• Tidak ada hasil yang ditemukan

Penelitian Kuantitatif PENINGKATAN KECER. docx

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "Penelitian Kuantitatif PENINGKATAN KECER. docx"

Copied!
96
0
0

Teks penuh

(1)

PENELITIAN KUANTITATIF

PENINGKATAN KECERDASAN EMOSI MELALUI METODE SIMULASI BERUPA SOSIODRAMA “BAWANG MERAH BAWANG PUTIH” PADA ANAK USIA DINI

KELOMPOK B

TK BAITUL MU’MIN – SURABAYA

UIN SUNAN AMPEL SURABAYA 2015

(2)

PENELITIAN KUANTITATIF

PENINGKATAN KECERDASAN EMOSI MELALUI METODE SIMULASI BERUPA SOSIODRAMA “BAWANG MERAH BAWANG PUTIH” PADA ANAK USIA DINI

KELOMPOK B

TK BAITUL MU’MIN - SURABAYA

Oleh:

1. Novia Solichah (B77212110)

2. Siti Maisyaroh (B07212030)

3. Siti Auliyatus Sholawati (B07212029)

4. Fitri Yanuar Aini (B07212050)

JURUSAN PSIKOLOGI

FAKULTAS PSIKOLOGI DAN KESEHATAN UIN SUNAN-AMPEL SURABAYA

2015 BAB I

(3)

PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

Emosi merupakan perasaan yang selalu menyertai perbuatan yang ditandai oleh

perubahan-perubahan fisik manusia. Seperti gembira, cinta, marah, takut, cemas, malu,

kecewa, dan benci. Setiap manusia dalam segala rentang usia, pada umumnya selalu

menyertakan emosi dalam setiap tindakannya.

Sering kali ketika manusia berbuat sesuatu kurang dapat mengendalikan

emosinya, sehingga emosi negatiflah yang digunakan dalam menyelesaikan suatu

masalah. Emosi negatif itu seperti : marah, benci, dendam, tempramen. Emosi negatif itu

menyebabkan akibat yang buruk, seperti: perkelahian antar pelajar, bullying, kekerasan

dalam rumah tangga, dan lain-lain.

Akhir-akhir ini banyak pemberitaan tentang kenakalan pelajar karena

ketidakmampuan mereka dalam mengendalikan emosi negatifnya. Seperti dilansir pada

Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) oleh Davit Setyawan mengatakan bahwa tawuran pelajar memprihatinkan di dunia pendidikan.1

Perkelahian, atau yang sering disebut tawuran, sering terjadi di antara pelajar.

Bahkan bukan hanya antar pelajar SMU, tapi juga sudah melanda sampai ke

kampus-kampus. Ada yang mengatakan bahwa berkelahi adalah hal yang wajar pada remaja.

Di kota-kota besar seperti Jakarta, Surabaya, dan Medan, tawuran ini sering

terjadi. Data di Jakarta misalnya (Bimmas Polri Metro Jaya), tahun 1992 tercatat 157

kasus perkelahian pelajar. Tahun 1994 meningkat menjadi 183 kasus dengan menewaskan

10 pelajar, tahun 1995 terdapat 194 kasus dengan korban meninggal 13 pelajar dan 2

(4)

anggota masyarakat lain. Tahun 1998 ada 230 kasus yang menewaskan 15 pelajar serta 2

anggota Polri, dan tahun berikutnya korban meningkat dengan 37 korban tewas. Terlihat

dari tahun ke tahun jumlah perkelahian dan korban cenderung meningkat. Bahkan sering

tercatat dalam satu hari terdapat sampai tiga perkelahian di tiga tempat sekaligus.

Selain emosi negatif yang banyak terjadi pada pelajar, para orang tua sering kali

tidak bisa mengontrol emosi negatif yang ada pada dirinya. Hal ini sesuai dengan berita

yang dilansir pada Komisi Nasional Perlindungan Anak2 oleh Samsul Ridwan

mengatakan bahwa Merujuk data layanan pengaduan masyarakat melalui Hotline

Service dalam bentuk pengaduan langsung, telephone, surat menyurat maupun elektronik,

sepanjang tahun 2011 KomNas Anak menerima 2.386 kasus. Sama artinya bahwa setiap

bulannya KomNas Anak menerima pengaduaan masyarakat kurang lebih 200 (dua ratus)

pengaduan pelanggaran terhadap hak anak. Angka ini meningkat 98% jika dibanding

dengan pengaduan masyarakat yang di terima Komisi Nasional Perlindungan Anak pada

tahun 2010 yakni berjumlah 1.234 pengaduan. Dalam laporan pengaduan tersebut,

pelanggaran terhadap hak anak ini tidak semata-mata pada tingkat kuantitas jumlah saja

yang meningkat, namun terlihat semakin komplek dan beragamnya modus pelanggaran

hak anak itu sendiri. Pengaduan hak asuh (khususnya perebutan anak pasca perceraian)

misalnya, mendominasi pengaduan sepanjang tahun 2011 ini.

Sepanjang tahun 2011 ini, kasus tawuran cukup banyak mendapat sorotan dan

menjadi topik hangat ditengah-tengah masyrakat. Maraknya peristiwa kekerasan antar

sesama anak sekolah merupakan fenomena sosial yang berkembang ditengah-tengah

masyarakat remaja. Sementara itu, sepanjang tahun 2011, Komisi Nasional Perlindungan

anak mencatat ditemukan 339 kasus tawuran. Kasus tawuran antar pelajar di Jabodetabek

(5)

meningkat jika dibanding 128 kasus yang terjadi pada ahun 2010. KomNas Anak

mencatat, dari 339 kasus kekerasan antar sesama pelajar SMP dan SMA ditemukan 82

diantaranya meninggal dunia, selebihnya luka berat dan ringan.

Dari beberapa kasus yang dikemukakan di atas, kasus-kasus tersebut terjadi

karena ketidak mampuan setiap orang dalam mengontrol emosi negatifnya, untuk itu

perlu adanya kecerdasan emosi yang di ajarkan sejak anak usia dini.

Berdasarkan teori perkembangan Piaget (dalam Trianto 2011), maka anak yang

berada di TK/RA dan usia kelas awal SD/MI adalah anak yang berada pada rentangan

usia dini. Masa usia dini merupakan masa yang pendek tetapi merupakan masa yang

sangat penting bagi kehidupan seseorang. Oleh karena itu, pada masa ini seluruh potensi

yang dimiliki anak perlu didorong sehingga akan berkembang secara optimal. Hal ini

sesuai dengan berita republika.co.id, Surabaya. Faktor Ini Pengaruhi Tingkat

Keberhasilan Anak.3

Kecerdasan emosi (Emotional Intelligence) mempengaruhi keberhasilan anak

pada masa mendatang karena aspek tersebut dapat mengarahkan pikiran dan tindakan

mereka dalam kehidupan sehari-hari.

"Dulu kecerdasan identik dengan Intelectual Quotient (IQ) dan ternyata IQ hanya

mempengaruhi 20 persen keberhasilan individu di masyarakat. Sementara, 80 persen

ditentukan kecerdasan emosi," kata Psikolog, Rose Mini di Surabaya, Sabtu (21/2).

Romi mengungkapkan ketika kecerdasan emosi anak terasah dengan baik ada

beberapa manfaat yang diperoleh seperti bergaul dan menghargai orang lain. Selain itu,

anak akan memperlihatkan kasih sayang kepada orang tuanya, lancar berkomunikasi, dan

mudah menerima stimulasi lingkungan untuk membentuk multitalentanya.

(6)

"Stimulasi kecerdasan emosi pada masa 1.000 hari kehidupan awal anak tentu

akan mempersiapkan landasan emosi anak yang lebih stabil pada masa mendatang.

Dengan begitu, anak sudah terbiasa mempergunakan kecerdasan emosi itu," ujar Romi.

Hal ini dikuatkan dengan pemberitaan di Indosiar.com yang menyatakan

Kecerdasan Emosi Bekal Terpenting Anak.4 indosiar.com - Kecerdasan emosi kini

menjadi perhatian dan prioritas. Kecerdasan emosi adalah bekal terpenting dalam

mempersiapkan anak menyongsong masa depan, karena dengannya seseorang akan dapat

berhasil dalam menghadapi segala macam tantangan, termasuk tantangan untuk berhasil

secara akademis. Selain itu, kecerdasan emosi juga sangat penting dalam hubungan pola

asuh anak dengan orang tua. Hasil studi Dr. Marvin Berkowitz dari University of

Missouri-St. Louis, yang diterbitkan dalam sebuah sebuah buletin, Character Educator,

oleh Character Education Partnership, dijelaskan tentang keberhasilan kecerdasan emosi

terhadap keberhasilan akademik.

Kecerdasan emosi hendaknya diterapkan sejak dini, karena menurut pendapat

Rosmalia Dewi (2005: 3) menyebutkan bahwa Masa usia dini sering disebut sebagai

golden age (masa emas). Pada masa emas ini anak sedang dalam masa sangat mudah

untuk mengoptimalkan potensi yang ada dalam diri mereka.Masa setiap aspek

pengembangan seperti sosial emosional, kognitif, bahasa, motorik halus, motorik kasar,

dankreativitas yang ada dalam diri anak dapat berkembang dengan pesat.

Perkembangan emosi anak hingga usia 6 tahun ialah anak dapat mengekspresikan

reaksi terhadap orang lain, dapat mengontrol emosi, sudah mampu berpisah dengan orang

tua, dan telah mulai belajar tentang benar dan salah. Untuk perkembangan kecerdasannya

anak usia TK/RA ditunjukkan dengan kemampuannya dalam melakukan seriasi,

(7)

mengelompokkan objek, berminat terhadap angka dan tulisan, meningkatnya

perbendaharaan kata, senang berbicara, memahami sebab akibat, dan berkembangnya

pemahaman terhadap ruang dan waktu. 5

Namun dalam kenyataan yang diperoleh peneliti, di TK Baitul Mu’min,

perkembangan emosi siswa kelompok B masih belum sesuai dengan teori. Sebagian

siswa masih belum mampu berpisah dengan orang tua, kira-kira ada 12 siswa. Sebagian

lain masih belum mampu mengontrol emosinya, sering bertengkar dan mengejek antar

teman. Bahkan ada yang sampai saling memukul sehingga keduanya terluka parah hingga

di bawa rumah sakit. Para siswa masih belum mampu membedakan perbuatan yang benar

dan yang salah.

Kecerdasan emosi anak perlu ditingkatkan dan dikembangkan sejak dini. Banyak

metode yang dapat di aplikasikan dalam pembelajaran di kurikulum TK, salah satu

metode yang digunakan adalah metode simulasi. Metode simulasi merupakan salah satu

metode mengajar yang cara penyajiannya menggunakan situasi tiruan yakni

memperagakan proses terjadinya suatu cerita. Metode simulasi memiliki beberapa jenis,

antara lain: sosiodrama, psikodrama, role playing, per teaching, dan simulasi game.

Namun dalam penelitian ini, peneliti memilih menggunakan teknik

sosiodramadalam meningkatkan kecerdasan emosi anak, karena berdasarkan penelitian

terdahulu teknik sosiodrama sangat efektif untuk meningkatkan keccerdasan emosi.

Berdasarkan uraian diatas, peneliti tertarik untuk meneliti apakah metode

pembelajaran simulasi yang berupa sosiodrama dapat meningkatkan kecerdasan emosi

5Trianto. Desain Pengembangan Pembelajaran Tematik Bagi Anak Usia Dini TK/RA dan Anak Kelas Awal SD/MI.

(8)

anak, dan penelitian yang akan dilakukan ini berjudul “Peningkatan Kecerdasan Emosi

Melalui Metode Simulasi Berupa Sosiodrama Bawang Merah Bawang Putih pada Anak

Usia Dini Kelompok B TK Baitul Mu’min - Surabaya”.

B. Rumusan Masalah

Setelah melihat latar belakang yang ada dan agar penelitian ini tidak terjadi

kerancuan, maka penulis dapat membatasi dan merumuskan permasalahan yang akan

diangkat dalam penelitian ini sebagai berikut: Bagaimana Peningkatan Kecerdasan Emosi

Melalui Metode Simulasi Berupa Sosiodrama Bawang Merah Bawang Putih pada Anak

Usia Dini Kelompok

C. Tujuan Penelitian

Adapun tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui Peningkatan Kecerdasan

Emosi Melalui Metode Simulasi Berupa Sosiodrama Bawang Merah Bawang Putih pada

Anak Usia Dini Kelompok B.

D. Manfaat Penelitian

Dari tujuan diadakanannya penelitian yang telah dipaparkan di atas, maka adapun

manfaat penelitian, yaitu :

a. Manfaat secara teoritis

Penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat bagi pembelajaran, dalam rangka

mengembangkan ilmu, khususnya PG-PAUD, Psikologi Perkembangan dan

Psikologi Pendidikan.

b. Manfaat secara praktis

1. Penelitian ini juga menjadi masukan agar para guru dapat meningkatkan

(9)

2. Bagi para orang tua, diharapkan dapat meningkatkan kecerdasan emosi anak

dengan mengajak si anak menggunakan metode simulasi berupa sosiodrama

kepada anaknya sejak dini.

3. Bagi para mahasiswa yang menempuh pendidikan guru PAUD, psikologi

perkembangan, dan Psikologi pendidikan agar menjadi pengetahuan baru

tentang metode simulasi berupa sosiodrama yang dapat meningkatkan

kecerdasan emosi anak.

E. Penelitian Terdahulu

Penelitian ini membahas tentang peningkatan kecerdasan emosi melalui metode

simulasi berupa sosiodrama bawang merah dan bawang putih pada anak usia dini

kelompok B. Kecerdasan emosi merupakan kemampuan memahami perasaan dan emosi,

baik pada diri sendiri maupun orang lain. Metode simulasi dapat diartikan cara penyajian

pengalaman belajar dengan menggunakan situasi tiruan untuk memahami tentang konsep,

prinsip, atau keterampilan tertentu. Sosiodrama adalah metode pembelajaran bermain

peran untuk memecahkan masalah yang berkaitan dengan fenomena sosial, permasalahan

yang menyangkut hubungan antarmanusia.

Kecerdasan emosi dapat ditingkatkan melalui metode simulasi berupa

sosiodrama, ini dibuktikan dari beberapa penelitian terdahulu yang dilakukan oleh

Alfasnur (2013) berjudul “Upaya Meningkatkan Kecerdasan Emosional Melalui Metode

Sosiodrama Pada Siswa Kelas VIII Smp Negeri 1 Sleman” mengatakan bahwa

kecerdasan emosional dapat ditingkatkan melalui metode Sosiodrama.6

(10)

Selain itu, dalam penelitian Darmansyah (2007), terungkap bahwa siswa yang

diberikan perlakuan pembelajaran dengan sisipan huor, ternyata kecerdasan

emosionalnya lebih tinggi dibandingkan dengan hasil belajar yang dilaksanakan secara

normal.7 Nurnaningsih (2011), hasil penelitian enunjukkan bahwa bimbingan kelompok

efektif untuk meningkatkan kcerdasan emosional siswa. Program bimbingan kelompok

ini direkomendasikan untuk dipertimbangkan sebagai salah satu kerangka kerja dalam

pngembangan program bimbingan dan konseling unuk meningkatkan kecerdasan

emosional siwa. 8

Baskara dkk (2011), telah melakukan penelitian tentang pengaruh dari

keikutsertaan individu dalam program meditasi terhadap kecerdasan emosi. 9Ada juga

yang mengatakan bahwa terdapat hubungan antara kecerdasan Emosi dengan

kemampuan coping adaptif, yang dibuktikan dalam penelitiannya Saptoto (2010), based

on these minor hipotesis, it is concluded hat generally there is correlation between

emotional intelligence and adaptive coping ability.10

Dari beberapa penelitian terhadulu tentang upaya meningkatkan kecerdasan emosi

di atas, peneliti lebih tertarik dengan upaya meningkatkan kecerdasan emosional melalui

metode sosiodrama. Karena menurut teori Albert Bandura telah dijelaskan bahwa anak

usia dini adalah masa meniru, sehingga pengoptimalan kognitif-emosional anak usia dini

dapat dioptimalkan dengan metode sosiodrama.

7 Darmansyah. Trategi Pembelajaran Menyenangkan dengan Humor. Jakarta: PT Bumi Aksara. 2012. Hlm.134 8 Nurnaningsih. Bimbingan Kelompok untuk meningkatkan kecerdasan emosional siswa. Edisi khusu no.1, Agustus

2011.

9 Baskara dkk. Kecerdasan Emosi ditinjau dari keikutsertaan dalam program meditasi. Jurnal psikologi vol. 35, No. 2,juni 2011. 101-115

(11)

Perbedaan penelitian ini dengan penelitian-penelitian sebelumnya adalah dari segi

subjek, penelitian kami menggunakan subjek yang berusia prasekolah 6-7, dan dari segi

metodenya, meskipun penelitian ini menggunakan metode sosiodrama, namun drama

yang akan ditirukan oleh subjek berbeda yakni drama “bawang merah bawang putih”, hal

ini dipilih karena dari cerita ini, siswa akan mendapatkan nilai-nilai moral yang baik

(12)

BAB II KAJIAN TEORI

A. Definisi PAUD

Pendidikan anak usia dini adalah suatu upaya pembinaan yang ditunjukkan kepada anak sejak lahir sampai dengan usia 6 tahun yang dilakukan melalui pemberian rangsangan pendidikan untuk membantu pertumbuhan dan perkembangan jasmani dan rohani agar anak memiliki kesiapan dalam memasuki pendidikan lebih lanjut.11

Anak usia dini adalah anak yang baru dilahirkan sampai usia 6 tahun. Usia ini merupakan usia yang sangat menentukan dalam pembentukan karakter dan kepribadian anak. Usia dini merupakan usia ketika anak mengalami pertumbuhan dan perkembangan yang pesat. Usia dini merupakan periode awal yang paling penting dan mendasar dalam sepanjang rentang pertumbuhan serta perkembangan kehidupan manusia. mulai terbentuk pada usia ini. Sedemikian pentingnya masa ini sehingga usia dini sering disebut the golden age (usia emas). Atas dasar ini, disimpulkan bahwa untuk menciptakan generasi yang berkualitas, pendidikan harus dilakukan sejak dini, yaitu melalui PAUD.

Merujuk pada undang-undang nomer 20 tahun2003 tentang sistem Pendidikan Nasional, dinyatakan bahwa pendidikan terdiri atas Pendidikan Anak Usia Dini, Pendidikan Dasar, Pendidikan Menengah dan Pendidikan Tinggi, yang keseluruhannya merupakan kesatuan yang sistematik. Artinya, pendidikan harus dimulai dari usia dini yaitu

(13)

pendidikan anak usia dini (PAUD). Dengan demikian, PAUD diselenggarakan sebelum jenjang pendidikan dasar. Dalam penjelasan selanjutnya, PAUD dapatdiselenggarakn melalui jalur pendidikan formal, non formal, dan informal. PAUD pada jalur pendidikan formal berbentuk Taman Kanak-Kanak (TK), RaudhatulAthfal (RA) atau bentuk lain yang sederajat. PAUD pada jalur non formal berbentuk Kelompok Bermain (KB), Taman Penitipan Anak(TPA) atau benuk lain yang sederajat. PAUD pada jalur pendidikan informal berbentuk pendidikan keluarga atau

Perkembangan ini demikian pentingnya sehingga mendapat perhatian yang cukup luas dari para pakar psikologi/pendidikan, yang menyatakan bahwa pendidikan untuk anak usia dini harus disesuaikan dengan pertumbuhan dan perkembangan anak. Oleh karena itu, agar mampu mengasuh dan membimbing anak dengan efektif, seorang guru PAUD seyogiyanya menguasai konsep perkembangan anak usia dini.13

I. Hakikat Pendidikan Anak Usia Dini

1. Pengertian

Dalam kamus besar bahasa Indonesia, pendidikan diartikan sebagai proses pengubahan sikap dan tata laku seseorang atau kelompok dalam usaha mendewasakan manusia melalui upaya pelajaran dan pelatihan. Kemudian dalam arti luas, pendidikan adalah segala macam bentuk pengalaman belajar yang berlangsung dalam lingkungan keluarga, sekolah, dan

12Suyadi. PSIKOLOGI BELAJAR PAUD. (2010, Hal 9) jogjakarta : PT PUSTAKA INSAN MADANI

(14)

masyarakat untuk mengembangkan kemampuan seoptimal mungkin sejak lahir sampai akhir hayat.14

Pendidikan anak usia dini merupakan serangkaian upaya sistematis dan terporgram dalam melakukan pembinaan yang ditunjukan kepada anak sejak lahir sampai dengan usia 6 tahun, yang dilakukan melalui pemberian rangsangan untuk membantu pertumbuhan dan perkembangan jasmani dan rohaniah agar anak memiliki kesiapan untuk masuk ke pendidikan yang lebih lanjut.

2. UU NO.23 Tahun 2002 Pasal 9 Ayat 1tentang Perlindungan Anak. “Setiap anak berhak memperolleh pendidikan dan pengajaran dalam rangka pengembangan pribadinya dan tingkat kecerdasannya sesuai dengan minat dan bakatnya.”

3. UU NO.20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, Bab 1, pasal 1, butir 14, yang menyatakan:

“Pendidikan Anak Usia Dini adalah suatu upaya pembinaan yang ditujukan kepada anak sejak lahir sampai dengan usia 6 tahun yang dilakukan melalui pemberian rangsangan pendidikan untuk membantu pertumbuhan dan perkembangan jasmani dan rohani agar anak memiliki kesiapan memasuki pendidikan lebih lanjut.” b. Landasan Filosofis

(15)

Pendidikan adalah suatu upaya untuk memanusiakan manusia. Artinya, melalui proses pendidikan diharapkan terlahir manusia-manusia yang lebih baik. Standar manusia yang “baik” berbeda antar masyarakat, bangsa atau negara, karena perbedaan pandangan filsafat yang menjadi kembang anak. Pertumbuhan dan perkembangan anak tidak dapat dilepaskan kaitannya dengan perkembangan struktur otak dan kecerdasan. Menurut Wittrock, sebagaimana diikuti Tim Pengembang Kurikiulum PAUD, ada perkembanga wilayah otak yang mengalami peningkatan pesat, yaitu pertumbuhan serabut dendrit, kompleksitas hubungan sinepsis, dan pembagian sel saraf. Ketiga wilayah otak tersebut sangat penting untuk dikembangkan sejak usia dini.

Hal yang sama juga dikemukakan oleh Jean Piaget (1972). Ia menyatakan “Anak belajar melalui interaksi dengan lingkungannya. Anak seharusnya mampu melakukan percobaan dan penelitian sendiri. Guru bisa menentukan anak-anak dengan menyediakan bahan-bahan yang tepat. Tetapi yang terpenting agar ana dapat memahami sesuatu, ia harus membangun pengertian itu sendiri, dan ia harus menemukannya sendiri.“17

3. Tujuan

(16)

Secara garis besar, tujuan pendidikan anak usia dini adalah mengembangkan berbagai potensi sejak dini sebagai persiapan untuk hidup dan dapt menyesuaikan diri dengan lingkungannya. 4. Prinsip-prinsip dalam Pendidikan Anak usia Dini (PAUD)

Dalam melaksanakan pendidikan anak usia dini, terdapat prinsip-prinsip utama yang harus diperhatikan. Prinsip-prinsip-prinsip tersebut adalah sebagai berikut.

a. Mengutamakan kebutuhan anak

b. Belajar melalui bermain atau bermain seraya belajar c. Lingkungan yang kondsif dan menantang

d. Menggunakan pembelajaran terpadu dalam bermain

e. Mengembangkan berbagai kecakapan atau ketrampilan hidup (life skills)

f. Menggunakan berbagai media atau permainan edukatif dan

sumber belajar

g. Dilaksanakan secara bertahap dan berulang-ulang18 5. Standar kompetensi Anak Usia Dini

Standar kompetensi anak usia dini terdiri atas,

Tingkat kesadaran masyarakat terhadap pemberian layanan pendidikan bagi anak sejak usia dini (0-6 tahun) masih sangat rendah. Hal itu disebabkan antara lain karena kurangnya

(17)

sosialisasi kepada masyrakat tentang pentingnya pendidikan anak usia dini.

Meskipun selama ini pemerintah dan masyarakat telah menyelenggarakan berbagai program layanan pendidikan bagi anak usia dini, namun kenyataannya hingga saat ini masih banyak anak usia dini yang belum memperoleh layanan pendidikan.

Banyak anggapan sebelumnya yang mengatakan bahwa pendidikan yang tepat diberikan kepada anak adalah pada saat anak mulai masuk usia kematangan yang siap untuk bersekolah yaitu antara 5-7 tahun. Sedangkan, yang sebenarnya adalah bahwa pendidikan bisa dimulai dari usia 0-6 tahun.

Dengan demikian, urgensi pendidikan anak usia dini adalah untuk mengembangkan semua aspek perkembangan anak, meliputi perkembangan kognitif, bahasa, fisik (motorik kasar dan halus), sosial, dan emosional.

Berbagai hasil penelitian menunjukkan bahwa ada

hubungan yang sangat kuat antara perkembangan yang dialami

anak pada usia dini dan keberhasilan mereka dalam kehidupan

selanjutnya.20

II. Pembentukan Karakter Anak Usia Dini

a. Karakter sebagai esensi pendidikan anak usia dini

Ada empat pilar yang menopang pembangunan bangsa, antara lain pilar

ekonomi, pilar politik, pilar kesehatan, dan pilar kesehatan. Dari keempat pilar

tersebut, pendidikan merupakan pilar yang paling utama di antara tiga pilar

lainnya. Kuatnya pilar pendidikan akan menguatkan pilar ekonomi, pilar politik,

dan pilar kesehatan.

(18)

Dalam konteks kenegaraan, penyelenggaraan pendidikan secara yuridis

formal di atur dalm Undang-Undang Sisdiknas Nomor 2 Tahun 2004. Dalam

Undang-undang tersebut, pendidikan diartikan sebagai usaha sadar dan terencana

untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik

secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual

keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta

keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa, dan negara.

Dengan demikian, pendidikan yang dilaksanakan oleh bangsa Indonesia

merupakan upaya untuk membangun bangsa yang cerdas secara fisik, intelektual,

emosional, dan spiritual. Hal ini selaras dengan pendapat Muhammad Roqib yang

menyatakan bahwa pendidikan sebagai upaya sadar dan terencana terkait dengan

gerak dinamis, positif,dan kontinu setiap individu menuju idealitas kehidupan

manusia agar mendapatkan milai terpuji. Aktivitas individu tersebut meliputi

pengembangan kecerdasan pikir (rasio, kognitif), dzikir (afektif, rasa, hati,

spiritual), dan keterampilan fisik (psikomotorik).

Sementara itu, dalam Undang-Undang Sisdiknas Nomor 20 Tahun 2003

disebutkan bahwa pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan

dan membentuk watak serta peradapan bangsa yang bermartabat dalam rangka

mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta

didik agar menjadi manusia yang berimna, dan bertakwa kepada Tuhan Yang

Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi

(19)

Dari deskripsi tentang fungsi dan tujuan pendidikan di atas, maka dapat

kita simpulkan bahwa dalam pendidikan terdapat proses transformasi pengetahuan

dan transformasi nilai. Transformasi pengetahuan akan menghasilkan peserta

didik yang cerdas secara intelektual, sedangkan transformasi nilai menghasilkan

peserta didik yang berkarakter. Dalam perjalannnya, terjadi perdebatan antarpakar

pendidikan tentang mana yang lebih utama, menghasilkan anak yang pintar atau

menghasilkan anak yang berkarakter?.

Disadari ataupun tidak, bangsa Indonesia sedang menuai akibat dari

dilakukannya praktik pendidikan yang mengabaikan aspek afektif (karakter).

Maka, kini dekadensi moral menimpa bangsa kita. Data hasil survei mengenai

seks bebas di kalangan remaja Indonesia menunjukkan 63% remaja Indonesia

telah melakukan seks bebas. Berdasarkan data dari Pusat Pengendalian Gangguan

Sosial DKI Jakarta, pelajar SD, SMP, SMA, yang terlibat tawuran mencapai 0,08

persen atau sekitar 1.318 persen peserta didik dari total 1.647.835 peserta didik di

DKI Jakarta, bahkan akibat dari tawuran tersebut, 26 peserta didik meninggal

dunia.

Untuk mengatasi problematika di atas, pendidikan di Indonesia harus

diarahkan pada pembentukan karakter. Bung Karno, Bapak pendiri bangsa

menegaskan bahwa “Bangsa ini harus dibangun dengan mendahulukan

pembentukan karakter karena pembentukan karakter inilah yang akan membuat

(20)

pembentukan karakter tidak dilakukan, bangsa Indonesia akan menjadi bangsa

kuli.21

Yahya Khan mengartikan karakter dengan sikap pribadi yang stabil dari

hasil konsolidasi secara progresif dan dinamis yang mengintregasikan antara

pernyataan dan tindakan. Sementara menurut penulis, karakter adalah cara brpikir

dan berperilaku yang menjadi ciri khas tiap individu untuk hidup dan bekerja

sama, baik dalam lingkup keluarga, masyarakat, bangsa dan negara.

Pendidikan karakter sendiri merupakan usaha untuk mendidik anak agar

mereka dapat mengambil keputusan dengan bijak dan mempraktikkannya dalam

kehidupan sehari-hari sehingga mereka dapat memberikan kontribusi yang positif

kepada lingkungannya. Dalam pendidikan karakter, ada tiga gagasan penting,

yaitu proses tranformasi nilai-nilai, ditumbuhkembangkan dalam kepribadian, dan

menjadi satu dalam perilaku.

Pendidikan karakter bertujuan untuk meningkatkan mutu penyelenggaraan

dan hasil pendidikan yang mengarah pada pencapaian pembentukan karakter anak

didik secara utuh, terpadu, dan seimbang. Melalui pendidikan karakter diharapkan

anak didik mampu secara mandiri meningkatkan dan menggunakan

pengetahuannya, mengkaji, dan menginternalisasikan serta mempersonalisasi

nilai-nilai karakter yang terwujud dalam perilaku sehari-hari.

Dari deskripsi di atas, pendidikan karakter dapat dilaksanakan dalam

lingkup keluarga, sekolah, dan masyarakat. Dalam pelaksanaannya, pendidikan

(21)

karakter dapat dilaksanakan sedini mungkin, bukan hanya dimulai ketika anak

belajar di SD, SMP, dan SMA saja, melainkan pula sudah dilaksanakan sejak anak

belajar pada jenjang Pendidikan Anak Usia Dini atau yang sering kita kenal

dengan akronim PAUD. Ada dua tujuan diselenggarakannya PAUD, sebagai

berikut :

1. Membentuk anak Indonesia yang berkualitas, yaitu anak yang tumbuh dan

berkembang sesuai dengan tingkat perkembangannya sehingga memiliki

kesiapan yang optimal di dalam memasuki pendidikan dasar serta mengarungi

kehidupan di masa dewasa.

2. Membantu menyiapkan anak mencapai kesiapan belajar (akademik di

sekolah).

PAUD menyelenggarakan pendidikan yang menitikberatkan pada

peletakan dasar ke beberapa arah berikut ini.

1. Pertumbuhan dan perkembangan fisik (koordinasi motorik halus dan kasar). 2. Kecerdasan (daya pikir, daya cipta, kecerdasan emosi, dan kecerdasan

spiritual).

3. Sosioemosional (sikap dan perilaku serta agama) bahasa dan komunikasi yang

disesuaikan dengan keunikan dan tahap-tahap perkembangan anak usia dini.

B. The Golden Ages

(22)

eksplorasi, masa identifikasi/imitasi, masa peka,masa bermain,dan masa trozt alter 1 (masa membangkang tahap 1).22

Periode emas adalah masa dimana otak anak mengalami perkembangan paling cepat sepanjang sejarah kehidupannya. Periode ini hanya berlangsung pada saat anak dalam kandungan hingga usia dini, yaitu 0-6 tahun. Namun, masa bayi dalam kandungan hingga lahir, sampai usia 4 (empat) tahun adalah masa-masa yang paing menentukan. Periode ini pula yang disebut-sebut sebagai epriode emas atau yang lebih dikenal sebagai The Golden Ages.

Mengapa periode itu disebut sebagai masa keemasan?Sebab, pada masa itu otak anak sedang mengalami pertumbuhan dan perkembangan yang sangat pesat.Dan, otak merupakan kunci utama bagi pembentukan kecerdasan anak. Setelah lahir hingga usia 2 tahun, sel-sel saraf pada bayi yang belum matang dan jaringan urat saraf yang masih lemah terus tumbuh dengan cepat dan dramatis mencapai kematangan seiring dengan pertumbuhan fisiknya. Pada saat lahir, berat otak bayi seperdelapan dari berat totalnya atau sekitar 25% dari berat otak dewasanya.Pada ulang tahun ke dua, otak bayi sudah mencapai kira-kira 75% dari otak dewasanya. Sekitar 50% kapasitas kecerdasan manusia telah terjadi ketika usia 4 tahun, 80% telah terjadi ketika berusia 8 tahun, dan mencapai titik kulminasi 100% ketika anak berusia 8 sampai 18 tahun. Pertumbuhan fungsional sel-sel otak tersebut membutuhkan berbagai situasi pendidikan yang mendukung, baik dalam situasi pendidikan keluarga, masyarakat, maupun sekolah.

Para ahli sepakat bahwa periode keemasan tersebut hanya berlangsung 1 kali sepanjang rentang kehidupan manusia.23

Oleh karena itu, kunci pembentukan kecerdasan otak anak adalah pada usia dini atau periode emas ini. Berkaitan dengan periode emas sebagai kunci pembentukan kecerdasan anak tersebut, Deborah

(23)

Stipek menyatakan bahwa anak usia dini menaruh harapan yang tinggi untuk berhasil dalam mempelajari segala hal, meskipun dalam praktiknya selalu buruk. Artinya, pada usia ini, anak dapat dididik untuk melalukan apa saja (segala hal) dan mereka mempunyai kepercayaan diri yang tinggi untuk berhasil, meskipun dalam praktiknya sangat buruk bahkan terkesan mustahil.24

C. Perkembangan Kognitif I. Definisi Kognitif

Manusia adalah makhluk Tuhan yang telah diciptakan secara sempurna dan istimewa, serta dikaruniai akal dan pikiran. Melalui akal dan pikiranlah manusia dapat hidup dan bersosialisasi dengan sesama serta makhluk lainnya. Kemampuan kognitif ini berisikan akal dan pikiran manusia yang harus dikembangkan bersamaan dengan kemampuan lainnya (bahasa,sosial–emosional,moral dan agama).Pamela Minet mendefinisikan bahwa perkembangan intelektual adalah sama dengan perkembangan mental, sedangkan perkembangan kognitif adalah perkembangan pikiran. Pikiran adalah bagian dari proses berpikir otak.

Memahami psikologi perkembangan kognitif pada anak usia dini tidak bisa dilepaskan dari tokoh psikologi terkemuka yang telah mencurahkan tenaga dan pikirannya guna mengkaji hal ini. Tokoh ini adalah Jean Piaget (1896-1980).Salah satu teori Piaget menyatakan bahwa pengetahuan dibangun melalui kegiatan atau aktivitas pembelajaran.Piaget menolak paham lama yang menyatakan bahwa kecerdasan adalah bawaan secara genetis.Ini terjadi pada setiap manusia, termasuk anak-anak.

Kognitif adalah proses yang terjadi secara internal didalam pusat penyusunan syaraf pada waktu manusia sedang berpikir (Gagne,1967). Kemampuan kognitif ini berkembang secara bertahap

(24)

sejalan dengan perkembangan fisik dan syaraf-syaraf yang berada dipusat susunan syaraf. Beberapa ahli psikologis yang berkecimpung dalam pendidikan mendefinisikan intelektual atau kognitif dengan berbagai peristilahan:

1. Terman mendefinisikan bahwa kognitif adalah kemampuan untuk berpikir secara abstrak.

2. Colvin mendefinisikan bahwa kognitif adalah kemampuan untuk menyesuaikan diri dengan lingkungan.

3. Henman mendefinisikan bahwa kognitif adalah intelektual ditambah dengan pengetahuan.

4. Hunt mendefinisikan bahwa kognitif adalah teknik untuk memproses informasi yang disediakan oleh indra.

Sementara itu yang dimaksud dengan intelek adalah berpikir, sedangkan yang dimaksud dengan intelegensi adalah kemampuan

kecerdasan.Gardner dalam Munandar (2000), mengemukakan

bahwa pengertian intelegensi sebagai kemampuan untuk memecahkan masalah atau untuk mencipta karya yang dihargai dalam suatu kebudayaan atau lebih.25

Dalam rangka mengoptimalkan potensi kognitif pada seseorang, kita dapat melihat dari Teori Kognitif Jan Piaget

Perkembangan merupakan suatu proses yang bersifat komulatif, artinya perkembangan terdahulu akan menjadi dasar perkembangan selanjutnya. Dengan demikian apabila terjadi hambatan pada perkembangan terdahulu maka perkembangan selanjutnya akan mengalami hambatan.

Piaget membagi kognitif kedalam empat fase, yang diantaranya (Piaget, 1972:49-91):

1. Fase sensori motor (usia 0-2 tahun)

Dua tahun pertama kehidupan seorang anak berinteraksi dengan dunia sekitarnya, terutama melalui aktifitas

(25)

sensori( melihat, meraba, merasa, mencium dan mendengar) dan persepsinya terhadap gerakan fisik dan aktivitas yang berkaitan dengan sensori tersebut. Koordinasi aktivitas ini disebut dengan istilah sensori motor.

Fase sensori motor dimulai dengan gerakan-gerakan refleks yang dimiliki anak sejak lahir. Fase ini berakhir pada usia 2 tahun. Pada masa ini anak mulai membangun pemahamannya tentang lingkungannya melalui kegiatan sensorik motorik. Seperti: menggenggam, menghisap, melihat, melempar dan secara perlahan ia mulai menyadari bahwa suatu benda tidak menyatu dengan lingkungannya atau dapat dipisahkan dari lingkungan dimana benda itu berada. Anak pada masa ini juga mulai membangun pemahaman terhadap aspek-aspek yang berkaitan dengan hubungan kausalitas, bentuk dan ukuran, sebagai hasil pemahamannya terhadap aktivitas sensorimotor yang dilakukannya.

Pada akhir anak usia 2tahun anak sudah menguasai pola-pola sensorimotor yang bersifat kompleks seperti bagaimana cara menapatkan benda yang diinginkannya ( menarik, mengggemnggam atau meminta), menggunakan suatu benda dengan tujuan yang berbeda. Dengan benda yang ada ditangannya, ia mampu melakukan apa yang diinginkannya. Kemampuan ini merupakan awal kemampuan berpikir simbolik, kemmapuan memikirkan suatu objek tanpa kehadiran objek tersebut secara empirik.

2. Fase Praoperasional (2-7 tahun)

Pada fase ini anak mulai menyadari bahwa pemahamannya terhadap benda-benda yang ada disekitarnya tidak hanya dapat dilakukan melalui aktifitas sensorimotorakan tetapi dapat juga dilakukan melalui aktifitas yang bersifat

(26)

telepon mainan atau berpura-pura menjadi bapak atu ibu dan kegiatan simbolik lainnya.Fase ini memberikan andil besar dalam kognitif anak. Fase ini aka sudah tidak berpiir secara operasinal yaitu suatu proses berpikir yang dilakukan dengan cara menginternalisasikan suatu aktivitas anak yang memungkinkan anak mengaitkan dengan kegiatan yang telah dilakukannya sebelumnya.

Fase ini merupakan permulaan bagi anak untuk membangun kemampuannya dalam menyusun pikirannya.Oleh karena itu cra berfikir ada pada saat fase ini belum stabil dan tidak terorganisasi secara baik. Fase praoperasional dapat dibagi kedalam tiga sub fase, antara lain;

a. Sub fase fungsi simbolik

Fase ini terjadi pada saat anak usia 2-4 tahun. Masa ini anak telah mempunyai kemampuan untuk menggambarkan suatu objen secara fisik tidak hadir.Kemampuan ini membuat anak dapat menggunakan balok-balok kecil untuk membangun rumah, menyusun puzzle, anak juga dapat menggambar manusia secara sederhana.

b. Sub fase berpikir egosentris

(27)

ia tidak mengetahui alasan-alasan yang menyebabkan balok-balok itu dapat disusun menjadi rumah. Dengan kata lain anak belum memiliki kemampuan untuk berpikir secara kritis tentang apa yang ada dibalik suatu kejadian.26

II. Teori Dasar Perkembangan Kognitif

Pada rentang usia 3-4 sampai 5-6 tahun, anak mulai memasuki masa pra sekolah yang merupakan masa kesiapan untuk memasuki pendidikan formal yang sebenarnya di sekolah dasar. Menurut Montessori masa ini ditandai dengan masa peka terhadap segala stimulasi yang diterimanya melalui panca indera.Masa peka memiliki arti penting bagi perkembangan setiap anak. Itu artinya bahwa apabila orang tua mengetahui anaknya telah memasuki masa peka dan mereka segera member stimulasi yang tepat, maka akan mempercepat penguasaan terhadap tugas-tugas perkembangan pada usianya.27

Pieget berpendapat bahwa, anak pada rentang usia ini, masuk dalam perkembangan berpikir pra-operasional konkret. (Bryden&Vos, 2000). Hurlock (1999) menyatakan bahwa anak usia 3-5 tahun adalah masa permainan. Bermain dnegan benda atau alat permainan dimulai sejak usia satu tahun pertamadan akan mencapai puncaknya pada usia 5-6 tahun. Menurut Pieget, usia 5-6 tahun ini merupakan pra-operasional konkret. Pada tahap ini anak dapat memanipulasi objek symbol, termauk kata-kata yang merupakan karakteristik penting dalam tahapan ini.Hal ini dinyatakan dalam peniruan yang tertunda dan dalam imajinasi pura-pura dalam bermain.

Menurut Montessori dalam Patmonodewo (2000), masa peka anak yang berada pada usia 3,5 tahun ditandai dengan suatu keadaan dimana potensi yang menunjukkan kepekaan (sensitif)

26PLPG. Hal 4

(28)

untuk berkembang. Maka masa peka ini merupakan masa yang efektif bagi orang tua atau pendidik dalam memberikan pemahaman atau pembelajaran kepada anak melalui pemberian contoh-contoh konkrit atau berupa peragaan yang mendidik akan lebih efektif diterima oleh anak. Dalam kaitan itu, menurut Dewey dalam Soejono (1960), pendidik atau orang tua harus memberikan kesempatan pada setiap anak untuk dapat melakukan sesuatu, baik secara individual maupun kelompok sehingga anak akan memperoleh pengalaman dan pengetahuan. Sekolah harus dijadikan laboratorium bekerja bagi anak-anak.28

Memahami psikologi perkembangan kognitif pada anak usia dini tidak bisa dilepaskan dari tokoh psikologi terkemuka yang telah mencurahkan tenaga dan pikirannya guna mengkaji hal ini. Tokoh ini adalah Jean Piaget (1896-1980).Salah satu teori Piaget menyatakan bahwa pengetahuan dibangun melalui kegiatan atau aktivitas pembelajaran.Piaget menolak paham lama yang menyatakan bahwa kecerdasan adalah bawaan secara genetis.Ini terjadi pada setiap manusia, termasuk anak-anak.

Khususnya ada anak usia dini, Piaget menyatakan bahwa pengetahuan dapat diperoleh melalui eksplorasi, manipulasi, dan konstruksi secara elaboratif. Lebih dari itu, Piaget juga menjelaskan bahwa karekterisasi aktivitas anak-anak juga berdasarkan pada tendensi-tendensi biologis yang terdapat pada semua organisme.Tendensi-tendensi tersebut mencakup tiga hal, yaitu asimilasi, akomodasi dan ekuilibrium.29

III. Teori Kognitif Sosial Bandur

Teori kognitif sosial (social cognitive theory) menyatakan bahwa faktor sosial dan kognitif , dan juga faktor perilaku, memainkan peran penting dalam

28Ahmad Susanto,PerkembanganAnakUsiaDini: PengantarDalamBerbagai Aspeknya,Jakarta:Kencana.2011. hal50)

(29)

pembelajaran. Faktor mungkin kognitif mungkin berupa ekspektasi murid untuk

meraih keberhasilan, faktor sosial mungkin mencakup pengamatan murid terhadap

perilaku orang tuanya. 30

Albert bandura (1986,1997,2000,2001)adalah salah satu arsitek utama teori

kognitif sosial. Dia mengatakan bahwa ketika murid belajar, mereka dapat

mempresentasikan atau mentransformasi pengalaman mereka secara kognitif. Ingat

bahwa dalam pengkondisian operan,hubungan terjadi hanya antara pengalaman

lingkungan dengan perilaku.

Bandura mengembangkan model determinisme resiprokal yang terdiri dari

tiga faktor utama: perilaku, person/kognitif, dan lingkungan. Seperti ditunjukkan

dalam gambar 7.7, faktor-faktor ini bisa saling berinteraksi untuk memengaruhi

pembelajaran: faktor lingkungan memengaruhi perilaku, dan sebagainya. Bandura

menggunakan istilah person, tetapi kita memodifikasinya menjadi person (cognitive)

karena banyak faktor orang yang dideskripsikannya adalah faktor kognitif. Faktor

person bandura yang tak punya kecenderungan kognitif terutama adalah pembawaan

personalitas dan temperamen. Ingat dalam Bab 4, ”variasi individual”, dikatakan

bahwa faktor-faktor tersebut mungkin mencakup sikap introvert atau ekstravert, aktif

atau inaktif(pasif), tenang atau cemas, dan ramah atau bermusuhan. Faktor kognitif

mencakup ekspektasi, keyakinan, strategi, pemikiran, dan kecerdasan.

Perhatikan bagaimana model bandura dalam kasus perilaku akademik murid

sekolah menengah yang kita sebut saja sebagai Nila.

(30)

1. Kognisi memengaruhi perilaku. Nilamenyusun strategi kognitif untuk berpikir

secara lebih mendalam dan logis tentang cara menyelesaikan suatu masalah.

Strategi kognitif meningkatkan perilaku akademiknya.

2. Perilaku memengaruhi kognisi. Proses (perilaku) belajar Nila membuatnya

mendapat nilai baik, yang pada gilirannya menghasilkan ekspektasi positif tentang

kemampuannya dan membuat dirinya percaya diri (kognisi).

3. Lingkungan memengaruhi perilaku. Sekolah tempat Nila belajar baru-baru ini

mengembangkan proram percontohan keterampilan-belajar untuk membantu murid

belajar cara membuat catatan, mengelola waktu, dan mengerjakan ujian secara

lebih efektif. Program keterampilan-belajar ini meningkatkan perilaku akademik

Nila.

4. Perilaku memengaruhi lingkungan. Program keteranpilan-belajar ini berhasil

meningkatkan perilaku akademik banyak murid dikelas Nila. Perilaku akademik

yang meningkat ini memicu sekolah untuk mengembangkan program itu sehingga

semua murid di sekolah itu bisa turut serta.

5. Kognisi memengaruhi lingkungan. Ekspektasi dan perencanaan dari kepala

sekolah dan para guru memungkinkan program keterampilan-belajar itu terwujud. 6. Lingkungan memengaruhi kognisi. Sekolah tersebut mendirikan pusat sumber

daya di mana murid dan orang tua dapat mencari buku dan materi tentang

peningkatan keterampilan belajar. Pusat sumber daya ini juga memberikan layanan

tutoring keterampilan-belajar untuk murid. Nila dan orang tuanya memetik

keuntungan dari tutoring dan pusat sumber daya ini. Layanan ini meningkatkan

(31)

Dalam model pembelajaran bandura, faktor person (kognitif) memainkan

peran penting. Faktor person (kognitif) yang ditekankan bandura (1997, 2001) pada

masa belakangan ini adalah self-efficacy, yakni keyakinan bahwa seseorang bisa menguasai situasi dan menghasilkan hasil positif. Bandura mengatakan bahwa

efficacy berpengaruh besar terhadap perilaku. Misalnya, seseorang murid yang

self-efficacy-nya rendah mungkin tidak mau berusaha belajar untuk mengerjakan ujian

karna dia tidak percaya bahwa belajar akan bisa membantunya mengerjakan soal. Kita

akan membahas lebih banyak tentang self-efficacy ini dia Bab 13, “motivasi,

pengajaran, dan pembelajaran”. 31 IV. Perkembangan Intelegensi

Intelegensi bukanlah suatu yang bersifat kebendaan, melainkan suatu fiksi ilmiah untuk mendeskripsikan perilaku individu yang berkaitan dengan kemampuan intelektual.Dalam mengartikan intelegensi (kecerdasan) ini para ahli mempunyai pengertian yang beragam.32

Deskripsi perkambangan fungsi-fungsi kognitif secara kuantitatif dapat dikembangkan berdasarkan hasil laporan berbagai hasil studi pengukuran dengan menggunakan tes intelegensi sebagai alat ukurnya yang dilakukan secara longitudinal terhadap sekelompok subjek dari dan sampai ke tingkat usia tertentu secara

test-retest, yang alat ukurnyadisusun secara skuensial (Standfort Revision Benet Test).

Dengan menggunakan hasil pengukuran tes intelegensi yang mencakup general (Information and Verbal Analogies, Jones and Conrad) (Loree,1970: 78), telah mengembangkan sebuah kurva perkembangan intelegensi, yang dapat ditafsirkan antara lain:

31 Ibid Hal 286

(32)

a. Laju perkembangan intelegensi pada masa anak-anak masa-masa sebelumnya yang ditempuh oleh subjek yang sama, kita akan dapat melihat perkembangan presentase taraf kematangan dan kemampuannya sebagai berikut:

a. Usia 1 tahun berkembang sampai sekitar 20%-nya b. Usia 4 tahun sekitar 50%-nya

c. Usia 8 tahun sekitar 80%-nya d. Usia 13 tahun sekitar 92%-nya

Hasil studi Bloom ini tampaknya juga menjelaskan bahwa laju perkembangan IQ itu bersifat proporsional.Tetapi pada umunya orang berpendapat, bahwa intelegensi merupakan salah satu factor penting yang ikut menentukan berhasil atau gagalnya belajar seseorang; terlebih-lebih pada waktu anak masih sangat muda,

intelegensi sangat besar pengaruhnya.

(Susanto,Ahmad,Perkembangan Anak Usia Dini: Pengantar Dalam Berbagai Aspeknya,Jakarta:Kencana.2011. h 35)

Menurut konsepsi ini intelegensi adalah persatuan (kumpulan yang dipersatukan) dari daya-daya jiwa yang khusus. Karena itu, pengukuran mengenai intelegensi juga dapat ditempuh dengan cara mengukur daya-daya iwakhusu itu sendiri, misalnya daya mengamati, dan mereproduksi, dan daya berpikir. (Suriasumantri, 2004: 125)

(33)

intelegensi diberi definisi sebagai taraf umum yang mewakili daya-daya khusus.33

Berkaitan dengan itu, Piaget menemukan tahap berpikir pra operasional, suatu tahap yang berlangsung dari usia dua atau tiga tahun sampai tujuh atau delapan tahun. (Hurlock, Elizabeth B. 1978.,Perkembangan Anak (terj.). MeitasariTjandrasa dan Soejarwo. Jakarta: Erlangga. Jilid II Edisi-VI. Halaman: 109-123)

V. Faktor yang mempengaruhi perkembangan kognitif

1. Faktor hereditas / keturunan

Teori hereditas atau nativisme pertama kali dipelopori oleh seorang ahli filsafat. Dia berpendapat bahwa manusia lahir sudah membawa potensi-potensi tertentu yang tidak dapat dipengaruhi lingkungan. Berdasarkan teorinya, taraf intelegensi anak sudah ditentukan sejak anak dilahirkan, sejak faktor lingkungan tak berarti pengaruhnya.

Para ahli psikologi Loehlin, Lindzey dan Spuhler berpendapat bahwa taraf intelegensi 75-80% merupakan warisan atau faktor keturunan.Pembawaan ditentukan oleh ciri-ciri sejak lahir (batasan kesanggupan).

2. Faktor Lingkungan

Teori lingkungan atau emirisme dipelopori oleh John Locke.Dia berpendapat bahwa manusia dilahirkan sebenarnya suci atau tabularasa.Menurut pendapatnya, perkembangan manusia sangatlah ditentukann oleh lingkungannya.Berdasarkan pendapat John Locke tersebut perkembangan taraf intelegensi sangatlah ditentukan oleh pengalaman dan pengetahuan yang diperolehnya dari lingkungan hidupnya.

3. Kematangan

(34)

Tiap organ (fisik maupun psikis) dapat dikatakan telah matang jika telah mencapai kesanggupan menjalankan fungsinya masing-masing. Kematangan berhubungan erat dengan usia kronologis (usia kalender).

4. Pembentukan

Pembentukan adalah segala keadaan diluar diri seseorang yang mempengaruhi perkembangan intelegensi. Pembentukan dapat dibendakan pembentukan sengaja (sekolah/formal) dan pembentukan tidak sengaja (pengaruh alam sekitar/informal), sehingga manusia berbuat intelegen karena untuk mempertahankan hidup ataupun dalam bentuk penyesuaian hidup.

5. Minat dan Bakat

Minat mengarahkan perbuatan kepada suatu tujuan dan merupakan dorongan bagi perbuatan itu.Apa yang menarik minat seseorang mendorongnya untuk berbuat lebih giat dan lebih baik lagi. Sedangkan bakat diartikan sebagai kemampuan bawaan, sebagai potensi yang masih perlu dikembangkan dan dilatih agar dapat terwujud. Bakat seseorang akan mempengaruhi tingkat kecerdasannya. Artinya, seseorang yang memiliki bakat tertentu, maka akan semakin mudah dan cepat mempelajari hal tersebut. 6. Kebebasan

(35)

1. Asimilasi dan Akomodasi

(36)

dengan cara-cara yang harus dilakukannya agar buah tersebut dapat dimakan. 34

VII. Urgensi Perkembangan Kognitif

Pada dasarnya perkembangan kognitif dimaksudkan agar anak mampu melakukan eksplorasi terhadap dunia sekitar melaluli panca inderanya, sehingga dnegan pengetahuan yang didapatkannya tersebut anak akan dapat melangsungkan hidupnya dan menjadi manusia yang utuh sesuai dengan kodratnya sebagai makhluk Tuhan yang harus memberdayakan apa yang ada di dunia untuk kepentingan dirinya dan orang lain.35

Adapun proses kognisi meliputi berbagai aspek, seperti persepsi, ingatan, pikiran, symbol, penalaran, dan pemecahan masalah. Sehubungan dengan hal ini Pieget berpendapat, bahwa pentingnya guru mengembangkan kognitif pada anak, adalah:

1. Agar anak mampu mengembangkan daya persepsinya berdasarkan apa yang dilihat, didengar dan dirasakan, sehingga anak akan memiliki pemahaman yang utuh dan komprehensif; 2. Agar anak mampu melatih ingatannya terhadap semua peristiwa

dan kejadian yang pernah dialaminya;

3. Agar anak mampu mengembangkan pemikiran-pemikirannya dalam rangka menghubungkan satu peristiwa dengan peristiwa lainnya;

4. Agar anak mampu memahami symbol-simbol yang tersebar di dunia sekitarnya.

5. Agar anak mampu melakukan penalaran-penalaran, baik yang terjadi secara alamiah (spontan), maupun melalui proses ilmiah (percobaan);

34PLPG. Hal 8

(37)

6. Agar anak mampu memecahkan persoalan hidup yang dihadapinya, sehingga pada akhirnya anak akan menjadi individu yang mampu menolong dirinya sendiri.

Menurut Sunaryo Kaartadinata, dalam jurnal ilmu pendidikan Pedagogia Vol. 1 April 2003, menyebutkan bahwa, perkembangan otak, struktur otak anak tumbuh terus setelah lahir. Sejumlah riset menunjukkan bahwa pengalaman usia dini, imajinasi yang terjadi, bahasa yang didengar, buku yang ditunjukkan, akan turt membentuk jaringan otak.

Dengan demikian, melalui pengembangan kognitif, fungsi pikir dapat digunakan dengan cepat dan tepat untuk mengatasi suatu situasi untuk memecahkan suatu masalah.36

VIII. Klasifikasi Pengembangan Kognitif

Dengan pengetahuan pengembangan kognitif akan lebih mudah untuk orang dewasa lainnya dalam menstimulasi kemampuan kognitif anak, sehingga akan tercapai optimalisasi potensial pada masing-masing anak. Adapun tujuan pengembangan kognitif diarahkan pada pengembangan kemampuan auditory,visual, taktik, kinestetik, aritmetika, geometri, dan sains permulaan. (Susanto,Ahmad. Perkembangan Anak Usia Dini: Pengantar Dalam Berbagai Aspeknya,Jakarta:Kencana.2011.h 61) Salah satu uraian dari bidang pengembangan kemampuan yaitu Pengembangan Sains Pemulaan sebagai berikut: (Susanto,Ahmad,Perkembangan

Anak Usia Dini: Pengantar Dalam Berbagai mengeksplorasi berbagai benda yang ada disekitar; b) mengadakan

(38)

berbagai percobaan sederhana; c) mengomunikasikanapa yang telah diamati dan diteliti. Contoh kegiatan yang dapat dikembangkan melalui permainan, sebagai berikut: proses merebus atau membakar jagung, membuat jus, warna dicampur, mengenal asal mula sesuatu, balon ditiup laluldilepas,benda kecil dilihat dengan kaca pembesar, besi berani didekatkan dengan macam-macam benda, biji ditanam, benda-benda dimasukkan ke dalam air, mengenal sebab akibat mengapa sakit gigi, dan mengapa lapar.37

D. Kecerdasan Emosi

Kecerdasan emosional merupakan kemampuan seperti kemampuan untuk memotivasi

diri sendiri dan bertahan menghadapi frustasi, mengendalikan, dorongan hari, dan tidak

melebih-lebihkan kesenangan, mengatur suasana hati dan menjaga agar beban stres tidak

melumpuhkan kemampuan berpikir, berempati dan berdo’a.

Menurut shapiro, istilah kecerdasan emosio pertama kali dilontarkan pada tahun 1990

oleh dua orang ahli, yaitu Peter Salovey dan John Mayer untuk menerangkan jenis-jenis

kualitas emosi yang dimaksudkan antara lain : (1) empati, (2) mengungkapkan dan

memahami perasaan, (3) mengendalikan amarah, (4) kemampuan kemandirian, (5)

kemampuan menyesuaikan diri, (6) diskusi, (7) kemampuan memecahkan masalah

antarpribadi, (8) ketekunan, (9) kesetiakawanan, (10) karamahan, dan (11) sikap hormat.

Teori lain dikemukakan oleh Ruven Bar-On, sebagaimana dikutip oleh Steven J. Stein

dan Howard E. Book, ia menjelaskan bahwa kecerdasan emosional adalah serangkaian

kemampuan, kompetensi, dan kecakapan nonkognitif, yang memengaruhi kemampuan

seseorang untuk berhasil mengatasi tuntutan dan tekanan lingkungan. Selanjutnya, Steven J.

Stein dan Howard E. Book menjelaskan pendapat Peter Salovey dan John Mayer, pencipta

(39)

istilah kecerdasan emosional, bahwa kecerdasan emosional adalah kemampuan untuk

mengenali perasaan, meraih dan membangkitkan perasaan untuk membantu pikiran,

memahami perasaan dan maknanya, dan mengendalikan perasaan secara mendalam sehingga

membantu perkembangan emosi ddan intelektual.

Dengan kata lain, menurut Stein dan Book, EQ adalah serangkaian kecakapan yang

memungkinkan kita melapangkan jalan di dunia yang rumit, mencakup aspek pribadi, sosial,

dan pertahanan diri seluruh kecerdasan, akal sehat yang penuh misteri, dan kepekaan yang

penting untuk berfungsi secara efektif setiap hari. dalam bahasa sehari-hari, kecerdasan

emosional biasanya kita sebut sebagai “ Street Smarts (pintar)”, atau kemampuan khusus

yang kita sebut “akal sehat”, terkait dengan kemampuan membaca lingkungan politik dan

sosial, dan menatanya kembali, kemampuan memahami dengan spontan apa yang diinginkan

dan dibutuhkan orang lain, kelebihan dan kekurangan mereka, kemampuan untuk tidak

terpengaruh tekanan, dan kemapuan untuk menjadi orang yang menyenangkan, yang

kehadirannya didambakan orang lain.

Ketrampilan kecerdasan emosi bekerja secara sinergi dengan keterampilan kognitif,

orang-orang yang berprestasi tinggi memiliki keduanya. Makin kompleks pekerjaan, makin

penting kecerdasan emosi . emosi yang lepas kendali dapat membuat orang pandai menjadi

bodoh. Tanpa kecerdasan emosi, orang tidak akan mampu menggunakan kemampuan

kognitif mereka sesuai dengan potensi yang maksimum. Kemudian, Doug Lennick

menegaskan, “ yang diperlukan untuk sukses dimulai dengan keterampilan intelektual, tetapi

orang memerlukan kecakapan emosi untuk memanfaatkan potensi bakat mereka secara

(40)

Cooper dan sawaf menegaskan bahwa kecerdasan emosional dan

kecerdasan-kecerdasan lain sebetulnya saling menyempurnakan dan saling melengkapi. Emosi menyulut

kreativitas, kolaborasi, inisiatif dan transformasi, sedangkan penalaran logis berfungsi

mengatasi dorongan yang keliru dan menyelaraskan tujuan dengan proses, teknologi dengan

sentuhan manusiawi.

Dengan demikian, seseorang yang memiliki IQ saja belum cukup, yang ideal adalah

IQ yang dibarengi dengan EQ yang seimbang. Pemahaman ini didukung oleh pendapat

Goleman yang dikutip oleh Patton, bahwa para ahli psikologi sepakat kalau IQ hanya

mendukung sekitar 20 persen faktor yang menentukna keberhasilan. Sedangkan 80 persen

sisanya berasal dari faktor lain. Termasuk kecerdasan emosional.

Selanjutnya, Patton menyebutkan bahwa EQ mencakup semua sifat seperti : (1)

kesadaran diri, (2) manajemen suasana hati, (3) motivasi diri, (4) mengendalikan impulsi

(desakan hati), (5) keterampilan mengendalikan orang lain. Dengan demikian, jelaslah bahwa

IQ bukan satu-satunya faktor yang dapat membuat seseorang berhasil, tetapi paduan EQ dan

IQ dapat meraih keberhasilan di tempat kerja.

Terdapat beberapa manfaat dari keselarasan IQ dan EQ, yaitu seseorang akan

mampu : (1) bekerja lebih baik dari pekerja lainnya, (2) menjadi anggota kelompok yang

lebih baik, (3) merasa percaya diri dan diberdayakan untuk mencapai tujuan, (4) mennagani

masalah dengan lebih efektif, (5) memberikan pelayanan lebih baik, (6) berkomunikasi

dengan lebih efektif, (7) memimpin dan mengelola pekerjaan dengan falsafah hati dan

kepala, dan (8) menciptakan perusahaan (organisasi) yang memiliki integritas, nilai, dan

(41)

Patton berpendapat bahwa hubungan IQ dan EQ sebagai berikut. IQ adalah faktor

genetik yang tidak dapat berubah yang dibawa sejak lahir. Sedangkan EQ tidak demikian,

karena dapat disempurnakan dengan kesungguhan, pelatihan, pengetahuan, dan kemauan.

Dasar untuk memperkuat EQ seseorang adalah dengan memahami diri sendiri.

Kesadaran diri adalah bahan baku penting untuk menunjukkan kejelasan dan

pemahaman tentang perilaku seseorang. Kesadaran diri juga menjadi titik tolak bagi

perkembangan pribadi, dan pada titik inilah pengembangan EQ dapat dimulai. Saluran

menuju pada kesadaran diri adalah rasa tanggung jawab dan keberanian. Faktor-faktor inilah

yang sangat penting artinya pada saat mengahdapi berbagai aspek diri sendiri yang tidak

menyenangkan. Pada saat ini pula diperlukan suatu jembatan, yakni EQ yang berfungsi untuk

menjelaskan apa yang sewajarnya dilakukan. Semakin tinggi derajat EQ seseorang, semakin

terampil ia melakukan mengetahui mana yang benar.

Semakin tinggi kecerdasan emosional kita, semakin besar kemungkinan untuk sukses

sebagai pekerja, orang tua, manajer, anak dewasa bagi orang tua kita, mitra bagi pasangan

hidup kita, atau calon untuk suatu posisi jabatan.

Penting untuk diketahui, bahwa kecerdasan emosi adalah dasar bagi lahirnya

kecakapan emosi yang diperoleh dari hasil belajar, dan dapat menghasilkan kinerja menonjol

dalam pekerjaan. Inti dari kecakapan emosi ini adalah dua kemampuan (1) empati, yang

melibatkan kemampuan membaca perasaan orang lain, (2) keterampilan sosial, yang berarti

mampu mengelola perasaan orang lain dengan baik.

Mlengkapi pendapat tersebut, Patton mengingatkan bahwa keberhasilan antarpribadi

(42)

hidup. Emosi menambah kedalaman dan kekayaan dalam kehidupan seseorang. Tanpa

perasaan, tindakan seseorang akan lebih menyerupai komputer, berpikir namun tanpa gairah.

Begitu pula dukungan bagi suatu proyek penting, dan bisa menyatu dengan emosi orang lain

akan menjadi keterampilan yang penting ditempat kerja.

Kecerdasan emosional bukanlah muncul dari pemikiran intelek yang jernih, tetapi

dari pekerjaan hati manusia. Emotionnal Inteligensi (EI) bukanlah trik-trik tentang penjualan

atau menata sebuah ruangan, dan bukan tentang memakai topeng kemunafikan atau ke

psikologi untuk mengendalikan, mengeksploitasi, atau memanipulasi seseorang.

Kecerdasan emosionalah yang memotivasi seseorang untuk mencari manfaat dan

mengaktifkan aspirasi dan nilai-nilai yang paling dalam, mengubah apa yang dipikirkan

menjadi apa yang dijalani. Kecerdasan emosional menuntut seseorang untuk belajar

mengakui dan mengahargai perasan pada dirinya dan orang lain untuk menganggapi dengan

tepat, menerapkan dengan efektif informasi dan energi, emosi dalam kehidupan dan

pekerjaan sehari-hari. Jadi , kecerdasan emosional adalah kemampuan merasakan,

memahami, dan secara efekktif menerapkan daya dan kepekaan emosi sebagia sumber

informasi, koneksi, dan pengaruh yang manusiawi.

Berkaitan denganpekerjaan, seseorang yang bekerja tentu saja penting memiliki

pengetahuan teknis atau pengetahuan praktis dalam melukan tugas-tugasnya, namun

demikian, faktor lingkungan dengan kenyataan di tempat kerja juga harus menjadi

pertimbangan, terutama yang berkaitan dengan orang-orang yang ada di tempat kerja tersebut

atau dengan siapa kita bekerja. Dalam hubungan ini, Patton mengemukakan adanya beberapa

masalah umum yang mungkin dihadapi seseorang atau organisasi, yaitu (1) seseorang merasa

(43)

secara pribadi atas apa yang ia kerjakan, (3) sesorang menjadi sakit karena merasa tidak

mampu menyeseuaikan diri ditempat kerja, (4) seseorang merasa tertekan dan kurang

berminat dalam pekerjaannya, (5) seseorang kehilangan gairah, semangat dan motivasi diri,

(6) seseorang membuat suasana tidak menyenangkan bagi teman-teman karena perilakunya,

(7) seseorang memberi umpan balik yang tidak efektif kepada orang lain, (8) seseorang

merasa sukar membentuk kelompok yang sinergis, (9) orang-orang tidak merasa puas dengan

pelayanan dan mencari yang lain, (10) keluarga menderita akibat tekanan pekerjaan,(11)

munculnya masalah ketahanan dan moral karyawan, (12) kreativitas dan inovasi.

Dengan demikian, kecerdasan emosi atau emotional Intelegensi merunjuk pada

kemampuan mengenali perasaan kita sendiri dan perasaan orang lain, kemampuan

memotivasi diri sendiri, dan kemampuan mengelola emosi dengna baik pada diri sendiri dan

dalam hubungan dengan orang lain.

Selanjutnya, dijelaskan bahwa kecerdasan emosi mencakup kemampuan-kemampuan

yang berbeda tetapi saling melengkapi dengan kecerdasan akademik (akademik Intelegensi),

yaitu kemampuan-kemampuan kognitif murni yan di ukur dengan IQ dan EQ. Banyak orang

yang cerdas dalam arti terpelajar, tetapi tidak mempunyai kecerdasan emosi. Sehingga, saat

bekerja menjadi bawahan dari orang yang ber iQ lebih rendah, tetapi unggul dalam

keterampilan kecerdasan emosi.

kecerdasan akademis praktis tidak meawarkan persiapan untuk menghadapi

gejolak-atau kesempatan-yang ditimbulkan oleh kesulitan hidup. Sebaliknya, keterampilan emosional

merupakan meta-ability, yang menentukan beberapa baik kita mampu menggunakan

keterampilan-keterampilan lain manapun yang kita miliki, termasuk intelektual yang belum

(44)

mendalam memengaruhi semua kemampuan lainnya, baik memperlancar maupun

menghambat kemampuan itu.

Lebih lanjut, Goleman menjelaskan bahwa orang yang secara emosional cakap-yang

mengetahui dan menangani perasaan mereka dengan baik, yang mampu membaca dan

menghadapi perasaan orang lain dengan efektif-memiliki keuntungan dalam setiap bidang

kehidupan,entah itu dalam hubungan asmara dan persahabatan atau dalam mnangkap

aturan-aturan tidak tertulis yang menentukan keberhasilan dalam politik organisasi. Orang dengan

keterampilan emosional yang berkembang baik berarti kemungkinan besar ia akan bahagia

dan berhasil dalam kehidupan, menguasai kebiasaan pikiran yang mendorong produktivitas

mereka. Sementara, orang yang tidak dapat menghimpunkendali tertentu atas kehidupan

emosionalnya akan mengalami pertarungan batin yang merampas kemampuan mereka untuk

memusatkan perhatian pada pekerjaan pada pekerjaan dan memiliki pikiran yang jernih.

Kecakapan emosi yang paling sering mengantar orang ke tingkat keberhasilan ini

antara lain:

1. Inisiatif, semangat juang, dan kemampuan menyesuaikan diri: 2. Pengaruh, kemampuan memimpin tim, dan kesadaran politis: 3. Empati, percaya diri, dan kemampuan mengembangkan orang lain.

Sebaliknya, dua pembawaan yang paling lazim dijumpai pada mereka yang gagal adalah 4. Bersikap kaku: mereka tidak mampu menyesuaikan diri terhadap perubahan dalam

budaya perusahaan, atau mereka tidak mampu menerima atau menanggapi dengan baik

umpan balik tentang sikap mereka yang perlu diubah atau diperbaiki. Mereka tidak

mampu mendengarkan atau belajar dari kesalahan.

5. Hubungan yang buruk: faktor yang paling sering disebut, seperti terlalu mudah

melancarkan kritik pedas, tidak peka, atau terlalu menuntut sehingga mereka cenderung

(45)

Kemudian, Goleman menjelaskan pendapat Salovey yang menempatkan kecerdasan

pribadi Gardner sebagai dasar dalam mendefinisikan kecerdasan emosional yang

dicetuskannnya. Dalam hal ini, Salovey memperluas kemampuan kecerdasan emosional

menjadi lima wilayah utama, sebagai berikut.

1. Mengenali emosi diri. Intinya adalah kesadaran diri, yaitu mengenali perasaan sewaktu

perasaan itu terjadi. Ini merupakan dasar kecerdasan emosional. Kesadaran diri adalah

perhatian terus-menerus terhadap keadaan batin seseorang. Dalam kesadaran refleksi diri

ini, pikiran mengamati dan menggali pengalaman, termasuk emosi. Sementara, menurut

John Mayer, kesadaran diri berarti diri berarti waspada, baik terhadap suasana hati

maupun pikiran kita tentang suasana hati. Kemampuan untuk memantau perasaan dari

waktu ke waktu merupakan hal penting bagi wawasan psikologi dan pemahaman diri.

Ketidakmampuan untuk mencermati perasaan kita yang sesungguhnya membuat kita

berada dalam kekuasaan perasaan. Orang yang memiliki keyakinan yang lebih tentang

perasaannya adalah pilot yang andal bagi kehidupan mereka, karena memiliki perasaan

lebih tinggi akan perasaan mereka yang sesungguhnya atas pengambilan

keputusan-keputusan masalah pribadi.

2. Mengelola emosi. Yaitu menangani perasaan agar perasaan dapat terungkap dengan pas.

Kecakapan ini bergantung pula pada kesadaran diri. Mengelola emosi berhubungan

dengan kemampuan untuk menghibur diri sendiri, melepaskan kecemasan, kemurungan,

atau ketersinggungan, dan akibat-akibat yang timbul karena gagalnya keterampilan

emosional dasar. Orang-orang yang buruk kemampuannya dalam ketrampilan ini akan

terus-menerus bertarung melawan perasaan murung, sementara mereka yang pintar

dapat bangkit kembali dengan jauh lebih cepat dari kemerosotan dan kejatuhan dalam

(46)

3. Memotivasi diri sendiri. Termasuk dalam hal ini adalah kemampuan menata emosi

sebagai alat untuk mencapai tujuan dalam kaitan untuk memberi perhatian, untuk

memotivasi diri sendiri, dan untuk berkreasi. Begitu juga dengan kendali diri emosional

menahan diri terhadap kepuasan dan mengendalikan dorongan hati merupakan landasan

keberhasilan dalam berbagai bidang. Kmudian, mampu menyesuaikan diri dalam “flow”

memungkinkan terwujudnya kinerja yang tinggi dalam segala bidang. Orang-orang yang

memiliki keterampilan ini cenderung jauh lebih produktif dan efektif dalam hal apa pun

yang mereka kerjakan.

4. Mengenali emosi orang lain. Yaitu empati, kemampuan yang juga bergantung pada

kesadaran diri emosional, yang merupakan “keterampilan bergaul “ dasar. Kemampuan

berempati yaitu kemampuan untuk mengetahui bagaimana perasaan orang lain ikut

berperan dalam pergulatan dalam arena kehidupan. Menurut teori Titchener, emapati

berasal dari semacam peniruan secara fisik atas beban orang lain, yang kemudian

menimbulkan perasaan yang serupa dalam diri seseorang. Orang yang empatik lebih

mampu menangkap sinyal-sinyal sosial yang tersembunyi yang mengisyaratkan apa-apa

yang dibutuhkan atau dikehendaki orang lain.

5. Membina hubungan. Seni membina hubungan, sebagian besar merupakan keterampilan

mengelola orang lain. Dalam hal ini ketrampilan dan ketidakterampilan sosial, serta

keterampilan-keterampilan tertentu yang berkaitan adalah termasuk di dalamnya. Ini

merupakan keterampilan yang menunjang popularitas, kepemimpinan, dan keberhasilan

antarpribadi. Keterampilan sosial adalah unsur untuk menajamkan kemampuan

antarpribadi, unsur pembentuk daya tarik, keberhasilan sosial, bahkan karisma.

Orang-orang yang terampil dalam kecerdasan sosial dapat menjalin hubungan dengan Orang-orang

Gambar

Tabel 2. Hasil Perolehan skor anak kelompok B2

Referensi

Dokumen terkait

Terdapat Dosen Studi Lanjut S2/S3 yang belum menyelesaikan studi sesuai dengan batas

[r]

“Apakah dengan menggunakan metode kooperatif tipe think pair share kemampuan membaca huruf jawa siswa kelas IV meningkat?”. E.

Universitas Muhammadiyah Surakarta. Joko Santosa, M.Ag Pembimbing I yang telah dengan sabar memberi bimbingan, Motivasi, dan nasehat yang sangat berharga.. Ilham Sunaryo,

Penelitian ini juga diharapkan dapat menjadi sumber dan pengetahuan bagi penulis dan masyarakat mengenai bentuk, fungsi dan makna bangunan Pagoda Shwedagon di Berastagi

49 Tahun 2007 tentang Standar Pengelolaan Pendidikan oleh Satuan Pendidikan Nonformal, perencanaan dan pelaksanaan pembelajaran tilawah al- Quran di Pondok Pesantren

From the study realized over all four chemical systems of calix[4]resorcinarenes functionalized with organic-phosphorus groups it was seen that for all these systems the

Kami harapkan kehadiran Saudara pada waktu yang telah ditentukan, apabila berhalangan dapat diwakilkan dengan membawa surat kuasa, dan apabila tidak hadir maka perusahaan