• Tidak ada hasil yang ditemukan

PSIKOLOGI AGAMA DAN KEBUDAYAAN dan

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "PSIKOLOGI AGAMA DAN KEBUDAYAAN dan"

Copied!
20
0
0

Teks penuh

(1)

PSIKOLOGI AGAMA DAN KEBUDAYAAN

(Makalah Ini Disusun Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Psikologi Agama)

Dosen Pengampu : Sururin, M.Ag

Disusun Oleh :

Asep Syahrul Mubarak 1112011000014

Lia Herliawati 1112011000031

Lola Nurhidayaty 1112011000035

Ummi Hafizhah 1112011000038

PENDIDIKAN AGAMA ISLAM

FAKULTAS ILMU TARBIYAH DAN KEGURUAN

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI JAKARTA

(2)

KATA PENGANTAR

Alhamdulillah, segala puji bagi Allah Ta’ala yang telah memberikan nikmat iman, nikmat sehat, nikmat kepercayaan diri sehingga memberikan Kami motivasi besar dalam penyusunan makalah ini.

Dan shalawat serta salam kepada Nabi besar kita, Nabi akhir zaman, yaitu Nabi Muhammad Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam yang telah mengeluarkan kita dari zaman kegelapan hingga zaman yang terang akan ilmu pengetahuan secara alamiah dan spiritual kini.

Terima kasih kepada ibu Sururin, M.Ag yang membimbing Kami dalam mata kuliah Psikologi Agama. Tak lupa Kami ucapkan terima kasih kepada teman dan rekan-rekan yang hadir membantu dan terlibat dalam pembuatan makalah ini sehingga selesai tepat waktu.

Selanjutnya Kami akan memaparkan makalah dengan judul Psikologi Agama dan Kebudayaan. Hal ini bertujan untuk menambah wawasan mengenai keterkaitan antara ilmu Psikologi Agama dengan kebudayaan masyarakat dari segala aspek dan dampaknya serta pengaruhnya dalam kehidupan masyarakat era globalisasi. Kami menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari sempurna. Oleh karena itu, kritik dan saran dari semua pihak yang bersifat membangun selalu diharapkan demi kesempurnaan makalah ini.

(3)

BAB PEMBAHASAN

A. Pengertian Kebudayaan

Kata kebudayaan berasal dari kata Sanskerta buddhayah, yaitu bentuk jamak dari buddhi yang berarti “budi” atau “akal”. Dengan demikian kebudayaan dapat diartikan: “hal-hal yang bersangkutan dengan akal”. Ada sarjana lain yang mengupas kata budaya sebagai suatu perkembangan dari kata majemuk budi-daya, berarti “daya dan budi”. Karena itu mereka membedakan “budaya” dan “kebudayaan”. Demikianlah “budaya” adalah “daya dan budi” yang berupa cipta, karsa, dan rasa. Sedangkan “kebudayaan” adalah hasil dari cipta, karsa, dan rasa itu sendiri.

Kata “kebudayaan” memiliki persamaan arti dengan kata asing, yakni culture. Kata kultur berasal dari kata Latin yakni colere yang berarti “mengolah, mengerjakan” terutama mengolah tanah atau bertani. Dari arti ini berkembang arti culture sebagai “segala daya upaya serta tindakan manusia untuk mengolah tanah dan mengubah alam”.1 Selanjutnya menurut ilmu Antropologi, kebudayaan adalah keseluruhan

sistem gagasan, tindakan dan hasil karya manusia dalam kehidupan masyarakat yang dijadikan milik diri manusia dengan belajar.2

Kebudayaan yang merupakan cetak biru bagi kehidupan atau pedoman bagi kehidupan masyarakat, adalah seperangkat acuan yang berlaku umum dan menyeluruh dalam menghadapi lingkungan untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan masyarakat pendukung kebudayaan tersebut. Dalam kebudayaan terdapat perangkat-perangkat dan keyakinan-keyakinan yang dimiliki oleh pendukung kebudayaan tersebut. Perangkat-perangkat pengetahuan itu sendiri membentuk sebuah sistem yang terdiri dari satuan-satuan yang berbeda secara bertingkat yang fungsional hubungannya satu sama lain secara keseluruhan.

Dari hal tersebut terlihat bahwa kebudayaan dalam suatu masyarakat merupakan sistem nilai tertentu yang dijadikan pedoman hidup oleh warga yang mendukung kebudayaan tersebut. Karena dijadikan kerangka acuan dalam bertindak dan

(4)

bertingkah laku maka kebudayaan cenderung menjadi tradisi dalam suatu masyarakat.3

B. Tradisi Keagamaan dan Kebudayaan

Menurut Parsudi Suparlan, tradisi merupakan sosial budaya yang telah mengakar dalam kehidupan masyarakat dan sulit berubah.4 Bahkan menurut Prof. Dr. Kasmiran

Wuryo, tradisi masyarakat merupakan bentuk norma yang terbentuk dari bawah, sehingga sulit untuk diketahui sumber asalnya.5 Sedangkan Meredith McGuire

melihat bahwa dalam masyarakat pedesaan umumnya tradisi erat kaitannya dengan mitos dan agama.6

Secara umum tradisi sebagai kerangka acuan norma dalam masyarakat disebut pranata.7 Pranata ini ada yang bercorak rasional, terbuka dan umum, kompetitif dan

konflik yang menekankan legalitas, seperti pranata politik, pranata pemerintahan, ekonomi, dan pasar, berbagai pranata hukum dan keterkaitan sosial dalam masyarakat yang bersangkutan. Para ahli sosiolog menyebutnya sebagai pranata sekunder. Pranata ini dapat dengan mudah diubah struktur dan peranan hubungan antarperannya maupun norma-norma yang berkaitan dengan itu.8

Selain pranata sekunder, ada pranata primer yang merupakan kerangka acuan norma yang mendasar dan hakiki dalam kehidupan manusia itu sendiri. Pranata primer berhubungan dengan kehormatan dan harga diri, jati diri serta kelestarian masyarakat. Karena itu, pranata primer tidak dengan mudah dapat berubah begitu saja. Melihat struktur dan peranan serta fungsinya, pranata primer ini lebih mengakar pada kehidupan masyarakat. Oleh karena itu, pranata primer bercorak menekankan pada

3H. Jalaluddin, Psikologi Agama, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2010), cet. XIV, h. 223. 4Ibid., h. 224.

5Ibid., h. 223-224. 6Ibid., h. 224.

7Pranata atau institusi adalah norma atau aturan mengenai suatu aktivitas masyarakat yang khusus. Norma/aturan dalam pranata berbentuk tertulis (undang-undang dasar, undang-undang yang berlaku, sanksi sesuai hukum resmi yang berlaku) dan tidak tertulis (hukum adat, kebiasaan yang berlaku, sanksinya ialah sanksi sosial/moral (misal dikucilkan).Pranata bersifat mengikat dan relatif lama serta memiliki ciri-ciri tertentu yaitu simbol, nilai, aturan main, tujuan, kelengkapan, dan umur.

(5)

pentingnya keyakinan dan kebersamaan serta bersifat tertutup atau pribadi, seperti pranata-pranata keluarga, kekerabatan, keagamaan, pertemanan atau persahabatan.9

Mengacu kepada penejalasan tersebut, tradisi keagamaan termasuk kedalam pranata primer. Ia sulit berubah, karena didukung masyarakat juga memuat sejumlah unsur-unsur yang memiliki nilai-nilai luhur yang berkaitan dengan keyakinan masyarakat. Tradisi keagamaan pun mengandung nilai-nilai yang sangat penting yang berkaitan erat dengan agama yang dianut masyarakat atau setiap individu pemeluk agama.10

Menurut Thomas F.O. Dea, agama merupakan aspek sentral dan fundamental dalam kebudayaan. Kenyataan ini dapat dilihat dalam kaitannya dengan pola kehidupan masyarakat di Indonesia, salah satunya masyarakat Minangkabau yang dengan tegas mendasarkan kebudayaannya berdasarkan pada nilai-nilai dan norma Islam. Dalam kehidupan masyarakat Minagkabau dikenal pepatah: “Adat bersendi Syara’, syara’ bersendi adat. Adat bersendi syara’, syara’ bersendi Kitabullah.”11

Dalam hal ini nampaklah bahwa agama memegang peranan penting dalam pembentukan suatu kebudayaan.

Selanjutnya, bila kebudayaan merupakan cetak biru bagi kehidupan atau pedoman masyarakat, maka dalam masyarakat pemeluk agama, perangkat-perangkat yang berlaku umum dan menyeluruh merupakan norma-norma kehidupan yang cenderung mengandung muatan keagamaan. Dengan demikian, hubungan antara tradisi keagamaan dengan kebudayaan terjalin sebagai hubungan timbal balik. Makin kuat tradisi keagamaan dalam suatu masyarakat maka akan semakin terlihat peran dominan agama dalam kebudayaan. Dan hal tersebut berlaku sebaliknya.12

C. Tradisi Keagamaan dan Sikap Keagamaan

Tradisi keagamaan merupakan kerangka acuan norma yang sudah dianggap baku dalam kehidupan dan perilaku masyarakat. Dan tradisi keagamaan sebagai pranata primer dari kebudayaan memang sulit untuk berubah, karena keberadaannya didukung

9H. Jalaluddin, Psikologi Agama…, h. 224-225. 10 Ibid., h. 225.

11Ibid.

(6)

oleh kesadaran bahwa pranata tersebut menyangkut kehormatan, harga diri, dan jati diri masyarakat pendukungnya.13

Selanjutnya, para ahli antropologi membagi kebudayaan dalam bentuk dan isi. Menurut bentuknya kebudayaan terdiri atas tiga, yaitu: sistem kebudayaan, sistem sosial, dan benda-benda budaya. Sedangkan isinya terdiri atas tujuh unsur, yaitu: bahasa, sistem teknologi, sistem ekonomi, organisasi sosial, sistem pengetahuan, religi, dan kesenian. Kebudayaan merupakan lingkungan yang terbentuk oleh norma-norma dan nilai-nilai yang dipelihara oleh masyarakat pendukungnya. Kemudian nilai dan norma tersebut berkembang dalam berbagai kebutuhan masyarakat, sehingga terbentuk suatu sistem sosial. Dari sistem ini selanjutnya terwujud pula benda-benda kebudayaan dalam bentuk benda fisik.14

Dalam kaitannya dengan pembentukan tradisi keagamaan, secara konkret, dapat digambarkan melalui proses penyiaran agama hingga terbentuk suatu komunitas keagamaan. Sebagai contoh, masuknya agama-agama ke Nusantara. Pada tahap pertama, penyebar agama datang dan para pemimpin agama menyampaikan ajaran kepada penduduk setempat. Ajaran tersebut berisikan konsep-konsep agama yang disebut sistem kebudayaan (cultural system). Dalam hal ini terjadi proses transfer ilmu yang dalam psikologi pendidikan disebut aspek kognitif (yang menyangkut pengetahuan agama). Pada tahap kedua, masyarakat diarahkan kepada bagaimana melaksanakan ajaran agama. Ilmu yang telah diperoleh diharapkan mampu dilakukan dengan baik dalam keseharian. Pada tahap ini terlihat bahwa agama sudah mencapai tingkat sistem sosial (social system). Di tahap selanjutnya, terciptalah benda-benda keagamaan baik dalam bentuk bangunan maupun karya-karya para penganut agama. Tahap ini merupakan tahap akhir dan telah terwujudsuatu bentuk kebudayaan fisik (material culture) suatu agama.15

Lingkungan kebudayaan yang bersumber dari ajaran agama ini kemudian mempengaruhi sikap keberagamaan masyarakat (khususnya masyarakat Indonesia). Pada wilayah-wilayah tertentu, sikap keberagamaan ini dipengaruhi oleh agama Hindu, pada wilayah lain oleh agama Kristen, dan wilayah lain selanjutnya oleh

13H. Jalaluddin, Psikologi Agama…, h. 226. 14Ibid., h. 226-227.

(7)

agama Islam. Di sini terlihat bagaimana tradisi keagamaan yang telah berlangsung sejak empat belas abad lalu masih ikut mempengaruhi sikap keagamaan masyarakat.16

Menurut Robert C. Monk, memang pengalaman agama umumnya bersifat individual. Tetapi pengalaman agama juga senantiasa mendorong seseorang untuk mengembangkan dan menegaskan keyakinannya itu dalam sikap, tingkah laku, dan praktik-praktik keagamaan yang dianutnya. Hal inilah yang merupakan sisi sosial yang menjadi unsur pemelihara dan pelestari sikap para individu yang menjadi anggota masyarakat. Monk melihat bagaimana hubungan antara sikap keagamaan dengan tradisi keagamaan. Sikap keagamaan seseorang dalam masyarakat yang menganut suatu keyakinan agama merupakan unsur penopang bagi terbentuknya tradisi keagamaan.17

Tradisi keagamaan dan sikap keagamaan saling mempengaruhi. Sikap keagamaan mendukung terbentuknya tradisi keagamaan, sedangkan tradisi keagamaan sebagai lingkungan kehidupan turut memberi nilai-nilai, norma-norma pola tingkah laku keagamaan kepada seseorang. Dengan demikian, tradisi keagamaan memberi pengaruh dalam membentuk pengalaman dan kesadaran agama sehingga terbentuk sikap keagamaan pada diri seseorang yang hidup dalam lingkungan tradisi keagamaan tertentu. Bagaimana pengaruh tradisi keagamaan terhadap sikap keagamaan ini dapat dilihat dari contoh berikut. Seorang muslim dibesarkan di lingkungan keluarga yang taat akan menunjukkan sikap yang menolak ketika diajak masuk ke Kelenteng, Pure, atau Gereja. Sebaliknya, hatinya akan tentram saat menjejakkan kakinya di masjid. Demikian pula seorang penganut agama Katolik, Budha ataupun Hinduakan mengalami hal yang serupa.18

Sikap keagamaan yang terbentuk oleh tradisi keagamaan merupakan bagian dari pernyataan jati diri seseorang dalam kaitan dengan agama yang dianutnya. Sikap keagamaan ini akan turut mempengaruhi cara berfikir, cita rasa, ataupun penilaian seseorang terhadap segala sesuatu yang berkaitan dengan agama. Dalam pandangan Robert C. Monk, tradisi keagamaan memiliki dua fungsi: 1) sebagai kekuatan yang mampu membuat kestabilan dan keterpaduan masyarakat maupun individu; dan 2)

16H. Jalaluddin, Psikologi Agama…, h. 228. 17Ibid., h. 229.

(8)

sebagai agen perubahan dalam masyarakat atau individu bahkan dalam situasi konflik sekalipun.19

Dalam konteks pendidikan, tradisi keagamaan merupakan isi pendidikan yang menjadi warisan generasi tua kepada generasi muda. Sebab, pendidikan menurut HasanLanggulung, dapat dilihat dari dua sudut pandang, yaitu sudut pandang individu yang diartikan sebagai upaya untuk mengembangkan potensi seseorang,dan sudut pandang masyarakat yang merupakan pewarisan nilai-nilai budaya oleh generasi tua kepada generasi berikutnya.20

D. Agama dan Pembangunan Kebudayaan Masyarakat 1. Peranan Agama Dalam Pembangunan

Prof. Dr. Muti Ali mengemukakan bahwa peranan agama dalam pembangunan adalah:21

a. Sebagai etos pembangunan

Maksudnya adalah bahwa agama yang menjadi panutan seseorang atau masyarakat jika diyakini dan dihayati secara mendalam mampu memberikan suatu tatanan nilai moral dalam sikap. Selanjutnya nilai moral tersebut akan memberikan garis-garis pedoman tingkah laku seseorang dalam bertindak, sesuai dengan ajaran agamanya. Segala bentuk perbuatan yang dilarang agama dijauhinya dan sebaliknya selalu giat dalam menerapkan perintah agama, baik dalam kehidupan pribadi maupun demi kepentingan orang banyak.Dari tingkah laku dan sikap yang demikian tercermin suatu pola tingkah laku yang ethis. Penerapan agama lebih menjurus kepada perbuatan yang bernilai akhlak mulia dan bukan untuk kepentingan lain. Segala bentuk perbuatan individu maupun masyarakat selalu berada dalam suatu garis yang serasi dengan peraturan dan aturan agama, hingga pada akhirnya akan terbina suatu kebiasaan yang agamis.

b. Sebagai motivasi

Ajaran agama yang sudah menjadi keyakinan mendalam akan mendorong seseorang atau kelompok untuk mengejar tingkat kehidupan yang

19H. Jalaluddin, Psikologi Agama…, h. 230-231. 20Ibid., h. 231.

(9)

lebih baik. Pengalaman ajaran agama tercermin dari pribadi yang berpartisipasi dalam peningkatan mutu kehidupan tanpa mengharapkan imbalan yang berlebihan. Keyakinan akan balasan Tuhan terhadap perbuatan baik telah mampu memberikan ganjaran batin yang akan mempengaruhi seseorang untuk berbuat tanpa imbalan material. Balasan dari Tuhan berupa pahala bagi kehidupan akhirat lebih didambakan oleh penganut agama yang taat.Sumbangan harta benda dan milik untuk kepentingan masyarakat yang berlandaskan ganjaran keagamaan telah banyak dinikmati dalam pembangunan, misalnya:

1) Hibah dan wakaf tanah untuk pembangunan jalan, sarana ibadah ataupun lembaga pendidikan.

2) Dana yang terpakai untuk pembangunan lembaga pendidikan dan rumah-rumah ibadah, rumah sakit, panti asuhan dan sebagainya. 3) Pengarahan tenaga yang terkordinasi oleh pemuka agama dalam

membina gotong royong.

2. Fungsi Agama Dalam Masyarakat22 a. Edukatif

Para penganut agama berpendapat bahwa ajaran agama yang mereka anut memberikan ajaran-ajaran yang harus dipatuhi.Ajaran agama secara yuridis berfungsi menyuruh dan melarang.Kedua unsur suruhan dan larangan ini mempunyai latar belakang mengarahkan bimbingan agar pribadi penganutnya menjadi baik dan terbiasa dengan yang baik menurut ajaran agama masing-masing.

b. Penyelamat

Manusia selalu menginginkan dirinya selamat di mana pun dia berada.Keselamatan yang meliputi bidang yang luas adalah keselamatan yang diajarkan oleh agama. Keselamatan yang diberikan oleh agama kepada penganutnya adalah keselamatan yang meliputi dua alam yaitu: dunia dan akhirat. Dalam mencapai keselamatan itu agama mengajarkan para penganutnya melalui pengenalan kepada masalah sakral, berupa keimanan kepada Tuhan.

Pelaksanaan pengenalan kepada unsur (zat supernatural) bertujuan agar dapat berkomunikasi baik secara langsung maupun dengan perantara langkah

(10)

menuju ke arah tersebut secara praktis dan dilaksanakan dengan berbagai cara sesuai dengan ajaran agama itu sendiri, diantaranya: mempersatukan diri dengan Tuhan (panthaisme), pembebasan dan pensucian diri (penebus dosa) dan kelahiran kembali (reinkarnasi).

Untuk itu dipergunakan berbagai lambang keagamaan.Kehadiran Tuhan dapat dihayati secara batin maupun benda-benda lambang. Kehadiran dalam bentuk penghayatan batin yaitu melalui meditasi sedangkan kehadiran dalam menggunakan benda-benda lambang melalui:

1) Theophania spontanea, yaitu kepercayaan bahwa Tuhan dapat dihadirkan dalam benda-benda tertentu seperti tempat angker, gunung, dan lainnya.

2) Theophania incativa, yaitu kepercayaan bahwa Tuhan hadir dalam lambang karena dimohonkan, baik melalui invocativa magis (mantera, dukun) maupun invocativa religius (permohonan, doa, kebaktian dan sebagainya).

c. Pendamaian

Melalui agama seseorang yang bersalah atau berdosa dapat mencapai kedamaian batin melalui tuntutan agama. Rasa berdosa dan rasa bersalah akan segera hilang dari batinnya jika seseorang yang bersalah atau berdosa tersebut telah menebus dosanya melalui taubat, pensucian atau penebusan dosa.

d. Kontrol Sosial

(11)

f. Transformatif

Ajaran agama dapat merubah kehidupan pribadi seseorang atau kelompok menjadi kehidupan baru sesuai dengan ajaran agama yang dianutnya. Kehidupan baru yang diterimanya berdasarkan ajaran agama yang dipeluknya tersebut terkadang mampu mengubah kesetiaannya kepada adat atau norma kehidupan yang dianut sebelumnya.

g. Kreatif

Ajaran agama mendorong dan mengajak para menganutnya untuk bekerja produktif bukan saja untuk kepentingan diri sendiri, tetapi juga untuk kepentingan orang lain. Penganut agama bukan saja diperintahkan bekerja secara rutin dalam pola hidup yang sama, tetapi juga dituntut untuk melakukan inovasi dan penemuan.

h. Sublimatif

Ajaran agama memperbolehkan segala usaha manusia, bukan hanya yang bersifat ukhrawi, tetapi juga yang bersifat duniawi.Segala usaha manusia selama tidak bertentangan dengan norma-norma agama, bila dilakukan atas niat yang tulus karena dan untuk Allah merupakan ibadah.

3. Sikap Keagamaan23

Sikap keagamaan merupakan suatu keadaan yang ada dalam diri seseorang yang mendorong seseorang untuk bertingkah laku yang berkaitan dengan agama. Sikap keagamaan terbentuk karena adanya konsistensi antara kepercayaan terhadap agama sebagai komponen kognitif, dan persamaan terhadap agama sebagai komponen aktif, serta perilaku agama sebagai komponen konatif. Di dalam sikap keagamaan antara komponen kognitif, afektif, dan konatif saling berintegrasi secara kompleks. Pendidikan agama yang bersifat drissur, dan menggugah akal serta perasaan memegang peranan penting dalam pembentukan sikap keagamaan.

Mc. Nair dan Brown (1983) dalam penelitiannya menemukan bahwa dukungan orang tua berhubungan secara signifikan dengan sikap siswa. Begitu pun Zakiah Darajat (1988) mengatakan bahwa sikap keagamaan merupakan perolehan dan bukan bawaan. Ia terbentuk melalui pengalaman langsung yang

(12)

terjadi dalam hubungannya dengan unsur-unsur lingkungan materi dan sosial, misalnya rumah yang tentram, orang spesial, teman orang tua, jamaah dan sebagainya.

Walaupun sikap terbentuk karena pengaruh lingkungan, namun faktor individu tersebut ikut pula menentukan. Menurut Siti Partini pembentukan dan perubahan sikap dipengaruhi oleh dua faktor, yaitu: 1) faktor internal, berupa kemampuan menyeleksi dan mengolah atau menganalisis pengaruh yang datang dari luar, termasuk minat dan perhatian; dan 2) faktor eksternal, berupa faktor di luar diri individu yaitu pengaruh lingkungan yang diterima.

Dengan demikian walaupun sikap keagamaan bukan merupakan bawaan akan tetapi dalam pembentukan dan perubahannya ditentukan oleh faktor internal dan eksternal individu. Pembentukan sikap keagamaan pun mempengaruhi sikap kebudayaan di lingkungannya, seoerti sikap fanatis, sikap toleran, sikap pesimis, sikap aptimis, sikap tradisional, sikap modern, sikap fatalisme dan sikap free will. Hal ini dapat menimbulkan dampak negatif dan dampak positif dalam meningkatkan kehidupan individu dan masyarakat.

Salah satu contohnya dapat kita lihat betapa indahnya sikap seorang muslim yang diajarkan Islam bahwa setiap penganutnya harus berusaha sekuat tenaga untuk menuntut perbaikan hidupnya did dunia, karena kebahagiaan hidup di dunia (yang diridhai-Nya) sebagai jembatan untuk tercapainya kebahagiaan hidup di akhirat. Sikap yang seperti itu memacu pemeluk agama untuk berpartisipasi aktif dalam membangun kebudayaan serta peradaban bagi masyarakat pada zamannya.

E. Kebudayaan dalam Era Global dan Pengaruhnya terhadap Jiwa Keagamaan

(13)

kota, kota dunia. Batas negara sudah tidak jadi penghalang bagi manusia untuk saling berhubungan. Kehidupan manusia era global saling mempengaruhi sehingga segala sesuatu yang sebelumnya dianggap sebagai milik suatu bangsa tertentu akan terangkat menjadi milik bersama.24

Dibalik hal tersebut, menurut David C. Korten, ada tiga krisis yang akan dihadapi manusia secara global. Krisis tersebut yaitu: kemiskinan, penanganan lingkungan yang salah serta kekerasan sosial. Gejala tersebut akan menjadi mimpi buruk kemanusiaan abad ke-21. Selanjutnya, bukan hanya krisis tersebut, namun manusia akan dihadapkan dengan banyak permasalahan yang bersifat global.25

Dalam kaitannya dengan jiwa keagamaan, dampak globalisasi itu dapat dilihat melalui hubungan dengan perubahan sikap. Menurut Osgood dan Tannenbaum perubahan sikap akan terjadi jika terjadi persamaan persepsi pada diri seseorang atau masyarakat terhadap sesuatu. Hal ini berarti bahwa apabila pengaruh globalisasi dengan segala muatannya dinilai baik oleh individu maupun masyarakat, maka mereka akan menerimanya. Selanjutnya, menurut teori Festinger, bahwa perubahan seakan terjadi apabila terjadi keseimbangan kognitif (pengetahuan) terhadap lingkungannya. Dengan demikian, perubahan sikap dari seseorang atau masyarakat akan terjadi apabila menurut pengetahuan mereka, kemajuan teknologi yang dialaminya di era globalisasi sejalan dengan pengetahuan dan pemikiranya. Pada garis besarnya, proses perubahan sikap tersebut dapat digambarkan melalui dua jalur, yaitu proses rasional dan proses emosional.26

Proses rasional diawali oleh adanya perhatian, pemahaman, penerimaan, dan berakhir pada keyakinan. Sedangkan proses emosional berawal dari perhatian, simpati, menerima, dan berakhir pada minat. Mengacu pada kedua proses tersebut, dapat dipahami bahwa sesuatu berawal dari tingkat perhatian. Dalam hal inilah barangkali dapat terlihat hubungan antara pengaruh kebudayaan dalam era globalisasi dengan pembentukan jiwa keagamaan.27

Menurut pendekatan psikologi, keterikatan terhadap tradisi keagamaan lebih tinggi terjadi pada orang yang sudah berusia lanjut daripada generasi muda. Dalam hal ini,

24H. Jalaluddin, Psikologi Agama, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2010), cet. XIV, h. 231-232. 25Ibid., h. 232.

(14)

usia memiliki pengaruh. Selanjutnya dapat menunjukkan bahwa perubahan sikap terhadap perubahan yang terjadi akan lebih mudah terjadi di kalangan generasi muda. Kecenderungan tersebut tampak pada proses perubahan sikap generasi muda di tanah air terhadap berbagai tradisi keagamaan. Perayaan tahun baru (1 Januari) setiap tahun tampaknya sudah bukan lagi dianggap sebagai tradisi keagamaan dari agama tertentu, melainkan dianggap sebagai perayaan nasional. Hal ini mengisyaratkan terjadinya pelunturan norma-norma dan nilai-nilai keagamaan di kalangan generasi muda. Tradisi keagamaan cenderung ditanggapi tanpa disertai emosi dan rasio keagamaan. Nilai-nilai kebudayaan yang bersumber dari ajaran suatu agama beralih menjadi nilai-nilai sosial. Hal ini menunjukan terjadinya pergeseran nilai-nilai dari sakral ke nilai-nilai profane.28 Dari hal ini dapat kita pahami bahwa kebudayaan di era global dapat

membuat jiwa keberagamaan seseorang itu menurun terutama di kalangan generasi muda.

Secara fenomena, kebudayaan dalam era global mengarah kepada nilai-nilai sekuler yang besar pengaruhnya terhadap perkembangan jiwa keagamaan, khususnya di kalangan generasi muda. Paling tidak ada dua kecenderungan yang tampak: 1) muncul sikap toleransi yang tinggi terhadap perbedaan agama; dan 2)muncul sikap fanatik keagamaan. Sikap toleransi dijumpai di kalangan kelompok yang disebut moderat, sedangkan sikap fanatik sering diidentikkan dengan kelompok fundamental. Kedua hal ini menurut pendekatan psikologis berisi ciri-ciri kepribadian introvet dan ekstrovet. Gejala kejiwaan yang dimiliki orang-orang yang introvet lebih bersifat tertutup terhadap perubahan yang terjadi. Sedangkan ekstrovet lebih bersifat terbuka dan mudah menerima.29

Era global memberikan perubahan besar pada tatanan dunia secara menyeluruh dan perubahan itu dihadapi bersama sebagai suatu perubahan yang wajar. Sebab, mau tidak mau, siap tidak siap perubahan itu diperkirakan akan terjadi. Di kala itu, manusia dihadapkan pada peradaban umat manusia. Sedangkan di sisi lain manusia dihadapkan kepada malapetaka sebagai dampak perkembangan dan kemajuan modernisasi dan perkembangan teknologi itu sendiri, seperti yang dikemukakan oleh David C. Korten. Dalam kondisi yang seperti itu, manusia akan mengalami konflik batin secara besar-besaran. Konflik tersebut sebagai dampak dari ketidakseimbangan

28Ibid., h. 235-236.

(15)

antara kemampuan iptek yang menghasilkan kebudayaan materi dengan kekosongan ruhani.30

Kehidupan manusia di era global mengacu pada kehidupan kosmopolitan (warga dunia). Batas geografi negara seakan melebur, terjadi proses lintas budaya yang cepat, kemudahan transportasi, dan cepatnya informasi diketahui banyak orang. selain itu globalisasi juga melahirkan pandangan serba boleh. Apa yangsebelumnya dianggap tabu, selanjutnya dapat diterima dan dianggap biasa. Sementara nilai-nilai tradisional mengalami penggerusan. Manusia mengalami proses perubahan sistem nilai. Bahkan mulai kehilangan pegangan hidup yang bersumber dari tradisi masyarakatnya yang di dalamnya termasuk tradisi dari ajaran agama. Dilain pihak, manusia juga ditawarkan kekaguman terhadap hasil rekayasa ilmu pengetahuan dan teknologi yang menawarkan kemudahan dan kenikmatan bendawi. Dari hal-hal tersebut, manusia dihadapkan pada kondisi yang dapat menimbulkan keraguan dan kecemasan.31

Dalam kondisi global yang demikian, diperkirakan memunculkan tiga kecenderungan utama dalam kesadaran agama dan pengalaman agama. Pertama, berupa arus kembali ke tradisi keagamaan yang liberal. Kedua, kecenderunganke tradisi keagamaan pada aspek mistis. Sedangkan ketiga, adalah munculnya gerakan sempalan yang mengatasnamakan agama.32

Meski banyak memunculkan kecemasan-kecemasan pada dasarnya globalisasi disamping memberikan ancaman -seperti merebaknya konsumerisme, materialisme, hedonisme, sekularisme, mengagung-agungkan ilmu pengetahuan dan teknologi, kemewahan yang tidak semestinya, foya-foya, pergaulan bebas, kebudayaan kekerasan, pornografi, porno aksi, dan semacamnya yang dapat berasal dari dunia film, media cetak, televisi, dan internet- juga memiliki pengaruh positif. Pengaruh positif dalam arti globalisasi membawa serta peradaban luar yang ditengarai berkontribusi bagi kehidupan manusia. Hal-hal positif itu misalnya budaya disiplin, kebersihan, tanggung jawab, egalitarianisme, budaya kompetisi, kerja keras, penghargaan terhadap orang lain, demokrasi, jujur, optimis, mandiri, taat aturan dan sebagainya.33

30Ibid., h. 237.

31H. Jalaluddin, Psikologi Agama…, h. 238. 32Ibid., h. 239.

(16)

Selanjutnya, dampak daripada globalisasi pada keberagamaan seseorang yakni dapat dipahami dalam pembahasan berikut.

1. Agama Budaya dan Budaya Agama

Pada umumnya pembagian agama dibagi menjadi dua, yaitu agama samawi (langit) dan agama budaya. Agama samawi bersumber dari Kitab Suci yang ajarannya disampaikan oleh para Rasul (Utusan Tuhan), yakni termasuk diantaranya agama-agama besar dunia, seperti Yahudi, Kristen, dan Islam. sedangkan yang dimaksud dengan agama budaya adalah agama yang lahir dari pemikiran atau perkembangan budaya manusia. Kepercayaan terhadap “sesuatu” yang melahirkan sistem kepercayaan yang secara umum disebut “agama”, sejauh ini sebagian besar pengalaman manusia, lebih banyak berdasarkan atau berpusat pada legenda dan mitologi.

Selo Soemardjan sebagai pakar sosiologi menyatakan bahwa agama memang bersumber dari ajaran Ilahi. Namun bila sudah diimplementasikan dalam kehidupan manusia, maka ia menjadi bagian budaya. Maka sejalan dengan hal ini, budaya digolongkan menjadi dua, yaitu: 1) budaya iptek, adalah budaya yang lahir dari ilmu pengetahuan dan tekonologi, contohnya bangunan gedung; dan 2) budaya agama, adalah budaya yang lahir dari nilai-nilai ajaran agama, contohnya bangunan rumah ibadah serta proses ibadah.

(17)

formal; dan 2) kemungkinan bahwa masyarakat global yang kosmopolitan mulai mengidap ‘kegersangan spiritual’.34

2. Sentimen Keagamaan

Secara etimologis, sentimen diartikan sebagai semacam pendapat atau pandangan yang didasarkan perasaan yang berlebih-lebihan terhadap sesuatu yang bertentangan dengan pertimbangan pikiran.Sebagai gejala psikologis, sentimen menggambarkan luapan perasaan tidak puas atau benci terhadap sesuatu yang dianggap menyalahi ataupun bertentangan dengan kondisi yang ada.Ataupun dianggap melecehkan sistem nilai yang oleh pendukungnya dianggap sebagai sesuatu yang benar dan perlu dipertahankan.Sentimen berpengaruh dalam menimbulkan luapan perasaan, yang pada tingkat tertentu dapat menimbulkan reaksi.35

Sistem nilai yang bersumber dari ajaran agama dikaitkan dengan nilai-nilai kekudusan.Didalamnya termuat segala sesuatu yang dianggap suci oleh penganutnya.Nilai-nilai kesucian tersebut mencakup unsur ghaib yang berhubungan dengan sembahan, tokoh, sumber ajaran, perangkat, tempat, serta aktivitas.36

Keyakinan agama mencakup komitmen terhadap pemeliharaan nilai-nilai kesucian yang diimani para pemeluk agama.Nilai-nilai yang wajib dijaga, dipertahankan dan diperjuangkan oleh penganutnya. Oleh karena itu, pelecehan dalam bentuk apapun, terhadap nilai-nilai kesucian ini akan melahirkan sentimen keagamaan.

Nabi Muhammad SAW adalah sosok manusia suci, panutan utama bagi kaum Muslimin. Apabila ada perilaku yang dianggap melecehkan atau menghina RasulSAW, pasti akanmenyulut reaksi para pengikutnya. Perilaku yang tidak wajar terhadap tokoh suci yang diagungkan ini, secara psikologis akan menumbuhkan solidaritas masyarakat Muslim sebagai umat dan pengikut Rasul SAW. Reaksi spontan ini akan menampilkan semacam sentimen agama.

Dalam menyikapi kasus-kasus serupa ini, Departemen Agama dan para tokoh agama memiliki peran dan fungsi penting.Sebagai instansi, Departemen Agama diberi wewenang untuk membuat kebijakan terkait peraturan kehidupan umat beragama.Sedangkan tokoh agama sebagai pemimpin kharismatik diharapkan dapat memberikan fatwa yang dinilai arif dan menyejukkan. Dengan

34 H. Jalaluddin, Psikologi Agama…, h. 240-243. 35Ibid., h. 244.

(18)

memberikan pemahaman nilai-nilai ajaran agama yang benar, serta spiritualisme. Awal-awalnya peradaban Yunani Kuno yang dipengaruhi mitologisme tak jauh berbeda. Setelah munculnya filsafat rasionalisme, hingga melintasi kurun Abad Pertengahan, gerbong peradaban dimuati rasionalisme-spiritualisme.37

Saat melintasi Abad Modern, gerbong yang melintas sudah dipengaruhi muatan baru. Nilai-nilai spiritualisme “tercecer” dan tak mampu bersaing dengan raionalisme-empiris dengan produk ipteknya. Produk dalam wujud materi memberi pelayanan baru bagi kehidupan manusia dan kesejahteraan material. Kehidupan manusia secara fisik menjadi lebih aman, mudah, nyaman, dan sekaligus menjanjikan.38

Manusia pada hakikatnya terbangun dari tiga dimensi, yakni fisik, mental dan spiritual. Kesejahteraan dan keharmonisan hidup manusia akan tercapai jika ketiga dimensi ini memperoleh kebutuhan, serta periaku yang sama dan berimbang. Keharmonisan tersebut ditandai dengan kebugaran fisik, kecerdasan akal, kepekaan emosional dan ketentraman batin.

Fisik bersifat materi yang teracik dari unsur-unsur kimiawi. Kebugaran fisik dapat dipenuhi melalui asupan makanan dan minuman yang secara kimiawi memenuhi unsur gizi, empet sehat, lima sempurna.39Dimensi mental bersifat psikologis dengan komponen

kognisi (pikir), emosional (rasa), dan konasi (kemauan). Kebugaran mental hanya mungkin dicapai, bila ketiga komponen dimaksud memperoleh pelakuan yang berimbang. Pencerdasan pikiran, penghalusan rasa, serta penguatan kamauan.40

Berbeda dengan kedua dimensi tersebut, kebugaran spiritual terkait dengan nilai-nilai iman. Dalam pendekatan spiritual, manusia adalah makhluk beragama (homo religius). Manusia memiliki fitrah, berupa dorongan ketundukan kepada Sang Pencipta. Fitrah yang berupa potensi ini disebut fitrah majbulah. Untuk mengembangkannya, ia membutuhkan bimbingan dan arahan yang sejalan dengan fitrah itu sendiri. Paket bimbingan dan arahan ini adalah nilai-nilai ajaran agama.41

Ajaran agama yang oleh Sang Pencipta didelegasikan melalui Rasul-Nya (utusan), disebut fitrah munazzalah (fitrah yang diturunkan). Sebagai potensi, fitrah majbulah juga

37Ibid, h. 252.

38Herimanto dan Winarno, Ilmu Sosial dan Budaya Dasar, (Jakarta: Bumi Aksara, 2010), cet. IV, h. 90. 39Ibid.

40H. Jalaluddin, Psikologi Agama..., h. 253.

(19)

perlu dibugarkan. Bila dibiarkan ia akan mengalami kegersangan spiritual. Kebugaran spiritual pada hakikatnya adalah upaya menyelaraskan antara fitrah majbulah dengan

fitrah munazzalah. Pada puncaknya keselarasan ini akan membawa manusia pada kondisi kehidupan batin yang tentram. Menjadikan manusia bisa menemukan jati dirinya. Sadar akan dirinya sebagai makhluk ciptaan. Sebagai hamba. Bukan penguasa.42

Selanjutnya, kegersangan spiritual dapat menimbulkan “cacat nurani”, diantaranya yakni:

a. Megalomania, dapat menjadikan manusia lupa diri akibat rangkaian kemenangan yang diperoleh, merasa perkasa dan gila kekuasaan. Hal ini menjadikan dirinya sebagai “agama” baru, keunggulan produknya bagaikan “fatwa”.43 Contoh sosok megalomania antara lain Adolf Hitler, Saddam

Hussein, dan George Walker Bush.

b. Keserakahan, menjadikan manusia semakin haus dan tak pernah puas dengan apa yang dimilikinya. Mereka berlomba-lomba mendapatkan hasil yang banyak dan memperkaya diri dengan cara apapun, sementara nilai-nilai moral terabaikan. Tanpa memiliki kekayaan manusia merasa kehilangan harga diri, sehingga terdorong melakukan manipulasi ataupun korupsi.44

c. Manusia Robot, mengubah perilaku manusia yang terkendali secara mekanisme, meniru perilaku orang lain yang dijadikan sosok idola sehingga kehilangan jati diri. Selain itu pula menjadikan manusia pengagum teknologi dan aktifitas kehidupannya terpaku ke perangkat teknologi yang hampa akan nilai-nilai.

d. Euforia Masal, mendorong manusia menemukan teman senasib dan sepenanggung untuk melakukan segala aktifitas kehidupan selama dapat mengobati kegundahan batin. Tak heran berbagai klub bermunculan di kota-kota yang sudah terlanda peradaban modern.

42Ibid.

(20)

DAFTAR PUSTAKA

Djalaluddin, dan Ramayulis.Pengantar Ilmu Jiwa Agama. Jakarta: Kalam Mulia, Cet. IV, 1998.

Herimanto, dan Winarno.Ilmu Sosial dan Budaya Dasar. Jakarta: Bumi Aksara, Cet. IV, 2010.

Referensi

Dokumen terkait

Penelitian yang dilakukan adalah penelitian deskritif dengan cara pengumpulan data dengan menggunakan lembar obaervasi dengan tujuan untuk mengetahui bagaimana

Nilai representasi ( hash ) digunakan untuk membandingkan data awal dan data akhir. Pada penelitian ini dikembangkan suatu mekanisme deteksi perubahan isi pesan

Beberapa peluang untuk menghemat konsumsi energi pada Kompressor udara diantaranya adalah; mengurangi tekanan keluaran, menghilangkan atau mengurangi kebocoran

Aspek-aspek tersebut berhubungan dengan aspek- aspek kepuasan konsumen yang dikemukakan oleh Kotler yang dikutip dari Harun (2013) yaitu harapan, kinerja, kesesuaian,

Untuk itu biro perjalanan melakukan peningkatan kualitas pelayanan tur perjalanan wisata dan kota atau negara melakukan kampanye serta promosi untuk meningkatkan citra

Berdasarkan hasil penelitian pemasaran minyak nilam di Desa Karya Baru Kecamatan Poleang Utara Kabupaten Bombana dapat diambil kesimpulan bahwa Saluran pemasaran

Menurut Yasidah Nur Istiqomah, Abdul Fadlil pada judul penelitiannya Sistem Pakar untuk Mendiagnosa Penyakit Saluran Pencernaan Menggunakan Metode Dempster Shafer

Maksud dan tujuan dari penelitian ini adalah untuk menyajikan sistem informasi geografis terkait posisi spasial dan informasi tentang sebaran Sekolah Menengah Atas