• Tidak ada hasil yang ditemukan

Dinamika Politik "Keterwakilan" di Babel

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Dinamika Politik "Keterwakilan" di Babel"

Copied!
10
0
0

Teks penuh

(1)

A. Prolog: Apa yang dipersoalkan?

Menjelang Pemilihan Umum Kepada Daer-ah (Pemilukada) Gubernur dan Wakil Gubernur di Bangka Belitung (Babel) tahun 2017, kita menyaksikan bagaimana proses pencarian kandi-dat yang kemungkinan berkompetisi mulai dita-mpilkan di media-media lokal. Tiga hari yang lalu, Hidayat Arsani1 dengan percaya diri

men-gusulkan sejumlah nama seperti Andrea Hirata2

dan Darmansyah Husein3 untuk

mendampingin-ya sebagai calon wakil gubernur di tahun 2017

1 Wakil Gubernur Babel Periode 2012-2017. Menurut ren-cana, Hidayat Arsani akan mencoba peruntungannya kem-bali dalam memperebutkan jabatan gubernur Babel di Pemilukada 2017. Saat ini, Hidayat Arsani merupakan Ket-ua Dewan Pengurus Daerah (DPD) Partai Golongan Karya (Golkar) di Babel.

2 Andrea Hirata merupakan seorang seniman sekaligus penu-lis novel dari kalangan terdidik yang berhasil menjadikan wisata di Pulau Belitung begitu populer jika dibandingkan dengan wisata di Pulau Bangka. Berkat karyanya melalui novel tetralogi Laskar Pelangi, publik nasional dan inter-nasional lebih mengenal Belitung dibandingkan dengan Bangka untuk menikmati spot-spot wisata yang ditawar-kan oleh kedua pulau ini. Terkait dengan munculnya nama ini—terlepas diterima atau tidak tawaran dari Hidayat Ar-sani—kita harus mengabaikan latarbelakang sosiologis dari aspek demografi seperti usia dan profesi. Hal yang tidak boleh kita abaikan terkait dengan latarbelakang kedaerahan yang melekat dari masing-masing calon kandidat. Seperti yang terlihat dibagian selanjutnya nanti, aspek kedaerahan ternyata tidak bisa diremehkan dalam hal proses kandidasi di Pemilukada Gubernur dan Wakil Gubernur Babel. Bah-kan menjadi faktor penting untuk dipertimbangBah-kan (catatan pribadi).

3 Darmansyah Husein merupakan politisi Partai Amanat Na-sional (PAN) Babel yang pernah menduduki jabatan bupati Belitung periode 2008-2013. Di tahun 2012 mencalonkan sebagai wakil gubernur Babel yang berpasangan dengan Zu-lkarnain Karim.

nanti (Bangkapos, 25/2/2016). Sebelumnya, Rustam Efendi4 juga mulai berani

mengungkap-kan keinginannya agar didampingi oleh Yusroni Yazid5 sebagai calon wakilnya di Pemilukada

2017 yang akan datang(Bangkapos, 2/2/2016). Meskipun peristiwa ini masih terlalu dini untuk disimpulkan, keikutsertaan beberapa figur yang disebutkan tadi—tak menutup kemungk-inan sejumlah nama lainnya juga akan muncul seiring perkembangan isu-isu politik kontempo-rer— semakin menarik untuk diikuti. Oleh kare-nanya, masih sangat memungkinkan peta politik yang muncul saat ini bergeser sesuai dengan ke-butuhan dan konsumsi politik yang berkembang. Meski demikian, paling tidak, ada kecend-erungan utama yang akan mewarnai kontestasi politik di tahun 2017 ini, yakni: monopoli isu-isu kedaerahan yang dianggap sebuah kebutuhan rill karena paling mewakili kedaerahan antara Putra Daerah Pulau Bangka-Putra Daerah Pulau Be-litung.

Sebagai sebuah provinsi yang memang se-cara spasial ditakdirkan untuk terpisah oleh da-ratan dua pulau yang besar, keterwakilan

kekua-4 Gubernur Babel Periode 2012-2017 dipastikan oleh Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) Babel kembali bertarung di Pemilukada Babel 2017 setelah mendapat restu dari Megawati Soekarno Putri selaku Ketua Umum PDIP. Selain memiliki status sebagai Ketua DPD PDIP Babel, Rustam Efendi juga berstatus gubernur incumbent. Ber-dasarkan dua status strategis tadi, tentu saja memberikan kemudahan bagi Rustam untuk mendapatkan tiket resmi pencalonan dari Megawati Soekarno Putri (catatan pribadi). 5 Bupati Kabupaten Bangka periode 2007-2012 yang seka-ligus merupakan politisi dari Partai Persatuan Pembangunan (PPP) Babel.

DINAMIKA POLITIK“KETERWAKILAN”DI BABEL:

Studi Awal Pemilukada Gubernur Bangka BelitungTahun 2017

(2)

tan-kekuatan politik yang dimanifestasikan dengan kewajiban “Putra Daerah” harus dita-mpilkan merupakan kenyataan politik yang tidak bisa dihindarkan. Alasannya, agar aspirasi politik dan pembangunan di Provinsi Kepulauan Bang-ka Belitung bisa dilaksanaBang-kan secara maksimal dan merata (tanpa ketimpangan) sehingga diper-lukan adanya keterwakilan dari “Putra Daerah”di kedua pulau ini.

Benarkah demikian?Perlu ditekankan disini, sebagai sebuah provinsi yang diatur secara kon-stitusional, dugaan-dugaan yang dijadikan dalih pembenar pentingnya bermain di isu-isu kedaer-ahan ini merupakan jawaban yang menyesat-kan seperti yang digelisahmenyesat-kan oleh Agus Badaw (Bangkapos, 27/2/2016). Boleh jadi, munculnya segmentasi kedaerahan merupakan cara paling jitu untuk menyembunyikan kelemahan dari mas-ing-masing politisi terkait agenda menyelamat-kan Babel dari ancaman kemiskinan, kerusamenyelamat-kan lingkungan, minimnya akses lapangan pekerjaan, pelayanan kesehatan, banjir dan lain-lain. Seh-ingga, kebutuhan bagi masyarakat Babel untuk mendapatkan kualitas kehidupan yang lebih baik secara sadar dikalahkan dengan isu kedaerahan— menurut dugaan saya—yang tidak memberikan manfaat apapun bagi masyarakat luas. Oleh kare-nanya, tulisan singkat ini mencoba untuk meng-gugat pengarus utamaan isu kedaerahan di atas isu kemiskinan, banjir, kerusakan lingkungan dan lain sebagainya.

B. Realitas Politik BerbasisPrimordialdi Ba-bel: Sebuah Catatan Masa Lalu dan Kini Untuk melihat kenyataan politik yang bekerja di garis-garis sentimen primordial (ke-daerahaan) di Babel, saya sengaja menggunakan data-data agregat berdasarkan pengalaman di be-berapa Pemilihan Umum (Pemilu)—baik ketika Babel masih menjadi bagian dari Provinsi

Suma-tera Bagian Selatan (Sumbagsel), SumaSuma-tera Se-latan (Sumsel), hingga menjadi sebuah Provinsi Baru di tahun 2000—untuk menjelaskan terben-tuknya struktur politik yang berbasis primordial.

Mencermati hasil Pemilu di tahun 1955, perolehan suara Partai Baperki6 sejumlah 8%

disumbang oleh masyarakat di Babel merupa-kan prestasi yang gilang gemilang dan perolehan suara tertinggi dari partai ini jika dibandingkan dengan wilayah-wilayah lainnya di seluruh Indo-nesia (Evans, 2003; Ranto, 2014).

Selanjutnya, di Pemilu Legislatif (Pileg) ta-hun 1999, perolehan suara Partai Bulan Bintang (PBB)7 di Pulau Belitung sejumlah 11% (pers

-en)—melampaui perolehan PDIP dan Golkar, dan Partai Pilar yang mendapatkan dukungan politik dengan angka 5% dari Pulau Belitung—padahal secara nasional Partai Pilar hanya berhasil meng-umpulkan suara sejumlah 0,04% atau 40.000 su -ara sec-ara nasional (Evans, 2003; Ranto, 2014).

Berdasarkan dua catatan politik yang telah disebutkan, paling tidak telah memberikan pen-jelasan awal—sekaligus menegaskan—bekerjan-ya politik priomordial di Babel berdasarkan basis kedaerahan (Ranto, 2014). Dari dua pengalaman pemilu yang bersejarah ini kemudian dijadikan

6 Partai Baperki merupakan partai politik yang digawangi oleh politisi dari kalangan Tionghoa di Indonesia.

7 Seperti yang diketahui, di tahun 1998, Yusril Ihza Mahen -dra beserta rekannya mendidirikan partai politik ini. PBB memang telah lama dipersiapkan untuk menjadi sebuah par-tai politik sebelum eforia reformasi bergulir. Untuk melihat perjalanan PBB menuju partai politik di era reformasi dapat dilihat dalam buku yang disusun oleh Hairus Salim HS dkk yang bejudul: “Tujuh Mesin Pendulang Suara: Perkenalan, Prediksi, Harapan Pemilu 1999”, LKIS, Yogyakarta, 1999. Hadirnya sosok Yusril di PBB tentu menjadi magnet dukun-gan bagi pemilih di Babel, secara khusus di Pulau Belitung. Begitu juga dengan Partai Pilar. Partai Pilar secara struktur didominasi oleh putra -putra daerah dari Babel dikepengeru-san partai. Tentu saja, banyaknya putra daerah asal Babel di Partai Pilar menjadikan partai ini lebih populer di Babel jika dibandingkan dengan daerah lainnya di seluruh Indonesia (PLOD UGM, 2004; Ranto, 2014)

(3)

sebagai landasan awal untuk melihat peta kekua-tan politik yang ada di Babel seperti yang terlihat dibagian selanjutnya.

Kalau di Pemilu 1955 dan Pemilu 1999— disebut sebagai rezim partai politik8— telah menunjukkan bekerjanya sentimen primordial di Babel tentu saja masih perlu diuji kembali kes-ahihannya. Boleh jadi, bekerjanya sentimen pri-mordial di era ini karena disebabkan keterbatasan akses pilihan-pilihan politik yang ada. Atau, bisa juga karena masyarakat di Babel masih “miskin” informasi untuk menilai kinerja partai politik yang terpaksaharusmereka pilih.

Untuk menyempurnakan jawaban atas bekerjanya garis-garis politik berbasis primor-dial, mau tak mau, kita harus melihat peta-peta politik yang telah dihasilkan oleh model pemili-han untuk legislatif dan eksekutif dalam sistem terbuka (liberal) yang dimulai sejak Pileg 2004, Pemilukada Gubenur 2007, Pileg 2009 dan Pemilukada 2012. Sebagai permulaan, saya akan mengawalinya dari Pileg untuk DPR, DPD, dan Gubernur.

Tabel 1. Sebaran Perolehan Suara Partai Politik Pada Pileg2004 untuk DPRRI

Sumber:Ranto, 2014

Hasil akhir perolehan suara di Pileg 2004 mengantarkan politisi dari kalangan Pulau Bang-ka untuk memperoleh dua kursi, yakni Azhar

8 Pemilihan kata “rezim partai politik” disini hanya untuk menjelaskan bagaimana proses keterwakilan anggota De-wan Perwakilan Rakyat (DPR) masih domain keputusan partai politik, sehingga perolehan suara kandidat sama seka-li tidak ada dan tidak diperhitungkan. Di Pileg 2004

Ramli (Azhar) dari Golkar, dan Rudianto Tjen dari PDIP. Sedangkan terpilihnya Yusron Ihza Mahendera (Yusron) dari PBB yang berasal dari Pulau Belitung seakan melengkapi keterwakilan proporsionalitas struktur sosial di Babel.

Jika dilihat komposisi perolehan suara mas-ing-masing politisi, suara terbanyak pertama di-peroleh oleh Yusron sejumlah 63.137 suara. Per-olehan suara Yusron ini cukup didominasi dari wilayah Pulau Belitung. Kemudian disusul oleh Azhar sebanyak 24.284 suara yang sebaran su -aranya mayoritas didapatkan dari Pulau Bangka. Dan, di urutan ke tiga, diperoleholehRudiantoT-jen sebanyak 18.604 suara sudah mulai terlihat bagaimana domain partai politik dalam menen-tukan calon anggota legislatif terpilih sedikit melemah meskipun masih diikat dengan sistem nomer urut. Berbeda dengan pemilu-pemilu se-lanjutnya seperti Pileg 2009 dan Pileg 2014 un-tuk pemilihan anggota DPR/DPRD Provinsi/Ka-bupaten/Kota berdasarkan suara terbanyak yang didapatkan oleh kandidat yang dukungan politi-knya didapatkan dari sumbangan pemilih di Pu-lau Bangka. Hasil Pileg 2004 menegaskan masih kuatnya pertarungan politisi antara Pulau Bangka dan Pulau Belitung dalam percaturan politik di Babel (Ranto, 2014). Lalu bagaimana dengan Pi-leg 2009?

Tabel2. Sebaran Perolehan Suara Politisiun-tuk DPRdi Babel pada Pileg 2009

Sumber: Komisi Pemilihan Umum (KPU), Pemi-lu 2009 Dalam Angka yang dikutip Ranto,(2014).

(4)

Tabel 2 memberikan informasi total jumlah perolahan suara sah sejumlah 459.227 suara. Ke tiga partai peserta Pileg 2009 yang berhasil mer-aup perolehan suara tertinggi diraih oleh PDIP, Golkar, dan Partai Demokrat (PD). Perolehan su-ara ketiga partai tadijika digabungkan berjumlah 251.710 atau lebih dari 50 persendari total jumlah suara sah. Artinya, sejumlah 50 persen pemilih di Dapil Babel mempercayakan aspirasi politiknya kepada ke tiga partai ini(Ranto, 2014).

Secara rinci, Ranto (2014) mencatat per-olehan suara politisi yang terpilih berikut ini: Pertama,Rudianto Tjen mendapatkan suaranya berikut ini: Dapil 1 Babel (Pangkalpinang) 5.740 suara, Dapil 2 Babel (Bangka) 22.166, Dapil 3 Ba-bel (Bangka Tengah) 8.246, Dapil 4 BaBa-bel (Bang -ka Barat) 7.562, Dapil 5 Babel (Bang-ka Selatan) 5.868, Dapil 6 Babel (Belitung—2.372—dan Be -litung Timur—1.175); kedua, Ahok mendapat-kan suaranya tersebar di beberapa daerah seperti: Dapil 1 Babel (Pangkalpinang) 3.327 suara, Dapil 2 Babel (Bangka) 2.149, Dapil 3 Babel (Bangka Tengah) 2.674, Dapil 4 Babel (Bangka Barat) 1.496, Dapil 5 Babel (Bangka Selatan) 2.128, Dapil 6 Babel (Belitung—6.714—dan Belitung Timur—16.928). ketiga, perolehan dukungan untuk Paiman tersebar berikut ini: Dapil 1 Ba-bel (Pangkalpinang) 2.136 suara, Dapil 2 BaBa-bel (Bangka) 4.430, Dapil 3 Babel (Bangka Tengah) 984, Dapil 4 Babel (Bangka Barat) 1.728, Dapil 5 Babel (Bangka Selatan) 2.183, Dapil 6 Babel (Belitung—1.050—dan Belitung Timur—220).

Dari tiga kouta kursi yang diperebutkan diDapilBabeluntuk DPR misalnya, dua kursi di-peroleh oleh politisi asal Pulau Bangka, yakni Rudianto Tjen (Tjen) politisi PDIPdan Paiman dari Partai Demokrat. Sedangkan dari Pulau Belitung diwakili oleh Basuki Tjahya Purnama (Ahok)yang merupakan politisiGolkarketika itu. Hasil Pileg 2009 juga mengulangi fenomena di

Pileg 2004 yang menunjukkan ketatnya pertarun-gan bagi politisi yang mewakili Pulau Bangka dan Pulau Belitung (Ranto, 2014).

Berikutnya, bagaimana dengan fenome-na pemilihan sefenome-nator (DPD RI) yang mewakili Babel di Senayan? Apakah pola-pola kekuatan politik yang dihasilkan dari Pileg 2004 dan Pileg 2009 telah mengikuti pembilahan struktur sosial yang diwakili oleh Pulau Bangka dan Pulau Be-litung—seperti yang telah disebutkan tadi?. Atau, arena politik untuk DPD RI ini memberikan war-nastruktur politik yangberbeda?

Berdasarkan hasil Pileg 2004 untuk DPD RI di Babel, dari jatah 4 kursi yang tersedia tel-ah mengantarkan sejumltel-ah politisi seperti Rus-li Rahman (Bangka), Rosman Djohan (Bang-ka), Djamila Somad (Bangka) dan Fajar Fairi (Belitung). Pengalaman di Pileg 2004 nampak bagaimana persaingan politik masih didominasi oleh kandidat yang berasal dari Pulau Bangka.

Selanjutnya, hasil Pileg 2009 untuk arena DPD RI juga memberikan potret politik yang ti-dak berubah diantara politisi dari gugusan Pulau Bangka dan Pulau Belitung. Seperti yang diketa-hui, Pileg 2009 telah mengantarkan Noorhari As-tuti (Bangka), Rosman Djohan (Bangka), Bahar Buasan (Bangka) dan Tellie Gozalie (Belitung). Meski demikian, menyimak sebaran perolehan suara politisi yang terpilih ini cukup penting da-lam menjelaskan bekerjanya politik primordial di Babel.

Untuk lebih jelasnya, catatan akhir perole-han suara masing-masing politisi dapat disimak berikut:9 Pertama, Tellie Gozalie mendapatkan

total suaranya sebanyak 81.613 yang tersebar berikut ini: Dapil 1 Babel (Pangkalpinang) 7.494 suara, Dapil 2 Babel (Bangka) 10.686, Dapil 3 Babel (Bangka Tengah) 5.259, Dapil 4 Babel (Bangka Barat) 7.154, Dapil 5 Babel (Bangka

(5)

latan) 3.198, Dapil 6 Babel (Belitung—23.865— dan Belitung Timur—23.957); kedua, Noorhari Astuti mendapatkan total suaranya dengan angka 65.952 yang tersebar di beberapa daerah seperti: Dapil 1 Babel (Pangkalpinang) 5.732 suara, Dapil 2 Babel (Bangka) 21.496, Dapil 3 Babel (Bang-ka Tengah) 6.946, Dapil 4 Babel (Bang(Bang-ka Barat) 9.974, Dapil 5 Babel (Bangka Selatan) 16.689, Dapil 6 Babel (Belitung—1.727—dan Belitung Timur—3.388). ketiga, perolehan dukungan untuk Rosman Djohan sebanyak 23.175 suara yang mana sebarannya berikut ini: Dapil 1 Ba-bel (Pangkalpinang) 6.033 suara, Dapil 2 BaBa-bel (Bangka) 3.283, Dapil 3 Babel (Bangka Tengah) 7.508, Dapil 4 Babel (Bangka Barat) 1.781, Dapil 5 Babel (Bangka Selatan) 3.552, Dapil 6 Babel (Belitung—305—dan Belitung Timur—713). Keempat, Bahar Buasan mendapatkan total su-aranya sebanyak 21.700 yang tersebar berikut ini: Dapil 1 Babel (Pangkalpinang) 5.754 suara, Dapil 2 Babel (Bangka) 6.069, Dapil 3 Babel (Bangka Tengah) 4.113, Dapil 4 Babel (Bangka Barat) 2.251, Dapil 5 Babel (Bangka Selatan) 1.791, Dapil 6 Babel (Belitung—736—dan Be-litung Timur—986). Berdasarkan catatan sebaran dukungan politik yang didapatkan oleh kandidat, maka dapat disimpulkan bahwa Pileg 2009 untuk DPD RI juga belum berhasil membawa pemilih di Babelkeluar dari jeratan sentimen kedaerahan (Ranto, 2014).

Lalu, bagaimana dengan konstestasi politik di arena eksekutif daerah? Setelah pemberlakuan rekrutmen pemilihan kepala daerah semis-al Gubernur/Wsemis-alikota/Bupati dilakukan secara langsung sejak tahun 2005, maka analisis poli-tik yang berkembang tidak lagi bergantung pada struktur kekuatan partai politik yang ada. Oleh karenanya, mencermati kehadiran kandidat yang berkompetisi menjadi faktor penting untuk men-jelaskan dinamika kekuatan politik di level lokal

seperti Gubernur misalnya.

Berdasarkan dua pengalaman Pemilukada Gubernur secara langsung di tahun 2007 dan 2012 yang lalu memberikan beberapa catatan khusus terkait dengan keberadaan politik berbasis pri-mordial di Babel: kewajiban untuk mengakomo-dasi putra-putra daerah terbaik dari kedua gugu-san Pulau Bangka dan Pulau Belitung. Fenomena demikian secara elektoral memang penting untuk dipertimbangkan agar mendapatkan dukungan simpatik pemilih di Babel. Persoalannya tidak saja hanya berkutat disegmentasi keterwakilan. Menurut saya, publik di Babel juga harus diberi-kan pertimbangan-pertimbangan kapasitas calon pemimpin yang dimunculkan agar aspirasi poli-tik yang berkembang dikelompok elit polipoli-tik dan massa berjalan seirama.

Tabel 3. Informasi Pasangan Calon

Tahun Pemilukada

Nama Pasangan

Status Asal Daerah Babel

Hudarni Rani Calon Gubernur Pangkalpinang Ishak Zainudin Calon Wakil

Gubernur Belitung Sofyan Rebuin Calon Gubernur Pangkalpinang Anton Gozalie Calon Wakil

Gubernur Belitung

2007

Basuki Tjahja

Purnama Calon Gubernur Belitung Timur Eko Cahyono Calon Wakil

Gubernur Bangka Barat Eko Maulana Ali Calon Gubernur Bangka Syamsudin Basari Calon Wakil

Gubernur Belitung Fajar Fairi Calon Gubernur Belitung Hamza Suhaimi Calon Wakil

Gubernur Pangkal Pinang Eko Maulana Ali Calon Gubernur Bangka Rustam Efendi Calon Wakil

Gubernur Belitung Yusron Ihza

Mahendera Calon Gubernur Belitung

2012

Yusroni Yazid Calon Wakil

Gubernur Bangka Zulkarnain Karim Calon Gubernur Pangkalpinang Darmansyah

Husein

Calon Wakil

Gubernur Belitung Hudarni Rani Calon Gubernur Pangkalpinang

Justiar Noer Calon Wakil Gubernur Bangka Selatan

Sumber: diolah dari berbagai sumber (catatan pribadi)

(6)

Bila dicermati dari informasi yang baru saja disajikan, paling tidak mengantarkan kita pada sebuah kesimpulan: pentingnya memper-timbangkan keseimbangan keterwakilan dari daerah Pulau Bangka dan Pulau Belitung dalam kandidasi politik untuk level provinsi di Babel. Di Pemilukada 2007 misalnya, semua pasangan yang berkompetisi memutuskan untuk memilih tokoh-tokoh politik yang berlatarbelakang Pu-lau Bangka dan PuPu-lau Belitung dalam menarik simpatik dukungan dari publik di Babel yang mengikuti pola berikut: jika calon gubernurnya berasal dari daerah Pulau Bangka (Kota Pangkal Pinang dan Kabupaten Bangka misalnya) maka dipastikan calon wakil gubernurnya dari Pulau Belitung (Kabupaten Belitung,Kabupaten Be-litung Timur). Begitu juga sebaliknya. Jika calon gubernurnya berasal dari Pulau Belitung (Ka-bupaten Belitung, Ka(Ka-bupaten Belitung Timur) maka wakil gubernurnya berasal dari daerah Pulau Bangka (Kota Pangkalpinang, Kabupaten Bangka, Kabupaten Bangka Barat).

Fenomena yang sama juga berulang—meski tidak semuanya—di Pemilukada 2012. Terlihat bagaimana pola yang telah terbentuk di tahun 2007 juga diwariskan oleh aktor-aktor politik di Babel pada tahun 2012. Hanya pasangan Hudar-ni RaHudar-ni-Justiar Noer yang tidak mengikuti pola tersebut (sama-sama dari Pulau Bangka).

Berdasarkan keterangan yang telah dise-butkan, pertimbangan kedaerahan di Babel telah menjadi kesepakatan bersama yang tak tertulis terkait dengan politik berbasis primordial. Ken-yataan ini telah terlihat sejak Pemilu 1955, 1999, yang kemudian diikuti oleh Pileg 2004, Pemilu-kada 2007, Pileg 2009 dan PemiluPemilu-kada 2012. Be-gitu juga dengan Pileg 201410 dan peristiwa yang

10 Sangat disesalkan sekali dalam diskusi kali ini saya tidak berhasil menampilkan data perolehan suara untuk DPR dan DPD Daerah Pemilihan (Dapil) Babel untuk Pileg 2014 karena keterbatasan data yang tersedia..

berulang juga akan terjadi di Pemilukada 2017.11

C. Akar Menguatnya Politik Primordial di Babel

Kalau dibagian sebelumnya telah disebut-kan bagaimana politik di Babel secara sederhana dapat dijelaskan melalui pendekatan primordial berbasis kedaerahan, selanjutnya, saya mencoba untuk menelusuri faktor yang melatarbelakangi menguatnya kecenderungan politik berbasis ke-daerahan. Paling tidak, saya menawarkan bebera-pa kerangka pendekatan melalui perubahan insti-tusional dan ketersumbatan keterwakilan politik untuk menjelaskan dinamika politik yang begitu dominan di Babel.

1. Perubahan Institusional

Reformasi politik yang berlangsung di In-donesia pada tahun 1997 memberikan kabar baik bagi Babel dalam memperjuangkan sebuah provinsi baru agar terlepas dari Provinsi Sumat-era Selatan (Palembang). Pembentukan Provinsi Kepulauan Bangka Belitung ini berdasarkan Un-dang-Undang No. 27 Tahun 2000. Berdirinya Ba-bel sebagai sebuah provinsi diharapkan mampu memberikan pelayanan maksimal kepada mas-yarakat di dua gugus pulau besar yang terpisah (Pulau Bangka dan Pulau Belitung) dalam hal pe-merataan pembangunan dan peningkatan kualitas pelayanan publik (Ranto, dkk, 2007).

Banyak hal yang melatarbelakangi Babel harus bercerai dengan provinsi induknya Palem-bang. Yang paling sentral adalah: masalah

keti-11 Untuk Pemilukada 2017, informasi di bagian pendahuluan (Prolog) telah mengantarkan kita pada sebuah informasi bagaimana dinamika politik Putra Daerah mulai semarak seiring dengan kebutuhan-kebutuhan politik elektabilitas kekinian. Untuk menjawab dan memberikan kepastian ini kita harus sedikit bersabar dan menunggu di waktu-waktu yang akan datang menjelang menit terakhir penetapan pas-angan kandidat yang akan berkompetisi.

(7)

dakmerataan akses pembangunan di Babel jika dibandingkan dengan daerah lainnya di Palem-bang—padahal Babel memiliki Sumber Daya Alam (timah) yang menjadi salah satu penopang ekonomi nasional dan lokal (Palembang). Ken-yataannya elit politik di Babel merasa diperlaku-kan kurang adil oleh Palembang (catatan pribadi). Menjadi sebuah provinsi baru ternyata tidak berjalan dengan mulus seperti yang dibayang-kan—bersamaan dengan ini beragam masalah mulai muncul. Menurut laporan penelitian in-tegratif yang dilakukan oleh S2 Politik Lokal dan Otonomi Daerah Universitas Gadjah Mada (UGM) di tahun 2004 telah memperkirakan berb-agai masalah yang muncul dan dihadapi olehBa-bel berkisar dipersoalan dimensi politik, identitas kultural, administrasi, ekonomi hingga ekologi yang kompleks dengan sebaran aktor yang lebih plural (PLOD UGM, 2004).

Dari berbagai persoalan yang disebutkan, saya sengaja hanya mendiskusikan dimensi poli-tik dan identitas kultural yang secara nyata telah membentuk pembilahan struktur politik di Babel. Persoalan dimensi politik dan identitas kultur-al berbasis spasikultur-al pada mulanya tidak begitu mengkhawatirkan—mengingat ada semacam konsensus dari elit-elit politik di Babel. Kon-sensus yang dimaksud adalah penjadwalan dalam menempatkan jabatan-jabatan politik

di Babel seperti: jika gubernurnya (eksekutif)

dari Pulau Bangka maka ketua DPRD

Provin-si (legislatif) dari Pulau Belitung. Tak hanya

itu. Jika gubernurnya dari Pulau Bangka maka jabatan wakil gubernur harus dari Pu-lau Belitung. Hal lainnya lagi, jika gubernurn-ya dari Pulau Bangka paling lama untuk dua periode kepemimpinan, dan kepemimpinan berikutnya diserahkan kepada Putra Daerah dari Belitung dengan skema 2:1.12 Konsensus

12 Skema 2:1 ini dijelaskan sebagai berikut: periode pertama

tak tertulis ini ternyata cukup efektif dalam men-yatukan perbedaan kepentingan elit politik di Ba-bel ketika itu (catatan pribadi).

Seiring perjalanan waktu, realitas politik yang bisa diselesaikan melalui konsensus seperti yang dibayangkan oleh elit-elit politik di Babel tadi ternyata menjadi buyar dengan sendirinya sejak Indonesia memperkenalkan mekanisme Pemilukada secara langsung di tahun 2005. Bagai mimpi buruk, pemberlakuan model pemilukada secara langsung dalam menentukan jabatan poli-tik di daerah begitu menyakitkan bagi kalangan elit politik di Pulau Belitung. Betapa tidak. Jika dilihat dari perbandingan komposisi penduduk dan mata pilih yang akan menentukan siapa pemi-mpin terpilih, Pulau Bangka yang terdiri dari 5 Kabupaten/Kota (Kota Pangkalpinang, Kabupat-en Bangka, KabupatKabupat-en Bangka Barat, KabupatKabupat-en Bangka Selatan dan Kabupaten Bangka Tengah) merupakan sebaran penduduk yang paling dom-inan jika dibandingkan dengan Pulau Belitung yang hanya berjumlah 2 Kabupaten yakni Kabu-paten Belitung dan KabuKabu-paten Belitung Timur. Artinya, jika diserahkan pada publik maka bisa diperkirakan peluang-peluang bagi putra daerah dari Pulau Belitung dalam menduduki jabatan gubernur yang harus bersaing dengan putra daer-ah berlatarbelakang Pulau Bangka suddaer-ah

sema-jabatan gubernur (2002-2007) berasal dari Pulau Bangka sementara wakilnya dari Pulau Belitung, periode ke dua (2007-2012) masih mengikuti pola yang sama. Untuk peri-ode ke tiga (2012-2017) baru dijabat oleh Putra Daerah dari Pulau Belitung. Periode selanjutnya mengulangi pola yang sama (catatan pribadi). Tentu saja skema ini akan berjalan efektif jika pemilihan jabatan gubernur dan wakil guber-nur melalui anggota DPRD Provinsi bukan dalam proses Pemilukada secara langsung yang ditentukan oleh pemilih di Babel —perlu diperhatikan, Babel berdiri sebagai sebuah provinsi baru pada tahun 2000. Karena masih baru di ben-tuk, maka untuk persiapan dalam transisi peralihan kekua-saan dari Palembang maka ditunjuk Pejabat Sementara dari tahun 2000-2002 sampai Babel siap memulai suksesi politik yang pertama di tahun 2002 (catatan pribadi).

(8)

kin tertutup. Terbukti memang, di dua Pemilu-kada pada tahun 2007 dan 2012, semua kandidat gubernur dari Pulau Belitung harus kalah dengan kandidat dari Pulau Bangka.

Adanya perubahansecarainstitusional dalam pemilihan gubernur dan wakil gubernur inilah menurut dugaan saya menjadi akar menguatnya politik primordial berbasis kedaerahan di Ba-bel. Alasannya tentu saja sangat sederhana: ada kekhawatiran di kalangan masyarakat—utaman-ya di Pulau Belitung—bahwa masmasyarakat—utaman-yarakat di pu-lau ini kurang terwakili dalam aspirasi politiknya. Kenyataan demikian barangkali dianggap oleh kalangan elit politik di Pulau Belitung sebagai pengulangan sejarah ketika masih menjadi ba-gian dari Palembang. Hanya saja dalam konteks ini yang menggantikan posisi Palembang adalah Pulau Bangka (catatan pribadi).

Oleh karenanya, tak terlalu mengejutkan jika publik di Pulau Belitungbegitu solid dalam mem-pertimbangkan pilihan politiknya seperti yang dialami oleh Yusron Ihza Mahendera di Pemilu-kada 2012.13 Terjadinya perbuahan institusional

di era demokratisasi inilah yang menurut keya-kinan Betrand (2004) berimplikasi bagi fenom-ena kebangkitan isu primordial yang dijadikan rasion de etre untuk merespon perkembangan politik yang ada baik dalam kapasitasnya sebagai pemicu kekhawatiran ataupun sebagai sebuah ke-sempatan.14

2. Ketersumbatan Keterwakilan Politik Sebagai konsekuensi dari yang pertama tadi,

13 Di Pemilukada 2012 Yusro Ihza Mahendera merupakan politisi yang paling diandalkan sebagai wujud perwakilan politik dari Pulau Belitung. Sebaran suara Yusron Ihza Ma-hendera di Pulau Belitung ketika itu mencapai angka 78% dukungan dari masyarakat (catatan pribadi).

14 Seperti yang dikutip oleh Firman Noor dalam makalahnya yang bertemakan “Demokratisasi dan Kebangkitan Politik Identitas Primordialisme di Indonesia: Akar Penyebab, Ke-cenderungan, dan Alternatif Solusi”.

maka persoalan ketersumbatan dari keterwakilan politik bagi publik di Pulau Bangka dan Pulau Be-litung menjadi cerita yang terus mewarnai dalam setiap momen politik di arena Pemilukada Gu-bernur. Anggapan-anggapan yang berkembang di masyarakat seperti: jika gubernurnya dari Pulau Bangka maka pembangunan struktur ekonomi, sosial dan budaya hanya difokuskan di Pulau Bangka saja sedangkan Pulau Belitung diting-galkan. Begitu juga sebaliknya. Jika gubernurnya dari Pulau Belitung maka Pulau Bangka dijad-ikan “anak tiri” pada setiap proses pembangunan (catatan pribadi). Melalui dugaan yang tidak mendasar ini maka publik di kedua gugus pulau tadi sangat berkepentingan agar putra daerahnya tampil sebagai pemimpin di Babel untuk periode lima tahunan. Fenomena inilah yang disebut oleh Gurr (1993) mengisyaratkan bahwa persoalan ketimpangan keterwakilan politik memainkan peran yang penting dalam memicu kebangkitan sentimen primordial di era demokratisasi teru-tama yang berkaitan dengan disproposionalitas keterwakilan kelompok-kelompok primordial.15

Berbagai kekhawatiran yang telah disebut-kan selalu dimanfaatdisebut-kan dengan cermat oleh para politisi agar mendapatkan dukungan politik di masing-masing basis primordialnya. Begitu asi-knya bermain di sentimen emosional ini, politisi yang berkompetisi tidak terlalu mementingkan agenda visi-misinya untuk membangun Babel. Celakanya lagi, publik juga mengabaikan dan ku-rang memperhatikan agenda kerja yang ditawar-kan kepada masyarakat apa yang aditawar-kan dilakuditawar-kan- dilakukan-nya nanti setelah terpilih menjadi gubernur dan wakil gubernur.

Padahal, di era kekinian, persoalan keter-sumbatan keterwakilan politik sudah tidak mene-mukan relevansinya lagi. Alasannya, masyarakat di level Kabupaten/Kota sudah memiliki peluang

(9)

yang besar untuk menyalurkan aspirasi politikn-ya berdasarkan kepentingan basis-basis sosial. Kenyataan ini bisa dilihat dari proses pemilihan bupati/walikota, anggota DPRD Kabupaten/Kota hingga pemilihan kepala desa. Kondisi ini akan berbeda jika pemilihan pejabat politik di level lokal ditentukan oleh Pemerintah Pusat seperti era Orde Baru. Belum lagi dengan skema pem-berlakuan model pemerintahan yang menganut sistem otonomi daerah seperti saat ini. Secara otonomatis menganulir berbagai kekhawatiran terhadap peluang-peluang kebuntuan aspirasi politik di Babel.

D. Provinsi Kepulauan Bangka Belitung: Status yang Terlembaga

Kecenderungan pembahasan tentang kon-solidasi politik berbasis primordial selama ini di-dominasi oleh pemanfaatan identitas asal daerah telah menggeser isu lainnya seperti kesejahter-aan, kerusakan lingkungan, banjir, kemiskinan dan lain sebagainya menjadi salah satu strategi untuk mendulang suara dari publik di Babel.

Padahal, keberadaan Provinsi Kepulau-an BKepulau-angka Belitung sudah terlembaga. Artinya, siapapun pemimpin yang terpilih maka sudah dipastikan akan menjalankan roda pemerintah-an sesuai dengpemerintah-an aturpemerintah-an ypemerintah-ang ada. Sebuah con-toh misalnya, meskipun gubernurnya dari Pulau Bangka bukan berarti Pulau Belitung diacuhkan begitu saja dalam setiap proses pembangunan. Hal yang sama juga terjadi sebaliknya. Bahkan, jika jabatan gubernur dipegang oleh Pejabat Se-mentara misalnya bukan berarti tanggung jawab pemerintahan dalam memberikan pelayanan pub-lik juga berhenti begitu saja.

Begitu juga dengan mekanisme distribusi pembagian transfer keuangan daerah—baik dari Pemerintah Pusat maupun Pemerintah Provin-si—untuk kabupaten/kota sudah terlembaga

dengan baik. Sederhananya, siapapun yang men-jadi gubernur dan wakil gubernur di Babel tel-ah memiliki kewenangan dan kewajiban yang melekat. Oleh karenanya, kekhawatiran untuk mendapatkan perlakuan yang kurang adil harus disingkirkan jauh-jauh dari benak kita.

Seperti yang telah disebutkan, Provinsi Kepulauan Bangka Belitung merupakan status yangterlembaga maka hal paling penting un-tuk kita lakukan adalah bagaimana mengawal proses pembangunan dan jalannya roda pemer-intahan yang sudah terlembaga tadi. Dari mana memulainya? Saya menawarkan dari pengawalan visi-misi kandidat sebagai rujukan bagi kita un-tuk menenun-tukan pemimpin Babel di masa men-datang.

E. Epilog: Apa yang Dikhawatirkan?

Penguatan politik berbasis primordial di Ba-bel merupakan potret diri dari pergaulan politik lokal. Dari beberapa pengalaman Pemilu—baik beskala nasional hingga lokal—menguatkan cenderungan dari bekerjanya politik berbasis ke-daerahan yang sangat spasial antara Pulau Bang-ka dan Pulau Belitung. Munculnya sentimen kedaerahan di Babel bermula pada perubahan in-stitusional dan ketersumbatan perwakilan politik yang mengakibatkan kegelisahan dari berbagai aktor politik dan demokrasi yang ada. Bahkan untuk Pemilukada 2017 yang akan datang juga menunjukkan kecenderungan yang sama.

Kondisi demikian menjadi tantangan yang sangat rumit ditengah kesadaran politik di mas-yarakat yang lebih mempertimbangkan sentimen emosional kedaerahan dibandingkan dengan mencermati visi-misi kandidat yang ditawarkan untuk Babel. Padahal, jalannya roda pemerin-tahan di Babel untuk menjadikan kehidupan masyarakatnya lebih sejahtera, aman, dan damai bukan ditentukan oleh latarbelakang asal daerah

(10)

tetapi kapasitas seorang pemimpin yang dijabar-kan dalam visi-misi politiknya.

Oleh karenanya, kita jangan terlalu kha-watir dan disibukkan dengan permainan isu-isu putra daerah disetiap perhelatan demokrasi di aras lokal. Hal yang perlu dicemaskan adalah putra daerah yang kita banggakan dan elu-elu-kan ternyata tidak memiliki agenda kerja yang nyata bagi kebaikan Babel. Jadi, siapapun pemi-mpin yang dipilih jangan terlalu digugat latarbe-lakang daerahnya. Persoalkanlah program kerja yang ditawarkan semisal: bagaimana mengatasi persoalan banjir, pengentasan kemiskinan, pen-ingkatan kesejahteraan serta penghentian ker-usakan lingkungan yang telah mengancam dan terus membayangi—sehingga mengganggu tidur pulas— kesehariankita.

DAFTAR PUSTAKA Buku:

Evans, Kevin. R, 2003, “Sejarah Pemilu dan Par-pol di Indonesia”, PT. Arise Consultancies, Jakarta.

Salim HS, Hairus, dkk, 1999. “Tujuh Mesin Pen-dulang Suara: Perkenalan, Prediksi, Harapan Pemilu 1999”, LKIS, Yogyakarta.

Laporan Penelitian, Tesis,Makalah:

Noor, Firman, 2008, “Demokratisasi dan Keban -gkitan Politik Identitas Primordialisme di Indonesia: Akar Penyebabnya, Kecenderun-gan dan Alternatif Solusi”, Makalah, Tidak Dipublikasikan.

Ranto, 2014, “Perilaku Memilih Etnis Tionghoa: Studi Kasus Perilaku Memilih Masyarakat Etnis Tionghoa Pada Pemilu Legislatif DPR-Tahun 2009 di Kabupaten Bangka”, Tesis S2 Ilmu Politik UGM, Tidak Dipublikasikan. Ranto, dkk, 2007, “Birokrasi Meritokrasi:

Pe-luang dan Tantangan dalam Masyarakat Spasial di Provinsi Kepulauan Bangka Be-litung”, Makalah, Tidak Dipublikasikan. Tim PLOD UGM, 2004, “Sungai Kecil

Buay-anya BBuay-anyak: Memetakan Problema Politik Ekonomi Provinsi Baru (Provinsi Kepulau-an BKepulau-angka Belitung”, Draf LaporKepulau-an Peneli-tian Integratif S2 Politik Lokal dan Otonomi Daerah, Tidak Dipublikasikan.

Media Massa/Koran Lokal:

Bangkapos, “Hidayat Arsani Lebih Ingin Dar-mansyah Husein atau Andrea Hirata Men-dampinginya”, Kamis 25/02/2016

Bangkapos, “Gubernur Harus Orang Bangka Itu Menyesatkan”, Sabtu 27/02/2016

Bangkapos, “Mantan Bupati Bangka Calon Ide-al Pendamping Rustam Maju Pilgub 2017”, Rabu, 2/02/2016

Gambar

Tabel 1. Sebaran Perolehan Suara Partai  Politik Pada Pileg2004 untuk DPRRI
Tabel 3. Informasi Pasangan Calon

Referensi

Dokumen terkait

MMMMM MMMMM MMMMM MMMMM MMMMM MMMMM... MM MM MM MM MM

Software biasa disebut dengan perangkat lunak. Sifatnya pun berbeda dengan hardware atau perangkat keras. Jika perangkat keras adalah komponen yang nyata yang dapat dilihat

Mengetahui apa saja faktor yang mempengaruhi tidak optimalnya pelaksanaan pemungutan Pajak Bumi dan Bangunan Sektor Perdesaan dan Perkotaan (PBB-P2) di Kecamatan

Bagian yang sangat berguna dalam program Tell Me More German Premium Edition ini adalah tersedianya kamus 8000 kata disertai bunyi cara membacanya, dan keterangan tata bahasa

Faktor-faktor yang mempengaruhi untuk mengambil keputusan dalam menetapkan pilihan pada produk sebagai keputusannya itu dapat menggunakan model perilaku konsumen

Peneliti berharap dengan mengangkat variabel subjective well-being, maka penelitian ini dapat mendeskripsikan tingkat subjective well-being pada ibu hamil, tingkat kecemasan

Meskipun telah tertulis dengan jelas mengenai tahap yang harus di- lalui, hal tersebut tidak menutup kemungkinan pe- nyelesaian sengketa melalui Badan Mediasi Asu- ransi

Berdasarkan konteks dari kutipan data 1 penutur menyampaikan permintaan maaf kepada jamaah terkait dengan tema "Dalam Rangka Malam Tasyakur Walimatul Khitan M.