MK. SOSIOLOGI UMUM(KPM-130) Tanggal: 23 Maret 2014 Nama : Ainun Oktavia DS (A34140015) Ruang :R.KCCR 1.10 (P14.2)
Praktikum VI
“Model Kelembagaan masyarakat dalam Pengelolaan Hutan Alam Produksi”
Oleh : Djuhendi Tadjudin
“Sistem bagi Hasil di Jawa Tengah: Penelitian Hukum Pemilikan Tanah di Sebuah Daerah Pertanian yang penduduknya Sangat Padat”
Oleh : Warner Roell
Nama Asisten :
Adila Sabiliilaika (C34110057)
Ikhtisar Bacaan I
Badui Luar di Kanekes ,memakai pakaian serba hitam dengan ikat kepala biru-tua,mereka kenakan itu bukan karena tidak ada pilihan lain melainkan karena itu sudah menjadi pilihannya.Kartodiharjo (1999) menggambarkan,bahwa kebijakan pengelolaan sumberdaya hutan saat ini bersifat paradoksal,artinya cenderung membela pencapaian target kuantum produksi kayu gelondongan .Sementara itu, instrumen untuk memelihara kelestarian lingkungan tidak berjalan secara efektif ,sehingga kerusakan tetap melaju dengan kecepatan yang menghawatirkan.Praktek pengelolaan sumberdaya hutan saat ini ,termasuk hutan alam produksi ,sarat dengan persengketaan. Persengketaan itu bisa terjadi pada tataran persepsi,pengetahuan,tatanilai,kepentingan,dan akuan terhadap hak kepemilikan (Tadjudin,1999b).
Ikhtisar Bacaan II
Sebagaimana di negara-negara Asia Selatan dan Asia Tenggara lainnya,sistem bagi hasil (bagi garap) juga mempunyai arti penting dalam kehidupan pertanian di Indonesia .Perbedaan data-data jumlah sistem garap dan sistem bagi hasil tersebut disebabkan oleh statistik pertanian Indonesia yang tidak memadai.Skala usaha yang kecil merupakan ciri khas usaha pertanian ,yang di bebani oleh besarnya bagian penyediaan sendiri sarana produksi yang diperlukan untuk mengelola lahan.Sistem bagi garap yang menyebar merupakan pencerminana kekurangan tanah dan tidak adanya peluang pekerjaan alternatif.Pembagian panen antara penggarap dan pemilik tanah sebesar 6:4 seperti yang di propagandakan PKI dan organisasi buruhnya telah dilarang tahun 1965 dan dipakai untuk memenangkan penduduk petani yang miskin tanah dan tidak terealisasi secara hukum .
Bentuk-bentuk dasar bagi hasil antara lain sistem maro(garap separuh,agi separuh),sistem mertelu(bagi tiga garapan:bagi tiga hasil),sistem mrapat (bagi empat garapan:bagi empat hasil) ,bentuk tersebut lazim digunakan dalam bersawah.Situasi sosial ekonomi penggarap yang sudah sulit semakin diperburuk terutama dengan penyediaan sromo ,adalah pemabayaran tambahan uang oleh penggarap kepada pemilik tanah . Kesepakatan yang dikenal di daerah persawahan di Asia Tenggara menyebabkan dilakukan praktek transaksi tebasan dan ijon yang sebenarnya dilarang.Sifat parasit sebagian besar sistem bagi hasil yang telah disinggung oleh sejumlah penulis,secara berbeda-beda makin dikuatkan dengan munculnya perantara atau penggarap antara .Demi perbaikan kepentinagan sosial yang dibutuhkan , maka harus dilakukan penghapusan situasi buruk sistem bagi hasil di Jawa yang telah digambarkan.
Analisis Bacaan
Aspek kajian Bacaan I Bacaan II
Sistem kelembagaan
Sistem pengelolaan hutan alam produksi
Sistem bagi hasil (bagi garap)
Fungsi Kelembagaan
Sebagai perwujudan pengelolaan hutan yang mengakomodasikan
kepentingan dan
partisipasi masyarakat secara luas.
Sebagai penentu hasil-hasil pertanian .
Ciri
Kelembagaan
Adanya peran
pemerintah,masyarakat dan swasta dalam sistem pengelolaan hutan ,serta memiliki tujuan untuk
menjaga kelestarian hutan
Kelembagaan Ekonomi, hal ini dibuktikan : “Suatu konsep disusun yang ,yang lazimnya lebih mengedepankan ukuran-ukuran ekonomi makro.
Kelembagaan
Ekonomi hal ini dibuktikan : “sistem bagi hasil (bagi garap) juga mempunyai arti Kelembagaan pemerintah yang mengatur hutan produksi.
2.Sektor Private : Memaksimalkan
keuntungan dalam
pengelolaan sumberdaya
hutan dengan
memanfaatkan
masyarakat sekitar hutan. 3.Sektor Participatory : “masyarakat menentukan kelembagaan
pengusahaan HKM,tapi lembaga itu harus berupa koperasi”
1.Sektor Publik : adanya kelompok sosial yang berperan sebagai perangkat desa.
2. Sektor Private : hal ini dibuktikan dengan “munculnya perantara
atau penggarap
antara ,sebab mereka benar-benar
memperkecil jumlah hasil yang diperoleh penggarap”
3.Sektor Participatory : adanya hubungan anatara pemilik tanah dengan penggarap tanah.
mengelola sumberdaya hutan.
2.Kebiasaan( Folkways) : Masyarakat yang merasa
merdeka untuk
melakukan pengelolaan sumberdaya hutan dengan caranya sendiri dan terus menerus.
3.Tata Kelakuan (Mores):
1.Cara (Usage) : Mengesahkan
Kegiatan pengusahaan
hutan dengan
mengindahkan azaz-azaz pelestarian lingkungan sesuai dengan hukum yang berlaku.
4.Adat (custom) : memakai pakaian serba hitam ikat kepala biru-tua.
(Mores):adanya UU Agria tahun 1990 4.Adat (custom) :Adanya sistem bagi hasil
Pemerintah sebagai kelembagaan sosial berperan sebagai kontrol sosial. a.Menurut sifatnya termasuk upaya represif : HKM sewaktu-waktu dapat dicabut secara sepihak oleh mentyeri kehutanan dan Perkebunan jika kawasan HKM diperlukan untuk kepentingan umum. b.Menurut prosesnya dengan cara paksaan(koersif) : Seperti dalam HKM versi SKM, masyarakat tidak hadir sebagaimana adanya, melainkan dipaksa untuk tampil seperti yang dipersepsikan oleh pemerintah
Pemerintah sebagai kelembagaan sosial. a.Menurut sifatnya: preventif karena disini pemerintah berupaya melakukan perubahan terhadap Undang-Undang Agraria tahun 1960 untuk mencapai
perubahan sosial yang lebih baik. b.Menurut prosesnya : dengan cara tanpa kekerasan (persuasive) yaitu