• Tidak ada hasil yang ditemukan

LAHIRNYA MAHKAMAH KONSTITUSI INDONESIA. pdf

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "LAHIRNYA MAHKAMAH KONSTITUSI INDONESIA. pdf"

Copied!
13
0
0

Teks penuh

(1)

TUGAS

MATA KULIAH POLITIK HUKUM

Dosen: Prof. Hikmahanto Juwana, SH., LL.M., Ph.D

LAHIRNYA UNDANG-UNDANG MAHKAMAH KONSTITUSI

NAMA: AMIR HAMDANI NASUTION

NIP: 7112034

PASCA SARJANA UNIVERSITAS ISLAM JAKARTA

PROGRAM MAGISTER ILMU HUKUM

(2)

BAB I

PENDAHULUAN

Indonesia adalah negara yang menganut tradisi hukum Eropa Konstitental atau sering

disebut dengan sistem hukum civil law. Salah satu ciri utama dari sistem hukum civil law adalah

pentingnya peraturan perundang-undangan tertulis atau “statutory laws” atau “statutory legislations”. Kedudukan “statutory laws” lebih diutamakan di banding dengan putusan hakim atau yurisprudensi. Hal ini berbeda dengan sistem common law yang lebih mengutamakan putusan hakim sebagai rujukan penyelesaian suatu perkara. Oleh karena itu, sistem common law

disebut juga dengan “the judiciary law” atau “the case law”.1

Seiring dengan semangat reformasi, wacana penguatan hak konstitusional warga negara

semakin menggeliat baik dalam dunia akademis maupun praktik kenegaraan sehari-hari.

Indonesia telah melakukan perubahan besar dan penting dalam sistem ketatanegaraannya. Salah

satu perubahan tersebut adalah amandemen Undang- Undang Dasar 1945 (reformasi konstitusi)

yang dilakukan sebanyak 4 kali hanya dalam periode 2 tahun. Reformasi konstitusi dipandang

merupakan kebutuhan dan agenda yang harus dilakukan karena UUD 1945 sebelum perubahan

dinilai tidak cukup untuk mengatur dan mengarahkan penyelenggaraan negara sesuai harapan

rakyat, Good Governance, tegaknya demokrasi dan hak asasi manusia.

Reformasi konstitusi ini dinilai sangat mendasar karena mengubah prinsip kedaulatan

rakyat yang semula dilaksanakan sepenuhnya oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR)

menjadi dilaksanakan menurut Undang-Undang Dasar. Akibatnya, semua lembaga negara dalam

UUD 1945 berkedudukan sederajat dan melaksanakan kedaulatan rakyat dalam lingkup

1Jimly Asshiddiqie, “

(3)

wewenangnya masing-masing. Perubahan lain adalah dari kekuasaan Presiden yang sangat besar

(concentration of power and responsibility upon the President) menjadi prinsip saling

mengawasi dan mengimbangi (checks and balances). Prinsip- prinsip tersebut menegaskan cita

negara yang hendak dibangun, yaitu negara hukum yang demokratis. Ini sejalan dengan prinsip

negara hukum yang tertuang dalam Pasal 1 Ayat (3) UUD 19451 yang menyatakan bahwa

“Negara Indonesia adalah negara hukum”, dan penjelasan umum UUD 1945 sebelum perubahan

tentang sistem pemerintahan negara yang menyatakan bahwa negara Indonesia berdasar atas

hukum (rechtstaat), tidak berdasarkan kekuasaan belaka (machtstaat).

(4)

BAB II

SEJARAH TERBENTUKNYA UNDANG-UNDANG MAHKAMAH KONSTITUSI

REPUBLIK INDONESIA

Berkenaan dengan tradisi pengujian konstitusionalitas pasca reformasi yang merupakan

upaya hukum yang dapat dilakukan oleh siapa saja atau lembaga mana saja, tergantung kepada

siapa atau lembaga mana kewenangan diberikan secara resmi oleh konstitusi suatu negara.

Lembaga-lembaga dimaksud tidak selalu merupakan lembaga peradilan, seperti dalam sistem

Prancis, disebut “Conseil Constitutionnel” yang memang bukan “Cour” atau pengadilan sebagai lembaga hukum, melainkan Dewan Konstitusi merupakan lembaga politik. Jika dipakai istilah

“judicial review”, maka dengan sendirinya berarti bahwa lembaga yang menjadi subjeknya

adalah pengadilan atau lembag “judicial (judiciary). Namun, dalam konsepsi “judicial review”,

cakupan pengertiannya sangat luas, tidak saja menyangkut segi-segi konstitusionalitas objek

yang diuji, melainkan menyangkut pula segi-segi legalitasnya berdasarkan peraturan

perundang-undangan dibawah Undang-Undang Dasar.2

Seperti dijelaskan di Bab Pendahuluan, salah satu lembaga negara, hasil amandemen

ketiga konstitusi, yang melaksanakan kedaulatan rakyat adalah Mahkamah Konstitusi (MK). MK

mempunyai kedudukan setara dengan Mahkamah Agung (MA), berdiri sendiri, serta terpisah

(duality of jurisdiction) dengan MA. Fungsi utamanya dikenal sebagai the guardian of the constitution (penjaga konstitusi).

2

Jimly Asshiddiqie, “Model-Model Pengujian Konstitusional di Berbagai Negara”, (Jakarta: Konstitusi

(5)

“Seperti diketahui, sistem dan mekanisme pengujian konstitusional (constitutional review) itu sendiri baru saja kita adopsikan ke dalam sistem konstitusi negara kita dengan dibentuknya Mahkamah Konstitusi pada bulan Agustus 2003. Pengujian konstitusional itu dimaksudkan untuk memastikan bahwa UUD sungguh-sungguh dijalankan atau ditegakan dalam proses penyelenggaraan negara sehari-hari. Pengujian terhadap lembaga lain oleh lembaga yang berbeda apakah yang bersangkutan sungguh-sungguh melaksanakan UUD atau tidak merupakan mekanisme yang sama sekali baru. Sebelumnya memang tidak dikenal dalam sistem hukum dan konstitusi negara kita. Percobaan pertama yang kita a dakan dapat dikatakan barulah muncul setelah era reformasi, yaitu dengan ditetapkannya Ketetapan MPR-RI No. III/MPR/2000 yang memberikan kepada MPR kewenangan aktif untuk menguji konstitusionalitas undang-undang. Sebelum ini, prosedur pengujian (judicial review) oleh Mahkamah Agung hanya dibatasi pada objek peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang terhadap Undang-Undang. Dengan demikian, pengujian oleh Mahkamah Agung itu bukanlah pengujian mengenai konstitusionalitas, melainkan hanya pengujian mengenai legalitas peraturan perundang-undangan. “3

Lebih lanjut Jimly menegaskan, pengujian aktif (active review) yang seyogyanya akan

dilakukan oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat berdasarkan TAP No. III/MPR/2000 tersebut,

sampai masa berlakunya ketetapan MPR tersebut berakhir, tidak pernah dilaksanakan karena

memang tidak ada mekanisme yang memungkinkannya secara teknis dapat dilaksanakan.

Sekiranyapun hal itu dapat dilaksanakan, maka niscaya apa yang dilakukannya tidak dapat

disebut dengan istilah ‘judicial review’, melainkan merupakan ‘legislative review’ karena organ

MPR itu sendiri termasuk cabang kekuasaan judisial. Betapapun juga, meskipun bukan sebagai

legislator atau lembaga pembentuk undang-undang, MPR adalah lembaga yang termasuk

kategori cabang kekuasaan legislatif dalam arti luas. Karena itu, pengujian konstitusional

(constitutional review) yang seyogyanya akan dilakukan lebih tepat disebut sebagai ‘legislative

3

(6)

review on the constitutionality of law’ atau pengujian legislatif atas konstitusionalitas undang-undang.

Ketentuan umum mengenai Mahkamah Konstitusi ini dalam UUD 1945 dicantumkan

dalam Pasal 7B ayat (1), (3), (4), (5), dan Pasal 24 ayat (2), Pasal 24C ayat (1), (2), (3), (4), (5),

dan ayat (6) sebagai hasil perubahan ketiga UUD 1945 pada tahun 2001. Kemudian ditambah

Pasal III Aturan Peralihan UUD 1945 hasil perubahan keempat UUD 1945 pada tahun 2002.

Berdasarkan Aturan Peralihan inilah, Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia benar-benar

dibentuk sebelum tanggal 17 Agustus 2003. Undang-Undang yang mengatur lebih lanjut

ketentuan mengenai mahkamah ini selesai disusun dan disahkan pada tanggal 13 Agustus 2003

menjadi Undang-Undang No. 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi (LN-RI Tahun 2003

No. 98, dan TLN-RI No. 4316), dan Keputusan Presiden yang menetapkan 9 (sembilan) orang

hakim konstitusi yang pertama kali dalam sejarah Republik Indonesia ditetapkan pada tanggal 15

Agustus 2003 dengan Keputusan Presiden No. 147/M Tahun 2003.

Pengucapan sumpah jabatan kesembilan hakim dilakukan dengan disaksikan oleh

Presiden Megawati Soekarnoputri di Istana Negara pada hari Sabtu, tanggal 16 Agustus 2003,

persis 1 hari sebelum tenggang waktu yang ditentukan oleh Pasal III Aturan Peralihan UUD

1945. Keesokan harinya, Minggu, 17 Agustus adalah hari libur, dan hari Senin, 18 Agustus 2003,

adalah hari upacara kenegaraan. Mulai hari Selasa, tanggal 19 Agustus 2003, kesembilan hakim

konstitusi mulai bekerja dengan mengadakan rapat pemilihan ketua dan wakil ketua, serta hal-hal

lain berkenaan dengan pelembagaan lembaga baru ini.

Dengan telah terbentuk dan berfungsinya Mahkamah Konstitusi sejak tanggal 19 Agustus

(7)

dapat diselenggarakan dengan sebaik-baiknya. Namun, dalam Aturan Peralihan Pasal III UUD

1945 ditentukan pula bahwa “Mahkamah Konstitusi dibentuk selambat-lambatnya pada 17

Agustus 2003 dan sebelum dibentuk segala kewenangannya dilakukan oleh Mahkamah Agung”.

Artinya, sejak disahkannya naskah Perubahan Keempat UUD 1945 pada tanggal 10 Agustus

2002 sampai dengan terbentuknya Mahkamah Konstitusi, kewenangan judisial untuk melakukan

pengujian konstitusional (constitutional review) itu sudah berlaku dan untuk sementara waktu

dijalankan oleh Mahkamah Agung yang bertindak selaku Mahkamah Konstitusi Sementara.

Terbukti pula bahwa selama masa 1 (satu) tahun sebelum Mahkamah Konstitusi

dibentuk, di Kepaniteraan Mahkamah Agung telah pula diregistrasi 14 buah berkas perkara

pengujian undang-undang yang diajukan oleh berbagai kalangan masyarakat. Itu berarti,

mekanisme pengujian konstitusional itu tidak saja diadopsikan mekanismenya dalam ketentuan

konstitusi sejak tahun 2000, tetapi juga telah mulai diterapkan dalam kenyataan praktek sejak

itu.4

Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia mempunyai kewenangan berwenang

mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk:

a. menguji undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia

Tahun 1945;

b. memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh

Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;

c. memutus pembubaran partai politik; dan

d. memutus perselisihan tentang hasil pemilihan umum.

4

(8)

e. memutus pendapat DPR terhadap Presiden dan Wakil Presiden yang diduga melakukan

pelanggaran hukum. 5

Hal yang krusial mengenai kewenangan MK ini, menurut Yusril Ihza Mahendara ialah

ketika terjadi proses impeachment terhadap Presiden dan/ atau Wakil Presiden.Keberadaan impeachment adalah konsekuensi dari Presiden dipilih langsung oleh rakyat, dan perubahan kewenangan MPR setelah amandemen UUD 1945. Mekanisme impeachment telah jelas dirumuskan dalam UUD 1945. Hal krusial ialah mengenai alasan-alasan untuk melakukan

impeacment sebagaimana diatur dalam Pasal 7B ayat (1) UUD 1945, yakni jika DPR

berpendapat bahwa Presiden dan/atau Wakil Presiden “telah melakukan pelanggaran hukum

berupa pengkhianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lainnya, atau

perbuatan tercela; dan/atau pendapat bahwa Presiden dan/atau Wakil Presiden tidak lagi

memenuhi syarat sebagai Presiden dan/atau Wakil Presiden”.6

Ketika saya menyiapkan RUU Mahkamah Konstitusi dan membahasnya bersa ma DPR, kami menyepakati untuk mengembalikan segala sesuatu yang dirumuskan di dalam Pasal 7B ayat (1) ini kepada peraturan perundang-undangan yang berlaku. Dengan demikian MK mempunyai pedoman untuk memeriksa da n mengadili pendapat DPR itu dengan merujuk kepada bukti-bukti yang sah, agar ketentuan Pasal 7B itu tidak disalahgunakan secara politik untuk menjatuhkan Presiden. Masalah yang masih tersisa sehubungan dengan penjabaran ketentuan Pasal 7B ayat (1) UUD 1945 ini ialah, apakah setelah MK katakanlah memutuskan bahwa pendapat DPR adalah benar, apakah Presiden dan/atau wakil Presiden masih dapat diadili di peradilan umum untuk dijatuhi sanksi pidana atas kesalahannya. Walaupun MK telah memutuskan Presiden dan/atau Wakil Presiden melakukan kesalahan, namun secara politik

5

Undang-Undang No 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi, pasal 10 ayat 1 dan 2

6

(9)

belum tentu MPR akan memutuskan untuk memberhentikan Presiden. Segalanya tergantung pada keputusan MPR sebagaimana diatur di dalam Pasal 7B ayat (3), (7) dan (8) UUD 1945.7

Menurut Jimly, pengujian atas UU dilakukan dengan tolok ukur UUD. Pengujian dapat

dilakukan secara materiel atau formil. Pengujian materiel menyangkut pengujian atas materi UU,

sehingga yang dipersoalkan harus jelas bagian mana dari UU yang bersangkutan bertentangan

dengan ketentuan mana dari UUD. Yang diuji dapat terdiri hanya 1 bab, 1 pasal, 1 kaimat

ataupun 1 kata dalam UU yang bersangkutan. Sedangkan pengujian formil adalah pengujian

mengenai proses pembentukan UU tersebut menjadi UU apakah telah mengikuti prosedur yang

berlaku atau tidak.8

Dalam memahami persoalan sengketa kewenangan antar lembaga negara, yang

dipersoalkan bukan subjek kelembagaannya tetapi objek kewenangan yang dipersengketakan,

yaitu kewenangan yang diberikan oleh Undang-Undang Dasar atau disebut sebagai kewenangan

konstitusional. Artinya, sejauh berkenaan dengan kewenangan-kewenangan yang diberikan oleh

UUD kepada organ-organ yang disebutkan dalam UUD, apabila timbul persengketaan dalam

pelaksanaannya oleh lembaga-lembaga atau antar lembaga-lembaga yang dimaksudkan dalam

UUD itu, maka Mahkamah

Konstitusilah yang dianggap paling tahu apa maksud konstitusi memberikan

kewenangan-kewenangan tersebut kepada lembaga yang mana di antara yang

bersengketa.

Mekanisme bahwa pembubaran suatu partai politik menurut Jimly, haruslah ditempuh

melalui prosedur peradilan konstitusi. Yang diberi hak “standing” untuk menjadi pemohon

dalam perkara pembubaran partai

politik adalah Pemerintah, bukan orang per orang atau kelompok orang. Yang

berwenang memutuskan benar tidaknya dalil-dalil yang dijadikan alasan tuntutan

pembubaran partai politik itu adalah Mahkamah Konstitusi. Dengan demikian, prinsip

kemerdekaan berserikat yang dijamin dalam UUD tidak dilanggar oleh para penguasa politik

7

Ibid.

8 Jimly Asshiddiqie “Kedudukan Mahmakah Konstitusi dalam Struktur Ketatanegaraan Indonesia”,

(10)

yang pada pokoknya juga adalah orang-orang partai politik lain yang kebetulan

memenangkan pemilihan umum. Dengan mekanisme ini, dapat pula dihindarkan

timbulnya gejala dimana penguasa politik yang memenangkan pemilihan umum

memberangus partai politik yang kalah pemilihan umum dalam rangka persaingan yang tidak

sehat menjelang pemilihan umum tahap berikutnya.

Selanjutnya, terkait, soal perselisihan perhitungan perolehan suara pemilihan umum yang

telah dtetapkan dan diumumkan secara nasional oleh Komisi Pemilihan Umum, dan selisih

perolehan suara dimaksud berpengaruh terhadap kursi yang diperebutkan. Jika terbukti bahwa

selisih peroleh suara tersebut tidak berpengaruh terhadap peroleh kursi yang diperebutkan, maka

perkara yang dimohonkan akan dinyatakan tidak dapat diterima (niet ontvankelijk verklaard).

Jika selisih yang dimaksud memang berpengaruh, dan bukti-bukti yang diajukan kuat dan

beralasan, maka permohonan dikabulkan dan perolehan suara yang benar ditetapkan oleh

Mahkamah Konstitusi sehingga perolehan kursi yang diperebutkan akan jatuh ke tangan

pemohon yang permohonannya dikabulkan. Sebaliknya, jika permohonan tersebut tidak

beralasan atau dalil-dalil yang diajukan tidak terbukti, maka permohonan pemohon akan ditolak.

Ketentuan-ketentuan demikian itu berlaku baik untuk pemilihan anggota DPR, pemilihan

anggota DPD, pemilihan anggota DPRD (kabupaten/kota ataupun provinsi), maupun untuk

pemilihan pasangan calon presiden dan calon wakil presiden (capres/cawapres).

Perkara penuntutan pertanggungjawaban presiden atau wakil presiden dalam istilah

resmi UUD 1945 dinyatakan sebagai kewajiban Mahkamah Konstitusi untuk memutus pendapat

DPR bahwa Presiden dan/atau Wakil Presiden telah melakukan pelanggaran hukum berupa

pengkhianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lainnya. Atau perbuatan

tercela; dan/atau pendapat DPR bahwa Presiden dan/atau Wakil Presiden tidak lagi memenuhi

syarat sebagai Presiden dan/atau Wakil Pesiden. Dalam hal ini, harus diingat bahwa Mahkamah

Konstitusi bukanlah lembaga yang memberhentikan Presiden dan/atau Wakil Presiden. Yang

memberhentikan dan kemudian memilih penggantinya adalah Majelis Permusyawaratan Rakyat.

Mahkamah Konstitusi hanya memutuskan apakah pendapat DPR yang berisi tuduhan (a)

bahwa Presiden dan/atau Wakil Presiden telah melanggar hukum, (b) bahwa Presiden dan/atau

Wakil Presiden telah tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden dan/atau Wakil Presiden,

(11)

menyatakan bahwa pendapat DPR tersebut adalah benar dan terbukti, sehingga atas dasar

itu, DPR dapat melanjutkan langkahnya untuk mengajukan usul pemberhentian atas Presiden

dan/atau Wakil Presiden tersebut kepada MPR.

Sejauh menyangkut pembuktian hukum atas unsur kesalahan karena melakukan

pelanggaran hukum atau kenyataan bahwa Presiden dan/atau Wakil Presiden telah tidak lagi

memenuhi syarat sebagaimana dimaksud dalam UUD 1945, maka putusan MK itu bersifat final

dan mengikat. DPR dan MPR tidak berwenang mengubah putusan final MK dan terikat

pula untuk menghormati dan mengakui keabsahan putusan MK tersebut.

Namun, kewenangan untuk meneruskan tuntutan pemberhentian ke MPR tetap ada di

tangan DPR, dan kewenangan untuk memberhentikan Presiden dan/atau Wakil Presiden yang

bersangkutan tetap berada di tangan MPR. Inilah yang banyak dipersoalkan orang karena ada

saja kemungkinan bahwa MPR ataupun MPR tidak meneruskan proses pemberhentian itu

sebagaimana mestinya, mengingat baik DPR maupun MPR merupakan forum politik yang dapat

bersifat dinamis. Akan tetapi, sejauh menyangkut putusan MK, kedudukannya sangat jelas

bahwa putusan MK itu secara hukum bersifat final dan mengikat dalam konteks kewenangan

MK itu sendiri, yaitu memutus pendapat DPR sebagai pendapat yang mempunyai dasar

konstitusional atau tidak, dan berkenaan dengan pembuktian kesalahan Presiden/Wakil Presiden

sebagai pihak termohon, yaitu benar- tidaknya yang bersangkutan terbukti bersalah dan

bertanggungjawab.9

9

(12)

BAB III

KESIMPULAN

Berkenaan dengan pembahasan tersebut, memang dapat dikemukakan pula bahwa

kehadiran Undang-Undang Mahkamah Konstitusi sangat penting untuk menciptakan keadilan

dalam kehidupan bernegara serta tetap menjaga koridor undang-undang sesuai dengan

Undang-Undang Dasar.

Ini sejalan dengan prinsip negara hukum yang tertuang dalam Pasal 1 Ayat (3) UUD

19451 yang menyatakan bahwa “Negara Indonesia adalah negara hukum”, dan penjelasan umum

UUD 1945 sebelum perubahan tentang sistem pemerintahan negara yang menyatakan bahwa

negara Indonesia berdasar atas hukum (rechtstaat), tidak berdasarkan kekuasaan belaka

(13)

SUMBER BACAAN

Undang-Undang No 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstisusi

Asshiddiqie, Jimly, “Model-Model Pengujian Konstitusional di Berbagai Negara, Jakarta: Konstitusi Press, 2006.

Asshiddiqie, Jimly dan Ahmad Syahrizal, “Peradilan Konstitusi di Sepuluh Negara” Jakarta: Konstitusi Press, 2006.

Asshiddiqie, Jimly, “Perihal Undang-Undang”, Jakarta: Rajawali Press, 2010

_______________,“Sejarah Constitutional Review”

http://jimlyschool.com/read/analisis/276/sejarah-constitutional-review-gagasan-pembentukan-mk/ diunduh 21 Juli 2012

_______________, “Kedudukan Mahmakah Konstitusi dalam Struktur Ketatanegaraan

Indonesia”, http://jimlyschool.com/read/analisis/238/kedudukan-mahkamah-konstitusi-dalam-struktur-ketatanegaraan-indonesia/ diunduh 1 September 2013

Referensi

Dokumen terkait

belum bisa mengisi kesepian dalam hati manusia. 1) Pesan Dakwah Lirik Keempat Lagu Lubang di Hati.. 94 Ketika kita sama-sama bertanya kepada akal, kita sering

1) Mengevaluasi sistem penilaian karyawan. 2) Penegakan disiplin dan pelaksanaan peraturan-peraturan yang telah ditetapkan. 3) Merancang program-program penghargaan bagi

Bagian terbawah umbi rambut adalah matriks rambut, yaitu daerah yang terdiri dari sel-sel yang membelah dengan cepat dan berperan dalam pembentukan batang rambut.. Dasar umbi

Pada diagram use case terdapat 2 actor yang digambarkan, yaitu : user dan admin dimana pada actor pertama yaitu user dapat mengakses website secara online dan

Menurut kepustakaan gambaran klinik meningioma foramen magnum sangat bervariasi dengan rata- rata waktu yang dibutuhkan dari timbulnya gejala pertama dengan

Mengisi data dengan benar -NIM: {6701142021} -Password: {123} Aplikasi akan menampilkan halaman utama yang berisi daftar buku Aplikasi akan menampilkan halaman utama

Sedangkan dalam penelitian ini akan dibuat aplikasi Bantu Pengolahan Nilai Indeks Kinerja Dosen di fakultas Teknologi industri UAD, yang dapat menampilkan data

5.3.2 Vsebina Evropskega kodeksa policijske etike Evropski kodeks temelji na vrsti različnih priporočil in resolucij, sicer pa obsega področje organizacije policije, izbora