• Tidak ada hasil yang ditemukan

STRATEGI MEWUJUDKAN TRUST MELALUI PENCEG (1)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "STRATEGI MEWUJUDKAN TRUST MELALUI PENCEG (1)"

Copied!
25
0
0

Teks penuh

(1)

STRATEGI MEWUJUDKAN TRUST MELALUI PENCEGAHAN KORUPSI

DI KEPOLISIAN

Han’s Itta Papahit

Program Pascasarjana STIK-PTIK Dosen : Dr. Bambang Indriyanto Email : hans.tindan @gmail.com

Abstrak

Tujuan tulisan ini adalah merumuskan strategi pencegahan korupsi di kepolisian yang bertujuan untuk membangun kondisi yang menghambat dan menurunkan perilaku korupsi di kepolisian dalam rangka mewujudkan trust. Untuk mewujudkan trust tersebut, tulisan ini mengajukan suatu model pencegahan korupsi di kepolisian yang dibangun melalui pendekatan perpolisian berorientasi pemecahan masalah (problem oriented policing - POP) dan pencegahan kejahatan. Pendekatan POP difokuskan pada upaya penanggulangan akar masalah secara kreatif, pengembangan solusi inovatif, dan pelibatan para pemangku kepentingan (benefeciaries) untuk mencegah korupsi di kepolisian, sedangkan pendekatan pencegahan kejahatan difokuskan pada perumusan intervensi dan pemantauan terhadap perilaku korupsi di kepolisian dam pelaksanaan pencegahan korupsi di kepolisian dengan melibatkan para pemangku kepentingan.

Trust sebagai target dari strategi pencegahan korupsi di kepolisian yang menjadi pusat perhatian pada tulisan ini berorientasi pada kondisi organisasi kepolisian yang paripurna (excellence). Dua pendekatan dalam pencegahan korupsi di kepolisian menjadi dasar perencanaan program untuk mempersiapkan pondasi kepolisian yang bergerak menuju organisasi yang paripurna (strive to excellence). Adanya program yang bertujuan untuk membangun trust terhadap organisasi kepolisian yang memiliki sikap, perilaku, dan budaya non koruptif, merupakan prasyarat mutlak bagi organisasi kepolisian untuk mewujudkan keberhasilan Grand Strategi Polri secara keseluruhan.

(2)

Strategi Trust Building GSP , integrasi pencegahan korupsi di kepolisian dalam Program “Reformasi Birokrasi Polri”(RBP), integrasi pencegahan korupsi di kepolisian ke dalam action plan “Pelayanan Prima, Anti KKN, dan Anti Kekerasan”, Kerjasama dengan instansi terkait, peningkatan kemampuan Polres untuk mencegah korupsi di kepolisian, dan pembangunan kemitraan yang sinergis untuk mencegah korupsi di kepolisian.

Kata Kunci : korupsi, kepolisian, pencegahan, manajemen strategis, trust, problem oriented policing

I. PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Publikasi hasil riset Transparency International Indonesia (TII) menyebutkan tiga instansi paling korup. Pertama bea cukai (62 persen), kedua kepolisian (56 persen), dan ketiga TNI (46 persen).1 Predikat

sebagai instansi yang korup mencerminkan ketidakpercayaan masyarakat terhadap Polri. Tanpa adanya kepercayaan yang merupakan pondasi dari rangkaian Grand Strategi Polri, tujuan untuk menjadi organisasi yang excellence dapat dipastikan sulit terwujud.

Galford mengemukakan bahwa salah satu faktor utama untuk memperoleh kepercayaan adalah perilaku yang non-self oriented, kontradiktif dengan upaya memperoleh keuntungan atau manfaat pribadi sebagai tujuan korupsi yang sangat self oriented. Konsekuensi logis dari hal tersebut adalah lemahnya trust, yang sesungguhnya merupakan pondasi utama bagi kesuksesan Grand Strategi Polri (GSP).

B. Tujuan, Sasaran, dan Ruang Lingkup

Strategi mewujudkan trust melalui pencegahan korupsi di kepolisian secara umum adalah suatu rencana kegiatan jangka panjang yang diutamakan untuk pencegahan perilaku korupsi di kepolisian, untuk memperoleh dan meningkatkan kepercayaan masyarakat terhadap kepolisian. Terbentuknya Kepercayaan masyarakat yang merupakan tujuan dari strategi ini diharapkan dapat mendukung GSP untuk mewujudkan Polri yang excellence.

Sasaran dalam pelaksanaan strategi mewujudkan trust melalui pencegahan korupsi di kepolisian adalah sebagai berikut:

(3)

1. Unit kerja terkait di lingkungan Mabes Polri sesuai dengan bidang pembinaan dan/atau tugas masing-masing sebagai unsur pendukung di tingkat nasional untuk menjabarkan lebih rinci seluruh strategi pencegahan korupsi di kepolisian dalam bentuk panduan-panduan. 2. Unit Kerja kewilayahan sebagai unsur pendukung di tingkat daerah

untuk melakukan koordinasi dan supervisi terhadap implementasi strategi mewujudkan trust melalui pencegahan korupsi di kepolisian di daerahnya masing-masing.

Satuan fungsi operasional dan pembinaan pada tingkat KOD sebagai unsur penentu keberhasilan mewujudkan trust melalui pencegahan korupsi di kepolisian.

Strategi mewujudkan trust melalui pencegahan korupsi di kepolisian mencakup jenis-jenis perbuatan yang termasuk dalam tindak pidana korupsi di Indonesia. Dalam UU 31 tahun 1999 jo UU 20 tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dan Perubahannya, korupsi meliputi 7 (tujuh) jenis kegiatan yang meliputi:

1. Korupsi terkait keuangan negara/perekonomian negara (pasal 2 dan 3); 2. korupsi terkait suap-menyuap (pasal 5 ayat (1) huruf a dan b, pasal 5

ayat (2), dalam pasal 6 ayat (1) huruf a dan b, pasal 6 ayat (2), pasal 11, pasal 12 huruf a-d, dan pasal 13);

3. Korupsi terkait penggelapan dalam jabatan (Pasal 8, 9, 10 huruf a-c); 4. Korupsi terkait pemerasan (pasal 12 huruf e-g);

5. Korupsi terkait perbuatan curang (pasal 7 ayat (1) huruf a-d, pasal 7 ayat (2), dan pasal 12 huruf h);

6. Korupsi terkait benturan kepentingan dalam pengadaan(pasal 12 huruf I);

(4)

II. KONSEP DALAM STRATEGI

Meskipun istilah korupsi seringkali dikelilingi oleh perdebatan konseptual (Simpson 1977; Duchaine 1979), korupsi umumnya diasosiasikan dengan suap (atau gratifikasi), melibatkan perilaku pejabat layanan publik yang tidak benar dan melanggar hukum yang posisinya menciptakan peluang untuk pengalihan uang dan aset dari pemerintah untuk diri mereka sendiri dan kaki tangannya. Korupsi di kepolisian adalah penyalahgunaan keputusan, pengaruh, uang atau kekayaan melalui kemampuan seorang pejabat kepolisian untuk bertindak (action) atau tidak bertindak (ommision) dengan tujuan memperoleh keuntungan dan atau manfaat pribadi (World Bank : 1997, Haryatmoko : 2003).

(5)

Serupa dengan alasan dan penyebabnya, strategi pencegahan akan berbeda dari satu jenis perilaku korup dengan perilaku korup yang lain. Oleh karena itu, untuk mencegah perilaku korup tertentu, (daripada berpikir tentang 'korupsi' sebagai suatu keseluruhan perilaku) akan berguna untuk memecahkan masalah perilaku korup dalam bentuk yang berbeda.Dikarenakan akan ada banyak bentuk perilaku korupsi, maka lebih baik memprioritaskan bentuk-bentuk tertentu dan kemudian mencari strategi terbaik untuk meminimalkan bentuk-bentuk perilaku korup tersebut (Gorta 1998; Gorta 2006).

Dalam upaya pencegahan korupsi di kepolisian, maka yang pertama harus dilakukan oleh organisasi dan anggota kepolisian adalah berani untuk menyatakan korupsi tersebut ada di kepolisian. Tanpa adanya kejujuran akan keberadaan korupsi di kepolisian dengan mengedepankan “esprit de corps” maupun berbagai alasan lainnya, maka pencegahan korupsi di kepolisian hanya akan menjadi lips service belaka.

Pencegahan kejahatan merupakan adaptasi dari model pencegahan penyakit dalam ilmu kesehatan. Pencegahan kejahatan dapat dibagi ke dalam tiga pendekatan (primer, sekunder, dan tersier) yang serupa dengan model-model pencegahan penyakit yang telah dikenal umum (pengelolaan lingkungan yang sehat, peningkatan daya tahan, dan pengobatan) maupun pendekatan penanganan kepolisian (pre-emtif, preventif, dan represif) (Brantingham & Fraust:1976, Caplan : 1964, Leavell dkk:1965, Shah & Roth : 1974, P. Lab : 1992).

Pencegahan korupsi di kepolisian merupakan suatu kegiatan berkesinambungan, sebagai dari bagian dari good governance, melalui tahapan scanning, analyzing, responses,dan assesment (SARA) dalam model Problem Oriented Policing (POP) yang dibangun Goldstein, dipadukan dengan model pencegahan kejahatan (crime prevention-CP) yang dikembangkan oleh Stephen P. Lab (pencegahan primer, sekunder, dan tersier), untuk membangun kondisi yang menghambat dan menurunkan perilaku korupsi di kepolisian.

Mengapa Pencegahan Korupsi di Kepolisian dilaksanakan untuk mewujudkan trust?

(6)

sebagaimana dijanjikan, termasuk anti korupsi. Galforld juga mengemukakan bahwa inconsistent messages merupakan “musuh trust”. Ketika terjadi ketidaksesuaian antara pernyataan dan tindakan, maka trust akan menurun.

Trust merupakan prasyarat keberhasilan Grand Strategi Polri (GSP). Adanya perilaku korupsi di kepolisian yang bertentangan dengan kebijakan anti KKN akan menurunkan trust kepada Polri, dan dampaknya akan mempengaruhi ketercapaian kinerja GSP secara keseluruhan.

Tiga tujuan strategis adalah sebagai berikut:

1. Integrasi yang lebih efektif pencegahan korupsi di kepolisian ke dalam kebijakan Grand Strategi Polri, perencanaan dan penyusunan program pada semua satuan kewilayahan maupun fungsi kepolisian dengan secara khusus memberikan penekanan pada pemetaan potensi korupsi, penyebab munculnya perilaku korupsi, intervensi penyebab korupsi, dan intervensi peristiwa korupsi;

2. Pengembangan dan penguatan kelembagaan, mekanisme, dan kapasitas pada semua tingkat manajemen, maupun pengembangan dan penguatan kapasitas masyarakat, yang dapat secara sistematis memberi sumbangan terhadap efektivitas pencegahan korupsi di kepolisian;

3. Kerjasama sistematis dari pendekatan pencegahan korupsi di kepolisian ke dalam rencana dan pelaksanaan program Pelayanan Prima, Anti KKN, dan Anti Kekerasan dalam Reformasi Birokrasi Polri.

Konsep-konsep tersebut menjadi acuan dan diadopsi dalam kegiatan pencegahan korupsi di kepolisian untuk mewujudkan trust.

III. STRATEGI MEWUJUDKAN TRUST MELALUI PENCEGAHAN KORUPSI DI KEPOLISIAN

A. Visi dan Misi

Visi pencegahan korupsi di kepolisian untuk mewujudkan trust yaitu: “Terwujudnya kepercayaan masyarakat terhadap Polri yang memiliki sikap, perilaku, dan budaya non koruptif untuk mendukung Grand Strategi Polri”.

(7)

1. Menciptakan lingkungan kerja dan interaksi yang menghambat peluang terjadinya korupsi di kepolisian.

2. Memberdayakan peran kelembagaan dan kemampuan komunitas kepolisian untuk dapat mewujudkan praktik-praktik pencegahan korupsi.

3. Mengintegrasikan pencegahan korupsi di kepolisian dalam kegiatan internal dan eksternal.

4. Membangun kemitraan antar berbagai pihak untuk mendukung pelaksanaan pencegahan korupsi di kepolisian.

5. Melaksanakan pemantauan dan evaluasi secara berkala terhadap pelaksanaan pencegahan korupsi di kepolisian.

6. Mempertahankan kesinambungan (sustainability) pencegahan korupsi di kepolisian melalui diseminasi, modifikasi dan replikasi.

B. Tujuan Umum dan Tujuan Khusus

Tujuan umum mewujudkan trust melalui pencegahan korupsi di kepolisian: “Membangun budaya anti korupsi, perilaku anti korupsi, dan lingkungan anti korupsi di kepolisian dalam lingkup Polres untuk mewujudkan kepercayaan masyarakat terhadap kepolisian serta menumbuhkan dukungan masyarakat terhadap Grand Strategi Polri”.

Tujuan khusus mewujudkan trust melalui pencegahan korupsi di kepolisian adalah sebagai berikut:

1. Mengintegrasikan pencegahan korupsi di kepolisian kedalam kebijakan trust building Grand Strategi Polri.

2. Memberdayakan peran kelembagaan dan kemampuan komunitas kepolisian.

3. Membangun kemitraan dan jaringan antar berbagai pihak untuk mendukung pelaksanaan program pencegahan korupsi di kepolisian. C. Strategi Pencegahan Korupsi di Kepolisian

Upaya mewujudkan trust dilaksanakan melalui tindakan pencegahan korupsi di kepolisian yang dirancang melalui 3 strategi, yaitu:

1. Pengintegrasian program pencegahan korupsi di kepolisian kedalam kebijakan trust building Grand Strategi Polri .

2. Pemberdayaan peran kelembagaan dan kemampuan komunitas kepolisian;

(8)

Adapun penjabaran dari strategi tersebut adalah sebagai berikut:

1. Integrasi program pencegahan korupsi di kepolisian ke dalam kebijakan trust building GSP

Integrasi program pencegahan korupsi di kepolisian ke dalam kebijakan trust building GSP bertujuan agar setiap level manajemen kepolisian turut berperan aktif dalam melakukan kreasi dan inovasi serta implementasi program pencegahan korupsi di kepolisian pada fungsi kepolisian yang diemban, dan keterkaitannya dengan kegiatan kepolisian sehari-hari.

Pelaksanaan integrasi dilakukan pada Satuan kewilayahan dan Komando Operasional Dasar (KOD), yaitu Polres, melalui kegiatan manajemen operasional dan pengawasan internal sesuai dengan fungsi kepolisian dan potensi korupsi yang teridentifikasi pada satuan/fungsi tersebut. Pengintegrasian program pencegahan korupsi di kepolisian ke dalam GSP dapat dilakukan melalui model berikut:

a. Integrasi program pencegahan korupsi di kepolisian dalam Strategi Trust Building GSP, sesuai dengan karakteristik korupsi di kesatuan kewilayahan / fungsi kepolisian masing-masing.

1) Scanning : Pemetaan potensi korupsi di kepolisian yang merupakan “enemy of trust” (meminjam istilah Galford) dalam faktor-faktor yang mempengaruhi pencapaian trust dalam GSP melalui metode TASP (Task, Activity, Sector, Places) yang dikembangkan oleh Adam Graycar.

2) Analyzing : Analisis penyebab perilaku korupsi di kepolisian

dengan menggunakan GONE theory

(greeds,opportunities,needs,exposures) dari Jack Bologne dan mengintegrasikan penyebab korupsi di kepolisian sebagai threats dalam mewujudkan trust, serta analisis perilaku korupsi yang merupakan penyebab utama penurunan tingkat kepercayaan masyarakat.

(9)

pelaksanaan pencegahan korupsi di kepolisian dan peningkatan kepercayaan masyarakat.

4) Assesment : Perumusan prosedur dan teknik penilaian dan evaluasi capaian kinerja pencegahan korupsi di kepolisian dan capaian tingkat kepercayaan masyarakat yang diintegrasikan dengan penilaian dan evaluasi GSP.

b. Integrasi pencegahan korupsi di kepolisian dalam Program “Reformasi Birokrasi Polri”(RBP), sesuai dengan karakteristik korupsi di kesatuan kewilayahan / fungsi kepolisian masing-masing.

1) Perumusan indikator kinerja pencegahan korupsi di kepolisian dan indikator tingkat kepercayaan masyarakat yang akan diintegrasikan ke dalam Reformasi Birokrasi Polri.

2) Penyusunan rencana program dan rencana kegiatan pelaksanaan pencegahan korupsi yang mengintegrasikan pencegahan korupsi di kepolisian ke dalam Reformasi Birokrasi Polri.

3) Pelaksanaan pencegahan korupsi yang mengintegrasikan pencegahan korupsi di kepolisian ke dalam Reformasi Birokrasi Polri, dan pelibatan komunitas kepolisian secara aktif dan partisipatif dalam pencegahan korupsi di kepolisian.

4) Perumusan prosedur dan teknik penilaian terkait pelaksanaan pencegahan korupsi di kepolisian, serta teknik dan metode penilaian terkait tingkat kepercayaan masyarakat kedalam program RBP.

c. Integrasi pencegahan korupsi di kepolisian ke dalam action plan “Pelayanan Prima, Anti KKN, dan Anti Kekerasan” sesuai dengan karakteristik perilaku korupsi di kepolisian setempat.

Upaya ini dilakukan dengan cara menyelenggarakan prinsip-prinsip pencegahan korupsi di kepolisian ke dalam berbagai kegiatan manajemen, operasional dan pelayanan kepolisian yang merupakan action laden units:2

Revenue earning units, yaitu unit-unit yang memungut pendapatan negara.

The Big Spenders, yaitu unit yang membiayai proyek besar dengan anggaran negara yang juga besar.

(10)

 Unit pemerintahan yang memberi perizinan dalam arti luas, termasuk wewenang yang dapat merugikan dan menguntungkan orang. (Authoritative Power – pen) (Djamin : 2015)

Guna mendukung proses pengintegrasian pencegahan korupsi di kepolisian ke dalam action plan “Pelayanan Prima, Anti KKN, dan Anti Kekerasan”, maka pra-syarat yang harus dipenuhi adalah:

1) Penyusunan modul-modul pelatihan bagi manajer, supervisor dan pelaksana dalam pengintegrasian pencegahan korupsi di kepolisian ke dalam berbagai kegiatan manajemen, operasional, dan pelayanan kepolisian, termasuk modul pelatihan survei tingkat kepercayaan masyarakat.

2) Penyusunan modul-modul pelatihan bagi supervisor dalam pengembangan teknik dan metode pengawasan kegiatan manajemen, operasional dan pelayanan kepolisian, termasuk modul pelatihan teknik dan metode survei tingkat kepercayaan masyarakat.

3) Penyelenggaraan pelatihan bagi manajer, supervisor dan pelaksana dalam pengintegrasian pencegahan korupsi di kepolisian ke dalam berbagai kegiatan manajemen, operasional dan pelayanan kepolisian, serta bagi supervisor dalam implementasi teknik dan metode pengawasan kegiatan manajemen, operasional dan pelayanan kepolisian.

2. Pemberdayaan peran kelembagaan dan kemampuan komunitas kepolisian

Pemberdayaan Peran Kelembagaan dan Kemampuan Komunitas Kepolisian berkenaan dengan peningkatan kapasitas, dengan mengukur terlebih dahulu kapasitas lembaga maupun komunitas kepolisian, serta menggali dan membangun pengetahuan pencegahan korupsi di kepolisian, termasuk adanya contoh-contoh praktis dan pengalaman yang berkaitan dengan implementasi pencegahan korupsi di kepolisian.

(11)

(SARA), dalam upaya perwujudan perilaku anti korupsi bagi seluruh unsur manajemen, supervisor, pelaksana, dan mitra kepolisian.

Pemberdayaan peran kelembagaan dan komunitas kepolisian dalam konteks pencegahan korupsi di kepolisian dibangun melalui penguatan manajemen berbasis KOD (Polres) sehingga Polres secara leluasa dan fleksibel dapat menentukan sendiri kebutuhan-kebutuhannya yang berkaitan dengan pelaksanaan pencegahan korupsi di kepolisian, baik di lingkungan internal Polres itu sendiri maupun komunitas kepolisian. Selain itu, penguatan komitmen Polres dan komunitas kepolisian untuk melaksanakan pencegahan korupsi di kepolisian dalam konteks manajemen berbasis KOD mutlak diperlukan.

Pemberdayaan peran kelembagaan Polres dalam konteks pencegahan korupsi di kepolisian dilakukan oleh satuan kewilayahan setingkat Polda dengan dukungan Set RBP Mabes Polri yang menyediakan berbagai pedoman pelaksanaannya.

Berkenaan dengan pengembangan kemampuan pencegahan korupsi di kepolisian bagi komunitas kepolisian, maka langkah-langkah yang dapat dilakukan:

a. Kerja sama dengan Kemeterian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi, Deputi Bidang Pencegahan KPK, dan organisasi non-pemerintah yang memiliki kapasitas terkait dengan pencegahan korupsi di kepolisian dan tingkat kepercayaan masyarakat untuk penyusunan modul dan penyelenggaraan pelatihan.

1) Penyusunan modul pelatihan mengenai pemetaan, analisa, perumusan alternatif tindakan, dan penilaian implementasi pencegahan korupsi di kepolisian untuk Kapolres, Kasatfung, dan Itwasda serta modul pelatihan penyajian hasil pencegahan korupsi di kepolisian kepada masyarakat.

2) Penyusunan modul pelatihan mengenai survei tingkat kepercayaan masyarakat untuk Kapolres, Kasatfung, dan Itwasda.

(12)

pelatihan penyajian hasil pencegahan korupsi di kepolisian kepada masyarakat.

4) Pelatihan mengenai survei tingkat kepercayaan masyarakat untuk Kapolres, Kasatfung, dan Itwasda.

b. Peningkatan kemampuan Polres dalam pencegahan korupsi di kepolisian, baik secara struktur maupun secara non-struktur, serta peningkatan keterbukaan informasi pencegahan korupsi di kepolisian.

1) Identifikasi dan pemetaan potensi korupsi di kepolisian dengan menggunakan metode TASP (Task, Activity, Sector, Places) dari Graycar, serta menyusun rencana aksi Polres sebagai upaya pencegahan korupsi di kepolisian berbasis KOD.3

2) Fasilitasi penyusunan standar kinerja Polres dalam pencegahan korupsi di kepolisian yang dilakukan melalui konsultasi publik. 3) Penyelenggaraan Polres sebagai pilot project Wilayah Bebas

Korupsi.

4) Fasilitasi publikasi hasil dan penilaian pencegahan korupsi di kepolisian secara publik.

3. Pembangunan kemitraan dan jaringan antar berbagai pihak untuk mendukung pelaksanaan program pencegahan korupsi di kepolisian. Pembangunan kemitraan dan jaringan adalah upaya memperkuat kerjasama dan menyebarkan informasi mengenai berbagai kegiatan pencegahan korupsi di kepolisian. Dilaksanakan oleh Polres dengan bantuan teknis dari Set RBP Mabes Polri yang menyediakan berbagai pedoman pelaksanaannya dan Polda sebagai pelaksana supervisi. Strategi ini diharapkan dapat membangun kemitraan dan jaringan yang solid antar berbagai pihak yang dapat mendukung pelaksanaan pencegahan korupsi di kepolisian dan meningkatkan kepercayaan masyarakat:

a. Pertukaran informasi antar Polres dalam pelaksanaan pencegahan korupsi di Kepolisian.

b. Kerjasama kegiatan antar Polres untuk meningkatkan kualitas pencegahan korupsi di kepolisian di Polres masing-masing.

c. Penyediaan data dan informasi korupsi di kepolisian yang dapat diakses oleh Polres-Polres maupun masyarakat guna mendukung

3 Professor Adam Graycar dari Australian National University & Flinders University, dalam paparannya kepada World Bank pada tahun 2014 menjelaskan pemetaan korupsi.

(13)

pencegahan korupsi di kepolisian pada Polres-Polres dan meningkatkan kepercayaan masyarakat.

d. Mendokumentasikan dan mempublikasikan hasil-hasil penelitian mengenai korupsi di kepolisian yang dapat mendukung proses pencegahan korupsi di kepolisian dan meningkatkan kepercayaan masyarakat.

e. Melakukan berbagai penelitian untuk meningkatkan kualitas pelaksanaan pencegahan korupsi di kepolisian.

f. Menyebarluaskan data dan informasi mengenai upaya pencegahan korupsi di kepolisian dalam berbagai bentuk dan metoda komunikasi.

g. Membangun kemitraan dan jaringan informasi dengan dengan Polda, organisasi non-pemerintah di tingkat provinsi dan kabupaten/ kota dan media massa (cetak/elektronik) yang memiliki kapasitas terkait dengan korupsi di kepolisian maupun tingkat kepercayaan masyarakat.

IV. PELAKSANAAN STRATEGI

Keberhasilan dalam pelaksanaan strategi mewujudkan trust melalui pencegahan korupsi di kepolisian tidak terlepas dari berbagai dukungan para pemangku kepentingan. Dalam pelaksanaannya, strategi ini juga memiliki serangkaian peluang dan tantangan serta kekuatan dan kelemahan. Identifikasi melalui analisis SWOT dimaksudkan untuk mengoptimalkan pelaksanaan strategi mewujudkan trust melalui pencegahan korupsi di kepolisian karena setiap strategi memiliki kekuatan dan kelemahan masing-masing. Berdasarkan hal tersebut maka tingkat keberhasilan dari pelaksanaan strategi ini akan sangat bergantung dari dukungan para pemangku kepentingan yang memiliki peran masing-masing.

A. Peran Para Pemangku Kepentingan dalam Pelaksanaan Strategi 1. Peran Polres

(14)

menegakkan hukum. Oleh karena itu, Polres harus menjadi lingkungan yang bebas dari korupsi, kolusi, dan nepotisme. Kapolres, Kasatfung, Kapolsek jajaran, pegawai administrasi dan layanan kepolisian harus menjadi tenaga profesional yang selalu dan secara terus menerus memiliki kemampuan menciptakan lingkungan pelayanan kepolisian yang bebas dari perilaku korupsi.

Berkenaan dengan implementasi pencegahan korupsi di kepolisian untuk mewujudkan trust, Polres sebagai suatu sistem pelayanan kepolisian bagi masyarakat harus didukung dengan kemampuan Kapolres untuk:

a. Menumbuhkan semangat anti korupsi secara intensif untuk meningkatkan kepercayaan masyarakat antara lain dengan membentuk budaya anti KKN dan mengintegrasikan pencegahan korupsi di kepolisian ke dalam rencana kerja Polres.

b. Membantu dan mendorong anggota kepolisian dan komunitas kepolisian untuk mengembangkan potensi secara optimal, dengan memberikan keterampilan identifikasi, analisa, solusi dan evaluasi (SARA) pencegahan korupsi di kepolisian.

c. Melaksanakan proses pencegahan korupsi di kepolisian secara efektif, efisien, partisipatif, dan kontekstual.

d. Mengajak stakeholders untuk bekerja bersama dalam meningkatkan mutu pelayanan Polres, khususnya berkenaan dengan implementasi strategi pencegahan korupsi di kepolisian.

e. Melibatkan seluruh komunitas kepolisian dalam pengambilan keputusan untuk implementasi strategi pencegahan korupsi di kepolisian.

f. Memberikan informasi secara transparan tentang korupsi di kepolisian, upaya pencegahan korupsi di kepolisian, dan hasil pelaksanaan pencegahan korupsi di kepolisian kepada masyarakat dan para pemangku kepentingan.

2. Peran pengguna layanan kepolisian

(15)

korupsi di kepolisian (scanning), pertimbangan, arahan dan dukungan tenaga, sarana dan prasarana, serta pengawasan (monitoring) dalam pelaksanaan pelayanan kepolisian bagi Polres yang bersangkutan. Pengguna layanan kepolisian sebagai anggota masyarakat berkenaan dengan pelaksanaan pencegahan korupsi di kepolisian mempunyai hak sebagai berikut:

a. Mendapatkan perlindungan hukum dan rasa aman, khususnya bagi kelompok masyarakat rentan terhadap perilaku korupsi di kepolisian.

b. Mendapatkan pendidikan, pelatihan, dan ketrampilan dalam pencegahan korupsi di kepolisian.

c. Mendapatkan informasi tentang kebijakan pencegahan korupsi di kepolisian.

d. Berperan serta dalam perencanaan, pelaksanaan, dan pengawasan pencegahan korupsi di kepolisian.

e. Berpartisipasi dalam pengambilan keputusan terhadap kegiatan pencegahan korupsi di kepolisian, khususnya yang berkaitan dengan diri dan komunitasnya.

f. Turut melakukan pengawasan sesuai dengan mekanisme yang diatur atas pelaksanaan pencegahan korupsi di kepolisian.

Selain memiliki hak, pengguna layanan kepolisian juga memiliki kewajiban yang berkenaan dengan pelaksanaan pencegahan korupsi di kepolisian, yaitu:

a. Menjaga ketaatan dan kepatuhan hukum dalam proses penerimaan layanan kepolisian.

b. Melakukan pencegahan korupsi di kepolisian melalui partisipasi aktif melaporkan perilaku korupsi di kepolisian.

c. Memberikan informasi yang benar mengenai perilaku korupsi di kepolisian.

d. Menyebarluaskan capaian kinerja pencegahan korupsi di kepolisian secara bertanggung jawab.

3. Peran organisasi non pemerintahan

(16)

pelayanan dengan memberikan informasi bagi pemetaan potensi korupsi di kepolisian (scanning), penelitian dan analisa faktor-faktor terkait korupsi di kepolisian (analyzing) pertimbangan, arahan dan dukungan tenaga, sarana dan prasarana, serta pengawasan dan penilaian (assesment) dalam pelaksanaan pencegahan korupsi di kepolisian bagi Polres yang bersangkutan, termasuk menyampaikan hasil penilaian pencegahan korupsi di kepolisian kepada masyarakat.

4. Peran pemerintah

Pemerintah menjadi penanggung jawab dalam penyelenggaraan pencegahan korupsi di kepolisian, terutama dalam perumusan kebijakan penceghan korupsi di kepolisian dan pemaduan pencegahan korupsi dikepolisian dengan program pembangunan.

Kebijakan pemerintah sangat menentukan akan keberhasilan pelaksanaan pencegahan korupsi di kepolisian. Upaya yang dapat dilakukan yaitu sebagai berikut:

a. Menyiapkan perangkat kebijakan dan pedoman terhadap usaha pencegahan korupsi di kepolisian yang mencakup pemetaan potensi korupsi di kepolisian, analisis faktor korupsi di kepolisian, intervensi korupsi di kepolisian, dan penilaian pencegahan korupsi di kepolisian, yang dijadikan sebagai acuan implementasi pencegahan korupsi di kepolisian.

b. Menetapkan standarisasi dan kebutuhan penyelenggaraan pencegahan korupsi di kepolisian yang mencakup pemetaan potensi korupsi di kepolisian, analisis faktor korupsi di kepolisian, intervensi korupsi di kepolisian, dan penilaian pencegahan korupsi di kepolisian.

c. Menyusun, menetapkan, dan menginformasikan peta korupsi di kepolisian.

d. Menyusun dan menetapkan prosedur tetap pencegahan korupsi di kepolisian.

e. Melaksanakan penyelenggaraan pencegahan korupsi di kepolisian. f. Memberikan dana hibah dan fasilitas lainnya bagi Polres yang

melaksanakan pencegahan korupsi di kepolisian.

g. Melaksanakan berbagai pelatihan pencegahan korupsi di kepolisian secara berkelanjutan bagi para pengawas, Kapolres, Kasatfung, Kapolsek jajaran, dan komunitas kepolisian.

(17)

i. Melakukan monitoring dan evaluasi terhadap implementasi strategi pencegahan korupsi di kepolisian.

j. Memberikan informasi kegiatan kepada masyarakat, termasuk komunitas kepolisian

k. Membangun sistem informasi pencegahan korupsi di kepolisian yang dapat diakses dengan mudah oleh Polres dan masyarakat. l. Melakukan penelitian dan penilaian tingkat kepercayaan

masyarakat terhadap kepolisian. B. Peluang dan Tantangan

Pelaksanaan pencegahan korupsi di kepolisian akan dihadapkan pada peluang dan tantangan. Peluang yang dimiliki untuk melaksanakan pencegahan korupsi di kepolisian yaitu modalitas yang berbentuk antara lain sebagai berikut:

1. Perangkat peraturan perundang-undangan dan berbagai kebijakan yang terkait dengan pencegahan korupsi di kepolisian.

2. Sumber daya manusia yang memiliki keahlian dalam berbagai bidang pencegahan korupsi dan peningkatan kepercayaan masyarakat.

3. Organisasi Kepolisian tingkat Polres (KOD) yang tersebar di seluruh Indonesia.

4. Kemitraan dengan organisasi maupun individu pengguna layanan kepolisian seperti penyalur tenaga kerja, sekolah mengemudi, perbankan, obyek vital, dan lain-lain.

5. Kemitraan dengan berbagai lembaga dan organisasi kemasyarakatan dalam negeri, luar negeri, dan internasional yang terkait dengan pencegahan korupsi dan kepercayaan masyarakat seperti ICW, IPW, Kompolnas.

6. Adanya organisasi profesi kepolisian yang dapat mendukung dan memperkuat upaya pencegahan korupsi di kepolisian seperti kementerian PAN-RB, Deputi pencegahan KPK, dan Ikatan Sarjana Ilmu Kepolisian.

Tantangan yang dihadapi untuk melaksanakan pencegahan korupsi di kepolisian untuk mewujudkan trust antara lain sebagai berikut:

1. Luasnya ruang lingkup kegiatan kepolisian yang meliputi hampir seluruh perilaku korupsi yang didefinisikan dalam UU 31 tahun 1999 jo UU 20 tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dan Perubahannya.4

(18)

2. Luasnya bidang tugas kepolisian yang meliputi semua action laden units sebagaimana dikemukakan Paul Douglas, yaitu unit-unit yang memungut pendapatan negara (Revenue earning units) 5, unit yang membiayai proyek besar dengan anggaran negara yang juga besar (The Big Spenders), Unit pemerintahan yang memberi perizinan dalam arti luas, termasuk wewenang yang dapat merugikan dan menguntungkan orang

(Authoritative Power).6

3. Terbatasnya dukungan finansial di berbagai tingkatan organisasi kepolisian yang dialokasikan secara khusus untuk pencegahan korupsi di kepolisian.

4. Lemahnya kesadaran sebagian besar masyarakat terhadap pentingnya pelayanan kepolisian yang bebas korupsi.

5. Beban dan kegiatan manajemen maupun operasional kepolisian akan semakin bertambah.

6. Belum atau tidak ada pedoman dan model-model pelaksanaan pencegahan korupsi di kepolisian yang berlaku secara nasional

7. Baru sebagian kecil Polres yang sudah melaksanakan pencegahan korupsi di kepolisian secara rutin dan terprogram.

8. Minimnya motivasi, koordinasi, dan inisiasi dari beberapa pihak yang terkait untuk menunjang terwujudnya pencegahan korupsi di kepolisian.

9. Kondisi masyarakat yang cenderung permisif, bahkan suportif terhadap perilaku korupsi di kepolisian (faktor opportunities).

10.Resistensi para pelaku korupsi di kepolisian (faktor greed).7

11.Penghasilan anggota kepolisian yang belum memadai (faktor need).8 perbuatan curang (pasal 7 ayat (1) huruf a-d, pasal 7 ayat (2), dan pasal 12 huruf h); benturan kepentingan dalam pengadaan(pasal 12 huruf I); gratifikasi (pasal 12 B jo. Pasal 12 C);

5 Dalam PP nomor 50 tahun 2010, terdapat 12 jenis kegiatan yang merupakan sektor PNBP di Polri. 12 (dua belas), meliputi penerbitan SIM; pelayanan ujian keterampilan mengemudi melalui simulator; penerbitan STNK; penerbitan STCK; penerbitan TNKB; penerbitan BPKB; penerbitan SMKD; penerbitan Surat Izin Senjata Api dan Bahan Peledak; penerbitan SKCK; penerbitan Surat Keterangan Lapor Diri; penerbitan Kartu Sidik Jari (Inafis Card); dan denda pelanggaran lalu lintas.

6 Dalam UU no 2 tahun 2002 tentang Polri, pada pasal 15 dan pasal 16, tedapat 36 (tiga puluh enam) kewenangan yang dapat dikelompokkan menjadi 3 bagian, yaitu 13 (tiga belas) kewenangan dalam pelaksanaan tugas pokok Polri, 11 (sebelas) kewenangan berdasarkan undang-undang lain, serta 12 (dua belas) kewenangan dalam rangka pelaksanaan tugas penyidikan.

7 Resistensi merupakan akibat rasionalisasi, umumnya dilakukan dengan mengemukakan alasan-alasan seperti: semua orang melakukannya; ini adil; saya tidak punya pilihan; tidak ada yang dirugikan; saya layak mendapatkannya; mereka layak mendapatkannya; ini bukanlah kejahatan; mereka tidak keberatan; ini untuk kebaikan, dll. (Venegas, April 2014).

(19)

12.Rendahnya sanksi bagi pelaku korupsi di kepolisian, seringkali perilaku korupsi hanya dikenakan sanksi disiplin/kode etik (faktor exposure). 13.Stigma negatif yang sudah melekat dengan berbagai jargon/istilah

yang menggambarkan perilaku korupsi di kepolisian (hanya tiga polisi jujur, hilang ayam jadi hilang sapi, damai itu lima puluh ribu, prit jigo, dll).

C. Kekuatan dan Kelemahan Pelaksanaan Strategi

Beberapa kekuatan dan kelemahan dari pelakanaan strategi dapat diidentifikasi sebagaimana yang diuraikan dalam tabel berikut ini.

(20)

Komunitas kepolisian

V. PEMANTAUAN DAN ASSESMENT PELAKSANAAN STRATEGI

Pemantauan dan evaluasi perlu dilaksanakan untuk menjamin bahwa semua strategi pencegahan korupsi di kepolisian dilaksanakan di Polres-Polres secara optimal. Hasil dari pemantauan dan evaluasi digunakan sebagai bahan pengambilan keputusan untuk menyempurnakan pelaksanaan strategi, baik yang menyangkut proses maupun produk.

Pelaksanaan pemantauan dan evaluasi dapat dilaksanakan secara internal dan eksternal. Pelaksanaan pemantauandan evaluasi internal dilaksanakan oleh Polres itu sendiri. Sedangkan, pelaksanaan pemantauandan evaluasi eksternal dilakukan secara koordinatif Set RBP Mabes Polri dan Itwasda Polda. Dalam pelaksanaan pemantauan dan evaluasi dapat juga melibatkan berbagai pihak yang terkait seperti Kementerian PAN-RB, Deputi pencegahan KPK, perguruan tinggi, dan organisasi nonpemerintah yang mempunyai kapasitas dalam bidang pencegahan korupsi dan kepercayaan publik trust. A. Pelaksanaan Pemantauan

Pemantauan merupakan upaya untuk mengendalikan proses pelaksanaan suatu program agar program tersebut dilaksanakan sesuai dengan perencanaannya dan menghasilkan produk yang bermutu. Oleh karena itu, pemantauan biasanya dilakukan dalam kurun waktu selama proses berlangsungnya suatu program.

(21)

selama berlangsungnya pelaksanaan program tersebut dengan maksud untuk mengetahui hal-hal sebagai berikut:

1. Sejauh manakah kemajuan dari proses pencegahan korupsi di kepolisian?

2. Sejauh manakah kesesuaian antara perencanaan dan pelaksanaan pencegahan korupsi di kepolisian?

3. Seberapa banyakkah masalah yang dapat menghambat proses pelaksanaan pencegahan korupsi di kepolisian?

4. Sejauh manakah para pelaksana dapat melakukan perbaikan secara langsung terhadap proses pelaksanaan pencegahan korupsi di kepolisian?

Pemantauan terhadap proses pelaksanaan pencegahan korupsi di kepolisian mencakup unsur-unsur: Apa yang akan dipantau; Bagaimana cara memantau; Waktu atau frekuensi pemantauan; Lokasi pemantauan; Siapa yang akan melakukan pemantauan; Siapa yang akan menganalisis hasil pemantauan; dan Siapa yang akan menerima hasil atau tindakan dari pemantauan.

Agar kegiatan pemantauan dapat dilaksanakan secara optimal perlu mempertimbangkan hal-hal sebagai berikut:

1. Membuat disain pemantauan terhadap pelaksanaan pencegahan korupsi di kepolisian.

2. Menyusun dan mengembangkan indikator-indikator yang ditungkan kedalam instrumen pemantauan.

3. Menyusun instrumen pemantauan dengan berdasarkan pada kisi-kisi yang telah dibuat sebelumnya.

4. Melakukan pemantauan terhadap pelaksanaan dan peran pemangku kepentingan dalam pencegahan korupsi di kepolisian secara berkala. 5. Menyusun modul-modul pelatihan pemantauan bagi para pemangku

kepentingan mewujudkan trust melalui pencegahan korupsi di kepolisian.

6. Menyelenggarakan pelatihan pemantauan bagi para pemangku kepentingan mewujudkan trust melalui pencegahan korupsi di kepolisian.

7. Mendokumentasikan hasil pemantauan sebagai bahan perumusan atau penyempurnaan proses pelaksanaan pencegahan korupsi di kepolisian. B. Pelaksanaan Assesment

(22)

evaluasi, yaitu ketika kita mengambil kesimpulan atas pemasalahan dan solusinya (Eck:2002).

Evaluasi dilaksanakan terhadap kemajuan atau setelah suatu program berlangsung dalam suatu kurun waktu atau periode tertentu untuk mengetahui dampak pelaksanaan dari program tersebut terhadap subyek program tersebut, baik dalam jangka pendek maupun jangka panjang. Kegiatan evaluasi terhadap pelaksanaan strategi mewujudkan trust melalui pencegahan korupsi di kepolisian dimaksudkan untuk mengetahui dampak dan keberhasilan melalui indikator utama sebagai berikut:

1. Pencegahan korupsi di kepolisian terhadap tingkat korupsi di kepolisian pada Polres yang diperoleh melalui kegiatan integrasi kedalam strategi trust building dalam GSP melalui action plan pelayanan prima, anti KKN, dan anti kekerasan.

2. Pencegahan korupsi di kepolisian di Polres terhadap peningkatan kelembagaan dan kemampuan Kapolres, manajer operasional dan pembinaan kepolisian, dan pengawas dalam pencegahan korupsi di kepolisian.

3. Pencegahan korupsi di kepolisian pada Polres terhadap upaya penyediaan fasilitas kemitraan dan jaringan informasi dalam pelaksanaan Pencegahan korupsi di kepolisian.

4. Kegiatan koordinasi dan supervisi terhadap pelaksanaan strategi mewujudkan trust melalui pencegahan korupsi di kepolisian yang dilaksanakan oleh Itwasda Polda.

5. Relevansi perangkat program yang disusun oleh unit-unit kerja terkait di lingkungan Polri terhadap pelaksanaan strategi mewujudkan trust melalui pencegahan korupsi di kepolisian.

6. Hasil survey tingkat kepercayaan masyarakat terhadap trust pada organisasi kepolisian yang diakibatkan oleh pencegahan korupsi di kepolisian.

(23)

REFERENSI

UU No. 2 Tahun 2002 tentang “Kepolisian Negara Republik Indonesia”.

UU No. 28 Tahun 1999 tentang “Penyelenggaraan Negara Yang Bersih Dan Bebas Dari Korupsi, Kolusi, Dan Nepotisme”.

UU No. 31 Tahun 1999 tentang “Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi."

UU No. 20 Tahun 2001 tentang “Perubahan Atas UU Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi."

PP No. 42 Tahun 2010 tentang “Hak-hak Anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia”. PP No. 50 Tahun 2010 tentang “Jenis dan Tarif Atas Jenis PNBP Yang Berlaku di Lingkungan Polri. PP No. 32 Tahun 2015 tentang “Perubahan Kesebelas atas PP No. 29 2001 Tentang Peraturan Gaji

Anggota Polri”.

Bologna, Jack. Handbook of Corporate Fraud.1993 .

David, Master H., Green H. Charles, and Galford M. Robert."The trusted Advisor." (2007). Bourdieu, Pierre. The logic of practice. (1990).

Bourdieu, Pierre. "Habitus."Habitus: A sense of place 2 (2005.

Brantingham, Paul J., and Frederic L. Faust."A conceptual model of crime prevention."Crime & Delinquency 22.3 (1976).

Caplan, Gerald. Principles of preventive psychiatry. (1964).

Clarke, Ronald Victor Gemuseus, and Marcus Felson, eds. Routine activity and rational choice.Vol. 5. (1993).

Cornish, Derek B., and Ronald V. Clarke, eds. The reasoning criminal: Rational choice perspectives on offending. (2014).

Homel, Ross, and R. Clarke.A revised classification of situational crime prevention techniques. (1997).

Houston, Douglas A. “Can corruption ever improve and economy.” Cato J. 27 (2007): 325. Djamin, A. “Menghadapi Citra Polri Sebagai Institusi yang Paling Korup Menurut Transparansi

Internasional”, makalah:(2015).

Duchaine, N., John Jay Press, and USA. "Literature Of Police Corruption, V 2-A Selected, Annotated Bibliography." (1979).

Ede, Andrew, Ross Homel, and Tim Prenzler. "Reducing complaints against police and preventing misconduct: A diagnostic study using hot spot analysis." Australian & New Zealand Journal of Criminology 35.1 (2002.

Eck, J. E. Problem-solving: Problem-oriented Policingin. (1987).

Eck, J.E., Responses to problems:An Introductory Guide for Police Problem-Solver Office of Community Oriented Police Services (2002).

Galford, Robert, and Drapeau, A.S. "The enemies of trust." Harvard Business Review 81.2 (2003): 88-95.

Galford, R. M., & Drapeau, A. S. The trusted leader. Simon and Schuster. (2003).

(24)

Gorta, Angela. "Corruption risk areas and corruption resistance." Measuring Corruption, Burlington.

(2006).

Gorta, A. "Corruption prevention: Researching how and where to intervene." Second Meeting of the Network of Anti-corruption agencies (ANCORAGENET). Empowering Anti-corruption agencies: Defying institutional failure and strengthening preventative and repressive capacities. Lisbon. (2008).

Graycar, Adam, and Tim Prenzler.Understanding and preventing corruption.(2013). Leavell, Hugh Rodman, and Edwin Gurney Clark.Preventive Medicine for the Doctor in His

Community: An Epidemiologic Approach [by] Hugh Rodman Leavell, E. Gurney Clark, and Twenty-three Contributors. (1965).

Hamzah, Andi. “Pemberantasan Korupsi”, Makalah. (2007). Harlina, Indah. “Pencegahan Tindak Pidana Korupsi”. (2013). Haryatmoko, Johannes. Etika politik dan kekuasaan. (2003).

Maister, D. H., Green, C. H., & Galford, R. M. The trusted advisor. Simon and Schuster. (2000). Mayhall, Pamela D, Thomas Barker, and Ronald D. Hunter.Police-community relations and the

administration of justice. (1985).

Shah, Saleem A., and Loren H. Roth."Biological and psychophysiological factors in criminality."Handbook of criminology. (1974).

Simpson, A. E. "Literature Of Police Corruption, V 1-A Guide To Bibliography And Theory." (1977). Sparrow, M. K. .The regulatory craft: Controlling risks, solving problems and managing compliance.

(2000).

Stachowitcz and Stanusch, Organizational Immunity to Corruption :Building Theoritical and Research Foundation. (2010).

Steve, Albrecht W., and O. Albrecht Chad."Fraud Examination." (2003).

Parker Guy J. "Indonesia 1979: The Record of three decades” (Asia Survey Vol. XX No. 2, 1980 : 123)

Prenzler, Tim, and Janet Ransley.Police reform: Building integrity. (2002). Sutherland, Edwin Hardin. White collar crime. (1949).

Venegas, Juan C. Understanding and Preventing Corruption : Risk, Prevention, and Reporting”.

Speech (2014).

Wolfe, David T., and Dana R. Hermanson.The fraud diamond: Considering the four elements of fraud. (2004).

Wortley, St. "Justice for All-Race and Perceptions Bias in the Ontario CJS-A Toronto Survey."Canadian J. Criminology 38 (1996)

https://www.ncjrs.gov/pdffiles1/Digitization/102371NCJRS.pdf http://www.antikorupsi.org/id/content/instansi-paling-korup http://www.popcenter.org/about/?p=sara

http://kspsi.com/analisa-dan-data/analisa/standar-kebutuhan-hidup-layak-khl/ http://bdwinurcahyo.blogspot.com/2013/06/tentang-rumah-dinasnegara-aturan.html http://www.antikorupsi.org/en/content/kapolri-baru-dan-pemberantasan-korupsi

http://www.viaconsultationgroup.com/en/board-of-directors/104-juan-carlos-venegas-icpa-cfc-icfs-cfip-ipfm

(25)

Referensi

Dokumen terkait

Seperti telah disinggung di atas, untuk mencairkan kebekuan yang terjadi antar umat beragama, alternatif yang bisa dikemukakan adalah dengan mekanisme dialog keagamaan atau

Universitas

Elemen arsitektural rumah bangsal terdiri dari lantai, dinding gejug , dinding batu bata, pintu, jendela, kolom batu, kolom kayu dan atap. Faktor budaya Madura, Jawa,

Proses dekripsi pesan hanya memerlukan dua masukan, yaitu: pesan rahasia yang berhasil diekstrak dari stego-object (stego- text) dan kunci privat..

Menurut sugiyono (2014 :2) metode penelitian pada dasarnya merupakan cara ilmiah untuk mendapatkan data dengan tujuan tertentu. Berdasarkan hal tersebut terdapat

Kapasitas kerja dari reaper adalah antara 30-35jam setiap hektar dengan satu alur pemotongan, sedangkan yang tiga alurpemotongan berkisar antara 18-20 jam tiap

Sesuai dengan Peraturan Pemerintah Nomor 55 Tahun 2015 tentang Perubahan Atas Peraturan Pemerintah Nomor 99 Tahun 2013 Tentang Pengelolaan Aset Jaminan Sosial Ketenagakerjaan,

Terdapat perbedaan gender yang positif tetapi tidak signifikan antara niat beli konsumen perempuan dengan niat beli konsumen laki-laki terhadap produk kosmetik