• Tidak ada hasil yang ditemukan

Iman Negasi yang Berlanjut Agama Post Mo

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "Iman Negasi yang Berlanjut Agama Post Mo"

Copied!
7
0
0

Teks penuh

(1)

Iman Negasi yang “Berlanjut”

:

Agama Post-Modern, Adaptasi Pemikiran Jacques Derrida

1

Moh. Roychan Fajar

Ijtihadul Falasifah (Ijafa)

Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII)

“Modernitas mesti dipahami sebagai ikhwal yang selintas, kontingen, dan bukannya sebagai ikhwal yang abadi.”

--Baudelaire

Energi agama yang paling dalam, terletak pada kualitas iman yang menancap tegak dalam masing-masing umatnya. Iman merupakan kesadaran puncak yang melampaui keparcayaan dan keyakinan dalam menterjemahkan doktrin setiap ajaran dalam agama, baik itu Islam, Kristen, Hindu atau Budha. Sehingga, dalam titik inilah, keimanan menduduki posisi strategis sebagai bidang kajian menarik untuk terus dirumuskan, diuji dan dikoreksi menuju arah yang lebih stabil dan dinamis.

Hanya dengan iman-lah kita dapat menggapai apa yang disebut dalam istilah Arestoteles sebagai “penggerak yang tak digerakkan”; kahazanah supranatural yang menyandang predikat “Maha”. Tentu, Dia-lah yang Absolut. Maka di sinilah, penting bahwa iman harus menjadi prioritas dalam keberlangsungan agama yang terus berlanjut dan bergerak pada “ruang” yang masih penuh dengan seribu misteri.

Abad modern kita saat ini, membuat iklim misteri tersebut semakin bergerak melingkar, hingga “keruh” dan sampai tak terlihat ujung dan pangkalnya. Dengan resionalisme sebagai “Berhala Terselubung”, membuat iman dalam term agama menjadi sangat absurd. Ia terombang-ambingkan dalam permainan (rasionalisme) yang paradoks, ganjil dan aporia.

Rasionalitas memang sejak lama telah menjadi “label” penting dari “menara Babel” bernama modernisme, namun sebagai proyek pengetahuan, ia tak berhasil dalam mencipta kemaslahatan, malah semakin membuat krisis keadaan. Di sini kita akan menemukan iman yang terbengkalai, yang dalam waktu yang sama, membentang sebuah kesenjangan yang amat dalam dari maknanya yang sejati. Dalam titik yang lebih lanjut, iman tersebut terreduksi dalam diskursus-konsepsional dalam meraih dan mengilustrasikan yang Esa.

Dalam pemikiran filsafat keadaan ini mendapat “gugatan keras”. Saat rasionalitas memaksakan untuk mengukur alfa-omega (awal dan akhir) keadaan menuju kebenaran, termasuk keimanan, di situlah “kesombongan” melanda. Yang dalam waktu yang sama menginginkan segalanya dapat dinalar dan di-metode-kan demi

1 Makalah untuk Diskusi Filsafat, Ijtihadul Falasifah (Ijafa) Pergerakan Mahasiswa Islam

(2)

mencapai finalitas dan absolutisme. Teguran terhadap kenyataan ini, sempat dilakukan oleh Wittgenstein, “Were of one can‟t speak, there of must one be silent”.2

Tepat pada titik inilah kita dapat bertemu dengan Derrida. Ia tidak hanya menegur tapi menghancurkan proyek modernisme itu, sampai mejadi serpihan yang sulit untuk dipungut dan diakui kembali. Ia merusak “kebenaran final” dalam istilahnya tentang “Logosentrisme”.

Model filsafat Derrida ini, menjadi koreksi tersendiri dalam khazahan telogi konservatif yang selalu bersifat totaliter. Ia memilih menjadikan filsafatnya sebuah penafsiran3lewat

pembacaan dekonstruktif. Kendati ia memulai dengan mem-preteli teks-teks filosofis, namun ia sampai mempersoalkan pada setiap kebenaran, finalitas dan absolutisme yang terdapat dalam asumsi metafisika filsafat barat.

Jejak Labirin; Derrida

dan Ekspresi Ke-iman-an pada Ketidak-tahu-an

Bagi yang tidak tahu atau yang lupa padanya, Jecques Derrida memang sulit untuk dikenali secara utuh, karena ia memang menolak untuk menulis autobiografi. Baginya, sorang pemikir harus mempreoritaskan karyanya dan pemikirannya, dari pada jejak-jejak hidupnya. Tapi paling tidak, kita dapat “membaca” Derrida dari beberapa karya yang telah ia tulis, seperti: The Postcaard: From Socrates to Freud and Beyond (1983) atau

Memoirs of the Blind: the Self-Portrait and Other Ruins (1993).4

Meskipun bukan hanya itu karyanya, namun itu cukup mewakili bagaimana kepribadian Derrida yang energik dan tak mengenal putus asa itu dapat dipahami dan dibaca. Betapa tidak, postur tubuh kurus-keronta tak menyurutkan niatnya untuk menlanjutkan karir intelektualnya. Ia tidak hanya berkarya dalam bidang tulisan, namun juga giat dalam memberikan ceramah,5 diskusi, mengajar dan sebagai pembicara simposium-simposium kelas internasional.

Filsuf yang lahir 1931 dari bapak dan ibu keturunan Yahudi ini tumbuh-berkembang dalam wilayah dekat al-Jazair yang sedang ramai dengan aksi kekerasan di atas di atas dalih revolusi. Hingga akhirnya ia migrasi ke Prancis. Di bumi Prancis inilah kemudian, Derrida melanjutkan sekolahnya, hingga ia belajar di Ecole Normale Superieur6 (ENS) yang akhirnya dalam perkembangannya, ia mendapat banyak simpati dari berbagai pihak, termasuk Michel Foucault dan Lousi Althusser sebagai pengelola sekolah tampat belajarnya itu.

Pasca lulus di ENS, Derrida mengahabiskan waktunya di Husserl Archive sebagai tempat belajar sekaligus tempat di mana ia menjadi guru. Keadaan ini membuat

2 Artinya adalah, pada apa yang tak dapat kita bicarakan sebaiknya diam saja. Penjelasan lebih

jauh, lihat di, Benin D. Sukmono, “Meillassoux dan Tuhan yang Mungkin”, (Lingkar Studi Filsafat COGETO: 25/12/2015) di, http://isfcogeto.org/meillassoux-dan-tuhan-yang-mungkin/. Diakses pada, hari Kamis, 3 Maret 2016 M. pukul 15:46 WIB.

3 Lihat lebih lanjut dalam sebuah Prakata, Muhammad Al-Fayyadl, Derrida, (Yogyakarta: LKiS,

2015), hal. 74

4Ibid., hal. 1

5 Ceramah Derrida disampaikan pada tahun 1966, ia menyampaikan sebuah ceramah legendaris

(3)

Derrida semakin banyak jam terbangnya, hingga pada tahun 1980 lewat tesis yang berjudul, “The Time of a Thesis: Punctuation”, ia mendapat gelar doktoralnya. Dan Tak berselang lama, pada 1986 ia diangkat sebagai Guru Besar Humaniora di Universitas California, Irvine.7

Universitas inilah, sampai sekarang menyimpan secara lengkap karya-karya Derrida, terdapat di dalamnya: Lecriture et la difference (1967), De la Gramatologi (1967), La Voix et la Phenomena. Introduktion au Problema du Signe dans la Phenomenologie de Husserl (2967), Marges de la Philosophie (1972), La dissimination (1972), Position (1972), Essai sur I‟orgine des Connaissances Humaines (1973), Glas (1974), L‟archologi du frifole (1972), Eperons (1972), Eperons, les Styles de Nietzsche (1978) dan La Cerite en Peinture (1978).8

Dari 13 karya sebagai hasil peras-keringat pemikiran Derrida ini, ia mengakui bahwa dirinya sangat berhutang budi kepada para pendahulu yang telah berhasil membuat ia—si pemikir Prancis berarambut putih ini—menjadi sangat berpengaruh dalam filsafat era selanjutnya. Termasuk di dalamnya, Friedric Nietzsche, Sigmun Freud, Jecques Lecan dan Martin Heidegger.

Melaluinya, Derrida menjadi filsuf yang sangat getol dalam menghadang proyek global bernama modernisme itu. Ia menyerang pada titik yang paling dalam. Yang adanya, tak dapat diraba lewat pendekatan empiris, yaitu: perihal gerak laju metafisika modern yang telah meluluhlantakan tatanan etis peradaban.

Khazanah Logosentrisme

dan “Kekerasan Metafisika”

Saat Rene Descartes memproklamirkan rasionalismenya di atas dasar gagasan yang terkenal “Cogeto Ergo Sum” (Aku berpikir maka Aku Ada) segala bentuk kehidupan

menjadi sempit dalam ruang kedap rasio. Saat rasio menjadi tolak ukur terhadap segala persoalan, termasuk bagaimana memaknai yang “Maha Sempurna”. Dunia menjadi taman permainan yang hanya dapat menampilkan ketidak mengertian, kejenuhan dan rasa putus asa yang tak jarang berakhir dengan peristiwa histeris menderita.

Penulis akan coba merasikan dari awal: menurut Descartes Ada manusia tergantung pada “Cogeto” (pikiran), seakan masa bodoh untuk menggali lebih jauh pada sisi “Sum

(Ada). Sehngga konsekuensinya, “Cogeto” (pikiran) menjadi pusat eksistensi. Pada saat

itulah pikiran menjadi sangat totaliter dan membelenggu bentuk “produksi kebenaran” yang lainnya. Derrida menganggap semua ini sebagai “kekerasan metafisika” (metaphysical violence) terhadap “yang lain”.9

Dalam tradisi filsafat post-modern, pemahaman ini sangat dikecam. Oleh karena itu, Derrida menggunakan “Dekonstruksi” sebagai strategi membaca, menafsir dan mengugat berbagai konstruksi dari modernisme itu sendiri. Ia terlihat hendak dan

7 Op. Cit, Muhammad Al-Fayyadl, Derrida, (Yogyakarta: LKiS, 2015), hal. 3

8 Data karya Derrida ini, penulis dapatkan dalam, Masykur Arif Rahman, Buku Pintar Sejarah

Filsafat Barat, (Jogjakarta: IRCiSoD, 2013), hal. 410-411.

9 Op. Cit., dalam sebuah Prakata, Muhammad Al-Fayyadl, Derrida, (Yogyakarta: LKiS, 2015), hal.

(4)

ingin melanjutkan perjuangan Haidegger yang melakkan “kritik ontologis” terhadap metafisika realitas yang tolak ukurnya berpusat pada kuasa logos.

Kritik Haidegger tersebut tentu bukan karena alasan penyempitan ruang untuk meretas kebenaran yang sejati. Akan tetapi, lebih jauh keber-pusatan-an logos justru benar-benar menyempitkan dan mengantarkan dunia pada keterbatasan-keterbatasan yang rumit. Yang akan membuat wajah dunia ini menjadi suram dan kering dari nilai-nilai spiritual. Di sinilah kita memerlukan perombakan ulang, tata ulang dan formulasi baru menuju zona yang dapat melampaui keterbatan-keterbatasan tersebut. Di sini kita dapat melihat bahwa rasionalitas tanpak problematis. Ia mengalami kebangkrutan secara internal sehingga ia terlihat kering tanpa energi.

Iman Negasi; Formula Agama Post-Modern

Oleh karenanya, Derrida merespon keadaan ini dengan memulai kritiknya terhadap totalitas kebenaran rasio. Bahwa, upaya tersebut, menurut Derrida tidak akan mengantarkan manusia pada dimensi makna yang sejati. Yang menarik adalah, Derrida justru mewaspadai keutuhan makna dan bahkan mempersoalkan pemahaman makna itu sendiri.10 Apakah Derrida akan lari dari makna (kebenaran sejati)? Ikwal kebenaran sejati di sini, tentu sangat kompleks; entah dalam aspek budaya, ekonomi, politik atau bahkan teologi.

Penulis berusaha akan menarik Dekostruksi Derrida dalam aspek teologi dalam agama. Menarik untuk kita simak, saat dekonstruksi sebagai “mesin” penghancur atas segalas logosentrisme dalam berbagai bentuknya, yang kemudian diadaptasikan dalam khazanah teologi. Yang saat ini, di tangan para ulama‟, filsuf dan intelektual terus dikampanyekan sebagai khazanah diskursus dan konseptual. Ini adalah potret dimana rasionalisme masih mempengaruhi.

Kalau kita paksa untuk berontak, dapat kita bertanya: mungkinkah teologi yang dominan dalam kajian ketuhanan dapat diselesaikan dengan diskursus logos? Apakah itu cukup untuk menjamin atas lahirnya kualitas iman yang kokoh? Dalam kebingungan inilah, Dekonstruksi dapat diproyeksikan atas adanya logos atau kebenaran tertentu yang transenden itu. Teologi dalam dekonstruksi, lebih merujuk pada ketidak mungkinan itu sendiri. Sebagaimana filsafat Derrida nyaris semuanya bertolak dari yang-tak-mungkin ini.11

Je ne sais pas, il faut croire,” (saya tidak tahu apa-apa, saya hanya bisa beriman) inilah

yang selalu Derrida dengungkan di tengah hingar-bingar kompetisi intelektual dalam menggapai kebenaran yang abadi (baca: logosentrisme). Sehingga tak jarang, konstruksi keimanan, diasosiasikan pada keyakinan, lalu selesai dan tak boleh diotak-atik kembali. Padahal apa yang kita sebut sebagai keyakinan itu adalah hasil rekayasa rasio. Berimanan dengan pondasi rasio, berarti selama ini kita bukan benar-benar mendekati Tuhan sebagaimana adanya (God as God as Such), akan tetapi hanya pada formula konsep tentang Tuhan.

10 Dr. F. Budi Hardiman, Seni Memahami Hermeneutik dari Schleiermacher sampai Derrida,

(5)

Dekonstruksi Derrida menjadi kritik metafisika keimanan itu sendiri. Karena dalam titik yang lebih lanjut, dengan sendirinya mengantarkan kita pada iman yang negasi. Khazanah iman negasi ini banyak ditemukan dalam prinsip tasawufnya Ibn „Arabi dan aliran Taoisme. Tuhan sebagai Sang mutlak saat berada dalam kemutlakan aslinya secara konseptual merupakan negasi-terhadap-negasi-suatu-negasi ( negation-of-negation-of-negation), yakni negasi Sang Mutlak sebagai Tiada yang, lagi-lagi, merupakan negasi Ada (the negation of the Absolute‟s being Nothing wich, again, is the negation of Being). Dan itulah batas terjauh yang dapat dijangkau pemikiran logis kita dalam upaya pamungkas memahami Sang Mutlak.12 Dafid Tracy menyebut iman negasi ini sebagai “Radical Incimprehensibility of God”, (Gagasan tentang

ketidakmungkinan Tuhan untuk dipahami oleh pikiran manusia).13

Ikhwal semacam ini memposisikan Tuhan sebagai entitas yang paradoks dan problematis. Disebut paradoks karena Dia memunculkan seribu pertanyaan yang sulit untuk dibuktikan. Dalam waktu yang sama pula disebut problematis karena kondisi ini berada dalam hamparan Ada dan Tiada, disebut oleh Dionisius sebagai The Brilliant Darkness of a Hidden Silent (cemerlang gelapnya kesunyian yang tersembunyi). Di mana, seseorang yang hendak menjumpai Sang Maha Esa akan mengalami perjumpaan yang tak dapat lihat dan dipahami. Olehnya kemudian, tak ada jalan lain kecuali harus mengeasikan seluruh apa pun perihal Tuhan dalam dirinya.

Dalam iman negasi tak tersisa sedikitpun mengenai pemahaman ke-Tuhan-an. Adanya tuhan ibarat dalam dan luasnya samudera sebagai sebuah kajian yang autentik. Sehingga, mengarungi samudera itu, ada obak dan badai yang sekali tiup membuat kita terombang ambing pada arah yang bisu untuk mengatakan selatan, utara, barat dan timur. Inilah mengapa Tuhan perlu dinegasikan usai upaya menggapainya.

Iman negasi ini memang cukup kontroversi. Mengingat model iman seperti ini dalam masalah ke-Tuhan-an, sangat bersebrangan terhadap pengalaman teologi konservatif, yang menyelesaikan bangunan keimanan dalam kerangka konsepsi keyakinan. Akan tetapi, dalam konteks ini, iman negasi—sebagai sebuah kajian dan “pencarian”—tentu lebih bersifat kritis dari pada normatif. Pasalnya, pendekatan ini tidak sekedar bersandar pada ritme historis saja, melainkan lebih pada epistemologi dan ontologi.

Oleh karena itu, menegasikan Tuhan tidak semena-mena berangkat dari ke-tidak-tahu-an yke-tidak-tahu-ang kosong. Melainkke-tidak-tahu-an gagaske-tidak-tahu-an ini lahir karena justru setelah tahu; tahu bahwa akhirnya iman kita harus dinegasikan. Pada konteks inilah, iman dalam bentuk negasi akan berhasil melampaui tradisi masa lalu. Ia hendak ingin membebaskan pengalaman religius kita dari lingkaran keterbatasan tradisi agama secara institutif. Pengalaman religius ini, akan menuntut umat pemeluk agama agar beriman dengan penghayatan tinggi. Penghayatan tinggi tersebut pernah dilakukan oleh St. Agustinus. Seorang teolog kristen ini mengungkapkan dalam bentuk sajak seperti berikut ini:

“Bagaimana aku akan berseru kepada Allahku, Allah dan Tuhanku? Sebab sudah tentu, bila aku

berseru kepada-Nya, kupanggil Dia supaya datang dalam diriku. Tetapi tempat manakah dalam

12 Lihat lebih kompleks, dalam Tohihiko Izutzu, TAOISME: Konsep-Konsep Filosofis Lao-Tzu dan

Cuang-Tzu serta Perbandingan dengan Sufisme Ibn „Arabi, (Bandung: Mizan, 2015), hal. 116

13 Muhammad Alfayyadl, Teologi Negatif Ibn „ Arabi Kritik Metafisika Ketuhanan, (Yogyakarta: LKiS,

(6)

diriku yang bisa didatangi Allahku dalam diriku? Ya Tuhan Allahku, adakah dalam diiriku sesuatu yang dapat mengandung-Mu?”

Menurut Muhammad Al-Fayyadl, penghayatan dalam titik ini adalah, menghayati dengan mempertanyakan, mengugat dan menjadikan keimanan kita sebagai eksperimentasi yang terus berlanjut untuk menguji pengalaman kita dengan “Yang Ilahi”. Di sini tidak ada iman yang final dan tak ada ukuran sempurna, keberadaannya terus berproses dan berusaha lebih sempurna tampa kategori atau ukuran yang pasti.

Dengan Dekonstruksi, hingga sampai pada realitas iman yang negasi, memang akan banyak menemukan pengalaman-pengalaman religius yang tidak stabil atau resiko yang pada waktu tertentu akan membuat kualitas keimanan menjagi goyah. Tentu ini wajar, karena gagasan keimanan ini memang benar-benar bertolak dari ketidak-pastian yang radikal. Maka pengalaman religius dalam bentuk ini disamping menyimpan resiko, juga menyumpan kejutan-kejuatan yang tak terduga seperti apa bentuknya dan kapan datangnya.

Dengan hal itu, kualitas iman ini akan senantiasa terbuka pada horizon waktu yang terus melangkah pada batas yang tak bisa terduga. Hamparan waktu ini menjadi narasi yang akan mencatat akan datangnya “Sang Ilahi”. Pada titik inilah, tak ada waktu libur bagi iman untuk berhenti beroprasi. Pengalaman religius ini terus dalam penghayatannya di tengah hamparan waktu yang absolut.

Maka dalam ikhwal ini, tak akan ada jaminan kepuasan, seabagaimana biasanya dalam kerangka berpikir metafisika logosentrisme yang menurut al-Fayyadl diyakini syarat dengan “fiksi kehadiran”; sebuah khazanah finalitas tentang ke-Tuhan-an yang seakan-akan masa depan telah selesai terdikte, termasuk dalam diskursus eskatologis. Sejatinya inilah alfa-omega (awal-akhir) proyek “pencarian” tertimbun oleh debu-debu logosentrisme. Sehingga agama terasa kering dari spirit keilmuan, yang sejatinya adalah pondasi bagaimana iman itu dibangun dan dikokohkan.

Iman negasi ini adalah pengungkapan ke-Tuhan-an dalam doktrin yang penulis sebut “Agama Post-Modern”. Di mana keberadaannya, menjadi anomali terhadap agama modern di bawah hegemoni “wabah” logosentrisme. Upaya ini menjadi perlawanan tersendiri gunan meletakkan perinsip keimanan tampil megarungi hidup secara berkelanjutan, melampaui batas akhir (ajal) kehidupan yang sudah ada, ada di sana, jauh, tapi kadang terasa dekat, namun tak dapat disebrangi lewat kehendak kita. Kita sekedar sadar, bahwa waktunya nanti akan datang tanpa jadwal diumumkan.

(7)

DAFTAR PUSTAKA

.

Buku

Al-Fayyadl. Muhammad, Derrida, Yogyakarta: LkiS, 2015

, Teologi Negatif Ibn „ Arabi Kritik Metafisika Ketuhanan, Yogyakarta: LKiS, 2015

Santoso. Lisitiono dkk, Epistemologi Kiri, cet. III. Jogjayarta: Ar.-Ruzz Media, 2006 Arif Rahman. Masykur, Buku Pintar Sejarah Filsafat Barat, Jogjakarta: IRCiSoD, 2013 Hardiman, F. Budi. Seni Memahami Hermeneutik dari Schleiermacher sampai Derrida,

Yogyakarta: Kanisius, 2015

Tohihiko Izutzu, TAOISME: Konsep-Konsep Filosofis Lao-Tzu dan Cuang-Tzu serta

Perbandingan dengan Sufisme Ibn „Arabi, Bandung: Mizan, 2015

Internet

Referensi

Dokumen terkait

adalah memberikan tugas yang lama peluang lebih tinggi untuk dapat dipilih dibandingkan dengan tugas yang singkat. 2) Bobotlah tugas yang sesuai dengan 1/X, dimana X adalah sama

Hasil penelitian tindakan kelas menunjukkan bahwa pengamatan yang dilakukan oleh mitra kolaborasi dan peneliti pada aktivitas guru dan siswa melalui penerapan

Skripsi ini telah diuji dan dinyatakan sah oleh Panitia Ujian Tingkat Sarjana (S-1) Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Muhammadiyah Surabaya sebagai

Dari standar terse- but dapat dinyatakan bahwa ternak sapid an kerbau di Rumah Potong Hewan Gandus Palembang masih tergolong infeksi ringan karena telur yang dihasilkan oleh

Penggunaan data antropometri operator laki-laki bertujuan agar rancangan ulang ini dapat sesuai dengan postur tubuh operator, pengukuran dimensi meja menggunakan

Kuesioner atau angket merupakan metode pengumpulan data yang dilakukan dengan memberikan daftar pertanyaan kepada responden untuk dijawab, yaitu tentang faktor-faktor yang

AGUS BUDIYANTO SUGIHMANIK RT.01 RW.02 KEC.. KANDEP DIKBUD

Tujuan dalam penelitian ini adalah untuk mengetahui nilai hasil belajar basic bakery, nilai hasil pelaksanaan Prakerin dan pengaruh hasil belajar basic bakery