• Tidak ada hasil yang ditemukan

Makalah ini masih dalam proses diskusi

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "Makalah ini masih dalam proses diskusi"

Copied!
19
0
0

Teks penuh

(1)

Revisi Makalah

PENGARUH PERIPATETISME DALAM PEMIKIRAN

PENDIDIKAN ISLAM

Makalah Ini Dipresentasikan Pada Mata Kuliah SEJARAH PEMIKIRAN PENDIDIKAN ISLAM

OLEH :

Imam Rinaldi dan Novi Sriyanti PEDI A / Sem. III

Dosen Pembimbing : Prof. Dr. Dja’far Siddik, MA.

PASCASARJANA

(2)

ABSTRACT

Peripatetism or hikmah masya'iyah is a philosophy that glorifies the ratio. For the flow of the masya 'iyah is the attainment of the form of something in the mind, whether it is a form or intangible that can be in the senses. The foothold of this flow lies in the meaning of essence or wujudiyah (aniyah) and essence (mahiyah) and universal and particular substance. According to paripatetic essence it is universal and particular (ai-iati al 'amum wa al khayah), the universal essence with respect to the universal reality (al-haklkat al-kulliyah) called jenus. The special essence is called differensia (al-fayl) and correlates with something specific. Paripathetic philosophy holds that the definitions are composed of genera and differensia from different angles. In essence this flow is almost the same as the flow of Western rationalism in achieving the essence of truth. It is a form or intangible that can be in the senses.

Keywords : Peripatetism, Thought, Theology. substansi universal dan partikuler. Menurut paripatetik esensi itu bersifat universal dan partikuler (ai-iati al ‘amum wa al khayah), esensi universal berkenaan dengan realitas universal (al-haklkat al-kulliyah) yang disebut jenus. Esensi khusus disebut differensia (al-fayl) dan berkorelasi dengan sesuatu yang spesifik. Filsafat paripatetik berpandangan bahwa definisi tersusun dari genus dan differensia dari sudut pandang yang berbeda. Pada hakekatnya aliran ini hampir sama dengan aliran rasionalisme Barat dalam mencapai hakekat kebenaran. Kata Kunci : Peripatetisme, Pemikiran, Teologi.

(3)

PENDAHULUAN

Puji dan syukur yang selalu senantiasa dipanjatkan ke hadirat Allah swt., karena atas izin, hidayah dan Ridho-Nya akhirnya makalah ini dapat diselesaikan, kendati pun masih terdapat berbagai kesalahan dan kekurangan. Shalawat serta salam dihadiahkan kepada Nabi Muhammad saw. yang telah menuntun manusia dari kesalahan menuju kebenaran.

Makalah ini akan membahas Pengaruh Peripatetisme dalam Pemikiran Pendidikan Islam, meliputi: Perkembangan peripatetisme dalam Khazanah Pemikiran Islam, Tokoh dan Karya Monumental, dan Jejak peripatetisme dalam Pemikiran Pendidikan Islam

(4)

BAB II PEMBAHASAN

A. Perkembangan Peripatetisme dalam Khazanah Pemikiran Islam

Kata peripatetisme berasal dari bahasa Yunani, yang merupakan derivasi kata peripatein (berkeliling) dan peripatos (beranda), dan isme yang berarti aliran. Dalam khazanah Yunani, Menurut Amruni kata ini mengacu kepada suatu serambi gedung olahraga di Athena yang digunakan untuk mengajarkan filsafat dengan berjalan-jalan dan mengelilingi murid-murid. Kata sifat dari peripatetisme adalah peripatetik. Dari kata tersebut, Mulyadi berpendapat bahwa berarti “ia yang berjalan berputar atau mengelilingi”. Arti ini merujuk pada kebiasaan Aristoteles yang selalu berjalan-jalan mengelilingi muridnya, ketika ia mengajarkan filsafat. Dalam bahasa Arab, kata peripatetik dikenal dengan istilah masysya’i, berjalan berputar. Sedangkan alirannya disebut masysya’iyah.

Dari pemaparan seputar pengertian peripatetisme di atas, maka dapat dipahami bahwa peripatetisme merupakan sebuah aliran filsafat yang memakai metode yang digunakan oleh Aristoteles untuk mengajarkan filsafat kepada murid-muridnya dengan cara berjalan-jalan dan mengelilinginya. Metode ini dilakukan Aristoteles tentu saja untuk lebih memudahkan baginya dalam mengajarkan filsafat, dan para muridnya bisa secara langsung menerimanya. Itu berarti cikal bakal penggunaan istilah peripatetisme pada mulanya mengacu kepada metode yang dipakai oleh Aristoteles dalam mengajarkan filsafat kepada murid-muridnya.

Dalam filsafat Islam, aliran peripatetisme pertama kali diperkenalkan oleh al-Farabi1, dan secara besar-besaran mencapai puncaknya secara sempurna di tangan Ibn Sina. Dalam perkembangan selanjutnya, aliran filsafat ini umumnya dipakai oleh para filosof Islam, seperti Ibn Bajjah dan Ibn Thufail, yang dikenal sebagai dua filosof Islam yang mengembangkan filsafat peripatetik dalam konteks filsafat yang lebih luas setelah muncul kritikan dari al-Ghazali. Pada abad pertengahan Islam, Mulla Shadra banyak bergantung pada filsafat peripatetik ibn

1Majid Fakhry, A Short Introduction to Islamic Philosophy, Theology, and Mysticism

(5)

Sina.2 Ia telah berhasil mempertemukan empat aliran besar dalam pemikiran Islam; peripatetisme, iluminasionisme (isyraqiyyah), gnonisme(‘irfan) dan kalam/teologi.

Dengan demikian dapat dipahami bahwa aliran peripatetisme tidak saja dianut oleh filosof Islam di zaman klasik, tapi juga sampai zaman pertengahan dan bahkan zaman modern. Di tangan para filosof muslim, aliran peripatetisme mengalami kemajuan di bidang obyek pembahasan, baik secara epistemologi maupun ontologi. Hal ini menunjukkan keterbukaan dan penerimaan yang baik dari para filosof muslim terhadap filsafat Yunani, yang dalam khazanah filsafat Islam dikenal identik dengan istilah hikmah dalam ajaran Islam. Dalam melacak epistemologi peripatetisme Islam, Kartanegara meninjaunya dalam beberapa aspek metodologi berikut ini, yaitu;

1. Modus ekspresi atau penjelasan para filosof Muslim peripatetisme Islam yaitu menggunakan logika formal yang didasarkan pada penalaran akal (rasio). Adapaun prosedur penalaran yang digunakannya adalah apa yang dikenal dalam istilah filsafat sebagai “silogisme”, yaitu metode penarikan kesimpulan dari pengetahuan yang telah diketahui secara baik, yang disebutnya dengan istilah premis (mayor dan minor), dan setelah ditemukan term yang mengantarai dua premis di tersebut yang biasa disebut “midle term” atau al-hadd al-wasath.

2. Bersifat diskursif, filsafat yang dikembangkan bersifat tidak langsung. Dikatakan tidak langsung karena untuk menangkap obyeknya digunakan simbol, baik berupa kata-kata atau konsep maupun representasi. Modus pengetahuan (epistemologi) seperti ini bisa disebut hushuli atau perolehan; yakni diperoleh secara tidak langsung melalui perentara.

3. Penekanan yang kuat pada daya-daya rasio sehingga kurang memprioritaskan pengetahuan melalui pengenalan intuitif. Implikasinya, bisa dikatakan sebagai tidak memperoleh pengetahuan yang otentik-yang biasanya diperoleh berdasarkan pengalaman mistik, tetapi lebih dipengaruhi oleh otoritas para filosof pendahulu. Bukan berarti filosof

(6)

peripatetik tidak mengakui adanya intuisi suci, tapi bagi mereka nampaknya itu hanya dimiliki oleh para Nabi atau wali. Adapun bagi mereka sendiri lebih menggantungkan filsafat mereka pada daya-daya atau kekuatan akal semata. Karena itu aliran peripatetik pantas disebut sebagai kaum rasionalis Islam.3

Berdasarkan elaborasi di atas dapat dipahami, bahwa epistemologi peripatetisme Islam secara prinsip umum sangat mengandalkan potensi akal dalam memperoleh pengetahuan. Tingginya kedudukan akal bagi aliran peripatetik, maka tidaklah berlebihan jika mereka disebut sebagai kaum rasionalis Islam, dan dapat juga dikatakan sebagai kaum “deduksionis”, karena ciri khas metode ini adalah penyandarannya yang eksklusif (kuat) pada deduksi dan demontrasi rasional. Hal ini terjadi disebabkan oleh tinggi atau banyaknya pengaruh pemikiran filsafat Yunani, khususnya Aristoteles terhadap para filosof Islam pada awal sentuhan peradaban Yunani ke dunia Islam. Bahkan tidak dapat dipungkiri, bahwa banyak unsur-unsur Yunani (hellenisme) dalam filsafat Islam, khususnya secara metodologi atau epistemologi.

Secara ontologis, standar aliran peripatetisme Islam dapat dilihat dalam dua kategori;pertama, materi dan bentuk. Aliran peripatetisme Islam menganut pemikiran bahwa segala yang ada (wujud) di alam ini terdiri atas dua unsur utama yaitu materi/ al-hayula, dan bentuk /shurah. Materi dan bentuk menjadi penentu bagi sesuatu berwujud atau tidak. Tegasnya, standar sesuatu dikatakan wujud, bila sestau itu mengandung untsur materi dan bentuk. Dengan demikian, aliran peripatetisme Islam lebih menekankan keutamaan wujud (ashalah al-wujud), sehingga bisa disebut sebagai penganut aliran eksistensialisme Islam atau hylomorfis.

Para ilmuan Arab sudah mengadakan usaha yang berarti untuk menyelaraskan, bukan hanya filsafat Yunani dengan ajaran Islam, akan tetapi juga dengan unsur-unsur campuran yang terdapat di dalam filsafat Yunani sendiri. Walaupun tidak secara langsung semangat patriskisme berperan untuk

(7)

mendamaikan pertentangan yang terjadi antara ilmuwan dengan agama, pada sisi lain terjadi peralihan besar-besaran dari dunia filsafat Yunani ke dalam dunia Islam dalam semangat keilmuwan murni. Hal ini ditandai dengan penterjemahan buku-buku Yunani, yang berpusat di bait al hikmah khususnya, ke dalam bahasa Timur, terutama bahasa Arab. Upaya penerjemahan ini membawa pengaruh yang sangat besar dengan di tandai lahirnya banyak tokoh filsuf di dunia Islam.

Ibnu Sina melengkapi teori al-Farabi. Teori emanasinya hampir sama dengan teori al-Farabi. Beberapa hal yang perlu dicatat adalah; pertama, Dia menjelaskan wujud berdasarkan tiga kelompok, wajibul wujud, Mumtani al-Wujud, dan Mumkinul Wujud. Tuhan tentu saja adalah wajibul wujud yang senantiasa aktual. Mumtani al-Wujud tidak merujuk apapun karena kemustahilannya. Sementara Mumkinul wujud adalah wujud potensial. Mumkinul wujud merujuk pada alam semesta ketika masih berpotensi. Ketika sudah pada tahap maujud, maka dia disebut sebagai wajibul wujud lighairihi

(wujud wajib yang bergantung). Kedua, karena akal pertama dan akal selanjutnya dapat berpikir tentang tiga macam, maka akibatnya juga tiga macam. Pengecualian terdapat pada akal kesepuluh karena tidak dapat lagi melahirkan akal ke sebelas karena memberikan bentuk pada materi, menimbulkan alam fisik yang fana berupa dunia kejadian (generasi) dan kehancuran (korupsi) berupa dunia bawah bulan (sub lunar world) yang kita tempati saat ini tempat munculnya hewan, tumbuhan, batuan dan manusia.4

Peran para Filsuf Peripatetik Muslim dalam pemikiran filsafat, telah melanjutkan dengan baik tradisi filsafat Yunani melalui pemikiran baru yang merupakan kritik mendalam dan juga apresiasi terhadap jejak pemikiran filsafat para filsuf sebelumnya.

Keberadaan filsafat peripatetik memperoleh serangan hebat dari para teologi Asy’ariyah, seperti serangan dari Abu Hamid al-Ghazali (w. 1111), yang di dunia Latin dikenal sebagai Algazel.5 Beliau mengkritik filsafat

4Ibid., h. 38-42.

5Sayyed Hossein Nasr, Science and Civilization in Islam (New York : Mentor Books,

(8)

dengan terlebih dahulu merumuskan ajaran-ajaran peripaetatisme seperti dalam Maqasid al-Falsafiah, lalu dikritik secara tajam dalam Tahaful al-Falasifah. Al-Ghazali mengklaim bahwa para filsuf muslim telah membuat kekeliruan total tentang metafisika, bahkan gagasan mereka tentang metafisika sesat dan bertentangan dengan ajaran agama Islam.

Al-Ghazali sebagai seorang teolog besar pendukung aliran Asy’ariyah, secara sistematis membongkar cara berfikir filosofis para filsuf muslim. Hal ini dilakukan karena al-Ghazali mencoba mempertahankan pokok-pokok pikiran Asy’ari (w. 935) sebab pemikiran-pemikiran para filsuf bertolak belakang dengan teologi Asy’aiyah yang diyakininya. Sedikitnya dua puluh persoalan metafisika menjadi sasaran kritik mantan rektor Universitas Nizhamiyah Baghdad ini.6

Dalam bukunya yang berjudul Tahafut al-Falasifah, Al-Ghazali menyerang pendapat-pendapat filsafat Yunani dan filsafat Ibnu Sina yang meliputi dua puluh masalah, antara lain :

a. Al-Ghazali menyerang dalil-dalil filsafat (Aristoteles) tentang azalinya alam dan dunia. Di sini al-Ghazali berpendapat bahwa alam (dunia) berasal dari tidak ada menjadi ada sebab diciptakan oleh Tuhan.

b. Al-Ghazali menyerang pendapat kaum filsafat (Aristoteles) tentang pastinya keabadian alam. Ia berpendapat bahwa soal keabadian alam itu terserah kepada Tuhan semata-mata. Mungkin saja alam itu terus-menerus tanpa akhir andaikata Tuhan menghendakinya. Akan tetapi bukanlah suatu kepastian harus adanya keabadian alam disebabkan oleh dirinya sendiri di luar irodat Tuhan.

c. Al-Ghazali menyerang pendapat kaum filsafat bahwa Tuhan hanya mengetahui soal-soal yang besar saja, tetapi tidak mengetahui soal-soal yang kecil-kecil (juz’iyat).

d. Al-Ghazali juga menentang pendapat filsafat bahwa segala sesuatu terjadi dengan kepastian hukum sebab dan akibat semata-mata. mustahil ada

6Dja’far Siddik dan Ja’far, Jejak Langkah Intelektual Islam (Medan : IAIN Press, 2010),

(9)

penyelewengan dari hukum itu, bagi al-Ghazali segala peristiwa yang serupa dengan hukum sebab akiibat itu hanyalah kebiasaan (adat) semata-mata, dan bukan hukum kepastian. Dalam hal ini jelas al-Ghazali menyokong pendapat ijrau’ul adat dari Al-Asy’ari.7

Al-Ghazali menyatakan bahwa tiga pandangan filsuf membuat mereka bisa dicap sebagai sesat. Tiga pandangan sesat para filsuf tentang metafisika, sehingga keyakinan mereka itu menjadikan mereka sebagai kafir, yakni :8

1. Pandangan mereka tentang kekadiman alam

2. Pandangan mereka bahwa Allah swt tidak mengetahui soal-soal peristiwa kecil.

3. Pandangan mereka tentang pengingkaran terhadap kebangkitan jasmani. Awalnya peripatetisme ini berkembang di Timur karena disebarkan oleh para filsuf-filsuf muslim di wilayah Timur, seperti al-Kindi, al-Razi, al-Farabi, dan Ibnu Sina. Kemudian akhirnya filsafat ini menyebarluas di wilayah Barat (Eropa) dengan disebarkannya oleh Ibnu Bajjah (1100-1138 M) dikenal dengan Avempace, Ibnu Thufail (1185 M) dikenal dengan Abubacer, dan Ibnu Rusyd (1126-1198 M) dikenal dengan Averroce.9

Sampai pertengahan abad ke-12 orang-orang Barat belum mengenal filsafat Aristoteles (peripatetisme) secara keseluruhan. Skolastik Islamlah yang membawakan perkembangan filsafat di Barat. Berkat tulisan ahli pikir Islam, terutama Ibnu Rusyd, orang-orang Barat itu mengenal Aristoteles. Peran para filsuf muslim besar sekali, tidak hanya dalam pemikiran filsafat saja tetapi juga memberikan sumbangan yang tidak kecil bagi Eropa dalam bidang llmu pengetahuan.10

Sejarah mencatat bahwa nasib filsafat peripatetik di Barat tidak mendapat usia panjang. Sejak abad ke-13 M, filsafat mulai mengalami kebangkitan kembali di dunia Timur, dan Persia menjadi ladang subur bagi budidaya filsafat peripatetik. Akan tetapi seperti yang dikatakan Rahman, peripatetik mulai

7Sudarsono, Filsafat Islam (Jakarta : Rineka Cipta, 2010), h. 71. 8Sudarsono, Filsafat Islam (Jakarta : Rineka Cipta, 2010), h. 71.

9Ali Maksum, Pengantar Filsafat : Dari Klasik Hingga Postmodernisme (Yogyakarta :

AR-Ruzz Media, 2016), h. 86.

(10)

mengalami persentuhan dengan tasawuf dan kalam.11 Pada periode ini banyak ditemukan sejumlah tokoh yang mengomentari karya-karya peripatetisme.

B. Tokoh dan Karya Monumental

Sejumlah penulis sejarah filsafat Islam menyebut Abu al-‘Abbas Iransyahri sebagai filsuf muslim pertama aliran ini, kendati hal ini masih memerlukan bukti-bukti sejarah. Lain halnya dengan Sayyid Muhammad Husain Thabathaba’i, seorang filsuf Hikmah Muta’aliyah, yang menyatakan bahwa Ali bin Abi Thalib sebagai orang pertama yang membahas masalah-masalah filsafat diskursif di dunia Islam, seperti termuat dalam kitab Nahj al-Balaghah karya Sayyid Syarif al-Radhi. Akan tetapi, para penulis sejarah filsafat Islam sepakat bahwa tradisi filsafat peripatetik Islam dimulai sejak Kindi (801-865 M), al-Farabi (850-950 M) dan mencapai puncaknya pada masa Ibn Sina (980-1037 M) di dunia Timur dan Ibn Rusyd (1126-1198 M) di dunia Barat. Peripatetisme Islam masih memiliki serentetan filsuf pendukung ajarannya.12

1. Al-Kindi (w. 866 M)

Al-Kindi merupakan orang pertama yang merintis jalan upaya penyesuaian filsuf yunani dengan prinsip-prinsip ajaran Islam (ortodoksi), sementara filsuf Arab atau Islam selanjutnya bisa disebut hanya meneruskan apa yang telah di lakukan al -Kindi. Jalan pertama yang di rintis al-Kindi ini merupakan titik awal lahirnya filsafat Islam, sekalipun filsafat islam masih dalam tanda petik. Mengingat al -Kindi sendiri kurang jelas dan tegas memilih, ketika menghadapi lebih-lebih saat mengimplementasikan aliran filsafat Aristoteles (masyaiyah / peripatetik) dan aliran filsafat neoplatinus (aliran platinus). Kerancuan ini terjadi akibat beredarnya revisi yang dilakukan Proclus terhadap karya tulis Platinus, yang terkenal dengan nama Enneade (tasu’at) atau Rububiyah (ketuhanan). Sebagaimana yang di jelaskan oleh al-Ahwani, ketika al-Kindi mengulas masalah-masalah tentang kecakapan jiwa, banyak pengamat menilai bahwa ia sedikit menyimpang dari tradisi Aristoteles sendiri. Karena ia membedakan antara kecakapan-kecakapan vegetatif,

11Fazlur Rahman, Islam,Terj. Ahsin Muhammad (Bandung : Pustaka, 1984), h. 173. 12Dja’far Siddik dan Ja’far, Jejak Langkah Intelektual Islam (Medan : IAIN Press, 2010),

(11)

sensitif, rasional dan motif. Dengan demikian, konsep tiga bagian platonik tentang jiwa sering kali disatukan tanpa pemilihan sebagaimana mestinya.13

Nama al-Kindi dalam bahasa Latin dikenal sebagai Alkindus. Selain dikenal sebagai seorang pemikir ensiklopedis, karena menguasai semua cabang ilmu filsafat, kimia dan kedokteran. Al-Kindi dipandang oleh para sejarawan sebagai filsuf muslim pertama. Al-Kindi telah menulis 270 karya, adapun di antara karya-karya adalah:14

1. Kitab Fi falsafat al-Ula

2. Kitab al-Bahs ‘ala Ta’lim al-Falsafah 3. Tartib Kitab Arituthilis

4. Risalah fi Hudud al-Asyya’ 5. Fi Radd’ala al-Mananiyah 6. Naql al-Masa’il Mulhidin

7. Al-Hilah li Daf’i al-‘ilm al-Insani

2. Al-Farabi (w. 950 M)

Nama Latin al-Farabi adalah Alpharibus. Ia adalah seorang murid dari Yuhanna bin Haylan dan Bisyr Matta bin Yunus. Ia digelari sebagai Mu’allim al-Tsani (guru kedua) setelah Aristoteles, sebagai Mu’allim al-Awal (guru pertama). Selain dikenal sebagai dokter, logikawan, musisi, ilmuwan, dan filosof. Kendati dikenal sebagai salah seorang filsuf rasionalis, al-Farabi lebih memilih pola hidup sepertipola hidup sufi. Ia sangat produktif menulis sejumlah karya filsafat, di antara karya-karyanya adalah :15

1. Kitab Huruf

2. Kitab al-Faz al al-Musta’malah fi al-Mantiq

3. Kitab al-Jadal

4. Risalah fi al-‘Aqal

5. Risalah fi al-Mantiq

6. Ihsa’ al-Ulum

7. Kitab Ara’ Ahl al-Madinah al-Fadhilah

13Abu Ridla, Rasail al kindi al falsafiyah (Cairo : 1953), h. 294-295. 14Dja’far Siddik dan Ja’far, Jejak, h. 39.

(12)

8. Kitab Siyasah Madaniyah

9. Kitab al-Tanbih ‘ala al-Sabil al-Sa’adah

10.Tahsil al-Sa’adah

11.Fushush al-Hikmah

12.Al-Musyiq al-Kabir

3. Ibn Sina (w. 1073 M)

Ajaran peripatetik mencapai kematangan berkat usaha Ibn Sina. Seorang filsuf Persia bergelar Syaikh al-Rais. Dalam bahasa Latin, dia kenal sebagai Avicenna. Ibn Sina tidak saja dikenal sebagai filsuf, tetapi juga ilmuwan. Doker terbaik zaman kememasan Islam ini banyak menulis berbagai kitab. Di antara karyanya adalah :16

1. Kitab al-Syifa

2. Al-Isyarat wa al-Tanbihat 3. Al-Najat

4. Al-Falsafah al-Msyiriqiyyah 5. Mabda’ wa al-Ma’ad 6. Qanun fi al-Thibb

7. Risalah fi Quwwah al-Nafs 8. Danisyanamayi ‘ala’i 9. Al-Muzdawiyah

10. Al-Qashidah al-‘ainiyyah 11. Risalah al-Thayr

12. Risalah fi Sirr al-Qadar 13. Risalah fi al-Isyq 14. Tahsil al-Sa’adah 15. Al-Urjuzah fi al-Thibb 16. Al-Qashidah

17. Mantiq Masyriqiyyin 18. Al-Hikmah al-Masriqiyyah

(13)

4. Muhammad bin Zakariya al-Razi

Beliau merupakan seorang dokter terkemuka pada zaman keemasan, namun beliau juga memiliki banyak kontribusi bagi sejumlah pemikir filsafat peripatetik. Ia menulis tidak kurang dari 232 buku, di antaranya adalah :17

1. Kitab al-Sirah falsafiyah 2. Al-Thibb al-Ruhani 3. AL-Manshuri 4. Muluki

5. Jami’ fi al-Thibb

6. Syukuk al-Razi ‘ala Kalam Galenos 7. Rasail al-Razi falsafiyah

5. Al-Biruni (w. 1047)

Di antara karyanya adalah :18

1. Al-Din wa al-falsafah 2. Al-Atsar al-Baqiyah

3. Al-adab 4. Al-Tarikh

5. Al-Qanun al-Mas’udi 6. Al-Syahadah fi al-Thinn

7. Tahiq ma li al-Hind min Maqulah 8. ‘Ilm al-Falaq

6. Abu Hasan ‘Amiri (w.922 M) karya-karyanya :

1. Al-‘ilam bi Manaqib al-Islam 2. Fushul Ma’alim al-Ilahiyah 3. Al-Qaul al-Ibshar wa al-Mubshar 4. Indaq al-Basyar min al-Jabr wa al-Qadr 5. Al-Taqrir li Aujuh al-Taqdir

6. Al-Qaul fi al-Ibshar wa al-Mubshar 7. Fushul fi al-Ma’alim al-Ilahiyah 17Ibid., h. 40.

(14)

8. Al-Amad a’la al-Abad 7. Ikhwan al-Shafa

Karyanya adalah Rasail Ikhwan al-Shafa wa Khillan al-Wafa’. 8. Yahya bin ‘Adi (w. 974 M)

Karyanya adalah :

1. Tahdzib al-Akhlaq

2. Maqala fi al-Tawhid li Syaikh Yahya bin ‘Adi 9. Ibn Haytsam (w. 1039 M)

Beliau adalah seorang dokter, astronom, matematikawan, musisi, dan filosof, yang telah menulis 180 karya, di antaranya adalah :

1. Kitab Manazhir 2. Al-Mutawassitat 10.Ibn Khaldun (w. 1406 M)

Filsuf ini berasal dari Tunisia. Selain dikenal sebagai fukaha madzhab Maliki, ia juga dikenal sebagai filsuf sejarah. Buah fikirnya dikenal lewat sejumlah karyanya, seperti :

1. Al-Muqaddimah

2. Al-‘Ibar wa diwan al-Mubtada’ wa al-Khabar fi Ayyam al-‘Arab wa A’jam wa Barbar wa Man ‘Asarahum min Dzawi Sulthan al-Akbar

3. Al-Ta’rif Ibn Khaldun wa Rihlahtuh Gharban wa Syarqan 4. Lubab al-Muhashshal fi Ushul al-Din

5. Syifa al-Sa’ili Tahzib al-Masa’il

11. Ibnu Bajjah (w. 1138 M)

Ibnu Bajjah menjadi pelopor kebangkitan filsafat peripatetik Andalusia, dan dia mempopulerkan ajaran Aristoteles, Plato, Farabi, dan al-Ghazali di Barat. Selain banyak mengulas karya-karya filosof Yunani seperti Plato, Aristoteles, Phytagoras, ia juga menulis sejumlah kitab seperti :19

1. Tadbir al-Mutawahhid 2. Kitab an-Nafs

3. Risalat al-Ittishal

(15)

4. Risalat al-Wada’ 12.ibnu Tufail (w. 1185 M)

Ia tidak saja dikenal sebagai filsuf Andalusia, tetapi juga dokter terkemuka. Karya monumentalnya adalah Hayy bin Yaqzan.

C. Jejak Teologi dalam Pemikiran Pendidikan Islam

Tokoh filsafat Islam yang identik dengan peripatetisme adalah Al-Kindi, Al-Farabi, Ibnu Sina dan lain-lain dan mereka menghasilkan pemikiran yang berbeda-beda contohnya Ibnu Sina dengan konsep emanasinya yang menjadi basis kosmologi yang Tuhan yang tunggal di identikan sebagai Intelek yang memancarkan atau beremanasi menjadi intelek dua, begitu seterusnya sehingga terciptakanya berbagai materi yang ada di alam semesta ini.

Masuknya filsafat Yunani ke dunia Islam yang paling jelas adalah melalui penerjemahan buku-buku filsafat. Kegiatan tersebut membuat beberapa filsuf Islam dikenal oleh dunia. Dapat diketahui bahwasanya nama Abu Ishak al-Kindi, Abu Nasr al-Farabi, Ibnu Sina, Ibnu Bajah, Ibnu Tufail, Ibnu Rusyd, al-Abhari dan sebagainya. Auguste Comte pernah menerangkan, bahwa tiap-tiap pribadi bangsa tumbuh dalam tiga tingkat kemajuannya : Pertama, tingkat agama atau dogma, di mana manusia menerima keyakinan dari mulut ke mulut dan menjalankannya. Kedua, tingkat filsafat, di mana manusia menggunakan pikirannya untuk memikirkan apakah yang menjadi hakikat kebenaran. Ketiga, tingkat ilmu pengetahuan, di mana manusia menggunakan pikirannya itu sudah sampai pada tingkat yakin dan kebenaran yang diyakaini itu adalah kebenaran yang mutlak.20

Sebagaimana telah diketahui bahwa filsafat pendidikan merupakan terapan ilmu filsafat terhadap problema terhadap pendidikan atau filsafat yang dietrapkan dalam suatu usaha pemikiran (analisis filosofis) mengenai masalah pendidikan. Hampir semua pakar pendidikan sepakat untuk mengatakan bahwa filsafat pendidikan mengandung makna berpikir kritis, sistematis, dan radikal tentang berbagai problem kependidikan guna pencarian konsep-konsep dan gagasan– gagasan yang dapat mengarahkan manusia dalam rancangan yang integral agar

(16)

pendidikan benar-benar dapat menjawab kebutuhan masyarakat dalam rangka kemajuan-kemajuan.

Kegiatan ilmu pengetahuan (terutama filsafat) merupakan prestasi besar dan sebagai mata rantai hubungan Islam dari Timur ke Eropa. Hal ini merupakan sumbangan Islam terhadap Eropa yang dapat membawa kebebasan berfikir untuk mendorong perkembangan intelektual para ilmuan.

BAB III KESIMPULAN

(17)

dalam khazanah pemikiran Islam, Filsafat peripatetisme ini pernah dikritisi oleh al-Ghazali yang kemudian kritikan tersebut beliau tulis dalam bukunya yang berjudul Tahafut al-Falasifah (Kerancuan filsafat). Sedikitnya dua puluh persoalan metafisika menjadi sasaran kritik al-Ghazali. Beliau menyatakan bahwa tiga pandangan filsuf membuat mereka menjadi kafir, sementara tiga pandangan filsuf membuat mereka bisa dicap sebagai pelaku bid’ah. Tiga pandangan sesat para filsuf tentang metafisika, sehingga keyakinan mereka itu menjadikan mereka sebagai kafir, yakni :

1. Pandangan mereka tentang kekadiman alam

2. Pandangan mereka bahwa Allah swt tidak mengetahui soal-soal peristiwa kecil.

3. Pandangan mereka tentang pengingkaran terhadap kebangkitan jasmani. Adapun tokoh-tokoh aliran peripatetisme di antaranya :

1. Al-Kindi (w. 866 M)

2. Al-Farabi (w. 950 M) 3. Ibn Sina (w. 1073 M)

4. Muhammad bin Zakariya al-Razi 5. Al-Biruni (w. 1047)

6. Abu Hasan ‘Amiri (w.922 M)

7. Ikhwan al-Shafa

8. Yahya bin ‘Adi (w. 974 M)

9. Ibn Haytsam (w. 1039 M)

10.Ibn Khaldun (w. 1406 M)

11.Ibnu Bajjaj

12.Ibnu Tufail

Masuknya filsafat Yunani ke dunia Islam yang paling jelas adalah melalui penerjemahan buku-buku filsafat. Kegiatan tersebut membuat beberapa filsuf Islam dikenal oleh dunia. Dapat diketahui bahwasanya nama Abu Ishak al-Kindi, Abu Nasr al-Farabi, Ibnu Sina, Ibnu Bajah, Ibnu Tufail, Ibnu Rusyd, dan sebagainya

(18)

sumbangan Islam terhadap Eropa yang dapat membawa kebebasan berfikir untuk mendorong perkembangan intelektual para ilmuan.21 Inilah yang menjadi Jejak teologi dalam pemikiran pendidikan Islam.

DAFTAR PUSTAKA

Bakar Aceh, Abu, 1982, Sejarah Filsafat Islam, Solo : Ramadhani.

Fakhry, Majid, 1997, A Short Introduction to Islamic Philosophy, Theology, and Mysticism , Oxford: Oneworld Publications.

21Mukhtar Latif, Orientasi Ke Arah Pemahaman Filsafat Ilmu, (Jakarta: Prenadamedia

(19)

Hossein Nasr, Sayyed, 1970, Science and Civilization in Islam (New York : Mentor Books.

Labib, Muhsin, 2002, Mengenal Tasawuf, Irfan, dan Kebatinan, Jakarta : Lentera.

Latif, Mukhtar, 2014, Orientasi Ke Arah Pemahaman Filsafat Ilmu, Jakarta: Prenadamedia Grup.

Maksum, Ali, 2016, Pengantar Filsafat : Dari Klasik Hingga Postmodernisme, Yogyakarta : AR-Ruzz Media.

Muhmidayeli, 2011, Filsafat Pendidikan, Bandung : Refika Aditama. Prasetya, 1997, Filsafat Pendidikan, Bandung : Pustaka Setia. Ridla, Abu, 1953, Rasail al kindi al falsafiyah, Cairo.

Siddik, Dja’far dan Ja’far, 2010, Jejak Langkah Intelektual Islam, Medan : IAIN Press.

Referensi

Dokumen terkait

Berdasarkan hasil penelitian dapat dikemukakan bahwa praktik kerjasama bagi hasil dalam penggarapan sawah dan kebun kopi yang terjadi di Desa Talang Jawa, yaitu pembagian

Wallpaper sangat praktis di gunakan untuk menggantikan cat dinding sebab bahan tersebut banyak sekali motif yang sangat unik sehingga sangat tepat jika anda menggunakan bahan

Pengadilan dapat memberikan keterangan, pertimbangan dan nasehat tentang Hukum kepada Instansi Pemerintah didaerahnya, apabial diminta (Pasal 52 Undang-undang Nomor

Hasil pengujian variabel keamanan dan kerahasiaan, kesiapan teknologi informasi, persepsi kegunaan dan persepsi kemudahaan secara bersama-sama mempengaruhi minat

Hasil penelitian menunjukan bahwa dua varietas lada perdu yang di gunakan memiliki respon yang sama pada bobot kering tajuk, bobot kering akar, total luas daun.. Perlakuan cekaman

Kondisi pada kuadran II ini merupakan kondisi yang cukup rawan karena akan menjadi ajang kepentingan banyak pihak, termasuk pihak asing untuk berebut memanfaatkan (eksploitasi)

Student learning through service learning: Effects on academic development, civic responsibility, interpersonal skills and practical skills.. Journal Active Learning ini

19 tahun 2003 tentang Badan Usaha Milik Negara dijelaskan bahwa untuk mengoptimalkan keberadaannya dalam perkembangan ekonomi dunia yang semakin terbuka dan