• Tidak ada hasil yang ditemukan

NEGARA DAN USAHA BINA NEGARA

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "NEGARA DAN USAHA BINA NEGARA"

Copied!
23
0
0

Teks penuh

(1)

NEGARA DAN USAHA BINA-NEGARA

DI JAWA MASA LAMPAU

Makalah ini disusun guna memenuhi tugas Mata Kuliah Sejarah Lokal

Dosen Pembimbing: Drs. Tri Yunianto., M. Hum

Disusun Oleh:

Kelompok [Angkatan 2012]

Manggara Bagus Satriya [K4412043] Prayudo Endar Pitoko [K4412062] Rani Retno Puri [K4412064]

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN SEJARAH

JURUSAN PENDIDIKAN ILMU PENGETAHUAN SOSIAL

FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN

UNIVERSITAS SEBELAS MARET

SURAKARTA

(2)

KATA PENGANTAR

Puji syukur kami panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa yang telah memberikan rahmat serta karunia-Nya kepada kami sehingga kami berhasil menyelesaikan Makalah tentang “Negara dan Usaha Bina Negara di Jawa Masa Lampau”

Kami berharap semoga makalah ini membantu menambah pengetahuan dan pengalaman bagi para pembaca. Kami menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari sempurna, oleh karena itu kritik dan saran dari semua pihak yang bersifat membangun selalu kami harapkan demi kesempurnaan makalah ini.

Akhir kata, kami sampaikan terima kasih kepada semua pihak yang telah berperan serta dalam penyusunan makalah ini dari awal sampai akhir. Semoga segala usaha kita selalu mendapat ridho-Nya.

Surakarta, 11 Mei 2014

(3)

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL...i

KATA PENGANTAR...ii

DAFTAR ISI...iii

BAB I PENDAHULUAN...1

A. Latar Belakang Makalah...1

B. Rumusan Masalah...1

C. Tujuan Penulisan...2

BAB II PEMBAHASAN...3

A. Perlengkapan Magis-Religius Kedudukan Raja...3

B. Perlengkapan Teknis Kedudukan Raja...7

C. Perlengkapan Material Kedudukan Raja...17

(4)

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Kepercayaan dan agama menguasai masyarakat Jawa, dan kedudukan raja dalam masa Mataram II memperoleh dukungannya yang paling kuat dari keyakinan agama. Bahkan dapat dikatakan bahwa kedudukan raja berlandaskan agama, kekuasaan para dewa membenarkan kekuasaan raja. Negara dianggap sebagai citra,

Kedudukan raja dalam masa Mataram II raja disamakan dengan dewa atau paling kurang setelah masuknya agama Islam dipandang sebagai perantara antara manusia dengan Tuhan. Karena kekuasaannya mutlak, menyeluruh dan tidak terbatas. Kepadanya rakyat harus tunduk dan patuh tanpa suatu syarat apa pun. Namun raja juga dituntut untuk berlaku adil, bijaksana dan dermawan serta mampu menjagaketertiban dan ketentraman negara. Struktur pemerintahannya sangat sederhana.

Para bupati, yang merupakan perpanjangan kekuasaannya, memiliki kedudukan yang otonom serta aparatur pemerintahan yang lengkap, sama seperti di pusat kerajaan. Akibatnya kedudukan raja selalu rapuh, terbuka bagi setiap usaha pemberontakan guna merebut kekuasaan. Sistem pembiayaan negara pun sederhana pula, yaitu terutama melalui pengerahan tenaga rakyat di samping pemungutan bea, pajak, dan upeti.

Dalam makalah ini penulis akan membahas lebih lanjut mengenai masalah kedudukan raja dan seni bina negara di Jawa masa lampau dari segala segi: magis-religius (Identifikasi raja-dewa), teknis (birokrasi dan struktur pemerintahan) dan ekonomis (pembiayaan negara).

B. Rumusan Masalah

1. Bagaimankah perlengkapan magis-religius kedudukan raja ? 2. Bagaimanakah perlengkapan teknis kedudukan raja ?

3. Bagaimanakah perlengkapan material kedudukan raja ?

C. Tujuan Penulisan

Tujuan dari penulisan makalah ini sebagai berikut:

(5)
(6)

BAB II

PEMBAHASAN

A. Perlengkapan Magis - Religius Kedudukan Raja : Masalah Kewenangan

Dalam kehidupan tradisional orang jawa hubungan antara hamba dan tuan bukan bersifat tak pribadi, sebalikya hubungan ini lebih merupakan ikatan pribadi dan akrab, saling hormat dan tanggung jawab.secara ideal hubungan ini menuruti contoh kasih sayang dalam ikatan keluarga.hal ini juga berlaku pada hubungan sosial lainya. Tetapi bila kita tinjau dari konsep kawula-gusti dalam pakaian mistiknya, jelas dapat kita lihat betapa sudah benar-benar berakarnya arti hubungan tuan-hamba yang akrab ini dalam pikiran orang jawa.

Dalam mistik jawa kata-kata jumbuhing kawula gusti(menyatunya hamba dan tuan) melukiskan tujuan tertinggi dalam hidup manusia, yaitu tercapainya kesatuan yang sesungguhnya(manunggal) dengan Tuhan. Pelukisan ini lebih dramatis karena kata kawula dan gusti menunjukan status manusia yang paling rendah dan paling tiggi dalam masyarakat. Tetapi walaupun terdapat ikatan yang mempersatukan, namun baik hamba maupun tuan tidak diperkenankan melanggar garis pemisah yang resmi dari hierarki sosial ini, yang berdasarkan kelahiran atau pangkat dan jelas terlihat dalam banyak peraturan yang menentukan tatacara pemakaia busana, penggunaan bahasa(krama-inggil, krama, madya dan ngoko), penggunaan warna atau cara penghormatan.

(7)

atau keuggulan kelahiran, tetapi dari segi pertuanan dan perhambaan, dari segi kawula(hamba) terhadap bendara(tuan), dan tempat seseorang dalam tata masyarakat, jadi hak seerta kewajibanya, dianggap sebagai telah ditakdirkan. Kisah Jaka Tingkir dan kisah Ki Ageng Pemanahan dari Babad Tanah Jawi merupakan sebuah contoh.

Di gelanggang politik, kekuasaan Mataram atas pangeran-pangeran Jawa Timur yang perkasa dan bahkan atas daerah Kasunanan Giri telah ditakdirkan dan dijelaskan, sebagaimana mestinya, jauh sebelum Sunan Giri yang bertahta ketika itu. Pastilah ramalan ini merupakan sarana untuk membuat para penguasa Surabaya tunduk kepada nasibnya. Namun demikian, Surabaya menganngkat senjata melawan yang dipertuan berulang-ulang kali. Pertempuran yang terhebat menurut babad Tanah Jawi terjadi selama lebih sepuluh bulan antara Amangkurat II(1677-1703), ketika Adipati Surabaya, Tumenggung Jayapuspita mempertahankan diri terhadap seragan pasukan gabungan Mataram dan Belanda selama lebih dari sepuluh bulan karena keyakinanya kepada Islam.

(8)

Dengan pemikiran imaginatif-proyektifnya, orang Jawa melambangkan kesatuan Kawula-Gusti ini denga benda yang amat tepat sekali, yaitu keris, suatu senjata kebesaran. Kedua bagian keris,sarungnya(warangka) dan matanya(curiga), diberikan penafsiran yag sangat bersifat mistik. Sarung disamakan degan rakyat dan matanya dengan raja, jadi melukiskan hubugan yang mutklak ada, yang satu tidak sempurna tanpa kehadiran yang lain, dan juga kesalingtergantuganya dalam arti bahwa sarungnnya melindungi matanya dari kerusakan, dan sebaliknya matanya melindungi sarungnya(yang biasanya terbuat dari kayu terbaik dilapisi perak atau emas berukiran indah) agar jangan sampai dicuri atau hilang. Nilai sebilah keris diukur dengan kekuatan gaib, yang terkandung dalam pamor(tatahan besi meteorit pada matanya) dan diperoleh dari kekuatan gaib sang empu(pandai besi) yang membuatnya. Tetapi karena mata keris melambangkan raja sebagai inti, pokok, sebagai kekuatan yang memimpin negara, maka raja(mata keris) harus layak, sesuai dengan patokan mana pun juga, bagi rakyat(sarung). Hubungan yang tak terpisahkan antara penguasa dan kaula juga dibandingkan dengan sebentuk cincin (Sesupe), raja sebagai sesotya (batu permata) dan rakyat sebagai embanan (ikatan).

(9)

diplomasi sampai kepada berlakunya takdir yang tak dapat ditawar-tawar, dari permainan kata yang jenaka sampai kepada dialog yang bersifat mistik.

Dalam konsep orang jawa tentang organisme negara, raja atau ratulah yang menjadi eksponen mikrokosmos, negara. Karena mikrokosmos sejajarb dengan makrokosmos, raja Jawa Hindu disamasuaikan dengan dewa. Identifikasi(penyamasesuaian) raja-dewa sendiri tidak berlaku lagi dalam masa Jawa Islam. Teologi islam menempatkan raja dalam kedudukan yang tidak semulia dan seagung sebelumnya , yaitu kedudukan kalipatullah, wali Tuhan di dunia. Amangkurat IV adalah orang pertama yang menggunakan gelar ini dalam betuk Prabu Mangkurat Senapati Ingalaga Ngabdu’-Rahman Sayidin Panatagama Kalipatullah.

Orang jawa percaya bahwa hanya rajalah satu-satunya perantara yang menghubungkan mikrokosmos manusia dengan makrokosmos para dewa. Ide kekuasaan mutlak dan tertinggi dinyatakan dalam ungkapan wewenang murba wisesa yang digunakan untuk kemahakuasaan Tuhan maupun kekuasaan Raja, jadi lagi-lagi memperlihatkan bahwa keduukan raja dianggap sebagai pencerminan kedudukan Tuhan. Tugas-tugas utama raja dalam bidang politik adalah menjaga supaya jangan sampai terjadi gangguan-gangguan dan memulihkan ketertiban kalau seandainya sudah terjadi.

(10)

Syarat lain yang pokok bagi seorang raja ideal ialh kemampua nya untuk memilih pegawai-pegawainya. Peraturan-peraturan untuk itu dikemukakan dalam banyak karangan

Di jawa kedudukan raja paling sering diabsahkan dengan membuktikan kesinambungan. Hubungan entah darah entah penglaman yag serupa, dengan seorang pendahulu yang agung memungkinkan seseorang ikut tersinari oleh aura keagungan. Bila sesuatu wangsa memerintah tidak mempunyai tali hubungan darah dengan dinasti sebelumnya, maka orang jawa megusahakan berbagai cara untuk membuktikan kesiambungan. Kesinambungan juga dapat dinyatakandengan cara kosmologi hindu. Alam semesta senantiasa berputar terus. Tiap peredaran terdiri dari empat zaman yang kian memburuk. Orang jawa Mataram II mengetahui kosmologi ini, walaupun dalam bentuk yang sudah diubah, lalu menggunakan untuk membenarkan pergantian wangsa. Kebutuhan untuk mengakhiri zaman kalabendu(zaman yang paling akhir dan penuh dosa dalam peradaban untuk selanjutnya memasuki masa kesejahteraan dan kemakmuran di bawah ratu adil menjadi alasan yang berulang kali terjadi dalam sejarah pemberontakan dan kerusuhan di jawa

Cara lain untuk menigkatkan kemegahan raja adalah silsilah raja. Menurut Berg pada masa mataram II silsilah-silsilah ii disusun buat pertama kalinya islam memaksa digantikanya penyemasuaian raja-dewa Jawa Kuno. Karena itu silsilah dibuat sedemikian rupa sehingga dapat mempertahankan kemiripan dengan dengan penyemasuaian raja-dewa dalam hal ini tidak menjadi soal bahwa semua patokan kronologi atau konsekuensi tempat-tempat dan peristiwa diabaikan.

B. Perlengkapan Teknis Kedudukan Raja : Masalah Tata Pemerintaan, Tujuan Dan Sarana Birokrasi, Prinsip Swasembada dalam Pemerintahan

(11)

dan terpenting pangreh-praja (atau paprentaan: pemerintaan), yaitu memelihara dan menjaga keamanan.

Sejak masa dulu perlindungan dan dorongan terhadap kehidupan beragama dilakukan dengan member hak-hak khusus kaum alim-ulama. Biasanya tanah dibagikan oleh raja kepada kaum alim ulama, tidak saja sebagai mata pencaharian, tetapi terutama agar mereka cukup kuat keuangannya untuk melakukan pelayanan keagamaan dengan memuaskan guna kesejahteraan raja dan demikian pula kesejahteraan kerajaannya. Wewenang ini dalam masa Jawa kuno disebut Dharma atau Dharma Lepas

Tidak adanya di kalangan Islam pengaturan yang luas dan hierarkis dari Jabatan Ulama seperti pada Agama Kristen tidak mendukung pendapat yang demikian. Lembaga kepenghuluan mungkin sudah lebih lama, karena penghulu adalah kepala alim ulama di masjid di ibukota raja dan hanyalah secara berangsur angsur dia masuk dalam system pemerintahan sebagai suatu bagian pemerintahan yang khusus.

Para penghulu rendahan tidak dianggap termasuk tata pemerintaan raja karena, berbeda dengan pejabat-pejabat kerajaan yang lain, mereka tidak menerima penghasilan atau lungguh dari raja, sejak masa dulu mereka harus hidup dari pembagian zakat dan fitrah, sumbangan wajib yang ditentukan agama Islm bagi para penganutnya

Gerombolan penjahat dan penyamun rupanya merupakan lembaga yang sudah mapan dan lama usianya, yang tidak hanya terdapat pada masyarakat Jawa, tapi juga dimana-mana di dunia pda waktu-waktu tertentu. Contohnya gerombolan penjahat di India dan Burma, adanya serikat-serikat rahasia di Cina, dan koloni-koloni bajak laut di selat malaka dan kepulauan Sulu dari Filipina membuktikan senantiasa adanya lembaga-lembaga ini dalam sejarah.

(12)

dan terasing mereka bahkan mungkin memebentuk organisasi-organisasi desa yang tetap dengan sesame penjahat dan keluarga mereka.

Bila gerombolan perampok De facto menguasai daerah-daerah tertentu, mereka memaksa penduduk desa dan para pendatang yang lewat membayar sejenis upeti. Perpajakan itu sendiri , sedikit banyaknya, adalah upeti sebagai tukaran perlindungan raja. Jadi dapat dimengerti mengapa perpajakan dan pemungutan pajak, dalam bentuk uang, hasil bumi, dan hasil kerja, merupakan tugas yang penting bagi Negara.

Sebagai seorang raja, melaksanakan keadilan menjadi perhatian utama lainnya dari seorang raja dalam memelihara keserasian. Winter membicarakan suatu cirri hukum Jawa dalam uraiannya tentang pengadilan di kerajaan Surakarta sekitar pertengahan abad XIX, yaitu usaha mendamaikan, atau berkompromi. Dalam pengadilan yang bersifat kompromi ini pegawai raja, penguasa wilayah, diminta untuk menylesaikan perkara dengan persetujuan antara dua pihak yang bersengketa. Winter menulis bahwa cara penylesaian yang dapat diterapkan pada semua perkara jenis apapun juga, jadi termasuk perkara sipil ataupun criminal.

Dari segi kepraktisan dalam kebijaksanaan Negara, alasan yang cenderung untuk memberikn kedua belah pihak hak untuk menylesaikan persoalan terleps dri campur tangan luar, bahkan dari Negara, harus lebih dicari dalam suatu cirri yang khusus terdapat pada tata pemerintahan pada masa Jawa Kuno.

(13)

Peraturan pembiayaan otonom untuk semua bagian tata pemerintahan sangat cocok bagi suatu Negara yang diperintah berdasarkan cita-cita tidak berdasarkan campur tangan. Prinsip campur tangan juga sangat sejalan dengan swasembada kehidupan pertanian di desa Jawa, yang karena espace – social-nya yang sempit tidak menghendaki pembedaan kerja maupun perhubungan yang intensif dengan dunia luar. Dengan membiarkan hidup berjalan sekehendaknya, sesuai dengan tradisionalisme konservatif, maka Negara menjadi pengawal terhadap gangguan, dan baru campur tangan hanya bila ada yang mengganggu ketenangan.

Kekuasaan punggawa yang penuh dan tak terbagi, serta kedudukannya yang otonom menjadikan ia orang yang luas tanggung jawabnya, dan ini terutamma demikian bila ia mempunyai tanggung jawab territorial karena itu yidak mengherankan bahwa, dalam daerahnya, dia memegang kekuasaan pemerintah, mengadili dan memimpin kontingen pasukan setempat.

Priyayi

Kedudukan dan jabatan dalam pemerintahan raja diisi oleh para punggawa (pejabat), yang lebi dikenal dengan sebutan abdi dalem (abdi raja). Seperti yang disebut oleh Babad Tanah Jawa, para pejabat disebut juga bala (rakyat, pasukan), meskipun mereka, karena menjadi abdi raja, dapat memperoleh kedudukan ( aristocrat) yang sama. Jadi masyarakat pada periode Mataram II, kelompok elitnya bisa dimasuki oleh orang biasa, tetapi hanya dengan jalan menjadi abdi raja, yaitu sebagai seorang pejabat.

(14)

dan keturunannya. Gelar putra (keturunan lansung raja) da sentana (keluarga besar raja) brubah-ubah menurut dekat jauhnya hubungan kekeluargaan. Turunan raja langsung diberi gelar gusti dan keturunan yang paling jau disebut raden .

Dalam hubungan dengan kesetiaan yang dituntut oleh raja dari priyayi, maka seba, kehadiran yang biasa dilikukan pada hari-hari audinsi tradisional, snen dan kamis, dianggap sebagai kewajiban yang paling penting bagi pegawai. Seba menandakan kesediaan pejabat untuk setip waktu melayani raja atau atasannya. Tetapi seba bahkan mempunyai arti politik yang lebih tinggi, sebab ia merupakan kepatuhan masyarakat kepada kekuasaan dan perintah seseorang yang lebih tinggi kedudukannya. Seba merupakan hal ang sangat penting dalam hubungan formal antara atasan dan bawahannya, sehingga dalam piwulang berulang kali disebut sebagai suatu pahala yang paling terpuji.

Bila seorang pejabat ingin menyatakan rasa dendam, penyesalan atau bencinya kepada atasan atau raja, sering sengaja menghindari ke Pasowanan. Pasowanan itu sebenarnya mempunyai fungsi khusus, yaitu peningkatan kebesaran raja. Pada upacara-upacara kusus, seperti grebeg, sebenarnya semua pejabat raja dari seluruh bagian Negara harus dating. Kesemarakan dan kemuliaan yang dipamerkan pada upacara ini dan tentu saja tidak kurang pentingnya, besarnya jumlah pengunjung merupakan miliknya atau bahkan nyawanya demi keselamatan Negara atau karena raja menghendakinya.

(15)

membagi kehidupan priyayi mejadi tiga tahap. Tahap pertama dari pertumbuannya (masa muda) ditandai oleh usaha mencoba-coba untuk mendapatkan pengalaman dan latihan lara-lapa (sakit dan lapar, penderitaan). Tahap yang kedua, ditandai dengan petanggung jaaban dan pelaksanaan kewajiban dan disertai juga ole usaha meraih kedudukan dan keagungan dalam dunia kebendaan. Kemudian tahap yang ketiga , setelah pengunduran diri, priyayi bersemadi untuk merenungkan apa yang menjadi tujuan hidup dan berusaha ngelmu (pengetahuan mistik), umunya mengalihkan dari dukia kebendaan menuju ke dunia.

Hubungan Teknis Pemerintahan

Hubungan Lurah-Patuh (Tuan-Vasal) dalam Kerajaan

Dalam kesusastraan Mataram II mengenai perbedaan antara bupati (vassal) di daerah-daerah dengan pejabat-pejabat tinggi di ibukota, sepanjang berkaitan dengan pangkat, gelar, atau kehormatan, tidak terdapat perbedaan-perbedaan. Sekalipun demikian perbedaan pusat dan daerah didasarkan dan harus didasarkan atas perbedaan status politik antara kedua kelompok pejabat itu. Perbedan diadakan antara nagaragung (daerah besar) sebagai daerah pusat (inti atau dalam) dengan mancanegara (daerah sekitar atau daerah tetangga) dan pesisir sebagai daerah luar.

Meskipun seorang pejabat berkedudukan di ibukota, tugasnya tidak perlu terbatas pada kraton atau daerah-daerah dalam. Pejabat pejabat itu banyak yang berkuasa atas wilayah-wilayah atau mempunyai tugas diluar daerah inti, sebagai panglima pasukan pengawas pajak di derah pesisir atau penylenggara hubungan dengan dunia luar. Tetapi, tidak begitu banyak yang dapat diketahui tentang luasnya daerah kekuasaan pejabat yang berkedudukan di pusat. Misalnya tidak diketahui sejauh mana wewenang adipati (perdana menteri) di daerah dalam dan daerah luar.

(16)

dibawah pemerintahan kaum bangsawan setempat. Tugas pokok pegawai raja di daerah ialah memungut pajak yang dibayar tiap- tiap tahun untuk keuangan raja dan mengerahkan tenaga manusia untuk perang dan mengerjakan proyek pekerjaan umum seperti jalan dan saluran-saluran.

Dalam kaitannya dengan kekuasaan dan kewenangan para bupati, terdapat pula suatu kebijaksanaan lain yang berlaku khusus untuk daerah daerah yang kira-kira langsung di sebelah utara Mataram. Dalam pemerintahan di wilayah-wilayah pesisir ini, kraton melkukan banyak sekali campur tangan, mungkin karena daerah daerah di jalan ke pantai utara jawa merupakan pintu gerbang untuk hubungan politik dan ekonomi dengan luar negeri.

Dalam keadaan kepemerintahan tidak dapat diperoleh aturan yang tegas dan pasti tentang wewenang dan kekuasaan para pembesar yang memerintah kedua bagian penting dari kerajaan itu, sebab senantiasa ada pergeseran keadaan dan perimbangan kekuatan yang terus menerus berubah ubah. Hubungan-hubungan pribadi sangat penting bagi kerajaan di Jawa, sehingga seluruh perimbangan kekuatan tergantung pada pribadi dan hubungan antara penguasa di ibukota dan penguasa-penguasa daerah atau antara sesame kaum bangsawan daerah itu sendiri.

Jabatan yang dapat berdiri sendiri da kekuasaan yang hampir tak terbatas dari bupati- bupati pada semua tingkatan pemerintahan menjadi susunan organisasi pemerintahan bersifat berulang. Patih adalah kepala pelaksana, pengawas, dan coordinator pelaksana fungsi departemen-departemen dalam kerajaan. Pejabat-pejabat penting di kraton dan bupati-bupati di daerah mempunyai patihan sendiri, adakalanya dua orang, seorang patih njero dan seorang atih njaba (patih dalam dan patih luar), meniru keadaan kraton raja dimana seorang patih bertugas mengaturrumah tangga kerajaan dan seurang lagi mengurus pemerintahan kerajaan.

(17)

desa) misalnya, diangkat oleh pejabat yang lungguhnya meliputi daerah demang itu.

Raja perlu seksama dan tiada henti-hentinya memperhatikan para priyayinya, apakah mereka berasal dari darahnya sendiri atau kaum bangsawan setempat di daerah-daerah luar yang tergabung dalam kerajaannya atau orang-orang biasa yang telah naik ke kelas priyayi. Dari kedelapan sifat ideal seorang raja, kemampuan untuk mengerti gerak gerik dan maksud- maksud yang terkandungdalam hati pejabatnya (mawas obah osiking bala), dianggap berasal dari Dewa Bayu. Sikap seperti itu tidak bertentangan dengan syarat bahwa raja harus sepenuhnya percaya kepada para pejabatnya, sebab kewaspadaan semacam itu terutama bermaksud untuk menemukan setiap keinginan yang kecil sekalipun untuk menentang kekuasaanya, dan sama sekali bukan untuk menekan wewenang para pejabatnya dalam bidangnya sendiri.

(18)

ataupun kepala daerah. Bahkan seorang pangeran pun tidak dijamin akan mendapatkan lungguh (kedudukan).

Menurut sebuah laporan tentang keadaan di Surakarta pada pertengahantahun 1800-an warisan atas “kalungguhan” (dari lungguh) jatuh menurut aturan siapa yang harus didahulukan, kepada :

1. putra tertua, meskipun didahulukan putra dari istri pertama, kemudian baru putra – putranya yang lain.

2. putri tertua, yang akan diwakili oleh suaminya, untuk kepentingan putranya yang tertua kelak (apakah putri -putri yang lain mempunyai prioritas lebih dari kelompok berikut tidak jelas) 3. saudara laki-laki, saudara laki-laki ayah, kemenakan menurut garis keluarga ayah, saudara-saudara misan menurut garis keluarga ayah

Selain itu yang bisa mendapat kedudukan ialah orang yang lebih disukai pemerintah, yang berarti tingkah raja merupakan keputusan yang terakhir. Ini dapat berarti bahwa pada dasarnya jabatan-jabatan itu tidak bersifat turun temurun dank arena kedudukan kaum ningrat terutama dikaitkan dengan tugas- tugas dalam pemerintahan raja, keningratan pada dasarnya tidak pula herediter (bersifat turun temurun).

Pembagian Wilayah kerajaan

Sejak zaman kuno ternyata orang jawa sudah menggunakan tempat tinggal raja sebagai nama Negara. Kita telah melihat bukti-bukti tentang pandangan yang berorientasi ke pusat dalam organisasi pemerintahan. Daerah inti boleh dikatan telah diatur secara lebih ketat melelui penggunaan system pembayaran gaji dengan lungguh, sedangkan daerah luar diatur dengan cara yang lebih longgar.

(19)

Pertentangan antara ketiga jenis daerah bila dilihat dari kedudukan pusat juga memperlihatkan pandangan seperti ini. Dalam nagarakartagama kita temukan tiga wilayah pengaruh kekuasaan, yaitu Jawa, daerah-daerah dan pulau-pulau di luar Jawa termasuk bagian selatan Semenanjung Malaka, dan luar negeri, seperti Champa dan Kamboja. Dalam zaman kerajaan Mataram II ada tiga golongan, yaitu Negara (ibukota), negaragung (daerah inti), mancanegara (pesisir) yang termasuk daerah luar, kemudian tanah sabrang (tanah di seberang laut).

Perbedaan antara nagaragung dan mancanegara menunjukkan bahwa raja mempunyai tuntutan kewilayahan yang lebih kuat dalam bagian pertama wilayah kerajaan daripada dalam bagian yang kemudian. Batas-batas wilayah dikenal orang. Batas batas itu terdiri dari alur sungai, gunung-gunung dan barisan pegunungan Alat pemisah yang alami ini tanah. Yang pertama, dapat disebut hak politik atau hak public sebab hak ini menetapkan batas-batas daerah yang boleh diatur, daerah tempat ia boleh menjalankan keadilan dan yang dipertahankannya dari serangan musuh. Yang kedua dan hak raja yang lebih berkenaan secara langsung dengan tanah adalah hak untuk mengatur hasil tanah sesuai dengan adat, dasar dari hak ini terdapat dalam adat kampong yang telah lama (paron) yaitu bagi hasil tanah menjadi setengah untuk penggarap dan setengah untukorang yang mempunyai hakhek memetik hasil, hak yang diterimanya dari desa yang menjadi pemilik tanah yang sebenarnya, siti dusun (tanah desa).

(20)

dikenakan jenis pajak yang sama, yaitu narawita (daerah kuasa raja) dan tanah perdikan, yang telah disebut tempat lain.

Menganai hak atas tanah yang diberikan oleh raja atau penguasa setempat kepada para pejabatnya sebagai pembayaran upah dan juga sebagai sarana bagi pembiayaan tugas mereka, kita harus membedakan antara lungguh (appanage) dan bengkok atau catu (tanah untuk gaji). Lungguh merupakan daerah yang telah diserahkan dan yang menerima penyerahan mempunyai hak atas keuntungan dari tanah itu dan dari penduduk, dari sini raja dapat menarik keuntungan, tetapi raja tidak mempunyai hak atas tanah itu sendiri. Sedangkan tanah bengkok atau tanh gaji ialah sebidang tanh garapan dari sebgian tanah raja yang diserahkan kepada seorang pejabat, keluarga, atau orang yang disenangi.

Bila kita tinjau kembali definisi lungguh, jelas bahwa lungguh itu disertai pula dengan hak hak atas wilayahnya, yang ternyata dari hak pemegang lungguh untuk mengangkat bekelnya sendiri sebagai wakilnya sebagai pemungut pajak. Bekel itu sebaliknya diberi sebuah lungguh yang kecil untuk tuannya. Dapat dianggap bahwa system lungguh sudah merupakan lembaga yang lebih tua daripada sitem bengkok, system yang belakangan lebih banyak mempunyai sifat cara pemberian gaji yang sederhana atas jasa-jasa yang telah diberikan, sedangkan pada lungguh masih ada tanda-tanda bekas hak-hak pemerintahan. Jadi sistem lungguh lebih sesuai dengan sifat pengulangan dalam istem knegaraan Jawa di zaman dulu.

C. Perlengkapan Material Kedudukan Raja : Perpajakan dan Pengerahan

Tenaga Pada Zaman Mataram II

a.Pajak dan Perpajakan

(21)

mempunyai sumber pendapatannya sendiri. Dengan sumberpendapatan inilah negara harus berusaha untuk sedapat mungkin menutupi biaya pengeluaran. Yang perlu diperhatikan adalah bahwa dalam negarayang ekonominya didasarkan pada desa-desa agraris, maka sebagian besar pungutan dari rakyatnya dalam bentuk barang maupun tenaga untuk kerja. Kota-ota pelabuhan juga dianggap penting sebagai sumber pendapatan kerajaan, dengan memberlakukan bea cukai. Tetapi walaupun dapat dikumpulkan kekayaan yang besar dari bea dan cukai, namun untuk dapat berjalan dengan baik kerajaan sebagai suatu organisasi institusional, pertama-tama dan terutama harus mengandalkan para petani yang dapat memberikan tenaga untuk melakukan peekerjaan memelihara dan menopang kerajaan mulai dari pekerjann memperbaiki jalan sampai kepada pengangkutan barang-barang, sampai dengan berperang sebagai tentara kerajaan.

b. Pengerahan Tenaga

Pentingnya pungutan pajak dalam bentuk hasil bumi dan kemudian dalam bentuk uang untuk membiayai pengeluaran-pengeluaran negara, tidak dapat menandingi pentingnya penggunaan dan pengerahan tenaga manusia untuk menjamin kelancaran hidup negara. Jadi dapat disimpulkan bahwa :

1. Perpajakan dan sistem pengerahan tenaga, mengikuti sifat garis organisasi pemerintah, boleh dikatakan sederhana dan dapat disebut pembiayaan ad hoc atau contingent.

2. Sumber kekayaan negara yang terpenting adalah perdagangan dan perniagaan, tetapi setelah perdagangan macet sama sekali akibat persaingan dari pihak Belanda, maka petanilah yang harus menggantikan sehingga sistem pengumpulan harta kekayaan menjadi sangat berat.

(22)

BAB III

PENUTUP

Kesimpulan

Pada zaman Jawa Kuno raja disamasuaikan dengan dewa atau paling kurang setelah masuknya agama Islam dipandang sebagai perantara antara manusia dengan Tuhan. Karena kekuasaannya mutlak, menyeluruh dan tidak terbatas. Kepadanya rakyat harus tunduk dan patuh tanpa suatu syarat apa pun. Namun raja juga dituntut untuk berlaku adil, bijaksana dan dermawan serta mampu menjagaketertiban dan ketentraman negara. Struktur pemerintahannya sangat sederhana. Para bupati, yang merupakan perpanjangan kekuasaannya, memiliki kedudukan yang otonom serta aparatur pemerintahan yang lengkap, sama seperti di pusat kerajaan. Akibatnya kedudukan raja selalu rapuh, terbuka bagi setiap usaha pemberontakan guna merebut kekuasaan. Sistem pembiayaan negara pun sederhana pula, yaitu terutama melalui pengerahan tenaga rakyat di samping pemungutan bea, pajak, dan upeti.

(23)

Referensi

Dokumen terkait

Tenun Troso merupakan kriya tenun Jepara dari Desa Troso. Kain ini ditenun dari helaian benang pakan atau benang lungsi yang sebelumnya diikat untuk membentuk

5). Suasana ruang sama dengan Masjid Quha, yaitu kesederhanaan tidak menampilkan ornamen. Ada keseimbangan adanya simetri bentuk dan ukuran pada ruang shalat, orien-. tasi mengarah

Dalam perhitungan Nilai Pasar Wajar Surat Berharga Negara yang menjadi Portofolio Efek Reksa Dana Terproteksi, Manajer Investasi dapat menggunakan metode harga perolehan yang

Kadar karbon arang sabut kelapa pada berbagai suhu ini lebih besar dibandingkan dengan karbon aktif komersial merk India dan juga karbon aktif dari empulur batang

Berdasarkan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, penyelenggaraan pemerintahan, Negara Kesatuan Republik Indonesia dibagi atas daerah-daerah provinsi dan

Type / Consumable Trade Name Tipe / Merek Kawat Las Kualitas Grade Posisi Pengelasan Welding Position No.. Sertifikat Persetujuan

Berkaitan dengan faktor penghambat efektivitas Realisasi Rencana Kerja Anggaran (RKA) kantor Dinas Pendapatan Daerah Provinsi Sulawesi Tengah sudah efektif, hal

1. Proses pelayanan radiologi dalam melakukan tindakan penunjang medis harus sesuai dengan pedoman pelayanan Radiologi dan pedoman pengorganisasian Radiologi serta