• Tidak ada hasil yang ditemukan

PENGARUH POLEMIK DJAWI HISWORO TERHADAP KONDISI SAREKAT ISLAM TAHUN 1918-1920

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "PENGARUH POLEMIK DJAWI HISWORO TERHADAP KONDISI SAREKAT ISLAM TAHUN 1918-1920"

Copied!
75
0
0

Teks penuh

(1)

commit to user

PENGARUH POLEMIK DJAWI HISWORO

TERHADAP KONDISI SAREKAT ISLAM

TAHUN 1918-1920

SKRIPSI

Diajukan untuk Memenuhi sebagian Persyaratan guna Melengkapi Gelar Sarjana Sastra Jurusan Ilmu Sejarah

Fakultas Sastra dan Seni Rupa Universitas Sebelas Maret

Disusun oleh: WIDO ADITYA

C0505049

FAKULTAS SASTRA DAN SENI RUPA

UNIVERSITAS SEBELAS MARET

(2)

commit to user

ii

PENGARUH POLEMIK DJAWI HISWORO

TERHADAP KONDISI SAREKAT ISLAM

TAHUN 1918-1920

Disusun oleh

WIDO ADITYA C0505049

Telah disetujui oleh pembimbing

Pembimbing

Dra. Sri Wahyuningsih, M.Hum NIP 195402231986012001

Mengetahui

Ketua Jurusan Ilmu Sejarah

(3)

commit to user

iii

PENGARUH POLEMIK DJAWI HISWORO

TERHADAP KONDISI SAREKAT ISLAM

TAHUN 1918-1920

Disusun oleh WIDO ADITYA

C0505049

Telah disetujui oleh Tim Penguji Skripsi

Fakultas Sastra dan Seni Rupa Universitas Sebelas Maret

Pada tanggal……….

Jabatan Nama TandaTangan

Ketua Penguji Dra. Sawitri Pri Prabawati, M. Pd (………) NIP 195806011986012001

Sekretaris Penguji Tiwuk Kusuma Hastuti, SS. M.Hum (………) NIP 197306132000032002

Penguji I Dra. Sri Wahyuningsih, M.Hum (………) NIP 195402231986012001

Penguji II Drs. Soedarmono, SU (………) NIP 194908131980031001

Dekan

Fakultas Sastra dan Seni Rupa Universitas Sebelas Maret

(4)

commit to user

iv

PERNYATAAN

Nama : WIDO ADITYA NIM : C0505049

Menyatakan dengan sesungguhnya bahwa skripsi berjudul “Pengaruh Polemik Djawi Hisworo Terhadap Kondisi Sarekat Islam Tahun 1918-1920” adalah betul-betul karya sendiri, bukan plagiat, dan tidak dibuatkan oleh orang lain. Hal-hal yang bukan karya saya dalam skripsi ini diberi tanda citasi (kutipan) dan ditunjukkan dalam daftar pustaka.

Apabila di kemudian hari terbukti pernyataan ini tidak benar maka saya bersedia menerima sanksi akademik berupa pencabutan skripsi dan gelar yang diperoleh dari skripsi tersebut.

Surakarta, Januari 2011 Yang membuat pernyataan

(5)

commit to user

v

MOTTO

Dan orang-orang yang berjuang untuk mencari keridhaan Kami, pasti akan

Kami tunjukkan kepada mereka jalan-jalan Kami. Dan sesungguhnya Allah

bersama orang-orang yang suka berbuat baik.

(QS. Al-Ankabut, 29:69)

Hidup ibarat orang berjalan, jika yang dilihat panjangnya jalan maka akan

terasa melelahkan, tapi jika kita membayangkan tempat tujuan maka akan

membuat kita semangat agar cepat sampai ke tujuan.

(6)

commit to user

vi

PERSEMBAHAN

Skripsi ini saya persembahkan untuk:

 Ayah dan Ibuku tercinta

(7)

commit to user

vii

KATA PENGANTAR

Puji Syukur kepada Allah SWT yang telah melimpahkan berkat dan rahmat-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini. Skripsi ini disusun sebagai salah satu syarat meraih gelar sarjana pada Jurusan Ilmu Sejarah Universitas Sebelas Maret Surakarta.

Pada pelaksanaannya, penulis telah banyak mendapatkan bantuan dan fasilitas, bimbingan maupun kerjasama dari berbagai pihak. Oleh karena itu dengan segala ketulusan dan kerendahan hati, penulis mengucapkan terima kasih kepada:

1. Bapak Drs. Sudarno, MA, selaku Dekan Fakultas Sastra dan Seni Rupa Universitas Sebelas Maret, yang telah memberikan fasilitas dan kemudahan dalam perijinan untuk penelitian dan penyusunan skripsi.

2. Ibu Dra. Sri Wahyuningsih, M.Hum. selaku Ketua Jurusan Ilmu Sejarah Fakultas Sastra dan Seni Rupa Universitas Sebelas Maret dan selaku pembimbing utama yang telah memberikan bimbingan dan pengarahan kepada penulis.

3. Bapak M. Bagus Sekar Alam, SS., M.Si selaku pembimbing Akademik yang telah memberikan bimbingan selama penulis menjalani masa perkuliahan. 4. Bapak dan Ibu dosen Jurusan Ilmu Sejarah, yang telah memberikan bimbingan

dan bekal ilmu yang sangat berguna bagi penulis.

5. Perpustakaan Pusat Universitas Sebelas Maret, Perpustakaan Fakultas Sastra dan Seni Rupa, Perpustakaan Jurusan Sejarah, Sonopustoko Kasunanan Surakarta dan Perpustakan Nasional RI yang telah memberikan kemudahan kepada penulis dalam penyediaan dan peminjaman buku-buku yang diperlukan.

(8)

commit to user

viii

7. Memik Zunainingsih yang selalu memberikan saran, bantuan, dukungan, dan semangatnya.

8. Teman-teman sejarah angkatan 2005, Achmad, Bayu, Darmawan, Rika, Yusuf, Doni, Wanto, Cahyo, Budi D, Yusuf Arie, Khanifan dkk, terima kasih atas persahabatan dan dukungannya.

9. Kakak-kakak tingkat terima kasih atas saran dan nasehatnya.

10. Teman-teman UKM MENWA dan INKAI, terima kasih atas persahabatannya. 11. Semua pihak yang telah memberikan bantuan kepada penulis dalam

menyelesaikan skripsi ini.

Penulis menyadari bahwa penyusunan skripsi ini tidak luput dari berbagai kekurangan dan kelemahan. Oleh karena itu, segala kritik dan saran yang sifatnya membangun akan penulis perhatikan dengan baik. Semoga skripsi ini bermanfaat bagi semua pembaca.

Surakarta, Januari 2011

(9)

commit to user

BAB II PERKEMBANGAN SAREKAT ISLAM SURAKARTA 1918-1919 ... 17

A. Perkembangan Sarekat Islam Surakarta 1918-1919 ... 17

1. Kemunculan dan Perkembangan SI di Surakarta ... 17

2. Perpindahan Kekuatan SI Pusat dari Surakarta ke Surabaya.. 22

3. Eksistensi SI Surakarta Pasca Pindahnya SI Pusat dari Surakarta ke Surabaya ... 27

(10)

commit to user

x

BAB III POLEMIK SURAT KABAR DJAWI HISWORO TAHUN 1918-1919 ... 39 A. Sejarah Perkembangan Surat Kabar Djawi Hisworo ... 39 1. Latar Belakang Munculnya Surat Kabar Djawi Hisworo .... 39 2. Perjalanan Martodarsono sebagai Seorang Jurnalis... 41 3. Pergerakan Martodarsono di Sarekat Islam Surakarta... 44 B. Munculnya Polemik di Surat Kabar Djawi Hisworo ... 46

1. Fenomena Polemik Surat Kabar di Surakarta sebelum Djawi Hisworo ... 46 2. Konflik Wacana Antara Kaum Nasionalisme Jawa dan

Nasionalisme Islam ... 48 3. Polemik Surat Kabar Djawi Hisworo seiring Menurunnya

Kekuatan SI Surakarta... ... 52 C. Gejolak Awal di Tubuh Sarekat Islam Sebagai Akibat dari

Kemunculan Polemik Surat Kabar Djawi Hisworo ... 54 1. Isu Volksraad sebelum Munculnya Respon Terhadap

Polemik Djawi Hisworo ... 54

2. Respon terhadap polemik di artikel Djawi Hisworo ... 56 BAB IV PERANG KEPENTINGAN DI SAREKAT ISLAM SETELAH

POLEMIK SURAT KABAR DJAWI HISWORO TAHUN 1919-1920 ... 70 A. Perang Kepentingan Dalam Elit SI Pasca Polemik Surat

Kabar Djawi Hisworo ... 70 1. Perselisihan Antara Kubu Cokroaminoto-Abdoel Moeis

dengan Kubu Goenawan-Samanhudi dalam Tubuh SI Pusat... 70 2. Tampilnya Tjokroaminoto sebagai Anggota Volksraad

(Dewan Rakyat)... ... 73 B. Kritik Balik Sarekat Islam Surakarta terhadap TKNM Terkait

(11)

commit to user

xi

C. Dampak Umum sebagai Akibat Polemik Surat Kabar Djawi

Hisworo... 83

D. Akhir Polemik Surat Kabar Djawi Hisworo Tahun 1920... ... 86

BAB V KESIMPULAN ... 88

DAFTAR PUSTAKA... 91

(12)

commit to user

xii

DAFTAR ISTILAH

Amar maruf : Mendekati yang baik. Bumiputra : penduduk asli.

Centrale Commissie : Badan kordinasi pusat. Clash : Perpecahan.

Inlander : Warga asli atau pribumi.

Jawaisme : Paham yang menganut pemikiran orang jawa kuno. Jihad : Perjuangan dalam Islam

Kamuflase : Siasat tipu muslihat untuk mengecoh perhatian lawan.

Kaum abangan : Kelompok yang menganut Islam kejawen. Kaum putihan : Kelompok yang penganut Islam murni. Kontroversi : Perdebatan.

Metode Beating : Metode protes yang lebih menekankan pada kekerasan atau perkelahian.

Metode Rally : Metode protes yang menggunakan rapat akabr atau rapat umum sebagai media perantara.

Militansi : jiwa pantang menyerah.

Misionaris : Pengemban misi penyebaran agama kristen. Musyrik : Menyekutukan Tuhan.

Nahi munkar : Menjauhi yang kurang baik. Nasionalisme jawa : kebanggaan menjadi orang jawa.

Pagebluk : Kesialan yang diakibatkan oleh wabah penyakit. Polemik pers : Kegiatan pers yang menyimpang dari pers pada

umumnya.

Presdelict : Pembredelan surat kabar

Ratu Adil : Pembawa kejayaan dan kesejahteraan bagi seluruh rakyat.

(13)

commit to user

xiii

Selfgofernment : Pemerintahan sendiri. Vergadering : Rapat terbuka.

Volksraad : Dewan rakyat.

Vorstenlanden : Wilayah kerajaan yang memiliki status istimewa di Jawa pada masa kolonial (Surakarta dan Yogyakarta).

(14)

commit to user

IJB : Inlandsche Joernalist Bond.

IP : Indische Partij.

ISDV : Indische Sociaal Democratische Vereeniging.

JN : javaansche Nationlisme.

KH : Kyai Hadji.

M : Mas.

M.H : Mas Haryo.

M.Ng. : Mas Ngabehi.

MULO : Meer Uitgebreid Lager Onderwijs. OSVIA : Opleiding School Voor Indlandsche Ambtenaren.

PBT : Pemogokan Buruh Percetakan.

PD : Perang Dunia.

PKBT : Perkoempoelan Kaoem Boeroeh Tani.

R : Raden.

R.M.A : Raden Mas Arya.

R.M.T : Raden Mas Tumenggung.

R.Ng : Raden Ngabehi.

RM : Raden Mas.

SATV : Sidiq Amanah Tabligh Vatonah. SAW : Sallallahu Allaihi Wassalam.

SDI : Sarekat Dagang Islam.

SI : Sarekat Islam.

(15)

commit to user

xv

DAFTAR LAMPIRAN

Sinar Djawa, edisi 8 April 1918 ... 89

Islam Bergerak, edisi 26 Februari 1918 ... 90

Djawi Hisworo, edisi 11 Januari 1918 ... 91

Pantjaran Warta, edisi 12 Agustus 1913 ... 92

Neratja, edisi 3-4 April 1918 ... 93

Sinar Djawa, edisi 13 Februari 1919 ... 94

Sinar Hindia, edisi 22 Januari 1919 ... 95

(16)

commit to user

xvi

ABSTRAK

Wido Aditya. C0505049. 2010. “Pengaruh Polemik Djawi Hisworo terhadap kondisi Sarekat Islam Tahun 1918-1920”. Skripsi: Jurusan Ilmu Sejarah Fakultas Sastra Dan Seni Rupa Universitas Sebelas Maret Surakarta.

Penelitian ini membahas tentang perkembangan dari kasus Polemik Surat Kabar Djawi Hisworo terhadap kondisi Sarekat Islam Tahun 1918-1920. Sebagai organisasi massa terbesar pada dasawarsa kedua tahun 1900, kasus polemik surat kabar Djawi Hisworo memiliki pengaruh besar dalam mengubah kondisi internal Sarekat Islam. Penelitian ini bertujuan untuk untuk mengetahui perkembangan Sarekat Islam Surakarta pada tahun 1918-1919, untuk mengetahui perkembangan awal kasus polemik surat kabar Djawi Hisworo tahun 1918-1919, serta untuk mengetahui dampak yang ditimbulkan persdelict surat kabar Djawi Hisworo terhadap kondisi Sarekat Islam dan kehidupan perpolitikan Surakarta 1918-1920.

Penelitian ini menggunakan metode sejarah yang meliputi empat tahap yang saling berkaitan antara satu dengan yang lainnya, yaitu heuristik atau pengumpulan sumber-sumber sejarah melalui penelusuran dokumen tentang Sarekat Islam dan Polemik Surat Kabar Djawi Hisworo serta studi pustaka. Tahap kedua adalah kritik sumber, yaitu memeriksa keaslian dan validitas sumber yang diperoleh. Tahap ketiga adalah interpretasi berupa penafsiran terhadap data yang diperoleh sehingga didapat fakta-fakta sejarah. Tahap keempat penulisan atau historiografi, yaitu menyajikan fakta-fakta yang telah diperoleh dalam bentuk tulisan sejarah. Untuk menganalisa data digunakan pendekatan ilmu sosial yang lain sebagai ilmu bantu ilmu sejarah. Pendekatan dalam penelitian ini adalah pendekatan sosial dan politik.

(17)

commit to user

1

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Kondisi pergerakan di Hindia Belanda pada awal abad ke-19 mulai menunjukkan keberadaannya. Kaum-kaum pribumi yang mengenyam pendidikan

serta mereka yang mulai memiliki kesadaran akan kemerdekaan dan kebebasan menjadi pelopor dalam pembentukan ruang berkumpul berbentuk organisasi. Lahirlah Budi Utomo, Sarekat Islam dan perkumpulan-perkumpulan baru bagi

masyarakat Hindia Belanda dengan lebih terorganisir secara baik.

Kemunculan organisasi-organisasi di Hindia Belanda juga bersamaan

dengan munculnya surat kabar-surat kabar yang menggeser pola masyarakat Hindia Belanda dari mendengar menjadi membaca. Pada satu segi kelahiran surat kabar pribumi dapat dipandang sebagai lambang kelahiran modernitas dan

kebebasan bersuara bagi kaum Bumiputera pada masa kolonial. Periodisasi pers yang terbit pada abad-19 hingga dengan awal abad ke-20 sebagai periode

“prasejarah” pers nasional. Periode tersebut turut mengubah budaya kebiasaan

masyarakat yang awalnya sebagai pendengar kabar menjadi membaca kabar/berita.1

Surat kabar pada masa itu menjadi media komunikasi organisasi politik yang strategis dalam membawakan visi misi pada pemimpin gerakan, pendidikan

kreatifitas, pembinaan sikap kritis, intelektual dan kemandirian. Akibatnya,

1

(18)

commit to user

pergeseran pola ini menumbuhkan daya kritis masyarakat Hindia ke tingkat yang

lebih baik. Organisasi dan surat kabar pada abad ke-19 menjadi sepasang alat untuk melakukan perlawanan terhadap pemerintah kolonial Belanda.

Kondisi tersebut menyebar merata di seluruh kawasan Hindia Belanda. Di Solo, kondisi yang demikian terbukti dengan munculnya Sarekat Islam (SI) di bawah kepemimpinan Samanhudi pada tahun 1911. Sarekat Islam yang awalnya

diklaim sebagai cabang dari Sarekat Dagang Islam (SDI) di Bogor milik Tirto Adi Soerjo, berkembang menjadi organisasi raksasa pertama kali di Hindia Belanda,

menyaingi Boedi Oetomo (BO)2. Dengan mengusung asas keIslaman dan mencoba mengakomodir kepentingan para pengusaha pribumi di Hindia, jumlah

massa Sarekat Islam semakin banyak. Berdirinya SI adalah tanda tanda solidaritas dari bumiputera terutama terhadap perlakuan orang Eropa yang di luar batas3. Cabang-cabangnya pun bermunculan di daerah-daerah lain seperti Surabaya,

Batavia, Semarang, dan diluar Jawa.

Kondisi yang demikian juga dibarengi dengan munculnya surat kabar di bawah naungan SI. Di SI Solo misalnya memiliki surat kabar Sarotomo, SI

Surabaya memiliki surat kabar Oetoesan Hindia dan begitu juga cabang-cabang SI yang lain. Pengurus SI pun cukup banyak yang berkecimpung di dunia

jurnalistik pada waktu itu. Kondisi tersebut terus mengalir bersamaan dengan pasang surutnya kekuatan SI Surakarta. Bangkrutnya surat kabar yang satu diikuti dengan munculnya surat kabar baru. Kehidupan dunia tulis menulis sendiri

mengalami perkembangan yang sangat signifikan. Berbagai tema menjadi bahan

2

Soewarsono, 2000, Berbareng Bergerak: Sepenggal Riwayat dan Pemikiran Semaon, Lkis: Yogyakarta, hlm: 14

3

(19)

commit to user

bacaan dan diskusi bagi masyarakat Hindia. Di antara berbagai tema yang muncul

dalam surat kabar tersebut kerap kali mengundang kemarahan pemerintah kolonial atau terkadang menuai kontroversi tersendiri di kalangan kaum pribumi.

Salah satu kontroversi yang menyulut panasnya suhu pergerakan di Hindia Belanda dan di Solo pada khususnya adalah kasus artikel di surat kabar Djawi

Hisworo pada tahun 1918. Surat kabar yang berbahasa campuran (bahasa Jawa dan bahasa Indonesia) ini, pada 11 Januari 1918 pernah memuat artikel dengan

judul “Pertjakapan Marto dan Djojo”. Dalam artikel tersebut, termuat beberapa

kalimat yang mengegerkan Hindia. Disebutkan bahwa “Goesti Kandjeng Nabi Rasul itoe minoem tjioe A.V. H dan minoem opeioem…”.4 Tulisan ini kemudian

memancing kaum pribumi khususnya yang beragama Islam untuk bertindak karena artikel tersebut dianggap menghina Islam.

Djawi Hisworo merupakan surat kabar terbitan tahun 1909 yang dipimpin

oleh Martodharsono, salah seorang tokoh jurnalis dan pengurus SI Solo. Martodharsono juga pernah menjadi anak didik Tirto Adi Soerjo di Bandung serta menjadi redaktur surat kabar Sarotomo. Sedangkan Djojosoediro adalah salah satu

anggota redaksi surat kabar Djawi Hisworo.

Setelah meninggalnya Tirto Adi Soerjo, Martodharsono kembali ke Solo,

dan menerbitkan surat kabar berbahasa Jawa, Djawi Hisworo. Surat kabar ini muncul sebagai bentuk media baca dan pembelajaran bagi masyarakat surakarta. Sama halnya seperti Sin Po dan Djawi Kondo, Djawi Hisworo merupakan surat

kabar yang tidak diterbitkan di bawah organisasi pergerakan, melainkan milik perseorangan atau instansi non pergerakan. Ideologi yang diusung Djawi Hisworo

4Djawi Hisworo

(20)

commit to user

adalah Nasionalisme Jawa, sesuai dengan karakter Martodharsono yang menganut

kejawen. Sebelum bergabung dengan Sarekat Islam, Martodharsono adalah sosok guru yang menganut paham Jawa secara mendalam. Aktivitas Martodharsono

sebagai guru spiritual juga dilakukan di Keraton Surakarta dan tetap dijalankan meskipun ia telah bergabung dengan Sarekat Islam.

Djawi Hisworo selain surat kabar Sarotomo dan majalah Doenia Bergerak

menjadi salah satu pilar komunikasi yang turut serta mendukung panji-panji kebesaran SI hingga akhir 1917, saat dimana perselisihan antara Martodharsono

dan Tjokroaminoto terjadi.5 Pada tahun 1918, perbedaan pemahaman antara aktivis pergerakan yang mengusung nasionalisme Islam dan nasionalisme Jawa

dalam melakukan perlawanan terhadap kolonial semakin terbuka. Perbedaan pemahaman tersebut juga muncul dalam bentuk serangan dalam bentuk artikel di surat kabar.

Djojodikoro menulis sebuah artikel di Djawi Hisworo mengenai kontroversi penghinaan terhadap nabi Muhammad. Dalam hal ini yang merasa menjadi pihak yang disudutkan adalah umat Islam. Meskipun ada permohonan

ralat tentang kemunculan artikel tersebut, sebagian umat Islam di Hindia Belanda terlanjur geram. SI juga dibuat geram dengan aksi tulisan dari Djawi Hisworo.

Berbagai sikap muncul dari cabang-cabang SI yang berujung pada tuntutan cekal terhadap Djawi Hisworo sekaligus Martodharsono. Para aktivis pergerakan sendiri pun menanggapi hal tersebut dengan versi yang beragam.

Muncul reaksi diantara mereka yang berpandangan keseluruhan dari kacamata

5 Iswara N Raditya. Aktor Obrolan “kafir”.

(21)

commit to user

Islam dan pandangan dari mereka yang memakai pegangan kebebasan pers serta

pola gerakan melawan kolonial. Kampanye anti Martodharsono dan Djawi Hisworo misalnya muncul dari Haji Misbach, Hadji Hisamzaijnie, serta Raden

Ng. Poerwodihadjo yang tergabung dalam SI Solo6. Di lain pihak, pandangan berbeda ditunjukkan oleh SI Semarang yang lebih terfokus pada aksi buruh dan pemogokan.7

Gelombang boikot dan penolakan menyebar di berbagai tempat. Setiap cabang SI menunjukkan sikap yang berbeda satu sama lain. Aksi mobilisasi massa

Islam di Hindia Belanda lewat tubuh SI menjadi aksi kepedulian dan solidaritas. Kontroversi dari artikel Djawi Hisworo tersebut memunculkan reaksi-reaksi

politik lain.

Reaksi yang muncul diantaranya ditandai dengan adanya Kemunculan gerakan Tentara Kandjeng Nabi Muhammad (TKNM), tekanan massa Islam

terhadap pemerintah kolonial, masuknya beberapa tokoh SI ke Volksraad seperti Cokroaminoto dan Abdoel Moeis, Gerakan Sidiq, Amanah, Tabligh, Vatonah (SATV) dan beberapa bentuk-bentuk perlawanan lainnya. TKNM sendiri pada

rapat akbarnya di bulan Februari 1918 berhasil memobilisasi ribuan massa dan mampu mengumpulkan uang yang berjumlah ribuan gulden.8 Sebagian dari

reaksi-reaksi ini memang menimbulkan kekuatan yang besar, namun dalam

6

Takashi Shiraishi,1997, Zaman Bergerak Radikalisme Rakyat di Jawa 1912-1926, Jakarta: PT.Pustaka Utama Grafiti. Hlm. 177

7

Eka Kurniawan, 2002, Pramoedya Ananta Toer dan Sastra Realisme Sosialis, Yogyakarta: Jendela, Hlm.72-73

8

(22)

commit to user

perkembangannya, tidak sedikit protes dan kritik yang digulirkan oleh kalangan

pergerakan sendiri.9

Kontroversi polemik surat kabar Djawi Hisworo akhirnya diboncengi

kepentingan-kepentingan lain oleh sebagian aktivis pergerakan di Hindia Belanda. Akibatnya, kasus artikel Djawi Hisworo ini bergeser dari tuduhan kasus penodaan terhadap agama menjadi kasus yang dimanfaatkan demi keuntungan politik

tertentu. Pemerintah kolonial sendiri tidak memberikan perhatian khusus terhadap kontroversi tersebut. Di satu sisi kasus ini membawa semangat persatuan umat

Islam Hindia Belanda kembali menguat, namun di sisi lain penyingkapan terhadap polemik surat kabar Djawi Hisworo juga memecah belah garis perlawanan kaum

pribumi terhadap pemerintah kolonial Belanda. Gejolak yang mewarnai SI pun semakin beragam di tengah masuknya paham (isme) baru di Hindia Belanda. Polemik surat kabar Djawi Hisworo ikut serta memicu konflik-konflik internal

yang mulai muncul dalam tubuh Sarekat Islam.

B. Perumusan Masalah

Berangkat dari latar belakang di atas, maka dapat dirumuskan permasalahan sebagai berikut :

1. Bagaimana perkembangan Sarekat Islam Surakarta pada tahun 1918-1919?

2. Bagaimana polemik yang ditimbulkan surat kabar Djawi Hisworo tahun

1918-1919?

9Islam Bergerak

(23)

commit to user

3. Bagaimana dampak yang ditimbulkan dari adanya polemik Surat Kabar

Djawi Hisworo terhadap kondisi Sarekat Islam dan kehidupan perpolitikan

Surakarta 1918-1920?

C. Tujuan Penelitian

Berdasarkan permasalahan yang telah dikemukakan di atas, maka tujuan yang ingin dicapai dalam penelitian yang berjudul ”Pengaruh Polemik Djawi

Hisworo Terhadap Kondisi Sarekat Islam Tahun 1918-1919” adalah :

1. Untuk mengetahui perkembangan Sarekat Islam Surakarta pada tahun

1918-1919

2. Untuk mengetahui polemik yang terjadi dalam surat kabar Djawi Hisworo tahun 1918-1919.

3. Untuk mengetahui dampak yang ditimbulkan dari polemik surat kabar Djawi Hisworo terhadap kondisi Sarekat Islam dan kehidupan perpolitikan

Surakarta 1918-1920.

D. Manfaat Penelitian

Dari kajian tentang pengaruh polemik Djawi Hisworo terhadap kondisi Sarekat Islam Tahun 1918-1920, maka penelitian ini diharapkan mampu

memberikan manfaat sebagai berikut : 1. Manfaat Teoritis

Penelitian ini secara teoritis diharapkan dapat digunakan sebagai bahan informasi mengenai perkembangan surat kabar Djawi Hisworo dan kehidupan politik saat itu serta sebagai bahan kajian bagi peneliti lain

(24)

commit to user

2. Manfaat Praktis

Hasil kajian dari penelitian ini diharapkan dapat menambah referensi historiografi sejarah sosial politik dan pergerakan.

E. Kajian Pustaka

Penelitian ini menggunakan beberapa literatur yang relevan dengan tema

penelitian. Takashi Shiraishi dalam karyanya Zaman Bergerak Radikalisme Rakyat di Jawa 1912-1926 (1997), menjadi salah satu referensi dalam penelitian.

Buku ini mengkaji asal dan evolusi pergerakan di panggung nasional dan lokal. Selain membahas Sarekat Islam secara kritis, Takashi juga menggambarkan

tentang pergerakan di wilayah Surakarta dengan menyoroti kemunculan dan kehancuran sejumlah partai dan perhimpunan politik, termasuk Sarekat Islam Surakarta. Menurutnya, Sarekat Islam tumbuh dari Rekso Roemekso. Permusuhan

terjadi dengan organisasi serupa yaitu Kong Sing, antara orang-orang Jawa dari Roemekso dan orang-orang Tionghoa dari Kong Sing. Perkelahian itu mengundang penyelidikan dari pemerintah kolonial terhadap status hukum.

Kemudian penyelidikan itu mengubah organisasi ronda yang sederhana menjadi organisasi raksasa, Sarekat Islam.

Organisasi-organisasi pergerakan pun lambat laun mulai menyesuaikan diri menjadi organisasi pergerakan modern dengan tujuan politik yang jelas. Organisasi pergerakan tersebut dinamakan partai. Implikasi perubahan ini sangat

besar bagi organisasi pergerakan karena selain harus merubah struktur dan sifat organisasi juga harus menghadapi kebijakan kolonial yang semakin represif.

(25)

commit to user

memuncak menjadi perpecahan organisasi. Karya Takashi ini mampu menjadi

bahan rujukan dalam melihat gambaran Surakarta sebagai wilayah vorstenlanden pada era-era pendudukan kolonial Belanda. Selain itu, berbagai gejolak di SI

Surakarta juga dijelaskan dalam buku ini. Termasuk beberapa informasi terkait

kasus “Pertjakapan Marto dan Djojo” di Surat kabar Djawi Hisworo.

Buku karangan Dewi Yuliati yang berjudul Semaoen Pers Bumiputera

Dan Radikalisasi Sarekat Islam (2000), menjelaskan latar belakang

perkembangan dunia pergerakan dan pers di Semarang pada masa kolonial.

Pergerakan nasional dan pers seakan menjadi kembar siam dan saling melengkapi. Semarang merupakan salah satu tempat berkembangnya aktivitas politik Marco.

Selain sebagai kota pelabuhan, juga merupakan satu dari empat kota pusat persurat kabaran nasional pertama (tiga diantaranya: Betawi/Jakarta, Surabaya dan Padang. Dewi Yuliati memberikan deskripsi panjang lebar mengenai proses SI

Semarang dari murni sampai menjadi reaktif dibawah pimpinan Semaoen. Penjelasan ini amatlah penting mengingat perkembangan organisasi kiri (sosialis-komunis) tercuat di Semarang, dan SI Merah adalah benih awalnya. Alur

perkembangan SI Semarang ini dapat menjadi bahan kajian untuk melihat berbagai sikap SI, baik SI Semarang dan SI cabang lainnya. Sehingga dengan

buku ini mampu memberi gambaran mengenai radikalisme Sarekat Islam Semarang dibawah pengaruh sosialisme, yang tentunya membuat sudut pandang SI menjadi beragam.

Buku yang dikembangkan dari tesis Mark W. Woodward yang berjudul Islam Jawa, Kesalehan Normatif vs Kebatinan (2003) dapat dijadikan referensi

(26)

commit to user

Islam Jawa (kejawen) juga merupakan Islam yang mengambil bentuknya yang

khas Jawa. Tesis dari Howard ini dibuktikan dengan penelusuran pada doktrin dan ritual agama Islam (yang bersumber pada al-Qur’an dan Hadits) serta kajian

historis kenapa Islam Jawa mengambil bentuknya seperti yang saat ini. Dari penelusuran teks-teks Jawa, seperti Babad Tanah Jawa, Serat Centhini, Serat Cebolek, Serat Wirid Hidayat Jati, dan babad-babad lainnya membawa

Woodward pada sebuah kesimpulan bahwa ajaran-ajaran kejawen sangat dipengaruhi oleh doktrin Sufi dan pandangan kosmis tentang hubungan antara

kemanusiaan dan keilahian. Dengan kata lain, buku ini menggambarkan perkembangan Agama Kejawen dan Islam Jawa di Pulau Jawa. Islam Jawa

muncul dengan misi bagaimana harus menyelesaikan permasalahan syirik dalam warisan-warisan kebudayaan pra-Islam. Kajian ini menggunakan pendekatan dan sudut pandang yang benar-benar berbeda dari kajian tentang Jawa sebelumnya,

sehingga akan memberikan gambaran lain tentang keagamaan orang Jawa. Wacana dan informasi dari buku ini dapat menambah pengetahuan mengenai perkembangan Islam Jawa dan proses tarik ulurnya dalam kehidupan kepercayaan

masyarakat Jawa.

Buku karya Ahmad Mansyur Suryanegara yang berjudul Api Sejarah I

(2008) menyajikan fakta bahwa Islam dan ulama memiliki peran besar dalam sejarah kemerdekaan dan perjuangan bangsa Indonesia. Namun, banyak perjuangan mereka dilupakan atau sengaja dilupakan. Sejarah Islam di

Indonesia,termasuk sejarah Sarekat Islam didalamnya banyak mengalami konflik dan pertempuran dengan golongan di luar Islam. Konflik tersebut diantaranya

(27)

commit to user

dalam buku ini, gerakan-gerakan kebatinan yang berlawanan dengan Islam di

masa pergerakan dibahas dengan jelas. Salah satunya adalah kasus yang terjadi pada surat kabar Djawi Hisworo. Meskipun lebih menggunakan perspektif agama

Islam, namun informasi dari buku ini dapat dijadikan acuan data tambahan terkait kasus pelecehan terhadap Islam di Indonesia.

Buku yang berjudul Berbareng Bergerak karangan Soewarsono (2000),

menjadi satu referensi yang juga mendukung informasi mengenai perkembangan Sarekat Islam, khususnya Sarekat Islam Semarang. Periodisasi bahasan pada buku

ini terfokus tahun 1920-an. Meminjam istilah Soe Hok Gie, periode tahun-tahun

ini di Semarang dan beberapa tempat lahirnya Sarekat Islam, muncul “orang

-orang dipersimpangan kiri jalan”. Penjamuran SI pada tahun 1911-1913 di

berbagai tempat di Hindia Belanda, terutama di Pulau Jawa, merupakan pertanda kelahiran pergerakan. Sedangkan periode 1920-an adalah masa dimana para

aktivis SI mulai “memerah” karena kecocokan orang-orang tersebut dengan

sosialisme yang dibawa masuk oleh Sneevliet. Buku ini membahas Sarekat Islam Semarang dengan lebih mendalam. Tetapi gesekan kepentingan antara Sarekat

Islam satu dengan yang lain sekaligus perbedaan arah gerak memunculkan reaksi yang berbeda dalam memahami berbagai kasus. Beberapa diantaranya dijelaskan

dalam buku karya Soewarsono ini. Sarekat Islam Semarang adalah salah satu cabang SI yang tidak terlalu tenggelam dan fokus terhadap kasus Djawi Hisworo.

Buku Seabad Pers Kebangsaan 1907-2007 (2007) karangan Muhidin M.

Dahlan, memaparkan teori tentang pers. Pers merupakan wadah bagi kaum terpelajar untuk menyampaikan aspirasi dan inspirasi dari rakyat kepada

(28)

commit to user

perkembangan keadaan sosial politik ekonomi dan budaya suatu negara tempat

pers tersebut berada. Pers tersebut dibuat guna mencukupi kebutuhan rakyat akan berita. Pers dapat berbentuk media seperti koran dan majalah. Pers juga dapat

diartikan kegiatan sekelompok orang dalam melakukan penyusunan berita di surat kabar atau majalah.

Dalam pers suatu fenomena yang bisa memancing kontroversi atau

perdebatan. Hal ini dapat berujung pada persdelict atau pembredelan bagi pers yang bersangkutan jika kontroversi dalam pers tersebut ditentang oleh orang

banyak. Persdelict diartikan sebagai pembredelan atau pelarangan peredaran media masa tertentu dan pencekalan/penghukuman bagi redaktur yang terlibat di

dalamnya.

F. Metode Penelitian

Penelitian ini menggunakan metode sejarah yang mencakup empat tahap yaitu menghimpun sumber-sumber sejarah yang sesuai dengan permasalahan (heuristik), kritik sumber, interpretasi yang merupakan analisa dan sintesa serta

penyusunan atas penulisan sejarah (historiografi).10

Tahap pertama adalah heuristik. Tahap heuristik yaitu menghimpun

sumber-sumber sejarah berkaitan dengan aktivitas dan perkembangan surat kabar dan Sarekat Islam serta dokumen-dokumen lainnya yang sesuai dengan permasalahan yang sedang dikaji.

10

Kuntowijoyo, 2001, Pengantar Ilmu Sejarah, Yogyakarta: Yayasan Bentang Budaya, hlm. 91-92. Lihat juga Sartono Kartodirdjo,1993, Pendekatan Ilmu Sosial dalam Metodologi Sejarah, Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, hlm 2

(29)

commit to user

Penelitian ini menggunakan beberapa teknik pengumpulan data sebagai

berikut :

a. Studi Dokumen

Studi dokumen mempunyai arti metodologis yang penting karena dokumen menyimpan sejumlah besar fakta dan data sejarah serta diharapkan mampu menjawab pertanyaan dalam rumusan masalah. Pada

penelitian ini dokumen yang digunakan adalah dokumen-dokumen yang tersimpan di Sonopustoko Kasunanan Surakarta dan perpustakaan

Nasional Indonesia Jakarta.

Sumber Dokumen disini merupakan sumber dokumen dalam arti sempit,

yang berhasil penulis kumpulkan untuk penelitian ini antara lain : Laporan pemerintah kolonial, arsip-arsip terkait SI, surat kabar Djawi Hisworo, Sinar Djawa, Sinar Hindia, Medan Bergerak, Islam Bergerak, Medan

Moeslimin dan lain-lain.

b. Studi Pustaka

Studi pustaka dalam suatu penelitian dijadikan sumber penulisan yang

tentunya berhubungan dengan tema yang dikaji. Sumber pustaka dapat berupa buku, artikel dan media lainnya. Dengan studi pustaka ini

diharapkan mampu menambahkan pemahaman teori dan konsep yang diperlukan dalam penelitian. Studi pustaka dilakukan di Perpustakaan Pusat UNS, Perpustakaan FSSR, Perpustakaan Jurusan Sejarah,

(30)

commit to user

Tahap kedua adalah Verifikasi atau kritik sumber yang merupakan metode

sejarah untuk mencapai obyektivitas. Kritik sumber terbagi menjadi dua, yaitu : kritik ekstern dan kritik intern. Kritik ekstern bertujuan untuk mencari autentisitas

atau keaslian sumber. Kritik intern dilakukan untuk mencari kredibilitas suatu sember dengan cara menyelidiki objek dan dokumen sejarah untuk membuktikan keaslian fakta sejarah.

Tahap ketiga Interpretasi adalah proses penguraian sumber setelah terseleksi sumber-sumber tersebut disatukan dalam satu kelompok atau

penggabungan sumber atau fakta-fakta sehingga tercapailah interpretasi yang menyeluruh. Analisis yang di gunakan dalam penelitia ini adalah analisis

kualitatif dalam bentuk deskriptif analisis. Maksudnya adalah dari sumber– sumber bahan dokumen dan studi kepustakaan selanjutnya diadakan analisis dan diinterpretasikan dalam jalinan kausalitas sebab akibat dari peristiwa penelitian ini

secara kronologis kedalam isinya. Data–data yang telah dikumpulkan dan dikaji kebenarannya itu adalah fakta–fakta yang akan digunakan dan dihubungkan menjadi sebuah kisah sejarah yang dapat dipertanggungjawabkan kebenarannya.

Tahap yang terakhir adalah Historiografi yang merupakan bentuk penyajian hasil penelitian. Dalam penulisan sejarah perlu diperhatikan sifat

(31)

commit to user

G. Sistematika Penulisan

Sistematika penulisan skripsi ini akan menyajikan permasalahan dalam tiap bab nya.

Penulisan ini terdiri dari lima bab. Bab pertama berisi latar belakang penelitian yang menjelaskan informasi singkat perubahan Sarekat Islam Surakarta dan keberadaan surat kabar Djawi Hisworo 1918-1919 beserta kasus polemik

yang menimpanya sampai tahun 1920. Selain latar belakang, bab pertama juga berisi rumusan masalah penelitian, tujuan penelitian, studi pustaka, metode

penelitian dan sistematika penulisan penelitian.

Bab kedua menjelaskan perkembangan Sarekat Islam Surakarta pada tahun

1918-1919. Kondisi Sarekat Islam Surakarta pada masa ini mengalami kelesuan organisasi yang dikarenakan oleh beberapa sebab dan permasalahan. Baik yang bersifat internal yaitu tidak adanya pengurus yang memadai dan factor eksternal

berupa konflik kepentingan antara cabang Sarekat Islam di Hindia Belanda. Kondisi Sarekat Islam Surakarta yang mengalami kelesuan organisasi ini kemudian akan memanas kembali setelah munculnya polemik surat kabar Djawi

Hisworo tahun 1918.

Bab ketiga berisi penjelasan mengenai surat kabar Djawi Hisworo yang

merupakan surat kabar berbahasa campuran, Indonesia lama dan Jawa. Surat kabar yang berdiri sebelum Sarekat Islam Surakarta berdiri ini juga dikelola oleh tokoh Sarekat Islam Surakarta yaitu Martodharsono. Dalam perkembangannya,

Djawi Hisworo dalam sebuah edisi terbitannya memuat artikel kontroversi yang dianggap melecehkan agama Islam. Kontroversi ini kemudian memancing aksi

(32)

commit to user

Bab Keempat menjelaskan kelanjutan dari kasus Djawi Hisworo. Dalam

penanganannya, banyak dijumpai penyelewengan dari gerakan yang pada awalnya ditujukan untuk menyelesaikan kasus Djawi Hisworo ini. Dampak yang muncul

kemudian adalah konflik antara cabang Sarekat Islam di Hindia Belanda. Permasalahan kemudian bergeser menjadi pemanfaatan kasus Djawi Hisworo sebagai kendaraan politik atas nama Islam dan Sarekat Islam. Kasus Djawi

Hisworo sendiri berakhir tanpa ada penyelesaian yang jelas.

Bab Kelima berisi kesimpulan dari berbagai bab yang ada dalam penelitian

(33)

commit to user

17

BAB II

PERKEMBANGAN SAREKAT ISLAM SURAKARTA

TAHUN 1918-1919

A. Perkembangan Sarekat Islam Surakarta 1918-1919

Sarekat Islam yang lahir pada tahun 1912, merupakan organisasi pertama

yang bersifat lintas kelas dan etnis, bahkan ideologi. Keempat tokoh pendiri Sarekat Islam di Surakarta, yakni Haji Samanhudi, Tirto Adi Suryo, Martodarsono, dan Joyomargoso, pada awalnya tidak merencanakan sebuah

kelompok yang kemudian dikenal dengan nama Sarekat Islam, sebagaimana Wahidin Sudirohusodo dan para siswa Sekolah Dokter Pribumi dengan Budi

Utomo. Benih Sarekat Islam terbentuk dari sebuah insiden perpecahan dan konflik. Peristiwa itu adalah perkelahian antara dua perkumpulan sosial, yaitu Kong Sing dan Rekso Rumekso. Kong Sing merupakan perkumpulan

tolong-menolong untuk penguburan milik orang Tionghoa, sedang Rekso Rumekso perkumpulan jaga malam (ronda) milik para pengusaha batik Pribumi di bawah pimpinan Haji Samanhudi di Laweyan, Surakarta.1

1. Kemunculan dan Perkembangan SI di Surakarta

Sarekat Islam dipandang sebagai sebuah agensi yang memiliki

karakteristik pemersatu yang berjiwakan semangat nasional. Jika Boedi Oetomo (BO) dilihat oleh sebagian kalangan sebagai organisasi pergerakan yang

cenderung bersifat elitis dan bahkan punya kecenderungan menjadi pendukung

1

(34)

commit to user

terbentuknya “nasionalisme-jawa”, maka Sarekat Islam merupakan organisasi

yang berkontribusi dalam menegakan akar kebangsaan dan persatuan Indonesia. Orang Eropa di nusantara merasakan kepanikan yang luar biasa pada saat

lahirnya Sarekat Islam. Sebelumnya, kemunculan Boedi Oetomo (BO) yang menuntut perluasan hak ajar bagi priyayi rendahan pada tahun 1908, tidak memancing perhatian pemerintah kolonial secara penuh. Hak untuk memperoleh

pendidikan bagi pemerintah Belanda, masih dapat ditunggangi sebagai kepentingan Belanda di tanah Hindia. Barulah ketika mulai banyak pribumi –

yang dianggap sebagai inlander, yang warga negara kelas terendah melakukan perlawanan lewat Sarekat Islam, perubahan dengan lambat tapi pasti mulai

dirasakan.

Kepanikan pemerintah kolonial terjadi karena kemunculan SI menunjukan awal dari datang sebuah masa menuju pembebasan nasional, sekaligus menjadi

bukti bagaimana sebuah organisasi yang mengatasnamakan Islam mampu berperan sebagai motor emansipasi dalam perjuangan mengukuhkan jati diri dan merebut keadilan. Sambutan yang demikian antusias dan cepat sampai keluar

Jawa, mulai dari Aceh, Palembang, Banten, Jakarta, Surabaya, Balikpapan, Makassar, hingga Donggala, menjadi bukti tingginya pengharapan anak bangsa

terhadap SI. Fenomena ini telah memaksa Gubernur Jenderal Idenburg dan pemerintah kolonial meningkatkan kewaspadaan. Apabila Boedi Oetomo mendapatkan pengakuan dengan mudah, maka SI dipaksa dipecah sejak

kelahirannya di Surakarta. Meskipun kemudian muncul cabang dimana-mana, serta disusul dengan Central Sarekat Islam, kepentingan SI di berbagai daerah

(35)

commit to user

Pada awalnya, Samanhudi merupakan anggota Budi Utomo, hal ini

rupanya membuat para pengusaha batik Tionghoa cemas apabila Budi Utomo mendirikan organisasi pengusaha batik di bawah pimpinan Samanhudi. Segera

mereka mengajak Samanhudi bergabung ke dalam Kong Sing. Samanhudi setuju, dan dengan dia ikut-serta banyak pengusaha batik Pribumi, konon jumlahnya melebihi pengusaha batik Tionghoa.

Pergeseran paradigma masyarakat Tionghoa di Hindia Belanda setelah Revolusi Tiongkok terhadap penguasa Dinasti Qing pada 10 Oktober 1911,

menimbulkan rasa kebangsaan Tionghoa yang memuncak dan bagi orang Pribumi mungkin terkesan berlebihan. Samanhudi dan pengikutnya keluar dari Kong Sing,

dan Rekso Rumekso segera dibentuk.

Pada saat perdagangan kain dan batik pada masa tersebut, muncul kain halus impor yang menggeser kain batik lokal. Menyusul kemudian bahan celupan

nila digeser dengan bahan sintetis buatan Eropa. Dua jenis barang ini merupakan bahan pokok industri batik, yang mulai dikuasai pedagang-pedagang Cina. Faktor lain yang juga mendorong semangat kemunculan SI adalah gerakan penginjil yang

mendapatkan izin dari Gubernur Jenderal Idenberg untuk membuka cabang di Surakarta.

Reaksi keras datang dari para pedagang batik Laweyan yang mayoritas beragama Islam. Para pedagang Laweyan khawatir dengan meluasnya agama Kristen di Surakarta dapat mempengaruhi orang-orang Jawa, sehingga akan

menimbulkan terganggunya stabilitas keamanan. Reaksi juga muncul dari pihak keraton mengenai masalah penginjilan tersebut. Pakubuwono X memiliki

(36)

commit to user

mengajukan permohonan izin untuk mendirikan rumah sakit kepada Kraton

Surakarta, permohonan pendirian ditolak. Akhirnya izin pendirian rumah sakit mendapat restu dan tanah dari Mangkunegaran dan berdirilah rumah sakit zending

di Jebres. Kraton mempunyai andil yang cukup dalam mendorong munculnya SI. Bahkan hubungan diantara keduanya tidak hanya persoalan keterkaitan karena memiliki misi yang sama dalam melahirkan gerakan kebebasan dan kemerdekaan,

melainkan juga keterlibatan dalam berorganisasi dan izin. Munculnya organisasi kebangsaan di wilayah Vorstenlanden (Surakarta dan Yogyakarta) bukan hal yang

mengherankan. Meskipun dalam tingkat pemanfaatan teknologi kurang maju dibanding dengan wilayah gubernemen, namun secara kultural daerah kerajaan ini

sangat besar potensinya. Terkait dengan hal tersebut, bahkan ada yang beranggapan berdirinya Sarekat Islam di Surakarta salah satunya karena restu dari Pakubuwono X.

Konflik antara pribumi dan Tionghoa di Surakarta pada tahun 1911 secara tidak sengaja memicu tumbuhnya cikal bakal SI. Perkelahian diantara keduanya dijalanan berakhir di kantor polisi. Samanhudi merasa terpojok karena dimintai

bukti status badan hukum Rekso Rumekso. Pada tahapan ini, Samanhudi dan semua pengikutnya samasekali tidak paham mengenai seluk-beluk status badan

hukum tersebut. Ia pun minta tolong kepada temannya, Joyomargoso, pegawai di Kepatihan. Bantuan berpindah dari Joyomargoso kepada Martodarsono, bekas anggota redaksi suratkabar Medan Prijaji, dan akhirnya Martodarsono minta

tolong kapada Tirto Adi Suryo, pemilik suratkabar itu dan pendiri beberapa organisasi berstatus badan hukum di Batavia dan Bogor, seperti Sarekat Prijaji,

(37)

commit to user

Berkat bantuan Tirto Adi Suryo, pada akhir Januari 1912 Rekso Rumekso

mendapatkan status badan hukum sebagai organisasi Sarekat Islam (disebut SI), tapi dengan tanggal yang lebih dini pada akte notaris, 9 November 1911. Dalam

dokumen itu, SI disebutkan bertujuan untuk mengejar kemajuan bagi seluruh rakyat Hindia-Belanda, tujuan yang dianggap merupakan kewajiban kaum Muslim untuk menyumbang ke arah kemajuan, karena Islam merupakan pengikat

rakyat Hindia-Belanda, sebagaimana Konfusianisme bagi Tiongkok, serta Kristen bagi Belanda.

Sarekat Islam ada beberapa, yakni di Batavia, Bogor, dan Surakarta. Tirto Adi Suryo sekalian saja menjadikan SI Surakarta sebagai Badan Kordinasi Pusat

(Centrale Commissie). Ketuanya H. Samanhudi, sekretaris Djojomargoso, sedang Tirto Adi Suryo hanya sebagai penasehat. Namun kerjasama Samanhudi dan Tirto Adi Suryo tidak berhenti sampai di sini. Mereka membentuk usaha baru, yaitu

menerbitkan suratkabar SI, Sarotomo (panah Arjuna), yang penyelenggaraannya praktis tergantung penuh pada Tirto Adi Suryo. Segera timbul pertengkaran di antara keduanya tentang sejumlah perkara, termasuk ricuhnya pengeluaran uang

oleh Tirto Adi Suryo, dan juga sikapnya yang membuat Samanhudi merasa seolah-olah bawahannya. Samanhudi memutus kerjasama itu dan memindahkan

kantor redaksi Sarotomo ke Surakarta.

Pada awal berdirinya Sarekat Islam, dari pimpinan yang terdiri dari 11 orang, empat orang diantaranya adalah pegawai Kasunanan. Pada kongres tanggal

23 Maret 1913 di Surakarta, SI menawarkan kepada RM Woerjaningrat, kemenakan sekaligus calon menantu Pakubuwono X untuk duduk dalam

(38)

commit to user

Pada kongres tersebut, Samanhudi terpilih sebagai ketua dan Cokroaminoto

sebagai wakil ketua. Sebagai pengurus pusat untuk seluruh Jawa Tengah dipilih R.M.A Poespodiningrat, putera dari salah satu penasehat kepercayaan

Pakubuwono X, R.M.T Wiriodiningrat. Kedekatan SI dengan Kraton Surakarta ternyata memunculkan kegelisahan dari pihak Mangkunegaran. Sri Mangkunegoro yang takut melihat bertambah besarnya keanggotaan SI yang pro

dengan Kasunanan, mencoba mendirikan Sarekat Islam tandingan dengan nama Darmo Hatmoko. Tetapi Darmo Hatmoko ini tidak dapat berkembang karena

terkenal atas sifat kekerasannya. Tidak itu saja, di dalam organisasi yang muncul di jantung Pulau Jawa ini, berkumpulah tokoh-tokoh besar pergerakan (yang

belakangan kemudian menjadi ideologi dari berbagai macam keyakinan politik) seperti Samanhudi, R HOS Tjokroaminoto, Agus Salim, Abdoel Moeis, KH Ahmad Dahlan, sampai dr Sukiman, Kartosoewiryo, Ki Hajar Dewantara,

Semaoen, Darsono. Semuanya mengusung sebuah keyakinan akan pembebasan, persatuan, perlawanan, dan kemandirian atas dasar identitas dan keyakinan bersama dalam SI, meski kemudian beberapa di antara tokoh itu keluar atau

dikeluarkan. Dengan luasnya cakupan dukungan itu tidak mengherankan jika pada tahun keempat keberadaannya organisasi ini telah mendapatkan anggota sekitar

700.000 orang yang tersebar di 180 cabang.

2. Perpindahan Kekuatan SI Pusat dari Surakarta ke Surabaya

Pertemuan antara Samanhudi dengan Cokroaminoto sebagai wakilnya di

SI bermula pada 10 September 1912. Cokroaminoto adalah anggota SI Surabaya, Jebolan OSVIA dan pangreh praja, lalu anggota pertunjukan wayang keliling dan

(39)

commit to user

keluar dari larangan residen Surakarta atas kegiatan SI. Cokroaminoto cepat

melihat celah hukum bahwa SI di daerah lain tidak dilarang. Lalu ia membenahi SI Surabaya dan daerah lain dengan anggaran dasar baru yang jauh lebih rapi,

sehingga ia ditunjuk oleh Samanhudi sebagai komisaris di Centrale Commissie khusus untuk menyusun anggaran dasar yang baru juga. Dalam kongres SI pertama di Surakarta, 25 Maret 1913, Cokroaminoto terpilih jadi Wakil Ketua

Centrale Commissie.

Kebetulan pemerintah tidak mengakui SI sebagai satu kesatuan di bawah

Centrale Commissie, tapi masing-masing cabangnya sebagai SI lokal. Untuk

menghubungkan SI lokal itu, dibentuklah semacam badan kordinasi bernama

Centrale Sarekat Islam (CSI) dalam kongres kedua di Yogyakarta, April 1914. Ternyata dalam kongres kedua itu, Cokroaminoto sendiri berhasil jadi ketua CSI,

Raden Gunawan sebagai wakil ketua, sedang Samanhudi “jatuh ke atas” sebagai

ketua kehormatan. Setelah Kongres kedua SI di Yogyakarta April 1914, SI semakin pesat berkembang. Pemerintah Belanda menyebut fenomena SI tersebut sebagai kebakaran prairi yang melambangkan besarnya kekuatan SI sebagai

organisasi massa. Setelah Cokroaminoto menggantikan Samanhudi, karir Cokroaminoto dalam SI semakin melesat.

Cokroaminoto hanya dalam kurun watu satu tahun tidak hanya berhasil konsolidasi, tapi juga membawa SI jadi organisasi besar sehingga sempat membuat pemerintah jajahan cemas, serta membuat dirinya sangat masyhur

(40)

commit to user

tersisih. Di Surabaya ia mengambil-alih suratkabar Oetoesan Hindia dari tangan

Hasan Ali Surati, seorang pedagang Arab.

Samanhudi sebenarnya termasuk pandai, kerjanya efektif, tetapi sebagai

pimpinan organisasi besar, Samanhudi tidak memiliki kemampuan berorganisasi dan kurang handal dalam berpidato, jadi untuk memimpin suatu organisasi massa, bukan kemampuannya. Lain dari Cokroaminoto yang mahir berpidato sekaligus

memiliki karisma dalam memimpin. Pidato-pidatonya luas akan pengetahuan dan wacana. Seringkali Cokroaminoto menggugah kembali kepercayaan psiko religius

tradisional yang dimiliki orang Jawa dengan cara membangkitkan kembali nasionalisme dari masa dinasti Majapahit yang silam. Kata-kata serta pandangan

Cokroaminoto mampu meninggalkan kesan mendalam pada rakyat, sehingga membangkitkan semangat meluap-luap. Sampai-sampai banyak pula yang beranggapan bahwa Cokroaminoto merupakan messiah atau ratu adil di Jawa. SI

dan Cokroaminoto mampu menggugah dan menumbuhkan kembali asa kaum pribumi. Cokroaminoto bahkan dianggap sebagai “Ratu Adil” pembawa kejayaan dan kesejahteraan bagi seluruh rakyat sebagaimana Ramalan Joyoboyo.

Sehubungan dengan itu diberitakan di Situbondo misalnya massa yang menyemut bahkan rela mencium kaki Cokroaminoto untuk mendapatkan berkahnya, suatu

hal yang amat tidak disukai oleh si pemilik kaki.

Di lain pihak, Raden Gunawan dari SI Batavia di Sumatera Selatan juga dianggap sebagai sosok yang mesianistik. Fenomena kecil itu sekadar

memperlihatkan bagaimana kepercayaan dan pengharapan yang diberikan rakyat kepada SI cukup besar, jauh lebih besar dari yang didapatkan oleh organisasi

(41)

cabang-commit to user

cabang dan keanggotaan SI di hampir seluruh pelosok Hindia Belanda. Namun

gelar sebagai ratu adil tidak melekat pada diri Samanhudi. Ia hanya dikenal sebagai pendiri Sarekat Islam yang juga seorang pedagang besar ternama.

Kemampuannya lebih terfokus pada dukungan moral dan dana. Praktis setelah ketua SI dipegang oleh Cokroaminoto. Kekuatan SI bergeser ke Surabaya. Sementara itu pimpinan SI untuk Jawa Tengah juga beralih ke RM Soerjopranoto,

seorang anggota Pakualam Yogyakarta. Sehingga pada awal 1915, SI Surakarta mengalami kemunduran bersamaan dengan renggangnya hubungan SI Surakarta

dengan Kraton Kasunanan. Di tengah gejolak politik di dalam tubuh SI Surakarta, wabah pes menyebar di Surakarta. Orang Jawa menamakkannya sebagai

pageblug, pagi sakit sore mati, atau sore sakit paginya mati. Semula yang diserang

adalah daerah stasiun Jebres kemudian menjalar sampai ke seluruh kota dan bahkan hingga ke pedesaan.

SI mulai kekurangan anggotanya dan merubah fokus organisasi kepada soal agama dan sosial ekonomi. Hal ini terlihat pada tarekat yang dicetuskan oleh Haji Misbach. Haji Misbach membentuk gerakan Sidiq Amanah Tabligh Vatonah

(SATV). Untuk salah satunya meraih dukungan para kaum petani agar masuk Islam dan bergabung dengan SI Surakarta. Kaum petani yang menjadi sasaran dari

Haji Misbach adalah kaum petani di sekitar Solo, yaitu yang tempatnya mengelilingi kota Solo. Haji Misbach memasukan ajaran agama Islam kepada kaum petani tersebut dengan cara sederhana.2 Dengan hanya membaca bacaan

taawud dan basmalah, petani sudah masuk Islam dan kemudian ajaran Islam diperkenalkan dengan cara yang begitu mudah. Haji Misbach adalah seorang yang

2

(42)

commit to user

sangat memperhatikan kesejahteraan kaum petani, melalui gerakan SATV beliau

berusaha menjadikan para petani masuk Islam dan masuk Sarekat Islam serta mensejahterakan mereka. Meskipun ada beberapa cabang SI yang justru semakin

radikal (SI Semarang), kebanyakan mengikuti SI Cokroaminoto. Dalam tubuh SI sendiri terjadi perpecahan internal dengan munculnya dua kubu. Yang pertama kubu Samanhudi dan R Gunawan, dan kubu yang kedua adalah kubu

Cokroaminoto dan Abdul Muis. Meski pada awalnya SI menolak disebut sebagai gerakan politik, Hal itu sesungguhnya hanya merupakan pandangan sesaat yang

segera saja bermetamorfosis. Langkah awal SI itu hanya sekedar kamuflase atau strategi jangka pendek untuk menghindari tekanan pemerintahan kolonial pada

masa-masa awal pembentukannya.3

Di bawah Cokroaminoto, SI tumbuh menjadi organisasi yang memiliki posisi tawar. Selama karirnya yang melesat itu, Cokroaminoto bekerja dekat

dengan wakil Penasehat Urusan Pribumi, D.A. Rinkes. Di satu pihak SI menggalang semangat rakyat, tapi di pihak lain bersikap lunak terhadap pemerintah jajahan. Sikap mendua ini jelas tampak pada garis Cokroaminoto

ketika ia menolak tegas desakan dr Cipto Mangunkusumo agar syarat agama dihilangkan dalam penerimaan anggota, sehingga SI (Sarekat Islam) dapat

menjadi SI atau Sarekat (H)India saja. Cokroaminoto kemudian menegaskan bahwa SI bukan partai politik, tidak menghendaki revolusi, dan memilih setia kepada pemerintah. Sikap-sikap yang demikianlah menjadikan Cokroaminoto

seringkali mendapat kritikan dari tokoh-tokoh yang berseberangan dengan kepemimpinannya.

3

(43)

commit to user

SI Surabaya pimpinan Cokroaminoto kemudian mendasarkan ideologi

organisasinya pada ajaran Islam yang lurus dan murni.4 Ajaran ini merupakan ajaran para kaum nasionalisme Islam dimana mereka berjuang demi bangsa dan

negaranya yang didasarkan pada pengamalan ajaran Islam yang benar dan sungguh-sungguh. Ini berarti unsur-unsur kemusrikan dan adat-adat dalam keraton yang tidak sesuai dengan ajaran Islam harus dihindari. Dalam Islam

sendiri perjuangan dapat diartikan dengan jihad. Jihad merupakan salah satu bentuk ibadah.

Di samping berpindahnya kekuatan SI ke Surabaya, iklim organisasi Surakarta diramaikan kembali oleh Boedi Oetomo. Pada tahun 1914 seakan-akan

terjadi pertukaran dua organisasi nasional di Surakarta. Pada kongres Boedi Oetomo di Surabaya tanggal 8-9 Juli 1916, Soerjosoeparto sebagai ketua umum mengundurkan diri. Sebagai gantinya terpilihlah RMA Woerjaningrat (pengurus

SI Surakarta) dari Keraton Surakarta. Boedi Oetomo yang dipimpin oleh Woerjaningrat semakin memperluas pengaruhnya. Hal ini juga melambangkan dukungan Keraton Surakarta bergeser kepada Boedi Oetomo.

3. Eksistensi SI Surakarta Pasca Pindahnya SI Pusat dari Surakarta ke

Surabaya 1918-1919

Pada masa dominasi Cokroaminoto dalam Sarekat Islam (SI) terus menguat, Surakarta tetap menjadi ingatan dalam masyarakat sebagai tempat lahir dan besarnya SI. Ingatan tersebut juga lekat pada posisi H. Samanhudi sebagai

pendiri SI. Tetapi kejayaan SI Surakarta hanya sebatas pada memori kolektif masyarakat Hindia Belanda. Karena terserang berbagai macam masalah, SI

4

(44)

commit to user

Surakarta mengalami kemunduran, tidak bisa bergerak dan hampir kehilangan

massa pengikutnya.5

Kejayaan masa lalu SI Surakarta yang didukung oleh para pedagang batik

dan aristokrat Kasunanan telah berlalu. Kondisi yang demikian bergeser ketika terjadi perubahan inti pada orang nomor satu di SI. Perpindahan kekuasaan dari Samanhudi ke Cokroaminoto membawa dampak besar bagi kejayaan SI

Surakarta. Pergeseran kekuatan dari Surakarta ke Surabaya yang dimulai sejak tahun 1915, juga berarti pergeseran pemasukan dana serta pendapatan SI.

Uang-uang dari SI lokal berhenti mengalir ke tangan pimpinan SI Surakarta. Para saudagar batik yang pernah memberi dukungan tidak dapat membiayai lagi

aktivitas SI Surakarta karena lonjakan harga bahan mentah untuk produksi batik akibat Perang Dunia I.

SI mencoba mempertahankan eksistensinya yang ditunjukkan dengan

adanya pergeseran metode dari boikot dan beating (fisik/berkelahi), menjadi Rally (pengumpulan massa/rapat) dan propaganda. Metode Rally bukanlah metode asli dari SI. Metode Rally diterapkan pertama oleh Indische Partij (IP) yang didirikan

oleh EFE Douwes Dekker. IP yang menyebut diri mereka sebagai “Children Of

The Country” (anak-anak negeri), menggunakan rapat umum terbuka sebagai

metode pembelajaran untuk massa. Rapat Umum terbuka menjadi andalan organisasi pada waktu itu. Kelebihan cara ini adalah mampu mengumpulkan massa dalam jumlah banyak dari berbagai golongan. Konsep kedua yang telah

digagas dan dijalankan oleh IP adalah dimaklumkannya pembicaraan politik secara terus terang dan terbuka mengenai sistem kemasyarakatan kolonial, serta

5Sinar Hindia

(45)

commit to user

bisa diikuti oleh siapapun.6 SI lebih cenderung menggunakan metode Rally

dengan rapat umum terbuka dan penggunaan media massa (meskipun kemudian cara ini condong berbelok pada saat kemunculan SI Merah).

Keadaan SI Surakarta bertambah lesu ketika SI Semarang pada 1917 mulai tumbuh dengan kekuatan serikat buruh di bawah kendali Semaoen. SI Batavia dibawah pimpinan Goenawan juga menurun akibat kasus keuangan yang

menimpa SI Batavia. Kubu Cokroaminoto memperkuat SI Jawa Barat sebagai pesaing SI Batavia. Ditengah tumbuhnya kekuatan SI, kubu SI Surabaya di bawah

Cokroaminoto dan SI Semarang di bawah Semaoen saling berebut pengaruh.7 SI Semarang di bawah Semaoen menjadi SI dengan kekuatan sosialis.8 Hal

ini dikarenakan pada tahun 1916 mulai terjadi gerakan buruh secara besar-besaran di perusahaan kereta api yang ada di Semarang. Gerakan ini kemudian menjalar kepada gerakan buruh-buruh yang lain di pabrik-pabrik besar di Semarang.

Gerakan-gerakan tersebut umumnya meminta kenaikan gaji dan melarang pemecatan buruh. Gerakan buruh inilah kemudian didukung oleh SI Semarang dan diperjuangkannya.

Pada tanggal 27 Januari 1918, SI Surakarta mengadakan algeemene vergadering (pertemuan umum) untuk membahas kondisi internal SI di Surakarta.

6

Soewarsono, 2000, Berbareng Bergerak: Sepenggal Riwayat dan Pemikiran Semaon, Lkis: Yogyakarta, Hlm. 16-18

7

Suradi, 1997, Haji Agus Salim dan Konflik Politik dalam Sarekat Islam, Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, hlm. 27

8

(46)

commit to user

Tujuan rapat tersebut untuk membahas berbagai permasalahan internal SI, juga

mengenai kebutuhan-kebutuhan yang diperlukan segenap anggotanya.9

Kurang aktifnya SI Surakarta tidak berarti vakumnya kegiatan SI

Surakarta secata total. Secara organisasi SI Surakarta masih ada, meskipun pengurusnya hanya sedikit orang. Fokus kegiatan SI Surakarta lebih kepada soal pendidikan dan syiar keislaman. Hal ini untuk mengimbangi kegiatan zending

yang ada di Surakarta. SI Surakarta pernah membentuk komite Tentara Kanjeng Nabi Muhammad (TKNM) dalam menyelesaikan kasus yang dipicu oleh surat

kabar Djawi Hisworo, tetapi komite tersebut tidak berjalan dengan baik. Kas komite habis untuk mengadakan rapat dan tidak ada kemajuan yang berarti dari

pembentukan komite tersebut. Pengurus komite dianggap diam saja terhadap permasalahan yang ada. Baik soal kasus Djawi Hisworo, misi penyebaran agama Nasrani, dan janji pendirian sekolah yang berpedoman pada agama Islam.

Pengurus komite bahkan diistilahkan sebagai pers berkepala hitam.10

Sejak kongres CSI Central Sarekat Islam (CSI) pada 1918, kekuatan SI mulai disokong oleh serikat buruh dan gerakannya. Perjuangan ekonomi yang

disepakati pada kongres CSI 1918 menjamin posisi unggul Cokroaminoto dalam SI. Walaupun pada saat itu banyak serikat buruh yang dipelopori oleh SI

Semarang dan Yogyakarta, kekuatan dari keduanya tidak mengubah kontrol Cokroaminoto dalam SI. Baik itu SI Semarang yang diketuai oleh Semaoen dan serikat buruh Yogyakarta yang dipelopori oleh Soerjopranoto.

9

Djawi Hisworo, 28 Januari 1918

10Islam Bergerak

(47)

commit to user

Pada kongres SI September 1918, para pengurus CSI hampir tidak ada

tokoh yang berasal dari SI Surakarta.11 Susunan inti dari pengurus CSI sebagai berikut :

Ketua : Cokroaminoto Wakil Ketua : Abdoel Moeis Sekretaris : Sosrokardono

Wakil Sekretaris : Brotosoehardjo Wakil Bendahara : Cokroaminoto

Komisaris : Moehammad Joesoef : Dojosoediro

: Hasan Djajadiningrat : Soerjopranoto

: Cokrosoedarmo

: Semaoen : Wignjadisastra : Mohammad Samin

: Soekirno : H Moh. Arip

: Prawoto Soedibyo Penasihat : KH Ahmad Dahlan

: H. Ahmad Sjadzili

Berdasarkan sususan pengurus CSI tersebut, SI Surakarta tidak mendapatkan tempat meskipun secara status masih sebagai pemimpin dari SI.

11

(48)

commit to user

Kekuatan di dominasi oleh kubu Cokroaminoto dari SI Surabaya. Beberapa tokoh

yang masuk dalam kepengurusan CSI berasal dari SI Surabaya, SI Semarang, SI Jawa Barat dan SI Yogyakarta.

Meskipun ada aktivitas dari orang SI Surakarta, kebanyakan terfokus pada kegiatan syiar Islam dan penerbitan. Kondisi yang demikian tentunya tidak muncul begitu saja. Selain hilangnya pamor SI Surakarta dan Samanhudi,

beberapa tokoh SI Surakarta ditangkap pemerintah kolonial Belanda atas kegiatan pergerakan mereka. Beberapa diantaranya menjabat sebagai pengurus Inlandsche

Joernalist Bond (IJB). Suwardi Suryaningrat tertangkap karena aktivitas

radikalnya di Indische Partij. Dr. Tjipto Mangkunkusumo yang juga pernah

tinggal di Surakarta, ditangkap terkait kegiatannya dengan tiga serangkai12. Marco Kartodikromo ditangkap dan dipenjara dari 1915-1917 di penjara Weltreveden karena aktivitas jurnalistiknya di Sarotomo (organ SI) dan Doenia Bergerak, yang

juga mendukung SI Surakarta. Penangkapan Marco Kartodrikromo ternyata cukup memberi dampak pada aktivitas politik SI Surakarta. Penangkapan Martodharsono dan penangkapan Marco menjadikan SI Surakarta semakin kehilangan suara

nyaring, sedangkan tokoh seperti H Misbach masih berjuang dengan menggunakan media penerbitan media massa sebagai corong untuk menyuarakan

kepentingan masyarakat Hindia Belanda.

Perbedaan aktivitas SI Surakarta dengan SI yang lain juga terlihat pada tindakan yang menuntut kebijakan pemerintah kolonial. Pada bulan April 1918, SI

Semarang dan SI Surabaya menuntut pemerintah kolonial Belanda untuk mengurangi jumlah perkebunan tebu di Pulau Jawa, dan digantikan oleh tanaman

12Doenia Bergerak

(49)

commit to user

padi. Tuntutan tersebut sebagai bentuk keprihatinan terhadap bahaya kelaparan

yang menyerang Hindia Belanda. SI Surakarta tidak ikut serta dalam mengkritik kebijakan pemerintah kolonial.13 Bahaya kelaparan yang menyerang Hindia

Belanda terjadi juga di Trenggalek Jawa Timur. Bahkan Cokroaminoto menulis sebuah surat permohonan (rekest) yang cukup panjang kepada pemerintah kolonial Hindia Belanda di Batavia. Isi rekest tersebut memohon supaya

pemerintah membahas lagi dengan serius bencana kelaparan yang terjadi di Trenggalek, karena pemerintah belum bertindak apapun atas bencana tersebut.14

Hal yang sama juga dituliskan oleh Marco Kartodikromo, sebagai pengurus SI Yogyakarta, mengkritik kebijakan kolonial lewat tulisan sama rasa sama rata.

Dalam tulisannya, Marco mengungkapkan bahwa pentingnya derajat yang sama bagi manusia.15

Semangat untuk membangun SI Surakarta untuk bangkit dari kelesuan

sebenarnya masih ada dan hal tersebut dibuktikan dengan masih banyaknya tokoh-tokoh yang loyal terhadap Samanhudi. Pada awal tahun 1919, tokoh-tokoh lokal Surakarta yang pernah aktif di Sarekat Islam membentuk kepengurusan baru

sebagai bukti keberadaan SI Surakarta. Dalam beberapa bulan terakhir kondisi SI Surakarta memang lesu, tetapi pembentukan pengurus tersebut mencoba

menjawab pertanyaan mengenai permasalahan SI Surakarta. Samanhudi memperoleh jabatan tertinggi diluar kepengurusan yaitu sebagai dewan kehormatan, sedangkan ketua SI Surakarta dipegang oleh Marco Kartodikromo.

13Neratja

, 3 – 4 April 1918

14Sin Po,

1 Mei 1918

15Sinar Hindia

(50)

commit to user

Berikut ini adalah susunan kepengurusan yang dibentuk pada Januari 1919

tersebut:

Penasihat : H Samanhudi

Ketua : Marco Kartodikromo Wakil Ketua : R. Ng. Wirokoesoemo Bendahara : M. H. Abdoelsalam

Sekretaris : R. Hadiasmoro Sekretaris 2 : R. Wirowongso

M Ng Darmosasmito R. Ng. Djiwopardoto

H. Misbach M. Soekarno

Kandidat kandidat tersebut dipilih secara fleksibel, karena sebagian

memang tidak hadir dalam rapat di Surakarta pada 19 Januari 1919. Meskipun demikian, para kandidat tersebut diharapkan mampu mengemban amanah sebagai pengurus SI Surakarta yang baru dan mampu menghidupkan kembali kegiatan SI

Surakarta.16

Beberapa pengurus baru ini sempat mengeluarkan beberapa tulisan di surat

kabar yang mengkritik aktivis pergerakan yang hanya memikirkan gaji saja. Namun sayangnya, kebanyakan dari pengurus baru tersebut memegang dua jabatan pada waktu yang sama di organisasi lain sehingga tidak mampu

beraktivitas secara maksimal di SI Surakarta. H Misbach dan Marco Kartodikromo misalnya begitu sibuk mengurus surat kabar mereka

16Darmo Kondo

(51)

commit to user

masing. Secara organisasi, kemampuan Marco Kartodikromo sebagai pemimpin

organisasi tidak begitu maksimal. Apalagi domisilinya berada di Semarang, dan aktif di SI Semarang sebagai pengurus Sinar Hindia.17

Keberadaan SI Surakarta belum menunjukkan posisi yang berarti pada kongres CSI 1919. Kepengurusan CSI masih didominasi oleh orang-orang dari kubu Cokroaminoto, dan tidak ada perwakilan dalam CSI tersebut.18 Sebagaimana

kepengurusan CSI yang terbentuk pada kongres 1919 sebagai berikut ini: Ketua : Cokroaminoto

Referensi

Dokumen terkait