• Tidak ada hasil yang ditemukan

KAJIAN SISTEM PENGUJIAN UNDANG-UNDANG DI MAHKAMAH KONSTITUSI REPUBLIK INDONESIA Rabu, 10 April :55

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "KAJIAN SISTEM PENGUJIAN UNDANG-UNDANG DI MAHKAMAH KONSTITUSI REPUBLIK INDONESIA Rabu, 10 April :55"

Copied!
14
0
0

Teks penuh

(1)

 

KAJIAN SISTEM PENGUJIAN UNDANG-UNDANG

DI MAHKAMAH KONSTITUSI REPUBLIK INDONESIA

ABSTRACT

DELFINA GUSMAN, SH,MH[1]

 

Indonesia as state of law which guarantees constitutional right of its civic adopted the mechanism of judicial review into the constitutional of state by constructing the constitution court. One of authorization of this institute as reference with section 24 C paragraphs (1) of Indonesian Constitutional 1945 is justice in the first and last which the decision nature is completed to review the regulation over the constitution.

Key word : constitutional, judicial review

 

A. Pendahuluan

(2)

Negara Hukum adalah negara yang berlandaskan hukum dan menjamin keadilan bagi

warganya. Dengan kata lain, negara yang segala tindakan  alat-alat perlengkapan negara atau penguasa, semata-mata berdasarkan hukum. Hal yang demikian akan mencerminkan keadilan bagi pergaulan hidup warganya.[2] Peraturan Perundang-undangan merupakan instrumen pengatur yang mengikat dan punya legitimasi dalam mewujudkan sebuah negara hukum, tentulah harus menjamin rasa keadilan dan melindungi hak-hak rakyat.

Salah satu mekanisme hukum tata negara dalam pembentukan Peraturan

Perundang-undangan yang ideal adalah sistem pengujian peraturan perundang-undangan.

Undang-Undang Dasar atau konstitusi kita mengenal 2 (dua) jenis sistem pengujian peraturan perundang-undangan. Pertama adalah sistem pengujian undang-undang terhadap

Undang-Undang Dasar yang berada di bawah otoritas Mahkamah Konstitusi; dan Kedua adalah sistem pengujian peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang terhadap undang-undang, yang berada di bawah otoritas Mahkamah Agung.

Terlepas adanya kekurangan yang terdapat pada sistem pengujian peraturan

perundang-undangan di Indonesia, yang jelas pembentukan peraturan perundang-undangan harus bertumpu pada sistem pengujian yang ada. Sistem pengujian peraturan

perundang-undangan di Indonesia mengisyaratkan, bahwa suatu peraturan perundang-undangan dapat digugat atau dimohonkan pengujiannya karena :

(1)   pembentukan undang-undang tidak memenuhi ketentuan berdasarkan Undang-Undang Dasar 1945; dan/atau

(2)   materi muatan dalam ayat, pasal, dan/atau bagian undang-undang bertentangan dengan Undang-Undang Dasar 1945; atau

(3)   materi muatan dalam ayat, pasal, dan/atau bagian peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang bertentangan dengan undang-undang.

 

(3)

Agar pembentukan peraturan perundang-undangan di kemudian hari tidak menghadapi gugatan atau permohonan pengujian, baik terhadap pembentukannya maupun materi

muatannya, maka pembentukan peraturan perundang-undangan itu harus bertumpu pula pada sistem pengujian peraturan perundang-undangan yang berlaku. Pembentukan peraturan perundang-undangan yang mengabaikan sistem pengujian ini, sudah barang tentu akan menghadapi berbagai gugatan atau permohonan pengujian dari masyarakat atau pihak-pihak yang berkepentingan, yang merasa hak dan/atau kewenangan konstitusionalnya dirugikan oleh berlakunya undang-undang atau peraturan perundang-undangan yang telah dibentuk itu.

Dalam kurun waktu 10 tahun terakhir telah dilahirkan berbagai Peraturan

Perundangan-undangan, khususnya Undang-Undang yang ditujukan untuk membangun dan menata sistem ketatanegaraan yang dikehendaki, seperti UU Paket Politik.[3] Berbagai Peraturan Perundang-undangan tersebut, dinilai relatif banyak yang mengutamakan

kepentingan pihak tertentu. Salah satu bukti kegagalan itu, banyak undang-undang yang telah diundangkan dan dinyatakan  berlaku, langsung diajukan sistem pengujian ke Mahkamah Konstitusi, karena bertentangan dengan UUD 1945.

[4]

Berdasarkan data tahun 2003-2008, menunjukan bahwa ada sebanyak 169 perkara pengujian undang-undang yang terdaftar di Mahkamah Konstitusi, meskipun tidak seluruhnya dikabulkan oleh Mahkamah Konstitusi dengan alasan bertentangan dengan UUD 1945.[5] Beranjak dari kondisi dan permasalahan hukum mengenai pengujian undang-undang terhadap UUD pada Mahkamah Konstitusi, maka penulis tertarik untuk melakukan kajian mendasar terhadap sistem pengujian undang-undang pada Mahkamah Konstitusi Indonesia.

B. Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia

Gagasan Pembentukan Mahkamah Konstitusi di Indonesia boleh dikatakan telah muncul ketika para pendiri negara ( the founding fathers) yang tergabung dalam Badan Penyelidik

Usaha-Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) pada tahun 1945 . Dimana, diawali

dengan adanya perdebatan judicial review .

Perdebatan ini terus berkembang sebagai wacana di masyarakat hingga akhir masa orde baru.

Pada masa orde baru, konsep judicial review dicoba dirintis dan diakomodasi dalam berbagai peraturan perundang-undangan. Namun, kesemuanya masih jauh dari memadai, karena hanya mengatur tentang uji peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang. Ide

(4)

pembentukan Mahkamah Konstitusi pada era reformasi mulai dikemukakan pada masa sidang kedua Panitia Ad Hoc I Badan Pekerja MPR RI.

Perubahan ketiga UUD 1945 merupakan tonggak sejarah pembentukan MK sebagai lembaga yang berdiri sendiri disamping MA dengan kewenangan yang diuraikan dalam Pasal 24C ayat 1 UUD 1945: (a) Menguji undang-undang terhadap UUD; (b) Memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh Undang-Undang Dasar; (c) Memutus pembubaran partai politik; (d) Memutus perselisihan tentang hasil pemilihan umum; dan (e) Memutus pendapat DPR bahwa Presiden dan/atau Wapres telah melakukan pelanggaran hukum berupa pengkhianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lain­nya, atau perbuatan tercela dan/atau pendapat bahwa Presiden dan/atau Wakil Presiden tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden dan/ atau Wakil Presiden.

Kewenangan pertama Mahkamah Konstitusi sering disebut sebagai “judicial review”.

Namun istilah ini harus diluruskan dan diganti dengan istilah “ constitutional review

” atau pengujian konstitusional mengingat bahwa kewenangan Mahkamah Konstitusi adalah menguji Undang-Undang terhadap UUD 1945. Per definisi, konsep “

constitutional review

” merupakan perkembangan gagasan modern tentang sistem pemerintahan demokratis yang didasarkan atas ide negara hukum (

rule of law

), prinsip pemisahan kekuasaan ( separation of power

), serta perlindungan hak asasi manusia ( the protection of fundamental rights

). Dalam sistem

“constitutional review”

itu tercakup dua tugas pokok, yaitu:

[6]

1.      Menjamin berfungsinya sistem demokrasi dalam hubungan peran atau “interpaly”

antara cabang kekuasaan eksekutif, legislatif, dan yudikatif.

Constitutional review

dimaksudkan untuk mencegah dominasi kekuasaan dan/atau penyahgunaan kekuasaan oleh salah satu cabang kekuasaan.

2.      Untuk melindungi setiap individu warga negara dari penyalahgunaan kekuasaan oleh

(5)

lembaga negara yang merugikan hak-hak fundamental mereka yang dijamin dalam konstitusi.

Sedangkan kewenangan Mahkamah Konstitusi yang lain dapat dilihat sebagai upaya penataan hubungan kelembagaan negara dan institusi-institusi demokrasi berdasarkan prinsip supremasi hukum. Sebelum terbentuknya Mahkamah Konstitusi dengan kewenangannya tersebut,

hubungan kelembagaan negara dan institusi demokrasi lebih didasarkan pada hubungan yang bersifat politik. Akibatnya, sebuah lembaga dapat mendominasi atau mengkooptasi lembaga lain, atau terjadi pertentangan antar lembaga atau institusi yang melahirkan krisis

konstitusional. Hal ini menimbulkan ketiadaan kepastian hukum dan kontraproduktif terhadap pengembangan budaya demokrasi. Pengaturan kehidupan politik kenegaraan secara umum juga telah berkembang sebagai bentuk “the constitutionalization of democratic politics”.

Hal ini semata-mata untuk mewujudkan supremasi hukum, kepastian hukum, dan[7]

perkembangan demokrasi itu sendiri, berdasarkan konsep negara hukum yang demokratis ( democratische reshtsstaat

).

Selain kewenangan di atas, Mahkamah Konstitusi memiliki fungsi dalam upaya mewujudkan negara hukum yang  demokratis, yaitu :[8]

1. Fungsi Sebagai Penafsir Konstitusi

2. Fungsi Sebagai Penjaga Hak Asasi Manusia 3. Fungsi Sebagai Pengawal Konstitusi

4. Fungsi Sebagai Penegak Demokrasi

1. Sistem Pengujian Undang-Undang di Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia

Istilah ”Toetsingrecht”, ”Judicial Review”, dan ”Constitutional Review” sering dicampuradukkan penggunaannya satu sama lain, ketiga istilah tersebut sesungguhnya berasal dari dua sistem yang berbeda dengan makna yang berbeda pula.

Toetsingrecht

berasal dari Belanda yang sesungguhnya lebih berdasarkan pada supremasi parlemen sehingga tidak mengenal konsep

judicial review

dan constitutional review.

Sedangkan konsep judicial review

(6)

dan constitutional review

berasal dari negara yang menganut prinsip supremasi konstitusi.

[9]

Toetsingrecht berarti hak menguji, istilah ini digunakan pada saat membicarakan kewenangan menguji peraturan perundang-undangan, yang dapat saja dimiliki oleh hakim, pemerintah, legislatif atau lembaga tertentu tanpa membedakan jenis peraturan perundang-undangan dalam tata urutan peraturan perundang-undangan. Sedangkan judicial review adalah pengujian peraturan perundang-undangan tertentu oleh hakim(yudikatif), dengan kata lain kekuasaan yang diberikan kepada badan peradilan negara untuk menguji tindakan

legislatif, eksekutif dan kekuasaan administratif pemerintah untuk memastikan setiap tindakan sesuai dengan ketentuan konstitusi.

[10]

Disamping dua istilah sebelumnya, juga dikenal istilah constitutional review, yaitu merupakan pengujian peraturan perundang-undangan terhadap konstitusi yang kewenangannya dapat dimiliki oleh yudikatif, eksekutif atau legislatif.

. Meskipun antara ketiga istilah memiliki pengertian yang berbeda, setidaknya mekanisme[11]

pengujian peraturan perundang-undangan memiliki tujuan yang sama yakni adanya perlindungan terhadap hak-hak konstitusional warga negara dan penghargaan terhadap konstitusi sebagai norma dasar.

Beranjak dari ketiga istilah di atas, maka dikenal salah satunya sistem pengujian

undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar yaitu Continental Model. Model kontinental dapat disebut juga model pengujian konstitusional ala Austria karena didasarkan atas

pemikiran Hans Kelsen. Ia adalah orang pertama yang mengusulkan ide pengujian konstitusional dilakukan oleh lembaga tersendiri secara terpusat

(centralized judicial review)

, maksudnya hanya peradilan konstitusi yang memiliki kekuatan untuk menekan suatu undang-undang yang inkonstitusional.

Proses pengujian konstitusional dalam model ini menghendaki adanya pengadilan konstitusi[12]

yang berdiri sendiri dengan hakim-hakimnya yang mempunyai keahlian khusus di bidang ini.

Pada dasarnya Mahkamah Konstitusi Indonesia mengadopsi Model Kontinental ini, hal tersebut ditandai dengan kedudukan Mahkamah Konstitusi yang berdiri sendiri di luar

(7)

Mahkamah Agung. Kesamaan lainnya adalah Hakim-hakim Mahkamah Konstitusi adalah orang-orang yang profesional dibidang hukum, ketentuan ini sesuai dengan yang diatur Pasal 16 ayat (1) huruf e Undang-Undang No.24 Tahun 2003 Tentang Mahkamah Konstitusi yang berbunyi: Hakim Konstitusi harus mempunyai pengalaman kerja dibidang hukum

sekurang-kurangnya 10 (sepuluh) tahun.

Hal lain yang juga dapat dikatakan serupa dari model kontinental ini adalah karena

eksistensinya yang menjadi the guardian of the constitution, lembaga ini memerlukan jaminan konstitusi untuk memiliki kemandirian dibidang administrasi dan finansial. Hal ini menjadi prasyarat utama bagi independensi lembaga peradilan konstitusi dalam melaksanakan

perannya. Undang-Undang No.24 Tahun 2003 Tentang Mahkamah Konstitusi mengakomodasi ketentuan tersebut dalam Pasal 12 yang berbunyi:” Mahkamah Konstitusi bertanggung jawab mengatur organisasi, personalia, administrasi dan keuangan sesuai dengan prinsip pemerintahan yang baik dan bersih.

[13]

Adapun kewenangan Mahkamah Konstitusi Indonesia dalam sistem pengujian undang-undang terhadap UUD 1945 dapat dilihat dari :[14]

1. Segi Waktu

Sebagaimana dinyatakan Pasal 50 UU No.24 Tahun 2003, undang-undang yang dapat

dimohonkan untuk diuji adalah undang-undang yang diundangkan setelah perubahan pertama UUD 1945 yaitu 19 Oktober 1999. Namun, melalui Keputusan Mahkamah Konstitusi dalam Perkara Nomor 066/PUU-II/2004, Pasal 50 ini dinyatakan bertentangan dengan Pasal 24 C UUD 1945, sehingga tidak mempunyai kekuatan mengikat. Artinya Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili permohonan undang-undang baik yang berlaku sebelum maupun sesudah tanggal 19 Oktober 1999.

1. Segi Materi

Berdasarkan Pasal 51 UU No.24 Tahun 2003, jenis pengujian undang-undang yang dapat dimohonkan pengujiannya, yaitu :

(8)

1)      Pengujian materil ( materieele toetsing) yaitu pengujian atas materi muatan undang-undang apakah materi undang-undang itu bertentangan dengan UUD 1945.

2)      Pengujian formil ( formele toetsing) yaitu pengujian atas proses pembentukan itu sesuai dengan proses yang dimaksud dalam Pasal 20 UUD 1945.

1. Segi Keluasan

Pasal 60 UU No.24 Tahun 2003, materi muatan yang dapat diuji oleh Mahkamah Konstitusi dapat berupa :

1)      Keseluruhan materi muatan yang tercantum dalam undang-undang

2)      Pasal atau ayat tertentu

3)      Bagian tertentu undang-undang

Begitu juga halnya materi yang termuat dalam Penjelasan Undang-Undang, termasuk lampiran yang merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari undang-undang, merupakan kewenangan Mahkamah Konstitusi untuk mengujinya.

 

Timbul pertanyaan,   siapakah yang berhak mengajukan permohonan pengujian

undang-undang kepada Mahkamah Kontitusi?. Di Eropa pengujian undang-undang dapat dilakukan melalui tiga jalur. Tolak ukur untuk membedakan ketiga jalur ini adalah pihak yang memiliki kedudukan hukum(legal standing) untuk mengajukan permohonan pengujian

undang-undang kepada Mahkamah Konstitusi. [15]

(9)

Ketiga jalur tersebut adalah:[16]

1.         Tantangan Konstitusional( constitusional challenges)

Permohonan untuk mengajukan tantangan konstitusional hanya dapat dilakukan oleh lembaga negara seperti Pemerintah, Ombudsman, kelompok minoritas di Parlemen. Pengujian yang dimohonkan norma yang bersifat abstrak, artinya undang-undang yang tidak ada kaitan dengan sesuatu kasus yang tengah disidangkan di pengadilan lain, dimana undang-undang tersebut sedang diterapkan. Lazimnya permohonan hanya dapat dilakukan dalam batas waktu tertentu setelah undang-undang tersebut diundangkan.

2.         Persoalan Konstitusional (Constitutional Questions)

Permohonan untuk mengajukan persoalan konstitusional hanya dapat dilakukan oleh suatu pengadilan (pengadilan umum, pengadilan tata usaha negara, pengadilan militer) yang mengalami persoalan validitas dan konstitusionalitas, apakah undang-undang yang akan diterapkan pada suatu kasus konkrit yang tengah diadilinya sesuai atau bertentangan dengan undang-undang dasar. Sementara menunggu putusan Mahkamah Konstitusi terhadap validitas dan konstitusionalitas undang-undang yang dimohonkan pengujiannya oleh pengadilan, maka pemeriksaan harus ditunda. Putusan Mahkamah Konstitusi hanya menetapkan validitas dan konstitusionalitas undang-undang  yang dimohonkan untuk diuji, tidak memutus kasus

konkritnya sendiri.

3.         Pengaduan Konstitutional (Constitutional Complaints)

Permohonan untuk mengajukan pengaduan konstitusional dapat dilakukan oleh setiap orang jika ia anggap salah satu hak dasarnya yang dijamin dalam UUD telah dilanggar oleh

perbuatan atau kelalaian lembaga negara baik legislatif, eksekutif maupun yudikatif.

Pengaduan konstitusional baru dapat dilakukan setelah semua upaya hukum ditempuh selalu gagal. Pengaduan konstitusional dapat juga diajukan oleh badan hukum, tentu saja terkait dengan hak dasar tertentu.

(10)

Dengan mengacu kepada Pasal 51 UU No.24 Tahun 2003, yang memiliki legal standing untuk mengajukan permohonan pengujian undang-undang terhadap UUD 1945 adalah:

[17]

a.        Perorangan/Warga Negara

Dengan demikian, sebagian dari pengaduan konstitusional berupa permohonan pengujian produk legislatif telah diatur dalam UU No.24 Tahun 2003. Sedangkan pengujian tindakan eksekutif dan putusan hakim terhadap UUD belum diatur. Sementara itu permohonan

pengujian undang-undang terhadap UUD tidak dibatasi kasus yang konkrit, tetapi juga norma abstrak. Serta tidak disyaratkan bahwa pemohon sebelumnya telah menggunakan upaya hukum tetapi selalu gagal.

b.       Badan Hukum Publik dan Privat

c.        Lembaga Negara 1. Penutup

Sistem pengujian undang-undang pada Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia

menggunakan Continental Model. Maksudnya, adanya Mahkamah Konstitusi merupakan lembaga khusus yang dibentuk untuk melakukan pengujian undang-undang terhadap UUD.

Sistem pengujian undang-undang pada Mahkamah Konstitusi Indonesia tetap berpedoman kepada pengadilan konstitusi negara-negara lain, namun memiliki beberapa perbedaan dalam

hal legal standing. Diharapkan kedepannya, bagaimana

sistem pengujian undang-undang yang telah ada dilaksanakan oleh Mahkamah Konstitusi seoptimal mungkin, serta jika memang dirasa perlu untuk melakukan perubahan aturan

sebelumnya. maka itu merupakan hal yang wajar, karena selama ini adopsi sistem yang dianut terkadang tidak memperhatikan kondisi ketatanegaraan Indonesia.

DAFTAR PUSTAKA

(11)

Abu Daud Busroh dan Abu Bakar Busroh. 1991, Azas-Azas Hukum Tata Negara. Jakarta:

Ghalia Indonesia.

Abdul Latief, 2009, Fungsi Mahkamah Konstitusi Upaya Mewujudkan Negara Hukum Yang

Demokrasi , Yogyakarta, Total Media

Abdul Mukhtie Fajar, 2006, Hukum Konstitusi Dan Mahkamah Konstitusi, Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi RI

Achmad Roestandi, 2006, Mahkamah Konstitusi Dalam Tanya Jawab, Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi RI

Jimly Asshiddiqie, 1994, Gagasan Kedaulatan Rakyat dalam Konstitusi dan Pelaksanaannya di Indonesia , Ichtisar Baru van Hoeve, Jakarta.

---. 2005, Model-Model Pengujian Konstitusional Di Berbagai Negara.

Jakarta: Konstitusi Press.

——————–, Mahkamah Konstitusi Dalam Sistem Ketatanegaraan Republik

Indonesia , Bahan Ceramah yang disampaikan di Universitas Mataram tanggal 27 Septemebr 2005.

Sudargo Gautama, Pengertian Tentang Negara Hukum, Alumni, Bandung, 1973

Widodo Ekatjahjana, Pengujian Peraturan Perundang-undangan Menurut UUD 1945, (Disertasi), Universitas Padjadjaran, Bandung, 2007

(12)

Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945

Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 Tentang Mahkamah Konstitusi

www.elsam.or.id/pdf/kursusham/mekanisme_judicial review_2pdf, diakses oktober 2008

http://www.venice.coe.int/docs/2006/CDL-JU(2006)16-e,asp, The European Model of Constitusional Review of Legislation

, diakses tanggal 27 Oktober 2008

   

[1] Dosen Fakultas Hukum Universitas Andalas

[2] Abu Daud Busroh dan Abu Bakar Busro, 1983, Azas-Azas Hukum Tata Negara, Jakarta:

Ghalia Indonesia. Hal 109

[3] Yuliandri, 2009, Membentuk Undang-Undang Berkelanjutan, Artikel ditulis dalam Jurnal Konstitusi Fakultas Hukum Universitas Andalas, Hal. 10

[4] Ibid, Hal.11

(13)

[5] Mahkamah Konstitusi, Laporan Tahunan Mahkamah Konstitusi, Sekjen Dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Maret 2009

[6] Asshiddiqie, Model-Model Pengujian, Op. Cit., hal. 10-11.

[7] Ibid

[8] Abdul Latif, 2009, Fungsi Mahkamah Konstitusi Upaya Mewujudkan Negara Hukum

Demokrasi , Yogyakarta, Hal.108

[9] Mengenal Dewan Konstitusi Perancis, Hal.47

[10] Dian Rositawati, www.elsam.or.id/pdf/kursusham/mekanisme_judicial review_2pdf, diakses oktober 2008

[11] Op cit, Hal.50

[12] Jan Mazak, http://www.venice.coe.int/docs/2006/CDL-JU(2006)16-e,asp, The European Model of Constitusional Review of Legislation

, diakses tanggal 27 Oktober 2008

[13] Jimly Asshidiqie Dan Ahmad Syahrizal, 2006,  Peradilan Konstitusi di Sepuluh Negara, Jakarta: Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia

[14] Achmad Roestandi, 2006, Mahkamah Konstitusi Dalam Tanya Jawab, Jakarta: Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia

(14)

[15] Ibid, Hal.36

[16] Ibid

[17] Ibid, Hal.39

Referensi

Dokumen terkait

5.3.2 Vsebina Evropskega kodeksa policijske etike Evropski kodeks temelji na vrsti različnih priporočil in resolucij, sicer pa obsega področje organizacije policije, izbora

Keterbatasan penelitian ini adalah jumlah subjek masih belum memadai untuk dilakukan generalisasi pada kasus yang lebih luas, perlu menentukan kriteria inklusi subjek

Antioxidant activity including 1,1-diphenyl-2-picrylhydrazyl (DPPH) radical, 2,2'-azino- bis(3-ethylbenzothiazoline-6-sulphonic acid) (ABTS) radical cation and reducing power

Grafik rerata skor panelis terhadap kecepatan larut tablet effervescent wortel Hasil uji Friedman menujukkan bahwa perlakuan penambahan natrium bikarbonat dan asam sitrat

Bagian terbawah umbi rambut adalah matriks rambut, yaitu daerah yang terdiri dari sel-sel yang membelah dengan cepat dan berperan dalam pembentukan batang rambut.. Dasar umbi

Pada diagram use case terdapat 2 actor yang digambarkan, yaitu : user dan admin dimana pada actor pertama yaitu user dapat mengakses website secara online dan

Berdasarkan hasil analisis petrografi dari conto sayatan tipis (thin section), maka litologi penyusun batuan sumur SR-1 terdiri dari lava berjenis Andesit dan Tufa yang

NO PROGRAM AKUN URAIAN PAGU