Menyimpang
Islam & Aliran
Perspektif HAM dan Maqashid al-Syariah
Abu Rokhmad
Menyimpang
Islam & Aliran
Perspektif HAM dan Maqashid al-Syariah
Penulis: Abu Rokhmad Desain Isi dan Cover:
Alimul Huda Edisi April 2019 ISBN: xxx-xxx-xxx-xx-x
Penerbit: CV. Varos Mitra Utama Wates – Ngaliyan – Semarang Email: [email protected] Hak Cipta dilindungi oleh Undang-Undang No. 19
Tahun 2002
PERSEMBAHAN
Untuk Faza, Nena, Alex Indonesia Masa Depan
KATA PENGANTAR
Al-Qiyadah al-Islamiyyah dan belakangan berubah bentuk menjadi Gerakan Fajar Nusantara (Gafatar) adalah aliran fenomenal-kontroversial yang menghebohkan di awal tahun 2016. Ribuan orang dari berbagai daerah dan propinsi mengikuti aliran ini. Keberanian para pengikutnya untuk meninggalkan begitu saja keluarga, pekerjaan, kampung halaman, menjual seluruh harta benda yang ia mampu, lalu tiba-tiba menghilang, merupakan modus perekrutan dan indoktrinasi yang unik. Yang hilang dan dicari-cari oleh keluarga, seluruhnya ditemukan dan berkumpul di suatu wilayah yang sudah dibeli oleh Gafatar: Kabupaten Mempawah Kalimantan Timur.
Bersama al-Qiyadah, lahir seseorang yang mengaku nabi. Ahmed Musadeq, pensiunan PNS, pernah menjadi pengurus KONI, bersahabat dengan Panji Gumilang (pengasuh al-Zaytun) dan bersinggungan dengan NII KW IX, adalah sosok dibalik al-Qiyadah dan Gafatar. Dialah yang mengaku nabi, yang mengajarkan Millah Abraham dengan dasar-dasar argumentasi yang sangat lemah. Al-Qiyadah menggabungkan ajaran Islam, Kristen dan Yahudi. Tetapi agama yang paling banyak diputarbalikkan ajarannya adalah Islam. Islamlah yang paling dirugikan dengan al-Qiyadah dan Gafatar. Karena itu, ia layak disebut aliran sempalan dalam Islam.
Bukti bahwa al-Qiyadah merupakan sempalan dari Islam karena ia menyebut dan menyinggung ajaran Islam namun dengan caranya sendiri. Persaksian seorang
muslim dalam bentuk syahadat yang sakral dan eksklusif itu (yang menjejerkan Allah Swt dan Nabi Muhammad Saw), dirubah begitu saja. Nabi Muhammad Saw digeser posisinya dari syahadat dan diganti al-masih al-mau’ud, yang dimaksud adalah dirinya, Ahmad Musadeq. Hal ini merupakan pelecehan terhadap nabi yang diagungkan umat Islam.
Mereka juga menyebut soal shalat, salah satu rukun Islam, yang dinyatakan tidak/ belum wajib dilaksanakan sebelum Negeri Kesatuan Semesta Alam (NKSA) terbentuk. Sebuah negera yang diimpikan oleh mereka. Masih banyak lagi ajaran al-Qiyadah, yang bersinggungan erat dengan Islam namun dimaknai semaunya. Inilah yang menyebabkan Majelis Ulama Indonesia (MUI) bereaksi dengan mengeluarkan fatwa bahwa al-Qiyadah dan Gafatar adalah aliran sesat dan menyesatkan.
ooo0ooo
Al-Qiyadah dan Gafatar bukan cerita terakhir dari aliran sempalan di Indonesia. Masih sering diberitakan keberadaan aliran Islam sempalan yang membawa ajaran menyimpang dari aliran mainstream. Beberapa waktu lalu, di Kudus dan Brebes muncul sosok yang mengaku nabi terakhir dan memiliki kitab suci tersendiri. Di Rembang, Pati dan bebepa wilayah di Jawa Tengah ditemukan sekelompok jama’ah yang eksklusif, berbeda dengan aliran pada umumnya.
Tak mudah membatasi pengertian aliran sesat atau gerakan sempalan. Keduanya memiliki jubah yang
berbeda tetapi substansinya sama, aliran, gerakan atau ajaran yang dianggap aneh oleh mayoritas. lstilah ini sudah lama populer di lndonesia, sebagai sebutan untuk berbagai gerakan atau aliran agama yang dianggap aneh, alias menyimpang dari akidah, ibadah, amalan atau pendirian mayoritas umat. Istilah ini agaknya dipakai sebagai terjemahan dari sekte atau sektarian (splinter group), yang artinya berkonotasi negatif.
Berbicara tentang gerakan sempalan selalu bertolak dari suatu pengertian tentang ortodoksi atau mainstream (aliran induk). Artinya, tanpa ortodoksi, takkan ada sempalan. Oleh karena itu, gerakan sempalan adalah gerakan yang menyimpang atau memisahkan diri dari ortodoksi. Karena menyempal, maka dinyatakan sebagai aliran sesat dan dengan demikian ajarannya juga dianggap menyimpang dan dapat menyesatkan orang lain.
Term sesat dan menyesatkan merupakan istilah khas MUI. Sebagai penjaga ortodoksi, tidak lain dan tidak bukan, MUI ingin menjaga akidah umat Islam dari pengaruh paham agama yang bathil. Sesat dan menyesatkan merupakan istilah yang sengaja dipilih oleh MUI, sebagai ‘penghinaan’ di satu sisi. Di sisi lainnya, MUI ingin mengajak umat Islam untuk beragama dan berkeyakinan yang logis dan masuk akal. Sesat dan menyesatkan merupakan terminologi sosiologi dakwah.
Untuk menentukan yang sempalan, pertama-tama harus didefinisikan mainstream yang ortodoks. Menurut Bruinessen, untuk kasus umat Islam di Indonesia, barangkali ortodoksi adalah aliran induk yang diwakili oleh badan-badan ulama seperti MUI, Muhammadiyah dan NU (Bruinessen: 1992). MUI sebagai lembaga ulama
bentukan pemerintah sangat mendominasi ortodoksi ini, sehingga apa yang dinyatakan sesat oleh MUI akan dijadikan rujukan oleh pemerintah, meski Muhammadiyah atau NU berbeda pendapat. Jadi, ortodoksi merupakan paham yang dianut mayoritas ulama dan kadang juga didukung oleh penguasa.
Sesat atau tidak, tergantung pada apa kata ajaran induk. lni yang menimbulkan kesulitan dalam bersikap. Lahirnya aliran baru merupakan kompetitor bagi aliran lama apalagi yang mayoritas. Suasana persaingan dan keterancaman terkadang menyertai perjalanan sejarah aliran-aliran itu. Masing-masing mengukuhkan dirinya sebagai 'yang benar' seraya menyatakan sesat bagi aliran yang lain. Situasi kebatinan seperti itu wajar saja dan terjadi di hampir semua tradisi agama-agama.
Dalam konteks yang lain, aliran induk atau ortodoksi adalah ahl al-sunnah wa al-jama'ah, dan yang menyimpang darinya merupakan sempalan dan sesat. Ke-tika terjadi konflik antara lslam tradisi-onalis dan modernis awal abad ke-20, maka yang sempalan dan sesat adalah lslam modernis, karena Islam tradisionalis selalu mengklaim diri sebagai penganut ahl sunnah wa al-jama'ah(pengikut Rasulullah dan teman-teman setianya).
Di Indonesia, ketika Islam modernis berubah wujud menjadi Muhammadiyah dan Islam tradisionalis bermetamorfosis menjadi Nahdlatul Ulama (NU) justru keduanya menjadi aliran induk dan keduanya berhak menggunakan stempel sesat bagi aliran yang lain. Kesimpulannya, yang sesat bisa berubah menjadi tidak sesat, bila pengikutnya makin banyak atau pemerintah rnengakuinya sebagai aliran resmi penguasa, seperti kasus
aliran Mu'tazilah di era Islam klasik. Jadi, ortodoksi itu berubah sesuai zaman dan tempat, yang sempalan adalah yang kontekstual.
Memang sulit mencari kriteria yang objektif tentang sesat atau tidaknya aliran sempalan. Di sisi lain, menghindar atau mengambil jarak dari perdebatan mengenai kebenaran dan kesesatan (pendekatan teologis-dogmatis), sangat sulit dilakukan. Sangat disadari bahwa tolok ukur kebenaran dan kesesatan biasanya tidak akan menyelesaikan masalah. Kadang malah menimbulkan keruwetan lanjutan. Apalagi, biasanya yang sempalan pun merasa dirinya benar dan biasanya malah lebih fanatik dan militan. Oleh karenanya perlu dikembangkan pendekatan sosiologis, dan bukan teologis.
ooo0ooo
Salah satu penyakit manusia modern adalah krisis tentang makna dan tujuan hidup. Munculnya krisis kemanusiaan ini, menurut pandangan Seyyed Hussein Nasr, karena modernisme tidak berakar pada dimensi transenden. Modernisme telah menelantarkan serta mereduksi nilai-nilai kemanusiaan yang esensial dan tidak peka terhadap kegelisahan batin manusia. Modernisme memang berhasil mensejahterakan manusia dengan teknologinya, tapi problem sosial manusia tak mungkin hanya diatasi dengan teknologi. Masyarakat yang dibayangkan oleh modernisme ternyata tidak lahir-lahir, yang muncul justru manusia tanpa ruh, yang kecewa dan kehilangan orientasi. Manusia tanpa ruh ibarat zombie. Sangat mengerikan.
Gerakan sempalan adalah bagian dari protes atau pemberontakan kecil-kecilan aliran minoritas kepada aliran mayoritas. Aliran mayoritas diperebutkan banyak pihak, sementara aliran minoritas yang menyimpang selalu dianggap mengganggu stabilitas keamanan dan mengganggu perasaan orang banyak. Untuk memperkecil makin maraknya aliran sesat, perlu dikembangkan sikap saling menghormati dalam suasana dialog. Sekali lagi, tidak bisa menggunakan tolok ukur benar dan sesat. Justru hal itu yang akan membuat mereka menjadi lebih kecewa dan sakit hati. Ormas Islam dan para kiai seyogianya mulai memperhatikan kelompok-kelompok sempalan seperti ini dan mengajak mereka kembali ke jalan agama. Perkecil peran pemerintah untuk mengurusi hal-hal seperti ini, berdayakan penyelesaian sesama pemeluk agama untuk membuka ruang dialog yang santun dan sederajat.
Berhadapan dengan aliran yang diduga sempalan, posisi pemerintah sangat sulit. Pemerintah sadar bahwa wilayah agama bukan wilayah yang pas untuk diatur-atur sedemikian rupa. Namun demikian, desakan agar aliran sempalan ‘ditertibkan’ menjadi dilemma yang sangat serius bagi pemerintah. Bukan saja karena pemerintah tidak cukup data di mana saja aliran sempalan itu muncul dan siapa pemimpinnya. Termasuk pemerintah juga tidak mengetahui secara persis bagaimana ajaran aliran itu hingga dikategorikan sebagai aliran sempalan. Pemerintah juga berpotensi dikriminalisasi dan diaggap melanggar HAM.
Hal yang sama juga menimpa MUI. MUI sebenarnya hanya ingin menjaga akidah umatnya, tidak
lebih dan tidak kurang. Apalagi hampir semua pengikut al-Qiyadah dan Gafatar adalah muslim. Jika diam dan tidak bersikap, MUI bisa disalahkan oleh umatnya sendiri karena membiarkan umatnya tanpa petunjuk yang jelas. Jika mengeluarkan fatwa, MUI dianggap melanggar HAM. Sebagaimana pemerintah, MUI serba salah dalam bersikap. Bahkan, MUI lebih berat beban dan tanggung jawabnya karena ini menyangkut agama. Setiap agama, ada Tuhan didalamnya.
ooo0ooo
Buku ini awalnya merupakan riset penulis yang dilakukan pada 2016 ketika kasus Gafatar sedang mencuat di permukaan. Pada 2017, penulis membaca ulang riset ini dan penulis tambahkan data dan referensi. Tidak banyak perubahan yang penulis lakukan dibandingkan dengan versi aslinya, kecuali pada bab pendahuluan saja. Itupun bukan perubahan substantif, melainkan hanya penyesuain ‘gaya’ penyajian dalam bentuk buku. Dalam penanganan korban eks Gafatar yang dipusatkan di Asrama Haji Donohudan, Solo, penulis terlibat dalam proses pembinaan dan mengamati respon, tingkah laku dan sikap mereka. Bersama dengan kawan-kawan peneliti lain yang juga konsen dengan persoalan yang sama, penulis membuat catatan-catatan hasil interaksi dengan ex Gafatar di asrama haji tersebut. Keterlibatan ini sangat memperkaya riset ini.
Banyak pihak yang berkontribusi dalam penelitian ini, baik pada saat persiapan penyusunan proposal, penggalian data hingga dalam bentuknya seperti
sekarang. Melakukan riset selalu membutuhkan waktu yang Panjang. Ini alasan klise, selalu menyalahkan waktu yang tersedia. Mana ada riset yang ideal: waktu, biaya dan kemampuan peneliti, semuanya tidak ideal. Sekalipun demikian, riset ini telah diusahakan dengan sebaik mungkin. Segala kekurangan sepenuhnya berada di tangan peneliti.
Saya meyakini, riset merupakan urat nadinya dosen. Tanpa riset, apalah artinya dosen—yang menurut UU—adalah ilmuwan. Riset adalah tanggung jawab pribadi setiap dosen. Karena itu, setiap tahun saya berusaha melakukan riset dengan tema-tema yang menurut saya menarik dan sesuai bidang ilmu yang saya tekuni. Soal dana yang sangat kecil, itu kenyataan yang tidak perlu dikeluhkan.
Isteri dan anak-anak saya merupakan pendorong utama kegiatan akademik yang saya lakukan. Tanpa mereka, apa yang saya lakukan terasa kurang bermakna. Riset ini juga mengajarkan kepada keluarga, secara tidak langsung, tentang pentingnya membaca, pentingnya ilmu, pentingnya bersekolah. Semoga mereka mengerti bahwa pekerjaan bapaknya adalah belajar dan mengajar. Syukur-syukur mereka mau meneladani kecintaan bapaknya pada ilmu pengetahuan.
Ucapan terima kasih untuk Rektor UIN Walisongo beserta jajarannya telah mempermudah pekerjaan meneliti dengan menyediakan uba rampe ala kadarnya. Bagi saya, itu lebih dari cukup untuk tetap menjaga asa agar para peneliti tidak bosan dengan penelitian. Syukur-syukur bisa ditambahkan dengan kebijakan yang membahagiakan bagi para dosen. Kepada para cendekiawan yang buah
pikirannya saya kutip, penghargaan tertinggi sudah saya tempatkan pada catatan kaki dan daftar pustaka. Terakhir, semua kekurangan dalam penelitian ini adalah tanggung jawab saya sebagai peneliti. Kritik dan saran sangat saya harapkan. Semoga bermanfaat.
Karonsih Baru, Januari 2019
DAFTAR ISI Kata Pengantar ~ v
Daftar Isi ~ xiv BAB I:
PENDAHULUAN A. Latar Belakang ~ 1
B. Kajian Riset Sebelumnya ~ 12 C. Kerangka Teoritik ~ 16 D. Metode Penelitian ~ 37 E. Kerangka Buku ~ 39 BAB II:
ISLAM, ALIRAN MENYIMPANG DAN HAM A. Islam dan Ortodoksi Islam ~ 43
1. Berebut Otentisitas Islam ~ 43
2. Islam yang Diyakini dan yang Diamalkan ~ 56 B. Ulama dan Fatwa Hukum Islam ~ 64
1. Majelis Ulama Indonesia ~ 64 2. Mufti dan Fatwa Hukum Islam ~ 79
C. Kebebasan Berkeyakinan, HAM dan Maqashid al-Syariah ~ 81
1. Hak Asasi Manusia dan Kebebasan Berkeyakinan ~ 81
2. Maqashid al-Syariah dan Kebebasan Berkeyakinan ~ 88
BAB III:
AL-QIYADAH AL-ISLAMIYYAH DAN GAFATAR A. Sejarah Kelahiran dan Perkembangan ~ 97 B. Tokoh dan Ajarannya ~ 105
1. KonsepDin al-Islam~ 108
2. Kenabian dan al-Masih al-Maw’ud ~ 115 3. Konsep Ibadah ~ 117
C. Gerakan dan Respon Masyarakat ~ 120 BAB IV
FATWA MAJELIS ULAMA INDONESIA TENTANG AL-QIYADAH AL-ISLAMIYYAH DAN GAFATAR A. Fatwa Majelis Ulama Indonesia ~ 127
1. Konteks Sosial-Politik-Keagamaan Keluarnya Fatwa ~ 127
2. Substansi Fatwa MUI ~ 132
3. Implikasi Fatwa MUI tentang al-Qiyadah dan Gafatar ~ 149
B. Dalil dan Metode Istinbath Fatwa Majelis Ulama Indonesia ~ 158
C. Kebebasan Berkeyakinan versus Fatwa Sesat dan Menyesatkan ~ 165
1. Analisis Hak Asasi Manusia ~ 165 2. Analisis Maqashid al-Syariah ~ 171 BAB V : PENUTUP
A. Kesimpulan ~ 177
B. Implikasi, Diskusi dan Rekomendasi ~ 180 DAFTAR PUSTAKA ~ 185
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Lanskap kehidupan sosial-keagamaan-keyakinan bangsa Indonesia telah berubah seiring dengan perubahan masyarakat yang sangat cepat. Ditunjang dengan globalisasi, kemajuan teknologi informasi dan terbukanya era demokrasi, Indonesia betul-betul menjadi pasar raya ideologi yang sangat potensial dan menggoda masyarakat untuk mengikutinya. Gelombang reformasi yang identik dengan kebebasan, dimanfaatkan oleh banyak pihak, termasuk kelompok radikal dan aliran menyimpang dari ajaran induknya. Kelompok dan aliran ini akan tumbuh subur pada masyarakat yang masih bergelut dengan kemiskinan, ketidakadilan, dan kebodohan.
Salah satu aliran fenomenal dan sempat menyita perhatian publik di awal 2016 adalah Gerakan Fajar Nusantara (Gafatar). Identitasnya baru terbuka sepenuhnya, setelah—secara kebetulan—terjadi laporan warga yang kehilangan anggota keluarganya. Aditya Akbar Wicaksono melaporkan kehilangan isteri Rica Tri Handayani dan anaknya Zafran Alif Wicaksono ke
Kepolisian Daerah Yogyakarta pada 31 Desember 2015. Menurut Azra, kehebohan Gafatar bukan hanya soal hilangnya sejumlah orang dan keluarga, tapi juga menyangkut ajaran dan praksis Gafatar.1 Meski menurut pengakuan ketua umumnya, Mahful Muis Tumanurung, Gafatar telah dibubarkan sejak 13 Agustus 2015, namun aktifitas organisasi tetap berjalan dan bahkan sedang memobilisasi pengikut untuk transmigrasi (hijrah) dari daerah asal ke Kalimantan Timur.
Gafatar berdiri 4 Agustus 2011 dan dideklarasikan 21 Januari 2012 di Jakarta. Ia memiliki hubungan dan merupakan kelanjutan dari al-Qiyadah al-Islamiyyah pimpinan Ahmad Musaddeq yang telah dinyatakan sesat oleh fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) Nomor 4 Tahun 2007 tentang Aliran al-Qiyadah al-Islamiyyah. Bahkan, Azra hampir memastikan bahwa Gafatar adalah kecambah baru (offshoot) dan proliferasi dari paham dan gerakan yang nyaris sama dan sebangun di masa sebelumnya.2 Ahmad Musaddeq sendiri telah dinyatakan bersalah dan dihukum empat tahun penjara oleh Pengadilan Negeri Jakarta Selatan karena terbukti melakukan penodaan agama. Ia memiliki keterkaitan dengan NII KW IX dan teman seangkatan dengan Panji Gumilang pimpinan al-Zaitun Indramayu Jawa Barat.
1 Azyumardi Azra, “Antisipasi Gafatar dan Kultus,” dalam
Kompas,15 Januari 2016, h. 6.
2Ibid.Keyakinan yang sama disampaikan Amin Djamaluddin,
ketua Lembaga Penelitian dan Pengkajian Islam (LPPI) Jakarta. Baca
http.www.beritagar.id/artikel/bincang/wawancara-amin- djamaluddin-dan-mahful-muis-tumanurung-antara-murtad-dan-islam-mainstream, akses 29 Pebruari 2016.
Sebagai aliran keagamaan baru, Qiyadah al-Islamiyyah termasuk organisasi yang berkembang pesat dalam waktu singkat, yang lahir pada akhir 2007. Muncul dan dikenal publik lewat media massa, Qiyadah al-Islamiyyah langsung memantik reaksi keras dari masyarakat. Ajaran-ajarannya dipandang sesat karena menyimpang dari ajaran Islam pada umumnya. Misalnya, mereka berpandangan bahwa ada nabi dan rasul lain setelah Nabi Muhammad SAW. Padahal menurut umat Islam (berdasarkan al-Qur’an dan al-Hadits), Nabi Muhammad SAW adalah Nabi dan Rasul yang terakhir (khatam al-anbiya).3
Nabi dan rasul yang dimaksud oleh Al-Qiyadah Al-Islamiyah ini adalah al-masih al-maw’ud atau imam agung yang ditunggu-tunggu, yaitu pimpinan aliran ini sendiri, Ahmad Mushaddeq, yang memproklamirkan diri sebagai nabi sejak tanggal 23 Juli 2006 di Gunung Bunder Bogor.4 Diduga kuat, ajaran ini telah dimulai sejak 2000, karena dari pengakuan Pimpinan Jamaah Qiyadah Al-Islamiyah, Ahmad Mushaddeq, bahwa dia mendapatkan wahyu dari Allah dan menjalani tahap da’wah bi al-sirri (dakwah diam-diam) selama 6 tahun.5
Konsekuensi dari keyakinan yang demikian itu, maka kalimat syahadat yang mereka ucapkan juga berbeda. Syahadat mereka berbunyi: “Asyhadu alla Ilaaha
3 Bandingkan dengan 10 kriteria aliran sesat Majelis Ulama
Indonesia, hasil rumusan Rapat Kerja Nasional MUI di Jakarta 2007.
4Majalah TEMPO, 11 November 2007
5Joko Triharyanto,al-Qiyadah al-Islamiyyah,Laporan Penelitian,
(Semarang: Balai Litbang Agama Semarang, 2007), h. 2.
illallah wa asyhadu anna al-masih al-maw’ud rasulullah” (aku bersaksi bahwa tidak Tuhan selain Allah, dan aku bersaksi bahwaal-masih al-maw’ud[maksudnya Ahmad Musaddeq] adalah rasulullah). Para pengikutnya juga tidak diwajibkan melaksanakan kewajiban-kewajiban sebagaimana lazimnya umat Islam, seperti shalat misalnya. Semua kewajiban itu baru dilaksanakan bila agama bila agama Islam telah tegak di muka bumi.6
Kaitan antara al-Qiyadah al-Islamiyyah dan Gafatar dapat dibuktikan dari kenyataan-kenyataan berikut ini. Pertama, keyakinan yang diyakini oleh eks Gafatar mirip atau sama persis dengan Qiyadah al-Islamiyyah. Mereka tidak mau melaksanakan shalat wajib meski Kartu Tanda Penduduk (KTP) masih tertulis kolom beragama Islam. Mereka juga tidak mau atau menolak mengucapkan syahadat sebagaimana lazimnya syahadat yang diucapkan umat Islam.7 Kedua, seluruh pengikut al-Qiyadah al-Islamiyyah masuk ke dalam struktur dan menjadi bagian dari Gafatar, ditambah dengan pengikut baru hasil rekrutan yang dilakukan secara massif di seluruh wilayah Indonesia. Ahmad Musaddeq sendiri menjadi penasehat Gafatar dan ia secara rutin menjadi narasumber kegiatan Gafatar. Bahkan, hampir semua pengurus Gafatar dibaiat oleh Ahmad Musaddeq.8 Pengikut eks Gafatar mengakui bahwa Ahmad Musaddeq
6Ibid.
7 Pengamatan selama melakukan pendampingan kepada eks
Gafatar di Asrama Haji Donuhudan Solo, Pebruari 2016.
8
http://www.gatra.com/nusantara/nasional/182507-amin-musadek-baiat-hampir-semua-pengurus-gafatar. Akses 29 Pebruari 2016.
adalah nabi yang diikuti oleh mereka. Ketiga, pembentukan Gafatar lebih merupakan kamuflase untuk mengelabuhi publik setelah al-Qiyadah al-Islamiyyah dinyatakan sesat oleh MUI. Pada kenyataannya, Gafatar merupakan pelaksana visi, misi dan perjuangan al-Qiyadah al-Islamiyyah.
Sekalipun berasaskan Pancasila dan memiliki visi dan misi yang sangat baik, Gafatar rupanya memiliki tujuan akhir religio-politik yang mereka sebut sebagai Negeri Kesatuan Tuan Semesta Alam (NKTSA). Tujuan akhir ini dapat dibaca dari fase perjuangan yang telah digariskan oleh al-Qiyadah al-Islamiyyah, yaitu: Pertama, fase sirran (rahasia). Fase ini dimulai sebelum Ahmad Mussadeq mendeklarasikan diri sebagai rasul sebelum 2006. Kedua, fase jahran (terbuka, terang-terangan) yang dimulai sejak 2006 hingga sekarang. Ketiga, fase hijrah (pindah) dari tempat asal menuju pada tanah air yang dijanjikan. Dalam konteks ini, Kalimantan Timur dipilih sebagai tempat membangun negeri yang diimpikan tersebut. Keempat, fase qital (perang) yaitu fase ketika mereka harus merebut atau mempertahankan hak untuk mendirikan negeri tersebut atau memerangi orang yang tidak setuju dengan mereka. Kelima, fase fath al-makkah yaitu fase kemenangan setelah menjalani peperangan. Keenam, fase madinah munawarah yaitu terbentuknya NKSA tersebut.9
9Joko Triharyanto,Op. Cit.,h. 10-12. Baca Ahmad Mesiyyakh,
Memahami dan Menyikapi Tradisi Tuhan, Kebangkitan yang Dibenci tapi Dirindukan,cet. I, (Dermaga Wacana, 2008).
Doktrin ajaran al-Qiyadah al-Islamiyyah dan Gafatar terkait dengan paham Millah Ibrahim (agama Abraham),10 yang kemudian membentuk Komunitas Millah Komar (Komar). Bangunan teologisnya merupakan gabungan dalil-dalil Al-Qur’an dan Al-Kitab (Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru) yang dikaji dengan pendekatan kebahasaan, fakta-fakta sosial dan kesejarahan.11
Keberadaan Gafatar telah meresahkan masyarakat, baik karena keyakinannya maupun aktifitasnya. Berdasarkan hal di atas, MUI mengeluarkan fatwa nomor 4 tahun 2007 tentang Aliran al-Qiyadah al-Islamiyyah dan fatwa nomor 6 tahun 2016 tentang Aliran Gafatar dengan tiga kepentingan sekaligus, yaitu terjaganya akidah umat Islam, tegaknya Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) seraya tetap mempertahankan hak asasi dan kekebasan berkeyakinan masyarakat. MUI sebagai institusi keulamaan (ulama institution) yang lahir 27 Juli 1975 berkewajiban ikut serta menjaga ketertiban dan kedamaian masyarakat dari sisi keagamaan melalui fatwa-fatwa yang dikeluarkan. Fatwa merupakan salah satu hasil ijtihad ulama, di samping fiqh, qanun (undang-undang) dan qadha (putusan pengadilan).12
Dalam anggaran dasarnya, salah satu tugas MUI adalah memberikan fatwa (legal opinions) dan nasihat (advice/ tausiyah), baik kepada pemerintah maupun umat
10 Mahful M. Hawary, Teologi Abraham: Membangun Kesatuan
Iman Yahudi, Kristen dan Islam(Jakarta: Fajar Madani, 2009).
11Joko Triharyanto,Op. Cit.,h. 11.
12Mohammad Atho Mudzhar, “Fiqh dan Reaktualisasi Hukum
Islam,” dalam Budy Munawar Rahman,Reaktualisasi…Op. Cit., h.
Islam, menyangkut persoalan keagamaan khususnya, dan semua masalah yang dihadapi bangsa pada umumnya.13 Bagaimanapun, peran dan posisi ulama sangat penting dalam kehidupan bangsa Indonesia, lebih-lebih setelah MUI hadir. Dalam kiprahnya selama ini, MUI banyak mengeluarkan fatwa yang kadang sangat kontroversial di masyarakat. Salah satunya adalah fatwa MUI tentang pengharaman sekularisme, liberalisme dan pluralisme yang memantik perdebatan dan menguji eksistensi otoritas keulamaan MUI. Bahkan fatwa MUI tersebut dipandang memenjarakan pikiran dan menjadi faktor krimonogen untuk kasus kebebasan beragama yang makin meningkat.14 Fatwa MUI diduga cenderung membawa umat Islam Indonesia lebih dekat dengan paham ortodok.15 Bahkan Luthfi Asysyaukani lebih provokatif karena menduga ada hubungan antara fatwa dengan kekerasan di Indonesia.16
Tuduhan dan dugaan itu bisa benar atau salah, tergantung sudut pandang dan kekuatan argumentasinya.
13Mohammad Atho Mudzhar,Fatwas of The Council of Indonesia
Ulama: A Study of Islamic Legal Thought in Indonesia 1975-1988,(Jakarta: INIS, 1993), h. 54.
14 Ahmad Suaedy, dkk, Kala Fatwa Jadi Penjara, (Jakarta: The
Wahid Institute, 2006). Ulasan dan rekaman lengkap kontroversi fatwa MUI tentang pluralism, liberalism dan sekularisme yang dikeluarkan
tahun 2005, baca Budhy Munawar-Rachman, Reorientasi Pembaruan
Islam: Sekularisme, Liberalisme dan Pluralisme Paradigma Baru Islam Indonesia,(Jakarta: Paramadina, 2010).
15Moch Nur Ichwan, “Ulama,State and Politic: Majelis Ulama
Indonesia after Soeharto,” dalamIslamic Law and Society,12: 1 (Leiden:
Brill, 2005).
16 Lutfi Asysyaukani, “Fatwa and Violence in Indonesia,”
dalamJournal of Religion and Society,Vol. 11, (The Kripke Center, 2009).
Salah satu tesis proposal ini adalah akan menguji apakah betul fatwa MUI mampu menjadi faktor tunggal terjadinya kekerasan? Bukankah kekerasan bernuansa agama faktor penyebabnya tidaklah tunggal dan sangat kompleks? Apakah kedekatan dengan ortodoksi dipandang kurang tepat atau justru banyak mengandung maslahat? Tesis-tesis di atas akan dihubungkan dengan fatwa MUI yang berkaitan dengan aliran sempalan baru (Qiyadah al-Islamiyyah dan Gafatar) yang ternyata direspon wajar oleh masyarakat dan ditunggu oleh pemerintah.17
Meskipun ’hanya’ sebagai pendapat hukum (legal opinion) yang tidak mengikat,18 fatwa dapat mempengaruhi opini dan menjadi rujukan masyarakat. Fungsi fatwa sebagai penjelasan (al-bayan) terhadap suatu masalah akan dijadikan pegangan oleh masyarakat dalam mengambil sikap. Dalam praktiknya, MUI tidak seenaknya dalam mengeluarkan fatwa. Ada prosedur yang harus dilalui,19 mulai dari adanya permintaan fatwa
17Bandingkan dengan fatwa MUI tentang Ahmadiyyah, baca
Khoiruddin Nasution, “ Fatwa Majelis Ulama Indonesia on
Ahmadiyah,” dan Melissa Crouch, Indonesia, Militant Islam and
Ahmadiyah: Origins and Implication,(Center for Islamic Law and Society, Melbourne Law School).
18 Fatwa adalah pendapat hukum yang tidak mengikat dari
seorang atau sekelompok ulama mufti kepada orang yang meminta
fatwa (mustafti)[a fatwa is generally a non-binding legal opinion or ruling
given by a recognized Islamic legal specialist). Nadirsyah Hosen, “Fatwa
and Muftis” dalam Ann Black, et. al.,Modern Perspectives on Islamic Law,
(UK: Edward Elgar Publishing Limited, 2013), h. 83.
19Surat Keputusan MUI Nomor U-596/MUI/X/1997 tentang
Pedoman Penetapan Fatwa Majelis Ulama Indonesia. Penjelasan
singkatnya bisa dibaca Abu Rokhmad, Ushul Fiqh, (Semarang: Karya
Abadi Jaya, 2015), h. 300-2 dan Mohammad Atho Mudzhar,Op. Cit.,h.
dari masyarakat atau pemerintah hingga penetapan dasar hukum(adillat al-ahkam)yang paling kuat.
Kajian tentang fatwa MUI tentang Qiyadah al-Islamiyyah dan Gafatar sangat penting karena beberapa pertimbangan.Pertama,kalangan pegiat hak asasi manusia dan aktivis muslim liberal sering mencurigai fatwa MUI yang dibuat secara gegabah, diskriminatif dan cenderung melanggar hak asasi manusia. Di luar itu, fatwa MUI juga dianggap fatwa pesanan (ordered fatwa) yang sengaja dikeluarkan MUI sebagai dasar legal-teologis pemerintah untuk memasung kebebasan dan hak-hak sipil masyarakat. Kedua, di sisi lain, fatwa MUI tentang al-Qiyadah al-Islamiyyah dan Gafatar memiliki kepentingan untuk menjaga nilai-nilai moderatisme keagamaan dan kecintaan pada bangsa (nasionalisme). Yang menarik, respon masyarakat terhadap fatwa MUI ini relatif wajar atau diterima meski dengan beberapa catatan.
Mengapa buku ini penting ditelaah karena beberapa alasan.Pertama,bangsa Indonesia masih menjadi pasar ideologi—baik ideologi lokal maupun transnasional, baik ideologi negara maupun agama yang dianut masyarakat—yang sangat menarik dengan potensi pengikut yang sangat besar. Ideologi yang berkembang di Indonesia ada dua kemungkinan: bersesuaian dan tidak bertentangan dengan ideologi yang telah ada atau sebaliknya. Jika yang terjadi adalah sebaliknya, maka pemerintah dan ormas keagamaan perlu memiliki resep khusus untuk membendung penetrasi paham-paham tertentu yang dapat mengancam keutuhan bangsa dan menganggangu ketertiban masyarakat. MUI memilikibest
practices dalam menghadapi aliran menyimpang yang perlu dikaji dan dikritisi keberadaannya.
Kedua, manhaj pemikiran hukum yang dianut oleh seseorang atau institusi dapat mempengaruhi ketetapan hukumnya. MUI sebagai organisasi keagamaan yang mewadahi dan memayungi seluruh ormas Islam (the umbrella of islamic organizations) memiliki tanggung jawab besar agar tetap di jalan tengah (tawassuth, moderat). Riset akan mengkaji dan memastikan bahwa dalam melaksanakan tugas sosial keagamaannya, MUI telah menyusun dan mengeluarkan fatwa tentang aliran-aliran yang dianggap menyesatkan sesuai dengan standar ilmiah yang disepakati oleh para ulama. Fatwa disusun semata-mata untuk memberikan pendidikan, penjelasan dan petunjuk kepada masayarakat agar terhindar dari keyakinan yang tidak benar. Lebih-lebih fatwa MUI ini menjadi pegangan dalam berpikir dan bertindak, baik oleh pemerintah maupun umat Islam pada umumnya.
Ketiga,kajian ini mengaplikasikan paradigma unity of sciences di mana tidak ada pemisahan antara kajian dengan pendekatan ilmu agama dan ilmu umum. Fatwa yang dikeluarkan oleh MUI tentang aliran Qiyadah al-Islamiyyah dan Gafatar merupakan fatwa yang unik. Dua aliran ini tidaklah murni merupakan aliran sempalan dari Islam. Mereka mengaku pengikut Millah Ibrahim (agama Ibrahim) yang ajarannya menggabungkan antara Islam, Kristen dan Yahudi. Oleh karenanya, mereka bisa pula disebut sekte dari agama Kristen dan Yahudi. Atas dasar kenyataan itu, kajian ini tidak hanya menggunakan
pendekatan teori hukum Islam (maqashid al-syariah) tapi juga teori hukum positif (hak asasi manusia).
Berdasarkan latar belakang di atas, buku mengkaji dan menjawab rumusan masalah berikut ini. Pertama, bagaimana substansi fatwa Majelis Ulama Indonesia tentang al-Qiyadah al-Islamiyyah dan Gafatar? Kedua, bagaimana metode istinbath fatwa Majelis Ulama Indonesia tentang al-Qiyadah al-Islamiyyah dan Gafatar? Ketiga, bagaimana fatwa Majelis Ulama Indonesia tentang al-Qiyadah al-Islamiyyah dan Gafatar ditinjau dari maqashid al-syari’ah dan hak asasi manusia? Dengan memperhatikan tema, judul dan rumusan masalah di atas, maka buku ini fokus pada hal-hal berikut.Pertama, fatwa MUI yang menjadi obyek kajian adalah fatwa nomor 4 tahun 2007 tentang Aliran al-Qiyadah al-Islamiyyah dan fatwa nomor 6 tahun 2016 tentang Aliran Gafatar. Kedua, penelitian ini merupakan kajian istinbath hukum Islam (ushul fiqh) dengan dua pendekatan, yaitu pendekatan maqashid al-syariah dan hak asasi manusia. Dua pendekatan ini dimaksudkan sebagai kajian integratif dan implementasi dariparadigma unity of sciences, di mana teori hukum Islam (maqashid al-syariah) dan teori hukum positif (hak asasi manusia) digunakan secara bersamaan sebagai alat analisis (tool of analysis). Dengan demikian, diharapkan dapat ditemukan analasis yang fokus, lebih komprehensif dan tidak berat sebelah.
B. Kajian Riset Sebelumnya
Penelitian ini bukanlah studi pertama yang mengkaji tentang tentang al-Qiyadah al-Islamiyyah. Sebagai satu fenomena yang telah ada sejak beberapa tahun lalu (2007), al-Qiyadah telah memantik perhatian para peneliti, baik untuk mengkaji aspek keyakinannya, maupun perkembangan organisasinya yang sangat cepat, meskipun tidak banyak. Tetapi untuk kajian tentang Gafatar dan fatwa MUI tentang kelompok ini merupakan kajian yang relatif baru karena fenomenanya yang baru muncul belakangan.
MUI menulis buku yang berjudulMengawal Aqidah Umat: Fatwa MUI tentang Aliran-aliran Sesat di Indonesia.20 Buku ini merupakan hasil kajian MUI tentang aliran-aliran yang berkembang di Indonesia yang dimintakan fatwanya oleh masyarakat kepada MUI tentang kebenarannya. Buku ini lebih tepat disebut sebagai kumpulan fatwa, meskipun fatwa sendiri juga merupakan sebuah kajian dengan pendekatan aqidah dan hukum Islam.
Kajian yang menarik tentang gerakan sempalan juga dilakukan oleh Martin van Bruinessen dengan judul Gerakan Sempalan di Kalangan Umat Islam Indonesia: Latar Belakang Sosial-Budaya.21 Artikel ini selalu dirujuk bagi peneliti yang akan mengkaji tentang aliran sesat, terutama yang menggunakan sudut pandang
sosiologis-20MUI,Mengawal Aqidah Umat: Fatwa MUI tentang Aliran-aliran
Sesat di Indonesia,(Jakarta: Sekretariat MUI,).
21 Martin van Bruinessen, “Gerakan Sempalan di Kalangan
Umat Islam Indonesia: Latar Belakang Sosial-Budaya,” dalam Jurnal
antropologis. Tulisan ini memperkaya secara teoritis tentang aliran sempalan, kapan dan bagaimana ia dimulai sebagai aliran yang sesat.
Studi cukup luas tentang aliran-aliran sempalan yang berkembang di Indonesia terangkum dalam buku Capita Selekta Aliran-Aliran Sempalan di Indonesia.22 Oleh karena buku ini merupakan kumpulan hasil simposium tentang kewaspadaan umat Islam terhadap aliran yang merusak aqidah tauhid yang diselenggarakan oleh Lembaga Peneltian dan Pengkajian Islam (LPPI) tahun 2000, maka buku ini memuat penjelasan awal yang masih membutuhkan kajian lanjutan. Di antara aliran-aliran yang digolongkan sesat dalam buku ini sebanyak 14 aliran yaitu aliran Ingkar Sunnah, Ajaran Teguh Esha, Aliran Pembaharuan Isa Bugis, Lembaga Dakwah Islam Indonesia (LDII), Agama Ahmadiyah, Ajaran Syi’ah, Gerakan Darul Arqom, Lembaga Gerakan Kerasulan, Tarekat Naqsyabandiyah Prof. Dr. Kadirun Yahya, Agama Salamullah Lia Aminuddin, NII Ma’had al-Zaytun, Ajaran Bijak Bestari, Ajaran Baha’I dan agama Millah Ibrahim. Pada waktu buku ini terbit, al-Qiyadah dan apalagi Gafatar belum lahir. Namun istilah agama Millah Ibrahim—yang juga diyakini oleh al-Qiyadah dan Gafatar—saat itu sudah ada pengikutnya.
Buku Aliran dan Paham Sesat di Indonesia ” juga memuat 14 aliran sesat sebagaimana yang dimuat dalam buku Capita Selekta di atas. Bedanya, buku ini juga mengkaji tentang paham dan pemikiran Islam
22M. Amin Djamaluddin,Capita Selekta Aliran-Aliran Sempalan
di Indonesia, LPPI, Jakarta, 2003.
kontemporer yang dianggap syubhat, seperti pemikiran Nurcholis Madjid dan Islam Liberal, serta mengulas praktek-praktek “kesesatan” yang dilakukan di kalangan umat Islam baik dalam bidang ibadah (ritual), maupun sosial dan politik.23 Arifin Surya Nugarah menulis buku yang berjudul Aliran-aliran Sesat di Indonesia.24 Buku ini sejenis dengan buku sebelumnya, menguraikan secara ensiklopedis tentang aliran yang dianggap sesat. Buku belum menyinggung soal Al-Qiyadah al-Islamiyyah.
Riset yang relatif mendalam ditulis oleh Joko Triharyanto yang berjudulAl-Qiyadah al-Islamiyyah.25Riset mengambil lokasi penelitian di Yogyakarta dan menunjukkan perkembangan organisasi yang sangat cepat. Pada aspek keyakinan, riset ini dapat menjadi rujukan awal dan menjadi pintu masuk tentang aqidah yang menjadi pegangan dalam kehidupan mereka. Riset ini belum menyentuh Gafatar, karena waktu itu Gafatar belum lahir dan belum menjadi fenomena seperti belakangan ini.
Furqon Syarief Hidayatulloh melakukan riset dan dipublikasi dalam jurnal dengan judul Strategi Pencegahan dan Penanganan Penyebaran Aliran Sesat di Indonesia,dengan studi kasus di kampus IPB Bogor.26 Riset ini menelisik
23 Hartono Ahmad Jaiz, Aliran dan Paham Sesat di Indonesia,
(Pustaka Kautsar, Jakarta, 2005).
24 Arifin Surya Nugraha, Aliran-aliran Sesat di Indonesia,
(Yogyakarta: Banyumedia, 2007).
25 Joko Triharyanto, al-Qiyadah al-Islamiyyah, Laporan
Penelitian, (Semarang: Balai Litbang Agama Semarang, 2007).
26 Furqon Syarief Hidayatulloh, ” Strategi Pencegahan dan
perkembangan aliran di kalangan mahasiswa. Aliran yang dikaji relatif sama dengan riset sebelumnya, seperti aliran Inkar Sunnah, aliran Ahmadiyyah dan LDII. Strategi penanggulannya antara lain dilakukan dengan perkuliahan, pendalaman, pengajian rutin, dan pembinaan keagamaan.
Riset yang mengkaji tentang fatwa MUI tentang beberapa aliran sesat juga sudah pernah dikaji. Misalnya, Syafiq Hasyim menulis artikel dengan judulThe Council of Indonesian Ulama (Majelis Ulama Indonesia) and Religious Freedom27 dan Melissa Crouch mempublikasikan artikel dengan judulJudicial Review and Religious Freedom: The Case of Indonesian Ahmadis, dan Indonesia, Militant Islam and Ahmadiyyah,masing-masing mengkaji tentang aliran-aliran keagamaan Islam yang dipandang sesat oleh MUI, dan fatwa MUI tersebut bertentangan dengan prinsip kebebasan beragama.28 Fatwa MUI juga dipandang menjadi faktor penting terjadinya kekerasan terhadap
dalam Jurnal Analisis, Vol. XIII, No, 2, Desember 2013. http://ejournal.iainradenintan.ac.id/index.php/analisis/
article/view/233/179
27 Syafiq Hasyim, ”The Council of Indonesian Ulama (Majelis
Ulama Indonesia) and Religious Freedom,”dalam IRASEC, Desember 2011. http://www.irasec.com/documents/fichiers/47.pdf.
28 Melissa Crouch, “Judicial Review and Religious Freedom: The
Case of Indonesian Ahmadis”, dalam https://sydney.edu.au/law/slr/ slr_34/slr34_3/SLRv34no3Crouch.pdf, dan ”Indonesia, Militant Islam
and Ahmadiyyah,”
http://s3.amazonaws.com/academia.edu.documents/ Indonesia_Militant_Islam_and_Ahmadiyah_O.pdf
kelompok menyimpang tersebut, sebagaimana kajian dalam tulisanFatwa and Violence in Indonesia.29
Sejauh yang dapat ditelusuri dan ditemukan, riset dengan tema sebagaimana proposal ini belum banyak dilakukan. Oleh karena itu, riset ini akan melengkapi kajian tentang fatwa MUI tentang aliran-aliran dalam Islam yang kebanyakan dikaji dengan pendekatan berat sebelah. Dalam arti, fatwa MUI sering dikaji dengan pendekatan yang mendukung demokrasi dan kebebasan beragama, di satu sisi, tetapi di sisi lain, fatwa juga dikaji dalam kebutuhan untuk menjaga keyakinan umat Islam. Bagaimanapun, yang disebut fatwa selalu berkaitan dengan kebutuhan dan kepentingan umat Islam.
C. Kerangka Teoritik 1. Aliran Sempalan
Teori gerakan sempalan di kalangan umat Islam30 masih relevan digunakan untuk memotret lahir dan berkembangnya aliran dalam Islam yang berbeda dari aliran induk (mainstream atau ortodoksi) di Indonesia kontemporer. Al-Qiyadah al-Islamiyyah atau Gafatar adalah dua aliran Islam kontemporer, meskipun pimpinan Gafatar sudah menyatakan keluar dari Islam. Argumentasinya, ajaran, doktrin dan hampir seluruh
29 Luthfi Asy-Syaukani, “Fatwa and Violence in Indonesia,”
dalamJournal of Religion and Society,Volume 11 (2009).
30 Martin van Bruinessen, “Gerakan Sempalan di Kalangan
Umat Islam Indonesia: Latar Belakang Sosial-Budaya,” dalam Jurnal
pengikut Gafatar merupakan umat Islam sebelumnya. Di sisi lain, teologi Al-Qiyadah al-Islamiyyah atau Gafatar yang merupakan gabungan agama-agama semitik (Millah Ibrahim), Gafatar bisa saja dimasukkan ke dalam sekte agama Kristen atau Yahudi.
Yang berbeda, aneh, nyleneh, menyimpang atau sesat merupakan sebutan lain dari sempalan yang merujuk pada aliran yang memisahkan diri dari aliran yang mapan, membentuk aliran sendiri, seringkali eksklusif dan kritis-korektif terhadap paham dominan. Aliran tersebut dikategorikan menyimpang dari akidah, ibadah dan amalan mayoritas umat Islam. Abdurrahman Wahid memilih istilah splinter group untuk menggambarkan aliran yang menyempal dari aliran pokok. Kata sempal berasal dari bahasa Jawa, yang artinya patah dan terpisahnya dahan dari batang pohon atau cabang dari dahan. Dengan pengertian seperti ini, sulit menemukan padanannya dalam bahasa Indonesia untuk menamai gerakan Islam yang memisahkan diri dari batang tubuh umat seagama. Bila disebut pecahan juga kurang tepat, karena mengandung pengertian sama besar antara yang memisahkan diri dan batang tubuh utamanya.31
Cerita gerakan sempalan di kalangan umat Islam masih akan terus berlanjut. Makin banyak aliran-aliran baru yang berani membuka diri dan mengekspresikan keyakinannya yang berbeda di ruang publik, baik aliran
31 Abdurrahman Wahid, “Perihal Gerakan Sempalan Islam,”
dalamTempo, 25 April 1981.
menyimpang (splinter) maupun radikalisme.32 Salah satu alasan mengapa akan selalu ada aliran sempalan dalam Islam karena ketidakmampuan umat mencerna dampak modernisasi (dalam pengertian luas) yang semakin lama semakin laju tetapi jalannya timpang. Mereka juga gagap memberikan jawaban yang tepat atas persoalan yang ditimbulkan oleh modernisasi.33 Di dalamnya, pasti ada rasa tidak puas dan protes kepada yang mapan (baca: agama, negara, tatanan dan sebagainya).34
Dari sudut pandang sosiologi agama, aliran sempalan agaknya sepadan dengan dari istilah sekte atau sektarian. Secara umum, istilah sekte—berasal dari bahasa Latin sequi yang berarti memisahkan (to separate) atau memotong (to cut)—digunakan untuk menyebut setiap kelompok yang memiliki pandangan berbeda dari
32 Salman Harun, et. All, “The Religious Expression in
Indonesia: From Orthodoxy of Muslim to Splinter and Radicalism,” dalam www.ssrn/link/OIDA-Intl-Journal-Sustainable-Dev.html.
33Abdurrahman Wahid,Op. Cit.
34Menurut Azra, muncul dan berkembangnya beragam aliran
atau paham keagamaan yang menyimpang dari paham keagamaan mainstream dipercepat oleh kenyataan berlangsungnya perubahan-perubahan sosial-ekonomi yang begitu cepat—dengan sedikit latah, bisa juga disebabkan oleh globalisasi—yang menimbulkan disrupsi, disorientasi, atau dislokasi psokologis dalam kalangan tertentu masyarakat. Selain itu, kemunculan mereka juga bisa di dorong oleh ketidakpuasan terhadap paham, gerakan atau organisasi keagamaan mapan, yang mereka pandang tidak mampu lagi mengakomodasi pengembaraan keagamaan mereka. Dalam bahasa Kuntowijoyo, gerakan keagamaan sempalan lahir karena polarisasi sosial yang
semakin menajam. Baca Azyumardi Azra,Konteks Berteologi di Indonesia:
Pengalaman Islam, Cet. I, (Jakarta: Paramadina, 1999), h. 10.
Kuntowidjoyo, Paradigma Islam: Interpretasi untuk Aksi (Cet. VIII;
pandangan umum, baik kelompok filsafat, politik dan juga agama. Secara khusus, kata sekte digunakan untuk menyebut kelompok agama yang terpisah atau memisahkan diri dari gereja yang dominan.35 Dengan bahasa lain, pada dasarnya setiap gerakan keagamaan atau setiap usaha yang terorganisasi menyebarkan paham keagamaan atau interpretasi terhadap suatu agama yang sudah ada dapat disebut sekte.36 Menurut Ernst Troeltsch (1981: 993), sekte dipahami sebagai sebuah kelompok keagamaan yang terbentuk secara sukarela (voluntary sosiety) berdasarkan pemahaman dan pengalaman iman mereka yang menyimpang.
Untuk mempermudah mengindentifikasi, sosiolog agama mengemukakan karakteristik kelompok agama yang menyimpang dari induk atau sekte itu. Pertama, keanggotaannya berukuran kecil, terbatas pada sejumlah individu yang terpilih. Kedua, adanya tuntutan kesetiaan yang total, tidak mentolerir adanya kesetiaan ganda, dan adanya kotrol sosial yang kuat di dalam kelompoknya. Ketiga, adanya doktrin teologi berbeda dari yang mainstream, yang secara khas dipahami oleh pendiri sekte tersebut bersama kelompoknya, yang kemudian melahirkan klaim monopoli kebenaran. Keempat, bersifat eksklusif, di mana para anggota yang merupakan satu komunitas orang-orang yang percaya memandang diri mereka berbeda secara agama dari kelompok-kelompok
35 Michael Hill, “Sect” dalam Mircea Eliade, Encyclopaedi of
Religion, Vol. 13th (New York: Simon & Schuster Macmillan, 1996), h.
154-155.
36 Elizabeth K. Nottingham, Agama dan Masyarakat, Cet. VII,
(Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1997), h. 155.
lain. Kelima, sikap anti-herarki, menolak kelas pemuka agama, doktrin, dan praktis sosial keagamaan yang mapan.Keenam,sikap bermusuhan dengan komunitas lain di luar kelompoknya.37
Selain istilah sekte, dalam sosiologi agama juga dikenal istilah denominasi (denomination), yaitu aliran keagamaan yang relatif stabil, disiplin—namun tidak seperti sekte—yang seluruhnya bersifat formal dan konvensional, tidak berat dan tidak keras, pimpinannya moderat dan mau bekerja sama dengan banyak pihak.38 Denominasi sering diartikan aliran, yang bersifat imparsial dan berkonotasi positif. Sedang sekte sebaliknya, dikonotasikan negative, ekslusif dan menyimpang dari ajaran induk. Dalam tradisi Islam, mungkin aliran (denominasi) sepadan dengan istilah mazhab dan istilah sekte seirama dengan firqah.
Secara teologis, aliran sempalan Islam dipandang sebagai aliran yang membahayakan umat beragama karena ia mengajarkan ajaran agama yang bertentangan dengan ajaran pada umumnya. Aliran sempalan seringkali menjungkirbalikkan ajaran dan praktik agama yang sudah mapan sehingga dianggap menodai atau menistakan ajaran agama induk. Inilah yang menyebabkan pemegang otoritas keagamaan (religious authority) seperti Majelis Ulama Indonesia berkepentingan untuk menjaga akidah umat Islam dari penyimpangan ajaran Islam dengan
37 Abbas Langaji, “Dinamika Aliran Keagamaan Sempalan:
Tinjauan Perspektif Sosiologi Agama” dalam Conference Proceeding
AICIS XII, h. 1732-33.
mengeluarkan fatwa sesat bagi aliran tersebut.39 Tentu saja, banyak kritik terhadap fatwa yang dikeluarkan oleh MUI karena dianggap janggal dan bahkan dianggap menjadi faktor terjadinya kekerasan terhadap agama lain.40
2. Hak Asasi Manusia
Aliran-aliran sempalan selalu lahir dan tumbuh, dan hampir-hampir tidak mungkin dicegah dan apalagi dihilangkan sama sekali, baik pada rezim otoriter dan lebih-lebih pada rezim demokratis seperti sekarang ini. Dalam era demokrasi di mana hak asasi manusia menjadi panglimanya, seluruh ekspresi keyakinan dilindungi dan dijamin kebebasan. Aliran sempalan dikategorikan sebagai aliran minoritas yang mendapat perhatian serius oleh dunia internasional. Dalam Forum Dewan PBB di Jenewa (Human Right Council yang forumnya disebut Universal Periodic Review/ UPR) tahun 2012, banyak Negara mengapresiasi kinerja HAM Indonesia. Di sisi lain, tidak sedikit Negara memberikan catatan serius, khususnya
39 Nico J.G. Kaptein, “The Voice of the Ulama: Fatwas and
Religious Authority in Indonesia,” dalam Arch. de Sc. soc. des Rel., 2004, 125, (janvier-mars 2004) 115-130. Khoiruddin Nasution, “Fatwa
Majelis Ulama Indonesia (MUI) on Ahmadiyyah,” dalamMillah: Jurnal
Studi Agama,2008, www.jurnal.uii.ac.id.
40 Piers Gillepse, “Current Issues in Indonesian Islam:
Analysing the 2005 Council of Indonesian Ulama Fatwa No. 7 Opposing
Pluralism, Liberalism and Secularism dalam
http://jis.oxfordjournals.org/content/18/2/202.short. Luthfi
Asy-Syaukanie, “Fatwa and Violence in Indonesia,” dalamJournal of Religion
and Society,Volume 11 (2009).
menyangkut eskalasi intoleransi keagamaan dan lemahnya perlindungan terhadap kelompok minoritas.41
Menjaga dan melingungi kelompok minoritas menjadi janji pemerintahan Joko Widodo dan M. Jusuf Kalla dalam nawacitanya. Dalam janjinya tersebut, pemerintah bertekad “menghadirkan kembali Negara untuk melindungi bangsa dan memberikan rasa aman kepada seluruh warga,” khususnya kepada kelompok minoritas. Di samping itu, potensi konflik bernuansa agama cukup tinggi yang dapat berujung pada disintegrasi bangsa, sehingga kerukunan umat beragama harus dijaga, tentu semangat dan nilai baru yaitu kebebasan beragama sebagai wujud dari hak asasi manusia.
Jalan demokrasi42 yang telah disepakati untuk dianut oleh bangsa Indonesia memunculkan banyak
41 Zainal Abidin Baqir, dkk., Laporan Tahunan Kehidupan
Beragama 2012,(Yogyakarta: CRCS UGM, 2013), h. 6-7.
42Demokrasi merupakan suatu terminologi yang sarat makna
dan tafsir. Pengertiannya berkait erat (linkage) dengan sistem sosial
yang mendukungnya. Selain memiliki unsur-unsur yang bersifat
universal (universal common denominator), demokrasi juga mengusung
unsur-unsur kontekstual (cultural relativism). Dalam kerangka ini,
muncul pelbagai usaha untuk mencari standar demokrasi (standard of
democracy), walaupun diakui bahwa demokrasi sendiri bukanlah suatu
kesatuan yang statis(democracy is not a static entity) dan menunjukkan
lebih dari sekedar ”political machinary”, tapi juga mengandung
pandangan hidup(way of life)suatu masyarakat. Tinggi dan rendahnya
standar demokrasi sangat tergantung dari berbagai faktor pendukung (facilitating conditions) seperti kemajuan sosial-ekonomi, kualitas golongan menengah, kualitas kepemimpinan atau negara yang berdaulat. Muladi, ”Menggali Kembali Pancasila Sebagai Dasar Pengembangan Ilmu Hukum Indonesia,” Makalah dalam Seminar
implikasi yang membutuhkan kedewasan berpikir, bersikap dan bertindak bagi segenap rakyatnya. Nilai-nilai dasar (core values)demokrasi43 yang berhubungan dengan promosi dan perlindungan Hak Asasi Manusia (HAM) misalnya, memiliki implikasi ikutan yang tidak mudah diterapkan di masyarakat. Contohnya, tentang kebebasan (berekspresi, menyampaikan pendapat, berkeyakinan dan seterusnya) yang disandarkan pada demokrasi dan HAM, tentulah tidak sama dengan berpikir dan bersikap semaunya sendiri. Implementasi kebebasan sebagai bagian kecil dari nilai HAM semakin tidak mudah diwujudkan di semua tempat karena perbedaan geografis, local wisdom, kultur, agama, pendidikan, dan mungkin juga politik.
Setidaknya ada dua masalah filosofis terkait dengan HAM yang perlu dijelaskan. Pertama, apakah benar keseluruhan konsep HAM hanya ditujukan sebagai perlindungan warga terhadap kekuasaan negara (maksudnya: pelanggaran HAM oleh negara kepada rakyat), ataukah juga terhadap kemungkinan pelanggaran
NasionalMenggagas Ilmu Hukum Progressif Indonesia, Kerjasama IAIN
Walisongo dengan PDIH Undip, tanggal 8 Desember 2004.
43 Nilai-nilai dasar demokrasi atau standar demokrasi
universal (disebut pula indeks demokrasi/ indices democracy)
merupakan sarana untuk melakukan democratic audit melalui the key
auditing tool yang terdiri atas 30 (tiga puluh) pertanyaan dan dapat dikelompokan menjadi 4 (empat) dimensi, yaitu: (a) free and fair elections (Pemilihan Umum yang jujur dan adil); (b) open, accountable and responsive goverment (pemerintahan yang terbuka, akuntabel dan responsif); (c) civil and political rights (promosi dan perlindungan HAM, khususnya hak-hak sipil dan politik); dan (d) democratic society
(adanya masyarakat yang demokratik). Muladi,Demokratisasi, Hak Asasi
Manusia dan Reformasi Hukum di Indonesia( Jakarta: The Habibie Center, 2002), h. 79.
oleh sesama individu di dalam masyarakat?Kedua,apakah HAM yang pada hakekatnya bertujuan untuk melindungi hak perorangan tersebut tidak mengharuskan adanya kewajiban bagi penyandang hak untuk juga menghormati hak orang lain serta masyarakat sekitarnya?44
Pertanyaan filosofis di atas menempatkan negara pada dua posisi sekaligus; (1) negara dapat menjadi pelaku pelanggaran HAM; dan (2) negara wajib melindungi warga negara yang hak-haknya dirampas atau diganggu oleh penyandang hak lainnya. Padahal perbedaan atau persamaan antara ’melanggar’ dan ’melindungi’ tersebut setipis benang dan sangat tergantung dari konteks dan motif yang diinginkan. Atas nama melindungi kepentingan sebagian warga, negara dapat menginjak HAM milik sebagian warga lainnya.
Keyakinan keagamaan kelompok Lia “Eden” Aminuddin misalnya, dituduh melakukan penodaan agama oleh negara dan divonis 2 tahun penjara karena melanggar KUHP pasal 156a. Hal ini merupakan contoh betapa melanggar dan melindungi kebebasan beragama dan berkeyakinan sangat problematis penerapannya.45 Setiap pihak dapat menafsirkan sendiri HAM-nya yang kemungkinan besar dapat bersinggungan dengan HAM milik orang lain. Kebebasan beragama sebagai HAM-nya
44 Saafroedin Bahar, Konteks Kenegaraan HAM, (Jakarta: Sinar
Harapan, 2002), h. 10.
45 Untuk sebagian dari itu, negara perlu mengawasi
aliran-aliran kepercayaan, gerakan sempalan yang dianggap dapat mengganggu ketertiban dan keamanan. Tugas mengawasi ini diformalkan dengan nama PAKEM (Pengawas Aliran Kepercayaan Masyarakat) di bawah lembaga kejaksaan di seluruh wilayah Indonesia.
Lia Eden, telah mengganggu ketertiban yang menjadi HAM-nya (menodai ajaran) umat agama lain. Inilah dilema filosofis dan praktis yang perlu dikaji lebih serius supaya penggunaan ’atas nama HAM dan demokrasi’ untuk kebebasan beragama dan berkeyakinan tidak dilakukan secara anarkis dan sewenang-wenang.
Kebebasan berekspresi—termasuk ekspresi keyakinan—menjadi dilema yang serius dalam Islam. Kebebasan berekspresi itu—yang diagungkan pengikut HAM—bisa jadi mengandung unsur fitnah yang dapat merusak hubungan sosial intern dan antar umat beragama. Hasim Kamali menyatakan bahwa kebebasan individual untuk menemukan fakta-fakta dan ide-ide yang diformulasikan dalam bentuk opini perlu mengintegrasikan dengan nilai-nilai Islam—yang melarang fitnah—sehingga martabatnya tetap terjaga dan pencarian kebenaran dapat terwujud.46
Secara normatif, kebebasan beragama dijamin oleh konvensi internasional dalam Deklarasi Umum Hak Asasi Manusia (DUHAM/ The Universal Declaration of Human Rights). Deklarasi ini terdiri dari 30 pasal dan memuat bermacam-macam hak yang dapat dikategorikan ke dalam: hak personal, hak legal, hak sipil, hak politik, hak subsistensi, hak ekonomi, hak sosial dan hak kultural. Pasal 2 DUHAM menegaskan bahwa diskriminasi47 atas
46Mohammad H. Kamali, “Freedom of Expression in Islam: An
Analysis of Fitnah,” dalamThe American Journal of Islamic Social Sciences,
10:2.
47 Dalam pasal 1c UU No. 39 Tahun 1999 dijelaskan bahwa
“diskriminasi adalah setiap pembatasan, pelecehan, atau pengucilan yang langsung maupun tak langsung didasarkan pada pembedaan
dasar agama tidak dibenarkan. Beragama atau tidak beragama, menafsirkan dan meyakini apa yang dianggap benar merupakan bagian HAM seseorang yang harus dihormati.
Kebebasan beragama dan berkeyakinan ditegaskan kembali International Covenant on Civil and Political Rights (ICPPR). Indonesia sudah meratifikasi tentang ICCPR melalui Undang-Undang No. 12 Tahun 2005 tentang Pengesahan International Covenant on Civil and Political Rights (Kovenan Internasional tentang Hak-Hak Sipil dan Politik). Dengan ratifikasi itu, maka Indonesia menjadi Negara Pihak(State Parties)yang terikat dengan isi ICCPR. Di dalamnya ditetapkan hak setiap orang atas kebebasan berpikir, berkeyakinan dan beragama serta perlindungan atas hak-hak tersebut (Pasal 18); dan tindakan untuk melindungi golongan etnis, agama, atau bahasa minoritas yang mungkin ada di negara pihak (Pasal 27). Perlindungan terhadap minoritas dinyatakan secara tegas dalam kovenan tersebut.
Konstitusi bangsa Indonesia yang lahir lebih dulu dari DUHAM, sudah memberikan jaminan perlindungan kebebasan beragama yang konkret, dalam Pasal 28 dan 29 UUD 1945. Pasal 28 (e) ayat 2 menyatakan: “Setiap orang berhak atas kebebasan meyakini kepercayaan, menyatakan pikiran dan sikap, sesuai dengan hati nuraninya”.Hal tersebut
manusia atas dasar suku, ras, etnis, kelompok, golongan, status sosial, status ekonomi, jenis kelamin, bahasa, keyakinan politik yang berakibat pengurangan, penyimpangan, atau penghapusan pengakuan, pelaksanaan atau penggunaan hak asasi manusia dan kebebasan dasar dalam kehidupan baik individual maupun kolektif dalam bidang politik, ekonomi, hukum, sosial, budaya dan aspek kehidupan lainnya”.
ditegaskan lagi dalam pasal 29 (2) UUD RI: "Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agama dan kepercayaanya itu."
Untuk menjelaskan lebih konkret, konstitusi di atas diterjemahkan dalam undang-undang organik yaitu UU No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia. Artinya, jaminan konstitusi dan undang-undang sudah cukup kuat untuk menjaga dan melingungi kebebasan beragama. Sayangnya, kebebasan beragama dan berkeyakinan yang dijamin keberadaannya oleh konvensi internasional maupun perangkat hukum nasional, tidak serta merta membuat semua persoalan yang menyangkut kebebasan beragama dan berkeyakinan selesai. Setidaknya ada banyak faktor yang membuat implementasi jaminan kebebasan beragama tidak mudah dilakukan;
Pertama, perbedaan definisi tentang apa yang dimaksud dengan kebebasan beragama dan keyakinan itu? Jika yang dimaksud adalah kebebasan untuk memeluk atau tidak memeluk suatu agama tertentu, hemat saya tidak menjadi masalah. Jika yang dimaksud adalah kebebasan untuk membuat agama baru dan meyakininya sebagai agama yang benar, hemat saya juga tidak masalah.
Yang menjadi problem adalah jika kebebasan beragama yang dimaksud dilakukan secara anarkis tanpa memperhatikan koridor ilmu agama yang dianut oleh mayoritas pemeluk agama tersebut. Misalnya, seorang pemeluk agama Islam menafsirkan dan mengakui diri sebagai malaikat, atau imam Mahdi atau mengaku sebagai
Rasulullah. Sementara menurut mayoritas umat Islam (yang bersumber dari ketentuan normatif al-Qur’an dan al-Hadits) meyakini tidak mungkin ada malaikat yang turun ke bumi menjelma sebagai manusia atau setelah Nabi Muhammad Saw tidak ada lagi Rasul yang turun ke dunia.
Apa yang dianggap sebagai HAM-nya orang yang mengaku sebagai rasul, adalah penodaan terhadap kesucian ajaran agama orang. Di dalamnya ada unsur fitnah—meminjam istilah Kamali, yaitu pengakuan yang tidak dilandasi dengan bukti-bukti otentik. Oleh karena itu, pelakunya dianggap telah menodai dan menyebarkan ajaran-ajaran yang menyimpang dari ajaran mainstream. Penyebaran ajaran yang dianggap sesat akan menimbulkan kerawanan sosial dan menganggu ketertiban umum. Jika kebebasan beragama dan berkeyakinan telah menimbulkan ketidakketertiban (disorder) masyarakat, maka negara berkewajiban mengharmoniskan kembali, misalnya melalui penegakan hukum.
Kedua, perbedaan definisi tentang apa yang dimaksud dengan HAM. Apakah HAM identik dengan kebebasan sebebas-bebasnya, sehingga setiap orang bebas dan berhak mengaku sebagai tuhan, rasul dan nabi yang sedang menyampaikan risalah kepada manusia. Kebebasan beragama yang diyakini seperti ini adalah bagian dari HAM yang anarkis; identik dengan kehidupan di rimba raya. Padahal, masyarakat yang lain juga memiliki HAM yang perlu dihormati pula.
Menafsirkan doktrin ajaran agama secara anarkis tanpa melihat rambu-rambu ilmu, hukum dan sosial juga berpotensi menimbulkan benturan antar masyarakat. Menafsirkan tentang ajaran jihad dan menyimpulkan bahwa semua orang yang menentang Islam dicap sebagai kafir dan boleh dibunuh di manapun mereka berada, adalah HAM bagi yang meyakininya. Tetapi keyakinan seperti ini pasti berbenturan dengan keyakinan orang lain—yang menganggap tidak seperti itu jihad yang sebenarnya—yang menjadi HAM-nya pula. Benturan ide atau pemikiran, negara tidak berwenang untuk melerainya. Tapi benturan ide yang menjurus pada meresahkan masyarakat, akan mengundang negara untuk hadir menertibkannya.
Ketiga, apa yang dimaksud dengan melindungi HAM sama saja artinya dengan melanggar sebagian HAM milik orang lain. Batas-batas HAM yang dimiliki setiap orang adalah ketika kebebasan beragama dan keyakinannya telah membuat orang lain (yang seagama dengannya) merasa tidak nyaman dan terganggu karenanya. Oleh karena itu, dalam HAM dan juga demokrasi, setiap orang harus berani mengorbankan HAM dirinya untuk menghormati HAM orang lain. Dengan cara ini, kehidupan sosial yang harmonis akan tercapai.
Setiap orang bisa merasa ternodai jika ajaran agama yang diyakini ditafsirkan secara radikal dan anarkis oleh orang lain. Sebab, kebebasan berpikir bagi dirinya, bisa jadi adalah penodaan dan penistaan bagi orang lain. Sesuatu yang sangat logis untuk dimengerti.
Dalam konteks itulah, fatwa MUI tentang aliran-aliran sesat mendapatkan tempatnya.
3. Maqashid al-Syariah
Secara tradisional, kajian tentangmaqashid al-syariah selama ini diposisikan sebagai topik sekunder di dalam ushul fiqh. Biasanya maqashid dikaji di bawah topik maslahah(al-maslahah)atau munasabah kias(munasabah al-qiyas).48 Seiring dengan makin fundamentalnya maqashid al-syariah sebagai metodologi dan dalil ijtihad (bahkan menjadi disiplin ilmu tersendiri),49 maka cara pandang ini mulai berubah.
Memang, bagi sebagian ushuliyyin, maqashid adalah pernyataan alternatif untuk terma mashalih ( al-maslahah/ kemaslahatan). Misalnya, ’Abd Malik al-Juwaini (w. 1185 M), salah seorang pionir teori maqasid menggunakan istilahal-maqashiddanal-maslahah al-’ammah secara bergantian. Begitu pula Abu Hamid al-Ghazali (w. 1111 M) mengkategorikan maqashid ke dalam maslahah mursalah: kemaslahatan yang tidak dilarang atau didukun oleh kitab suci (nash). Pendapat al-Ghazali diikuti oleh Fakhr al-Din al-Razi (w. 1209 M) dan al-Amidi (w. 1234
48 Pada umumnya, corak ijtihad dalam rangka penerapan
maqashid al-syariah ada dua jenis. Pertama, penalaran istislahi yang
mengandalkna metodeal-maslahah al-mursalahdansadd al-zari’ah.Kedua,
penalaran ta’lili yang mengandalkanqiyasdanistihsan. Baca Asafri Jaya
Bakri, Konsep Maqashid Syari’ah Menurut al-Syatibi, (Jakarta: Rajawali
Pers, 1996), h. 132-153.
49 Jasser Auda, Membumikan Hukum Islam melalui Maqasid
M).50 Kalau demikian, wajarlah bila kajian maqashid disejajarkan atau bahkan subordinat di bawah maslahah. Padahal, maqashid al-syariah lebih dari sekedar maslahat dan memiliki kerangka kerja (framework) yang jelas dan sistematis.
Secara bahasa, maqashid al-syari’ah merupakan gabungan dua kata, yaitu maqashid dan syari’ah. Maqashid adalah bentuk jamak darimaqshadatau maqshidatauqashd atau qushud yang merupakan derivasi dari qashada-yaqshuduyang memiliki banyak arti, seperti menuju suatu arah, tujuan, tengah-tengah, jalan lurus, adil dan tidak melampaui batas atau tengah-tengah antara berlebih-lebihan dan kekurangan.51
Sebelum al-Syatibi lahir, belum ada definisi maqashid yang konkrit. Sebagai contoh adalah al-Ghazali. Pada mulanya, al-Ghazali menjelaskan tentang maslahah untuk kemudian dikaitkan dengan maqashid al-syariah. Al-Ghazali berkata:52
”Maslahah adalah sebuah istilah yang pada intinya merupakan keadaan yang mendatangkan manfaat dan menolak bahaya atau kerugian. Yang kami maksudkan dengan maqashid al-syari’ah sebenarnya bukan ini, karena mendatangkan manfaat dan menolak bahaya atau kerugian adalah tujuan dari makhluk. Kebaikan makhluk
50Ibid,h. 32-33.
51Ahmad Imam Mawardi, Fiqh Minoritas, (Yogyakarta: LKiS,
2010), h. 178-179.
52Al-Ghazali, al-Mustashfa min ‘Ilm al-Ushul,vol. 2 (Lebanon:
Dar al-Huda, 1994), h. 481.
adalah ketika menggapai tujuan-tujuannya. Yang kami maksudkan dengan maslahah di sini adalah menjaga tujuan syara’. Tujuan syara’ untuk makhluk ada lima, yaitu menjaga agama, jiwa, akal, keturunan dan harta.”
Di tangan al-Syatibi, maqashid al-syariah mulai mendapat bentuk, meski ia menyebutnya dengan sebutan yang berbeda-beda. Kadang ia menyebut maqashid al-syar’iyyah fi al-syari’ah53 atau maqashid min syar’i al-hukm,54 selain maqashid al-syari’ah itu sendiri.55 Al-Syatibi menegaskan bahwa ”sesungguhnya syariat itu bertujuan mewujudkan kemaslahatan manusia di dunia dan di akherat”(hadzihi syari’at...wudhi’at li tahqiqi maqashid al-syari’i fi qiyam mashalihihim fi al-din wa al-dunya ma’an).56 Dengan ungkapan lain, hukum-hukum yang disyari’atkan adalah untuk kemaslahatan hamba-hambanya (al-ahkam masyru’atun li mashalih al-’ibad).57
Menurut Jasser Auda, Al-Syatibi membangun teori maqashid dengan tiga cara substansial.58 Pertama, maqashid yang semula sebagai bagian dari kemaslahatan mursal (al-masalih al-mursalah) menjadi bagian dari dasar-dasar hukum Islam (mabadi’ al-ahkam al-syar’iyyah). Jika sebelumnya, maqasid termasuk dalam kategori ’kemaslahatan-kemaslahatan lepas’, yang tidak disebutkan
53 Al-Syatibi, al-Muwafaqat fi Ushul al-Syari’ah, jilid I, (Kairo:
Mustafa Muhammad,t.th), h. 23.
54Al-Syatibi, Op. Cit., jilid II, h. 374.
55Al-Syatibi,al-Muwafaqat fi Ushul al-Syari’ah, jilid I, h. 21.
56Ibid,h. 6. 57Ibid,II, h. 54.
secara langsung dalam nash, dan tidak pernah dinilai sebagai dasar hukum Islam yang mandiri, maka al-Syatibi menempatkan maqashid sebagai metode ijtihad yang mandiri. Jadi, al-Syatibi menilai maqashid merupakan pokok-pokok agama (ushul al-din), kaidah-kaidah syariah (qawaid al-syariah)dan keseluruhan keyakinan(kulliyyat al-millah).
Kedua, maqashid dalam arti ’hikmah dibalik hukum’ menjadi maqashid sebagai ’dasar bagi hukum’. Berdasarkan pondasi dan keumumam maqashid, al-Syatibi berpendapat bahwa ’sifat keumumam(al-kulliyyah) dari keniscayaan (daruriyyat), kebutuhan (hajiyyat) dan kelengkapan (tahsiniyyat) tidak bisa dikalahkan oleh hukum parsial (al-juz’iyyat). Al-Syatibi juga menjadikan ’pengetahuan tentang maqashid’ sebagai persyaratan untuk kebenaran penalaran hukum (ijtihad) dalam seluruh levelnya.
Ketiga, dari ketidakpastian (zanniyyah) menuju kepastian (qat’iyyah). Al-Syatibi mengusulkan kepastian (qath’iy)sebagai dasar epistemologi sumber hukum Islam, yang bersifat dhanniy (ketidakpastian) tidak layak dijadikan pegangan. Oleh karena itu, al-Syatibi membuktikan ’kepastian’ proses induktif (istiqra’i) yang dia gunakan untuk menyimpulkan maqashid itu.
Menurut Muhammad al-Thahir ibn ’Asyur (kelahiran di Tunisia, w. 1963 M), maqashid syari’ah adalah makna-makna dan hikmah-hikmah yang diperhatikan dan dipelihara oleh Syari’ dalam setiap bentuk penentuan hukum-Nya. Hal ini tidak hanya berlaku pada jenis-jenis hukum tertentu sehingga
masuklah dalam cakupannya segala sifat, tujuan umum dan makna syariah yang terkandung dalam hukum serta masuk pula didalamnya makna-makna hukum yang tidak diperhatikan secara keseluruhan tetapi dijaga dalam banyak bentuk hukum.59
Al-Syatibi membagi maqashid atau tujuan syariah menjadi tiga tingkatan.60 Pertama, maqashid primer (تﺎﯾروﺮﺿ/daruriyyat/ essential). Kategori ini merupakan kebutuhan pokok atau dasar yang harus ada. Jika tidak, akan mengancam kelangsungan hidup manusia. Ada kesepakatan umum bahwa perlindungan daruriat ini adalah ‘sasaran dibalik setiap hukum Ilahi.’ Kedua, maqashid sekunder (تﺎﯿﺟ ﺎﺣ/ hajjiyyat/ complementary).
Kebutuhan manusia yang harus tersedia, tetapi jika tidak terpenuhi tidak sampai mengancam kelangsungan hidup manusia. Ketiga, maqashid tersier ((تﺎﯿﻨﯿﺴﺤﺗ/ tahsiniyyat/ desirable). Maqashid tahsiniyyat ini merupakan kebutuhan yang sifatnya mewujudkan kenyamanan manusia. Jika tidak tersediapun, kehidupan manusia tetap berjalan seperti biasa karena sifatnya yang ‘memperindah maqashid’ pada tingkatan sebelumnya.
Maqashid al-daruriyyat ini dimaksudkan untuk menjaga lima hal pokok (disebutdaruriyyat al-khamsahatau ushul al-khamsah), yaitu: Pertama, ﻦﯾ ﺪﻟا ﻆﻔﺣ (protection of
religion/ memelihara agama), seperti larangan untuk murtad (5:217), kewajiban untuk berbuat baik dan menyiarkan (dakwah) agama. Belakangan, menjaga agama
59 Muhammad Thahir ibn Asyur, Maqashid Syari’ah
al-Islamiyyah,(Yordania: Dar al-Nafa’is, 2001), h. 251.