1
Dinamika Agama Lokal di IndonesiaPENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Masyarakat Indonesia mempunyai tradisi
keberagamaan yang sangat plural. Tidak hanya agama
mainstream yang sudah terlembaga, tetapi juga kepercayaan
lokal. Kepercayaan lokal dengan sistem ajaran, tradisi,
pengikut merupakan sesuatu yang hidup dalam masyarakat,
bahkan jauh sebelum negara Indonesia ada.
Pada era Orde Baru berdasarkan GBHN paham
keagamaan lokal digolongkan ke dalam aliran kepercayaan.
Pada waktu itu pembinaan aliran kepercayaan diarahkan agar
kembali kepada induk agamanya masing‐masing. Maka pada
waktu itu pula ada kebijakan, agama/kepercayaan lokal untuk
digabungkan dengan agama yang ajarannya mendekati.
Berbagai agama/kepercayaan lokal seperti Kaharingan
(Dayak), Aluk Todolo (Toraja) digabungkan ke dalam agama
Hindu dan agama Khonghucu digabungkan ke dalam agama
Buddha, sedangkan agama sunda wiwitan, agama Samin dan
aliran kebatinan digabungkan ke dalam agama Islam. Dengan
kebijakan pemerintah yang pada waktu itu sangat represif,
maka demi menyelamatkan diri mereka dengan sangat
terpaksa menerima penggabungan tersebut.
Dengan berakhirnya Era Orde Baru dan munculnya
Era Reformasi, maka hal‐hal yang tadinya tertutup, mulai
terbuka. Mereka yang tadinya tidak berani menyuarakan
aspirasinya, kini mulai berani menyuarakan tuntutannya.
Diantara tuntutannya ialah, mereka ingin agama/kepercayaan
lokal mereka diakui terpisah dari agama induknya, karena
menurut mereka dari segi ajaran sangat jauh berbeda. Dengan
mereka diberikan pelayanan sebagaimana agama‐agama
lainnya. Pertama kali tuntutan itu muncul dari agama
Kaharingan, Khonghucu, dan Sunda Wiwitan. Selama ini
informasi tentang keberadaan paham keagamaan lokal masih
belum banyak diketahui oleh pemerintah dan masyarakat
luas, meskipun Puslitbang Kehidupan Keagamaan telah dua
tahun berturut‐turut (tahun 2010 dan tahun 2011) melakukan
penelitian tentang agama lokal. Oleh sebab itu pada tahun
2012 ini penelitian tersebut dilanjutkan kembali dengan fokus
masalah pelayanan hak‐hak sipil mereka.
Secara yuridis, agama lokal berhak memperoleh
jaminan hak hidup dan pelayanan hak sipil dari negara pasal
29 UUD 1945 berbunyi: (1) Negara didasarkan pada
Ketuhanan Yang Maha Esa. (2) Negara menjamin kebebasan
setiap warga negara untuk memilih agamanya sendiri, dan
beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu. Kata
kepercayaan dalam pasal 29 ayat 2 itu telah memiliki multi‐
interpretasi yang dampaknya tidak sederhana. Bagi aliran
kebatinan (kepercayaan) seperti; Sapto Dharma, Sumarah,
Subud dan Pangestu yang merupakan aliran kepercayaan
utama yang keberadaannya jauh sebelum kemerdekaan
diproklamasikan, pasal 29 yang memuat kata ”kepercayaan”
dianggap merupakan pengakuan negara terhadap aliran
kebatinan itu setaraf dengan agama yang dilayani pemerintah.
Dalam penjelasan Pasal 1 UU N0. 1 /PNPS /1965
disebutkan bahwa terdapat 6 (enam) agama yang dipeluk
penduduk Indonesia ialah Islam, Kristen, Katolik, Hindu,
Buddha dan Konghucu (Confusius). Ini tidak berarti bahwa
agama‐agama lain, misalnya : Yahudi, Zarasustrian, Shinto,
3
Dinamika Agama Lokal di IndonesiaBadan Litbang dan Diklat Puslitbang Kehidupan Keagamaan,
2012 : 184).
Undang‐Undang No. 23 Tahun 2006 tentang
Administrasi Kependudukan (UU Adminduk) khususnya
pasal 64 ayat (1) juga tidak melarang agama‐agama lain selain
yang secara faktual dan sosiologis dipeluk oleh masyarakat
Indonesia. Namun, dalam ketentuan pasal 64 ayat (2) UU
Adminduk dinyatakan bahwa : “Keterangan tentang agama
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) bagi penduduk yang
agamanya belum diakui sebagai agama berdasarkan
ketentuan Peraturan Perundang‐Undangan atau bagi
penghayat kepercayaan tidak diisi, tetapi tetap dilayani dan
dicatat dalam database kependudukan”.
Oleh karena itu meskipun agama/kepercayaan lokal
seperti yang telah disebutkan diatas, tampaknya mengalami
stagnasi, namun komunitas pengikut agama/kepercayaan
lokal sebenarnya mengalami perkembangan pasang surut. Hal
itu terkait dengan adanya perubahan‐perubahan di dalam
dirinya sendiri, maupun perubahan yang diakibatkan karena
adanya perkembangan di sekitarnya. Faktor politik juga
seringkali turut mempengaruhi perubahan‐perubahan
tersebut.
B. Perumusan Masalah
Dari latar belakang tersebut di atas, masalah penelitian
ini dapat dirumuskan sebagai berikut:
1. Bagaimana perkembangan sistem agama/ kepercayaan
lokal dan persebaran pemeluknya ?
2. Bagaimana dinamika relasi sosial pengikut
3. Bagaimana realisasi hak yuridis pengikut agama/
kepercayaan lokal, terutama menyangkut pelayanan hak‐
hak sipil, baik sebelum maupun sesudah lahirnya UU
Adminduk No. 23 tahun 2006 (Akte kelahiran, Identitas
agama dalam KTP, Pencatatan pernikahan dan tempat
pemakaman)?
C. Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk:
1. Menggali informasi tentang perkembangan komunitas
pengikut agama/kepercayaan lokal dan persebarannya,
baik menyangkut paham dan keyakinan, pengikut,
organisasi maupun tradisi.
2. Menelusuri kebijakan politik pemerintah Indonesia
terhadap komunitas pengikut agama/kepercayaa lokal,
terutama terkait dengan pelayanan hak‐hak sipilnya
sebagai warga Negara, baik sebelum maupun sesudah
lahirnya UU No. 23 Tahun 2006 tentang Administrasi
Kependudukan( Akte kelahiran, Identitas agama dalam
KTP dan Pencatatan pernikahan maupun tempat
pemakamannnya).
3. Menelusuri dinamika relasi sosial komunitas pengikut
agama/kepercayaan lokal dengan masyarakat di luarnya.
D. Kegunaan Penelitian
Hasil penelitian ini dapat digunakan sebagai
rekomendasi kepada pimpinan Kementerian Agama dan
pihak‐pihak lain yang terkait dalam rangka peningkatan
kualitas pelayanan pemerintah terhadap hak‐hak sipil
5
Dinamika Agama Lokal di IndonesiaE. Definisi Operasional
Agama/kepercayaan lokal adalah agama yang
berkembang dan dianut oleh komunitas di daerah tertentu.
Agama lokal nusantara, memiliki berbagai nama, yang lazim
digunakan di tempat mereka hidup sehari‐hari.
Agama asli nusantara adalah agama lokal, yang lahir
dan tumbuh di nusantara, jauh sebelum adanya agama Hindu,
Buddha, Islam, Konghucu, Katolik, dan Kristen. Mungkin
banyak di kalangan masyarakat Indonesia sudah tidak lagi
mengetahui bahwa sebelum adanya agama‐agama tersebut di atas, telah ada agama lokal yang jauh lebih tua. Ciri‐ciri utama
agama lokal adalah keyakinan terhadap Tuhan Yang Maha
Esa, gotong royong dan saling menghormati hubungan antara
sesama manusia, alam dan Tuhan. Masyarakat penganut
agama/kepercayaan lokal menyebut nama agama‐agama
mereka sesuai dengan bahasa masing‐masing.
Setelah Indonesia merdeka, kesadaran untuk
mengembangkan agama/kepercayaan lokal tumbuh
berkembang sesuai UUD dan kebijakan Pemerintah terkait
dengan agama/ kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa.
Pada tahun 1965 muncul PNPS yang menyebutkan beberapa
agama yang hidup dan dianut oleh mayoritas penduduk di
Indonesia. Disamping itu terdapat kelompok‐kelompok
keagamaan/kepercayaan lokal yang pada masa Orde Baru
diintegrasikan kepada agama‐agama induknya, kebijakan
pemerintah terhadap penganut agama lokal juga diarahkan
kembali ke agama asal. Namun bagi penganut kepercayaan
yang tidak memiliki latar belakang ajaran pada agama besar,
pembinaannya ditangani oleh Kemendikbud.
F. Metodologi
Penelitian ini merupakan penelitian kualitatif dengan
pendekatan studi kasus dalam tradisi sosiologi/antropologi,
menggambarkan realitas sosial, penelitian ini bersifat deskriftif
analitik tidak menggunakan model thick description dari
Geertz, yaitu model yang lebih menekankan penggalian
makna dari pada sekedar menggali pola atau hukum
keteraturan (Geerts, 1973:5‐7).
Jenis Data yang Dihimpun
Adapun data yang dihimpun dalam penelitian ini
adalah sebagai berikut:
Data yang terkait dengan perkembangan komunitas
pengikut agama/kepercayaan lokal, baik menyangkut paham
dan keyakinan, organisasi maupun tradisi, digali melalui
observasi, wawancara dengan pihak‐pihak yang dipandang
mempunyai kompetensi dan penggalian dokumen yang
relevan.
Data yang terkait dengan perkembangan kebijakan
politik pemerintah, baik pusat maupun daerah terhadap
pengikut agama/kepercayaan lokal, terutama menyangkut
pelayanan hak‐hak sipilnya, digali melalui undang‐undang
dan regulasi di bawahnya, termasuk peraturan daerah.
Data yang terkait dengan dinamika relasi sosial
pengikut agama/kepercayaan lokal dengan masyarakat di
luarnya, digali dari pandangan komunitas kepercayaan lokal
terhadap masyarakat di luarnya dan juga sebaliknya.
Teknik Pengumpulan Data
Pengumpulan data dilakukan dengan melalui
7
Dinamika Agama Lokal di Indonesiamempelajari beberapa dokumen, literatur yang mendukung;
2) wawancara mendalam(indepth interview); 3) observasi
lapangan.
Kajian pustaka dilakukan di beberapa perpustakaan
untuk mempelajari buku‐buku hasil penelitian yang ada
kaitannya dengan masalah yang kita teliti.
Wawancara mendalam dilakukan terhadap pihak yang
terkait dengan penelitian ini antara lain: pimpinan kelompok
paham keagamaan lokal yang diteliti, pengikutnya,
pemerintah daerah, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan
dan pariwisata daerah, pimpinan ormas keagamaan, tokoh
agama, tokoh masyarakat, tokoh adat, aparat pemerintah
setempat (Kantor Kementerian Agama, Kantor catatan sipil,
Kantor Urusan Agama, Camat, Lurah/Kades, Kejaksaan/
intelegen, Kepolisian, Pengawas Aliran Kepercayaan
Masyarakat (Pakem).
Sedangkan observasi lapangan dilakukan antara lain
mengenai aktivitas sehari‐hari pengikut paham keagamaan
lokal, tradisi yang mereka jalankan serta interaksi sosial antara pengikut dan bukan pengikut, memperhatikan perkembangan
agama/kepercayaan lokal, baik sebelum dan sesudah
mengalami perkembangan hingga kini.
G. Sasaran dan Lokasi Penelitian
Komunitas yang masih memelihara kepercayaan
agama lokal di Indonesia jumlahnya sangat banyak, seperti
penelitian agama lokal yang pernah dilakukan Puslitbang
Kehidupan Keagamaan pada tahun 2010 adalah: 1) Paham
Madrais di Cigugur Kuningan; 2) Himpunan Penghayat
Kepercayaan (HPK) Masade/Islam Kaum Tua di Sulawesi
Reformasi di Yogyakarta; 4) Sapto Dharmo di Provinsi Daerah
Istimewa Yogyakarta; 5) Aluk To Dolo di Tana Toraja
Sulawesi Selatan; 6) Agama Kaharingan pada Era Reformasi di Kalimantan Tengah; 7) Boda Sasak di Lombok Utara.
Selain itu penelitian agama/kepercayaan lokal yang
juga telah dilakukan oleh Puslitbang Kehidupan Keagamaan
pada tahun 2011 adalah: 1) Komunitas Towani Tolotang di
Kabupaten Sidrap Provinsi Sulawesi Selatan; 2) Komunitas
Parmalim di Sumatera Utara; 3) Komunitas Samin di
Kabupaten Blora Jawa Tengah; 4) Komunitas Kampung Naga
diTasikmalaya; 5) Komunitas Dayak Hindu Buddha Bumi
Segandu di Indramayu Jawa Barat; dan 6) Komunitas Suku Anak Dalam di Jambi.
Sedangkan penelitian pada tahun 2013 ini
melanjutkan penelitian‐penelitian sebelumnya, namun lokasi
agama/kepercayaan lokalnya berbeda, dengan permasalahan
yang sama, tetapi fokus penekanannya pada pencatatan
perkawinan, identitas agama dalam KTP dan akte kelahiran
serta tempat pemakamannya. Agama‐agama lokal yang dikaji
meliputi: 1) Agama/Kepercayaan Merapu di Sumba NTT; 2)
Agama/Kepercayaan Kasepuhan Ciptagelar Gunung Halimun
di Sukabumi Jawa Barat; 3) Agama/Kepercayaan Sunda
Wiwitan Suku Baduy di Desa Kanekes Lebak Banten; 4)
Agama/Kepercayaan Islam Wetu Telu di Bayan Lombok Utara
NTB; 5) Agama/Kepercayaan Aliran Kebatinan Perjalanan di
Kecamatan Ciparay Kabupaten Bandung; 6) Agama/
Kepercayaan Buhun orang Kranggan Jati Sampurna Kota
Bekasi Jawa Barat; 7) Agama/Kepercayaan Masyarakat
Kampung Dukuh Dalam;
Agama/Kepercayaan lokal tersebut dipilih dengan
9
Dinamika Agama Lokal di Indonesiabersifat lokal, artinya dianut oleh komunitas yang terbatas; (2)
paham keagamaan/kepercayaan tersebut bertahan hidup
dalam berbagai perkembangan sosial; (3) ajaran dan ritual
keagamaan/kepercayaan tersebut masih mereka patuhi dan
taati oleh komunitasnya yang berbentuk tradisi hidup (living
tradition), seperti: kelahiran, kematian/pemakaman,
perkawinan, dan lain sebagainya; (4) mempunyai dinamika
yang menarik, baik terkait dengan sikap politik pemerintah
terhadap mereka, maupun terhadap lingkungan sosial dimana komunitas itu berada.
H. Studi Kepustakaan
Kajian terkait agama/kepercayaan lokal yang pernah
dilakukan Puslitbang Kehidupan Keagamaan pada tahun
2012, yaitu:
1) Komunitas Parmalim, secara umum telah mengalami
stagnasi. Namun tradisi adat mereka dapat dipertahankan
oleh para pengikutnya. Kebijakan pemerintah menyangkut
pelayanan hak‐hak sipilnya belum mencerminkan
implementasi dari UU No. 23 tahun 2006 tentang
Administrasi Kependudukan. Sampai hari ini belum tertera
di kolom kartu tanda penduduk (KTP) yang
mencantumkan agama mereka. Akte kelahiran dan
pencatatan nikah juga belum dilayani oleh pemerintah
meskipun sudah ada perintah dari Undang‐Undang. Relasi
sosialnya dengan masyarakat luar terutama terhadap
agama mainstream sangat baik dan sangat toleran;
2) Kepercayaan Suku Anak Dalam, telah mengalami
perubahan, mereka yang semula tidak menganut agama
apapun, sebagian sudah menjadi mu’alaf muslim dan ada
pendataan secara serius dan belum memberikan pelayanan
maksimal terkait hak‐hak sipilnya belum terlayani dengan
baik (pelayanan KTP, Akte kelahiran, pencatatan
perkawinan dan kematian). Relasi sosial terhadap
internalnya cukup baik, namun terhadap kelompok agama
mainstream mereka tidak mengenalnya;
3) Komunitas Dayak Hindu Budha Bumi Segandu di Jawa
Barat. Komunitas tersebut sejak awal sudah mengalami
perubahan baik dari segi nama maupun ajaran mereka.
Perubahan tersebut dilakukan dalam rangka menghadapi
tantangan yang terjadi karena kondisi sosial yang
berubah.Pemerintah setempat belum melakukan pendataan
terhadap komunitas tersebut. Selama ini menurut
keterangan camat Losarang (Ahmad Midan) mengatakan
komunitas agama lokal baru mengurus KTP ketika beliau
baru mau melakukan pernikahan, karena menurutnya KTP
itu tidak penting. Salah satu penyebab keengganannya
untuk memenuhi hak sipil mereka karena adanya
keharusan mengisi kolom agama, sementara mereka tidak
mengikatkan diri pada salah satu agama maupun
organisasi kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa.
Relasi sosial terhadap internal maupun eksternalnya cukup baik.
4) Kepercayaan Masyarakat Kampung Naga di Kabupaten
Tasikmalaya Jawa Barat. Penduduk Kampung Naga
mayoritas beragama Islam. Islam sebagai agama mayoritas
penduduk, diterima dan diakomodasi dalam tradisi
budaya masyarakat Kampung Naga dengan warna etnik
Sunda. Pencatatan perkawinannya dilakukan di KUA
Kecamatan Salawu Kabupaten Tasikmalaya, karena
11
Dinamika Agama Lokal di Indonesiakelahiran dan kematian dilakukan di Kantor Catatan Sipil.
Relasinya dengan masyarakat sekitar dan dengan ormas‐
ormas lainnya berjalan dengan baik.
5) Kepercayaan Sedulur Sikep (Samin) di Kabupaten Blora
Jawa Tengah, Pada era reformasi hingga kini komunitas
Samin memperoleh kebijakan yang spesifik, seperti
identitas agama dalam KTP boleh ditulis Samin atau boleh dikosongkan/tanda setrip dan akte kelahiran dilayani sama
dengan penduduk lainnya. Dalam masalah perkawinan,
pemerintah belum memberikan payung hukum, sehingga
mereka masih melakukan berdasarkan hukum adat dan
masih menunggu payung hukum dari pemerintah.Relasi
sosial sesama komunitas Samin cukup baik dan akrab
bahkan saling membantu dalam kebutuhan hidup sehari‐
hari. Tetapi relasi sosial dengan kelompok mainstream
tidak terlihat karena komunitas Samin hidup
mengelompok seakan‐akan membuat komunitas tersendiri
dan mereka jarang ke luar rumah kecuali pergi ke kebun
dan keladang.
6) Kepercayaan Towani Tolotang di Kabupaten Sidrap
Sulawesi Selatan, penganut agama lokal ini hingga
sekarang masih bertahan. Mereka tumbuh dan berkembang
sesuai dengan perkembangan zaman, tidak menuntut apa
yang tidak menjadi hak mereka. Identitas agama dalam
KTP dituliskan agama Hindu untuk mencari keselamatan
dan ketentraman.Masalah perkawinan mengikuti cara‐cara
agama Hindu, yaitu calon pengantin laki‐laki mendatangi
Petugas Pembantu Pencatat Perkawinan.Relasi sosialnya
terjadi interaksi terhadap sesama golongan apapun yang
I. Kerangka Teori
Menurut para antropolog dan sosiolog, agama
merupakan sistem keyakinan yang dianut dan diwujudkan
dalam tindakan oleh suatu kelompok atau masyarakat dalam
menginterpretasikan dan memberi respon terhadap apa yang
dirasakan dan diyakini sebagai sesuatu yang suci dan gaib.
“Dari pengertian tersebut maka terjadinya perubahan Paham
dan keyakinan keagamaan sangat dimungkinkan. Perubahan
tersebut disebabkan karena perbedaan‐perbedaan interpretasi
dan cara pandang dalam memahami situasi‐situasi yang terus
berubah atau ilmu pengetahuan yang berkembang”
(Abdurrahman Mas ‘ud, 2009).
Perbedaan interpretasi ajaran atau doktrin sebuah
agama/kepercayaan lokal mengakibatkan timbulnya
perbedaan keyakinan, faham atau aliran keagamaan. Jadi
secara teoritis dan praktis perbedaan interpretasi terhadap
doktrin agama yang menimbulkan aliran agama baru pada
tingkat pemahaman pada prinsipnya tidak bisa dihindarkan
terutama karena adanya perbedaan tingkat pengetahuan,
pemahaman dan pengamalan serta perkembangan budaya
masyarakat.
Sistem kepercayaan yang dianut tidak disebut berasal
dari Tuhan, tetapi sebagai produk kebudayaan manusia itu
sendiri, sebagaimana dikemukakan Clifford Geertz (1981),
agama pada dasarnya merupakan produk kebudayaan.
Karena itu, sebuah sistem keyakinan tidak bisa dilepaskan
dari kebudayaan masyarakatnya. Persoalannya adalah
bagaimana posisi individu dan komunitas pengikut
agama/kepercayaan lokal dalam statusnya sebagai warga
13
Dinamika Agama Lokal di Indonesia
AGAMA/KEPERCAYAAN MERAPU DI SUMBA NUSA TENGGARA TIMUR
Oleh : Wakhid Sugiyarto
GAMBARAN UMUM WILAYAH
Sumba Selayang Pandang
Penelitian agama Marapu dilaksanakan di daratan
Sumba Provinsi Nusa Tenggara Timur atau disebut ‘Bumi
Marapu” tepatnya di Kabupaten Sumba Barat. Bumi Marapu
adalah sebutan lain bagi Tana Humba atau Sumba untuk
keseluruhan daratan Sumba.
Agama Marapu sebagai agama komunitas masyarakat
daratan Sumba hingga kini masih tetap eksis, meskipun secara
administrasi kependudukan mereka sudah semakin terdesak
dan digantikan sebagai orang Kristen dan Katolik. Menurut
informan dari pihak Kristen dan Katolik, hal itu dipandang
sebagai cara adaptasi, agar mereka dapat berperan sejajar
dengan warga negara Indonesia lainnya di seluruh Sumba
dalam aspek kehidupan sosial, pendidikan, ekonomi dan
politik.
Di sepanjang pantai timur hingga pantai barat
tersimpan misteri agama Marapu dan rumah‐rumah adat yag
menjulang tinggi diperbukitan maupun di ngarai, altar
megalit dan batu kuburan keramat yang nampak menghiasi
setiap depan rumah, pojok ruang kota, kampung (kabisu) dan
dusun (paraingu) kiri kanan sepanjang jalanan trans Sumba.
Di tengah‐tengah kota Waikabubak sebagai ibukota
Kabupaten Sumba Barat, juga dapat disaksikan kampung‐
kampung adat dengan rumah‐rumah adat joglo yang tinggi
menjulang beratapkan ilalang. Keberadaanya menjadi obyek
wisata bagi turis‐turis asing, meskipun bagi kita sendiri
malah menjadi simbol peninggalan peradaban jaman batu
15
Dinamika Agama Lokal di IndonesiaRumah‐rumah itu di dalamnya bercampur aduk antara
penyimpanan bahan makanan, tempat memasak, tidur,
buang hajat, kandang babi, kandang kerbau, anjing dan
gudang menjadi sesuatu yang mengesankan adalah lokasi
yang jorok itu dibanggakan dan diperlihatkan kepada para
turis. Kondisi lingkungan perkampungan adat yang terkesan
jorok itu, bisa saja menurut kita memerlukan rehabilitasi total,
supaya lingkungan berubah menjadi lingkungan yang sehat,
dalam hal ini tentu saja harus melibatkan Pemerintah Daerah,
karena hal tersebut memerlukan dana besar. Tetapi bagi para
penghuninya, kondisi lingkungan seperti itu ternyata sama
sekali tidak mengganggu kehidupan sehari‐harinya, mereka
bisa hidup dengan tenang, seperti tidak ada problem apapun
berkaitan dengan kondisi lingkunganya.
Kondisi Geografis dan Demografis
Kondisi daratan tanah pulau Sumba secara topografis
terdiri dari perbukitan, lahan daratan rendah yang landai dan
bertingkat‐tingkat. Wilayahnya bersuhu tinggi sehingga
mengakibatkan batu‐batuan menjadi mudah lapuk. Jenis
tumbuhan yang dapat tumbuh pada umumnya berupa
tanaman keras seperti jati, kelapa, aren dan sebagainya.
Sedangkan hewan peliharaan umumnya adalah kerbau, sapi,
babi, kuda dan anjing sesuai dengan keadaan alamnya.
Masyarakat Sumba umumnya bermata pencarian
sebagai petani ladang, sedikit sawah basah, tadah hujan dan
peternak. Kebiasaan bertani dan beternak diwariskan oleh
nenek moyang sejak zaman dulu. Sekalipun pulau Sumba
dikelilingi lautan luas, namun sedikit orang Sumba yang
menjadi nelayan tradisional, sebagaimana orang‐orang Bima,
Jumlah penduduk di Pulau Sumba ada sekitar 699.686
jiwa. Dilihat dari persebaran jumlah penduduknya adalah
Sumba Barat Daya, 290.539 jiwa, Sumba Timur 232.237 jiwa,
Sumba Barat 113.189 jiwa, dan Sumba Tengah 63.721 jiwa. Di
Sumba Barat kepadatan penduduknya 153 jiwa/km2, terdiri
dari laki‐laki 58.638 jiwa dan perempuan 54.551 tergabung
dalam 256.963 Kepala Keluarga. Penduduk terpadat adalah
Kecamatan Kota Waikabubak yaitu 29.494 jiwa; Loli 27.785
jiwa; Tana Righu 18.000 jiwa; Lamboya 16.097 jiwa; Wanokaka 14.375 jiwa dan Kecamatan Lamboya Barat berpenduduk 7.438 jiwa (Kabupaten Sumba Dalam Angka, 2012).
17
Dinamika Agama Lokal di IndonesiaTEMUAN HASIL PENELITIAN
Kehidupan Sosial Keagamaan
Secara umum Provinsi NTT masih memperlihatkan
lima (5) agama besar yang dilayani Pemerintah, sementara
Khong Huchu belum tampak prosentasenya. Namun,
sesungguhnya, di seluruh wilayah NTT masih banyak
penganut agama lokal, tetapi dilihat dari data BPS, tidak
nampak, sehingga tidak ada data resmi jumlah penganut
agama lokal di seluruh Provinsi NTT.
Secara administratif, penduduk Sumba Barat mayoritas memeluk agama Kristen 69.406 jiwa, Katolik 23.483 jiwa, Islam
9.291 jiwa dan Hindu 199 jiwa (Kabupaten Sumba Barat
Dalam Angka, 2012). Berdasarkan data lainnya jumlah umat
Kristen 55.635 jiwa, umat Katolik 22.084 jiwa, umat Islam 8.543 jiwa, umat Hindu 198 jiwa dan umat Marapu sebanyak 24.198 jiwa (Kabupaten Sumba Barat Dalam Angka, 2010).
Menurut informan, dari kalangan bangsawan dan elit
politik Sumba maupun orang‐orang penting di Sumba
mengatakan bahwa sebahagian dari kami masih taat
menjalankan ritual Marapu, meskipun sebagian besar lainnya
sudah ke gereja. Hal ini sebagaimana dinyatakan juga oleh
Rambu Sama Pati, yang masih seorang darah biru di Sumba
Barat, adik kandung dari Bupati Sumba Tengah Umbu Sappi
Pateduk, mengatakan bahwa dirinya dan umumnya para
politisi dan birokrat meskipun sudah Kristen, tetap masih
menjalankan tradisi Agama Marapu. (diolah dari hasil
wawancara dengan Rambu Sama Pati, 12 April 2013). Dari
hasil wawancara dan FGD, diperoleh informasi, bahwa para
pendeta, guru, Dinas Pendidikan dan Pemerintah telah
Marapu, yaitu dengan menggiring anak‐anak usia sekolah ke
sebuah kandang yang sudah disiapkan dan tidak ada pilihan
lainya, mereka harus memiliki surat babtis di semua jenjang
pendidikan. Anak‐anak usia sekolah itu termasuk orang
tuanya, masuk ke agama Kristen/Katolik, sementara yang
mereka kehendaki adalah dididik sesuai agama Marapu. Alasan menggiring anak‐anak usia sekolah ke kandang agama Kristen atau Katolik, ternyata cukup logis, yaitu bahwa
di sekolah harus ada pelajaran agama, bahkan nilai agama
minimal harus 6. Jika anak murid sekolah tidak ada nilai
pelajaran agamanya maka siswa tersebut tidak akan naik kelas
di semua jenjang pendidikan. Sementara itu, agama Marapu
yang memang mayoritas itu masih dipandang bukan sebagai
agama, karena tidak ada kitabnya, sehingga tidak dapat
diajarkan dan tidak dapat disusun kurikulumnya, tidak ada
gurunya, dan tidak ada pula pengawas agama Marapu. Satu‐
satunya jalan yaitu harus diajarkan dengan ajaran agama
formal yang ada, yaitu Kristen atau Katolik. Sementara itu
berkaitan dengan hak pendidikan agama bagi anak itu, terikat
dengan agama apa yang dianut oleh siswa. Jika agamanya
Kristen, maka didatangkanlah guru agama Kristen, dan jika
siswanya beragama Katolik, maka didatangkanlah guru
agama Katolik. Untuk mengetahui kebutuhan itu, maka satu‐
satunya jalan adalah dengan surat wajib babtis dari pendeta
Kristen ataupun Katolik, sehingga sekolah tidak
dipersalahkan oleh siapapun, karena pendidikan agama yang
diberikan kepada siswa sudah sesuai dengan siswa yang telah
memiliki surat babtis dari gereja. Jika tidak di babtis, berarti
siswa tersebut tidak bisa sekolah dan tidak bisa menjadi
pegawai negeri, tentara, polisi dan sebagainya yang
19
Dinamika Agama Lokal di IndonesiaInforman lain mengatakan bahwa dahulu ia ketika
masuk Sekolah Dasar diharuskan memiliki surat babtis yang
dikeluarkan oleh Gereja, jika tidak, maka ia tidak dapat
sekolah. Oleh karena itu ia terpaksa minta surat babtis kepada
pendeta Gereja Kristen Sumba (GKS) agar bisa bersekolah.
Sementara itu sampai hari ini, ia tidak pernah tahu di dalam
gereja itu ada apa. (diolah dari hasil wawancara dengan Weny Dela Kondo, 13 April 2013).
Informan lainnya juga mengatakan, bahwa memang
salah besar ketika semua lembaga pendidikan negeri dan
swasta di semua jenjang mengharuskan calon siswa untuk
memiliki surat babtis dari pendeta di gereja. Sebab masalah
keyakinan tidak boleh dipaksakan seperti itu dan masalah
agama merupakan hak azasi manusia yang paling mendasar
yang tidak bisa diganggu gugat. Persoalanya adalah bahwa
agama Marapu ini tidak ada kitab suci tertulisnya, sehingga
timbul kesulitan jika kelompok lain ingin membuktikan
bahwa Marapu adalah agama. Karena semua orang
setidaknya 85% masyarakat ber‐KTP sebagai umat
Kristen/Katolik, tetapi seluruh perjalanan hidupnya masih
bernilai sebagai orang Marapu. Oleh karena itu tidak heran
jika semua gereja sepi pada hari minggu, karena sebagian
besar orang masih beragama Marapu. Komunitas Marapu
menjadi komunitas tak berdaya berhadapan dengan definisi
agama yang diberikan oleh orang lain, pemerintah dan para
agamawan lain, karena pemerintah tetap menempatkan
Marapu sebagai aliran kepercayaan dan bukan sebagai agama.
Cita‐cita untuk mendirikan lembaga adat Marapupun masih
terkendala oleh desakan para pendeta agar pemerintah jangan
sampai melegalkan Marapu sebagai agama, karena akan
Barat. Pendirian Lembaga Adat sudah langsung mendapat
kecurigaan dan reaksi dari para pendeta Kristen dan Katolik,
karena ia tahu bahwa dengan pendirian lembaga adat Marapu akan menjadi langkah awal dari pengukuhan Marapu sebagai
agama. Dan merekapun mengetahui bahwa begitu Marapu
dikukuhkan sebagai agama, maka sebagian besar penduduk
akan berpindah ke agama Marapu. Hasilnya adalah amanat
kepada Pemerintah Daerah untuk memfasilitasi komunitas
adat Marapu, yaitu sebuah kantor yang representatif bagi
lembaga adat tersebut dan sekaligus menjadi pusat informasi
yang berkaitan dengan Marapu. Sementara ini, informasi
berkaitan dengan Marapu di bawah kewenangan Dinas
Pariwisata, yang menurut Lele sama sekali tidak paham seluk
beluk kepercayaan dan adat Marapu. Bahkan pegawainya
malah menjadi guide bagi wisatawan dan bukan menyiapkan
paket‐paket dan inovasi pariwisata, dan dengan jengkelnya
Lele Dapa Wole mengatakan, pegawai di Dinas pariwisata
termasuk kepala Dinasnya hanya makan gaji buta. (diolah dari
hasil wawancara dengan Lele Dapa Wolu dan Ana Angelina
Lele, 1 Mei 2013).
Sampai hari ini ada ketentuan bahwa setiap siswa
ketika akan mendaftarkan dirinya ke sekolah di semua jenjang harus memiliki surat babtis dan itu masih berlaku. Merekapun
seolah‐olah masuk Kristen dengan surat babtis itu, tetapi
sesungguhnya dalam kehidupan dari lahir hingga matinya
masih dengan cara kepercayaan, nilai dan rasa agama
Marapu, termasuk Lele Dapa Wole dan Ana Angelia Lele.
Alasan bersedia di babtis dengan nama Kristen dan ber‐KTP
Kristen juga diilhami oleh kenyataan lapangan, bahwa jika
tidak memiliki surat babtis itu, maka anak‐anak dari keluarga
21
Dinamika Agama Lokal di Indonesiapemerintahan atau sektor lain yang memerlukan keterangan
agamanya. Jadi mereka masuk agama Kristen, sebenarnya
karena tidak ada pilihan dan digiring masuk kandang yang
tidak dikehendakinya. Oleh karena itu dengan cara demikian, pemerintah dan semua lembaga pendidikan telah menggiring
anak‐anak Marapu masuk Kristen, setidaknya secara formal.
Soal mereka masih Marapu atau taat dan belum menjalankan
nilai‐nilai dan ajaran Kristen itu hanya soal waktu saja, yang
kemungkinan besar dalam beberapa generasi dipastikan akan
meninggalkan kepercayaan lamanya.(diolah dari hasil
wawancara dengan Oktavianus Bobsini, 28 April 2013).
Agama Islam sudah diperkenalkan kepada orang‐
orang Sumba beberapa abad yang lalu oleh orang‐orang dari
Bima, tetapi belum mampu menembus blokade tradisi
Marapu yang sangat kuat di masyarakat. Hal ini adalah
karena perbedaanya terlalu banyak, bisa dikatakan 180 derajat
bertentangan dengan Islam, sementara mereka tidak mau ada
konflik secara agama. Tidak seperti misalnya kaum Paderi di
Sumatra Barat dan Tapanuli Selatan, di mana kelompok
Paderi atau kelompok Islam pembaharu melakukan perang
total melawan kaum adat. Jika di Sumatra Barat Kaum Paderi
perang melawan kaum adat yang sudah muslim, sementara di
Tapanuli Selatan Kaum Paderi perang melawan kaum Malim.
Korban dari kedua belah pihak sangat besar, apalgi kaum adat
kemudian berkianat yaitu dengan meminta bantuan Belanda,
sementara kaum Malim banyak menjadi korban pembersihan
oleh karena tradisi Malim yang bertentangan dengan prinsip
keagamaan kaum Islam pembaharu.
Ketidakmampuan menembus kaum adat Marapu ini
menyebabkan pemeluk Islam sampai hari ini masih sangat
dipeluk di kalangan suku Bima dan beberapa orang Arab seperti di Sumba Timur dan Tambolaka. Barulah sekitar tahun
1990‐an orang‐orang Jawa muslim mulai berdatangan yang
akhirnya ikut meramaikan dinamika kehidupan keagamaan
muslim di daratan Sumba. Orang Jawa di Sumba dikenal
sebagai pekerja keras, tabah menghadapi kesulitan, ulet dan
sabar, jujur dan dapat dipercaya, dermawan dan suka beramal
shalih, apalagi untuk pembangunan rumah ibadah, dan
mereka rajin bersedekah kepada orang‐orang Sumba di
pedesaan. Mereka setiap beberapa bulan sekali mengirim
sembako ke pedesaan muallaf dalam jumlah besar, seperti ke
Mamboro, Lamboya, dan Wanokaka yang akhirnya juga
diikuti oleh orang‐orang Bima. Masa depan agama Islam
cukup baik di Sumba meskipun Kristen dan Katolik serta
Pemerintah telah berkomplot melakukan planting curch, yaitu
mendiamkan wajib surat babtis bagi anak usia sekolah yang
ingin bersekolah di semua jenjang pendidikan. Sayang banyak
pula di antara orang Jawa yang merantau ke Waikabubak ini
tidak menjalankan shalat, meskipun rajin ikut pengajian
paguyuban Jawa yang jumlahnya ada 5 kelompok majelis
taklim. (diolah dari hasil wawancara dengan Pua Monto
Umbu Ney, 23 April 2013).
Sebagai umat beragama tentu saja memiliki banyak
rumah ibadat yang dipergunakan untuk sembahyang atau
menghadap Yang Kuasa, begitupun umat beragama di
kabupaten Sumba Barat. Agama Marapu memiliki 5 tempat
ibadat secara khusus. Sementara yang umum adalah dimana
saja ia mempunyai keperluan, di situ ia sembahyang atau
dalam bahasa Marapunya adalah Noppa memohon kepada
Amaholu Amarawi. Rumah ibadat agama Marapu ini bukan
23
Dinamika Agama Lokal di Indonesiamodern, tetapi hanya sebuah tanah lapang kemudian di salah
satu sisinya sebelah barat terdapat menara batu sebagai
simbol untuk menuju kepada yang disembah yaitu Amaholu
Amarawi. Itulah sebabnya, orang di luar Marapu memahami
bahwa Marapu hanyalah kepercayaan yang menyembah
kepada batu atau berhala, sementara dalam prakteknya batu
itu simbol Marapu belaka, sebagaimana umat Kristen di
dalam gerejanya terdapat patung Yesus atau Katolik yang
didalamnya ada patung Yesus dan Bunda Maria dan dalam
Islam versi tradisional ada wasilah. Oleh karena itu
pertanyaan Lele adalah apa bedanya Marapu dengan Nasrani,
Khonghuchu, Budha dan Hindu yang secara kasat mata juga
menyembah patung. Tetapi jika bertanya kepada yang
bersangkutan, benarkah ia menyembah patung Buddha,
patung Yesus dan Bunda Maria? Yang membedakan antara
Kristen, Katolik, Buddha dan Konghchu dengan agama
Marapu adalah bahwa Kristen, Katolik, Buddha dan
Konghchu kitab sucinya tertulis secara jelas, sehingga
siapapun bisa belajar dan mengacu kepada kitab suci itu.
Sementara, sistem kepercayaan, ritual, dan tradisi agama
Marapu yang jauh lebih banyak dan padat makna
dibandingkan dengan yang disebut di atas, tetapi tidak ada
kitab suci tertulisnya. Semua praktek keagamaanya mengalir
begitu saja dari generasi ke generasi melalui tutur dan tradisi
yang terus terpelihara hingga hari ini. Tidak ada perubahan
apapun dalam peraktek keagamaan Marapu, karena begitu
ada perbedaan dengan yang sebelumnya langsung ada yang
mengingatkannya. (diolah dari hasil wawancara dengan Lele
Dapa Wollu, 1 Mei 2013).
Dalam kehidupan keagamaan, umat Kristen memiliki
di Kecamatan Kota Waikabubak terdapat 14 gedung gereja,
Loli terdapat 45 buah, Wanokaka 25 buah, Lamboya 24 buah,
Lamboya Barat 8 buah dan di Kecamatan Tana Righu
sebanyak 47 buah. Secara keseluruhan, yang layak pakai 118
gereja, karena umat yang ada masih merupakan penganut
agama Marapu, sehingga gereja yang rusak itu tidak
diperbaiki. Jumlah umat Kristen, menurut data Kementerian
Agama, April 2013 berjumlah 64.975 jiwa dari keseluruhan
jumlah penduduk Kabupaten Sumba Barat yang
berjumlah123.189 jiwa. Untuk pembinaan keagamaan di
kalangan umat Kristen, terdapat 174 rokhaniawan. Dalam
bidang pendidikan, umat Kristen memiliki lembaga
pendidikan Kristen sebanyak 17 SD, 2 SMP dan 1 SMA. Di
samping itu juga memiliki satu yayasan namanya Yayasan
Pendidikan Kristen (YAPKRIS) yang memiliki sebuah SMA
Kristen Weekarow. Sekolah Tinggi Teologi (STT) yang ada
satu‐satunya adalah STT Gereja Kristen Sumba (GKS) di
Waingapu (Data Keagamaan Kementerian Agama Kabupaten
Sumba Barat tahun 2013).
Sementara itu umat Katolik memiliki gereja 8 buah,
memiliki SD Katolik Santa Ana 1 buah, SMP Katolik Santo
Yusuf dan 1 SMA Katolik Santo Yusuf. Umat Islam memiliki
13 buah masjid yang letaknya terpencar di berbagai
kecamatan terutama di Kecamatan Kota Waikabubak,
kecamatan Tana Righu dan Kecamatan Wanokaka, sedangkan agama lainnya tidak memiliki rumah ibadat.
Sejarah Marapu
Masyarakat di daratan Sumba pada umumnya sampai
hari ini masih beragama Marapu, meskipun secara
25
Dinamika Agama Lokal di Indonesiapenulis tentang Marapu mengotak‐atik dari mana istilah
Marapu, yang setelah dikonfirmasi dengan pemangku adat,
otak‐atik mereka itu tidak ada yang benar. Justru ada kesan
memojokan komunitas masyarakat punya agama. Misalnya,
kata ’Marapu’ terdiri dari dua kata, ma dan rapu. Kata ma
berarti ’yang’. Sedangkan kata rapu berarti ’dihormati’ dan
’didewakan’. Atau mera dan appu. Mera artinya ’serupa’ dan
appu artinya ’nenek moyang’. Jadi Marapu artinya ’serupa
dengan nenek moyang’. Dalam kaitannya ini, ’Marapu”
digiring menjadi berarti merupakan kepercayaan asli orang
Sumba yang menyembah nenek moyang. Akhirnya
defnisipun diseret kearah pemujaan kepada arwah nenek
moyang atau leluhur yang didewakan. Otak‐atik kata Marapu
ini menurut informan sama sekali bertentangan dengan
kenyataan penganut Marapu, karena penganut Marapu tidak
menyembah roh nenek moyang dan juga bukan penyembah
dewa. Masyarakat Marapu menyembah Amaholuamarawi,
sementara para roh leluhur hanyalah sebagai wasilah, karena
mereka beraggapan bahwa memohon langsung kepada
Amaholuamarawi adalah kelancangan. Penyebutan
Amaholuamarawi pun tidak sering dilakukan, yang disebut
adalah sifat‐sifatnya Amaholuamarawi saja, sehingga posisi
para roh leluhur, utamanya roh para rato rumatta adalah
menjadi wasilah atau perantara dalam setiap peribadatan dan
upacara ritualnya (diolah dari hasil wawancara dengan Lidah Mawo Mudde, 26 April 2013).
Ada lagi yang melihat kata mera dan appu, kata mera
artinya “serupa” dan appu artinya “nenek moyang”, jadi
Marapu adalah serupa dengan nenek moyang atau kata
Marapu berasal dari kata ma yang artinya “yang” dan rappu
sebagai “telah rampung”, “telah beres” “telah selesai”. Maksudnya dengan “telah rampung, telah beres, telah selesai”
adalah dalam hubungan dengan nenek moyang yang telah
meninggal setelah selesai dikuburkan sesuai dengan aturan
adat istiadat. Pemaknaan seperti ini dipersalahkan oleh Rato
Rumatta, karena dianggap seperti asal nyambung belaka,
tidak sesuai denga kenyataan.(diolah dari hasil waancara
dengan Rato Rumatta Lado Rege Tera, 25 April 2013).
Sementara itu dalam doa‐doanya, mereka selalu
meyebut Mekah dan Madinah. Di mana mereka percaya
bahwa jika jasad telah dikuburkan, sementara jiwanya telah
berada di tempat yang disediakan oleh Tuhan Yang Mahaesa
yaitu di Makkah dan Madinah. Jiwa yang berada di Makkah
dan Madinah itu kemudian menjadi wasilah dan dapat
menjadi penghubung antara manusia dengan Amahol
Amarawi, Tuhan Yang Maha Esa. Amaholu Amarawi adalah
kekuatan supra natural yang berpribadi atau pun tidak yang
tampil dalam berbagai bentuk dan juga dapat berarti suci,
sakti, mulia sehingga harus dihormati dan tak dapat
diperlakukan sembarangan.(diolah dari hasil wawancara
dengan Lidah Mawo Mudde, 26 April 2013 dan Rato Rumatta Lado Rege Tera, 25 April 2013).
Sistem Kepercayaan dan Mitos dalam Komunitas Marapu
Sebagaimana dipahami dalam kajian antropologi,
bahwa sistem kepercayaan dalam suatu religi mengandung
bayangan manusia tentang wujud dunia gaib, malaikat,
makhluk halus, kekuatan sakti, kepercayaan mengenai hidup
dan mati serta kesusastraan suci dan sebagainya. Orang
Sumba menyadari bahwa ada suatu dunia yang tidak tampak
27
Dinamika Agama Lokal di Indonesiaakalnya, yaitu dunia gaib. Dunia gaib ini dihuni oleh para roh‐
roh, makhluk‐makhluk halus dan kekuatan‐kekuatan sakti
yang tidak dapat dikuasai oleh manusia secara biasa, karena
itu sangat ditakuti. Agar segenap penghuni dunia gaib itu
menjadi senang atau menaruh belas kasihan sehingga tidak
membawa bencana kepada mereka dan bahkan melindungi
serta membantu kehidupanya, maka dalam menghadapi
penghuni dunia gaib ini orang Sumba menyandarkan diri
serta memohon agar disampaikan permintaanya atau do’a‐
do’anya kepada Amaholu Amarawi. Orang Sumba memiliki
kepercaaan kepada malaikat yang memiliki tugas masing‐
masing dan memiliki tempat persemayaman sendiri di rumah
suatu kabihu yang memwasilahkan semua permintaanya
kepada Tuhan. Para malaikat dan roh‐roh para Rato biasanya
tidak selalu berada di tempat persemayamannya, kecuali bila
sedang ada upacara tertentu. Para arwah leluhur yang
memiliki wasilah itu sangat dimuliakan, dihormati, selalu
disebut dalam doa’anya dan dipercaya sebagai lindi
papakalangu‐ketu papajualangu (titian yang menyeberang‐
kan, kaitan yang menjulurkan, perantara/ wasilah) antara
manusia dengan Amaholu Amarawi (Tuhan Yang Membuat
Manusia dan Yang Membentuk Manusia, Pencipta Manusia).
Para marapu inilah yang telah menerima nuku ‐ hara (hukum
dan cara) atau tata tertib hidup bermasyarakat dari Maha
Pencipta yang wajib ditaati oleh manusia. Para marapu (roh
leluhur) adalah makhluk‐makhluk mulia yang mempunyai
pikiran, perasaan dan kepribadian seperti manusia, tapi
dengan kepandaian dan sifat‐sifat lebih unggul. Mereka juga
terdiri dari jenis pria dan wanita dan berpasangan sebagai
suami istri. (diolah dari hasil wawancara dengan Lidah Mawo
Mesa Kallo, Amaniga dan Lele Dapa Wolu 22‐ 27 April 2013 dan lihat FD. Wellem, 2004 : 33‐ 90).
Di antara keturunan mereka ada yang menghuni bumi dan dianggap sebagai nenek moyang yang menjadi cikal‐bakal
dari kabihu‐kabihu/marga/klan/kanilah/suku. Marapu‐
marapu ini dibedakan antara Marapu Rato dengan Marapu.
Marapu rato ialah marapu yang turun dari langit dan
merupakan leluhur dari marapu lainnya. Sedangkan Marapu
ialah arwah leluhur yang menjadi cikal‐bakal dari suatu
kabihu/suku tertentu. Adapun kata‐kata sifat yang ditujukan
untuk menyebut Amaholu Amarawi antara lain : Pencipta
Manusia, Yang Membentuk dan Membuat Manusia, Yang
Menumbuhkan dan Yang Menjadikan, Pencipta Langit dan
Bumi, Yang Tidak Disebut Namanya dan Yang Tidak
Dikatakan Namanya, Jiwa dan Roh Yang Maha Esa, Yang
dapat melihat dan mendengar seluruhnya, Yang Memandang
dengan Teliti dan Meninjau dengan Tuntas, Yang mengetahui
segala perbuatan baik atau buruk dari tingkah laku manusia
dan sebagainya. Sifat‐sifat Amaholuamarawi ini selalu disebut
dalam setiap do’a dalam sembahyang maupun dalam do’a‐
do’a ketika memulai persembahan, memulai tanam, memulai
panen dan seterusnya. Mereka tidak mau menyebut nama
Tuhan dengan sia‐sia atau sembarangan, dan merasa tidak
pantas menyebut Amaholu Amarawi. (diolah dari hasil
wawancara dengan Lidah Mawo Mudde, 26 April 2013).
Selain kepada para Marapu (para roh rato dan nenek
moyang), orang Sumba juga percaya bahwa di dunia gaib
penuh dengan makhluk‐makhluk halus, seperti patau tana,
mamarungu, maranongu, katiku kamawa dan bumbu. Patau
tana adalah roh‐roh halus yang dapat berasal dari
29
Dinamika Agama Lokal di Indonesiamenjadi penghuni pohon‐pohon besar, batu‐batu besar, gua‐
gua, hutan atau di kuburan. Patau tana ini bersifat jahat dan
selalu mengganggu manusia, karena itu sangat ditakuti. Patau
tana yang berasal dari manusia adalah roh dari orang‐orang
yang mati secara tidak wajar, misalnya disebabkan
kecelakaan, bunuh diri, dibunuh dan sebagainya. Roh‐roh
semacam ini menjadi jahat karena penasaran atau kesal tidak
dapat terlepas dari hidupnya yang lama. Mamarungu adalah
roh halus yang bukan berasal dari manusia dan mempunyai
sifat jahat. Kedudukan roh halus ini lebih rendah dari marapu
karena mereka merupakan pesuruh‐pesuruh para marapu.
Karena sifatnya yang jahat, mereka sering mengganggu dan
mencelakakan manusia dengan memasuki tubuh manusia
yang hidup. Orang yang kerasukan mamarungu ini akan
menjadi jahat pula dan selalu ingin mencelakakan orang lain.
Oleh karena itu, orang yang sering mencelakakan orang lain
disebut mamarungu juga. Pada masa lalu orang semacam ini
dibunuh karena dianggap membahayakan orang. Roh halus
sederajat dengan mamarungu ialah maranongu. Akan tetapi,
maranongu mempunyal sifat baik dan suka menolong
manusia. (diolah dari hasil wawancara dengan Lidah Mawo
Mudde, 26 April 2013).
Katiku kamawa adalah makhluk halus lainnya yang
termasuk kategori patau tana, tetapi bukan berasal dari
manusia dan tidak diketahui asa‐usulnya. Penampilan katiku
kamawa ini berupa kepala manusia tanpa rambut dan berkulit
hitam legam. Kebiasaannya berguling‐guling di tanah sambil
tertawa. Makhluk halus ini suka mengganggu manusia dan
bertempat tinggal di pohon‐pohon besar atau di pohon
mangga. Adapun bumbu adalah makhluk halus yang berupa
manusia dan bertempat tinggal di antara pepohonan, gunung‐
gunung atau di tempat‐tempat sunyi. Orang Sumba percaya
bahwa di sekeliling mereka ada kekuatan gaib dalam gejala‐
gejala dan hal‐hal luar biasa yang dapat berupa gejala‐gejala
alam, tokoh‐tokoh manusia, bagian‐bagian tubuh manusia,
binatang, tumbuh‐tumbuhan, benda‐benda dan suara‐suara
yang luar biasa. Gejala‐gejala alam yang dianggap
mempunyai kekuatan gaib ialah angin yang bertiup dan arah
udik, karena dapat menimbulkan penyakit pada manusia dan
binatang ternak. Angin tersebut disebut ngilu katiu. Untuk
mencegah penyakit yang dibawa oleh angin itu, orang Sumba
menyelipkan ruu kamala pau (daun mangga) pada atap di
sekeliling rumah mereka. Tokoh‐tokoh manusia yang
dianggap mempunyal kekuatan gaib ialah para rato, karena
mereka ini dianggap mempunyal kekuatan untuk menguasai
tenaga alam seperti hujan, menyembuhkan penyakit atau
mencelakakan orang dengan cara gaib, yaitu dengan
mengucapkan mantra‐mantra tertentu. Ilmu gaib (puhi) yang
dilakukan oleh para rato untuk mendatangkan hujan ialah
dengan melaksanakan upacara kanjiku. Upacara ini dilakukan
di katuada dengan membawa persembahan pahapa,
kawadaku, hunggu maraku, seekor kambing dan empat ekor
anak ayam kepada para marapu terutama kepada Uma
Ndapataungu. Seorang rato ketika menjalanan ilmu gaib yang
bersifat agresif, mempersembahkan pahapa, kawadaku dan
beberapa ekor ayam (dua, empat atau delapan ekor
tergantung kebutuhan) kepada para marapu yang berada di
hutan hijau dan tebing batu, yaitu para marapu yang dipuja
oleh kabihu Menggitu atau pada Marapu Ratu Kabuarangu
dan Marapu Kabala. Kemudian melakukan upacara
31
Dinamika Agama Lokal di Indonesiadengan maksud agar orang yang dituju menjadi sakit,
mendapat kesialan atau kematian. Ada pula ilmu gaib lain
yang disebut kabeli mata (membalik mata), yaitu ilmu gaib
semacam sihir yang dapat mengubah manusia menjadi
binatang, pohon atau batu. Apabila ada seseorang yang
ditimpa penyakit, maka ia dapat meminta pertolongan kepada mapingu muru untuk mengobatinya. Mapingu muru biasanya
akan memberi muru (obat dari ramuan daun‐daunan) atau
tada ai (obat dri ramuan akar‐akar pohon atau kulit kayu)
yang telah diberi mantra‐mantra tertentu kepada si sakit (F.D. Wellem, 2004: 33 – 90).
Bagian tubuh manusia yang paling dianggap
mempunyai kekuatan gaib ialah kapai atau ngati (kemaluan
wanita). Bila kapai ini sampai terlihat oleh orang lain
(terutama laki‐laki), maka dianggap akan membawa sial
kepada yang melihatnya. Hal itu berlaku pula untuk suami si
wanita. Itulah sebabnya persetubuhan harus dilakukan pada
malam hari atau di tempat gelap. Alat kelamin wanita
dianggap palili (tabu) karena merupakan tempat keluar
sesuatu yang penuh dengan kekuatan gaib, seperti roh anak
yang lahir dan darah. Darah, terutama yang keluar ketika haid
dianggap mengandung kekuatan gaib yang dapat membawa
kesialan kepada orang lain. Karena itu, wanita yang sedang
haid dilarang memasuki uma marapu atau tempat‐tempat suci lainnya, dilarang menyiapkan sesajian untuk para marapu dan
tidak boleh mandi di sungai. Wanita yang sedang haid harus
berdiam di kamar dan mandi di kamarnya pula dengan
menggunakan air panas yang diberi ramuan kayu dan daun
kahi jawa (asam) yang gunanya untuk menghangatkan badan
dan melancarkan keluarnya darah. Bagian tubuh manusia
ludah. Air ludah digunakan untuk obat, antara lain untuk
menghilangkan rasa pegal‐pegal yang diakibatkan oleh sakit
malaria, yaitu dengan cara melumuri badan dengan hadabai
(rumput yang tumbuh di batu‐batu) yang dikunyah bersama
sirih pinang dan dicampur air ludah. Demikian pula bayi yang
baru lahir, agar luka pada pusarnya cepat sembuh maka luka
itu dilumuri air ludah yang telah bercampur dengan
kunyahan sirih pinang. Rambut adalah bagian tubuh manusia
yang juga dianggap mempunyai kekuatan gaib. Oleh karena
itu, rambut seseorang yang dipotong ketika ia baru lahir akan
disimpan di dalam kahipatu dengan maksud agar selama
hidupnya terhindar dan mara bahaya. Kelak bila orang itu
meninggal, maka rambut dalam kahipatu itu akan dikuburkan
pula bersamanya. Binatang yang dianggap mempunyal
kekuatan gaib antara lain; burung wangi (burung hantu), kuu
(burung alap‐alap) dan nggangga (burung gagak). Ketiga jenis
burung itu ditakuti oleh orang Sumba karena dianggap dapat
membawa kesialan. Binatang lain yang dianggap mempunyai
kekuatan gaib dan mempunyai kedudukan khusus dalam
kepercayaan mereka ialah wei (babi), karambua (kerbau),
njara (kuda), manu (ayam) dan ahu (anjing). Babi merupakan
hewan korban yang utama dalam upacara‐upacara
keagamaan dan dianggap mempunyai kekuatan gaib karena
dapat menyampaikan segala kehendak manusia kepada para
marapu. Diterima atau tidaknya suatu permohonan, dapat
dilihat melalui hati babi. Kerbau merupakan binatang yang
biasa dikorbankan pada upacara‐upacara keagamaan,
terutama pada upacara perkawinan, kematian, membangun
rumah baru dan panen. Secara simbolis daging kerbau yang
dikorbankan itu dipersembahkan kepada para arwah.
33
Dinamika Agama Lokal di Indonesiabekal arwah orang yang meninggal dalam perjalanannya ke
parai marapu, dan setibanya di parai marapu digunakan
untuk menjamu arwah keluarganya yang telah lebih dahulu
berada di sana. Selain itu kerbau dianggap binatang yang
dapat membawa keberuntungan pada pemiliknya. Oleh
karena itu, ada tempat pemujaan khusus yang disebut uma
karambua, yaitu tempat memuja leluhur untuk memohon
kekayaan. Binatang yang melambangkan ketaatan paling
utama dan dianggap membawa kejayaan pada pemiliknya
ialah kuda. Ketaatan kuda ini tidak terbatas di dunia saja, tapi
juga di akhirat sebagai tunggangan majikannya. Oleh karena
itu, ketika majikannya meninggal, kuda kesayangan harus
dikorbankan untuk mengantar arwah majikannya ke parai
marapu. Seperti halnya kerbau, maka kuda pun ada tempat
permujaan khusus yang disebut uma njara, yaitu tempat
memuja leluhur untuk memohon kejayaan dan kekayaan.
Jenis binatang lainnya yang dianggap mempunyai kekuatan
gaib ialah ayam jantan. Bulu‐bulu ayam jantan dianggap
mempunyai kekuatan untuk menolak bahaya dan dapat
memayungi arwah seseorang dalam perjalanannya menuju
parai marapu. Selain itu kokok ayam jantan dianggap dapat
membangunkan arwah orang yang meninggal agar bersiap
untuk menempuh perjalanan ke alam baka. Anjing adalah
binatang peliharaan yang senantiasa mengikuti majikannya
jika sedang bepergian atau berburu. Anjing kesayangan dinilai sebagai kawan senasib sepenanggungan yang tidak terbatas di
dunia saja, tetapi juga di akhirat. Pada upacara kematian,
anjing kesayangan dikorbankan agar arwahnya dapat
mengikuti arwah majikannya. Selain itu anjing dianggap
mempunyai kekuatan gaib yang dapat melihat makhluk‐
mempunyai kekuatan gaib antara lain kalala (kaktus),
karangga langadi (akar bahar), pau (mangga) dan menggitu
(lontar). Kekuatan gaib yang ada dalam tanaman tersebut
ialah dapat menolak bahaya dan penyakit. Selain itu mereka
pun percaya bahwa semua daun‐daunan yang mempunyal
khasiat sebagai obat, misalnya kuta (sirih), kabaru (waru),
kahi jawa (asam), muru mangandingu (sejenis sulur‐suluran),
yawilu (kayu manis), kunu buti dan ruto, juga dianggap
mempunyai kekuatan gaib yang dapat menghilangkan
pernyakit. Pohon yang dianggap keramat tetapi tidak
mempunyai akibat buruk ialah wangga (beringin), mayela,
kunjuru (teniring) dan kanawa (angsana). Benda‐benda lain
yang juga dianggap mempunyai kekuatan gaib ialah benda‐
benda pusaka, seperti parang, kain‐kain, perhiasan mas,
perhiasan manik‐manik (ana hida) dan hiwaru (jimat) yang
dikeluarkan atau dibawa hanya pada saat‐saat tertentu saja
oleh pemiliknya. Suara‐suara yang dianggap mempunyai
kekuatan gaib ialah mantra‐mantra atau tundu wara yang
diucapkan para ratu, tau mapingu papuhi dan mapingu muru. Selain itu suara‐suara nyanyian dan irama pukulan gong yang
dibawakan pada suatu upacara dianggap mempunyai
kekuatan gaib juga, karena mampu menciptakan suasana
yang diperlukan. Menurut kepercayaan orang Loli, seseorang
yang lahir ke dunia ini adalah atas kehendak Yang Maha Esa,
demikian pula bila seseorang meninggal itu pun atas
kehendakNya. Peristiwa kematian adalah suatu peristiwa
perpindahan atau peralihan dari alam nyata (dunia) ke alam
gaib (akhirat). Menurut pandangan mereka, kehidupan di
alam gaib mempunyai struktur yang sama dengan kehidupan
di alam nyata. Akan tetapi kehidupan di alam nyata tidak
35
Dinamika Agama Lokal di Indonesiamanusia hanyalah sebagai teda (kulit) atau haruma (selaput)
yang dapat mati, sedangkan yang hidup kekal (njulu) ialah
ndiawa (roh). Dalam kepercayaan Marapu roh ditempatkan
sebagai komponen yang paling utama, karena roh inilah yang
harus kembali kepada Amaholuamarawi. Roh orang yang
mati akan menjadi penghuni parai marapu dan dimuliakan
sebagai marapu‐marapu. Roh seseorang yang mati bisa
mencapai parai marapu apabila dalam hidupnya di dunia
memenuhi segala nuku‐hara yang telah ditetapkan oleh para
leluhur. Seseorang yang telah jatuh dalam dosa, maka Ia harus
menyerahkan diri kepada seorang wai maringu (air dingin)
untuk menebus segala dosanya, dan kelak bila dia mati harus
dikebumikan dengan berbagai upacara. Apabila tidak
demikian halnya, maka selama itu rohnya akan hidup merana
karena tidak diterima di parai marapu dan akan bergabung
dengan makhluk‐makhluk halus lainnya yang selalu berusaha
mengganggu kehidupan manusia. Roh itu sendiri dalam diri
manusia terdapat dua macam, yaitu yang disebut hamangu
(jiwa, semangat) dan ndiawa (roh). Hamangu ialah roh
manusia selama hidupnya yang menjadi inti kekuatan
badannya. Berkat hamangu itulah manusia dapat berpikir,
berperasaan dan bertindak. Hamangu ini akan bertambah
kuat dalam pertumbuhan hidup, dan menjadi lemah ketika
manusia sakit dan tua. Hamangu yang telah meninggalkan
tubuh manusia yang mati akan menjadi makhluk halus
dengan kepribadian tersendiri dan disebut ndiawa. Ndiawa
terdapat dalam segala makhluk hidup, termasuk binatang dan
tumbuh‐tumbuhan yang kelak menjadi penghuni parai
marapu pula. (diolah dari hasil wawancara dengan Lidah
Mawo Mudde, 26 April 2013, Rato Rumatta, 25 April 2013,
Margareta, Angela Lele Dapa Wolu, Weny Amaniga, 22‐27 April 2013 dan lihat juga FD. Wellem, 2004 : 33‐90). Setiap ada
pesta‐pesta adat dan upacara‐upacara penting, misalnya pada
upacara pamangu langu paraingu, muti uhu, kanduku wuaka, pamangu ndiawa, pamau papa, paremi wulu uma, pataningu,
kesusastraan suci diceritakan kembali dengan diiringi
nyanyian‐nyanyian. Fungsi kesusastraan suci ini untuk
menerangkan asal‐usul penduduk Umalulu serta para
marapu‐marapunya. Kesusastraan suci dianggap bertuah dan
dianggap dapat mendatangkan kemakmuran pada penduduk
dan kesuburan bagi tanaman serta binatang ternaknya.
Sistem Upacara‐upacara Keagamaan
Dunia gaib dapat dihadapi manusia dengan rasa
hormat, bakti, takut dan sebagainya, atau dengan suatu
campuran dari segala macam perasaan tersebut. Perasaan‐
perasaan itu akan mendorong manusia untuk melakukan
hubungan dengan dunia gaib yang disebut kelakuan
keagamaan. Seperti yang telah dikemukakan bahwa perasaan
yang mendorong orang Loli untuk melakukan hubungan
dengan para marapu berlainan sekali dengan dorongan
terhadap mamarungu dan patau tana. Perasaan yang
melatarbelakangi hubungan orang Loli, Lamboya, Wanokaka,
Kodi, Waejewa, Mamboro dan sebagainya dengan para
marapu didasari oleh rasa cinta, hormat dan bakti, sebaliknya
terhadap mamarungu atau patau tana didasari oleh rasa takut
dan benci. Perasaan‐perasaan yang berbeda inilah yang
menentukan serta mewarnai kelakuan keagamaan mereka,
dan kelakuan keagamaan yang dilaksanakan menurut tata
kelakuan baku yang biasa disebut upacara keagamaan.
37
Dinamika Agama Lokal di Indonesiakeramat, karena itu tempat‐tempat upacara, saat‐saat upacara,
benda‐benda yang merupakan alat‐alat dalam upacara serta
orang‐orang yang menjalankan upacara dianggap keramat
pula. Pada bagian muka sudah dikemukakan bahwa seluruh
kehidupan orang Sumba selalu diliputi oleh rasa keagamaan.
Mereka menyembah Amaholuamarawi dengan perantaraan
para marapu yang merupakan media atau wasilah dan
perantara antara manusia dengan Pencipta‐Nya. (diolah dari
hasil wawancara dengan Lidah Mawo Mudde, 26 April 2013,
Rato Rumatta, 25 April 2013, Daniel Mesa, Amaniga, Adreas,
Servius, Margareta, Angela Dapa Wolu, 22‐27 April 2013).
Tempat‐tempat Upacara
Setiap kabihu mempunyai marapu sendiri yang
dipujanya agar segala doa dan kehendaknya disampaikan
kepada Maha Pencipta. Para marapu itu diupacarakan di
dalam rumah‐rumah yang didiami oleh warga suatu kabihu
terutama di rumah yang disebut uma bokulu (rumah besar,
rumah pusat) atau uma bungguru (rumah persekutuan). Di
dalam rumah itulah dilakukan upacara‐upacara keagamaan
yang menyangkut kepentingan seluruh warga kabihu,
misalnya upacara kelahiran, perkawinan, kematian,
menanam, memungut hasil dan sebagainya. Ada pun rumah‐
rumah lain yang khusus digunakan untuk tempat upacara
ritual terhadap marapu yang mempunyai kekuasaan atau
tugas tertentu, antara lain : Uma karambua ialah tempat
meminta kepada leluhur untuk meminta kekayaan; Uma
andungu ialah tempat semuja leluhur untuk minta
keberhasilan dalam peperangan; Uma payenu ialah tempat
memuja leluhur untuk memohon berkat bagi setiap pengantin