• Tidak ada hasil yang ditemukan

SKRIPSI O L E H D. PERDANA K. TUBAGUS IPT DEPARTEMEN PETERNAKAN FAKULTAS PERTANIAN UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN 2007

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "SKRIPSI O L E H D. PERDANA K. TUBAGUS IPT DEPARTEMEN PETERNAKAN FAKULTAS PERTANIAN UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN 2007"

Copied!
47
0
0

Teks penuh

(1)

PEMANFAATAN TEPUNG KULIT BUAH TERONG BELANDA

(Cyphomandra betacea) FERMENTASI (Aspergillus niger)TERHADAP

PRODUKSI TELUR BURUNG PUYUH (Coturnix-coturnix japonica)

SKRIPSI O L E H D. PERDANA K. TUBAGUS 030306021 IPT DEPARTEMEN PETERNAKAN FAKULTAS PERTANIAN UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN 2007

(2)

PEMANFAATAN TEPUNG KULIT BUAH TERONG BELANDA

(Cyphomandra betacea)FERMENTASI (Aspergillus niger)TERHADAP

PRODUKSI TELUR BURUNG PUYUH (Coturnix-coturnix japonica)

SKRIPSI O L E H D. PERDANA K.TUBAGUS 0303060321 IPT

Skripsi Sebagai Salah Satu Syarat Untuk Dapat Mengikuti Ujian Ahir

di Departemen Peternakan Fakultas Pertanian Universitas Sumatera Utara Medan

DEPARTEMEN PETERNAKAN FAKULTAS PERTANIAN UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN 2007

(3)

Judul Skripsi : Pemanfaatan Tepung Kulit Buah Terong Belanda (Cyphomandra betacea) Fermentasi (Aspergillus niger) Terhadap Produksi Telur Burung Puyuh

(Coturnix-coturnix japonica)

Nama : D. Perdana K. Tubagus

Nim : 030306021

Departemen : Peternakan

Disetujui Oleh Komisi Pembimbing

(Ir. Yunilas, MP) (Dra. Irawati Bachari)

Ketua Anggota

Diketahui Oleh :

( Dr. Ir. Zulfikar Siregar MP ) Ketua Departemen

(4)

ABSTRACT

D. Perdana K. Tubagus, 2007. “Utilization of Fermented Tree Tomato Skin Fruit Flour in Feed to Egg’s Quail Production (Coturnix-coturnix japonica)”.

Advised by Ir. Yunilas M.P as supervisor and Dra. Irawati Bachari as co-supervisor. The research conducted in Biological Veterinery, Departement of

Animal Husbandry, Faculty of Agriculture, North Sumatera University, Prof. Dr. A. Sofyan Street No.3 started from August until October 2007.

The purpose of experimental was observe repons of utilization of fermented Tree Tomato skin fruit flour in several levels on egg’s quail productivity percentation (Coturnix-coturnix japonica). This research was conducted by completely randomitted design (CRD) which was consist of 5 treatmens as T0= feed without fermented Tree Tomato skin fruit flour, T1= feed with 3% fermented Tree Tomato skin fruit flour, T2= feed with 6% fermented Tree Tomato skin fruit flour, T3= feed with 9% fermentedTree Tomato skin fruit flour, T4= feed with 12% fermented Tree Tomato skin fruit flour. Every treatment was repeated 4 times which was every repetition used 5 quails. The parametre experimental was feed consumtion , egg’s productivity percentation, egg’s weight, and ration convertion of quail (Coturnix-coturnix japonica).

The result of research indicated that the highest average of feed intake was found in treatment T2 for 244,75 g/quail/week and the lowest one was found in treatment T4 for 235.29 g/quail/week. The highest of egg’s quail productivity percentation was found in treatment T1 for 52,14 %/quail/week and the lowest one was found in treatment T3 for 45,51/quail/week. The highest of egg’s weight was found in treatment T4 for 9,97 g/quail/week and the lowest one was found in treatment T2 for 9,61 g/quail/week. The highest of ration convertion was found in treatment T2 for 1,97 and the lowest one was found in treatment T4 for 1,45. The result of research indicated that utilization of fermented Tree tomato skin fruit flour in feed is not significant different (p>0,05) for feed consumtion , egg’s quail productivity percentation, egg’s weight, and ration convertion of quail (Coturnix-coturnix japonica).

(5)

ABSTRAK

D. Perdana K. Tubagus, 2007. “ Pemanfaatan Tepung Kulit Buah Terong Belanda (Cyphomandra betacea) Fermentasi Aspergillus niger Terhadap

Produksi Telur Burung Puyuh (Coturnix-coturnix japonica)”. Dibimbing oleh Ibu Ir. Yunilas M.P sebagai ketua komisi pembimbing dan Ibu Dra. Irawati Bachari sebagai anggota komisi pembimbing. Penelitian ini

dilaksanakan di Laboratorium Biologi Ternak Departemen Peternakan Fakultas Pertanian Universitas Sumatera Utara . Jl. Prof . Dr. A. Sofyan No.3 Medan, yang dimulai dari bulan Agustus sampai Oktober 2007.

Penelitian ini bertujuan untuk menguji pengaruh pemberian tepung kulit buah terong belanda (Cyphomandra betacea) fermentasi Aspergillus niger dalam ransum terhadap produksi telur burung puyuh (Coturnix-coturnix japonica). Rancangan yang digunakan dalam penelitian ini adalah rancagan acak lengkap (RAL) yang terdiri atas 5 perlakuan yaitu T0= ransum tanpa pemberian tepung kulit buah terong Belanda (Cyphomandra betacea) fermentasi Aspergillus niger T1= ransum dengan pemberian 3% tepung kulit buah terong Belanda (Cyphomandra betacea) fermentasi Aspergillus niger T2= ransum dengan pemberian 6% tepung kulit buah terong Belanda (Cyphomandra betacea) fermentasi Aspergillus niger T3= ransum dengan pemberian 9% tepung kulit buah terong Belanda (Cyphomandra betacea) fermentasi Aspergillus niger T4= ransum dengan pemberian 12% tepung kulit buah terong Belanda (Cyphomandra betacea) fermentasi Aspergillus niger. Masing- masing perlakuan diulang sebanyak 4 kali dimana setiap ulangan menggunakan 5 ekor burung puyuh. Parameter penelitian meliputi konsumsi ransum, persentase produksi telur, berat telur, konversi ransum burung puyuh (Coturnix-coturnix japonica).

Hasil penelitian menunjukkan rataan konsumsi tertinggi terdapat pada perlakuan T2 sebesar 244,75 g/ekor/minggu dan yang terendah terdapat pada perlakuan T4 sebesar 235.29 g/ekor/minggu. Rataan produksi telur tertinggi terdapat pada perlakuan T1 sebesar 52,14 %/ekor/minggu dan yang terendah terdapat pada perlakuan T3 sebesar 45,51/ekor/minggu. Rataan berat telur tertinggi terdapat pada perlakuan T4 sebesar 9,97 g/quail/week dan yang terendah terdapat pada perlakuan T2 sebesar 9,61 g/ekor/minggu. Rataan konversi ransum tertinggi terdapat pada perlakuan T2 sebesar 1,97 dan yang terendah terdapat pada

perlakuan T4 sebesar 1,45. Berdasarkan analisis keragaman diperoleh hasil bahwa pemanfaatan tepung kulit buah terong belanda (Cyphomandra betacea) fermentasi (Aspergillus niger) dalam ransum tidak

berpengaruh nyata (P>0,05) terhadap konsumsi ransum, persentase produksi telur, berat telur, dan konversi ransum burung puyuh(Coturnix-coturnix japonica).

(6)

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis sampaikan atas kehadirat Allah SWT, atas rahmatnya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini.

Adapun judul dari skripsi ini adalah “Pemanfaatan Tepung Kulit Buah Terong Belanda (Cyphomandra betacea) Fermentasi Aspergillus niger terhadap produksi telur puyuh (Coturnix-coturnix japonica) “ yang merupakan salah satu syarat untuk mengikuti ujian akhir di Departemen Peternakan Fakultas Pertanian Universitas Sumatera Utara Medan.

Penulis mengucapkan terima kasih kepada Ibu Ir. Yunilas M.P sebagai ketua komisi pembimbing dan Ibu Dra. Irawati Bachari sebagai anggota komisi pembimbing yang telah memberikan arahan dan bimbingankepada penulis dalam penyusunan skripsi ini.

Penulis menyadari bahwa skripsi ini belum sempurna , untuk itu penulis mengharapkan saran dan kritik yang bersifat membangun. Akhir kata penulis mengucapkan terimakasih atas saran yang diberikan dan semoga skripsi ini bermanfaat bagi semua.

Medan, November 2007

(7)

DAFTAR ISI

hal

ABSTRACT………. i

ABSTRAK………..………. ii

KATA PENGANTAR... iii

DAFTAR ISI ... vi DAFTAR TABEL... v DAFTAR LAMPIRAN ... vi PENDAHULUAN... 1 Latar Belakang... 1 Tujuan Penelitian ... 2 Hipotesis Penelitian ... 3 Kegunaan Penelitian ... 3 TINJAUAN PUSTAKA... 4 Burung Puyuh ... 4

Deskripsi Terong Belanda………... 5

Aspergillus niger………. 6

Proses Fermentasi……… 7

Kebutuhan Nutrisi Burung puyuh... 8

Konsumsi Ransum ... 11

Produksi telur ... 12

Berat telur... 13

Konversi Ransum ... 13

BAHAN DAN METODE PENELITIAN... 14

Tempat dan Waktu Penelitian... 14

Bahan dan Alat Penelitian ... 14

Bahan Penelitian... 14 Alat Penelitian ... 14 Metode Penelitian ... 15 Parameter Penelitian ... 16 Pelaksanaan Penelitian ... 17 Persiapan Kandang... 17

Penempatan Burung Puyuh ... 17

Pemberian Pakan dan Air Minum ... 17

Penyusunan ransum... 18

HASIL DAN PEMBAHASAN... 19

Hasil... 19

Konsumsi ransum... 19

Produksi telur ... 19

Berat telur ... 20

(8)

Pembahasan ... 22

Konsumsi ransum... 22

Produksi telur ... 23

Berat telur ... 24

Konversi ransum... 25

Rekapitulasi hasil penelitian ... 26

KESIMPULAN DAN SARAN... 27

Kesimpulan ... 27

Saran ... 27

DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN

(9)

DAFTAR TABEL

hal 1. Komposisi terong belanda per 100 g bahan…..……… 6 2. Kebutuhan nutrisi burung puyuh………. ….………… 9 3. Komposisi ransum burung puyuh………...………..….…. 10 4. Konsumsi ransum puyuh (g/hr/ekor) pada berbagai umur (minggu) .……… 11 5. Kemampuan berproduksi pada berbagai macam burung…………....……… 12 6. Rataan konsumsi ransum burung puyuh (g/ekor/minggu).……….….……… 19 7. Rataan produksi telur burung puyuh (%/ekor/minggu)……..………….…… 20 8. Rataan berat telur burung puyuh (g/ekor/minggu)………..….….…..……… 20

9. Rataan konversi ransum burung puyuh …………...………..…….… 21 10.Analisis keragaman konsumsi ransum burung puyuh (g/ekor/minggu)...…... 22 11.Anallisis keragaman produksi telur burung puyuh (%/ekor/minggu)..…..… 23 12.Analisis keragaman berat telur burung puyuh (g/ekor/minggu)…..….…...… 24 13.Analisis keragaman konversi ransum burung puyuh ...……...……… 26

(10)

DAFTAR LAMPIRAN

hal 1. Analisa proksimat tepung kulit buah terong belanda

(Cyphomandra betacea)….………. 30

2. Analisa proksimat tepung kulit buah terong Belanda (Cyphomandra betacea) Fermentasi Aspergillus niger.……….….……. 30

3. Pengolahan tepung kulit buah terong Belanda (Cyphomandra betacea) Fermentasi Aspergillus niger.……….….…… 31

4. Kandungan nutrisi bahan pakan……….... 32

5. Formulasi ransum puyuh periode layer………..………... 32

6. Kandungan nutrisi ransum puyuh periode layer………. 32

7. Konsumsi ransum burung puyuh (g/ekor/minggu).……….…………... 33

8. Rataan Konsumsi ransum burung puyuh (g/ekor/minggu).………….……... 33

9. Persentase produksi telur burung puyuh (%/ekor/minggu)…...….……..… 34

10. Rataan persentase produksi telur burung puyuh (%/ekor/minggu)..…....… 34

11. Berat telur burung puyuh (g/butir/minggu)...………...………. 35

12. Jumlah telur burung puyuh selama penelitian………...…….…… 35

13. Rataan berat telur burung puyuh (g/berat/minggu)………...……..….. 36

14. Konversi ransum burung puyuh ……….……..………….…… 36

(11)

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Kebutuhan akan protein dirasakan meningkat setiap hari disertai dengan peningkatan jumlah penduduk, kemajuan teknologi, peningkatan taraf hidup dan kesadaran masyarakat akan pentingnya gizi. Kebutuhan protein dapat dipenuhi melalui tumbuhan dan hewan. Kebutuhan protein yang berasal dari hewan mengalami peningkatan yang signifikan bila dibandingkan dengan kebutuhan protein yang berasal dari tumbuhan.

Untuk memenuhi kebutuhan protein hewani salah satu hewan yang dapat dijadikan sumber protein adalah hewan jenis unggas. Burung puyuh merupakan unggas yang dapat memenuhi kebutuhan protein diantara unggas lainnya.

Pemeliharaan puyuh dapat meggunakan modal yang sedikit tidak seperti unggas lain. Disamping ternak ini cepat berproduksi juga tidak sulit menyediakan ransumnya. Burung puyuh juga mempunyai sifat dan kemampuan untuk menghasilkan daging dan telur yang relatif cepat, nilai gizinya tinggi, digemari juga dapat dijangkau oleh masyarakat ekonomi lemah (Tarigan dan Siregar, 1983)

Kendala peningkatan produksi ternak salah satunya disebabkan oleh harga pakan yang mahal di pasar yang mencapai 60-70% dari biaya produksi. Untuk itu diusahakan pemanfaatan bahan pakan lain yang tidak kompetitif dengan manusia, mudah mendapatkannya dan tidak berbahaya bagi ternak.

Kulit buah terong belanda (Cyphomandra betacea) merupakan limbah

industri besar (pabrik pengolahan makanan dan minuman), industri sedang (restoran), dan industri kecil (rumah tangga), sehingga ketersediaanya cukup

(12)

potensial sebagai bahan pakan ternak. Kandungan serat kasar yang tinggi merupakan faktor pembatas dalam penyusunan ransum burung puyuh sehingga bahan pakan yang berasal dari kulit buah terong belanda ini perlu difermentasi guna meningkatkan nilai nutrisinya sehingga dapat dimanfaatkan dalam ransum dalam jumlah yang sesuai.

Dimana kandungan nutrisi terong belanda memiliki nilai protein sebesar 4,34 %, kadar lemak sebesar 7,53%, kadar air 10,58%, bahan kering 89,41%, kadar abu sebesar 8,8%, serat kasar sebesar 21,87%, dan setelah difermentasi dengan Aspergillus niger proteinnya menjadi sebesar 13,92%, kadar lemak sebesar 8,28%, kadar air 8,56%, bahan kering 91,44%, kadar abu sebesar 9,92%, serat kasar sebesar 10,48% (Analisa Laboratoium Bahan Pakan Ternak USU, 2007).

Fermentasi merupakan suatu proses perubahan kimiawi pada substrat organik melalui reaksi enzim yang dihasilkan oleh mikroorganisme (Fardiaz,1987). Perubahan kimia oleh aktivitas enzim yang dihasilkan oleh mikroorganisme tersebut meliputi perubahan molekul kompleks seperti protein,

lemak dan karbohidrat menjadi molekul sederhana dan mudah dicerna (Murata et al., 1967.,Anah dan Lindajati, 1987)

Berdasarkan uraian di atas penulis ingin meneliti pemanfaatan tepung kulit buah terong belanda (Cyphomandra betacea) fermentasi Aspergillus niger yang diberikan dalam ransum burung puyuh dengan berbagai tingkat pemberian

(13)

Tujuan Penelitian

Untuk menguji pengaruh pemberian tepung kulit buah terong belanda (Cyphomandra betacea) fermentasi Aspergillus niger terhadap produksi telur burung puyuh (Coturnix-coturnix japonica)

Hipotesis Penelitian

Pemberian ransum yang mengandung tepung kulit buah terong belanda (Cyphomandra betacea) fermentasi dengan Aspergillus niger berpengaruh terhadap konsumsi ransum, produksi telur, berat telur dan konversi ransum pada burung puyuh.

Kegunaan Penelitian

1. Menambah informasi bagi kalangan akademis tentang pemanfaatan tepung kulit buah terong belanda (Cyphomandra betacea) fermentasi dengan Aspergillus niger dalam ransum burung puyuh

2. Menambah informasi bagi peternak tentang pemberian tepung kulit buah terong belanda (Cyphomandra betacea) fermentasi dengan Aspergillus niger dalam ransum burung puyuh

(14)

TINJAUAN PUSTAKA

Burung puyuh

Burung puyuh merupakan hewan yang berasal dari kelas aves, ordo galiformes, sub ordo phasianoidae, famili phasianinae, genus coturnix, dan spesies Coturnix-coturnix japonica (Junaedi, 2002).

Burung puyuh yang ada di Indonesia adalah burung puyuh liar biasanya disebut gemak atau gemek. Burung puyuh tersebut termasuk genus coturnix. Gemak belum mendapatkan perhatian untuk diternakkan di Indonesia. Burung puyuh tersebut hidup dalam keadaan liar di sawah-sawah kering , ladang dan semak-semak. Burung puyuh Jepang yang nama ilmiahnya Coturix-coturnix japonica merupakan burung puyuh yang dipelihara di Indonesia sebagai usaha sambilan maupun sebagai usaha komersial (Anggorodi,1995).

Dibanding dengan jenis puyuh lainnya Coturnix-coturnix japonica dapat menghasilkan telur sebanyak 250-300 butir per ekor selama setahun . Betinanya mulai bertelur umur 35 hari. Sifat-sifat tertentu dari Coturnix-coturnix japonica, seperti kemampuannya untuk menghasilkan 3-4 generasi per tahun, membuat unggas ini menarik perhatian sebagai ternak percobaan dalam penelitian. Telurnya berwarna coklat tua, biru, putih, dengan bintik-bintik hitam, coklat dan kebiru-biruan(Listiyowati dan Roospitasari, 2000)

Burung puyuh mencapai dewasa kelamin sekitar umur 42 hari dan biasanya berproduksi penuh pada umur 50 hari. Dengan perawatan yang baik, burung puyuh betina akan bertelur 200 butir telur pada tahun pertama berproduksi (Randall, 1986)

(15)

Ciri-ciri burung puyuh (Coturnix-coturnix japonica) adalah bentuk badannya lebih besar dari jenis burung puyuh lainnya. Panjang badan 19 cm, badan bulat, ekor pendek dan kuat, jari kaki 4 buah, warna bulu coklat untuk betina agak coklat sedangkan dada bergaris (Nugroho dan Mayun, 1986)

Deskripsi terong belanda

Tanaman ini di Indonesia juga dikenal sebagai terong menen dan dalam bahasa Inggris disebut sebagai Tree tomato. Asalnya dari Pegunungan Andes di

Amerika Selatan, khususnya di Peru kemudian menyebar ke berbagai wilayah. Di Indonesia terong Belanda ini banyak dijumpai di Sumatera Utara. Sosok

tanaman ini berupa perdu dengan ketinggian 2 - 3 meter.

Pangkal batangnya pendek dan cabangnya lebat. Daunnya bulat, berselang-seling, dan berbulu, bunga muncul dalam rangkaian kecil dari ketiak daun, berwarna merah jambu hingga biru muda, berbau harum. Buahnya berbentuk buah buni bulat lonjong dengan meruncing ke ujung. Buah bergelantungan dengan tangkai panjang, berwana lembayung ke merah-merahan. Daging buahnya banyak mengandung sari buah, agak asam, berwarna kuning kehitam-hitaman. Bijinya pipih dan tipis. Di daerah tropis terong belanda bisa tumbuh hingga ketinggian 1.000 meter dari permukaan laut. Perbanyakan bisa dilakukan dengan menanam biji. Namun tanaman ini juga sering disambung dengan tanaman yang masih sejenis, bahkan juga bisa diperbanyak dengan stek. Di banyak negara tanaman ini telah dibudidayakan dalam kebun-kebun atau untuk tumpang sari dengan tanaman jeruk. Di Indonesia belum banyak yang membudidayakannya.

(16)

Buah terong belanda ini dimanfaatkan sebagai buah yang dimakan segar. Namun ada juga buahnya yang dimanfaatkan untuk bumbu masak, bahkan juga untuk sayuran. Buah matang bisa dijadikan sirop. Di Medan buah ini banyak

dijual, dan sangat digemari sebagai minuman yang disajikan dalam bentuk jus (Soetasad dan Muryanti, 1995).

Penampang melintang buah terong belanda sangat mirip dengan belahan buah tomat. Selain warnanya sama, keduanya banyak mengandung air. Kegunaan buah terong belanda adalah mengobati penyakit tekanan darah rendah, menghilangkan gatal-gatal pada kulit serta untuk cuci perut. Bahkan bisa pula untuk bahan kosmetik alamiah seperti mengeringkan kulit muka yang bermiyak dan mencegah timbulnya jerawat (Imamuddin, 1987).

Komposisi buah terong belanda secara terperinci dapat dilihat pada tabel 1 Tabel 1. Komposisi terong Belanda per 100 gram bahan

Komponen Kandungan Bahan

Kalori (kal) 48,00 Protein (g) 1,50 Lemak (g) 0,30 Karbohidrat (g) 11,30 Kalsium (mg) 13,00 Fospat (mg) 24,00 Besi (mg) 0,80 Vit.A (SI) 0 Vit. B1 (mg) 0,04 Vit. C (mg) 17,00 Air (g) 85,90 B.D.D (%) * 73,00

Bahan dapat dicerna *

Sumber: Direktorat Gizi Departemen Kesehatan R.I., 1989

Aspergillus niger

Aspergillus niger adalah kapang anggota genus: Aspergillus, famili: Eurotiaceae, ordo: Eurotiales, sub kelas: Plectomycetidae, kelas: Ascomycetes, sub divisi: Ascomycotina, dan divisi: Aastigmycota (Hardjo et al., 1989).

(17)

Aspergillus niger mempunyai kepala pembawa konidia yang besar, dapat dipakai secara padat, bulat dan berwarna hitam coklat atau ungu coklat. Kapang ini mempunyai bagian yang khas, yaitu bersepta, spora yang bersifat aseksual dan tumbuh memanjang di atas stigma, mempunyai sifat aerobic sehingga dapat tumbuh dengan baik pada suhu 5-370C (Fardiaz, 1989).

Hardjo et al., (1989) juga menyatakan bahwa Aspergillus niger di dalam pertumbuhannya berhubungan secara langsung dengan zat makanan yang terdapat dalam medium. Molekul sederhana seperti gula dan komponen lain yang larut disekeliling hifa dapat langsung diserap. Molekul lain yang lebih kompleks seperti selulosa, pati dan protein harus dipisah terlebih dahulu sebelum diserap ke dalam sel. Untuk itu Aspergillus niger menghasilkan beberapa enzim ekstraseluler seperti amylase, amiloglukosidae, pektinase, selulase, katalase dan glukosidae.

Menurut Lehninger (1991), kapang Aspergillus niger menghasilkan enzim urease untuk memecah urea menjadi asam amino dan CO2 yang selanjutnya

digunakan untuk pembentukan asam amino. Aspergillus niger mempunyai pertumbuhan yang paling tinggi dan kehilangan bahan kering yang tinggi dibandingkan dengan Aspergillus oryzae dan Rhyzophus oryzae dan Yuniah (1996) melaporkan bahwa Aspergillus niger mampu menurunkan kadar serat kasar.

Proses Fermentasi

Fermentasi merupakan suatu proses perubahan kimiawi pada substrat organik melalui aksi enzim yang dihasilkan oleh mikroorganisme (Fardiaz, 1987). Perubahan kimia oleh aktivitas enzim yang dihasilkan mikroorganisme tersebut meliputi perubahan-perubahan molekul kompleks seperti protein, lemak dan

(18)

karbohidrat menjadi molekul sederhana dan mudah dicerna (Anah dan Lindajati, 1987).

Sungguh (1993) menambahkan bahwa fermentasi adalah proses penguraian bahan organik kompleks terutama karbohidrat untuk menghasilkan enzim melalui reaksi enzim yang dihasilkan oleh mikroba, biasanya terjadi dalam keadaan anaerob dan diiringi dengan pembebasan gas.

Menurut jenis mediumnya, proses fermentasi dibagi menjadi 2 yaitu fermentasi medium padat dan fermentasi medium cair. Fermentasi medium padat merupakan fermentasi medium yang digunakan tidak larut tetapi cukup mengandung air untuk keperluan mikroba, sedangkan fermentasi dengan medium cair adalah proses fermentasi yang substratnya larut atau tersuspensi di dalam medium cair (Hardjo et al., 1989).

Kebutuhan nutrisi burung puyuh

Listiyowati dan Roospitasari (2000) menyatakan bahwa faktor terpenting dalam keberhasilan beternak puyuh adalah faktor pakan (nutrisi), selain itu faktor tata laksana (manajemen) dan bibit. Faktor pakan meliputi cara pemberian dan kebutuhan gizi menurut tingkat umurnya. Hal ini juga didukung oleh pendapat Anggorodi (1979) bahwa kebutuhan gizi pada ternak tergantung pada umur, jenis kelamin, kecepatan pertumbuhan, fase produksi serta keadaan kesehatan ternak.

Tillman et al., (1983) mengatakan bahwa untuk pertumbuhan, produksi, reproduksi, dan hidup pokok, hewan memerlukan zat gizi, unsur gizi tersebut adalah protein, energi, lemak, vitamin, mineral dan air. Hal ini juga didukung oleh Rasyaf (1984) yang mengatakan bahwa kekurangan salah satu unsur gizi tersebut akan mengakibatkan gangguan kesehatan dan menurunkan produksi.

(19)

Menurut Listiyowati dan Roospitasari (2000) anak puyuh yang baru

berumur 0-3 minggu membutuhkan protein 25% dan energi metabolis 2900 kkal/kg. Pada umur 3-5 minggu kadar protein ransum yang diberikan

dikurangi menjadi 20% dan energi metabolisnya menjadi 2600kkal/kg. Puyuh dewasa berumur lebih dari 5 minggu, kebutuhan protein dan energinya sama dengan puyuh umur 3-5 minggu.

Kebutuhan nutrisi burung puyuh dapat dilihat secara terperinci pada Tabel 2.

Tabel 2. Kebutuhan nutrisi burung puyuh

Zat Nutrisi Puyuh sedang tumbuh Puyuh bibit

0-3 Minggu 3-5 minggu dewasa Energi Metabolisme (kkal/kg) 2900 2600 2600

Protein (%) 25 20 20 Kalsium (%) 1 1 1 Fspor (%) 0,8 0,8 0,8 Serat Kasar (%) 5 5 5 Lemak (%) 4,80 5,50 5,30 Sumber: NRC, 1997

Rasyaf (1984) menyatakan bahwa tingginya tingkat protein yang dibutuhkan pada masa pertumbuhan digunakan untuk pembentukan jaringan-jaringan yang baru. Setelah dewasa, puyuh makan lebih banyak, sehingga makanan yang mengandung protein itu juga masuk lebih banyak. Untuk itu tingkat protein dikurangi karena protein hanya mengganti jaringan-jaringan yang telah rusak dan pembentukan telur.

Menurut Murtidjo (1992) istilah energi yang umum digunakan dalam pakan ternak unggas adalah energi metabolisme. Tinggi rendahnya kadar energi metabolisme dalam ransum akan mempengaruhi banyak sedikitnya ternak unggas mengkonsumsi ransum. Ransum yang mengandung energi tinggi akan lebih

(20)

sedikit dikonsumsi, namum ransum yang berenergi rendah akan lebih banyak dikonsumsi unggas.

Unggas memerlukan mineral berupa kalsium dan posfor dalam jumlah yang cukup sebab peranan kalsium dalam tubuh unggas tampak degan jelas yaitu

untuk pembentukan kulit, ukuran tulang serta unsur tubuh yang lainnya (Murtidjo, 1996).

Vitamin merupakan senyawa organik yang harus selalu tersedia walaupun dalam jumlah yang sangat kecil, untuk metabolisme jaringan normal secara langsung maupun tidak. Defesiensi vitamin pada puyuh mengakibatkan kerugian seperti lebih mudah terserang penyakit sehingga menurunkan produktivitas bahkan menimbulkan kematian (Listiyowati dan Roospitasari,2000).

Komposisi ransum burung puyuh secara terperinci dapat dilihat pada Tabel 3.

Tabel 3.Komposisi ransum burung puyuh

Fase pertumbuhan Fase bertelur

0-3 minggu 3-5 minggu 5 minggu

Energi, Kcal/kg Protein % Lysine % methionine Glycine % Calcium % Phospor % Zinc, mg/kg Selenium, mg/kg Magnesium,mg/kg Sodium, % Potassium, % Vit A, I.U./kg Vit D3, I.C.U./kg Vit E, I.U./kg Asam panthotenat Choline, mg/kg Linoleat 2900 25 1,3 0,74 1,28 1 0,8 75 1 150 0,11 0,28 3300 1200 40 40 40 2500-3500 2600 20 1,2 0,71 1,28 1 0,8 75 1 150 0,11 0,28 3300 1200 40 40 40 2500-3500 2600 20 - - - 3 0,8 75 1 - 0,11 - 3300 1200 40 40 - 1045-2090 Sumber : NRC 1971 disitasi Listyowati dan Roospitasari (2000)

(21)

Konsumsi ransum

Konsumsi ransum adalah banyaknya ransum yang dikonsumsi seekor ternak atau puyuh dalam jangka waktu tertentu. Dalam mengkonsumsi ransum, ternak dipengaruhi oleh beberapa faktor antar lain: umur, palatabilitas ransum, jenis ternak, aktivitas ternak, energi ransum dan tingkat produksi.Konsumsi ransum ditentukan oleh kualitas dan kuantitas dari pakan yang diberikan serta penggolongannya. Ransum yang diberikan pada ternak harus disesuaikan dengan umur dan kebutuhan, hal ini bertujuan selain untuk mengefisienkan jumlah ransum pada ternak (Anggorodi, 1995). Hal ini didukung oleh pendapat Wahyu (1992) bahwa konsumsi ransum dipengaruhi oleh iklim, kesehatan, palatabilitas ransum, bentuk fisik ransum, stress, besar badan dan produksi telur.

Konsumsi ransum puyuh pada minggu pertama sangat sedikit. Perincian konsumsi ransum puyuh pada berbagai umur tertera pada Tabel 4.

Tabel 4. Konsumsi ransum (g/hr/ekor) puyuh pada berbagai umur (minggu)

Umur(minggu) konsumsi ransum (g/hr/ekor)

0-1 3

1-3 9

3-5 17

>5 20

Sumber : Hardjosworo (1992)

Perbedaan konsumsi ransum dipengaruhi oleh beberapa faktor antara lain bobot badan, umur dan kondisi tubuh yaitu normal atau sakit, stress yang diakibatkan oleh lingkungan dan tingkat kecernaan ransum (Parakasi, 1983).

Untuk kondisi temperatur lingkungan kandang, temperaturnya sekitar 37,5 0C (99,5 0F) pada minggu pertama dan 29,3 0C-32,20C (90 0C) untuk minggu ke dua dan ke tiga (Listyowati dan Roospitasari,2000).

(22)

Poduksi telur

Di Indonesia, kemampuan berproduksi burung puyuh hanya sekitar 180 butir saja pertahunnya. Lebih jelasnya dapat dilihat pada Tabel 5.

Tabel 5. Kemampuan berproduksi pada berbagai macam unggas

Spssies Kemampuan produksi telur(butir)/tahun

Ayam petelur Itik Kalkun Angsa Puyuh Merpati 300-360 250-310 220 100 130 50 Sumber : Rasyaf, 1983

Listiyowati dan Roospitasari (2000) berpendapat bahwa puyuh betina mampu bertelur pada umur 41 hari. Pada masa bertelur yaitu dalam satu tahunnya bisa dihasilkan 250-300 butir telur yaitu pada periode bertelur selama 9-12 bulan. Hal ini juga didukung oleh Aggorodi (1995) yang mengatakan bahwa burung puyuh mencapai dewasa dewasa kelamin sekitar 42 hari dan biasanya berproduksi penuh pada umur 50 hari. Dengan perawatan yang baik burung puyuh betina akan bertelur 200 butir pada tahun pertama berproduksi. Lamanya hidup hanya 2-2,5 tahun.

Menurut redaksi (2002) kemampuan produksi telur burung puyuh sangat dipengaruhi oleh umur burung puyuh. Burung puyuh betina mulai bertelur pada umur sekitar 42 hari. Pada permulaan masa bertelur, produksinya akan cepat meningkat sesuai dengan bertambahnya umur. Burung puyuh mencapai puncak produksi lebih dari 80% pada minggu ke 13, setelah berumur 26 minggu produksi telur akan menurun drastis. Hal ini didukung oleh Yasin (1988) yang menyatakan bahwa secara garis besar yang mempengaruhi jumlah telur adalah faktor genetik, pakan, perkandangan, suhu, rontok bulu, penyakit dan stres.

(23)

Berat telur

Telur burung puyuh jepang (Coturnix-coturnix japonica) berwarna coklat lurik menyerupai telur burung puyuh liar. Beratnya 7-11 gram atau 7-8 % dari bobot tubuh induk. Besarnya telur dipengaruhi oleh sifat genetik, tingkat dewasa kelamin, umur, obat-obatan dan ransum (Anggorodi, 1995).

Bobot telur merupakan sifat kuantitatif yang dapat diturunkan. Jadi jenis ransum, jumlah ransum, lingkungan kandang, serta besar tubuh induknya sangat mempengaruhi bobot telur. Protein ransum yang sedikit juga menyebabkan kecilnya kuning telur yang terbentuk, sehingga menyebabkan kecilnya telur yang dihasilkan. Selain itu, bobot telur juga sangat dipengaruhi oleh masa bertelur. Produksi pertama dari suatu siklus berbobot lebih rendah dibandingkan telur berikutnya pasa siklus yang sama. Dengan kata lain bobot telur semakin bertambah dengan bertambah umur induk (Listiyowati dan Roospitasari, 2005)

Konversi ransum

Konversi adalah jumlah ransum yang habis dikonsumsi untuk memproduksi 1 butir telur (Tillman, 1983).

Angka konversi ransum menunjukkan tingkat efisiensi penggunaan ransum, yaitu angka konversi ransum semakin besar maka penggunaan ransum kurang ekonomis. Angka konversi ransum dipengaruhi oleh faktor lingkungan (Lestari, 1992).

Menurut Anggorodi (1995) konversi ransum dipengaruhi oleh mutu ransum, kesehatan ternak, dan tata cara pemberian pakan. Konversi ransum yang baik untuk puyuh adalah 2,3-2,8. Didukung oleh Nugroho dan Mayun (1986) bahwa konversi puyuh yang baik adalah 2,11-2,72.

(24)

BAHAN DAN METODE PENELITIAN

Tempat dan Waktu Penelitian

Penelitian ini akan dilaksanakan di Laboratorium Biologi Ternak Departemen Peternakan Fakultas Pertanian Universitas Sumatera Utara Medan 25 m dpl yang dimulai dari bulan Agustus sampai Oktober 2007 .

Bahan dan Alat Penelitian

Bahan yang digunakan antara lain :

a. Puyuh betina sexing sebanyak 100 ekor umur 42 hari

b. Ransum terdiri dari: Jagung halus, bungkil kedele, bungkil kelapa, dedak halus, tepung ikan, premix dan minyak kelapa

c. Air minum

d. Vitamin (puyuh vit)

e. Obat-obatan dan desinfektan

f. Tepung kulit buah terong Belanda fermentasi Alat yang digunakan antara lain :

a. Kandang sebanyak 20 buah dengan ukuran 30x30x25 cm b. Tempat pakan dan minum

c. Lampu sebagai alat penerangan dan pemanas d. Alat pembersih kandang

e. Ember f. Handsprayer

g. Alat tulis dan kalkulator h. Timbangan

(25)

Metode Penelitian

Rancangan penelitian yang digunakan adalah rancangan acak lengkap (RAL) terdiri dari 4 perlakuan dan 5 ulangan:

Perlakuan yang di teliti adalah

T0 = Ransum tanpa pemberian tepung kulit buah terong Belanda fermentasi T1 = Ransum dengan pemberian 3% tepung kulit buah terong Belanda fermentasi T2 = Ransum dengan pemberian 6% tepung kulit buah terong Belanda fermentasi T3 = Ransum dengan pemberian 9% tepung kulit buah terong Belanda fermentasi T4 =Ransum dengan pemberian 12% tepung kulit buah terong Belanda fermentasi Denah penelitian dilaksanakan adalah :

T04 T34 T42 T21 T11 T12 T44 T03 T33 T22 T43 T24 T31 T13 T01 T32 T14 T02 T23 T41 Dimana : Perlakuan ( T0, T1,…, T4) Ulangan ( 1, 2,…,4)

Ulangan yang didapat berasal dari rumus : T (n-1) ≥ 15

5 (n-1) ≥ 15 5n – 5 ≥ 15 5n ≥ 20 n ≥ 4

(26)

Model matematik yang digunakan menurut (Hanafiah, 2000).

Yij = μ + τ i + Σij

Dimana:

Yij = Hasil pengamatan pada ulangan ke-i dan perlakuan ke-j i = 1, 2, 3, 4, 5 (perlakuan)

j = 1, 2, 3, 4 (ulangan)

μ = Nilai rata-rata (mean) harapan

τi = Pengaruh faktor perlakuan ke-i

Σij = Pengaruh galat (experimental error) perlakuan ke-i ulangan ke-j

Parameter penelitian Konsumsi ransum ( g )

Konsumsi ransum adalah banyaknya ransum yang dikonsumsi seekor ternak atau puyuh dalam jangka waktu tertentu. Konsumsi ransum dihitung

dengan mengurangkan antara ransum yang diberikan dengan sisa ransum selama seminggu.

Persentase Produksi telur ( % )

Produksi telur dihitung dengan mancatat berapa rata-rata kemampuan puyuh berproduksi dibagi dengan jumlah burung puyuh yang ada dikali 100% pada setiap perlakuan dalam satu minggu selama penelitian.

dengan rumus : Jumlah telur

X 100% Jumlah puyuh

(27)

Berat telur ( g )

Berat telur dihitung dengan membagikan berat telur (g) dengan jumlah telur yang dihasilkan pada setiap perlakuan.

Konversi ransum

Konversi ransum dihitung dengan cara membandingkan antara jumlah ransum yang konsumsi (g) dengan berat telur (g) selama penelitian setiap perlakuan dalam satu minggu.

Pelaksanaan Penelitian Persiapan Kandang

Kandang yang digunakan dalam penelitian berukuran 30x30x25 cm sebanyak 20 buah. Tiap petak kandang dilengkapi dengan tempat pakan, tempat minum, lampu pijar yang berfungsi sebagai alat penerangan. Seminggu sebelum kandang digunakan, kandang difumigasi dengan menggunakan larutan KMNO4

yang dicampur dengan Formalin. Semua peralatan dicuci dan dibersihan dengan menggunakan deterjen.

Penempatan burung puyuh

Puyuh sebelum dimasukkan kedalam kandang terlebih dahulu dilakukan sexing pada umur 42 hari sesuai perlakuan. Puyuh yang digunakan adalah sebanyak 100 ekor puyuh betina.

Pemberian ransum dan air minum

Pemberian ransum diberikan kepada puyuh sesuai dengan perlakuan. Ransum dan air minum diberikan secara ad-libitum. Pengisian ransum diakukan hati-hati agar tidak ada pakan yang tumpah pada saat pengisian. Ransum yang terbuang ditimbang setiap hari sesuai dengan perlakuan. Vitamin dan obat-obatan

(28)

diberikan sesuai dengan kebutuhan. Pada malam hari penerangan dinyalakan untuk memudahkan puyuh makan dan minum di malam hari. Lampu yang digunakan adalah lampu pijar 40 watt.

Penyusunan Ransum

Ransum yang diberikan disusun sendiri sesuai dengan perlakuan formulasi ransum. Ransum disusun seminggu sekali mencegah rusaknya ransum dan timbulnya ketengikan.

(29)

HASIL DAN PEMBAHASAN Hasil

Konsumsi ransum

Konsumsi ransum adalah kemampuan untuk menghabiskan sejumlah ransum yang diberikan. Untuk mengetahui konsumsi ransum burung puyuh dengan pemberian tepung kulit buah terong belanda fermentasi Aspergillus niger dalam ransum selama penelitian dapat dilihat pada Tabel 6.

Tabel 6. Rataan konsumsi ransum burung puyuh selama penelitian

(g/ekor/minggu) perlakuan rataan sd T0 T1 T2 T3 T4 242,18 239,50 244,75 238,29 235,29 9,17 12,13 11,28 5,29 6,41

Dari Tabel 6 diperoleh rataan konsumsi ransum tertinggi terdapat pada perlakuan T2 (dengan pemberian 6% tepung kulit buah terong belanda fermentasi (Aspergillus niger) sebesar 244,75 g/ekor/minggu dan yang terendah terdapat pada perlakuan T4 (degan pemberian 12% tepung kulit buah terong belanda fermentasi Aspergillus niger) sebesar 235,29 g/ekor/minggu.

Persentase produksi telur

Produksi telur diperoleh dengan membagikan jumlah telur yang dihasilkan dengan jumlah burung puyuh yang ada pada setiap perlakuan dalam seminggu dikali dengan 100%. Untuk mengetahui produksi telur burung puyuh dengan pemberian tepung kulit buah terong belanda fermentasi Aspergillus niger selama penelitian dapat dilihat pada Tabel 7.

(30)

Tabel 7.Rataan persentase produksi telur burung puyuh selama penelitian (%/ekor/minggu) perlakuan rataan sd T0 T1 T2 T3 T4 47,25 52,14 50,62 45,51 51,94 5,17 4,50 8,35 4,25 2,74

Dari Tabel 7 diperoleh rataan persentase produksi telur burung puyuh tertinggi terdapat pada perlakuan T1 (dengan pemberian 3% tepung kulit buah terong belanda fermentasi Aspergillus niger) sebesar 52,14 %/ekor/minggu dan yang terendah terdapat pada perlakuan T3 (degan pemberian 9% tepung kulit buah terong belanda fermentasi Aspergillus niger) sebesar 45,51 %/ekor/minggu

Berat telur

Untuk mengetahui berat telur burung puyuh dengan pemberian tepung kulit buah terong belanda fermentasi Aspergillus niger selama penelitian dapat dilihat pada Tabel 8.

Tabel 8.Rataan berat telur burung puyuh selama penelitian (g/butir/minggu)

Perlakuan rataan sd T0 T1 T2 T3 T4 9,67 9,94 9,61 9,91 9,97 0,05 0,17 0,35 0,33 0,14

Dari Tabel 8 diperoleh rataan berat telur burung puyuh tertinggi terdapat pada perlakuan T4 (dengan pemberian 12% tepung kulit buah terong belanda fermentasi Aspergillus niger) sebesar 9,97 g/ekor/minggu dan yang terendah terdapat pada perlakuan T2 (degan pemberian 6% tepung kulit buah terong belanda fermentasi Aspergillus niger) sebesar 9,61 g/ekor/minggu. Berat telur

(31)

yang diperoleh selama penelitian berkisar 9,61-9,97 g, hal ini sesuai yang pernyataan Aggorodi ( 1995 ) yang menyatakan berat telur 7-11 gram.

Konversi ransum

Konversi ransum dihitung dengan cara membagikan antara jumlah ransum yang dikonsumsi (g) dengan berat telur (g) selama penelitian setiap perlakuan dalam satu minggu. Untuk mengetahui konversi ransum burung puyuh dengan pemberian tepung kulit buah terong belanda fermentasi Aspergillus niger selama penelitian dapat dilihat pada Tabel 9.

Tabel 9. Rataan konversi ransum burung puyuh selama penelitian (ekor/minggu)

perlakuan rataan sd T0 T1 T2 T3 T4 1,76 1,67 1,97 1,80 1,45 0,25 0,11 0,62 0,83 0,10

Dari Tabel 9 diperoleh rataan konversi ransum burung puyuh tertinggi terdapat pada perlakuan T2 (dengan pemberian 6% tepung kulit buah terong belanda fermentasi Aspergillus niger) sebesar 1,97 ekor/minggu dan yang terendah terdapat pada perlakuan T4 (degan pemberian 12% tepung kulit buah terong belanda fermentasi Aspergillus niger) sebesar 1,45 ekor/minggu.

(32)

Pembahasan

Konsumsi ransum

Untuk mengetahui pengaruh pemberian berbagai level tepung kulit buah terong belanda fermentasi Aspergillus niger terhadap konsumsi ransum burung puyuh (Coturnix-coturnix japonica) selama penelitian dapat diketahui dengan melakukan analisis keragaman seperti tertera pada Tabel 10.

Tabel 10. Analisis keragaman konsumsi ransum burung puyuh (g/ekor/minggu)

F tabel sk db jk kt F hitumg 0,05 0,01 Perlakuan 4 211,04 52,76 0,62tn 3,06 4,89 Galat 15 1282,96 85,33 Total 19 1493,99 tn : tidak nyata KK : 3,85 %

Berdasarkan hasil analisis keragaman konsumsi ransum diperoleh bahwa pemberian tepung kulit buah terong belanda fermentasi Aspergillus niger tidak berpengaruh nyata (p>0,05) terhadap konsumsi ransum. Hal ini berarti pemberian tepung kulit buah terong belanda fermentasi Aspergillus niger sampai level 12 % di dalam ransum berpengaruh tidak nyata terhadap konsumsi. Kenyataan ini menunjukkan bahwa pemberian tepung kulit buah terong belanda fermentasi Aspergillus niger sampai level 12 % masih dapat ditolerir sehingga tidak mempengaruhi konsumsi ransum burung puyuh. Konsumsi ransum juga dipengaruhi oleh palatabilitas (aroma, rasa, warna dan bentuk). Hal ini sesuai dengan pernyataan Aggorodi (1995), bahwa ternak dalam mengkonsumsi ransum dipengaruhi oleh palatabilitas ransum. Didukung oleh Wahyu (1992) yang menyatakan bahwa salah satu faktor yang mempengaruhi ternak dalam mengkonsumsi ransum adalah palatabilitas ransum. Pemberian tepung kulit buah terong belanda fermentasi Aspergillus niger sampai level 12% memberikan

(33)

aroma, rasa dan bentuk yang tidak berbeda jauh dari ransum tanpa pemberian tepung kulit buah terong belanda fermentasi Aspergillus niger maupun dengan pemberian 3%,6%, dan 9% tepung kulit buah terong belanda fermentasi Aspergillus niger namun tampilan warna menjadi lebih gelap sehingga walaupun konsumsi ransum tidak berpengaruh nyata antar perlakuan tetapi cenderung menurun.

Persentase produksi telur

Untuk mengetahui pengaruh pemberian berbagai level tepung kulit buah terong belanda fermentasi Aspergillus niger terhadap produksi telur burung puyuh (Coturnix-coturnix japonica) selama penelitian dapat diketahui dengan melakukan analisis keragaman seperti tertera pada Tabel 11.

Tabel 11. Analisis keragaman persentase produksi telur burung puyuh (%/ekor/minggu) F tabel sk db jk kt F hitumg 0,05 0,01 Perlakuan 4 140,69 35,17 1,24tn 3,06 4,89 Galat 15 425,94 28,39 Total 19 566,63 tn : tidak nyata KK : 10,76 %

Berdasarkan hasil analisis keragaman konsumsi ransum diperoleh bahwa pemberian tepung kulit buah terong belanda fermentasi Aspergillus niger tidak berpengaruh nyata (p>0,05) terhadap persentase produksi telur. Persentase produksi telur yang tidak nyata didukung oleh hasil konsumsi yang tidak nyata pula. Konsumsi yang meningkat akan meningkatkan jumlah telur dimana ransum yang dikonsumsi juga harus baik nilai dan zat gizinya, karena zat gizi yang ada di dalam ransum sangat diperlukan bukan hanya untuk pertumbuhan dan reproduksi tetapi juga untuk produksi. Hal ini didukung oleh Tillman (1983) yang

(34)

mengatakan bahwa untuk pertumbuhan, produksi, reproduksi dan hidup pokok hewan memerlukan zat gizi.

Berat telur

Untuk mengetahui pengaruh pemberian berbagai level tepung kulit buah terong belanda fermentasi Aspergillus niger terhadap berat telur burung puyuh (Coturnix-coturnix japonica) selama penelitian dapat diketahui dengan melakukan analisis keragaman seperti tertera pada Tabel 12.

Tabel 12. Analisis keragaman berat telur burung puyuh (g/butir/minggu)

F tabel sk db jk kt F hitumg 0,05 0,01 Perlakuan 4 0,46 0,12 2,4tn 3,06 4,89 Galat 15 0,77 0,05 Total 19 1,23 tn : tidak nyata KK : 2,24%

Berdasarkan hasil analisis keragaman berat telur diperoleh bahwa pemberian tepung kulit buah terong belanda fermentasi Aspergillus niger tidak berpengaruh nyata (p>0,05) terhadap berat telur. Hal ini disebabkan karena jumlah ransum yang dikonsumsi dan kandungan nutrisi dalam ransum T0,T1,T2, hampir sama dan tidak jauh berbeda dengan T3 dan T4. Anggorodi (1985) menyatakan bahwa besarnya telur dipengaruhi oleh ransum, didukung oleh Listyowati dan Roospitasari (2005) yang menyatakan bahwa jumlah ransum sangat mempengaruhi bobot telur dimana jumlah protein yang sedikit juga menyebabkan kecilnya kuning telur yang dihasilkan, selain itu bobot telur juga dipengaruhi oleh masa bertelur dan umur induk.

Konversi ransum

Untuk mengetahui pengaruh pemberian berbagai level tepung kulit buah terong belanda fermentasi Aspergillus niger terhadap konversi ransum burung

(35)

puyuh (Coturnix-coturnix japonica) selama penelitian dapat diketahui dengan melakukan analilsis keragaman seperti tertera pada Tabel 13.

Tabel 13. Analisis keragaman konversi ransum burung puyuh (g/ekor/minggu)

F tabel sk db jk kt F hitumg 0,05 0,01 Perlakuan 4 0,6 0,15 1,5tn 3,06 4,89 Galat 15 1,53 0,10 Total 19 2,13 tn : tidak nyata KK : 18 %

Berdasarkan hasil analisis keragaman konsumsi ransum diperoleh bahwa pemberian tepung kulit buah terong belanda fermentasi Aspergillus niger tidak berpengaruh nyata (p>0,05) terhadap konversi ransum.Dari data rataan konversi ransum diperoleh konversi ransum antara 1,45-1,97. hal ini menunjukkan bahwa angka konversi ransum rendah yang berarti tingkat efisiensi penggunaan ransum efisien dan ekonomis. Hal ini sesuai dengan pernyataan Lestari (1992) yang menyatakan bahwa angka konversi ransum menunjukkan tingkat efisiensi penggunaan ransum dimana angaka konversi ransum yang semakin besar maka penggunaan ransum kurang ekonomis.

(36)

Rekapitulasi hasil penelitian

Dari hasil penelitian yang dilakukan maka hasil rekapitulasinya dapat dilihat pada Tabel 14.

Tabel 14. Rekapitulasi konsumsi ransum, produksi telur, berat telur, konversi dan ransum.

Perlakuan konsumsi ransum (g/e/minggu) persentase produksi telur (%/e/minggu) berat telur (g/e/minggu) konversi ransum T0 T2 T2 T3 T4 242,18tn 239,50 tn 244,75 tn 238,29 tn 235,29 tn 47,25 tn 52,14 tn 50,62 tn 45,51 tn 51,94tn 9,67 tn 9,94 tn 9,61 tn 9,91 tn 9,97tn 1,76 tn 1,67 tn 1,97 tn 1,80 tn 1,45tn

Dari rekapitulasi hasil penelitian menunjukkan bahwa pemberian tepung kulit buah terong belanda dalam ransum tidak berpengaruh nyata (P>0,05) terhadap konsumsi ransum, produksi telur, berat telur, dan konversi ransum burung puyuh (Coturnix-coturnix japonica).

(37)

KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan

Pemanfaatan kulit buah terong belanda (Ciphomandra betacea) fermentasi Aspergillus niger sampai level 12% tidak mempengaruhi konsumsi ransum, persentase produksi telur, berat telur, dan konversi ransum burung puyuh (Coturnix-coturnix japonica).

Saran

Penggunaan tepung kulit buah terong belanda (Ciphomandra betacea) fermentasi Aspergillus niger sampai level 12% dapat digunakan dalam ransum burung puyuh (Coturnix-coturnix japonica).

(38)

DAFTAR PUSTAKA

Anah, L dan T. Lindajati. 1987. Peningkatan Kadar Protein Onggok Dengan Cara Fermentasi Media Padat. Proceeding Seminar Nasional Peternakan dan Veternier, Bogor.

Anggorodi, H.R. 1995. Ilmu Makanan Ternak Unggas. Gramedia, Jakarta. Anggorodi, H.R. 1979. Ilmu Makanan Ternak Umum. Gramedia, Jakarta.

Departemen Kesehatan R.I. 1989. Daftar Komposisi Bahan Makanan Bhratara Karya Aksara.

Fardiaz, S. 1987. Fisiologi Fermentasi. Pusat Antar Universitas IPB, Bogor.

Fardiaz, S. 1989. Mikrobiologi Pangan. Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi Pusat Antar Universitas IPB, Bogor.

Hanafiah . K. 2000. Rancangan Percobaan Untuk Pertanian. Fakultas Pertanian. Universitas Sriwijaya. Palembang

Hardjo, S, N.S. Indrasti dan B. Tajuddin. 1989. Biokenveksi Pemanfaatan Limbah Industri Pertanian. Pusat Antar Universitas Pangan dan Gizi IPB, Bogor. Hardjosworo, P.S. 1992. Berternak Puyuh. Fakultas Peternakan IPB, Bogor. Imamuddin, H. 1987. Trubus No.210 Tahun XVIII, Buah Langka Terong Belanda

Buah Para Sinyo, Zaman Belanda, Puslitbang Biologi, LIPI. Junaedi . M. 2002. Burung Puyuh . UNDIP. Semarang

Lehninger, W. W. 1991. Dasar-Dasar Biokimia 1. Erlangga, Jakarta. Lestari, 1992. Menentukan Bibit Broiler. Peternakan Indonesia.

Listiyowati, E dan K. Roospitasari. 2000. Puyuh Tata Laksana Budisaya Secara Komersial. Penebar Swadaya, Jakarta.

Murtidjo, B.A. 1992. Mengelola Ayam Buras. Kanisius, Yogyakarta.

Murtidjo, B.A. 1996. Pedoman Meramu Pakan Unggas. Kanisius, Yogyakarta. Murata, K.H, I.Y. Edani and K. Koyanagi. 1967. Studieson The Nutritional Value of Tempeh. Food and Nutrition laboratory. Faculty of Sciene of Living. Osaka City University. Japan

Nugroho dan I.Gst.K.Mayun. 1986. Berternak Burung Puyuh. Eka Offset, Semarang.

(39)

National Research Council. 1977. Nutrient Requirement of Poultry National Academy of Science, Washington.

Parakasi, A. 1983. Ilmu Gizi dan Makanan Ternak Monogastrik, Angkasa Bandung, Bandung

Randall. 1986. Raising Japanesse Quail Departement of Agriculture, New South Wales

Rasyaf, M. 1983. Memelihara Burung Puyuh. Kanisius, Yogyakarta. Rasyaf, M. 1984. Memelihara Burung Puyuh. Kanisius, Yogyakarta. Sarwono, B. 1993. Beternak Ayan Buras. Penebar Swadaya, Jakarta.

Soetasad A.A dan S. Muryanti. 1995. Budidaya Terung Lokal dan Terung Jepang, Penebar Swadaya, Jakarta.

Sungguh, A. 1993. Kamus Lengkap Biologi. Gaya Media Pratama, Jakarta.

Tarigan, P dan A.P. Siregar. 1983. Pemeliharaan Burung Puyuh. Direktorat Bina Produksi Peternakan, Jakarta.

Tillman, A.D, H. Hartadi, S. Reksohadiprodjo, S. Prawirokusumo dan S. Lebdosoekojo. 1983. Ilmu Makanan Ternak Dasar. Gajah Mada University Press, Ygyakarta.

Wahyu, Y. 1992. Ilmu Nutrisi Unggas. Gajah Mada University Press, Yogyakarta.

Yasin. S. 1988. Seluk Beluk Peternakan Sebuah Bunga Rampai. Anugrah Karya, Jakarta

Yuniah, Y. 1996. Pengaruh Fermentasi Biji Sorgum Coklat dengan Aspergillus niger, Aspergillus oryzae dan Rhizopous oryzae Terhadap Perubahan Kmposisi Zat-Zat Makanan. Skripsi Fapet IPB, Bogor.

(40)

Lampiran 1. Analisa proksimat tepung kulit buah terong belanda (Cyphomandra betacea) Kandungan bahan % Kadar air Bahan kering Kadar abu Serat kasar Protein kasar Kadar lemak EM* 10,58 89,41 8,8 21,87 4,34 7,53 2710,08 Sumber : Analisa laboratorium Nutrisi Ternak, USU (2007)

Analisa laboratorium Nutrisi Ternak, IPB (2007)*

Lampiran 2. Analisa proksimat tepung kulit buah terong belanda (Cyphomandra betacea) fermentasi (Aspergillus niger)

Kandungan bahan % Kadar air Bahan kering Kadar abu Serat kasar Protein kasar Kadar lemak ME* 8,56 91,44 9,92 10,48 13,92 8,28 2887,2 Sumber : Analisa laboratorium Nutrisi Ternak, USU (2007) Analisa laboratorium Nutrisi Ternak, IPB (2007)*

(41)

Lampiran 3. Pengolahan Tepung Kulit Buah Terong Belanda (Cyphomandra betacea) Fermentasi Aspergillus niger

Kulit buah terong belanda Dipotong kecil

Dikeringkan dengan oven dengan suhu 60 0C selama 24 jam Digiling halus

Tepung kulit buah terong belanda Dicampur dengan air perbandingan 1:2 Direbus selama 30 menit dengan suhu 100 oC Didinginkan, dicampur dengan urea sebanyak 2%

Dicampur dengan gula merah sebayak 2%

Setelah merata dicampur dengan Aspergillus niger sebanyak 2% Diperam selama 4 hari

Dioven selama 1 hari dengan suhu 60 0C Digiling

Tepung kulit buah terong belanda fermentasi

(42)

Lampiran 4. Kandungan nutrisi bahan pakan Bahan pakan EM (Kkal/kg) Protein kasar (%) Lemak (%) SK (%) Jagung kuning Bungkil kelapa Dedak halus Tepung ikan Bungkil k. kedelai TKBTBF * Kapur Minyak nabati Top mix 3370 1540 1630 3080 2240 2887,2 8600 8,6 21 12 61 45 13,92 3,9 1,8 13 9 0,9 8,27 100 2 15 12 1 6 10,42

* Tepung kulit buah terong belanda fermentasi

Lampiran 5. Formulasi ransum puyuh periode layer (%)

Bahan pakan T0 T1 T2 T3 T4 Jagung kuning Bungkil kelapa Dedak halus Tepung ikan Bungkil k. kedelai TKBTBF * Minyak nabati Kapur Top mix 44 10,4 15,5 5,1 21 0 1 1 2 42,4 11 14,5 5,1 20 3 1 1 2 40 11 13,9 5,1 20 6 1 1 2 38,5 12 12,4 5,1 19 9 1 1 2 36,4 13 10,5 5,1 19 12 1 1 2 * Tepung kulit buah terong belanda fermentasi

Lampiran 6. Kandungan nutrisi ransum puyuh periode layer

Bahan pakan T0 T1 T2 T3 T4 Protein (%) Energi (Kkal/kg) SK(%) Lemak(%) Ca(%) P(%) 20,39 2609,09 5,61 5,56 0,74 0,96 20,22 2612,33 5,80 5,62 0,39 0,93 20,36 2608,28 5,99 5,70 0,39 0,92 20,23 2612,90 6,18 5,70 0,39 0,89 20,45 2613,17 6,38 5,64 0,39 0,86

(43)

Lampiran 7.Konsumsi ransum burung puyuh (g/ekor/minggu)

perlakuan minggu total rataan

1 2 3 4 5 6 7 T01 T02 T03 T04 T11 T12 T13 T14 T21 T22 T23 T24 T31 T32 T33 T34 T41 T42 T43 T44 234 200 182 185 208 242 220 196 172 186 240 226 236 220 200 210 276 230 234 232 270 208 221 240 244 274 250 227 265 256 287 289 221 232 241 208 188 281 251 228 240 216 280 265 256 263 234 270 220 280 215 246 226 222 238 250 245 186 183 234 256 256 246 272 270 262 210 200 200 230 250 260 235 220 270 220 220 220 190 230 220 260 250 230 266 245 250 229 232 229 230 260 200 255 198 290 206 246 218 280 270 270 220 280 210 220 200 240 290 280 240 250 280 280 250 260 240 230 290 270 270 280 210 250 220 290 270 240 230 260 260 270 230 280 250 250 260 260 230 230 1760 1690 1609 1722 1674 1796 1634 1602 1609 1721 1722 1801 1628 1709 1647 1688 1653 1653 1596 1704 251,43 241,43 229,86 246,00 239,14 256,57 233,43 228,86 229,86 245,86 246,00 257,29 232,57 244,14 235,29 241,14 233,57 236,14 228,00 243,43

Lampiran 8. Rataan Konsumsi ransum burung puyuh (g/ekor/minggu)

perlakuan ulangan total rataan+sd

1 2 3 4 T0 T1 T2 T3 T4 251,43 239,14 229,86 232,57 233,57 241,43 256,57 245,86 244,14 236,14 229,86 233,43 246,00 235,29 228,00 246,00 228,86 257,29 241,14 243,43 968,72 958,00 979,01 953,14 941,14 242,18 + 9,17 239,50 +12,13 244,75 +11,28 238,29 + 5,29 235,29 + 6,41 total 4800,01 rataan 240,00 + 8,87

(44)

Lampiran 9.Persentase produksi telur burung puyuh (%/ekor/minggu)

perlakuan minggu total rataan

1 2 3 4 5 6 7 T01 T02 T03 T04 T11 T12 T13 T14 T21 T22 T23 T24 T31 T32 T33 T34 T41 T42 T43 T44 28,57 22,86 17,14 31,43 20,00 22,86 22,86 28,57 37,14 11,43 8,57 31,43 17,14 20,00 37,14 22,86 28,57 37,14 25,71 42,86 37,14 34,29 22,86 45,71 48,57 40,00 25,71 42,86 57,14 25,71 42,86 31,43 37,14 22,86 45,71 37,14 25,71 37,14 34,29 40,00 62,86 65,71 34,29 57,14 57,14 71,43 54,29 57,14 82,86 51,43 62,86 40,00 34,29 34,29 37,14 40,00 65,71 60,00 45,71 68,57 68,57 37,14 48,57 62,86 85,71 80,00 71,43 48,57 71,43 57,14 74,29 48,57 60,00 45,71 68,57 37,14 65,71 68,71 62,86 45,71 68,57 65,71 54,29 68,57 82,86 71,43 57,14 62,86 71,43 60,00 60,00 54,29 62,86 54,29 57,14 62,86 57,14 71,43 71,43 71,43 42,86 48,57 60,00 51,43 51,43 54,29 57,14 54,29 51,43 54,29 60,00 45,71 54,29 57,14 54,29 60,00 57,14 62,86 57,14 62,86 51,49 42,86 48,57 42,86 54,29 42,86 45,71 48,57 51,49 48,57 74,28 51,49 60,00 48,57 54,29 51,49 45,71 45,71 51,49 45,71 360,06 317,14 285,72 360,00 400,00 382,87 334,28 342,86 422,92 308,57 382,86 302,92 325,72 282,86 354,28 311,49 345,69 382,99 348,63 377,14 51,43 45,31 40,82 51,43 57,14 54,69 47,75 48,98 60,42 44,08 54,69 43,27 46,53 40,41 50,61 44,49 49,38 54,71 49,80 53,88

Lampiran 10. Rataan persentase produksi telur burung puyuh (%/ekor/minggu)

perlakuan ulangan total rataan+sd

1 2 3 4 T0 T1 T2 T3 T4 51,43 57,14 60,42 46,53 49,38 45,31 54,69 44,08 40,41 54,71 40,82 47,75 54,69 50,61 49,80 51,43 48,98 43,27 44,49 53,88 188,99 208,56 202,46 182,04 207,77 47,25 + 5,17 52,14 + 4,50 50,62 + 8,35 45,51 + 4,25 51,94 + 2,74 total 989,82 rataan 49,49 + 5,00

(45)

Lampiran 11. Berat telur burung puyuh (g/ekor/minggu)

perlakuan minggu total rataan

1 2 3 4 5 6 7 T01 T02 T03 T04 T11 T12 T13 T14 T21 T22 T23 T24 T31 T32 T33 T34 T41 T42 T43 T44 60 70 45 100 50 50 65 55 125 25 25 100 60 60 115 40 90 110 80 130 120 110 75 160 160 140 90 145 210 90 140 110 130 80 175 110 90 135 120 140 220 230 120 195 205 240 230 200 240 170 220 145 110 120 135 140 230 210 150 230 240 165 160 220 285 260 245 165 225 195 215 165 210 160 240 140 230 240 220 160 240 230 180 240 290 240 190 250 250 210 180 195 220 190 200 230 200 250 250 255 145 165 215 160 185 190 200 205 180 200 225 160 155 205 210 230 210 220 215 200 185 150 175 150 200 190 165 185 180 170 220 180 220 180 205 155 160 175 200 175 1210 1120 970 1225 1375 130 1185 1205 1410 1060 1225 1055 1105 995 1280 1045 1210 1340 1235 1290 9,60 9,66 9,70 9,72 9,82 9,78 10,13 10,04 9,53 9,81 9,14 9,95 9,69 10,05 10,32 9,59 10,00 10,00 10,12 9,77

Lampiran 12. Jumlah telur burung puyuh selama penelitian

perlakuan minggu 1 2 3 4 5 6 7 T01 T02 T03 T04 T11 T12 T13 T14 T21 T22 T23 T24 T31 T32 T33 T34 T41 T42 T43 T44 10 8 6 11 7 8 8 10 13 4 3 11 6 7 13 8 10 13 9 15 13 12 8 16 17 14 9 15 20 9 15 11 13 8 16 13 9 13 12 14 22 23 12 20 20 25 19 20 29 18 22 14 12 12 13 14 23 21 16 24 24 13 17 22 30 28 25 17 25 20 26 17 21 16 24 13 23 24 22 16 24 23 19 24 29 25 20 22 25 21 21 19 22 19 20 22 20 25 25 25 15 17 21 15 18 19 20 19 18 19 21 16 19 20 19 21 20 22 20 22 18 15 17 15 19 15 16 17 18 17 26 18 21 17 19 18 16 16 18 16

(46)

Lampiran 13. Rataan berat telur burung puyuh (g/ekor/minggu)

perlakuan ulangan total rataan+sd

1 2 3 4 T0 T1 T2 T3 T4 9,60 9,82 9,53 9,69 10,00 9,66 9,78 9,81 10,05 10,00 9,70 10,13 9,14 10,32 10,12 9,72 10,04 9,95 9,59 9,77 38,68 39,77 38,43 39,65 39,89 9,67 + 0,05 9,94 + 0,17 9,61 + 0,35 9,91 + 0,33 9,97 + 0,14 total 196,42 rataan 9,82 + 0,21

Lampiran 14.Konvesi ransum burung puyuh

perlakuan minggu total rataan

1 2 3 4 5 6 7 T01 T02 T03 T04 T11 T12 T13 T14 T21 T22 T23 T24 T31 T32 T33 T34 T41 T42 T43 T44 3,90 2,86 4,04 1,85 4,16 4,84 3,38 3,56 1,38 7,44 9,60 2,26 3,93 3,67 1,74 5,25 3,07 2,09 2,93 1,78 2,25 1,89 2,95 1,50 1,53 1,96 2,78 1,57 1,26 2,84 2,05 2,63 1,70 2,90 1,38 1,89 2,09 2,08 2,09 1,63 1,09 0,94 2,33 1,36 1,25 1,09 1,02 1,35 0,92 1,65 0,98 1,69 2,05 1,85 1,76 1,79 1,07 0,89 1,22 1,02 1,07 1,53 1,54 1,24 0,95 1,00 0,86 1,21 0,89 1,18 1,16 1,58 1,12 1,38 1,13 1,57 0,96 0,92 0,86 1,44 0,92 1,13 1,39 0,96 0,92 1,02 1,32 0,92 0,93 1,09 1,28 1,33 0,91 1,34 0,99 1,26 1,03 0,98 0,87 1,09 1,86 1,64 1,02 1,75 1,14 1,16 1,00 1,17 1,61 1,40 1,07 1,56 1,81 1,37 1,19 1,13 1,14 1,05 1,35 1,35 1,46 1,87 1,20 1,67 1,10 1,53 1,64 1,29 1,28 1,53 1,18 1,50 1,05 1,56 1,22 1,61 1,63 1,49 1,15 1,31 12,55 11,86 14,47 10,33 11,05 12,60 12,00 11,07 8,27 17,13 17,32 12,55 12,57 14,07 9,41 14,50 10,99 9,50 10,47 9,62 1,79 1,69 2,07 1,48 1,58 1,80 1,71 1,58 1,18 2,45 2,47 1,79 1,79 2,01 1,34 2,07 1,57 1,36 1,49 1,37

Lampiran 15. Rataan Koversi ransum burung puyuh

perlakuan ulangan total rataan+sd

1 2 3 4 T0 T1 T2 T3 T4 1,79 1,58 1,18 1,79 1,57 1,69 1,80 2,45 2,01 1,36 2,07 1,71 2,47 1,34 1,49 1,48 1,58 1,79 2,07 1,37 7,03 6,67 7,89 7,21 5,79 1,76 + 0,25 1,67 + 0,11 1,97 + 0,62 1,80 + 0,83 1,45 + 0,10 total 34,59 rataan 1,73 + 0,38

(47)

Gambar

Tabel 2. Kebutuhan nutrisi burung puyuh
Tabel 3.Komposisi ransum burung puyuh
Tabel 6. Rataan konsumsi ransum burung puyuh selama penelitian
Tabel 7.Rataan persentase produksi telur  burung puyuh selama penelitian                (%/ekor/minggu)  perlakuan rataan  sd  T0  T1  T2  T3  T4  47,25  52,14  50,62  45,51  51,94   5,17 4,50 8,35 4,25 2,74
+5

Referensi

Dokumen terkait