• Tidak ada hasil yang ditemukan

KARAKTERISTIK TEMPAT BERTELUR PENYU HIJA

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "KARAKTERISTIK TEMPAT BERTELUR PENYU HIJA"

Copied!
8
0
0

Teks penuh

(1)

KARAKTERISTIK TEMPAT BERTELUR PENYU HIJAU (CHELONIA MYDAS)

DI TAMAN WISATA ALAM LAUT PULAU SANGALAKI

KALIMANTAN TIMUR

ABSTRAK

Shaim Basyari1, Zainul Arifin2, Tollaal Badru3, Nizzar Fachry P1, Anita Widyatyastuti1 1 Mahasiswa Jurusan Pendidikan Biologi FMIPA UNY

2 Mahasiswa Jurusan Pendidikan Kimia FMIPA UNY 3 Mahasiswa Jurusan Pendidikan Fisika FMIPA UNY

Penyu Hijau (Chelonia mydas) termasuk dalam kategori endangered spesies (terancam punah). Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui karakteristik tempat bertelur penyu hijau dan mengetahui faktor yang berpengaruh terhadap tempat bertelur penyu hijau di Pulau Sangalaki, Berau, Kalimantan Timur.

Penelitian ini menggunakan metode observasi. Observasi dilakukan pada tanggal 20 – 24 Maret 2011 di Kawasan Wisata Alam Laut Pulau Sangalaki, Berau, Kalimantan Timur (020 111’’LU dan 115045 14’’ BT).

Wilayah penelitian dibagi menjadi 15 sektor dengan panjang per sektornya 100 m untuk mempermudah penelitian. Data yang diambil dari penelitian tersebut meliputi parameter fisik dan biologi dari sarang. Sedangkan analisis data menggunakan metode deskriptif komperatif.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa Penyu Hijau (Chelonia mydas) memiliki sarang dengan diameter rata-rata sebesar 24,64 cm dan rata-rata kedalaman sarang 70,2 cm. Kedalaman sarang berkorelasi positif terhadap suhu sarang, yang menyebabkan suhu sarang stabil antara 250 C – 290 C. Sarang mempunyai

pelebaran sisi di bagian bawah sebagai tempat untuk meletakkan telur. Jarak sarang dari bibir pantai, saat pasang naik tertinggi berkisar antara 4 m – 20 m. Sedangkan jarak dengan vegetasi terdekat 0,8 – 5 m. Penyu hijau (Chelonia mydas) menjadikan vegetasi di sekitarnya sebagai tempat perlindungan dari pemangsa telurnya. Kelandaian pantai Pulau Sangalaki berkisar antara 2,6o sampai 9o dengan rata-rata kelandaiannya 5o,

lebar pantai 3 m sampai 37 m dengan panjang pantai 1650 m. Penyu hijau (Chelonia mydas) memanfaatkan pasang naik sebagai waktu untuk bertelur, penyu hijau naik satu jam sebelum dan sesudah pasang naik tertinggi. Intensitas cahaya pada saat penyu hijau bertelur berkisar antara 0 – 1 lux. Cahaya yang berasal dari bulan purnama tidak mengganggunya saat naik untuk bertelur, akan tetapi cahaya yang berasal dari sumber lain, seperti cahaya lampu rumah atau lampu pemancing, dan senter dapat menyebabkan penyu hijau terganggu dan batal bertelur. Di sebagian sisi pantai pulau Sangalaki mengalami abrasi dan menimbulkan tumbangnya pohon-pohon di sekitar pantai sehingga menghalangi penyu hijau yang akan bertelur.

Kata kunci : Karakteristik tempat bertelur, Chelonia mydas, pulau Sangalaki

PENDAHULUAN

Salah satu sumberdaya alam laut yang potensial di Indonesia adalah Penyu hijau (Chelonia

mydas). Mugiharto HP, 2010 mengatakan bahwa habitat perairan Indonesia yang memiliki panjang pantai 81.000 km dan terdiri dari 17.508 pulau menjadi habitat bagi 6 dari 7 spesies di dunia, termasuk penyu hijau. Lebih lanjut, Agus Dermawan, 2009 menjelaskan bahwa persebaran penyu di Indonesia salah satunya berada di Kalimantan Timur. Salah satu kawasan yang menjadi tempat bertelur Penyu Hijau di Propinsi Kalimantan Timur tersebur adalah Pulau Sangalaki.

Saat ini penyu hijau, C. mydas dikategorikan ke dalam endangered spesies oleh

International Union for Conservation of Nature and Natural Resource (IUCN), yang berarti terancan punah (Nuitja, 1992). Walaupun demikian, Kasijan Romimohtarto (2007) mengatakan

bahwa Penyu di Indonesia banyak diburu daging dan telurnya. Di Pulau Sangalaki, beberapa

nelayan maupun penduduk sekitar belum sepenuhnya sadar terhadap kelestarian penyu, banyak yang diburu, dijual dagingnya, dibuat perhiasan maupun diambil telurnya.

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui karakteristik tempat bertelur penyu hijau dan mengetahui faktor yang berpengaruh terhadap tempat bertelur penyu hijau di Pulau Sangalaki. Lokasi Peneluran menjadi salah satu konservasi untuk melestarikan Penyu Hijau di Pulau Sangalaki. Sehingga dari penelitian ini diharapkan dapat menjadi data awal bagi penelitian

selanjutnya. Selain itu di bidang pendidikan dapat dijadikan sebagai media pembelajaran (field trip)

mengenai tempat bertelur penyu hijau (Chelonia mydas) di Pulau Sangalaki. Sedangkan di bidang

pariwisata diharapkan dapat meningkatkan potensi wisata alam laut Pulau Sangalaki, terutama

(2)

METODE PENELITIAN

Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah observasi. Observasi dilakukan pada tanggal 20 – 24 Maret 2011 di Kawasan Wisata Alam Laut Pulau Sangalaki, Berau, Kalimantan

Timur (020 111’’LU dan 115045 14’’ BT). Luas kawasan tersebut 280 ha. Wilayah penelitian dibagi

menjadi 15 sektor dengan panjang per sektornya 100 m untuk mempermudah penelitian. Data yang diambil dari penelitian tersebut meliputi parameter fisik dan biologi dari sarang. Paramater fisik meliputi pemetaan lokasi, panjang dan lebar pantai, kemiringan pantai, jarak sarang dari pasang naik tertinggi, suhu dan kelembaban sarang, intensitas cahaya, tipe substrat, serta pasang surut air laut. Parameter biologi antara lain jumlah penyu betina yang naik dan yang bertelur yang termasuk data primer dan panjang, lebar karapas penyu yang naik serta jenis-jenis vegetasi yang tumbuh di pulau Sangalaki yang merupakan data sekunder.

Jumlah penyu yang naik dan bertelur serta sektor tempat bertelur penyu tersebut dicatat setiap malamnya dengan metode observasi atau pengamatan langsung dengan cara berjalan mengelilingi pulau, waktu pencatatan dimulai 1-2 jam setelah pasang tertinggi setiap malamnya. Apabila penyu yang ditemukan sudah bertelur maka dilakukan pengukuran panjang dan lebar karapasnya. Pengukuran panjang karapas dengan metode Curved Carapace Length (CCL) dimana panjang karapas ini diukur menggunakan meteran fleksibel dari bagian karapas di belakang kepala hingga lekukan dibagian belakang karapas. Sedangkan pengukuran lebarnya menggunakan kaidah Curved Carapace Width (CCW), dimana lebar karapas yang diukur merupakan jarak terjauh dari dua tepi karapas (Nuitja, 1992)

Panjang pantai (keliling pulau) diukur menggunakan GPS dengan cara mengelilingi pulau sedangkan lebar pantai diukur menggunakan meteran roll 100 meter. Lebar pantai diukur dari batas pasang terendah hingga batas vegetasi terdekat dari air laut. Kemiringan pantai diukur menggunakan meteran roll 100 meter dan tongkat berskala serta mistar segitiga. Dengan

menggunakan rumus trigonometri Arc tgn (a/b)o, dimana a adalah tinggi tongkat sampai batas

meteran yang ditandai dan membentuk sudut 90o terhadap tongkat yang tegak lurus dengan garis

horizontal pulau dan b adalah panjang tali yang diikatkan pada batas vegetasi terdekat dari garis pantai. Pengukuran kemiringan pantai ini dilakukan empat kali di setiap sektor.

Pengukuran jarak sarang terhadap pasang tertinggi dilakukan terhadap 11 sarang yang tersebar secara acak di setiap sektor dan diukur menggunakan roll meter berukuran 100 m. Pengambilan contoh substrat (pasir) dilakukan dengan menggunakan batok kelapa dan botol dari

kaca atau plastic (polyethilen). Contoh pasir diambil dari 2 sarang pada tiap sector dan dipilih

secara acak. Tekstur substrat dilihat dengan menambahkan air pada tabung reaksi yang telah berisi pasir kemudian dikocok dan dilihat perbandingan penyusun substratnya.

Pemetaan pulau dilakukan menggunakan GPS, dengan cara berjalan mengelilingi pulau dan menyimpan titik koordinat tepi pulau di beberapa titik. Kemudian data koordinat ini diplotkan ke dalam gambar hingga membentuk peta pulau.

Suhu sarang diukur menggunakan thermometer dan kelembaban diukur menggunakan hygrometer. Pengukuran suhu dan kelembaban dilakukan pada tiga waktu yang berbeda yaitu malam hari, pagi hari dan siang hari. Pengukuran suhu sarang dilakukan pada kedalaman 50 cm yang diasumsikan sebagai kedalaman rata-rata sarang.

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN Morfologi Penyu Hijau

Tabel 1. Morfologi Penyu hijau (Chelonia mydas)

(3)

7 101 90 44 24

8 98 80 41 26

Dari 8 penyu yang berhasil diukur, penyu hijau mempunyai rata-rata panjang karapas sebesar 100 cm dengan rentang 90-102 cm. Sedangkan rata-rata lebar karapasnya 84,5 cm dengan rentang 80-94 cm. Hal ini sesuai dengan yang diungkapkan Agus Darmawan (2003) bahwa penyu dewasa dapat tumbuh lebih dari 3 kaki (0,91 m), panjang dan berat 300-350 kilogram.

Kondisi Fisik Pulau Sangalaki

Tabel 2. Suhu dan kelembaban pulau Sangalaki

Hari ke- Suhu udara Kelembaban udara (%)

Pagi Siang Malam Pagi Siang Malam

1 27 28 26 83 90 84

2 26 29 26 83 90 92

3 26 31 26 84 86 92

4 25 30 25 83 88 83

Pulau Sangalaki merupakan tipe pulau kecil, dimana kondisi iklim, cuaca dan ketersediaan suplai air tawar mempengaruhi kondisi lingkungan. Keliling pulau atau panjang pantainya mencapai 1650 m dengan substrat dasar pasir putih halus yang sesuai dengan lokasi peneluran penyu hijau. Hasil penelitian menunjukkan bahwa komposisi penyusun pasir di Pulau Sangalaki didominasi oleh butiran pasir halus. Lebih lanjut lagi Ahmad Mukminin (2002) mengatakan bahwa pasir di Pulau Sangalaki juga memiliki komposisi yang homogen, dimana komposisi terbanyak adalah pasir dengan diameter butiran 0,1 mm – 2,0 mm dan masih tergolong sebagai pasir halus. Komposisi dan diameter butiran pasir ini berpengaruh kepada kepadatan pasir dan porositas, kedua sifat ini akan mempengaruhi terhadap perubahan suhu sarang. Hal ini berkaitan dengan kemampuan pasir menyimpan air dan menahan laju penguapan. Sedangkan kelandaian pantainya

berkisar antara 2,6 0 sampai dengan 9 0 dengan lebar pantai berkisar antara 3 – 37 m. Secara umum

kelandaian pantai tersebut dapat mempermudah penyu hijau yang akan naik ke pantai untuk bertelur maupun saat kembali ke laut. Lebar pantai juga mempunyai korelasi positif dengan jarak sarang tehadap pasang tertinggi dan penyu bertelur jauh dari air laut.

Pasang naik dan pasang surut air laut di Pulau Sangalaki terjadi dua kali dalam satu hari satu malam atau mempunyai tipe semi diurnal. Berdasarkan hasil pengamatan, pasang naik terjadi pada pagi hari pada pukul 03.00 WITA dan mencapai pasang tertinggi sekitar pukul 07.00 WITA, pasang naik tertinggi kedua terjadi pada malam hari sekitar pukul 21.00 WITA. Sedangkan pasang surut maksimal terjadi pada waktu siang hari sekitar pukul 14.00 WITA dan tengah malam pada pukul 02.00 WITA. Penyu hijau bertelur pada waktu malam hari memanfaatkan pasang naik tertinggi yang terjadi di malam hari dan akan kembali ke laut pada saat air mengalami pasang surut. Berdasarkan pengamatan, pemilihan waktu tersebut juga merupakan salah satu strategi Penyu hijau untuk menghindarkan telurnya dari air laut. Lebih lanjut, menurut Ahmad Mukminin (2002) kondisi ini digunakan oleh induk penyu untuk menghemat energi.

Kondisi Biotik Kawasan Wisata Alam Laut Pulau Sangalaki

Tabel 3. Jenis vegetasi pantai di Pulau Sangalaki

(4)

Finlaysonia maritime Hertiera littoralis Hibiscus titiaceus Ipomoea pes-caprea Pandanus odaratissime Pandanus tectorius Pongamia pinnata Scaevola taccada Terminalia cattapa L Thespesia pupulnea Wedelia biflora

Pulau Sangalaki merupakan pulau kecil yang tidak berpenduduk. Bagian tengah pulau merupakan hutan alami yang ditumbuhi pohon-pohon besar dan tinggi. Hutan ini menjadi habitat bagi berbagai spesies hewan. Berdasarkan pengamatan langsung, jenis-jenis hewan yang berhabitat

di hutan pulau Sangalaki adalah dari kelas Aves : Elang bondol (Haliastur Indus), elang laut perut

putih (Haliaeetus leucogaster), jenis-jenis burung dari family columbidae, perling kumbang

(Aplonis panayensis), cekakak sungai (Todirhamphus chloris), kekep babi (Artamus leucorhynchus), trinil pantai (Tringa hypoleucos), kuntul karang (Egretta sacra ), gosong Filipina (Megapodius cumingii). Dari kelas mamalia terdapat kelelawar. Sedangkan dari kelas reptilia terdapat Biawak dan beberapa jenis kadal yang menghuni tepian luar hutan, dan berbatasan langsung dengan pantai.. Di daerah pantai, tumbuhan yang mendominasi adalah jenis mangrove ikutan dan tumbuhan laut lainnya. Secara keseluruhan dapat dilihat pada table 3. Hewan yang menggunakan pantai sebagai habitatnya adalah berbagai jenis kepiting. Sedangkan lautan menyediakan berbagai jenis ikan, salah satunya adalah ikan putih.

Jenis elang, seperti elang bondol, elang laut perut putih berpotensi menjadi predator bagi tukik yang baru saja menetas dari sarang. Burung jenis gosong Filipina membuat sarangnya pada hamparan pasir di Pulau Sangalaki. Walaupun demikian jenis burung ini bukan merupakan kompetitor bagi penyu hijau yang akan bersarang karena jumlahnya yang relatif sedikit. Hewan lain seperti Biawak merupakan hewan karnivor yang memakan telur penyu hijau dengan menggali sarangnya. Keberadaan biawak di pulau Sangalaki cukup banyak. Selain itu, kepiting juga merupakan predator alami yang memakan bola mata tukik penyu hijau yang baru menetas dari sarang. Walaupun demikian, Ahmad Ali (2002) mengatakan lebih lanjut bahwa kematian telur

penyu hijau (Chelonia mydas) akibat dimangsa jenis kepiting hantu bukan sebuah ancaman

penting. Dari pengamatan di lapangan, jumlah telur yang dimangsa oleh kepiting tidak lebih dari 2 % dari total telur dalam sarang. Sedangkan jenis ikan putih biasanya akan mengelilingi pulau pada saat tukik keluar dari sarang menuju laut dan menjadi predatornya.

Vegetasi di sekitar tempat bertelur Penyu hijau (Chelonia mydas) mempunyai fungsi tertentu

setiap jenisnya. Tumbuhan yang membentuk tutupan mempunyai peran menjaga kelembaban udara di sekitarnya. Selain itu menurut Ita Novitawati (2003) formasi hutan pantai juga sebagai penghalang dari cahaya luar yang menyebabkan penyu tidak jadi bertelur. Sedangkan jenis

tumbuhan pandan laut (Pandanus tectorius) berfungsi merangsang Penyu hijau untuk naik dan

bertelur.

(5)

Analisis Karakteristik Tempat Bertelur Penyu Hijau (Chelonia mydas)

Gambar 1. Jejak dan lokasi bertelur Penyu Hijau (Chelonia mydas)

Dari semua sarang yang teramati, sarang dibuat di dalam garis vegetasi pantai. Agus Dermawan, 2009 mengatakan umumnya tempat pilihan bertelur merupakan pantai yang luas dan landai serta terletak di atas bagian pantai. Jarak sarang penyu hijau dari pasang tertinggi berkisar antara 4 – 20 m. Hal tersebut dapat dilihat seperti pada gambar 1.

Tabel 4. Kondisi fisik sarang Penyu hijau (Chelonia mydas)

Sektor Tanggalsarang diameter(cm) kedalaman(cm)

Jarak dari pasang tertinggi

(m)

jarak dari vegetasi terdekat

(m)

Intensitas cahaya saat penyu

bertelur (lx)

Kelem baban

(%)

3 21-Mar-11 27 64 19,4 4,6 1 84

2 21-Mar-11 22 72 16 2 1 84

9 21-Mar-11 19 45 18 4 1 84

3 22-Mar-11 21 64 19 2 0 92

11 22-Mar-11 46 81 18,2 3 0 92

2 23-Mar-11 32 87 12 3 0 92

13 23-Mar-11 24 91 20 4 0 92

13 23-Mar-11 14 63 13 2 0 92

9 23-Mar-11 20 80 11,3 0,8 0 92

13 24-Mar-11 21 61 5 0,8 0 83

9 24-Mar-11 25 64 9 3 0 83

Penyu hijau memiliki rerata kedalaman sarang 70,18 cm dengan rerata diameternya 24,6 cm. Kedalaman sarang penyu hijau di Pulau Sangalaki memiliki rerata yang lebih dalam dari pada sarang yang ada di TWA Sukawayana yang mempunyai kedalaman rata-rata sebesar 50-60 cm (Ita Novitawati, 2003) juga yang ada di Pangumbahan sebesar 55 – 60 cm (Evi Lestari Rahayu, 2008). Pengukuran kedalaman dan diameter sarang ini dilakukan terhadap 11 sarang yang tersebar di semua sektor pengamatan.

(6)

Kedalaman sarang ini sangat berpengaruh terhadap suhu di dalam sarang. Kedalaman sarang dapat menjaga suhu sarang stabil seperti yang tergambarkan dalam tabel. Menurut Direktorat Konservasi dan Taman Nasional Laut (2009) menyatakan bahwa kestabilan suhu sarang

merupakan faktor penentu keberhasilan penetasan telur penyu. Rentang suhu 25-29 0C merupakan

suhu inkubasi yang cocok untuk keberhasilan penetasan bagi telur-telurnya. Menurut Goin, et.al

(1978), suhu yang layak untuk perkembangan embrio telur penyu berkisar antara 25-32 0C.

Pengukuran dilakukan pada kedalaman 50 cm karena penyu hijau memiliki sarang dengan rata-rata kedalamannya 70 cm dengan rentang 61 – 91 m. Sarang penyu hijau memiliki bentuk yang khas. Pada bagian bawah mempunyai ruang yang lebih lebar dibanding bagian atas dan digunakan untuk meletakkan telurnya.

Kelembaban udara sarang juga merupakan salah satu unsur penting. Kelembaban sarang erat kaitannya dengan kadar air dalam sarang. Kelembaban pada sarang yang cukup dapat mendukung pertumbuhan embrio pada telur penyu. ( Bustard, 1972 dalam Ita Novitawati, 2003). Jika pasirnya terlalu kering dan tidak cocok untuk bertelur, penyu akan berpindah ke lokasi lain. Penyu hijau cenderung memilih lokasi peneluran yang dekat dengan vegetasi (table. 3). Hal ini salah satunya dipengaruhi oleh kondisi di sekitar vegetasi mempunyai kelembaban udara yang sesuai. Selain itu vegetasi dapat melindungi sarang dari serangan predator. Berdasarkan pengamatan, di sector 1 penyu hijau juga membuat sarang kolong-kolong rumah panggung (resort).

Penyu hijau memiliki toleransi terhadap intensitas cahaya yang bersumber dari bulan purnama. Pada saat penelitian, terjadi bulan purnama dan bulan berada di titik terdekat dengan

bumi yang disebut perigee. Kondisi ini menyebabkan intensitas cahaya pada malam hari mencapai

1. Bahkan menurut Graha dalam Harles dan Morlock (1997) dalam Ahmad Mukminin (2007)

menyatakan bahwa jumlah penyu yang bertelur lebih banyak pada bulan terang. Hal ini diduga karena penyu hijau cenderung menyukai keadaan yang sedikit terang dan naluri yang bereaksi terhadap cahaya bulan dengan gelombang tertentu serta perhitungan daya penglihatan.

Penyu hijau (Chelonia mydas) cenderung membuat sarangnya jauh dari pasang naik

tertinggi. Hal ini dimaksudkan agar telur penyu tidak terkena air laut yang menyebabkan telur penyu gagal menetas. Penyu hijau naik pada saat pasang tertinggi sehingga penyu dapat memprediksi sarangnya agar tidak terkena air laut. Hasil pengamatan juga menunjukkan bahwa

cuaca tidak mempengaruhi penyu yang naik untuk bertelur. Penyu hijau (Chelonia mydas) tetap

bertelur pada saat cuaca hujan.

Gangguan dan Ancaman Terhadap Penyu Hijau (Chelonia mydas) di Pulau Sangalaki

Pasang naik air laut menyebabkan abrasi sebagian pantai di pulau Sangalaki. Sektor 7 merupakan kawasan terparah yang terkena dampak abrasi. Berbagai jenis pohon tumbang dan menghalangi penyu hijau yang akan naik untuk bertelur. Dari hasil pengamatan, penyu hijau yang terhalang oleh kayu atau pohon tumbang akan kembali ke laut.

Cahaya yang berasal dari lampu senter, lampu rumah, lampu pemancing atau nelayan juga menyebabkan gagalnya penyu hijau naik ke daratan dan bertelur. Sektor 1 terdapat resort wisata yang dikelola oleh swasta atas izin BKSDA Kalimantan Timur sebagai pengelolan kawasan. Pada saat penelitian berlangsung, resort tersebut belum dibuka karena belum lengkapnya perizinan. Berdasarkan wawancara dengan pihak KSDA resort akan berfungsi kembali pada tahun 2012.

Aktivitas nelayan di sekitar pulau Sangalaki juga merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi penyu hijau naik untuk bertelur. Cahaya dari perahu nelayan mengganggu aktivitas penyu hijau yang akan naik ke daratan. Jala nelayan juga terkadang menjerat penyu hijau yang berada di sekitar pulau.

Hari ke- Suhu pasir di kedalaman 50 cm

Pagi Siang Malam

1 27 29 29

2 26 29 28

3 27 29 26

(7)

Pengambilan telur secara konsesi oleh masyarakat setempat saat ini sudah tidak dilakukan lagi. Pengawasan dan penjagaan telur-telur penyu hijau diawasi oleh BKSDA Kalimantan Timur sebagai lembaga yang mengelola kawasan wisata alam laut pulau Sangalaki. Selain itu terdapat lembaga swadaya masyarakat yaitu Turtle Fundation yang mendata dan melakukan monitoring terhadap aktivitas peneluran penyu hijau.

SIMPULAN DAN SARAN

Simpulan

Pantai di kawasan Taman Wisata Alam Laut Pulau Sangalaki memiliki potensi sebagai

tempat bertelur penyu hijau (Chelonia mydas). Penyu Hijau (Chelonia mydas) memiliki sarang

dengan diameter rata-rata sebesar 24,64 cm dan kedalaman sarang 70,2 cm. Kedalaman sarang

berkorelasi positif terhadap suhu sarang, yang menyebabkan suhu sarang stabil antara 250 C – 290

C. Sarang mempunyai pelebaran sisi di bagian bawah sebagai tempat untuk meletakkan telur. Jarak sarang dari bibir pantai, saat pasang naik tertinggi, biasanya agak jauh, berkisar antara 4 – 20 m.

Sedangkan jarak dengan vegetasi terdekat 0,8 – 5 m. Penyu hijau (Chelonia mydas) menjadikan

vegetasi di sekitarnya sebagai tempat perlindungan dari pemangsa telurnya. Selain itu untuk

menjaga kelembaban sarang. Kelandaian pantai Pulau Sangalaki berkisar antara 2,6o sampai 9o

dengan rata-rata kelandaiannya 5o, lebar pantai 3 m sampai 37 m dengan panjang pantai 1650 m.

Penyu hijau (Chelonia mydas) memanfaatkan pasang naik sebagai waktu untuk bertelur, biasanya

penyu hijau naik satu jam sebelum dan sesudah pasang naik tertinggi. Intensitas cahaya pada saat penyu hijau bertelur berkisar antara 0 – 1 lux.

Faktor yang menyebabkan penyu hijau bertelur adalah tumbuhan Pandanus tectorius yang

merangsang penyu hijau untuk bertelur. Cahaya yang berasal dari bulan purnama tidak mengganggunya saat naik untuk bertelur, akan tetapi cahaya yang berasal dari sumber lain, seperti cahaya lampu rumah atau lampu pemancing, dan senter dapat menyebabkan penyu hijau terganggu dan batal bertelur. Selama penelitian sektor mengalami abrasi tidak pernah digunakan penyu hijau untuk bertelur karena tumbangnya pohon-pohon di sekitar pantai sehingga menghalangi penyu hijau yang akan bertelur.

Saran

Bagi Peneliti

Bagi peneliti diharapkan meneliti lebih lanjut mengenai perilaku memangsa kepiting

terhadap telur penyu hijau (Chelonia mydas), Pengaruh suhu terhadap lama penetasan telur penyu

hijau di Pulau Sangalaki, Pengaruh kelembaban udara terhadap pemilihan lokasi bertelu Penyu hijau di TWAL Pulau Sangalaki.

Bagi pemerintah

Meningkatkan kepedulian terhadap keberadaan penyu hijau di pulau sangalaki dengan

membuat peraturan yang mendukung konservasi penyu hijau (Chelonia mydas)

Dalam bidang pariwisata

Peningkatan potensi Wisata Alam Laut di Pulau Sangalaki harus memperhatikan keberadaan

dan keberlangsungan Penyu Hijau (Chelonia mydas). Selain itu juga, pengelolaan Resort Wisata

yang berada di sektor 1 tidak boleh mengganggu Penyu Hijau (Chelonia mydas) yang akan naik

bertelur.

Bagi masyarakat umum

Setelah mengetahui faktor tempat bertelur Penyu Hijau (Chelonia mydas), diharapkan

masyarakat mampu memperhatikan sekaligus menjaga keberadaan tempat bertelur Penyu Hijau di Taman Wisata Alam Pulau Sangalaki. Dan diharapkan masyarakat mampu bekerja sama dengan

pihak pemerintah atau LSM untuk saling membantu dalam penyelamatan Penyu Hijau (Chelonia

mydas) dengan melestarikannya agar tidak punah.

(8)

Ahmad Ali dan Kamarruddin Ibrahim. 2002. Crab Predation On Green Turtle (Chelonia mydas) Eggs Incubated on a Natural Beach and Turtle Hatcheries. didownload dari http://www.seaturtle.org/PDF/AliA_2002_InProceedingsofthe3rdWorkshoponSEASTAR20 00_p95-100.pdf. diakses pada tanggal 5 Mei 2011 pukul 16.16 WIB

Anonim. 2009. Tata Cara Permohonan, Pemberian dan Pencabutan Izin Usaha Berburu Telur

Penyu Hijau (Chelonia mydas) dan Penyu Sisik (Eretmochelys imbricata). Jakarta : Kementerian Kehutanan Republik Indonesia.

Balai Konservasi Sumber Daya Alam. Taman Wisata Alam Laut Pulau Sangalaki. Diakses dari:

http//:bksdakaltim.dephut.go.id. Diakses pada tanggal 13 Agustus 2010, pukul15.30 WIB

Dermawan, Agus dkk. 2009. Pedoman Teknis Pengelolaan Konservasi Penyu. Jakarta : Direktorat

Konservasi dan Taman Nasional Laut, Direktorat Jendral Kelautan, Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil, Departemen Kelautan dan Perikanan RI

Evi Lestari Rahayu, Dewi Mustika, Inna Febriantie, Diana Sumolang. 2008. Tipologi Habitat

Peneluran Penyu Hijau (Chelonia mydas) di Pantai Pangumbahan, Kabupaten Sukabumi, Jawa Barat. Unpublished report. Institut Pertanian Bogor. Bogor

Goin, C.J., O.B. Goin and G.R.Zug. 1978. Intoduction to Herpetology. Third Edition. W. H. San Fransisco : Freeman and Company.

Guntram G. Meler, Karen Varuhum. 2003. Pembasmian Tikus Sebagai Bagian Dari Program

Konservasi Penyu Hijau (Chelonia mydas) di Indonesia. Diakses dari : http//:www.iwf.or.id. Diakses pada tanggal 13 Agustus pukul 15.30 WIB

Harsono, dkk. 1979. Studi Tingkah Laku Penyu Waktu Bertelur di Pantai Sukamade Banyuwangi.

Yogyakarta : Jurusan Biologi FKIE-IKIP Yogyakarta

Hui-Chen Wang, I-Jiunn Cheng. 1999. Breeding biology of the green turtle, Chelonia mydas

(Reptilia : Cheloniidae), on Wan-An Island, PengHu archipelago.II. Nest site selection. Marine Biology 133 : 603-609

Ismu Sutanto S, Ating Somantri, J.P. Schulz. 1989. Evaluasi Kondisi Penyu di Indonesia. Media

Konservasi Vol.II (3)

Ita Novitawati, A.M. Thohari, Agus Priyono, Ismu S. Suwelo. 2003. Kajian Potensi Habitat

Peneluran Penyu Hijau di Pantai Taman Wisata Alam Sukawayana, Pelabuhan Ratu, Kabupaten Sukabumi. Prosiding Seminar Hasil Penelitian Departemen Konservasi Sumberdaya Hutan : Bogor

Kasijan Romimohtarto,Sri Juwana. 2007. Biologi Laut : Ilmu Pengetahuan tentang Biota Laut.

Jakarta : Penerbit Djambatan

Marion Harless, Henry Morlock. 1979. Turtles. USA

Mukminin, Ahmad. 2002. Studi Habitat Peneluran Penyu Hijau (Chelonia mydas, L) di Pulau

Sangalaki, Kepulauan Deawan, Kabupaten Berau, Kalimantan Timur. Skripsi Program Studi Ilmu Kelautan FPIK IPB. Bogor

Gambar

Gambar 1. Jejak dan lokasi bertelur Penyu Hijau (Chelonia mydas)

Referensi

Dokumen terkait

Dalam Negeri Nomor 3 Tahun 1983 tentang Pakaian Dinas dan Tanda Jabat­ an Kepala Desa/Kepala Kelurahan, perlu dituangkan dalam Peraturan Daerah Propinsi Daerah Tingkat I

Penelitian ini bertujuan untuk I) menganalisa ada atau tidaknya hubungan antara pajak daerah, retribusi daerah, Jaba BUMD I hasil kekayaan daerah yang

Untuk mencegah agar tidak terjadi dampak - dampak yang lebih parah maka ada beberapa cara pengobatan yang dapat dilakukan diantaranya adalah terapi operatif yaitu

- Bila kultur darah negative tidak ada tanda sepsis setelah 48 jam dan tidak ada gejala yang memerlukan perawatan di Rumah Sakit bayi bisa dipulangkan7. - beri tahu

Hasil penelitian yang dilakukan sama dengan teori Saifuddin yang menyatakan mioma uteri lebih sering ditemukan pada wanita nullipara atau wanita yang kurang subur

2011 Nama Desa Villag es Luas Panen Harvested Area (Ha) Produksi Production (Ton) Rata-rata Produksi Average of Production (Kw/Ha) (1) (2) (3) (4) 1..

Dari hasil analisis daya klasifikasi ini menunjukkan bahwa model dalam penelitian ini merupakan model prediksi yang tepat untuk perusahaan yang tidak memiliki kepemilikan manajerial

Apabila imej terhadap pajak adalah negatif maka upaya menghidupkan kesadaran membayar pajak menjadi semakin sulit dan akan terperangkap dalam dunia hukum yang semakin