• Tidak ada hasil yang ditemukan

Efektifitas Dakwah Menggunakan Perkataan Halus ( Kajian Terhadap Al-Quran Surah Taha Ayat: 43-44)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Efektifitas Dakwah Menggunakan Perkataan Halus ( Kajian Terhadap Al-Quran Surah Taha Ayat: 43-44)"

Copied!
18
0
0

Teks penuh

(1)

1

EFEKTIFITAS DAKWAH MENGGUNAKAN PERKATAAN HALUS (KAJIAN TERHADAP AL-QURAN SURAH TAHA AYAT: 43-44)

Imam Sadili IAIN Madura

Abstrak:

Pendekatan dakwah menggunakan perkataan halus memiliki akar kuat dalam ajaran Islam, yaitu termuat dengan Sorih (jelas) dalam Al-quran Surah Taha ayat ke 43-44 dengan teks Qowlan Layina (perkataan halus). Pendekatan jenis ini perlu diterapkan dalam dunia dakwah masa kini, mengingat dakwah-dakwah transnasional yang bernuansa kasar mulai merebak. Kajian ini sebagai bentuk menyebarkan islam santun yang rahamatan li al-alamin. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah studi pustaka, dengan mencari pendapat para ahli tafsir, baik klasik atau kontemporer tentang kedua ayat tersebut kemudian dikomparasikan satu sama lain. Tujuanya adalah untuk diaplikasikan ke dunia dakwah masa kini, dengan itu peneliti kemudian menggunakan buku-buku dakwah untuk menyokong pengaplikasian pemikiran ahli tafsir terhadap teori-teori komunikasi Islam. hasil penelitian menunjukan adanya efek perkataan halus terhadap diri komunikan, baik secara langsung atau tidak langsung.

Kata Kunci: Efektifitas, dakwah, perkataan halus.

Pendahuluan

Kajian ini merupakan usaha memahami bahwa dakwah dengan perkataan halus mepunyai landasan dalam Al-Quran dengan teks jelas (Sorih) yang dimuat pada Surat Taha ayat 43-44. Kominukasi Islam menggunakan perkatan halus ini merupakan bagian dari menyebarkan Islam Rahmatan li Al-alamin yang menjadi tugas pokok kerasulan Nabi Muhammad, sebegaimana Firman Allah kepadanya “Dan tiadalah Kami mengutus kamu, melainkan untuk (menjadi) rahmat bagi semesta alam” (QS. Al-anbiya: 207)

Kajian-kajian yang mengarah kepada anti kekerasan dalam agama perlu untuk ditingkatkan pada akhir-akhir ini, terutama dalam bidang dakwah, melihat banyaknya aktifitas dakwah yang tidak menampilkan Adabiyat Al-islam (sopan santun Islam). Kekerasan (Violence) dalam Islam dengan berbagai bentuknya dilakukan atas nama dakwah, baik itu organisasi atau perorangan. Kekekerasan tersebut diatasnamakan dakwah karena berangkat dari klaim perbuatan amar ma‟ruf nahi mungkar para pelakunya, yang mana perbuatan menyuruh kepada kebaikan dan melarang kemungkaran merupakan bagian dari kegiatan dakwah.

(2)

2

Di Indonesia kebutuhan menyebarkan ajaran agama menggunakan metode halus memiliki porsi lebih ketimbang Negara-negara lain, karena masyarakatnya terdiri dari beragam etnis dengan perbedaan watakanya. Disamping juga Indonesia terkenal dengan warganya yang menjungjung tinggi adat ketimuran dengan sikap halusnya. Seperti di Madura, etnis yang dianggap agak keras di wilayah jawa ternyata menghargai kesopanan yang ditunjukan dengan bahasa halus. Orang yang menguasai bahasa halus di Madura disegani orang, dan diperlukan dalam beragam kegiatan, semisal berbicara di depan umum pada acara serah terima pernikahan. Berbahasa kasar meski tujuanya baik, dapat diartikan sebagai orang yang tidak sopan dan tidak disukai masyarakatnya.

Keadaan di atas barangkali menyeluruh di seluruh wilayah Nusantara, bahwa bangsa Indonesia adalah bangsa yang halus dan membenci kekasaran. Olehnya muncul istilah Islam Nusantara –dengan segala kontroversinya- dengan maksud Islam yang ramah susuai dengan Budaya masyarakat Nusantara. Keadaan ini difahami betul oleh Para pendakwah yang mengenalkan Islam pertama di wilayah Nusantara, dimana proses Islamisasi Indonesia melalui tauladan sopan santun para sufi yang datang membawa kelembutan, sehingga dengan kelembutan dakwah mereka, inflitralisasi Islam ke tanah air berlangsung tanpa kekerasan dan tumpah darah.

Pada akhir-akhir ini ada gerakan dakwah yang tidak lagi membawa budaya luhur Ketimuran yang dikenal dengan kesopananya itu. Tradisi walisongo yang memuliakan mitra dakwahnya dengan membawa metode pelan-pelan (Al-tadarruj) dalam mengenalkan Islam mulai dibenturkan dengan metode dakwah kurang bersahabat yang diadopsi dari negara-negara lain. Ancaman pembunuhan, pelecehan terhadap tokoh, pengkafiran, penyesatan ulama sering terjadi, yang mana prilaku tersebut sama sekali bukan identitas dakwah ulama Indonesia.

Ada rangkaian sejarah dakwah ulama Indonesia yang tidak dihiraukan oleh para pendakwah pendatang baru ini. Mereka membawa seperangkat pemahaman Islam baru serta metode mendakwahkanya tanpa melihat sejarah kesuksesan Islamisasi Nusantara dari para pendahulunya. Mereka mengesampingkan metode-metode dakwah yang dikenalkan oleh Wali Songo dan para Ulama setelahnya. Sehingga dakwahnya kaku dan penyampaianya kurang bersahabat cendrung

(3)

3

menjadi bola liar yang menyakiti perasaan dan menyulut kemarahan mitra dakwahnya.

Tulisan ini merupakan usaha kecil menggenologikan perkataan halus dalam tradisi dakwah kepada sumbernya yang pertama, yaitu Al-Quran, khususnya surat Taha ayat 43-44 tentang perkataan halus Nabi Musa ketika berdakwah kepada Fir‟aun. Bahwa Allah yang memerintahkan dakwah juga memerintahkan untuk menggunakan metode halus dalam menggunakan tuturkata dakwah.

Quran Surat Taha Ayat 43-44 dan Tafsirnya Allah berfirman: ىغط هنإ نوعرف ىلإ ابهذإ ( 34 ) ىشخي وأ ركذتي هلعل انيل لاوق هل لاوقف ( 33 )

“ Pergilah kamu berdua kepada Fir'aun, sesungguhnya dia telah melampaui batas (43) maka berbicaralah kamu berdua kepadanya dengan kata-kata yang lemah lembut, mudah-mudahan ia ingat atau takut (44)".

Secara umum ayat di atas adalah potongan dari cerita perjalanan dakwah Nabi Musa kepada Fir‟aun. Allah memerintah Nabi Musa untuk menggunakan perkataan halus ketika berkomunikasi dengan Fir‟aun, dengan harapan dia insaf dan kembali ke jalan Allah. Ada dua ayat dalam Surat Taha ini yang menjadi fokus penelitian tulisan ini:

1) Surat Taha Ayat 43 (يغط هنإ نوعرف ىلإ ابهذإ)

Isi dari ayat ke-43 adalah perintah kepada Nabi Musa dan Harun untuk pergi kepada Fir‟aun, seorang raja dzalim, durhaka dan sombong. Permulaan ayat ini menggunakan lafad amar (perintah) “ابهذإ” kepada dua orang lawan bicara (Musa dan Harun). Di ayat sebelumnya, yaitu ayat ke-42 menggunakan kata yang sama tapi lafad amarnya berbentuk tunggal ( ىتايأب كوخأ و تنأ بهذإ) “berangkatlah kamu (Musa) bersama saudaramu (Harun) membawa Ayat-ayat-Ku.” Kedua ayat ini menngunakan amar (kata perintah) dari lafadz Dzahaba (Pergi). Pada ayat ke-42, Allah hanya menujukan perintahnya kepada Musa, sedangkan pada ayat ke 43 tertuju pada Musa dan Harun. Pada ayat pertama khitob (tujuan perintah) hanya kepada Nabi Musa sebagai penghormatan baginya, sedangkan yang kedua khitob kepada Nabi Musa dan Harun untuk mengajak Fir‟aun mengesakan Allah. Dalam

(4)

4

sebuah pendapat, perintah pergi pada ayat ke-42 (kepada Nabi Musa) adalah dakwah kepada semua orang, sedangkan yang kedua (kepada Nabi Musa dan Harun) adalah dakwah kepada Fir‟aun. (Al-Qurtubi, Vol.11, 1964: 199)

Catatan Ibnu Asyur (1984,Vol.16: 224) dalam tafsir tahrir wa Al-tanwir menjadi penengah antara beberapa pendapat ahli tafsir yang lain, bahwa perintah pergi kepada Nabi Musa dan Harun dengan bentuk Tasniyah (dua orang lawan bicara) yaitu lafad ابهذإ (pergilah kalian berdua) merupakan penjelasan dari ayat sebelumnya yang berbentuk mufrad, “pergilah kamu (musa) dan saudaramu (Harun)”. Dengan maksud, pergilah kamu (musa) dan ajaklah saudaramu Harun. Namun Harun ketika itu tidak ada di tempat. Dalam keterangan Ibnu Asyur ketika itu Harun Berada di Bumi Jasan, tempat tinggal Bani Israil. Namun Allah mewahyukan kepadanya agar menemui Musa, lalu mereka berdua bertemu di jalan yang menuju ke Mesir, tempat tinggal Fir‟aun.

Peristiwa ini menggambarkan perlunya memperkuat dakwah dengan membentuk kongsi antara para Da‟i agar kerja dakwahnya kuat, apalagi mitra dakwah yang akan dihadapi adalah orang yang susah untuk diajak, seperti pemimpin, ketua komunitas atau tokoh masyarakat. Persatuan dan perkongsian atara para Dai membentuk kekuatan yang akan mempermudah penyelesaian kesulitan-kesulitan di medan dakwah, karena dengan bersatu akan kuat dan teguh. Kemudian Al-wahidi (1430 H, Vol.14: 387) memberikan maksud lafadz tagha )يغط) dengan melampaui batas kebiasaan, sebab dia (Fir‟aun) melakukan perbuatan maksiat yang melampaui maksiat-maksiat yang pernah dilakukan manusia, yaitu mengaku sebagai tuhan. Karena tidak ada perbuatan dosa yang bahayanya melebihi pengakuan diri sebagai tuhan. Sya‟rawi (1997, Vol.16: 276) berkomentar; Penyematan kata Tagha (melampui batas) bukan dari manusia, karena jika manusia yang menyematkanya tentu perbuatan melampaui batas itu masih dalam lingkup kekuatan manusia dan terbatas. Allah yang membranding Fir‟aun sebagai orang yang melampaui batas, tentunya melampui batas yang disematkan oleh Allah adalah puncak terhebat dan terdahsyat dari perbuatan melampui batas itu.

Perintah pergi berdakwah terhadap Nabi Musa dan Harun kepada Fir‟aun menjadi darurat (emergency), karena perbuatanya (Sombong dan mengaku

(5)

5

Sebagai tuhan) sudah melampau dan akan merusak tatanan kehidupan jika dibiarkan. Nabi musa harus pergi, tidak menunggu Fir‟aun yang mendatanginya, meskipun ada banyak konsekwensi dalam berdakwah kepada Raja Dzalim itu. Kedzaliman dan kejahatan Fir‟aun tidak menjadi Alasan untuk membiarkanya tidak didakwahi. Abu Mas‟ud dalam tafsirnya berpendapat, ketika Allah berfirman Innahu tagha (sesungguhnya Fir‟aun melampui batas), firman tersebut dengan sendirinya menjadi alasan kuat bagi musa untuk cepat Mendakwahinya. (Imarah, 1984: 44)

2) Surat Taha Ayat 44 (ىشخي وأ ركذتي هلعل انيل لاوق هل لاوقف)

Menurut Ibnu Katsir, pelajaran penting yang dapat diambil dari ayat ini adalah Nabi Musa yang merupakan manusia terbaik kala itu ketika berhadapan dengan manusia paling sombong bahkan mengaku dirinya sebagai tuhan, ia tetap diperintahkan untuk berbuat baik kapadanya (Fir‟aun) dengan berkomunikasi menggunakan kata-kata lembut. Sufyan Al-tsauri menulis maksud perintah Allah kepada keduanya (Musa dan Harun) untuk bekata lembut kepada Fir‟aun adalah dengan cara memanggil Kunyahnya, yaitu Abi Murroh, karena dalam tradisi arab memanggil nama dengan Kunyah merupakan salah satu cara menghargainya. Dakwah menggunakan perkataan halus ini tentu akan lebih efektif dan membekas kepada jiwa, sesuai dengan anjuran Al-Quran Surat Al-Nahl ayat 125. (Ibnu katsir, 1419 H, Vol.5 : 260)

Imam Al-sya‟rawi menuliskan maksud ayat itu, bahwa kamu (musa) harus memberi fir‟aun jeda untuk berfikir dan mempertimbangkan ayat-ayat Allah yang kamu bawa dengan berkata lembut kepadanya. Jangan keburu marah dan keras. Ulama berkata bahwa nasehat itu amat berat maka jangan langsung kamu lepas satu kali kepada mitra dakwah, karena akan menjadi beban. dan jangan pula menjadikanya sebagai stimulasi untuk berdebat. Kamu juga jangan sekali-kali meletakkan dua kesulitan kepada orang yang kamu nasehati: yaitu mengeluarkan mereka dari kesenanganya kemudian dipaksa masuk kepada perkara yang tidak disukai. Tapi kelurkanlah ia dari yang ia senangi kepada yang ia cintai. (Sya‟rawi,1997, Vol.16: 275)

Perkataan halus menurut Ibnu Asyur adalah semua perkataan yang menunjukan arti memberi kegembiraan, pemberitahuan dan ajakan untuk diikuti,

(6)

6

serta manifestasi dari kelurusan berfikir pengucapnya sehingga kebenaran yang dibawa dapat diterima dan perkara hak dan batil bisa dibedakan dengan jelas. Perkataan tersebut juga tidak bermuatan pembodohan, penghinaan terhadap lawan bicara yang dapat menyakiti perasaanya.

Terdapat beberapa pendapat tentang arti perkataan halus yang dikemukakan para ahli tafsir dalam ayat 44 di atas. Pertama, Memanggil Kunyah Fir‟aun dengan salah satu dari tiga sebutan: Abu Al-Abbas, Abu Al-walid dan Abu Murroh. Kedua, Pendapat Ibnu Mas‟ud, meyatakan bahwa perkataan halus adalah penjelasan dari Ayat di Surat Al-nazi‟at yang artinya “dan katakanlah (kepada Fir‟aun): “ Adakah keinginan bagimu untuk membersihkan diri”” (QS. Al-Nazi‟at: 18). Ketiga ialah perkataan Musa kepada Fir‟aun “ Percayalah kepada apa yang aku bawa, kemudian sembahlah Tuhan Semesta Alam. Dengan itu kamu akan muda dan tidak tua sampai mati, kedudukanmu sebagai raja tidak hilang hingga wafat, Umurmu akan diperpanjang empat ratus tahu, dan jika kamu mati, kamu akan masuk surga” ( Mahmud M. Imarah : 1984: 69). Mengomentari hal ini, Yazid Al-waqqasyi berkata “wahai Dzat yang Menginginkan cinta kepada orang yang memusuhi (dengan berkata halus), bagaimana kepada orang yang mempertuhankan-Nya dan selalu menggil-Nya” (Tantawi, 1997: 108)

Kemudian ayat ىشخي وأ ركذتي هلعل ( Mudah mudahan ia ingat atau takut) sebagai Tarajji (harapan). Terdapat pertanyaan terhadap maksud ayat ini, yaitu bagaimana bisa Allah berfirman seperti itu, Sedangkan dalam ilmu-Nya telah jelas bahwa fir‟aun tidak akan pernah ingat dan takut serta akan meninggal dalam keadaan kafir dan tenggelam di lautan.

Ulama menjawab bahwa Allah menginginkan agar Nabi musa berdakwah kepada fir‟aun dengan penuh kepercayaan bahwa Fir‟aun akan diberi hidayah oleh Allah, bukan berdakwah dengan hati putus asa. Dengan kepercayaan tersebut Nabi Musa memiliki kekuatan untuk berdialog dan memberikan hujjah di hadapan Fir‟aun. Jika Musa menghadap Fir‟aun dalam keadaan tahu bahwa Fir‟aun tidak akan menerima dakwahnya, Musa akan merasa kerja dakwahnya sia-sia dan tidak merasakan manfaat dalam perkataanya itu (Sya‟rawi, 1997, Vol.16: 277). Allah mengetahui bahwa Fir‟aun tidak akan menerima dakwahnya, tapi hujjah di hari kiamat harus ditegakkan kepada Fir‟aun, bahwa telah sampai dakwah kepadanya.

(7)

7

Perkataan halus ini juga diterjemahkan oleh baginda Nabi yang dimuat dalam beberapa hadisnya, diantaranya adalah:

1. Hadis yang diriwayatkan Imam Baihaqi (2003, Vol.7:295), Ketika Rasulullah berkumpul dengan para Sahabatnya tiba-tiba datang seorang pemuda, nampaknya ia ingin mengutarakan sesuatu, “Rasul, izinkanlah saya berzina” ucapnya. Para sahabat yang ada di tempat itu teriak emosi mendengar permintaan yang amat tidak sopan itu. Mereka berdiri, ingin mencegah pemuda itu agar tidak melanjutkan komunikasinya dengan Nabi. “biarkan” seru Nabi kepada sahabat. “mendekatlah” perintah nabi kepada pemuda itu. Kemudian ia mendekat kepada Nabi, dan dengan halus Nabi bertanya “ Relakah hal itu (Zina) terjadi kepada Ibumu?”, “demi Allah, tidak wahai Rasul” jawabnya. “begitu pula orang lain tidak rela ibunya dizina” sabda Rasul. “Lalu relakah jika Zina terjadi pada anakmu” Tanya Baginda. Pemuda itu menjawab dengan jawaban yang sama. Rasulullah mengulang pertanyaan yang sama jika terjadi kepada Saudari dan bibinya, dan jawaban pemuda itu sama, tidak ingin terjadi zina kepada kerabatnya. Setelah kejadian itu pemuda tersebut tidak tertarik lagi untuk berzina.

2. Dari Adiy bin Hatim Ra. Bahwa Nabi bersabda “ takutlah kepada neraka walau dengan separuh kurma, jika tidak mendapatkanya maka cukup dengan perkataan baik” (HR. Bukhori)

3. Dari Usamah bin Zaid, berkata: Nabi Muhammad SWA bersabda: “ barang siapa yang mendapat perlakuan baik, maka katakanlah kepada pelakunya: Semoga Allah membalasmu dengan kebaikan. Sungguh ia benar-benar meninggikan pujian. (HR. Tirmidzi)

Aplikasi Ayat Terhadap Dunia Dakwah

Ada beberapa kata dalam Al-Quran yang menjadi sifat kepada kata Al-Qoul, yang menjadi pijakan dalam komunikasi dakwah, yaitu Qowlan Adhima (kata-kata yang besar) (QS. Al-Isra: 40), Qawlan Baligha (kata yang mengenai sasaran) (QS. Al-Nisa :63), Qowlan Karima (perkataan yang mulia) (QS. Al-Isra :23), Qawlan Maisura (kata-kata yang mudah) (QS. Al-Isra: 17), Qowlan Ma‟rufa

(8)

8

(ungkapan yang baik dan pantas) (QS. Al-Baqarah: 235), Qowlan Sadida (Perkataan yang benar) (QS. Al-Nisa: 9), Qowlan Tsaqilan (perkataan yang berat) (QS. Al-Muzammil: 5) dan yang terakhir ialah Qowlan Layyina yang berarti perkataan yang lemah lembut (QS. Taha: 43-44).

Al-qoul atau perkataan merupakan salah satu dari wasilah (media) dakwah. Ia bisa didefinisikan sebagai segala lafad yang dapat difahami dan diucapkan oleh lisan. Lawan kata darinya adalah Al-samtu atau al-sukut (Diam). Lafad لق (berkatalah) dalam Al-Quran dimuat dalam tiga ratus ayat lebih, manakala padananya dan perubahan-perubahan (tasrif) dari lafad ini berjumlah lebih dari dua ribu lafad dalam Al-Quran (Al-bayanuni, 1995: 311). Banyaknya penyebutan tersebut mempunyai arti bahwa perkataan (al-qoul) memiliki urgensi tersendiri dalam Agama islam, terutama di bidang dakwah.

Kata layyina (halus) sebenarnya merupakan sifat dari benda, seperti kulit halus, batu halus dan seterusnya. kemudian dia digunakan kepada perkara Maani (Makna) seperti perkataan halus, tabiat halus dan seterusnya. Halus merupakan antonim dari kasar (al-khusyunah). Arti perkataan halus telah banyak disinggung di atas, terutama yang bekaitan dengan penafsiran Quran Surat Taha Ayat 44. Aplikasi dari beberapa definisi perkataan halus tersebut dalam komunikasi Islam adalah:

1) Memanggil nama terbaik dari mitra dakwah merupakan praktek perkataan halus, seperti halnya pemanggilan kunyah Fir‟aun, dimana penyebutan dengan kunyah merupakan kehormatan. Bahkan kepada nom muslim diperbolehkan memanggil nama yang ia senangi untuk kepentingan dakwah. Nama atau panggilan merupakan penanda dan identitas diri seseorang. ia adalah kebanggan bagi empunya. Dalam tradisi Madura, penamaan seorang bayi tidak dilakukan serta merta, masyarakat biasanya bertanya kepada Ulama tentang nama-nama bagus yang dianggap akan membawa keberkahan terhadap bayi. Ketika namanya sudah resmi, sebagian masyarakat membuat selamatan (semacam sedekah) untuk nama tersebut.

Jiwa seseorang akan tersinggung dan tersakiti jika dipanggil menggunakan panggilan buruk, seperti halnya ia senang dan gembira

(9)

9

dipanggil dengan nama panggilan baik. Nabi Musa menjaga keadaan psikologi mitra dakwahnya yang merupakan manusia terjahat pada zamanya dengan memanggil kunyahnya. Komunikasi pertama haruslah membawa kesan yaitu dibuka dengan memanggil nama terbaik lawan bicara.

Pemanggilan non muslim sebagai pengganti Kafir beberapa waktu silam menjadi isu hangat. Para Ulama berbeda pendapat, ada yang membolehkan dan ada yang tetap besikukuh menggunakan kata kafir. Kedua-duanya memiliki argumentasinya sendiri. Hemat penulis jika isu ini ditarik ke dunia dakwah maka pemanggilan objek dakwah dari luar agama islam dengan kata non muslim lebih baik daripada kafir. Memanggil non muslim adalah bagian dari menggunakan metode dakwah dengan perkataan halus, sebagaimana dimuat dalam surat toha ayat 44. Ilustrasinya, jika Nabi Musa memanggil dengan nama Kunyah yang merupakan penghormatan bagi Fir‟aun untuk kepentingan dakwah, dan Fir‟aun adalah seburuk-buruknya manusia, bagaimana dengan orang kafir di Indonesia yang tidak mengaku sebagai tuhan dan hidup berdampingan dengan orang muslim secara damai, tidakkah lebih berhak untuk dipanggil dengan nama yang tidak menyakiti perasaan mereka, yaitu dengan panggilan Non Muslim.

Memberi Kunyah ini juga amat dianjurkan jika mitra dakwahnya merupakan kepala atau pemuka di masyarakatnya, kerena pengkunyahan itu dimaksudkan agar pemimpin orang kafir simpati kepada agama Islam dan memeluknya, lebih lanjut orang-orang yang berada di bawahnya mengikutinya. Bahkan baginda Nabi menganjurkan penghormatan kepada mereka meski tidak bertujuan dakwah. Nabi Bersabda “jika datang kepada kalian orang yang dihormati di masyarakatnya, maka hormatilah dia” (HR. Ibnu Majah). Nabi tidak memberi keterangan jika kamu hendak mengislamkanya. Penghormatan itu dengan cara memanggil kunyahnya atau nama yang ia sukai kepada mitra dakwah tanpa memandang bulu. Di lain waktu Beliau juga berkata kepada Sofwan bin Umayyah yang ketika

(10)

10

itu masih kafir dan berada di atas kendaraanya “turunlah wahai Aba Wahab”, dengan memanggil kunyahnya. (Anas, 1993, Vol.2: 213)

2) Dibolehkan berdakwah menggunakan stimulasi manfaat keduniaan, karena umumnya tabiat manusia menyukai yang demikian. Sandaran kebolehan tersebut difahami dari salah satu penafsiran ulama terhadap perkataan halus (qoulan layyina) sebagai endusmen (pemikat) Nabi Musa kepada Fir‟aun, bahwa apabila ia menerima dakwahnya, kedudukannya sebagai raja tidak akan lenyap, umurnya akan diperpanjang, dan tubuhnya akan tetap muda seperti pada masa remaja ( Nasafi, 1998, Vol.2: 33)

Stimulus manfaat duniawi dapat menjadi faktor penggerak manusia melakukan suatu pekerjaan, karena diantara faktor penggerak tingkah laku adalah faktor personal (biologis) yang menyatakan bahwa motif biologi dominan dalam mempengaruhi tingkah laku manusia. Teori ini dianut oleh Sigmund freud dengan psikoanalitisnya yang menyatakan bahwa manusia adalah mahluk biologis yang memiliki syahwat atau keinginan-keinginan. Motif biologis yang mempengaruhi prilaku itu dibagi menjadi dua: 1) kebutuhan makan, minum dan istirahat. 2) kebutuhan Seksual.

Ada berapa kebutuhan yang menjadi faktor penggerak tingkah laku manusia, yaitu Kebutuhan Biologis, Faktor sosiopsikologis, Faktor situasional, faktor kerohanian dan faktor agama. Dari beberapa faktor tersebut yang menjadi penggerak utama adalah hal yang berbau dunia. Kebutuhan akan rasa sukses misalnya yang menjadi bagian dari faktor kerohanian menuntut orang untuk berjuang dan bekerja keras untuk mendapatkan kesuksesan. Seseorang akan merasa bahagia jika ia merasa berhasil, dan semakin ia berhasil semakin kuat geraknya, karena keberhasilan disamping menjadi kepuasan ia juga merupakan tantangan yang harus dipertahankan dan dikembangkan. (Mubarok, 2014: 101)

Dai bisa masuk dari pintu faktor penggerak tingkah laku tersebut untuk memberi rangsangan terhadap objek dakwahnya agar giat dalam melakukan kebaikan. Dalam kitab-kitab keislaman ada banyak bacaan-bacaan tertentu yang jika dibaca akan mendapatkan manfaat keduniaan disamping manfaat di akhirat. Solat duha misalkan masyhur dikalangan

(11)

11

masyarakat dapat memperlancar rizki, sehingga orang yang menginginkan kelancara rizkinya memiliki motivasi kuat untuk melaksanakan solat duha. Keterangan di ini diperkuat oleh Al-Quran Surat Nuh ayat 10-12 “Maka aku katakan kepada mereka: 'Mohonlah ampun kepada Tuhanmu, -sesungguhnya Dia adalah Maha Pengampun (10) Niscaya Dia akan mengirimkan hujan kepadamu dengan lebat (11) Dan membanyakkan harta dan anak-anakmu, dan mengadakan untukmu kebun-kebun dan mengadakan (pula di dalamnya) untukmu sungai-sungai (12)” (QS. Nuh: 10-12) ayat ini menceritakan tentang dakwah Nabi Nuh kepada kaumnya, dan menjanjikan banyak kemanfaatan dunia jika mengikuti arahan Nabi Nuh yaitu, kembali dan mohon ampun kepada Allah.

3. Da‟i harus memiliki semangat dalam berdakwah, serta harapan kuat terhadap objek dakwahnya agar mengalami perubahan dengan hidayah Allah. Perjalanan dakwah Nabi Musa kepada Fir‟aun menempuh jarak yang jauh dari kota Madyan (Jordania) menuju Mesir, hal ini menunjukan semangat dakwah Nabi Musa yang tinggi. Begitu juga keinginan agar manusia berada di jalan yang lurus harus ditanam dalam diri Da‟i sehingga menjadi penggerak kegiatan dakwahnya. Bila Fir‟aun mengikuti dakwah Nabi Musa, mayarakat Mesir yang berada di bawah naungan kekuasaanya akan mudah ikut pula. Hidup Da‟i dalam detik-detiknya memikirkan keselamatan umat, dan jiwa raganya didonasikan untuk keselamatan manusia.

Semangat kuat dalam berdakwah ini yang akan menjadi faktor efektifitas dakwah. Wahyu Ilahi (2013: 78) menyebeutkan beberapa etos yang harus deperhatikan komunikator agar komunikasinya efektif. Yaitu kesiapan, kesungguhan, ketulusan, kepercayaan (usaha dakwahnya akan berhasil), ketenangan, keramahan dan kesederhanaan.

Dibelakang harapan dan semangat tinggi ini didasari oleh iman yang kuat kepada Allah SWT. Yang mendorong semangat pendakwah agar tidak putus asa. Etos-etos yang disebut oleh Wahyu Ilahi tidak akan ada dalam diri Da‟i kecuali Imanya kuat, terutama dalam etos ketulusan (ikhlas). Pada zaman sekarang sulit untuk menemukan orang bekerja tanpa

(12)

12

imbalan yang setimpal atau bahkan yang memuaskan. Sedangkan dakwah yang berjalan dengan menggunakan penggerak materi tidak akan membuahkan hasil yang baik, Karena dakwah bukan tempat mencari materi, ia merupakan kerja akhirat.

Disini kaderisasi Da‟i menjadi penting, karena keimanan tersebut berasal dari tempaan dan tarbiyah. Mayoritas Ulama sepakat bahwa iman akan kuat dengan perbuatan taat, dan semakin lemah dengan maksiat. Kerja-kerja taat dihasilakan dari ilmu agama yang cukup dengan dibimbing oleh guru yang layak. Seperti halnya Baginda Nabi sebelum turun berkdawah kepada masyarakat menempa diri di gua Hira, dibimbing oleh Malaikat Jibril. Jiwanya kuat dan imanya hebat, sehingga kesuksean dakwahnya bisa dilihat oleh dunia, dan dalam waktu beberapa tahun Islam diterima di berbagai wilayah.

Munculnya Da‟i-Da‟i baru yang terlihat tidak memiliki etos sebagai komunikator dakwah yang mumpuni menjadi problema dakwah masa kini. Pada tahun 2017 silam pendakwah di salah satu TV terkemuka di tanah air misalkan menjadi pembicaraan warganet karena menulis ayat Al-Quran tidak betul, jauh dari layaknya. Kesalahanya tidak tanggung-tanggung, mengubah huruf Al-quran dan menambahnya. Da‟i tersebut belum siap, namun diorbitkan oleh media TV terkemuka.

Hal lain ialah maraknya Da‟i bertarif di luar batas kewajaran menjadi problem dari segi ketulusan. Prof Ali Aziz (2017: 222-223) menulis bahwa dakwah bukan kegiatan bisnis, tetapi kegiatan sosial. Salah satu ciri khusus kegiatan social adalah keterlibatan para sukarelawan. Mereka bekerja tanpa mengharapkan upah atau gaji. Mereka hanya menyalurkan dan mengembangkan idealismenya. Akan tetapi mereka tidak dilarang untuk menerima upah yang tidak dimintanya tersebut. Mereka manusia biasa yang membutuhkan makan minum.

Hukum memnita dan menerima imbalan karena memberikan jasa dakwah adalah makruh, jika ia melakukanya maka ia tidak dikenakan dosa, tetapi hal itu bisa menjatuhkan martabatnya. Secara etika meminta imbalan dari kegiatan dakwah lebih buruk daripada menerimanya, karena

(13)

13

meminta berartia pendakwah menentukan besaran honorarium, baik secara sepihak atau negosiasi.

Banyak Da‟i pada zaman sekarang memasang tarif dari kerja dakwahnya, meskipun yang meminta adalah menejernya. Dan tarifnya di luar batas kebiasaan, sehingga menimbulkan fitnah di tengah masyarakat. Meskipun kualitas penceramah (Da‟i) itu baik, namun efektifitasnya berkurang, karena ceramahnya layaknya pertunjukan yang berbayar. Bagaimana seorang Da‟i akan berat terhdap umat atau mitra dakwahnya agar selamat di dunia dan akhirat, jika ia disibukkan dengan besaran tarif dakwahnya dan setiap kata-kata yang keluar dari lisanya berbayar.

Teknis Efektifitas Perkataan Lembut pada Komunikan

Untuk mengetahui tekhnis perkataan lembut efektif pada komunikan, perlu untuk mengetahui proses pesan dalam sebuah komunikasi diterima oleh objek. Menurut ilmu komunikasi, suatu informasi diterima orang melalui beberapa tahap, yaitu: 1) penerimaan stimulus informasi, 2) pengolahan informasi, 3) penyimpanan informasi, 4) menghasilkan kembali suatu informasi. Proses bagaimana orang menerima informasi , mengolahnya, menyimpan dan menghasilkanya kembali dalam psikologi komunikasi disebut sebagai system komunikasi Intra Personal. Proses ini meliputi sensasi, persepsi, memori dan berpikir. (Mubarok, 2014: 113)

Pertama ketika perkataan halus diucapkan kepada objek dakwah maka ia akan menjadi rangsangan (stimuli) yang ditangkap melalui panca indra yaitu pendengaran. Sosok tubuh pengucap perkatan halus juga ditangkap oleh indera mata. Pendengaran yang menangkap perkataan halus itu akan pindah kepada bagian persepsi, yaitu memberi makna pada sensasi sehingga muncul pengetahuan baru. Jadi persepsi mengubah sensasi jadi informasi. Ketika kita berbincang dengan ulama, dan ia menggunakan bahasa sangat halus, maka kita punya persepsi ia adalah orang lembut dan berbudi pekerti.

Selanjutnya beralih kepada memori, yaitu penyimpanan data atau informasi yang didapat dari pembicaraan itu. Tahapan ini biasanya melalui 3 tahap. 1) perekaman: informasi yang berasal dari persepsi dicatat melalui jaringan

(14)

14

saraf. 2) Penyimpanan: persepsi itu disimpan di tempat tertentu dalam otak. 3) pemanggilan, atau mengingat kembali ketika dibutuhkan. Kamudian masuk ke tahap selanjutnya yaitu berfikir, menurut Raghib Al-asfahani berfikir adalah kekuatan (potensi) yang dapat menyampai ilmu kepada kepada obyek yang diketahui (Al-manawi, 1990; 263). Dalam tahapan ini persepsi atau pengetahuan yang didapat itu diolah kembali untuk memecahkan permasalahan, menerima atau menolak informasi yang didapat atau menghasilkan informasi baru.

Perlu ditekankan bahwa tahap pertama, yaitu ketika memberikan stimulus (sensasi) adalah tahap yang penting dalam komunikasi. Karena perkenalan pertama menjadi peristiwa urgen yang melekat pada diri komunikan. Perkataan halus yang menjadi stimulus akan memberi ruang kepada mitra dakwah untuk berfikir. Kita lihat komunikasi perkatan halus Musa terhadap Fir‟un, dengan stimulus itu negosiasi dakwanya dengan fir‟aun berdurasi lama.

Dalam sebuah keterangan dikatakan bahwa kebaikan pembukaan menunjukan kepada kebaikan penutupan (Khusnu Al-bidayah tadullu ala Khusni Al-nihayah), dan ending dari sesuatu tidak akan baik kecuali permulanya baik, seperti halnya bangunan tidak akan kokoh keculai dengan pondasi yang kuat dan bagus (Al-Badiri; 75) Dalam komunikasi dakwah begitu juga, pada tahapan pertama ketika memberi stimuli hendaknya menggunakan perkataan baik suapaya tahapan-tahapan selanjutnya lancar.

Kaidah lain yang perlu diperhatikan dalam Komunikasi Islam menggunakan Stimuli Perkataan halus adalah kata pepatah arab yang menyatakan bahwa penglihatan dengan mata rida dan cinta akan tumpul apabila berhadapan dengan kekurangan (aib) yang dilihat (Ainu Al-rida „an Kulli „Aibin Kalilah), dan sebaliknya bila menggunakan mata kebencian maka yang Nampak adalah keburukan-keburukan yang dilihat ( Al-harori, 2001, Vol.2: 224). Penggunaan perkataan halus ialah untuk membuat lawan bicara rida dan senang, sehingga kesalahan-kesalahan komunikator tidak begitu nampak, dan komunikasi lanjutan terjalin dengan penuh keakraban.

Imam Mutawalli Sya‟rawi (Sya‟rawi, 2009, Vol.16: 276) memiliki pemikiran cemerlang tentang proses penerimaan komunikan terhadap perkataan halus ketika menafsirkan Qaulan Layyina. yaitu bahwa menggunakan kata-kata

(15)

15

halus adalah sebagian dari metode dakwah yang ditetapkan Al-Quran sesuai QS. Al-nahl 125. Kata beliau, anda akan mengeluarkan mitra dakwah dari kebiasaan dan kesenanganya, seperti hidup bebas, mengikuti syahwat dan hedonisme kepada sebuah peraturan baru, tentu anda harus melakukanya dengan penuh kelembutan dan kasih sayang.

Strategi ini dimainkan oleh manusia kontemporer dalam aspek perobatan, yaitu ketika obat yang pahit banyak ditampik oleh pesakit, padahal obat itu bagus, maka dibuatlah strategi agar obat tersebut dapat diminum pesakit, yaitu dengan cara diberikan lapisan luar yang memiliki rasa manis, sehingga pasien bisa menelan obat dengan baik dan obat melewati tempat perasa dalam mulut tanpa kendala pahit. Seperti itu pula berlaku kepada pahitnya nasehat dan kebaikan bagi mitra dakwah, anda harus pandai membungkusnya dengan perkatan yang lembut dan halus supaya pahitnya (beratnya) nasehat itu dilapisi perkataan halus dan masuk ke diri mitra dakwah dengan tanpa kendala (Sya‟rowi, 1997, Vol.16: 278)

Efek perkataan halus Nabi Musa Kepada Fir’aun

Perkataan halus pasti menimbulkan bekas terhadap objek dakwah, tak terkecuali terhadap Fir‟aun. Imam Fakhruddin Al-razi berkata: hati manusia berada dalam tiga keadaan, 1) tetap dalam kebaikan, 2) tetap dalam keburukan, 3) berada diantara dua posisi (baik dan buruk). Jenis hati fir‟aun berada pada posisi terendah yaitu menetapi keburukan. Kemudia Allah memerintahkan Nabi Musa untuk berdakwah menggunakan kata-kata lembut kepadanya.

Fir‟aun Meletakkan sifat ingkarnya karena takut terhadap perkataan Nabi Musa, meskipun tidak mengikutinya. Tetapi hatinya telah meninggalkan keingkaran kepada Nabi Musa walaupun tidak sampai kepada tahap pengakuan terhadap kebenaranya. Tentu keadan ini lebih baik daripada tetap dalam kondisi Ingkar. Perkataan halus Musa meninggalkan bekas ketakutan kepada fir‟aun, sehingga tidak terjadi perlawanan yang seharusnya terjadi pada orang lain. Fir‟aun tidak sempat berfikir kepada hal itu, karena ketakutanya.

Efek dakwah Nabi Musa kepada Fir‟aun menggunakan perkataan halus ini juga dapat dilihat dari beberapa hal, Pertama: Perubahan keyakinan Fir‟aun secara drastis. Sebelum kedatangan Nabi Musa fir‟aun berkata “ saya adalah Tuhan

(16)

16

kalian yang paling tinggi” (QS An-Nazi‟at: 24) setelah Musa datang berdakwah dengan halus pernyataanya berubah, “Fir‟aun berkata “ Siapakah tuhan kalian berdua Wahai Musa?” (QS. Thaha: 49) kemudian pada ayat selanjutnya “Berkata Fir'aun: "Maka bagaimanakah keadaan umat-umat yang dahulu?" disini terjadi dialog ramah, Fir‟aun tidak seperti biasanya sebagai raja yang lalim dan kasar, karena Musa tidak memulai dakwahnya dengan kata-kata kasar. Musa dan Harun juga mendengarkan pembicaraan-pembicaraan fir‟aun dengan seksama, meski perkataan itu keluar dari orang sombong dan muatannya tidak benar. Menyimak perkataan mitra dakwa penting supaya pembicaraan selanjutnya dapat dilanjutkan dengan baik.

Kemudian harapan Musa agar Fir‟aun ingat dan takut seperti dijelaskna dalam surat thaha ayat 44 (Supaya dia Ingat dan takut) betul-betul terjadi, meskipun masanya sudah lewat. Imam Qurtubi (Qurtubi, 1964, Vol.11: 201) berkata,” Fir‟aun betul-betul ingat dan takut kepada Allah ketika tenggelam, dia berkata “"Saya percaya bahwa tidak ada Tuhan melainkan Tuhan yang dipercayai oleh Bani Israil, dan saya termasuk orang-orang yang berserah diri (kepada Allah)" (QS. Yunus: 90)

Dalam keterangan lain ketika Nabi Musa Berdakwah kepada fir‟aun, ia bermusyawarah dengan istrinya, dan sang istri beriman. Kemudian bermusyawarah dengan Haman untuk beriman, namun dia berkata “jangan lakukan (fir‟aun), anda akan jadi orang yang dimiliki setelah anda memiliki, dan anda akan menyembah setelah anda disembah”. Kesimpulanya perkataan halus dalam dakwah Musa kepada Fir‟aun meninggalkan jejak baik dan memiliki efek, sebab dari perkataan tersebut, ada orang yang beriman, dan yang belum beriman masih ada harapan untuk beriman (Imarah, 1984: 82)

Kedua, tukang sihir Fir‟aun beriman kala itu. „Izzuddin bin Abdussalam menyebut jumlah tukang sihir fir‟aun waktu itu ialah tujuh puluh ribu penyihir (Abdussalam,1996, Vol.2: 304) , kesemuanya mendeklarasikan diri beriman kepada tuhan Nabi Musa. Jumlah tersebut tidak sedikit, dan mereka menjadi benih generasi Islam selanjutnya. Perubahan-perunahan ini tentu merupakan efek dari komunikasi dakwah menggunakan perkataan halus.

(17)

17

Ketiga, Keluarga Fir‟aun yang beriman (Mu‟minu Ali Fir‟aun). Al-Quran tidak menyebut nama orang ini dengan jelas, informasi tentangnya terdapat pada Surat Ghafir, “ Dan seorang yang beriman diantara keluarga fir‟aun yang menyembunyikan imanya berkata, “apakah kamu akan membunuh seseorang karena dia berkata “tuhanku adalah Allah”…” (QS. Ghafir: 28). Dilansir dari website resmi Dar Al-Ifta‟ (Lembaga fatwa) Mesir, bahwa ahli tafsir berbeda pendapat mengenai identitas orang tersebut, ada yang menyebut namanya Fazqil, syam‟an dan Hubaib. Sebagian ahli tafsir juga mengatakan dia adalah anak paman Fir‟aun. Dari kerajaan fir‟aun yang jelas beriman adalah laki-laki tersebut, kemudian Masyitah (tukang sisir) rambut putri fir‟aun dan istri Fir‟aun, yaitu Asiyah.

Kesimpulan

Tulisan ini memuat beberapa pembahasan yang berkaitan dengan judul efektifitas dakwah menggunakan perkataan halus yang dikaji melalui berbagai penafsiran ulama terhdap Al-Quran Surat Thaha ayat 43-44. Subtansi dari dua ayat tersebut adalah cerita tentang dakwah Nabi Musa dan Nabi harun kepada fir‟aun dengan menggunakan perkataan halus (Qawlan Layyina) yang diperintahkan Oleh Allah SWT.

Tahap selanjutnya adalah aplikasi ayat terhadap dakwah dakwa Islam, yang terlihat dari beberapa poin. 1) hendaknya memanggil nama mitra dakwah dengan panggilan terbaik, 2) diperbolehkan berdakwah dengan pemikat manfaat keduniaan, 3) hendaknya Da‟i meningkatkan kualitas imam sehingga semangat dalam berdakwah dengan harapan kuat mitra dakwahnya akan diberikan hidayah.

Tekhnis efektifitas dakwah dengan perkataan halus pada komunikan adalah dengan memberi stimuli kata halus, komunikator telah memenagkan komunikasi pertama, karena jiwa manusia suka kehalusan. Dan kesuksesan pembukaan menjadi penanda kesuksean penutupan. Sedangkan efektifitas kata halus Nabi Musa kepada Fir‟aun dapat dilihat dari, 1) perubahan sikap Fir‟aun yang ditunjukkan dengan kata-katanya, serta adanya pengakuan dalam dirinya ketika sudah tenggelam di laut merah, 2) Beriamanya tukang sihir Fir‟aun yang jumlahnya tidak sedikit pada waktu itu, 3) berimanya keluarga Fir‟aun.

(18)

18 Daftar Pustaka

Ibnu Katsir, Tafsir Al-Quran Al-adzim, Bairut, Dar Al-kutub Al-ilmiyah, 1419 H. Al-Qurtubi, Al-jami‟ li Ahkami Al-Quran, Kairo, Dar Al-kutub Al-misriyah, 1964. Al-Wahidi, Al-tafsir Al-basid, Saudi Arabia, Universitas King Abdul Aziz, 1430

H.

Mutawalli Al-Sya‟rawi, Tafsir Al-Sya‟rawi, Kairo, Percatakan Akhbaru Al-yaum, 1997.

Ibnu Asyur , Al-Tahrir Wa Al-tanwir, Tunisia, Al-dar Al-tunisiyah li Al-nasr, 1984.

Mahmud Muhammad Imarah, Fiqh dakwah min Qissoti Musa, Kairo, Dar Al-Tsaqofah Al-islamiyah, 1984.

Abu fath bayanuni, Madkhal Ila Ilmu dakwah, Kairo, Muassasatu Al-risalah, 1995.

Malik bin Anas, Al-mudawwanah Al-kubro, Bairut, Dar Al-kutub Al-ilmiyah, 1993.

Muhammad Sayid Tantawi, tafsir Wasit, Kairo, Dar nahdoh Al-misiriyah, 1997.

Abdullah Nasafi, Madariku Al-tanzil wa Haqaiqu Al-ta‟wil, Bairut, Dar Al-kalam Al-tayyib, 1998.

Achmad Mubarok, Psikologi Dakwah, Malang, Madani Press, 2014. Wahyu Ilahi, Komunikasi Dakwah, Bandung, Remaja Rosda Karya, 2013.

Zainuddin Al-manawi, tauqit ala Muhimmati taarif, Kairo, „Alamu Al-kutub, 1990.

Muhammad Al-badiri, Al-jawahir Al-ghawali ila Al-asanid Al-awali, Manuskrip di Maktabah Syamilah.

Muhammad Amin harori, Hadaiq ruh wa roihan fi Rowabi Ulumi Al-Quran, Libanon, Dar Tuqi Al-najah, 2001.

„Izzuddin bin Abdussalam, Tafsir Al-Quran, Bairut, Dar Ibnu Hazm, 1996. Ali Aziz, Ilmu Dakwah, Jakarta, Kencana, 2017.

Abu Bakr Al-Baihaqi, Sya‟bu Al-Iman, Riyad, Maktabatu Al-rasyad, 2003. Nuru Al-din Al-sanadi, Hasyiyah Al-sanadi ala Ibnu Majah, Bairut, Dar Al-jail.

Referensi

Dokumen terkait

Di samping terdapat berita yang dapat diakses dengan cepat oleh setiap pembacanya, Serambinews.com juga menyediakan fasilitas bagi para pembaca untuk memberikan

Tujuan artikel ini dimaksudkan untuk menguji pengaruh pendapatan asli daerah, pendapatan transfer, lain-lain pendapatan yang sah dan tingkat kemandirian daerah

Muhammadiyah masih ragu untuk menetapkan kehalalan bunga bank negara adalah karena adanya pendapat anggota panitia perumus hasil mu’tamar tarjih yang menyatakan, bahwa

Analisis Sakarifikasi Enzim Selulase Terhadap Pulp Kakao Pulp kakao sebanyak 1 ml dicuci menggunakan aquadest sebanyak 2x selanjutnya disentrifuse selama 5 menit dengan kecepatan

Hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa Prabu Brawijaya sebagai tokoh utama pada jagong pertama wayang beber Pacitan memiliki beberapa karakter antara lain; cermat, adil,

▪ Peserta didik diberi kesempatan menyampaikan pendapatnya mengenai gagasan pokok dan pendukung pada teks tersebut dan peserta didik yang lain dapat

BAB IV, Setelah melihat dari latar belakang pada bab I, mengumpulkan teori-teori konflik yang dianggap relevan pada bab II dan mengumpulkan ayat-ayat yang akan menjadi bahan untuk

Penelitian ini menggunakan model pengembangan four-D yang terdiri atas empat tahap yaitu pendefinisian ( define ), perancangan ( design ), pengembangan ( develop ),