POLIGAMI : ANTARA KETELADANAN NABI SAW DAN APRESIASI MASYARAKAT
Oleh : Ali Rohmad
Abstrak
Dari masyarakat primitif sampai modern, poligami
senantiasa terjadi di mana-mana. Menjelang
Muhammad saw dilahirkan, poligami telah
dipraktekkan masyarakat dunia yang sarat perlakuan biadab pada wanita, seperti tanpa ketentuan jumlah wanita yang boleh dipoligami dan tanpa ketentuan hak-hak perlindungan serta tanpa ketentuan hak-hak nafkah lahir batin. Untuk mengangkat harkat dan derajad kaum wanita sekaligus memerdekakan dari segala bentuk kezaliman yang ditimpakan pada mereka, nabi Muhammad saw mereformasi nilai-nilai dan praktek poligami melalui penerapan prinsip-prinsip keadilan Ilāhiyah. Sangat disayangkan, sampai hari ini, di antara muslimin ada saja yang bersikap masa bodoh terhadap keteladanan nabi saw sebagai suami, ada saja yang berpoligami dengan dalih mengikuti sunnah rasul tetapi tanggung jawabnya rendah. Dan di antara muslimat ada saja yang bersikap masa bodoh terhadap keteladanan para istri nabi saw, bahkan ada yang anti poligami seraya menilai bahwa poligami yang diajarkan Islam itu tidak adil dan hanya mendatangkan mala petaka bagi wanita. Fenomena ini bisa menjadi wacana yang relatif menarik untuk dikaji dan disikapi secara akademis seiring perjalanan era globalisasi.
Kata kunci : poligami,perilaku nabi saw, perilaku masyarakat.
Pendahuluan
Menjelang abad 21 Masehi, dengan semangat materialisme beserta
seluruh cabangnya seperti individualisme, sosialisme, hedonisme, dan lain-lain,
masyarakat dunia telah memasuki era globalisasi dengan tanda-tanda utama
diperankannya segala prinsip/produk ilmu pengetahuan dan teknologi penunjang
sarana informasi, komunikasi, dan transportasi yang makin canggih. Penduduk
dunia dapat saling bersentuhan dalam pergaulan dan dapat saling mempengaruhi
manapun. Tabir-tabir kehidupan teritorial yang semula dirasa mengeliminir dan
memisahkan suatu kelompok masyarakat terhadap kelompok masyarakat yang
lain tampak makin dienyahkan, sehingga bulatan kehidupan di muka bumi
bercampur aduk. Tepat bila Daradjat berpandangan, bahwa “dunia telah terjadi
transparan (terbuka), baik dan buruk segera tersebar ke mana-mana”.1 Jarak yang
jauh tidak lagi menjadi penghalang pergaulan antar manusia, terutama bagi cepat
sampainya pemberitaan mengenai suatu peristiwa.
Dalam era globalisasi, masyarakat yang menganut berbagai macam
ideologi dan agama tampak sengaja mempertemukan sekaligus mempersaingkan
segala produk budayanya yang berupa ide-ide, kelakukan-kelakukan, dan
benda-benda. Berbagai tata nilai (tolok ukur haq-bathil, benar-salah, baik-buruk) tampak
secara sengaja makin dipersaingkan oleh masyarakat pemilik dan atau
pendukungnya. Pada saat pertemuan antar produk budaya yang beraneka macam
itu terjadi, maka saling mempengaruhi antar produk budaya pun pasti terjadi
sekaligus akulturasi budaya juga tidak mungkin lagi bisa dihindarkan. Sehingga,
tata nilai dalam Islam seperti di bidang aqidah, ibadah, akhlaq dan segala bentuk
produk budaya pemeluknya tidak mungkin bisa lepas dari persaingan itu, terlebih
terhadap tata nilai ala birokrasi modern dan ala pasar modern sebagai jelmaan dari
materialisme yang dalam masa nabi Muhammad saw diwakili oleh Abu Jahal cs
sebagai masyarakat kafirin dan musyrikin Arab Jahiliyah.
Dalam akulturasi budaya itu, tak sedikit aspek-aspek tata nilai dalam
Islam yang kemudian diperdebatkan juga diragukan dan dikaburkan kebenarannya
oleh masyarakat dunia dan bilamana mampu dicoba dilenyapkan, disingkirkan,
lagi ditiadakan dari umat Islam. Sebagai contoh, adalah perdebatan tentang
poligami yang dianggap tidak manusiawi dan melecehkan hak asasi kaum wanita.
Syed Ameer Ali mencatat, “… yang beragama Nasrani, mengatakan bahwa
Rasulullah sendiri dengan perkawinannya yang banyak itu mengambil hak
istimewa yang tidak diberikan oleh hukum dan bahwa dengan cara ini ia
memperlihatkan suatu kelemahan watak yang tidak sesuai dengan kedudukannya
1
sebagai Rasul”.2 Pada bagian lain, Syed Ameer Ali juga mencatat, “orang di Barat
cenderung menganggap poligami suatu kejahatan yang intrinsik dan
pelaksanaannya bukan saja tidak dibenarkan oleh hukum, tapi adalah disebabkan
karena kehidupan yang jalang dan tidak berakhlak”.3 Anggapan seperti ini
menjadi tantangan bagi penulis dan segenap umat Islam untuk mengkaji secara
mendalam ajaran-ajaran Islam yang selama ini diyakini kebenarannya.
Makna Poligami
Khoiruddin Nasution mencatat, secara etimologi, kata poligami berasal
dari bahasa Yunani yang merupakan gabungan dua kata yaitu dari kata poli/polus
yang berarti banyak dan kata gamein/gamos yang berarti kawin/perkawinan.4
Dalam “Kamus Besar Bahasa Indonesia”, poligami diberi pengertian :
“sistem perkawinan yang salah satu pihak memiliki/mengawini beberapa lawan
jenisnya dalam waktu bersamaan”.5
Dalam “Ensiklopedi Hukum Islam”, dijelaskan, bahwa yang dimaksud
dengan poligami adalah “ikatan perkawinan, dengan seorang suami punya
beberapa orang istri (poligini) sebagai pasangan hidupnya dalam waktu yang
bersamaan”.6
Berdasarkan beberapa pendapat di atas, bisa dipahami bahwa poligami
merupakan sebutan bagi pernikahan yang dijalani seorang suami bersama istri
lebih dari satu orang dan bisa jadi dalam jumlah yang tidak terbatas. Dalam
tulisan ini, poligami dianggap semakna dengan poligini. Pernikahan di luar yang
demikian tidak dinamai poligami/poligini.
Riwayat Singkat Poligami
Seoanjang sejarah memperlihatkan, bahwa poligami telah terus menerus
dilakukan manusia. Dari zaman primitif hingga modern, di dunia Barat dan
2
Syed Ameer Ali, Api Islam, 3rd ed, Bulan Bintang, Jakarta, 1978, hal. 388.
3Ibid, hal. 393. 4
Vide, Khoiruddin Nasution, Riba dan Poligami Sebuah Studi atas Pemikiran Muhammad Abduh, 1st ed, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 1996, hal. 84.
5
Tim Penyusun Kamus Depdikbud, Kamus Besar Bahasa Indonesia, 4th ed, Balai Pustaka, Jakarta, hal. 779.
6
Timur, di kalangan muslim dan non-muslim, di antara para nabi, penguasa, dan
pejabat negara, serta rakyat jelata baik dalam strata ekonomi kaya raya maupun
papa, tampak senantiasa ada yang melakukan poligami. Dalam pandangan
Mahmudah Abdalati, “poligami telah terjadi di mana-mana, dan akan terus ada
sepanjang sejarah”.7 Yusuf al-Qardhawi menegaskan, bahwa “ketika Islam
datang, perkawinan dengan lebih dari seorang istri tidak ada ketentuan hukumnya,
tidak dibatasi jumlah dan tidak dikenakan persyaratan apapun”.8 Saat itu seorang
lelaki dengan leluasa bisa mengawini banyak wanita tanpa batas jumlah
maksimal.
Basri Iba Asghary menyatakan, bahwa “ketika Islam pada abad ketujuh
telah memberikan banyak peluang kepada kaum wanita untuk berperan serta
dalam kegiatan sosial, maka di belahan dunia lain, wanita diperlakukan tidak
sewajarnya, lebih-lebih jika lembaran sejarah dibuka lebih ke belakang lagi”.9 Di
Athena, orang-orang Yunani Kuno memperdagangkan wanita di pasar-pasar, dan
membenarkan poligami tanpa batas. Di Eropa, poligami dipraktekkan dalam
zaman kaisar. Di Jerman, poligami dipraktekkan dalam pemerintahan nazi. Di
Romawi, poligami dijalankan tanpa undang-undang sampai zaman pemerintahan
kaisar Justianus yang melarangnya melalui undang-undang, namun secara realita
poligami tetap tidak bisa dihentikan. Di Amerika Utara pernah berlaku tradisi
manakala ada seorang lelaki mengawini seorang wanita, maka lelaki itu
dibolehkan juga melakukan hubungan seksual dengan semua saudara perempuan
dari wanita yang dinikahi itu.10 Dalam Kitab Perjanjian Lama tidak ada larangan
berpoligami, termaktub dalam kitab I “Raja-Raja” pasal 11 angka 3 bahwa raja
7
Mahmudah Abdalati, Islam Suatu Kepastian, 1st ed, Media Dakwah, Jakarta, 1983, hal. 385.
8
Yusuf al-Qardhawi, Fatwa-Fatwa Mutakhir, 3rd ed, Yayasan al-Hamidy, Jakarta, hal. 685-686.
9
Basri Iba Ashary, Solusi Al-Qur’an Tentang Problema Sosial Politik Budaya, 1st ed, PT Rineka Cipta, Jakarta, 1994, hal. 221.
10
Salomon mempunyai 700 istri dan 300 gundik. Dalam Kitab Injil, tidak ada
larangan berpoligami.11
Masyarakat Timur, sebelum Islam datang, telah menempatkan kaum
wanita dalam posisi yang jauh dari beradab. Di jazirah Arab, terdapat kebiasaan
mengubur bayi wanita hidup-hidup. Di Tiongkok, ada kebiasaan mengubur
wanita hidup-hidup bersama suaminya yang telah meninggal dunia. Ibnu
Musthafa menuturkan, nasib wanita yang paling baik saat itu adalah dipingit,
diasingkan, dijaga dan dikawal dengan ketat. Setelah itu akan menjadi istri yang
kesembilan, kesepuluh, dan seterusnya. Atau dia, secara otomatis, akan menjadi
budak seseorang yang memperistrikannya.12
Uraian tersebut membuktikan, poligami itu telah dipraktekkan oleh
masyarakat dunia sejak sebelum Muhammad saw dilahirkan, sekaligus
membuktikan bahwa poligami itu bukan ciptaan Islam. Dan yang tampak, Islam
sebenarnya mengangkat derajat kaum wanita dengan jalan membebaskan mereka
dari kezaliman kaum lelaki di atas melalui pembatasan jumlah istri dalam
poligami dan melalui penerapan prinsip keadilan. Islam bisa mentolerir seorang
lelaki untuk berpoligami, manakala dia benar-benar bisa berlaku adil terhadap
istri-istrinya.13 Berarti, Islam telah mereformasi tata nilai dan praktek poligami.
Bandingkan saja dengan aneka kejadian dalam masyarakat dunia di era globalisasi
ini. Dengan semangat materialisme, yang tampak masyarakat terus saja terjadi
pengumbaran nafsu seksual melalui uang, dan menghamburkan uang untuk
memperoleh kepuasan nafsu seksual tanpa ikatan pernikahan; demikian pula
kasus-kasus pemerkosaan pemuasan nafsu seksual yang hampir setiap hari
diinformasikan melalui berbagai media massa.
Pandangan Ulama’
Secara tekstual, ajaran mengenai poligami dalam Islam antara lain
ditunjukkan oleh Al-Qur’an surat keempat Al-Nisak ayat 3 :
11
Vide, Al-Ghazali Menjawab 40 Soal Islam Abad 20, 3rd ed, Mizan, Bandung, 1992, hal. 89.
12
Vide, Ibnu Musthafa, Wanita Islam Menjelang Tahun 2000, 6th ed, Al-Bayan, Bandung, 1993, hal. 60.
13
اﻮﻟ ﺪﻌﺗ ٌﻻأ ﻢﺘﻔﺧ نﺈﻓ ﻊﺑرو ﺚﻠﺛو ﻰﻨﺜﻣ ﺈﺴﻨﻟا ﻦﻣ ﻢﻜﻟ بﺎﻃ ﺎﻣ اﻮﺤﻜﻧﺎﻓ ﻰﻤﺘﯿﻟا ﻰﻓ اﻮﻄﺴﻘﺗ ٌﻻأ ﻢﺘﻔﺧ نإ و وأ ًة ﺪﺣاﻮﻓ اﻮﻟﻮﻌﺗ ٌﻻأ ﻰﻧ دأ ﻚﻟ ذ ﻢﻜﻧﺎﻤﯾأ ﺖﻜﻠﻣ ﺎﻣ
.
Dan apabila kalian takut tidak akan berlaku adil terhadap
(perempuan-perempuan) yang yatim (apabila kalian
mengawininya), nikahilah perempuan-perempuan yang
kalian anggap baik, dua, tiga atau empat. Apabila kalian
takut tidak akan dapat berlaku adil, (nikahilah) seorang
saja, atau budak-budak yang kalian miliki. Perbuatan
seperti itu lebih dekat kepada selamat dari berbuat aniaya
(surat al-Nisak : 3).
Ketika memahami Al-Qur’an surat al-Nisak ayat 3, sebagai dasar hukum
poligami dalam Islam, ternyata di kalangan ‘ulama muncul pandangan yang
bervariasi, bahkan terdapat pandangan-pandangan yang secara sepintas tampak
kontradiktif.
Menurut al-Thabari, lelaki yang yakin dapat berlaku adil ketika
poligami, ia dibolehkan menikahi maksimal empat wanita. Dan lelaki yang
merasa khawatir tidak dapat berlaku adil, ia cukup menikahi seorang wanita
saja.14
Menurur al-Jashshash, surat al-Nisak ayat 3 itu berkaitan dengan wanita
yatim yang dinikahi oleh pengasuhnya. Pernikahan ini dilarang, manakala dengan
alasan kecantikan dan harta wanita yatim tersebut, karena dikhawatirkan wali itu
memperlakukan wanita yatim yang berada dalam pengampuannya secara tidak
adil. Maka lebih baik wali itu menikahi wanita lain. Ayat ini merupakan upaya
menghapuskan kebiasaan orang Arab, bahwa seorang wali itu berkuasa penuh
terhadap wanita yatim yang diasuhnya, kalau ia cantik dan kaya maka
dinikahinya, kalau ia kaya dan tidak cantik maka tidak dinikahinya dan lelaki lain
pun tidak dibolehkan menikahi, supaya wali itu tetap bisa menguasai harta milik
14
wanita yatim tersebut. Poligami yang ditunjukkan surat al-Nisak ayat 3 ini hanya
mubah, dengan syarat kemampuan berbuat adil terhadap para istri, baik di bidang
kebutuhan materi seperti tempat tinggal, pemberian nafkah, pakaian dan di bidang
kebutuhan non-materi seperti rasa kasih sayang, kecenderungan hati.15
Menurut al-Zamakhsyari, wa in khiftum yang terdapat dalam surat
al-Nisak ayat 3 itu bermakna kalau takut tidak dapat berbuat adil dalam memberikan
hak-hak wanita yatim, maka jauhilah menikahinya. Kalau takut berbuat zina,
maka nikahilah wanita non-yatim yang halal (thaba). Telah menjadi tradisi orang
Arab pra-Islam, lelaki menikahi wanita yatim yang berada dalam pengampuannya
dengan alasan kecantikan dan harta wanita itu, tanpa memberikan mahar ketika
menikahinya. Kedua perbuatan ini tidak dibenarkan dalam Islam, maka lelaki
disuruh menikahi wanita non-yatim. Wa yang terdapat pada matsna wa tsulatsa
wa ruba’ dipahami sebagai li al-jam’i (penjumlah), maka jumlah maksimal
wanita yang boleh dinikahi oleh lelaki yang bisa berlaku adil bukan empat tetapi
sembilan (1+2+3+4=9). Aw ma malakat aymanukum dipahami bahwa agar halal
hubungan seorang tuan dengan budaknya harus dinikahi lebih dulu, ini
merupakan alternatif terakhir dalam menikah sebab tanggung jawabnya lebih
kecil, prosesnya lebih cepat, dan maharnya lebih mudah.16
Menurut Al-Qurthubi, adil yang dimuat dalam al-Qur’an surat al-Nisak
ayat 3 berkaitan dengan keharusan berlaku adil dalam hal kasih sayang, hubungan
biologis, pergaulan, dan pembagian nafkah. Pendapat yang membolehkan
menikahi sembilan wanita ditolak, dengan alasan bahwa ketika Harits ibn Qois
(yang memiliki delapan istri) masuk Islam ternyata nabi saw menyuruhnya
memilih empat istri saja dan menceraikan yang lainnya.17
Menurut Ibnu Qayyim, poligami sampai dengan empat istri dibolehkan
dengan syarat bisa berbuat adil terhadap seluruh istri, tidak berbuat aniaya
15
Vide, al-Jashshash, Ahkam al-Qur’an, vol. 2, Dar al-Kitab al-Islamiyah, Berut, n.d, hal. 50-55.
16
Vide, Al-Zamakhsyari, Al-Kasysyaf, vol. 1, Mushthafa al-Babi al-Halabi, Mesir, 1966, hal. 496-497.
17
(dzulm). Kalau tidak mampu berbuat adil atau bahkan menimbulkan aniaya, maka
hendaklah menikahi satu wanita saja atau budak.18
Menurut Al-Maraghi, kebolehan berpoligami itu merupakan kebolehan
yang dipersulit dan diperketat. Poligami dibolehkan hanya dalam keadaan darurat,
yang hanya bisa dilakukan oleh orang yang benar-benar membutuhkan. Alasan
yang membolehkan berpoligami : 1. Karena istri mandul, sementara keduanya
atau salah satunya sangat mengharapkan keturunan, 2. Apabila suami memiliki
kemampuan seks yang tinggi, sementara istri tidak akan mampu meladeni sesuai
dengan kebutuhannya, 3. Kalau suami mempunyai harta yang banyak untuk
membiayai segala kepentingan keluarga, mulai dari kepentingan istri sampai
kepentingan anak-anak, 4. Kalau jumlah wanita melebihi jumlah lelaki, yang bisa
jadi dikarenakan terjadinya perang, sehingga banyak anak yatim dan janda yang
memerlukan perlindungan lelaki.19
Menurut Sayyid Qutub, poligami merupakan suatu perbuatan rukhshah
yang dapat dilakukan hanya dalam keadaan darurat yang benar-benar mendesak.
Kebolehan ini pun masih disyaratkan bisa berbuat adil terhadap istri-istri di
bidang nafkah, mu’amalah, pergaulan, dan pembagian malam. Bagi calon suami
yang tidak sanggup berbuat adil, maka diharuskan cukup menikahi satu orang istri
saja. Bagi calon suami yang sanggup berbuat adil, maka boleh berpoligami
dengan maksimal hanya empat orang istri.20
Menurut Al-Shabuni, poligami itu mengandung hikmah : 1. Mengangkat
harkat martabat wanita sendiri, 2. Untuk keselamatan dan terjaganya sebuah
keluarga, 3. Untuk keselamatan masyarakat secara umum. Poligami masih jauh
lebih baik daripada pergaulan bebas yang melanda dunia secara umum. Poligami
merupakan salah satu cara menyelesaikan masalah yang muncul, seperti jumlah
wanita yang dalam sejarah umat manusia tetap lebih banyak dari pria.21
18 Vide, Ibnu Qayyim, Tafsir Ibnu Qayyim, Dar al-Fikr, Beirut, 1988, hal. 219. 19
Vide, Al-Maraghi, Tafsir al-Maraghi, vol. 4, Mushthafa al-Babi al-Halabi, Mesir, 1963, hal. 181-182.
20
Sayyid Qutub, Fi Dhilal al-Qur’an, vol. 4, Dar al-Kutub al-Ilmiyah, n.p, 1961, hal. 236-241.
21
Poligami Dianggap Merendahkan Wanita
Masyarakat penganut tata nilai ala birokrasi dan ala pasar yang dimotori
materialisme cenderung menganggap poligami dalam Islam sebagai ketentuan
yang tidak menyenangkan lagi merendahkan wanita. Anggapan ini sebenarnya
berkaitan erat dengan isu gender yang memang sengaja dihembuskan. Bahwa
antara kelompok pria dan wanita dianggap sama secara mutlak dalam segala hal.
Dalih emansipasi telah menjadikan kaum wanita dalam zaman ini secara terbuka
bersaing dengan kaum pria untuk memperoleh jenis pekerjaan yang sama. Kaum
wanita sama sekali tidak keberatan apabila harus bersusah payah berebut
mendapatkan predikat modern. Kaum wanita menginginkan kebebasan lagi
mandiri secara mutlak, dan tidak mau menjalani hidup dalam tanggungan dan
perlindungan kaum pria. Kaum wanita tidak lagi menganggap bahwa ketaatan
pada suami merupakan suatu kewajiban dan kebutuhan untuk menegakkan
kesucian kehidupan pernikahan dan untuk mengembangkan kepribadian.
Kondisi di atas juga dibarengi dengan sikap kaum pria Barat yang secara
mati-matian menentang poligami, sebab poligami dianggap memaksa mereka
bersikap jujur dan setia. Poligami akan mendorong mereka untuk memikul
tanggung jawab sosio ekonomis demi terpenuhinya dorongan poligami mereka
dan untuk memberikan perlindungan kepada anggota masyarakat yang lebih
lemah, yakni kaum wanita dan anak-anak, terhadap penyimpangan-penyimpangan
mental maupun fisik.22 Mereka merasa tidak perlu lagi memikul tanggung jawab
yang demikian.
Memang tidak bisa diingkari, bahwa secara psikis (baca:emosional)
tidak seorang wanita pun rela bila harus menyerahkan suaminya untuk juga
dimiliki wanita lain. Dan tidak seorang wanita pun yang berpendapat, bahwa
poligami bukan merupakan penyebab timbulnya kecemburuan. Akan tetapi
menurut Jamilah Jones dan Abu Aminah Bilal Philips, “hukum Islam selalu
mendahulukan kesejahteraan umum masyarakat daripada kesenangan individual
22
dan keinginan-keinginan perorangan”.23 Poligami dalam Islam dimaksudkan
untuk memberikan perlindungan pada wanita, dan untuk mengatasi kelebihan
jumlah wanita yang senantiasa bisa dijumpai dalam kebanyakan masyarakat
manusia. Poligami dalam Islam juga mempertimbangkan aspek-aspek tertentu
pada lelaki yang tidak dapat diingkari dalam sifat manusia, yakni dorongan naluri
seksual lebih besar daripada wanita dan secara alami ingin memiliki lebih dari
seorang istri.
Itulah sebabnya, barangkali bagi wanita, poligami dianggap sebagai
pisau bermata dua. Jika membolehkan poligami sekalipun dengan pertimbangan
yang matang, maka wanita mengingkari perasaannya. Jika melarang poligami
secara apriori, maka wanita dihadapkan pada kenyataan bahwa Allah swt saja
tidak menutup sama sekali jalan ke sana. Jangan-jangan mengingkari kebolehan
poligami yang ditentukan oleh Allah swt tersebut telah menjatuhkan wanita pada
kemusyrikan. Dan dengan menolak mentah-mentah poligami, maka sebenarnya
wanita juga bersikap individualis, egois dan meninggalkan sifat sosial terhadap
sesama wanita dengan tidak memberi kesempatan yang sama bagi wanita lain
untuk bersuami. Membiarkan wanita lain tidak menikah (baca:bersuami), berarti
telah terjadi wanita menjajah wanita. Ini bisa menambah deretan penderitaan
wanita dalam bentuk penjajahan, setelah lama berlangsung dirasakan pria
menjajah wanita. Dengan demikian, berarti menolak poligami itu merupakan
suatu sikap yang mencerminkan penolakan terhadap keteladanan yang baik
(uswah hasanah) yang melekat pada para istri nabi saw sebagai ummahat
al-mukminin.
Di sisi lain, ternyata terdapat bukti bahwa ada di antara kaum pria yang
melaksanakan poligami dengan tujuan hanya murni pemuasan hawa nafsu dan
kebutuhan biologis, tanpa tanggung jawab yang penuh sebagai suami. Padahal
poligami yang dijalani nabi saw tidaklah demikian, melainkan mencerminkan
rumah tangga yang secara penuh mengangkat derajat kaum wanita dengan
pemenuhan hak dan kewajiban yang berimbang antara suami dan para istri,
sehingga rumah tangga beliau benar-benar bahagian baitiy jannatiy. Di sini
23
semakin jelas, bahwa di antara kaum pria ada yang bersikap egois dengan
mendakwakan dirinya mengikuti sunnah nabi saw, padahal itu hanya di bidang
kawin, bukan di bidang pengembanan tanggung jawab. Ini jelas dapat
meredupkan dan mematikan cahaya Islam.
Konklusi
1. Poligami adalah sebutan bagi pernikahan yang dijalani seorang suami
dengan istri lebih dari seorang.
2. Secara historis, poligami itu telah dijalani masyarakat dunia sejak sebelum
Muhammad saw dilahirkan, bahkan ketika itu pernah terjadi tanpa batas
maksimal jumlah istri.
3. Dalam memahami al-Qur’an surat al-Nisak ayat 3 sebagai dasar hukum
poligami, ternyata pandangan ‘ulama bervariasi dan ada yang tampak
kontradiksi.
4. Islam membolehkan poligami dengan maksud menciptakan kesejahteraan
umum dan melindungi kaum wanita dari segala bentuk kezaliman kaum pria;
namun dalam praktek, di antara muslimin ada yang bersikap masa bodoh
terhadap teladan tanggung jawab dari nabi saw sebagai suami kepada para
istrinya, dan di antara muslimat ada yang bersikap masa bodoh terhadap
teladan tanggung jawab para istri nabi saw sebagai ummahat al-mukminin.