• Tidak ada hasil yang ditemukan

KRISTALISASI PEMERINTAH DAERAH DAN DEWAN

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "KRISTALISASI PEMERINTAH DAERAH DAN DEWAN"

Copied!
27
0
0

Teks penuh

(1)

KRISTALISASI PEMERINTAH DAERAH DAN DEWAN PERWAKILAN RAKYAT DAERAH DALAM NEGARA KESATUAN REPUBLIK INDONESIA DAN UUD 1945

Tugas Mata Kuliah Hukum Teori dan Hukum Konstitusi Dosen Pengampu : Joko Setiono, S.H., M.Hum.

Program Studi Magister Ilmu Hukum Konsentrasi Hukum Kenegaraan

Sartika Intaning Pradhani 14/372987/PHK/08266

Sukiratnasari 13/357138/PHK/07691

Kardiansyah Afkar 14/371883/PHK/08235

Aldo Rico Geraldi 14/371938/PMK/08256

Wafda Hadian Umam 14/371120/PHK/08295

PROGRAM PASCASARJANA FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS GADJAH MADA

(2)

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Hubungan antara Pusat dan Daerah dalam praktiknya sering menimbulkan upaya tarik menarik kepentingan (spanning of interest) antara kedua satuan pemerintahan.1 Terlebih dalam

negara kesatuan,upaya pemerintah pusat untuk selalu memegang kendali atas berbagai urusan pemerintahan sangat jelas. Kecenderungan negara berbentuk kesatuan pemegang otoritas adalah Pusat, kekuasaan bertumpu di pusat pemerintahan. Kewenangan yang diberikan pusat kepada daerah terbatas.

Dalam negara berbentuk federal negara-negara bagian relatif memiliki ruang gerak yang leluasa untuk mengelola kekuasaan yang ada pada dirinya, karena kekuasaan negara terdesentralisir ke negara bagian. Karakter pada negara federal adalah desentralistis dan lebih demokratis. Terdapat paling kurang tiga bentuk hubungan pusat dan daerah. Pertama, hubungan pusat dan daerah menurut dasar dekonsentrasi teritorial. Kedua, hubungan pusat dan daerah menurut dasar otonomi teritorial. Ketiga, hubungan pusat dan daerah menurut dasar federal.2

Pada bentuk negara kesatuan seperti Indonesia, Pusat bertanggung jawab menjamin keutuhan negara kesatuan, menjamin pelayanan yang sama untuk seluruh rakyat negara (asas equal treatment), menjamin keseragaman tindakan dan pengaturan dalam bidang-bidang tertentu (asas uniformitas). Upaya mewujudkan keadilan dan kesejahteraan sosial sangat dipengaruhi oleh corak susunan masyarakat. Pada masyarakat majemuk upaya mewujudkan keadilan dan kesejahteraan sosial harus memperhatikan corak-corak dan susunan setempat. Perhatian terhadap perbedaan dan kekhususan tersebut selanjutnya mengharuskan adanya perbedaan pelayanan dan cara penyelenggaraan pemerintahan. Tuntutan penyelenggaraan pemerintahan semacam ini hanya mungkin terlaksana dalam satu pemerintahan desentralistik.3

Hubungan pusat dan daerah didasarkan pada pengaturan dalam Undang Undang Dasar Nergara Republik Indonesia Tahun 1945, perlu untuk melihat hubungan pusat dan daerah

1 Huda Nikmatul. 2009, “Hukum Pemerintahan Daerah”, Nusa Media, Bandung, hlm 1

(3)

sebelum dan sesudah amandemen. Ketentuan Pasal 18 UUD 1945 (sebelum amandemen) mengenai hubungan pusat dan daerah mengandung beberapa prinsip: 4

1. Prinsip desentralisasi teritorial Wilayah Negara Republik Indonesia akan dibagi-bagi dalam satuan-satuan pemerintahan yang tersusun dalam daerah besar dan kecil (grondgebeid). Dengan demikian UUD 1945 tidak mengatur mengenai desentralisasi fungsional.

2. Perintah kepada pembentuk undang-undang (Presiden dan DPR) untuk mengtur desentralisasi territorial tersebut dalam Undang-Undang (Undang- Undang organik).

3. Perintah kepada pembentuk undang- undang dalam menyusun undang-undang tentang desentralisasi territorial harus:

a. Memandang dan mengingat dasar permusyawaratan dalam sistem pemerintahan negara.

b. Memandang dan mengingat hak-hak asal-usul dalam daerah-daerah yang bersifat istimewa.

Berdasarkan Undang-Undang Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD NRI Tahun 1945) setelah amandemen, sistem pemerintahan telah memberikan keleluasaan kepada kepala daerah untuk menyelenggarakan otonomi daerah. Penyelenggaraan otonomi daerah menekankan pentingnya prinsip-prinsip demokrasi, peningkatan peran serta masyarakat dan pemerataan keadilan dengan memperhitungkan berbagai aspek yang berkenaan dengan potensi dan keanekaragaman antardaerah.5 Pelaksanaan otonomi daerah sangat penting karena

perkembangan lokal, nasional, regional dan internasional di berbagai bidang ekonomi, politik dan kebudayaan terus meningkat.

Desentralisasi di Indonesia setelah amandemen Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dijalankan dan dikembangkan dalam dua nilai dasar, yaitu unitaris dan nilai desentralisasi teritorial. Nilai dasar unitaris diwujudkan dalam pandangan Negara Kesatuan Republik Indonesia tidak akan mempunyai kesatuan pemerintah lain di dalamnya yang bersifat

4Ibid, hlm 156.

(4)

Negara. Artinya kedaulatan yang melekat pada rakyat, bangsa dan Negara Republik Indonesia tidak akan terbagi di antara kesatuan pemerintahan. Nilai dasar desentralisasi territorial diwujudkan dalam penyelenggaraan pemerintahan di daerah dalam bentuk otonomi.6

B. Rumusan Masalah

Kajian mengenai hubungan pusat dan daerah akan dipaparkan lebih lanjut dalam konteks bentuk negara dalam makalah ini, sekaligus akan mengkaji:

1. Bagaimana pola hubungan Pemerintah Pusat dan Daerah di Republik Indonesia?

2. Apakah Dewan Perwakilan Rakyat Daerah merupakan lembaga legislatif di Republik Indonesia?

(5)

TINJAUAN PUSTAKA A. Negara Kesatuan

Bangsa dan Negara Indonesia terdiri atas berbagai macam unsur yang membentuknya

dan merupakan suatu kesatuan dalam arti keseluruhan unsur-unsur negara yang bersifat

fundamental.7 Bentuk Negara Kesatuan secara eksplisit dituangkan dalam Pembukaan

Undang-Undang Dasar 1945 yang menyatakan bahwa dan perjunangan pergerakan kemerdekaan

Indonesia telah sampailah kepada saat yang berbahagia dengan selamat sentausa mengantarkan

rakyat Indonesia ke depan pintu gerbang kemerekaan Negara Indonesia yang merdeka, bersatu,

berdaulat dan adil. Selain itu, Pasal 1 Ayat 1 Undang-Undang Dasar 1945 juga secara tegas

menyatakan bahwa Negara Indonesia adalah Negara Kesatuan yang berbentuk Republik.

Sebagai Negara Kesatuan, Negara harus dapat mengatasi semua golongan masyarakat,

tidak boleh memihak pada golongan masyarakat tertentu dan harus bekerja demi kepentingan

seluruh rakyat.8 Konsep Negara Kesatuan sering dibandingkan dengan Konsep Negara Federal.

Perbedaan utama antara Negara Kesatuan dan Negara Federal adalah sumber kewenangan.

Dalam Negara Kesatuan, sumber kewenangan berasal dari Pemerintah Pusat, sedangkan dalam

Negara Federal, sumber kewenangan berasal dari negara bagian. Dengan demikian, dalam

Negara Kesatuan, tidak ada Negara dalam Negara karena Negara Kesatuan merupakan Negara

yang bersusunan tunggal yang diorganisasikan di bawah Pemerintah Pusat.9 Dari sisi

kedaulatan, Negara Kesatuan tidak mengenal pembagian kedaulatan karena kekuasaan

7 Kaelan, 2013, “Negara Kebangsaan Pancasila: Kultural, Historis, Filosofis, Yuridis dan Aktualisasinya”, Paradigma, Yogyakarta, hlm. 284-285.

8Ibid., hlm. 285.

(6)

pemerintah pusat tidak dibatasi oleh Pemerintah Daerah.10 Oleh karena, ciri yang melekat dalam

negara kesatuan adalah supremacy of the central parliament dan absence of subsidiary

sovereign bodies, sehingga dalam negara kesatuan hanya terdapat satu badan legislatif.11 Pada

masa reformasi, ada keinginan untuk menjadikan Negara Republik Indonesia menjadi Negara

Federal. Namun keinginan tersebut ditolak oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat karena

konsep Negara Federal menghilangkan esensi dari Persatuan Indonesia sebagaimana tertuang

dalam Pancasila sila ketiga. Solusi untuk menjembani permintaan menjadi Negara Federal demi

meningkatkan kesejahteraan rakyat adalah dengan melalui penerapan desentralisasi.

B. Hubungan Pemerintah Pusat dan Daerah

Hubungan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah terjadi sebagai akibat dari adanya pemencaran penyelenggaraan negara dan pemerintahan atau pemencarn kekuasaan (spreading van macht) ke dalam satuan-satuan pemerintahan yang lebih kecil yang dalam praktiknya dapat diwujudkan dalam berbagai macam bentuk, seperti dekonsentrasi teritorial, satuan otonomi teritorial, atau federal. Berdasarkan hal tersebut, maka terdapat tiga bentuk hubungan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah. Pertama, hubungan pusat dan daerah menurut dasar dekonsentrasi teritorial. Kedua, hubungan pusat dan daerah menurut dasar otonomi teritorial. Dan yang ketiga, hubungan pusat dan daerah menurut dasar-dasar federal.12

Dalam hubungan Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah menurut dasar dekonsentrasi teritorial, bukanlah merupakan hubungan antara dua subyek hukum (publiek rechtspersoon) yang masing-masing mandiri. Satuan pemerintahan teritorial dekonsentrasi tidak mempunyai weweanang mandiri. Satuan teritorial dekonsentrasi merupakan satu kesatuan weweanang dengan departemen atau kementerian yang bersangkutan. Dan sifat wewenang satuan pemerintahan teritorial dekonsentrasi adalah delegasi atau mandat, tidak ada wewenang yang berdasarkan atribusi.13

10 C.F. Strong, 1966, “Modern Political Constitution: An Introduction to the Comparative Study of Their History and Existing Form”, The English Book Society and Sidgwick & Jackson Limited, London, hlm. 92.

11 Enny Nurbaningsih., Op Cit, hlm. 38.

12Muhammad Fauzan. 2006, “Hukum Pemerintahan Daerah”, UII Press, Yogyakarta, hlm 76-77.

(7)

Sedangkan dalam hubungan Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah menurut dasar otonomi teritorial, satuan otonomi teritorial merupakan satu satuan mandiri dalam lingkungan negara kesatuan yang berhak melakukan tindakan hukum sebagai subyek hukum untuk mengatur dan mengurus fungsi pemerintahan (administrasi negara) yang menjadi urusan rumah tangganya. Dalam otonomi teritorial, pada dasarnya seluruh fungsi pusat yang kemudian dipencarkan kepada satuan-satuan otonomi, dan hubungan pusat dan daerah di bidang otonomi bersifat administrasi negara.14

Hubungan menurut dasar otonomi teritorial adalah konsep yang terdapat dalam negara kesatuan (eenheidstaats) yang satuan otonomi teritorialnya merupakan satuan pemerintahan yang mandiri, merupakan subyek hukum yang berhak melakukan tindakan hukum. Dalam negara federal, konsep hubungan antara pusat dengan daerah, keduanya sama-sama merupakan subyek hukum yang berdiri sendiri, yang mempunyai kewenangan mandiri.15 Persoalan

hubungan pusat dan daerah dalam rangka kesatuan dengan satuan otonomi bersumber pada hubungan kewenangan, hubungan keuangan, hubungan pengawasan, dan hubungan yang timbul dari susunan organisasi pemerintahan di daerah.

1. Hubungan Kewenangan

Dalam pasal 10 ayat 3 Undang-Undang No.32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, telah ditentukan urusan apa saja yang termasuk kewenangan Pemerintah Pusat yaitu antara lain: politik luar negeri; pertahanan; keamanan; moneter dan fiskal nasional; yustisi dan agama. Sedangkan pasal 10 Undang-Undang No.32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, menegaskan bahwa pemerintahan daerah menyelenggarakan urusan pemerintahan yang menjadi kewenangannya kecuali urusan pemerintahan yang ditentukan sebagai urusan pemerintahan pusat. Pemerintah Daerah menjalankan otonomi seluas-luasnya untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan berdasarkan asas otonomi dan tugas pembantuan. Urusan kewenangan daerah terdiri dai urusan wajib dan urusan pilihan. Urusan pemerintahan wajib adalah suatu urusan yang berkaitan dengan pelayanan dasar yang meliputi pendidikan dasar, kesehatan, pemenuhan kebutuhan hidup minimal, prasarana lingkungan dasar. Sedangkan urusan pemerintahan yang bersifat pilihan terkait erat dengan potensi unggulan dan kekhasan daerah berdasar penjelasan umum UU No.32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah.16

14 Manan Bagir., Op Cit, hlm. 32.

15 Muhammad Fauzan., Op. Cit. hlm.78

(8)

2. Hubungan Keuangan

Dengan otonomi luas yang dimiliki daerah, maka adanya aspek kemampuan daerah untuk membiayai urusan-urusan yang menjadi kewenangannya. Dengan keberagaman kemampuan financial, maka dibuatlah sebuah sistem perimbangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah dengan dibuat Undang-Undang Perimbangan Keuangan antara pusat dan daerah pada Pasal 5 Undang-Undang No.33 Tahun 2004 Tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah17, yang didasarkan pada prinsip money follow function (pendanaan mengikuti

fungsi pemerintahan). Dana perimbangan terdiri atas dana bagi hasil, dana alokasiumum dan dana alokasi khusus. Dana bagi hasil bersumber dari pajak dan hasil sumber daya alam. Dana alokasi umum adalah dana yang bersumber dari pendapatan APBN yang dialokasikan dengan tujuan pemerataan kemampuan keuangan antar daerah untuk mendanai kebutuhan daerah dalam rangka desentralisasi. Sedangkan dana alokasi khusus adalah dana yang bersumber dari pendapatan APBN yang dialokasikan kepada daerah tertentu dengan tujuan untuk membantu mendanai kegiatan khusus yang merupakan urusan daerah dan sesuai dengan prioritas nasional.18

3. Hubungan Pengawasan

Dari hubungan antara pusat dan daerah, pengawasan merupakan pengikat kesatuan, agar kebebasan berotonomi tidak bergerak terlalu jauh sehingga dapat mengurangi bahkan mengancam kesatuan. Pada umumnya sasaran pengawasan terhadap pemeriuntah adalah pemeliharaan atau penjagaan agar negara hukum kesejahteraan dapat berjalan dengan baik dan dapat pula membawa kekuasaan pemerintah sebagai penyelenggara kesejahteraan masyarakat kepada pelaksanaan yang baik pula dan tetap dalam batas kekuasaannya.19

Tolok ukur pengawasan pemerintah adalah hukum yang mangatur dan membatasi kekuasaan dan tindakan pemerintah dalam bentuk hukum material maupun hukum formal , serta manfaatnya bagi kesejahteraan rakyat. Adanya pencocokan dan perbuatan dan tolok ukur yang telah ditetapkan, tindakan pencegahan untuk tanda-tanda penyimpangan, diadakan koreksi

17 Baca Pasal 5 Undang-Undang No.33 Tahun 2004 Tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah, menyatakan bahwa “Penerimaan daerah dalam pelaksanaan desentralisasi terdiri atas pendapatan daerah dan pembiayaan. Pendapatan daerah tersebut bersumber dari: 1) Pendapatan asli daerah; 2) Dana perimbangan; 3) Dan lain-lain pendapatan. Pendapat asli daerah terdiri atas : pajak daerah, retribusi daerah, hasil pengelolaan kekayaan daerah yang dipisahkan dan lain-lain PAD yang syah.”

18 Martitah,... Op Cit ,.. hlm 95.

(9)

terhadap tindakan penyimpangan melalui tindakan pembatalan, pemulihan terhadap akibat yang ditimbulkan dan mendisiplinkan pelaku penyimpangan.20

4. Hubungan Dalam Susunan Organisasi Pemerintahan Daerah

Susunan organisasi pemerintahan daerah merupakan salah satu aspek yang dapat mempengaruhi hubungan antara pusat dan daerah. Pengaturan dan pelaksanaan titik berat otonomi sangat dipengaruhi oleh beberapa faktor yaitu: sistem; rumah tangga daerah; ruang lingkup urusan pemerintahan; dan sifat dan kualitas suatu urusan.21 Pembagian kewenangan

antara pusat dan daerah akan sangat tergantunga pada karakteristik dari masing-masing negara. Secara teoritis Smith membagi kewenangan tersebut menurut dua sistem yaitu sistem ganda (dual system) dan sistem gabungan (fused system). Dalam sistem ganda, pemerintah daerah dijalankan secara terpisah dari pemerintah pusat atau dari eksekutifnya di daerah. Sedangkan dalam sistem gabungan, pemerintah pusat dan pemerintah daerah dilaksanakan bersama-sama dalam satu unit, dengan seorang pejabat pemerintah yang ditunjuk untuk mengawasi jalannya pemerintahan setempat.22

C. Desentralisasi

Negara Indonesia adalah negara kesatuan yang berbentuk republik, yang artinya negara Indonesia sebagai suatu kesatuan yang utuh dari negara yang terdiri dari wilayah provinsi, kabupaten dan kota. Pembagian menjadi daerah-daerah tersebut tidak mengakibatkan terjadinya pembagian kedaulatan atau dengan kata lain tidak ada Negara lain di dalam wilayah Republik Indonesia. Pembagian tersebut hanya pada sistem pemerintahannya, sehingga menjadi satuan pemerintahan nasional (pusat) dan satuan pemerintahan sub nasional (daerah), yaitu provinsi dan kabupaten dan kota.23

Indonesia merupakan negara kepulauan terbesar di dunia yang terbentang dari Sabang sampai Merouke dan terdiri dari berbagai suku bangsa, tentu bukan merupakan pekerjaan yang mudah untuk mencari format ideal bagi desentralisasi politik dan otonomi daerah. Dengan derajat heterogenitas geografis maupun sosial-budaya yang cukup tinggi, maka daerah cenderung menuntut ruang kekuasaan lebih besar dari yang lazim disediakan oleh pusat negara

20 Irfan Fachruddin. 2004, “Pengawasan Peradilan Administrasi terhadap Tindakan Pemerintah”, Alumni, Bandung, hlm.90-91.

21 Manan , Bagir., Op Cit, hlm.194-195. 22 Nikmatul Huda., Op Cit,. hlm.25.

(10)

kesatuan. Maka desentralisasi akan selalu menjadi masalah, jika fondasi ketatanegaraanya tidak dibenahi.24

Desentralisasi merupakan penyerahan kewenangan pemerintah pusat kepada daerah otonom dalam kerangka Negara Kesatuan, dengan dikeluarkannya Undang-Undang No. 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah, memberi kewenangan yang besar kepada daerah otonom untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat berdasarkan aspirasi masyarakat sesuai dengan peraturan perundang-undangan daerah (Peraturan Daerah) dan bukan merupakan suatu kedaulatan tersendiri seperti dalam sistem federal. Asas desentralisasi berfungsi untuk mengakomodasi keanekaragaman masyarakat, sehingga terwujud variasi struktur dan politik untuk menyalurkan aspirasi masyarakat setempat25. Menurut Henry Maddick, desentralisasi

mencakup proses dekosentrasi dan devolusi, merupakan pengalihan kekuasaan secara hukum untuk melaksanakan fungsi spesifik maupun residual yang menjadi kewenangan pemerintah daerah.26

Indonesia selain menganut model desentralisasi simetris (seragam) dan mengakui pula desentralisasi asimetris. Pengaturan tentang desentralisasi asimetris ditemukan dalam Pasal 18A ayat (1), Pasal18B ayat (1 & 2). Dalam Pasal 18A ayat (1) diamanatkan bahwa “Hubungan wewenang antara pemerintah pusat dan pemerintahan daerah provinsi, kabupaten dan kota, diatur dengan undang-undang dengan memperhatikan kekhususan dan keragaman daerah. Lebih lanjut dalam Pasal 18B ayat (1 & 2) diatur bahwa satuan-satuan pemerintahan daerah yang bersifat khusus atau bersifat istimewa diakui dan dihormati. 27

Selanjutnya berdasarkan UU Nomor 32 Tahun 2004, dikenal 2 sistem otonomi daerah, pertama, otonomi khusus (dEsentralisasi asimetris) seperti yang terjadi provinsi DI Yogyakarta, Papua, Aceh dan yang kedua otonomi daerah. Dalam sistem otonomi khusus, mekanisme berjalan menurut bingkai perundang-undangan yang dirancang dengan memperhatikan ke-khususan tertentu secara definitif. Pertimbangan lain ialah karakteristik dimiliki daerah tertentu, terutama aspek rendahnya kualitas hidup, ketertinggalan, dan aspek politis.

24 Cornelis Loy, Abdul Gaffar Karim (Editor). 2003, “Kompleksitas Persoalan Otonomi daerah di Indonesia”, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, hlm. xxvii.

25 Bhenyamin Hoessein. 2005, “Hubungan Kewenangan Pusat dan Daerah, Pasang Surut Otonomi Daerah, Sketsa Perjalanan 100 Tahun”, Yayasan Tifa, Jakarta, hlm. 198.

26 Ni’matul Huda. Op Cit., hlm.61-62.

(11)

Aspek politis Aceh dan Papua lebih dominan dibandingkan dengan provinsi lain karena secara teoretis saat itu otsus diharapkan menjadi lem perekat kesatuan provinsi ini sebagai bagian integral NKRI. Dalam terminologi teoretis, Mark Turner dan BC Smith menyebutnya a glue of national integration28. Pemberian otonomi khusus kepada provinsi Papua dan Nangroe

Aceh Darussalam diawali oleh gerakan separatis/pemberontakan oleh Organisasi Papua Merdeka dan Gerakan Aceh Merdeka. Tuntutan daerah yang diekspresikan lewat gerakan separatis lebih sebagai tindakan koreksi guna memaksa Jakarta melakukan perubahan mendasar format hubungan Jakarta dengan daerah ketimbang sebuah hasrat untuk memisahkan diri yang memang inherent dalam setiap gerakan separatis.29

Pemberian otonomi secara luas kepada daerah-daerah merupakan salah satu instrument pemersatu bangsa untuk mencapai stabilitas dan membuka kemungkinan bagi proses demokratisasi secara menyeluruh. Di Spanyol melakukannya selepas meninggalnya Franco. Jerman bahkan dipaksa menerima sebuah format federasi ketika sekutu menaklukannya dalam perang Dunia ke II. Philipina, berusaha mengakhiri pemberontakan panjang di Mindanau dengan merancang sebuah format hubungan khusus antara Manila dengan kawasan yang dikuasai separatis Muslim ini.30 Stabilitasi sistem dapat tercapai melalui pengaturan politik dan

pemerintahan disentralisasi bahkan federatif karena didalam format yang ada dapat mengakomodasi empat hal paling sensitif dalam dunia politik, yakni sharing of power, sharing of revenue, empowering lokalitas serta pengakuan dan penghormatan terhadap identitas kedaerahan.31

D. Dewan Perwakilan Rakyat (DPR)

28 M Mas’ud Said, “Perlunya Disentralisasi Asimetris”, News Desentralisasi Asimetris - Prof. M. Mas'ud Said, Ph.D.htm, diakses pada tanggal 28 January 2013.

29 Cornelis Loy, Abdul Gaffar Karim (Editor), Op cit., hlm. 12. 30Ibid., hlm.17.

(12)

Dari sisi kedaulatan, Negara Kesatuan tidak mengenal pembagian kedaulatan karena kekuasaan pemerintah pusat tidak dibatasi oleh Pemerintah Daerah.32Dalam sebuah negara yang

menganut prinsip-prinsip kedaulatan rakyat adanya lembaga perwakilan rakyat merupakan keharusan.33 Keberadaan lembaga perwakilan rakyat merupakan hal yang sangat esensial karena

ia berfungsi untuk mewakili kepentingan-kepentingan rakyat dan menampung aspirasi rakyat yang kemudian dituangkan ke dalam berbagai macam kebijaksanaan umum.34

Dalam sistem pemerintahan demokrasi, lembaga perwakilan rakyat merupakan unsur yang paling penting karena sistem demokrasi berasal dari ide bahwa warga negara seharusnya terlibat dalam hal tertentu di bidang pembuatan keputusan-keputusan politik baik secara langsung maupun melalui wakil-wakil mereka di lembaga perwakilan.35 Perwakilan adalah

suatu konsep yang menunjukkan adanya hubungan antara wakil dengan pihak yang diwakili (terwakili), dalam hal mana wakil mempunyai sejumlah wewenang yang diperoleh melalui kesepakatan dengan pihak yang diwakilinya.36 Pada umumnya, lembaga perwakilan rakyat

mempunyai 3 (tiga) fungsi utama, yaitu satu, fungsi legislatif atau pembuat undang-undang (UU); dua, fungsi kontrol; dan ketiga, fungsi perwakilan.37

Salah satu ciri yang melekat dalam negara kesatuan adalah supremacy of the central parliament dan absence of subsidiary sovereign bodies, sehingga dalam negara kesatuan hanya terdapat satu badan legislatif.38 Republik Indonesia adalah suatu Negara Kesatuan dengan

kedaulatan berada di tanga rakyat dan dilaksanakan menurut Undang-Undang Dasar (UUD).39

UUD Negara Kesatuan Republik Indonesia adalah UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD 1945). Dalam UUD 1946, dikenal ada dua lembaga perwakilan rakyat, yaitu Dewan Perwakian Rakyat (DPR) dan Dewan Perwakilan Daerah (DPD). Anggota DPR dipilih melalui pemilihan umum dan anggota DPD dipilih dari setiap provinsi melalui pemilihan umum.40

32 C.F. Strong, 1966, Op Cit., hlm. 92.

33 Dahlan Thaib, 2000, “DPR dalam Sistem Ketatanegaraan Indonesia”, Liberty, Yogyakarta, hlm. 1. 34Ibid., hlm. 1.

35 Lyman Tower Sarjen, 1981, “Ideologi Politik Kontemporer”, Gramedia, Jakarta, hlm. 44. 36 Dahlan Thaib, Op. Cit., hlm. 3.

37Ibid., hlm. 3.

38 Enny Nurbaningsih, Op Cit., hlm. 38. 39 Lihat Pasal 1 ayat (1) dan (2) UUD 1945

(13)

Berdasarkan Pasal 20A ayat (1) UUD 1945, DPR memiliki fungsi legislasi, fungsi anggaran dan fugsi pengawasan. Implementasi dari fungsi legislasi DPR adalah DPR memegang kekuasaan membentuk UU dan anggota DPR berhak mengajukan usul rancangan undang-undang (RUU).41 Meskipun fungsi legislasi dimiliki oleh DPR, Presiden juga ikut

berperan dalam proses pembuatan UU karena Presiden berhak mengajukan RUU kepada DPR dan menetapkan Peraturan Pemerintah untuk menjalankan UU sebagaimana mestinya.42 Selain

itu, setiap RUU dibahas oleh DPR dan Presiden untuk mendapat persetujuan bersama.43

Dibandingkan DPR, DPD mempunyai fungsi legislatif yang terbatas. Berdasarkan Pada 22D ayat (1) dan (2) DPD dapat mengajukan kepada DPR dan ikut membahas RUU yang berkaitan dengan otonomi daerah, hubungan pusat dan daerah, pembentukan dan pemekaran serta penggabungan daerah, pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya ekonomi lainnya, serta perimbangan keuangan pusat dan daerah, serta yang berkaitan dengan perimbangan keuangan pusat dan daerah.

Meskipun tidak masuk dalam Bab VII tentang DPR atau Bab VIIA tentang DPD dalam UUD 1945, UUD 1945 juga mengenal Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD). DPRD diatur dalam Pasal 18 ayat (3) Bab VI tentang Pemerintah Daerah yang menyatakan bahwa pemerintahan daerah provinsi, daerah kabupaten, dan kota memiliki DPRD yang anggota-anggotanya dipilih melalui pemilihan umum. Lebih lanjut tentang DPR, DPD dan DPRD diatur dalam UU Nomor 17 Tahun 2014 tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah.

BAB III PEMBAHASAN

41 Lihat Pasal 21 UUD 1945,

(14)

A. Pola Hubungan Pemerintah Pusat dan Daerah

Berdasarkan Pasal 1 angka 2 Undang-Undang No.32 Tahun 2004 Tentang Pemerintah Daerah44, Penyelenggara Pemerintahan Daerah adalah Pemerintah Daerah dan DPRD yang

dilakukan secara luas dengan prinsip otonomi. Hubungan wewenang antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah provinsi, kabupaten, dan kota atau antara provinsi dan kabupaten dan kota, diatur dengan undang-undang dengan memperhatikan kekhususan dan keragaman daerah. Hubungan keuangan, pelayanan umum, pemanfatan sumber daya alam dan sumber daya lainnya antara pemerintah pusat dan pemerintahan daerah diatur dan dilaksanakan secara adil dan selaras berdasarkan Undang-Undang.

Hubungan wewenang Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah, Pemerintahan daerah menyelenggarakan urusan pemerintahan yang menjadi kewenangannya, kecuali urusan pemerintahan yang oleh Undang-undang ditentukan menjadi urusan Pemerintah Pusat. Urusan pemerintahan yang menjadi urusan Pemerintah Pusat meliputi:politik luar negeri;pertahanan;keamanan;yustisi ;moneter dan fiskal nasional; agama ; norma ; dan ekonomi. Dalam hal ini Pemerintah Daerah hanya dalam tugas pembantuan atau pelaksanaan teknis terhadap urusan daerahnya.

Hubungan keuangan Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah, untuk perimbangan keuangan Pusat dan Daerah dalam Pasal 5 Undang-Undang No.33 Tahun 2004 Tentang Perimbangan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah45 menyatakan

Pemerintah Daerah mempunyai penerimaan daerah untuk pelaksanaan desentralisasi yang berasal dari pendapatan daerah dan pembiayaan. Dengan kata lain Pemerintah Daerah dapat memiliki penerimaan daerah yang dana tersebut bersumber pada Pendapatan Asli Daerah

44Lihat Pasal 1 angka 2 Undang-Undang No.32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah: “Pemerintahan daerah adalah penyelenggaraan urusanpemerintahan oleh pemerintah daerah dan DPRD menurut asas otonomi dan tugas pembantuan dengan prinsip otonomi seluas-luasnya dalam sistem dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.”

(15)

(PAD), dana perimbangan, dan pendapatan lain-lain seperti retribusi. Sedangkan untuk dana perimbangan dituangkan dalam pasal 10 Undang-Undang No.33 Tahun 2004 Tentang Perimbangan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah.46 Bahwa antara Pusat

dan Daerah mempunyai hubungan keungan diantaranya dana bagi hasil yang terdiri atas PBB, Bea, dan PPh. Dana alokasi umum yang dialokasikan berdasarkan celah fiskal (kebutuhan fiskal dikurangi dengan kapasitas fiskal daerah) dan alokasi dasar (dihitung berdasarkan jumlah gaji Pegawai Negeri Sipil Daerah). Dan yang terakhir adalah dana alokasi khusus yang dialokasikan kepada daerah tertentu untuk mendanai kegiatan khusus yang merupakan urusan daerah dan ditetapkan dalam APBN.

Untuk hubungan struktur organisasi antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah tidak lepas dari peran masing-masing elemen di daerah. Pemerintah Daerah dan DPRD merupaan penyelenggara Pemerintahan Daerah, dan keduanya tersebut terbagi dalam tiga daerah tingkat yaitu : Provinsi, Kota, dan Kabupaten. Pemerintah Daerah dan DPRD bertanggungjawab terhadap lembaga eksekutif di Pemerintahan pusat, jadi bukan hanya Pemerintah Daerah yang berada dibawah garis eksekutif di pusat, namun DPRD sebagai lembaga legislatif daerah pun jika ditarik secara horizontal berada di bawah eksekutif tidak di bawah Lembaga Legislatif atau DPR RI.

Berangkat dari otonomi daerah muncul istilah desentralisasi dalam system pembagian kewenangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah. Menurut Enny Nurbaningsih, prinsip otonomi luas hanya bersifat formal yang diaktualisasikan dengan penggunaan wewenang mengatur dalam bentuk Peraturan Daerah yang bersifat delegasian karena materi Peraturan Daerah delegasian merupakan penjabaran dari peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi.47

Pemerintah Pusat tetap memiliki instrumen melakukan pengawasan kebijakan daerah, namun pengawasan ini tidak dalam kapasitas mengintervensi seperti yang terjadi pada masa lalu, tetapi mengarahkan agar Peraturan Daerah yang dibentuk senantiasa sejalan dengan tujuan diberikannya otonomi luas.48 Sebagai contoh, desentralisasi dibuat agar stakeholder lokal

46Lihat Pasal 10 Undang-Undang No.33 Tahun 2004 Tentang Perimbangan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah : “(1) Dana Perimbangan terdiri atas: a. Dana Bagi Hasil; b. Dana Alokasi Umum; dan c. Dana Alokasi Khusus. (2) Jumlah Dana Perimbangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan setiap tahun anggaran dalam APBN.”

(16)

menjadi pemain dalam komunitas kebijakan dan program, sehingga daerah lebih mampu mengendalikan kegiatan yang lebih cocok dengan masalah di daerah.49

Kita mengenal otonomi khusus seperti yang terjadi provinsi DI Yogyakarta, Papua, Aceh serta DKI tapi bagaimana dengan daerah lain yang memiliki dinamika dan kekhasan tersendiri, misalnya provinsi Bali dengan budaya dan pariwisata, DKI Jakarta yang memiliki kekhususan sebagai ibu kota negara dan pusat pemerintahan, Kepulauan Riau yang daratannya 4,21 persen saja dari wilayah kepulauannya, Kutai Kartanegara yang menuntut otonomi khusus karena merasa mempunyai income perkapita tinggi, basis ekonomi yang kuat, basis material yang kuat dan Solo yang juga menuntut otonomi khusus sebagai daerah istimewa karena memiliki kekhasan kebudayaan dan historis.

Negara harus mampu mengakomodasi berbagai kekhususan dan dinamika yang dimiliki masing-masing daerah karena dikuatirkan akan membawa berbagai konsekuensi yang merugikan masa depan rakyat di daerah dalam menjelmakan kesejahteraan terkait dengan keragaman potensi daerah, social budaya, etnis, geografis, ekonomi dan social politik. Pada dasarnya UUD RI 1945 memberikan peluang penerapan desentralisasi asimetris melalui ketentuan pasal 18 yang menekankan kekhususan, keistimewaan, keberagaman daerah, serta kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat dan hak-hak tradisional. Berdasarkan penelitian

Jurusan Politik dan Pemerintahan Fisipol Universitas Gadjah Mada (UGM) berkerja sama dengan Tifa Foundation desain asimetrisme dapat didasarkan atas pertimbangan konflik, kebudayaan, ekonomi,

perbatasan dan ibukota negara.50

Pemberlakukan desentralisasi asimetris merupakan respon terhadap ancaman disintergrasi bangsa. Berawal dari penghianatan atas negara hukum (recht staat) berlaku pada orde lama, orde baru sampai dengan era reformasi. Ketiadaan hukum bermula dibidang politik pada 1965 saat negara menjelma menjadi negara kekuasaan (machtstaat). Hal ini tentu menimbulkan distrust (ketidakpercayaan) masyarakat terhadap para pemimpinnya, rezim boleh berubah tapi ternyata korupsi tetap saja merajalela di negeri ini dan Indonesia seolah-olah hanyalah Jakarta serta mengenyampingkan keberadaan daera-daerah lain.

49 Laksono Trisnantoro (Ed.), 2009,” Pelaksanaan Desentralisasi Kesehatan di Indonesia 2000-2007: Mengkaji Pengalaman dan Skenario Masa Depan”, BPFE, Yogyakarta, hlm. 321.

(17)

Desentralisasi asimetris dapat dimaknai dengan berbagai mekanisme, misalnya sistem pemerintahan di DIY yang bercorak monarkhi konstitusional, dimana mekanisme pengisian jabatan kepala daerah DIY dengan penetapan di DPRD dan pengisian jabatan Gubernur dan Wakil Gubernur DIY diisi oleh Sultan Hamengku Bowono yang bertakhta untuk calon Gubernur dan yang bertakhta sebagai Adipati Paku Alam untuk calon Wakil Gubernur DIY51,

Nangroe Aceh Darussalam yang menerapkan syariah islam dan memiliki sistem kepartaian ditingkat lokal yang lekat dalam sistem desentralisasi federalis dan di Papua yang disyaratkan hanya orang asli papua yang dapat mencalonkan diri sebagai calon gubernur Papua dan sebagainya. Disinilah yang menjadi problem ketika logika negara kesatuan, seperti yang ditegaskan dalam pasal 1 UUD RI 1945 mangatakan bahwa Indonesia adalah negara kesatuan tapi dalam penerapan Undang-Undang No 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh yang dibuat sebagai tindak lanjut dari nota kesepahaman (Memorandum of Understanding) antara Pemerintah RI dengan GAM pada 15 Agustus 2005. Satu tahun kemudian, yaitu pada tanggal 1 Agustus 2006 dan Undang-undang Nomor 21 Tahun 2001 yang telah diubah dengan Perpu No. 1 Tahun 2008 cenderung menerapkan sistem desentralisasi federalis. Oleh karena itu logika ketetanegaraan Indonesia kerap goyah, inkonsistensi pun terjadi pada sistem pemerintahan Indonesia yang presidensil tapi dijalankan dengan sistem parlementer.

Dalam kaitannya indonesia sebagai negara kesatuan, tentu pemerintah pusat yang mempunyai kekuasaan serta wewenang tertinggi dalam bidang pemerintahan negara, menetapkan kebijaksanaan pemerintahan dan melaksanakan pemerintahan negara baik di pusat maupun di daerah-daerah. Distribution of power (pembagian kekuasaan) oleh pemerintah pusat kepada pemerintah daerah berimplikasi hampir semua kewenangan dilimpahkan ke daerah kecuali, politik luar negeri, pertahanan keamanan, yustisi, moneter dan fiskal nasional dan agama.52 Dalam hal ini

peranan pemerintah pusat sebagai pemegang kekuasaan negara dan pemberian otonomi khusus kepada provinsi DIY, Nagroe Aceh Darussalam dan Papua sebagai bagian penerapan disentralisasi asimetris tapi sebagai negara kesatuan Indonesia tentu dibeberapa ketentuan pasal-pasal otonomi khusus lebih bercorak sistem federal, misalnya lembaga negara yang bersifat lokal Majelis

51 Lihat Pasal 18 huruf (n) Undang-Undang No. 13 Tahun 2012 Tentang Keistimewaan Yogyakarta

(18)

Permusyawaratan Ulama (MPU) yang merupakan mitra kerja Pemerintah Aceh53 dan Majelis

Rakyat Papua (MRP) 54 yang lazimnya berada tingkatan pusat atau disebut Majelis

Permusyawaratan Rakyat (MPR) yang diatur dalam UUD RI 1945 dan Undang-Undang No. 27 Tahun 2009 tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah atau biasa disebut dengan UU MD3.

Dalam pelaksanaan otonomi khusus yang dimiliki oleh Provinsi Aceh dan Papua yang mengarah kepada bentuk negara federal diantaranya dalam ketentuan pasal 2 UU No. 21 Tahun 2001 dan pasal 246 UU No. 11 Tahun 2006 disebutkan bahwa Aceh dan Papua dapat memiliki bendera daerah dan lagu daerah sebagaimana Sang Merah Putih sebagai Bendera Negara Indonesia dan Lagu Indonesia Raya sebagai Lagu Kebangsaan Indonesia, walaupun dinyatakan bukan sebagai symbol kedaulatan. Akan tetapi hal ini sudah mengarah pada bentuk negara federal.

Merujuk pada ketentuan negara kesatuan yang memposisikan pemerintah pusat sebagai pemilik kekuasaan tertinggi negara dan bukan malah sebaliknya, misalnya kebijakan administratif yang berkaitan langsung dengan Pemerintahan Aceh yang akan dibuat oleh Pemerintah. Pemerintah Pusat diharuskan untuk melakukan konsultasi dan mendapat pertimbangan Gubernur, tentu ini tidak sesuai dengan prinsip negara kesatuan, maka pilihan selanjutnya ialah merombak Undang-Undang provinsi Nangroe Aceh Darussalam dan Papua agar sesuai dengan prinsip negara kesatuan ataukah merombak logika negara kesatuan agar sesuai dengan logika desentralisasi federalis karena pada dasarnya diharmonisasi peraturan perundang-undangan akan berimplikasi bermasalahnya fondasi ketatanegaraan.

Namun demikian walaupun kewenangan daerah otonomi khusus tersebut bertentangan dengan prinsip negara kesatuan dan Undang-Undang 32 Tahun 2004, tetapi tetaplah status otonomi khusus tersebut berada dalam kerangka negara kesatuan Republik Indonesia yang mengutamakan persatuan dan kesatuan, sebagaimana yang termaktub dalam pembukaan. Selain itu diperlukan revisi UU 32 Tahun 2004 tentang pemerintah daerah agar mangakomodir desentralisasi asimetris atau solusi payung hukum setingkat Instruksi Presiden (inpres) untuk mengakomodasi konteks provinsi yang beragam di Indonesia tanpa perlu memasukkan mereka

53 Lihat Undang-Uundang No. 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh.

(19)

ke kerangka otsus yang memakan banyak biaya, infrastruktur, dan kebijakan setingkat UU.55

Apa yang akan dilakukan oleh presiden untuk Papua dan Aceh, memberikan bantuan khusus dana perikanan, kelautan, dan perguruan tinggi maritim bagi provinsi Kepulauan Riau, peningkatan kesejahteraan wilayah perbatasan Kalimantan Barat, pendekatan kultural dan historis Yogyakarta dan ibu kota negara DKI Jakarta, bisa dijadikan embrio bagi pelaksanaan disentralisasi asimetris karena esesinya karakteristik Indonesia yang beragam dari Sabang sampai Merouke akan sulit, jika hanya diwadahi dengan satu pola pusat-daerah.

Selain itu perlu penguatan hubungan kelembagaan, baik pemerintah pusat maupun daerah (Papua), sehingga desain besar pembangunan Papua mampu dijabarkan pada tingkatan daerah. Regulasi yang lebih konsisten akan mendorong dana otsus Papua tepat sasaran guna perbaikan kesejahteraan masyarakat Papua, penanggulangan kemiskinan, pembangunan sekolah-sekolah termasuk pengadaan guru-guru, sarana, dan prasarana pendidikan yang layak, pembangunan fasilitas kesehatan masyarakat, serta pembangunan suprastruktur dan infrastruktur yang layak dan merata di seluruh daerah. Lebih penting lagi, memupuk kembali trust masyarakat Papua terhadap pemerintah pusat agar terjalin sinergitas antar semua steakholder dalam membangunan Papua yang lebih baik dan memberikan kesejahteraan bagi seluruh rakyat Papua. Kegagalan desentralisasi asimetris di Papua akan memberikan tekanan bagi pemerintah pusat dan tentunya akan memunculkan dorongan yang lebih kuat lagi untuk memerdekan diri sebagai suatu negara yang terpisah dengan negara kesatuan republik Indonesia.

B. DPRD Bukan Lembaga Legislatif

Montesquieu membagai kekuasaan negara dalam 3 cabang, yaitu: (1) kekuasaan legislatif sebagai pembuat undang-undang; (2) kekuasaan ekskeutif yang melaksanakan dan (3) kekuasaan untuk menghakimi atau yudikatif.56 Dari klasifikasi Montesquieu inilah dikenal

pembagian kekuasaan modern dalam 3 fungsi, yaitu legislatif (the legislative function), eksekutif (the executive or administrative function), dan yudisial (the judicial function).57

Berdasarkan Pasal 1 ayat (1) dan (2) Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD 1945), Negara Indonesia ialah Negara Kesatuan, yang berbentuk Republik

55 M Mas’ud Said, Perlunya Disentralisasi Asimetris, Loc cit

56 Jimly Asshiddiqie, 2011, Pengantar Ilmu Hukum Tatat Negara, Rajawali Pers, Jakarta, hlm. 283.

(20)

dan kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut Undang-Undang Dasar. Berdasarkan UUD 1945 kekuasaan legislatif sebagai pembuat Undang-undang dipegang oleh DPR dan Presiden58, kekuasaan eksekutif atau yang melaksanakan dipegang oleh Presiden59, dan

kekuasaan untuk menghakimi atau yudikatif dipegang oleh Mahkamah Agung (MA)60 dan

Mahkamah Konstitusi (MK)61. Berikut adalah bagan pembagian kekuasaan berdasarkan UUD

1945.

Cabang kekuasaan legislatif adalah cabang kekuasaan yang pertama-tama mencerminkan kedaulatan rakyat karena kegiatan bernegara, pertama-tama adalah untuk mengatur kehidupan bersama.62 Oleh sebab itu, kewenangan untuk menetapkan peraturan itu pertama-tama harus

diberikan kepada lembaga perwakilan rakyat atau parlemen atau lembaga legislatif.63 Fungsi

utama lembaga perwakilan rakyat adalah fungsi legislasi atau pengaturan.64 Dalam bentuk

kongkritnya, fungsi pengaturan terwujud dalam fungsi pembentukan undang-undang dan fungsi pembuatan undang-undang pada hakikatnya adalah fungsi pengaturan.65 Fungsi pengaturan

berkenaan dengan kewenang untuk menentukan peraturan yang mengikat warga negara dengan norma-norma hukum yang mengikat dan membatasi.66

58 Lihat Pasal 20 ayat (1) yang menyatakan bahwa Dewan Perwakilan Rakyat memegang kekuasaan membentuk undang-undang, Pasal 5 ayat (1) UUD 1945 yang mneyatakan Presiden berhak mengajukan rancangan undang-undang kepada DPR, dan Pasal 20 ayat (2) yang menyatakan se tiap rancangan undang-undang dibahas oleh Dewan Perwakilan Rakyat dan Presiden untuk mendapat persetujuan bersama.

59 Lihat Pasal 4 ayat (1) UUD 1945 yang menyatakan bahwa Presiden Republik Indonesia memegang kekuasaan pemerintahan menurut Undang-Undang Dasar.

60 Lihat Pasal 24 ayat (1) dan (2) UUD 1945 yang menyatakan bahwa kekuasaan kehakiman merupakan kekuasaan yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan; dan kekuasaan kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan badan peradilan yang berada di bawahnya dalam lingkungan peradilan umum, lingkungan peradilan agama, lingkungan peradilan militer, lingkungan peradilan tata usaha negara, dan oleh sebuah Mahkamah Konstitusi.

61 Lihat Pasal 24C ayat (1) UUD 1945 yang menyatakan bahwa Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk menguji undangundang terhadap UndangUndang Dasar, memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh UndangUndang Dasar, memutus pembubaran partai politik, dan memutus perselisihan tentang hasil pemilihan umum.

(21)

DPRD adalah lembaga perwakilan rakyat daerah sebagai unsur penyelenggara pemerintahan daerah.67 Pemerintahan daerah adalah penyelenggaraan urusan pemerintahan

oleh pemerintah daerah dan DPRD menurut asas otonomi dan tugas pembantuan dengan prinsip otonomi seluas-luasnya dalam sistem dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia sebagaimana dimaksud dalam UUD 1945.68 Pemeritahan Daerah adalah bagian dari

pemerintahan Negara Republik Indonesia yang dipegang oleh Presiden Republik Indonesia.69

Ada dua macam pemerintahan daerah, yaitu pemerintahan daerah provinsi yang terdiri atas pemerintah daerah provinsi dan DPRD provinsi; dan pemerintahan daerah kabupaten/kota yang terdiri atas pemerintah daerah kabupaten/kota dan DPRD kabupaten/kota.70

DPRD provinsi dan kabupaten/kota terdiri atas anggota partai politik peserta pemilihan umum yang dipilih melalui pemiliha umum.71 DPRD provinsi dan

kabupaten/kota mempunyai fungsi legislasi, anggaran dan pengawasan dalam kerangka representasi rakyat di provinsi dan kabupaten/kota.72 Fungsi legislasi DPRD provinsi dan

kabupaten/kota dilaksanakan melalui pembentukan peraturan daerah provinsi bersama guberunur dan peraturan daerah kabupaten/kota bersama bupati/walikota; membahas dan memberikan persetujuann rancangan peraturan daerah mengenai anggaran pendapatan dan belanja daerah provinsi yang diajukan oleh gubernur dan kabupaten/kota yang diajukan oleh bupati/walikota.73

Meskipun DPRD provinsi dan kabupaten/kota memiliki fungsi legislasi, fungsi legislasi DPRD Provinsi dan kabupaten/kota berbeda dengan fungsi legislasi DPR karena fungsi legislasi DPR adalah fungsi legislasi yang dilaksanakan sebagai perwujudan DPR selaku pemegang kekuasaan membentuk undang-undang. Dengan demikian, meskipun DPRD provinsi dan kabupaten/kota memiliki fungsi legislasi, DPRD provinsi dan kabupaten/kota bukan merupakan badan legislasi sebagaimana yang dimaksud oleh Montesquieu karena kekuasaan legislatif DPRD provinsi dan kabupaten/kota adalah bukan

67 Lihat Pasal 1 Ayat (4) UU Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah 68 Lihat Pasal 1 Ayat (2) UU Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah

69 Lihat Pasal 1 Ayat (1) UU Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah yang menyatakan bahwaPemerintah pusat, selanjutnya disebut Pemerintah, adalah Presiden Republik Indonesia yang memegang kekuasaan pemerintahan negara Republik Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.”

70 Lihat Pasal 3 Ayat (1) UU Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah 71 Lihat Pasal 314 dan 363 UU Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah

72 Lihat Pasal 316 Ayat (1) dan (2) dan Pasal 365 Ayat (1) dan (2) UU Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah

(22)

UUD 1945

Eksekutif

(Presiden) (DPR dan Presiden)Legislatif (MA dan MK)Yudikatif

memegang kekuasaan pemerintahan

Pemerintahan Daerah

Pemerintahan Daerah Provinsi (Gubernur dan DPRD provinsi)

Pemerintahan Daerah Kabupaten/Kota (Bupati/walikota

dan DPRD kabupaten/kota)

kekuasaan untuk membuat undang-undang, melainkan untuk membentuk peraturan daerah provinsi dan kabupaten/kota sebagai bagian dari pemerintahan daerah.

C.F. Strong mengemukakan bahwa ada dua ciri pokok negara kesatuan, yaitu adanya supremasi dari dewan perwakilan rakyat pusat dan tidak adanya badan-badan lainnya yang berdaulat.74 Republik Indonesia sebagai suatu Negara Kesatuan juga memiliki supremasi dewan

perwakilan rakyat yang dipegang oleh DPR, sedangkan kedudukan DPRD provinsi dan kabupaten/kota terletak di bawah Presiden Republik Indonesia sebagai pemegang kekuasaan pemerintahan75. Struktur DPRD provinsi dan kabupaten/kota dapat digambarkan sebagai

berikut:

74 Ahmad Sukardja, 2012, Hukum Tata Negara Dan Administrasi Negara: Dalam Perspektif Fikih Siyasah, Sinar Grafika, Jakarta, hlm. 114.

(23)

DPRD provinsi dan kabupaten/kota sebagai badan legislatif daerah daerah pada hakikatnya adalah kepanjangan tangan eksekutif/Presiden yang memiliki fungsi pengaturan, yaitu fungsi untuk membuat peraturan daerah provinsi dan peraturan daerah kabupaten/kota. DPRD provinsi dan kabupaten/kota memiliki kedudukan yang setara dengan Pemerintah Daerah Provinsi dan Kabupaten/Kota, sehingga keduanya memiliki kedudukan yang sama dan sejajar dalam arti tidak saling membawahi; hubungan diantara keduanya bersifat kemitraan yang berarti bahwa DPRD merupakan mitra kerja Pemerintah Daerah dalam membuat kebijakan daerah untuk melaksanakan otonomi daerah sesuai dengan tugas dan fungsi masing-masing.76

Hubungan hierarkis antara DPRD dan Presiden dapat digambarkan melalui tugas dan wewenang DPRD dalam mengusulkan pengangkatan dan pemberhentian kepala daerah/wakil kepala daerah kepada Presiden melalui Menteri Dalam Negeri bagi DPRD provinsi dan kepada Menteri Dalam Negeri melalui Gubernur bagi DPRD kabupaten/kota77. Selain itu, berdasarkan

Pasal 53 ayat (1) UU Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, “tindakan penyidikan terhadap anggota DPRD dilaksanakan setelah adanya persetujuan tertulis dari Menteri Dalam Negeri atas nama Presiden bagi anggota DPRD provinsi dari Gubernur atas nama Menteri Dalam Negeri bagi anggota DPRD kabupaten/kota”. Pemberhentian anggota DPRD yang telah memenuhi ketentuan peraturan perundang-undangan disampaikan oleh Pimpinan DPRD kepada Menteri Dalam Negeri melalui Gubernur bagi anggota DPRD provinsi dan kepada Gubernur melalui Bupati/Walikota bagi anggota DPRD kabupaten/kota untuk diresmikan pemberhentiannya.78

76 Munadhir Ado, Hubungan Eks & Legis, URL:

(24)

BAB IV PENUTUP A. Kesimpulan

Dari hal-hal yang telah dipaparkan, maka dapat disimpulkan:

1. Bahwa hubungan antara Pemerintah Pusat dan Daerah adalah dalam kereangka desentralisasi, dekonsentrasi dan tugas pembantuan. Ada dua macam desentralisasi antara Pemerintah Pusat dan Daerah, yaitu Desentralisasi Simetris dan Desentrasi Asimetris. Pengaturan desentralisasi simetris adalah pengaturan pelimpahan urusan yang sama dari Pemerintah Pusat kepada pemerintah daerah, sedangkan desentralisasi asimetris adalah pengaturan pelimpahan urusan yang berbeda dari Pemerintah Pusat kepada Pemerintah daerah dengan memperhatikan kekhususan dan keragaman daerah.

(25)

B. Saran

Dari apa yang telah dipaparkan, maka disarankan kepada:

1. Pemerintah Pusat supaya dapat membuat kerangka atau parameter terhadap pemberian otonomi khusus atau otonomi istimewa kepada pemerintah daerah; dan

2. Pemerintah Daerah jika ingin mengajukan otonomi khusus atau otonomi istimewa kepada Pemerintah Pusat supaya dapat benar-benar mempertibangkan keadaan daerahnya dan berdasarkan pada aspirasi masyarakat daerah setempat.

DAFTAR PUSTAKA A. Literatur / Buku

Asshiddiqie, Jimly. 2011, Pengantar Ilmu Hukum Tatat Negara, Rajawali Pers, Jakarta.

Fachruddin, Irfan. 2004, “Pengawasan Peradilan Administrasi terhadap Tindakan Pemerintah”, Alumni, Bandung.

Fauzan, Muhammad. 2006, “Hukum Pemerintahan Daerah”, UII Press, Yogyakarta.

Hoessein, Bhenyamin. 2005, “Hubungan Kewenangan Pusat dan Daerah, Pasang Surut Otonomi Daerah, Sketsa Perjalanan 100 Tahun”, Yayasan Tifa, Jakarta.

(26)

Kaelan, 2013, “Negara Kebangsaan Pancasila: Kultural, Historis, Filosofis, Yuridis dan Aktualisasinya”, Paradigma, Yogyakarta.

Loy, Cornelis, Abdul Gaffar Karim (Editor), “Kompleksitas Persoalan Otonomi daerah di Indonesia”, Pustaka Pelajar, Yogyakarta.

Manan, Bagir. 1994, “Hubungan antara Pusat dan Daerah Menurut UUD 1945”, Pustaka Sinar Harapan, Jakarta.

___________. 2005, “Menyongsong Fajar Otonomi Daerah”, PSH UII, Cetakan. 4, Yogyakarta.

Marbun, SF. 1997, “Peradilan Administrasi Negara dan Upaya Administratif di Indonesia”, Liberty, Yogyakarta.

Martitah. 2008,” Hukum Tata Negara”, PKUPT UNNES/Pusat Penjamin Mutu Panitia Penulisan Buku Ajar/ Buku Teks UNNES, Semarang.

O. Hood Phillips, Paul Jackson, and Patricia Leopold. 2001, “Constitutional and Administrative Law”, Sweet & Maxwell, London.

Sabarno Hari, 2007, “Memandu Otonomi Daerah Menjaga Kesatuan Bangsa”, Sinar Grafika, Jakarta.

Sarjen, Lyman Tower. 1981, “Ideologi Politik Kontemporer”, Gramedia, Jakarta.

Strong, C.F. 1966, “Modern Political Constitution: An Introduction to the Comparative Study of Their History and Existing Form”, The English Book Society and Sidgwick & Jackson Limited, London.

Sukardja, Ahmad. 2012, Hukum Tata Negara Dan Administrasi Negara: Dalam Perspektif Fikih Siyasah, Sinar Grafika, Jakarta.

Thaib, Dahlan. 2000, “DPR dalam Sistem Ketatanegaraan Indonesia”, Liberty, Yogyakarta.

Trisnantoro, Laksono (Ed.). 2009,” Pelaksanaan Desentralisasi Kesehatan di Indonesia 2000-2007: Mengkaji Pengalaman dan Skenario Masa Depan”, BPFE, Yogyakarta.

B. Peraturan PerUndang-Undangan

Undang-Undang Dasar Republik Indonesia 1945.

Undang-Undang No. 21 Tahun 2001 Tentang Otonomi Khusus Bagi Provinsi Papua.

Undang-Undang No.32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah.

Undang-Undang No.33 Tahun 2004 Tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah.

(27)

Undang-Undang No. 13 Tahun 2012 Tentang Keistimewaan Yogyakarta.

C. Makalah, Jurnal, dan Karya Ilmiah

Draf Naskah Akademik Undang-Undang No.32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah.

Nurbaningsih, Enny. “Aktualisasi Pengaturan Wewenang Mengatur Urusan Daerah Dalam Peraturan Daerah, Studi Periode Era Otonomi Seluas-Luasnya”, Disertasi, Program Dokter Ilmu Hukum Fakultas Hukum UGM.

D. Internet

Artikel, “Desimenasi Hasil Rist Model Desentralisasi Asimetris Aceh-Papua”, Diseminasi Hasil Riset Model Desentralisasi Asimetris Aceh – Papua _ Jurusan Politik dan Pemerintahan Fisipol UGM _ Official website of JPP.htm.

M Mas’ud Said, “Perlunya Disentralisasi Asimetris”, News Desentralisasi Asimetris - Prof. M. Mas'ud Said, Ph.D.htm.

Munadhir Ado, Hubungan Eks & Legis, URL: http:

Referensi

Dokumen terkait

Sebagai wujud penyelenggaraan otonomi daerah sesuai dengan ketentuan Pasal 150 ayat (3) huruf e Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah dinyatakan

Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah mengatur penyelenggaraan urusan pemerintahan bidang pendidikan, Pasal 13 ayat (1) huruf f,

Dengan keberagaman kemampuan financial, maka dibuatlah sebuah sistem perimbangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah dengan dibuat Undang-Undang Perimbangan Keuangan

bahwa untuk melaksanakan ketentuan Pasal 184 ayat (1) Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-undang Nomor

Menurut Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004, pemerintahan daerah adalah penyelenggaraan uruan pemerintahan oleh pemerintah daerah dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD)

Pasal 24 Ayat (5) Undang-undang Nomor 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, disebutkan bahwa penyelenggaraan pemerintahan desa dilaksanakan dengan prinsip-prinsip

Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah mengatur penyelenggaraan urusan pemerintahan bidang pendidikan, Pasal 13 ayat (1) huruf f,

Pemerintahan Untuk memenuhi Pasal 27 Undang- Undang Nomor 32 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah, Kepala Daerah memiliki kewajiban menyampaikan Laporan Penyelenggaraan