• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II PERLINDUNGAN BURUH PEREMPUAN MENURUT KONVENSI ILO DAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN NASIONAL A. Konvensi ILO Mengenai Kerja Malam bagi Perempuan yang bekerja di Sektor Industri - Perlindungan hukum terhadap hak-hak pekerja Buruh perempuan di PT. Ind

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2019

Membagikan "BAB II PERLINDUNGAN BURUH PEREMPUAN MENURUT KONVENSI ILO DAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN NASIONAL A. Konvensi ILO Mengenai Kerja Malam bagi Perempuan yang bekerja di Sektor Industri - Perlindungan hukum terhadap hak-hak pekerja Buruh perempuan di PT. Ind"

Copied!
25
0
0

Teks penuh

(1)

BAB II

PERLINDUNGAN BURUH PEREMPUAN MENURUT KONVENSI ILO DAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN NASIONAL

A. Konvensi ILO Mengenai Kerja Malam bagi Perempuan yang bekerja di Sektor Industri

Konvensi ILO adalah salah satu produk hukum dari International Labour Organisation. ILO adalah salah satu organisasi multilateral di bawah naungan PBB. ILO terbentuk pada akhir perang dunia pertama sejalan dengan disahkannya Konstitusi ILO oleh Konferensi Perdamaian di Versailles bulan April 1919. Ada tiga alasan pembentukan ILO, yaitu :33

a. Kemanusiaan. ILO didirikan sebagai upaya memperbaiki kesejahteraan para pekerja/buruh yang ketika itu sangat tereksploitasi tanpa memperhatikan kesehatan, kehidupan keluarga dan masa depan mereka. b. Politis. Ketidakadilan yang dialami para pekerja/buruh yang jumlahnya

kian bertambah akibat industrialisasi menimbulkan konflik yang mengancam perdamaian dunia.

c. Ekonomi. Disadari sepenuhnya bahwa tuntutan yang tinggi atas kesejahteraan pekerja/buruh bukanlah suatu hal yang menarik bagi para pengusaha karena dianggap meningkatkan biaya produksi dan melemahkan daya saing.

Ketiga alasan itu dituangkan dalam Mukadimah ILO alinea satu bahwa perdamaian yang bersifat universal dan abadi hanya dapat dicapai apabila didasarkan pada keadilan sosial. Ketidakadilan kondisi perburuhan dapat mengancam perdamaian dan ketentraman dunia dapat diperbaiki dengan upaya perbaikan kondisi kerja melalui pengaturan jam kerja; penawaran tenaga kerja; upaya pencegahan pengangguran; ketentuan upah hidup layak; perlindungan terhadap penyakit akibat kerja dan kecelakaan kerja; perlindungan terhadap anak-anak, orang muda dan wanita yang bekerja; ketentuan usia lanjut dan cedera;

33

(2)

perlindungan buruh migran; persamaan upah; pengakuan terhadap prinsip kebebasan berserikat dan berkumpul, pengorganisasian pendidikan kejuruan dan tekhnik. Pada tahun 1944, para anggota ILO menyatakan Deklarasi Philadelphia, yang diintegrasikan ke dalam Konstitusi ILO menetapkan empat prinsip pokok yang mendasari keberadaan ILO, yaitu :34

a. Buruh atau pekerja bukanlah barang komoditas;

b. Kebebasan berserikat dan mengeluarkan pendapat sangat diperlukan bagi kemajuan yang berkesinambungan;

c. Kemiskinan di satu tempat merupakan ancaman bagi kemakmuran dimana-mana; dan

d. Setiap manusia, tanpa memandang ras, kepercayaan atau jenis kelamin berhak mengejar kesejahteraan material dan kemajuan spiritual dalam kondisi yang menghargai kebebasan, harkat dan martabat manusia untuk memperoleh keamanan ekonomi dan kesempatan yang sama.

Perdamaian yang bersifat universal dan abadi hanya dapat dicapai apabila didasarkan pada keadilan sosial. Ketidakadilan kondisi perburuhan dapat mengancam perdamaian dan ketentraman dunia, dapat diperbaiki dengan upaya perbaikan kondisi kerja melalui pengaturan jam kerja; penawaran tenaga kerja, upaya pencegahan pengangguran, ketentuan upah hidup layak; perlindungan terhadap penyakit akibat kerja dan kecelakaan kerja, perlindungan terhadap anak-anak, orang muda dan wanita yang bekerja, ketentuan usia lanjut dan cedera, perlindungan buruh migran, persamaan upah, pengakuan terhadap prinsip kebebasan berserikat dan berkumpul, pengorganisasian pendidikan kejuruan dan tekhnik.35

ILO memiliki struktur tripartid, artinya organisasi pengusaha dan buruh memiliki suara yang setara dengan pemerintah masing-masing negara anggota dalam menentukan kebijakan dan program ILO. Organ ILO berdasarkan Pasal 2 Konstitusi ILO terdiri dari Konferensi perburuhan internasional (International

34Ibid , hal 42 35Ibid

(3)

Labour Conference /ILO), badan pengurus (governing body / GB) dan satu sekretariat tetap (International Labour Office).36

a. Konferensi Perburuhan Internasional (International Labour Conference / ILO) Konferensi Perburuhan Internasional merupakan badan pengambil keputusan tertinggi di ILO. Badan ini pun berstruktur tripartid dengan fungsi utama, yaitu : 1) Menyusun standar perburuhan internasional dalam bentuk konvensi atau

rekomendasi,

2) Berperan sebagai forum pembahasan berbagai permasalahan dunia berkaitan dengan perburuhan dan ketenagakerjaan yang berwenang mengeluarkan resolusi sebagai bahan panduan dalam menanggulangi masalah –masalah tersebut, serta

3) Menyusun dan menetapkan program dan anggaran dua tahunan ILO. Setiap tahun pada bulan Juni, Konferensi Perburuhan Internasional (International Labour Cenference) mengadakan pertemuan di Jenawa.

b. Badan Pengurus (Governing Body). Badan ini beranggotakan 56 orang yang terdiri dari 28 wakil pemerintah negara anggota, 14 orang pekerja dan 14 wakil pengusaha. Tugas utamanya adalah menetapkan kebijakan dan prioritas bagi pelaksanaan kegiatan-kegiatan ILO secara keseluruhan. Badan Pimpinan menetapkan dan memandu kegiatan-kegiatan konkrit ILO.

c. Kantor Perburuhan Internasional (International Labour Office). Kantor ini merupakan sekretariat ILO yang bertugas melaksanakan program-program nyata di tingkat pusat, regional, sub-regional maupun nasional di negara-negara anggota. Kantor pusat di Jenawa bertugas mengurusi pekerjaan yang bersifat

(4)

administratif dan kesekretariatan bagi Badan Pimpinan dan Konferensi Perburuhan Internasional, serta memberi dukungan teknis dan administratif kepada kegiatan kantor di tingkat wilayah. Kantor-kantor regional, sub-regional dan nasional bertugas merancang dan melaksanakan program-program bantuan teknis bagi negara-negara anggota.37

Menurut Undang-undang dan konvensi ILO yang telah diratifikasi, Perempuan yang bekerja di malam hari harus mendapat perlindungan khusus berdasarkan pertimbangan bahwa perempuan itu lemah dari segi fisik maupun untuk menjaga kesehatan dan kesusilaan. Menurut UU no.13 tahun 2003, perempuan dilarang bekerja pada malam hari bila berumur kurang dari 18 tahun atau pekerja / buruh perempuan hamil yang menurut keterangan dokter berbahaya bagi kesehatan dan keselamatan kandungannya dan dirinya. Sedangkan bagi pengusaha yang mempekerjakan pekerja/buruh perempuan pada malam hari mempunyai kewajiban memberikan makanan dan minuman bergizi, menjaga kesusilaan dan keamanan selama bekerja dan menyediakan angkutan antar jemput bagi pekerja/buruh yang berangkat dan pulang antara jam 23.00 s/d05.00.

Demi tuntutan pekerjaan, tidak jarang kita melihat banyak pekerja perempuan yang diharuskan bekerja dengan sistem shift malam khususnya di sektor layanan jasa 24 jam. Pekerja malam sendiri bisa dikategorikan menjadi 2 macam yaitu :

1. Pekerja yang bekerja di suatu instansi/perusahaan yang memang mengikuti peraturan bekerja secara shift. Contohnya : para pekerja di rumah sakit (dokter, perawat), pramugari, pemadam kebakaran, sekuriti, pekerja di hotel.

(5)

2. Pekerja yang memang bekerja di suatu tempat yang memang dibuka dari sore hingga esok paginya. Contohnya : pekerja di tempat-tempat hiburan (Café, Diskotik).

Bekerja pada malam hari tentu lebih beresiko dibanding bekerja di siang hari karena jika jadwal tidur, mereka keluar jalur, maka dapat mengganggu siklur tidur-bangun yang normal dan tubuh menjadi tidak berfungsi sebagaimana mestinya, yang akhirnya akan mengarah pada gangguan pola hidup dan gangguan kesehatan seperti jantung, stroke, tekanan darah tinggi, kolesterol dan diabetes.

Menurut pasal 76 Undang-Undang No. 13 tahun 2003, pekerja perempuan yang berumur kurang dari 18 (delapan belas) tahun dilarang dipekerjakan antara pukul 23.00 sampai dengan pukul 07.00, yang artinya pekerja perempuan diatas 18 (delapan belas) tahun diperbolehkan bekerja shift malam (23.00 sampai 07.00). Perusahaan juga dilarang mempekerjakan pekerja perempuan hamil yang menurut keterangan dokter berbahaya bagi kesehatan dan keselamatan kandungannya maupun dirinya apabila bekerja antara pukul 23.00 sampai dengan pukul 07.00.

Perusahaan memiliki beberapa kewajiban yang harus dipenuhi sesuai dengan Undang-Undang No.13/2003 yang lebih lanjutnya diatur dalam Kep.224/Men/2003 tentang Kewajiban Pengusaha yang Mempekerjakan Pekerja Perempuan antara pukul 23.00 sampai dengan 07.00. Pengusaha yang memperkerjakan buruh perempuan antara pukul 23.00 sampai dengan pukul 07.00 wajib :

(6)

Makanan dan minuman yang bergizi harus sekurang-kurangnya memenuhi 1.400 kalori, harus bervariasi, bersih dan diberikan pada waktu istirahat antara jam kerja. Makanan dan minuman tidak dapat diganti dengan uang.

• Menjaga kesusilaan dan keamanan selama di tempat kerja

Pengusaha wajib menjaga keamanan dan kesusilaan pekerja perempuan dengan menyediakan petugas keamanan di tempat kerja dan menyediakan kamar mandi yang layak dengan penerangan yang memadai serta terpisah antara pekerja perempuan dan laki-laki. Pengusaha juga diharuskan menyediakan antar jemput mulai dari tempat penjemputan ke tempat kerja dan sebaliknya. Lokasi tempat penjemputan harus mudah dijangkau dan aman bagi pekerja perempuan.

Pelaksanaan pemberian makanan dan minuman bergizi, penjagaan kesusilaan, dan keamanan selama di tempat kerja serta penyediaan angkutan antar jemput diatur lebih lanjut dalam Perjanjian Kerja, Peraturan Perusahaan, atau Perjanjian Kerja Bersama. Jadi ingat, sebelum menandatangani Perjanjian Kerja, harap dibaca dahulu dengan seksama apa yang tertulis di Perjanjian Kerja.38

Konvensi Kerja Malam yang pertama disetujui oleh Sidang Umum (General Conference) Organisasi Buruh Internasional pada tahun 1919. Konvensi tersebut berlaku mulai tanggal 13 Juni 1921. Pada tahun 1934, Sidang Umummeminta pembentukan suatu Komite Sidang untuk mempertimbangkan kemungkinan dilakukannya revisi atas Konvensi. Usulan revisi pertama menyangkut pengecualian dari aturan-aturan Konvensi perempuan yang menduduki jabatan-jabatan tinggi. Masalah ini telah dibahas pada sidang yang ke limabelas (1931) tetapi memperoleh suara kurang dari dua pertiga yang dibutuhkan untuk persetujuannya. Pada saat itu dimintakan saran dari Pengadilan Tetap dariMahkamah Internasional (Permanent Court of International Justice) yang menetapkan perempuan yang menduduki jabatan demikian memang, pada kenyataannya, terkena oleh aturan-aturan Konvensi. Ketentuan baru yang

(7)

mengecualikan perempuan dengan jabatan seperti itu kemudian disetujui oleh Komite. Revisi kedua melibatkan definisi ulang atas itilah “malam” guna membuka jalan bagi lebih banyak ratifikasi dengan memperluas lingkup jam kerja sehingga memungkinkan dijalankannya hari kerja dengan dua giliran kerja (shift). Konvensi Revisi, yang mencerminkan dua perubahan tersebut, disetujui oleh Sidang dengan suara 121 melawan 1. Pakta tersebut berlaku mulai tanggal 2 November 1936.39

Kebutuhan akan revisi Konvensi yang kedua diajukan sewaktu proses regular pelaporan Konvensi sepuluh tahunan, sebagaimana ditetapkan oleh Organisasi Buruh Internasional. Kepedulian utama dari mereka yang menghendaki revisi itu ialah keinginan untuk membuat definisi “malam” agar semakin lebih fleksibel daripada yang ditetapkan dalam Konvensi 1934. Suatu Komite Sidang yang dibentuk untuk itu membahas usulan-usulan dan merekomendasikan perubahan atas Konvensi. Konvensi revisi 1948 disetujui oleh Sidang Umum pada bulan Juni 1948 dengan suara 120 dibanding 2 dengan 9 abstain. Konvensi ini berlaku pada 27 Februari 1951 sesuai dengan pasal 14, duabelas bulan setelah didaftarkannya ratifikasi oleh dua Anggota.40

Fakta terakhir tersebut meredefinisikan pengertian “malam” guna memberikan fleksibilitas yang lebih besar kepada para pengusaha. Konvensi ini mengijinkan ditangguhkannya aturan-aturan yang terkandung di dalamnya pada masa keadaan darurat jika kepentingan nasional mendukung hal tersebut. Ia juga memperluas lebih jauh pengecualian terhadap perempuan yang menduduki jabatan manajemen yang tidak melakukan pekerjaan manual.41

39

Alex Irwan, Perisai Perempuan ; Kesepakatan Internasional untuk Perlindungan Perempuan, (Jakarta : Penerbit LBH APIK, 2000), hal 35

40Ibi

d, hal 35 41Ibid

(8)

B. Konvensi ILO mengenai perlindungan kehamilan

Menurut Konvensi ILO Pasal 2, dalam Konvensi ini, istilah ”wanita” berarti seorang wanita, tanpa pembatasan umur, kebangsaan, ras atau keturunan, baik menikah atau tidak menikah, dan istilah ”anak” adalah anak baik yang dilahirkan dalam ikatan perkawinan maupun tidak. Sedangkan Pasal 3 yakni : 1. Wanita untuk siapa Konvensi berlaku, setelah menunjukkan keterangan medis

yang menyatakan perkiraan tanggal melahirkannya, berhak untuk mendapatkan cuti hamil.

2. Masa cuti hamil harus sekurang-kurangnya duabelah minggu, dan harus meliputi masa cuti wajib setelah melahirkan.

3. Masa cuti wajib setelah melahirkan akan ditentukan oleh peraturan perundang-undangan negara, tetapi selalu tidak boleh kurang dari enam minggu; sisa seluruh masa cuti hamil dapat diberikan sebelum tanggal melahirkan yang diperkirakan atau setelah berakhirnya masa cuti wajib atau sebagian sebelum tanggal melahirkan yang diperkirakan dan sebagian lagi setelah berakhirnya masa cuti wajib sebagaimana dapat ditentukan oleh peraturan perundang-undangan negara.

4. Cuti sebelum tanggl melahirkan yang diperkirakan harus diperpanjang selama masa antara tanggal melahirkan yang diperkirakan dan tanggal melahirkan yang sebenarnya dan masa cuti wajib yang dijalani setelah melahirkan tidak boleh dikurangi karena adanya perbedaan ini.

(9)

maksimumnya dapat ditetapkan oleh pihak yang berwenang.

Kelompok masyarakat yang paling banyak mengalami kehilangan pekerjaan adalah kelompok perempuan dengan tingkat pendidikan menengah ke bawah dan keterampilan seadanya. Akan tetapi desakan yang dialami oleh sektor industri tersebut di lain pihak terjadi peningkatan di sekor perdagangan dan jasa. Hampir semua kota-kota di Indonesia mengalami pertumbuhan ekonomi melalui peranan sektor ini. Tidak kalah pentingnya adalah semakin pentingnya peranan sektor perdagangan dan jasa tersebut dalam menyediakan lapangan kerja level pendidikan menengah ke bawah dan kemampuan keterampilan yang rendah. Gejala umum yang terjadi dari aspek ketenagakerjaan adalah semakin besarnya peluang bagi tenaga kerja perempuan.42

Kesehatan merupakan hak dasar semua warga negara, hal ini secara jelas dinyatakan dalam Pasal 28H ayat (1) UUD Tahun 1945. Terkait dengan hak reproduksi wanita yang merupakan hak khusus dikarenakan fungsi reproduksinya, -yang tidak dimiliki laki-laki, Pasal 28H ayat (2) menyebutkan bahwa ”Setiap orang mendapat kemudahan dan perlakuan khusus untuk memperoleh kesempatan dan manfaat yang sama guna mencapai persamaan dan keadilan.” Selanjutnya, ketentuan mengenai hak reproduksi diatur dalam UU HAM. Pasal 49 ayat (2) UU HAM menyatakan bahwa ”Wanita berhak untuk mendapatkan perlindungan khusus dalam pelaksanaan pekerjaan atau profesinya terhadap hal hal yang dapat mengancam keselamatan dan atau kesehatannya berkenaan dengan fungsi reproduksi wanita”. Penjelasan ayat (2) menjelaskan aspek perlindungan khusus tersebut pada dua hal yakni pelayanan kesehatan yang berkaitan dengan haid, hamil, melahirkan, dan pemberian kesempatan untuk menyusui anak. Hal ini diperkuat dengan ketentuan pada ayat (3) yang menegaskan bahwa ”Hak khusus yang melekat pada diri wanita dikarenakan fungsi reproduksinya, dijamin dan dilindungi oleh hukum.” Dengan kata lain, hak reproduksi harus dijamin dan

42

(10)

dilindungi, sehingga serta merta melahirkan kewajiban-kewajiban bagi suami, masyarakat, negara, dan pihak terkait lainnya untuk memenuhi hak-hak perlindungan bagi wanita terkait hak reproduksinya tersebut. Di dalam hak perlindungan itulah, hak reproduksi mendapatkan tempatnya. Perlindungan merupakan segala upaya yang ditujukan untuk memberikan rasa aman dan jaminan terhadap hak perempuan dalam segala aspek kehidupan.

Ketentuan dalam UU HAM merupakan ruh dari perlindungan terhadap hak reproduksi wanita. Namun demikian, akan menjadi sia-sia semangat perlindungan tersebut jika tidak dibarengi dengan realisasi dalam kebijakan-kebijakan di bidang lain yang terkait erat seperti kebijakan kesehatan, kependudukan, dan ketenagakerjaan. Terkait dengan konsep gender, kebijakan pemerintah di berbagai bidang seharusnya mendukung dan melindungi hak reproduksi wanita. Pada tataran perundang-undangan, beberapa Undang-undang telah menjadikan isu perlindungan hak reproduksi dalam ketentuan dan pengaturan yang mengikat. Namun demikian masih terdapat catatan-catatan terhadap adanya ”jarak” antara kondisi ideal sebagaimana diarahkan dalam UU HAM dengan kebijakan-kebijakan tersebut. Pada tataran peraturan pelaksana, terdapat beberapa kebijakan secara normatif sudah mengarah dan mendukung pemenuhan perlindungan hak khusus tersebut namun belum tersosialisai dan diimplementasikan dengan baik.43

C. Konvensi ILO mengenai pengupahan yang sama bagi pekerja laki-laki dan perempuan untuk pekerjaan yang sama nilainya

Upah adalah segala macam pembayaran yang timbul dari kontrak kerja, terlepas dari jenis pekerjaan dan denominasinya. Upah menunjukkan penghasilan

43

(11)

yang diterima oleh pekerja sebagai imbalan atas pekerjaan yang dilakukannya. Upah dapat diberikan baik dalam bentuk tunai atau natura, atau dalam bentuk tunai natura. Sistem pengupahan merupakan kerangka bagaimana upah diatur dan ditetapkan. Sistem pengupahan di Indonesia pada umumnya didasarkan kepada tingkat fungsi upah, yaitu menjamin kehidupan yang layak bagi pekerja dan keluarganya, mencerminkan imbalan atas hasil kerja seseorang dan menyediakan insentif untuk mendorong peningkatan produktivitas kerja.

Perempuan tidak terbebani tugas (kewajiban) mencari nafkah, baik untuk dirinya sendiri maupun untuk keluarganya. Perempuan justru berhak mendapatkan nafkah dari suaminya (bila perempuan tersebut telah menikah) atau dari walinya (bila belum menikah). Bahkan sekalipun sudah tidak ada lagi orang yang bertanggung jawab terhadap nafkahnya, Islam telah memberikan jalan lain untuk menjamin kesejahteraannya, yakni dengan membebankan tanggung jawab nafkah perempuan, bukan dengan jalan mewajibkan perempuan bekerja.44

Ada beberapa pekerjaan yang sama-sama layak dikerjakan oleh perempuan dan laki-laki, ada juga beberapa pekerjaan yang khusus dikerjakan oleh masing-masing atau secara sendiri-sendiri. Pekerjaan yang membutuhkan kerja otot selamanya akan menjadi bagian dari tugas laki-laki. Dengan demikian, seorang perempuan tidak layak baginya melakukan pekerjaan-pekerjaan yang membutuhkan kerja otot, seperti melakukan penggalian, pengeboran, pembangunan, industri besi, kayu, dan sejenisnya yang menuntut jerih payah luar biasa dan memberatkan perempuan.45

Akan tetapi bila suatu hukum ditetapkan khusus untuk jenis manusia tertentu (laki-laki saja atau perempuan saja), maka akan terjadi pembebanan hukum yang berbeda antara laki-laki dan perempuan. Misalnya kewajiban mencari nafkah (bekerja) hanya dibebankan kepada laki-laki, karena hal ini berkaitan

44

Tunggul, Hadi Setia, Pengantar Hukum Ketenagakerjaan Indonesia. (Jakarta : Harvavindo, 2009), hal 66

45

(12)

dengan fungsinya sebagai kepala rumah tangga. Islam telah menetapkan bahwa kepala rumah tangga adalah tugas pokok dan tanggung jawab laki-laki.

Pembagian kerja antara perempuan dan laki-laki dalam Islam bukanlah bermaksud untuk mendiskriminasikan salah satu pihak. Tapi lebih pada kepantasan akan pekerjaan yang akan dikerjakan. Hal itu adalah pembagian yang wajar dan realistis dari sebuah pekerjaan yang menggerakkan kehidupan dan masyarakat, sehingga peradaban manusia bisa berjalan secara normal.46

D. Undang-Undang No.7/1984 mengenai penghapusan segala bentuk

diskriminasi terhadap perempuan

Pemerintah Indonesia telah menandatangani Konvensi Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Perempuan pada tanggal 29 Juli 1980 yaitu ketika diadakan Konperensi Sedunia tentang Perempuan di Kopenhagen. Empat tahun kemudian yakni pada tanggal 24 Juli 1984 Konvensi ini diratifikasi dengan UU No. 7 Tahun 1984 tentang Pengesahan Konvensi mengenai Penghapusan Diskriminasi terhadap Wanita.

Jauh sebelumnya Indonesia juga telah meratifikasi beberapa Piagam dan Konvensi Internasional yang berkaitan dengan persamaan hak perempuan dan laki-laki. Piagam dan Konvensi tersebut antara lain adalah Piagam PBB, Konvensi yang berkaitan dengan pekerjaan perempuan di dalam tanah dan pertambangan, Konvensi yang berkaitan dengan pembayaran kepada pekerja laki-laki dan perempuan untuk pekerjaan yang sama nilainya (Konvensi ILO No. 100), Konvensi tentang hak-hak politik perempuan (UU No. 18/1956), Konvensi terhadap diskriminasi dalam pendidikan dan sebagainya. Beberapa prinsip dalam

(13)

konvensi-konvensi tersebut secara eksplisit telah tertuang pula dalam peraturan perundangan.47

Namun jika kita kaji lebih jauh tampak bahwa pelaksanaan Konvensi ini menghadapi kendala kultural maupun struktural. Kendala kultural menyangkut sikap masyarakat yang masih enggan untuk mengakui persamaan laki-laki dan perempuan. Sikap ini seringkali dikuatkan oleh berbagai ajaran agama, adat dan budaya yang masih dianut sampai saat ini. Tragisnya sikap ini kemudian diadopsi menjadi sikap resmi negara sebagaimana yang dapat kita baca dalam penjelasan UU Nomor 7 Tahun 1984 yang berbunyi :Dalam pelaksanaannya, ketentuan dalam Konvensi ini wajib disesuaikan dengan tata kehidupan masyarakat yang meliputi nilai-nilai budaya, adat istiadat serta norma-norma keagamaan yang masih berlaku dan diikuti secara luas oleh masyarakat Indonesia.48

Sebuah Peraturan Menteri No. SE-04/Men/1988 yang dikeluarkan dengan mengacu pada UU No. 7 Tahun 1984, ternyata justru bertentangan dengan prinsip yang ada di dalam Konvensi Perempuan tersebut. Peraturan Menteri tentang pelaksanaan larangan diskriminasi pekerja wanita tersebut antara lain mengatur tentang jaminan pemeliharaan kesehatan yang antara lain menyatakan bahwa baik pekerja laki-laki maupun perempuan memperoleh tunjangan kesehatan yang sama kecuali pekerja perempuan tersebut telah mendapat tunjangan kesehatan dari suaminya, baik dari perusahaan yang sama maupun dari perusahaan yang berbeda.49

47

Asri Wijayanti, Sinkronisasi Hukum Perburuhan Terhadap Konvensi ILO : Analisis Kebebasan Berserikat dan Penghapusan Kerja Paksa di Indonesia, (Bandung : Penerbit CV. Karya Putra Darwati, Cetakan I, 2012), hal 56

48Ibid , hal 57 49Ibid

, hal 58

(14)

dari suaminya, maka ia dianggap berstatus tidak menikah, sehingga ia kehilangan haknya untuk memperoleh tunjangan yang sama dengan rekannya yang laki-laki.

Kebijakan ini jelas sangat diskriminatif dan secara prinsipil bertentangan dengan pesan pokok yang terkandung dalam Konvensi Perempuan juncto UU No. 7 tahun 1984 tersebut yang justru menjadi dasar dikeluarkannya Peraturan Menteri tersebut. Jelas di sini bahwa pandangan resmi pemerintah terhadap perempuan masih dilihat sebagai istri/ibu dan oleh karena itu statusnya selalu dikaitkan dengan suaminya. Padahal seorang perempuan mungkin saja adalah seorang istri atau ibu. Namun ia tetap seorang individu dengan jatidiri tersendiri (otonom), seorang warganegara yang mempunyi hak-hak yang sama pentingnya dengan warganegara yang lain baik dirumah,ditempat kerja ataupun di sektor publik yang lain. Ia adalah manusia yang sama derajatnya dengan manusia lainnya apakah itu suaminya, ayahnya, anak laki-lakinya ataupun teman sekerjanya yang laki-laki. Inilah pesan yang paling dasar dari Konvensi Perempuan ini yang nampaknya belum tersampaikan/dipahami baik oleh para pengambil keputusan maupun oleh masyarakat sendiri.50

Perjuangan kaum perempuan untuk memperoleh dan menikmati hak asasi yang diharapkan. Ratifikasi berbagai konvensi tidak menjadi jaminan bahwa hak-hak itu akan terpenuhi. Masih harus dilakukan semacam agenda kerja dan aksi untuk merealisasikan yang sudah disepakati dalam berbagai konvensi tersebut. Ini bukan hanya tugas kaum perempuan saja tapi tugas kaum laki-laki juga. Karena pada akhirnya segala usaha untuk pemenuhan hak asasi manusia umumnya dan

50

Rahima, Swara. 2004. Perempuan Bekerja, Dilemma Tak Berujung.

(15)

hak asasi perempuan khususnya bertujuan untuk mewujudkan kesejahteraan dan kebahagiaan seluruh umat manusia laki-laki dan perempuan tanpa kecuali.51

E. Undang-Undang Ketenagakerjaan No.13/2003 Perlindungan terhadap Diskriminasi Perempuan

Ketenagakerjaan diatur dalam Undang-Undang No. 13 tahun 2003, yang diundangkan pada Lembaran Negara Tahun 2003 Nomor 39 pada tanggal 25 Maret 2003, dan mulai berlaku pada tanggal diundangkan itu. Pembangunan ketenagakerjaan sebagai bagian integral dari pembangunan nasional berdasarkan pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara RI Tahun 1945, dilaksanakan dalam rangka pembangunan manusia Indonesia seutuhnya dan pembangunan masyarakat Indonesia seluruhnya untuk meningkatkan harkat, martabat, dan harga diri tenaga kerja serta mewujudkan masyarakat sejahtera, adil, makmur dan merata, baik materil maupun spiritual (Penjelasan Umum atas UU No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan).52

UU No. 23 Tahun 2003 ini kiranya diusahakan sebagai peraturan yang menyeluruh dan komprehensif, antara lain mencakup pengembangan sumber daya manusia, peningkatan produktivitas dan daya saing tenaga kerja Indonesia, upaya perluasan kesempatan kerja, pelayanan penempatan tenaga kerja, dan pembinaan hubungan industrial. Tetapi, bila dilihat dri pengertian ketenagakerjaan sebagai segala hal yang berhubungan dengan tenaga kerja pada waktu sebelum, selama dan sesudah masa kerja, maka UU No. 23 tahun 2003 ini belumlah menyeluruh dan komprehensif karena hal yang berhubungan dengan tenaga kerja pada waktu

51

Alex Irwan, Op.Cit, hal 15-16 52

(16)

sesudah masa kerja, seperti masalah pensiun tidak dibahas dalam undang-undang ini.53

Menurut Undang-undang dan konvensi ILO yang telah diratifikasi Setiap pekerja/buruh berhak memperoleh perlakuan yang sama tanpa diskriminasi untuk memperoleh pekerjaan. Bunyi pasal 5 UU No.13 tahun 2003 tersebut mencerminkan bahwa tidak ada perbedaan hak antara pria dan wanita untuk memperoleh pekerjaan. Disamping diatur dalam undang-undang, Pemerintah juga telah meratifikasi konvensi ILO Nomor 100 tentang pengupahan yang sama dalam pekerjaan yang sama nilainya bagi laki-laki dan perempuan. Konvensi yang kedua nomor 111 tentang Diskriminasi dalam pekerjaan dan jabatan , isinya antara lain memuat ketentuan-ketentuan tentang larangan segala bentuk diskriminasi dalam pekerjaan berdasarkan ras, warna kulit, seks,agama,aliran politik dan sebagainya. Larangan diskriminasi ini termasuk kesempatan mengikuti pelatihan ketrampilan, memperoleh pekerjaan dan mematuhi syarat-syarat mendapatkan kondisi kerja.54

kedudukan yang sama di muka hukum. Jadi sejak Tahun 1945 di negara kita prinsip kesetaraan laki-laki dan perempuan di depan hukum telah diakui. Undang-undang Perkawinan (UU No. 1 Tahun 1974, Pasal 31 ayat (1) memuat kalimat-kalimat yang mengatakan, bahwa hak dan kedudukan isteri adalah seimbang dengan hak dan kedudukan suami dalam kehidupan rumah tangga dan pergaulan hidup bersama di masyarakat. Kemudian ada lagi pasal dalam Undang-undang Undang-undang Dasar kita yang dirumuskan pada Tahun 1945 sejak semula telah mencantumkan dalam Pasal 27 (1), bahwa semua orang mempunyai

53Ibid , hal 9 54

(17)

Perkawinan itu yang mengemukakan, bahwa harta benda yang diperoleh selama perkawinan menjadi harta bersama (Pasal 35 ayat (1)), dan mengenai harta bersama suami atau isteri dapat bertindak atas persetujuan kedua belah pihak (Pasal 36 ayat (1)).

Ketentuan-ketentuan tersebut mengandung makna, bahwa terhadap isteri harus diberi penghargaan yang setara dengan suami. Ketentuan dalam GBHN 1993-1998 juga mengemukakan prinsip kesetaraan laki-laki dan perempuan seperti yang dapat dibaca berikut ini: “perempuan, baik sebagai warga Negara maupun sebagai sumberdaya insani pembangunan, mempunyai hak dan kewajiban serta kesempatan yang sama dengan laki-laki dalam pembangunan di segala bidang”. Di bidang hukum yang mengatur tentang hak-hak tenaga kerja, Negara kita telah meratifikasi Konvensi ILO No. 100, yaitu mengenai pengupahan yang sama untuk laki-laki dan perempuan pekerja untuk pekerjaan yang sama nilai, sehingga kita terikat untuk mengintegrasikannya ke dalam perundang-undangan kita. Semua ketentuan undang-undang serta ketentuan dalam GBHN yang telah dikutip tadi menjadi bukti yang nyata, bahwa pembuat undang-undang di Negara kita memang menyetujui prinsip kesetaraan laki-laki dan perempuan. 55

Perempuan menikmati perlindungan hak-hak asasinya seperti halnya laki-laki, yang berarti bahwa diskriminasi terhadap perempuan dilarang, menjadi hukum positif di negara kita dengan ratifikasi terhadap Konvensi PBB mengenai Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Terhadap perempuan (disingkat dengan Konvensi Perempuan) melalui Undang-Undang No. 7 Tahun 1984. Di kalangan PBB konvensi ini telah diterima pada Sidang Umum tahun 1979, dan pembuatan

55

(18)

konvensi ini dilatar-belakangi oleh fakta, bahwa resolusi-resolusi serta deklarasi-deklarasi, seperti Deklarasi Universal mengenai Hak-hak Asasi Manusia atau Deklarasi mengenai Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Terhadap Perempuan, sebagai instrumen tidak mampu menghilangkan diskriminasi terhadap perempuan. Hak-hak asasi perempuan tetap dilanggar secara meluas. Maka itu Konvensi Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Terhadap perempuan dianggap perlu dibuat dan diharapkan dapat bekerja sebagai instrumen yang lebih efektif dalam mencegah dan menghapuskan diskriminasi terhadap perempuan. Harapan ini didasarkan pada konsekuensinya, antara lain adalah negara penandatangan mengikat diri untuk mengeluarkan berbagai peraturan, dan mengadakan berbagai kebijaksanaan maupun langkah-langkah lainnya wilayah negaranya untuk menjamin terhapusnya diskriminasi terhadap perempuan.

Pada Konvensi perempuan Pasal 2, dibaca bahwa negara peserta Konvensi mengutuk diskriminasi terhadap wanita dalam segala bentuknya, bersepakat untuk menjalankan dengan segala cara yang tepat dan tanpa ditunda-tunda, kebijaksanaan menghapus diskriminasi terhadap perempuan, antara lain:

1. Membuat peraturan perundang-undangan yang tepat, dan peraturan-peraturan lainnya, termasuk sanksi-sanksinya di mana perlu, melarang semua diskriminasi terhadap perempuan.

(19)

3. Tidak melakukan suatu tindakan atau praktek diskriminasi terhadap perempuan, dan untuk menjamin bahwa pejabat-pejabat pemerintah dan lembaga-lembaga negara akan bertindak sesuai dengan kewajiban ini.

4. Membuat peraturan-peraturan yang tepat untuk mengubah dan menghapuskan undang-undang, peraturan-peraturan, kebiasaan-kebiasaan dan praktek-praktek yang merupakan diskriminasi terhadap perempuan.

Walaupun telah jelas-jelas digariskan bahwa harus menjamin supaya perempuan memperoleh perlakuan yang setara dengan laki-laki, fakta-fakta menunjukkan diskriminasi yang berkelanjutan terhadap perempuan. Berbagai hal yang terjadi pada perempuan, yang dapat kita amati, yang beritanya kita baca dalam media masa, malahan berbagai rumusan undang-undang menunjukkan bahwa perlakuan diskriminatif terhadap perempuan masih berlangsung terus. Pasal 1 Konvensi Perempuan berbunyi sebagai berikut: Untuk tujuan Konvensi yang sekarang ini, istilah diskriminasi terhadap perempuan berarti setiap pembedaan, pengucilan atau pembatasan yang dibuat atas dasar jenis kelamin, yang mempunyai pengaruh atau tujuan untuk mengurangi atau menghapuskan pengakuan, penikmatan atau penggunaan hak-hak asasi manusia dan kebebasan-kebebasan pokok di bidang politik, ekonomi, sosial, budaya, sipil atau apapun lainnya oleh kaum perempuan terlepas dari status perkawinan mereka, atas dasar persamaan antara laki-laki dan perempuan.56

Beberapa contoh perlakuan diskriminatif yang meluas adalah gaji yang diterima oleh tenaga kerja perempuan lebih rendah dari yang diterima oleh laki-laki. Kemudian pekerjaan perempuan yang berwujud sebagai curahan waktu yang

56

(20)

panjang untuk mengurus rumah tangga, mengurus anak-anak, mengurus berbagai keperluan suami tidak memperoleh penilaian dalam arti tidak diperhitungkan sebagai sumbangan bagi ekonomi rumah tangga. Suami dan anggota lain dari keluarga dapat menghasilkan uang dan tercatat dalam statistik, sedangkan perempuan yang karena kegiatannya memungkinkan suami dan orang lain bekerja dianggap tidak bekerja. Hal lain adalah anggapan bahwa anak laki-laki itu jaminan di hari tua dan anak perempuan bukan.57

Hak untuk bekerja dengan jelas dinyatakan dalam pasal 23 dari Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia (Universal Declaration of Human Rights). Karena deklarasi tersebut juga melarang diskriminasi berdasarkan jenis kelamin, maka pernyataan tersebut bisa dilihat sebagai suatu landasan awal bagi Konvensi ini. Ketentuan serupa dikodifikasikan dalam pasal 6 dari Kovenan Internasional tentang Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya (International Covenant on Economic, Social and Cultural Rights).58

Organisasi Buruh Internasional menempatkan diskriminasi dalam lapangan kerja dan pekerjaan sebagai agenda dalam sidangnya yang ke empat puluh (1957) sehubungan dengan permintaan dari Komisi Hak Asasi Manusia (Commission on Human Rights) dan Subkomisi Pencegahan Diskriminasi dan Perlindungan Kelompok Minoritas (Subcommission on Prevention of Discrimination and Protection of Minorities). Baik subkomisi maupun komisi tersebut mengkaji rancangan Konvensi mengenai Diskriminasi dalam Lapangan Kerja dan Pekerjaan berikut semua komentar dari berbagai Pemerintah atasnya. Dalam sidang berikutnya tanggal 15 Juni 1960, Sidang Umum (General Conference) dari Organisasi Buruh Internasional menyetujui Konvensi Diskriminasi (Lapangan Kerja dan Pekerjaan). Pada saat yang sama mereka juga menyetujui sebuah Rekomendasi yang berisi ketentuan-ketentuan dasar yang sama tapi dalam bentuk non fakta. Konvensi ini diberlakukan pada tanggal 15 Juni 1960,

57

Nursyahbani, Katjasungkana, Keabsahan Perkawinan, Otoritas Siapa?, Kompas 12 Mei 1997.

58

(21)

sesuai dengan pasal 8 duabelas bulan setelah diratifikasi oleh dua Anggota.59

Dengan fakta ini, Negara-negara Peserta terikat dengan kewajiban untuk mengambil langkah-langkah nasional guna mempromosikan kesetaraan di bidang lapangan kerja dan pekerjaan;mereka setuju untuk bertindak kearah penghapusan diskriminasi yang didasarkan pada sejumlah alasan, termasuk jenis kelamin. Mereka setuju untuk berkonsultasi dengan organisasi-organisasi buruh dalam rangka mencapai tujuan ini, untuk menyediakan program-program pendidikan yang mempromosikan kebijakan ini dan menyelaraskan perundangan dan praktek-praktek administratif agar sejalan dengan tujuan ini.60

Seiring perkembangan zaman, maka konsep terhadap peran ganda perempuan berkembang. Peran-peran yang dimiliki perempuan merupakan dampak dari kemajuan atau perubahan kultur. Di masa kini perempuan juga harus turut membangun bangsa, perempuan harus meningkatkan kualitasnya dan menepis adanya diskriminasi sekaligus menegakkan keadilan gender. Paradigma ini perlu ditumbuhkembangkan bagi setiap individu, kompenen bangsa lantaran masih saja terdapat diskriminasi dan peminggiran terhadap perempuan dalam banyak aspek kehidupan. Baik itu aspek pendidikan, ekonomi, politik, kebudayaan dan lain-lain. Sebab, bila paradigma itu tidak muncul dari kaum perempuan sendiri, maka masalah ketertinggalan kaum perempuan akan menjadi permasalahan yang tidak saja merugikan perempuan itu sendiri, akan tetapi juga merugikan pembangunan nasional dan daerah secara keseluruhan. Dalam melaksanakan program pembangunan, bila perempuan memiliki kualitas hidup

59Ibid , hal 49 60Ibid

(22)

yang optimal, maka perempuan akan dapat bekerjasama dengan baik sebagai mitra sejajar laki-laki dalam pembangunan nasional dan daerah. Sebaliknya, bila perempuan dibiarkan tidak berdaya dan kualitas hidupnya dibiarkan rendah, maka perempuan akan menjadi beban pembangunan, sehingga pembangunan akan terhambat.61

Berkaitan adanya peran ganda perempuan, tak pelak di zaman modern ini, kaum perempuan memang dituntut pula untuk bisa tampil mandiri, dinamis, kreatif, penuh inisiatif, dan profesional dalam mengambil perannya di sektor publik. Meski demikian, bukan berarti harus meninggalkan “naluri” keibuan yang penuh sentuhan perhatian dan kasih sayang terhadap anak dan suami, lembut, hormat, etis, dan bermartabat tinggi. Soal adanya beda pendapat atas peran ganda perempuan adalah hal yang lumrah. Emansipasi sesungguhnya memang belum terealisasi secara maksimal dalam kehidupan demokrasi di negeri ini.62

Diskriminasi terhadap perempuan, masih sering terjadi. Cita-cita untuk meningkatkan keadilan dan kesejahteraan, khususnya bagi perempuan masih sangat panjang. Banyak kendala yang menghalangi perempuan untuk maju, antara lain nilai budaya dan mitos-mitos yang menyudutkan perempuan. Kesetaraan dan ketidakadilan tugas antara lelaki dan perempuan memang masih banyak yang pro dan kontra.Terutama bila dipandang dari sisi teologis dan yang berkaitan dengan bentuk ketidakadilan dan diskriminasi yang sering terjadi, yaitu stereotif, subordinasi, atau marginalisasi terhadap perempuan. Undang-undang Dasar 1945 menjamin kesetaraan antara laki-laki dan perempuan. Pengurus utamaan gender telah diadopsi menjadi sebuah kebijakan untuk mengintegrasikan perspektif gender ke dalam kebijakan, perencanaan dan penganggaran. Meskipun demikian, masih terdapat beberapa hambatan bagi keterlibatan perempuan di berbagai bidang. Masalah diskriminasi masih mewarnai kondisi obyektif perempuan Indonesia. Berkenaan dengan posisi perempuan dalam konstitusi dapat dijabarkan bahwa hak konstitusional warga negara yang meliputi hak asasi manusia dan hak warga negara yang dijamin dalam UUD 1945 berlaku bagi setiap warga negara Indonesia. Agar setiap warga negara memiliki kemampuan yang

61

Editus Adisu dan Libertus Jehani, Op.Cit, hal 31 62Ibid,

(23)

sama dan dapat memperoleh perlindungan dan pemenuhan hak konstitusional yang sama pula, diperlukan perlakuan khusus terhadap kelompok tertentu.63

Pada tingkat nasional upaya menghapuskan diskriminasi terhadap perempuan dan mencapai kesetaraan gender telah dilakukan pada tingkatan perundang-undangan, walaupun tingkat pelaksanaan masih membutuhkan kerja keras dan perhatian serius. Penegakan hak konstitusional perempuan sebagaimana dijamin dalam UUD 1945 tentu harus melibatkan semua komponen bangsa. Disamping ketentuan-ketentuan hukum yang telah memberikan perlakuan khusus terhadap perempuan, tentu masih terdapat peraturan perundang-undangan yang dirasakan bersifat diskriminatif terhadap perempuan, atau paling tidak belum sensitif gender.

64

Pemetaan kelas sosial di desa diawali dengan menyusun alat ukur bersama masyarakat, berdasarkan ukuran yang dibuat di tiga dusun diperoleh ukuran kelas sosial kaya, sedang dan miskin adalah : 1) Banyaknya lahan yang dimiliki; 2) Harta benda; 3) Kondisi Rumah; 4) Ternak; 5) Penghasilan/cara membeli barang. Berdasarkan ukuran banyaknya lahan yang dimiliki ada perbedaan yang agak mencolok di dusun Sekurau Bawah diandingkan dengan dusun Sekerat maupun dusun Mampang. Kategori kelas kaya di dusun Sekurau Bawah tersebut justru tidak memiliki tanah luas. Tetapi justru beberapa orang yang miskin (tidak semua) memiliki lahan yang sangat luas. Kelas kaya rata-rata hanya amemiliki lahan ± 2 Ha, sedangkan kelas sedang memiliki lahan antara 10-35 Ha. Kelas miskin memang lebih variatif antara 2-100 Ha. Meskipun memiliki lahan yang luas tetapi

63

Bahder Johan Nasution, Hukum Ketenagakerjaan Indonesia (Buku Pegangan Pekerja Untuk Mempertahankan hak-haknya), (Bandung : Citra Aditya Bakti, 1994), hal 72

(24)

menurut masyarakat masuk kategori miskin karena tidak memiliki harta benda dan hanya rumah yang sederhana.65

Perempuan bekerja adalah mereka yang bekerja di rumah, komunitas dan dunia kerja. Mereka menyumbang reproduksi sosial atas diri mereka sendiri dan juga keluarga mereka, tapi mereka juga seringkali melakukan aktivitas sukarela dalam membantu komunitas mereka. Dalam tahun-tahun terakhir ini, ada peningkatan bagi perempuan yang bekerja untuk mendapatkan pendapatan atau upah di dalam pasar tenaga kerja formal, baik secara nasional maupun internasional. Dunia kerja perempuan saat ini sudah bersifat mendunia, dan mentransendisi garis-garis ideologis, etnis dan nasional. Tapi tidak semua perempuan secara global terlibat dalam pekerjaan yang sama, atau kerja mereka dinilai secara adil atau setara. Biasanya mereka memiliki ciri kerja yang sama dalam dunia domestik yang meliputi antara lain pekerjaan rumah tangga, perawatan anak dan sosialisasi.66

Ini dapat diartikan bahwa kalangan perempuan akan menjadi pihak yang sangat terbebani karenanya. Banyak kasus dimana mereka yang bekerja di perusahaan perkayuan raksasa mengalami musibah karena mereka memang bukan tenaga terampil. Demikian juga dengan mereka yang pergi ke kota ternyata banyak juga yang kemudian tidak kembali, kawin lagi dan sebagainya. Kedua hal tersebut sudah pasti akan memberatkan kalangan perempuan yang ditinggalkannya. Mereka harus bekerja mencari nafkah demi kelangsungan hidupnya, dan juga harus

65

Jurnal Perempuan untuk pencerahan dan Kesetaraan, Perempuan di Pertambangan, (Jakarta : Penerbit Yayasan Jurnal Perempuan, 2003), hal 15

66Ibid

(25)

mengurus anak-anaknya.In the end of the day, perempuan juga yang akhirnya menjadi korban.67

1. Pengusaha dilarang mem-PHK pekerja yang menikah, hamil atau melahirkan, baik hubungan kerja waktu tertentu maupun waktu tidak tertentu (UU No. 13 Tahun 2003 Pasal 153 ayat (1) huruf d & e ; Permen No. 03/Men/1989 Pasal 2).

UU No. 13 Tahun 2003 Pasal 153 mengatur tentang larangan pengusaha melakukan pemutusan hubungan kerja yang disertai adanya alasan, diperkuat dengan jo. Permen 03/Men/1989 tentang larangan pemutusan hubungan kerja bagi pekerja wanita karena menikah, hamil, atau melahirkan.

2. Pengusaha wajib merencanakan dan melaksanakan pengalihan tugas bagi pekerja perempuan tanpa mengurangi hak-haknya karena sifat dan jenis pekerjaannya tidak mungkin dikerjakan oleh wanita hamil (Permen 03/Men/1989 Pasal 3).68

67Ibid

, hal 163 68

Referensi

Dokumen terkait

Lama rawat pasien juga dapat menunjukkan seberapa efektif tin- dakan medis dan atau asuhan keperawatan yang diberikan kepada pasien sehingga dapat meningkatkan kondisi pasien,

Hasil uji hipotesis yang digunakan untuk mengetahui derajat hubungan (r xy ) antara kualitas pelayanan bellboy dengan kepuasan tamu yang menginap di Hotel Rocky Plaza

Berdasarkan hasil penelitian pada kuadran importance performance analysis (IPA), terdapat 2 indikator yang menjadi prioritas utama fokus perbaikan pada website Lazada.co.id

Kami menyatakan bersedia untuk menjadi responden penelitian yang akan dilakukan oleh mahasiswa progam studi keperawatan S1 Fakultas Ilmu Kesehatan Universitas

Begitu juga dengan sifat-sifat yang telah disepakati atau kesesuaian produk untuk aplikasi tertentu tidak dapat disimpulkan dari data yang ada dalam Lembaran Data Keselamatan

TglBatas- Pengumpulan JenjangTujuan Banyaknya- Pengajuan tanggal batas pengumpulan berkas kegiatan dosen jenjang jabatan tujuan yang diajukan banyaknya dosen yang

Sekolah Menengah Kejuruan yang selanjutnya disebut SMK adalah salah satu bentuk satuan pendidikan formal.. yang menyelenggarakan pendidikan kejuruan

tertulis, apabila dalam pelaksanaan kegiatan dan penggunaan dana Bantuan Pemerintah Ruang Laboratorium Komputer tersebut tidak sesuai dengan Surat Perjanjian Penggunaan Dana