahwa jenis kelamin laki-laki memang cenderung mampu mengontrol diri dibanding jenis kelamin perempuan.

Terdapat kemungkinan bahwa pria dan wanita berbeda dalam pengaturan diri dan kemampuan mereka untuk menghambat respons (Bjorklund dan Kipp dalam Kamkar, Morton, 2014). MacDonald (2008) menyatakan bahwa laki-laki mungkin lebih unggul pada langkah-langkah pendekatan perilaku (mencari sensasi, impulsif dan agresi/emosi) dan cenderung mampu mengontrolnya.

Uji Korelasi Sex dengan Skor Selisih

Kecemasan Sosial

Gambar 3. Skor Total Pretest dan Posttest Kecemasan Sosial Berdasarkan Perbedaan

Jenis Kelamin

DISKUSI

Analisis utama menunjukkan bahwa terdapat bukti (yang lemah) untuk mendukung bahwa adanya pengaruh self

control training terhadap kecemasan sosial

tetapi dengan arah kebalikan. Sehingga dapat dibuktikan bahwa self control

training bisa menjadi prediktor yang

signifikan dengan arah kebalikan terhadap kecemasan sosial (angka kecemasan sosial partisipan setelah diberi treatment self

control training semakin tinggi).

(10)

sikap emosionalnya. Tugas yang sedang berlangsung ini kemungkinan akan dipertahankan oleh individu ketika dianggap memiliki potensi untuk mengubah sikap emosionalnya sedangkan yang dianggap tidak relevan dengan emosional individu, mungkin tugas itu akan diabaikan/diacuhkan. Karena norma atau tugas dapat mendukung mendorong atau malah menghambat berbagai jenis kondisi emosional individu. Kesimpulan dari teori di atas adalah partisipan pada penelitian ini diberi tugas yang dikontrol, tetapi partisipan juga memiliki kendali penuh dalam memutuskan untuk mempertahankan postur tubuh (treatment) atau tidak.

Penelitian lain yang dilakukan Schmeichel dan Inzlicht (2012) menyatakan pula saat individu memerlukan kontrol diri dalam melakukan tugas peringatan pengendalian diri (misal self

control training) dan saat bersamaan itu

juga individu (dalam keadaan sadar) mengatur emosi, beberapa hal yang mengancam diri individu akan semakin timbul. Misalnya konflik diri muncul, maka emosi negatif (misalnya kecemasan) juga akan semakin terlihat. Hal ini sesuai dengan hasil penelitian dimana ketika partisipan memerlukan kontrol diri untuk mengendalikan perilaku, emosi negatif (kecemasan) bisa semakin terlihat atau muncul.

Sama halnya dengan penelitian yang dilakukan oleh Boiten, Frijda, dan Wientjes; Esch, Fricchione, dan Stefano; Philippot et al.,; Rausch, Gramling, dan Auerbach (dalam Baumeister dan Vohs, 2011) bahwa orang yang berorientasi meregulasi emosinya akan berusaha untuk menjembatani antara pikiran dan tubuh. Memang, kegiatan tubuh biasanya terintegrasi dalam kegiatan yang menyangkut emosi seperti meditasi atau kesadaran latihan. Sehingga aktivitas fisik, seperti pernapasan yang diatur atau relaksasi otot progresif, memiliki pengaruh yang berbeda pada proses regulasi emosi dan tidak dapat dikurangi menjadi suatu atensi (Baumeister dan Vohs, 2011).

Berdasarkan hasil penelitian di atas, dapat dipahami bahwa regulasi emosi (cemas secara sosial) melalui kontrol diri (tugas fisik) dapat mendukung munculnya dua hal. Yakni dapat mendukung, mendorong kondisi emosional atau semakin menghambat kondisi emosional individu. Pada penelitian ini, ditemukan bahwa bahwa self control training semakin mendorong munculnya kecemasan sosial pada subjek menjadikan subjek semakin cemas ketika diberi tugas fisik seperti

improving posture dalam self control

training. Penelitian lebih lanjut dapat

membantu menjelaskan temuan ini.

(11)

berdasarkan jenis kelamin, dimana dari hasil skor kecemasan sosial subjek perempuan ditemui skor yang meningkat dibanding skor kecemasan sosial subjek laki-laki. Hal ini menjelaskan bahwa subjek laki-laki lebih mampu mengontrol diri dibanding subjek perempuan.

Sesuai dengan penelitian Pine, Fletcher; Carroll et al.,; Khaighobadi, Stevens; dan Smith et al., sebutkan bahwa belum tentu perempuan selalu lebih mampu mengendalikan diri dibandingkan laki-laki (Kamkar dan Morton, 2014). Hal ini didukung oleh Bjorklund dan Kipp (dalam Kamkar dan Morton, 2014) yang menemukan fakta bahwa selama fase subur dari siklus menstruasi pada perempuan akan mempengaruhi sikap pengendalian diri dan mereka juga akan cenderung kurang impulsif dalam hal kemampuan mengontrol dirinya.

Berdasarkan hasil penelitian tersebut, maka dapat disimpulkan bahwa angka kecemasan sosial pada remaja perempuan rata-rata meningkat dibanding pada remaja laki-laki. Sehingga hal ini mendukung hasil penelitian ini, bahwa remaja perempuan ketika mengalami siklus menstruasi bisa berdampak pada sikap pengendalian dirinya.

Penelitian ini memiliki tujuan yang sama dengan salah satu penelitian ynag dilakukan oleh Yusainy (2013) yakni melihat adakah pengaruh self control

training terhadap perilaku agresif. Hanya

saja penelitian ini dilakukan di dalam budaya yang berbeda (Budaya Timur) dengan penelitian sebelumnya (Budaya Barat). Selain itu, bentuk treatment pada pelatihan kontrol diri yang peneliti gunakan tidak memerlukan biaya yang begitu besar dan juga waktu yang begitu banyak apabila dibanding dengan penelitian terdahulu. Penelitian yang dilakukan Herbert (2009) menggunakan terapi CBT (Cognitive

Behavioral Therapy) dalam menangani

kecemasan sosial, yang bisa digunakan untuk anak-anak maupun dewasa. Namun penerapan intervensi menghabiskan waktu berminggu-minggu untuk mengatasi kecemasan sosial individu, dan juga memerlukan biaya untuk terapis.

KESIMPULAN

Hasil penelitian secara keseluruhan adalah terdapat bukti yang lemah

(anecdotal result) untuk menerima adanya

pengaruh self control training terhadap kecemasan sosial tetapi dengan arah kebalikan. Maka dari itu dapat dibuktikan bahwa self control training bisa menjadi prediktor yang signifikan dengan arah kebalikan terhadap kecemasan sosial.

Keterbatasan penelitian ini terletak pada empat hal. Pertama, pemberian

treatment self control training pada

(12)

partisipannya adalah siswa SMA. Waktu pemberian treatment pada siswa SMA disamakan dengan waktu pemberian

treatment pada mahasiswa yakni 2 minggu.

Seharusnya, pemberian treatment harus diuji coba terlebih dahulu. Sehingga saran untuk penelitian selanjutnya sebelum memberikan treatment lebih baik melakukan uji coba terlebih dahulu. Waktu uji coba treatment selama 1 minggu (<2 minggu) atau 1 bulan (>2 minggu).

Kedua, yakni tidak adanya kelompok kontrol. Penelitian ini tidak dapat membandingkan antara kelompok yang diberi treatment (Kelompok Eksperimen) dengan yang tidak diberi treatment

(Kelompok Kontrol).

Ketiga, terletak pada jumlah subjek yang antara laki-laki dan perempuan tidak seimbang. Maka dari itu, peneliti tidak dapat membandingkan secara seimbang bagaimana hasil skor skala kecemasan sosial maupun skor kepatuhan Improving

Posture. Keempat, penelitian ini

merupakan penelitian baru yang menghubungan pelatihan kontrol diri dengan kecemasan sosial dan didukung dengan literatur dari jurnal penelitian pada budaya barat. Sehingga peneliti juga banyak menerapkan cara/sistem yang diambil pada budaya barat dan dilakukan dalam penelitian ini. Pada penelitian selanjutnya diharapkan untuk memperhatikan tata cara pemberian

treatment dan disesuaikan dengan

budayanya.

Di samping keterbatasan yang ada, penelitian ini telah menemukan hal baru mengenai pengaruh self control training

terhadap kecemasan sosial, yang dalam hasil penelitian ditemukan bahwa semakin subjek diawasi dalam hal kontrol diri, akan semakin menimbulkan rasa cemas.

DAFTAR PUSTAKA

Baumeister, R. F., Schmeichel, B. J., & Vohs, K. D. (2007). Self -regulation and the executive function: The self as controlling agent. Social Psychology: Handbook of Basic

Principles, 2nd edition. New York:

Guilford.

Baumeister, R, Vohs, K. (2011). Handbook of self-regulation : research, theory, and applications. Handbook of

Self-Regulation. New York: Guilford.

Baumeister, R, Vohs, K & Tice, D. (2007). The Strength Model of Self-Control.

Psychological Science. Vol. 16 No.

06. Florida State University and University of Minnesota.

(13)

Psychological Assesment. American Psychological Association.

Ferincz, Hortovanyi, Szabó, & Taródy. (2010). Changes in the way of work:

Generation “Z” at the labour market.

Corvinus University of Budapest. Herbert, J, Gaudiano, B, Rheingold, A,

Moitra, E, Myers, V, Dalrymple, K & Brandsma, L. (2009). Cognitive Behavior Therapy For Generalized Social Anxiety Disorder in Adolescents: A Randomized Controlled Trial. Journal of Anxiety Disorder.

Kamkar, N, Morton, J. (2014). Sex differences in self-regulation: an evolutionary perspective. Article.

Cognitive Development and Neuroimaging Laboratory, Department of Psychology, The University of Western Ontario, London, ON, Canada

MacDonald, K. B. (2008). Effortful control, explicit processing and the regulation of human evolved predispositions.

Psychology Review. California State

University, Long Beach.

Munir, S. (2011). Penerapan Manajemen Pengetahuan di Perusahaan di Indonesia.

Muraven, M. (2010). Building Self-Control Strength: Practicing Self-Control Leads to Improved Self-Control Performance. Journal Exp Social

Psychology. Department of

Psychology, University at Albany, Albany.

Muraven, M, Baumeister, R dan Tice, D. (1999). Longitudinal Improvement of Self-Regulation Through Practice: Building Self-Control Strength Through Repeated Exercise. Journal

of Social Psychology. Departement of

Psychology, Case Western Reserve University.

Nainggolan, T. (2011). Hubungan Antara Kepercayaan Diri Dengan Kecemasan Sosial Pada Pengguna Napza. Sosiokonsepsia, Vol. 16 No. 02. Pusat Penelitian dan Pengembangan Kesejahteraan Sosial, Kementerian Sosial RI.

Rachdianti, Y. (2011). Hubungan Antara Self Control Dengan Intensitas Penggunaan Internet Remaja Akhir.

Skripsi. Jakarta: Fakultas Psikologi

Non Regular Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah.

Rahmawati, S. (2014). Selfie: Peranan Jenis Komentar Terhadap Hubungan Antara Kecemasan Sosial dan Perilaku Agresif Pelaku Selfie.

Skripsi. Jurnal Psikologi. Malang:

Fakultas Ilmu Sosial Ilmu Politik Universitas Brawaijaya.

Ramaiah, S. (2003). Kecemasan;

Bagaimana Cara Mengatasinya.

(14)

Schmeichel, B & Inzlicht M. (2012).

Incidental and Integral Effects of

Emotions on Self-Control. New York:

Guilford Press.

Wibowo, S. (2011). Keterlibatan, Keberhargaan, dan Kompetensi Sosial sebagai Prediktor Kompetisi pada Remaja. Jurnal Psikologi Vol.

38, No. 1. Yogyakarta: Fakultas

Psikologi Universitas Gadjah Mada. Yuliani, Risa. (2013). Emosi Negatif Siswa

Kelas XI SMAN 1 Sungai Limau.

Jurnal Ilmiah Konseling, Vol. 02, No.

1. Padang: Fakultas Ilmu Pendidikan Universitas Negeri.

Yusainy, Cleoputri. A. (2013). Overcoming Aggression: Musing on Mindfulness and Self-Control. Dissertation. Nottingham: School of Psychology. University of Nottingham.

Gambar

Gambar 1. Prosedur Penelitian
Gambar 3. Skor Total Pretest dan Posttest

Referensi

Dokumen terkait

pengalaman pada bidang bangunan non perumahan lainnya sekurang kurangnya 1 (satu) pekerjaan dalam kurun waktu 4 (empat) tahun terakhir. Tidak hadir/ tidak

Penelit harus brilian, mempunyai inisiatf yang berencana serta harus subur dengan ide-ide yang rasional dan menghindari plagiat.. · Daya ingat, seorang penelit harus

Menjadi perawat adalah profesi yang membebani saya jika mungkin saya ingin alih

Dari hasil data penelitian dapat disimpulkan bahwa penggunaan model perempuan dalam iklan kopi berpengaruh terhadap kebiasaan minum kopi bagi perempuan. Pesan iklan

Sehubungan dengan telah dilakukannya evaluasi administrasi, teknis dan kewajaran harga serta formulir isian Dokumen Kualifikasi untuk penawaran paket pekerjaan tersebut diatas,

Pemberitahuan  dan  undangan  tentang  Kongres  harus  disampaikan  kepada  semua  anggota  paling  lambat  satu  bulan  sebelum  tanggal  kongres  diadakan. 

(2) Selama jangka waktu paling lama 30 (tiga puluh) hari ketja sebagaimana dimaksud pada ayat (1), pengelolaan KEK semen tara dilakukan oleh pemerintah provinsi, pemerintah

Tujuannya adalah untuk mengetahui nilai tegangan bending maksimal yang dapat diterima oleh material gigi tiruan dengan standar pengujian ASTM D790 dengan variasi pola