• Tidak ada hasil yang ditemukan

Format Baru Demokrasi di Indonesia Pasca Amandemen UUD 1945 Oleh: Siti Fatimah *

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Format Baru Demokrasi di Indonesia Pasca Amandemen UUD 1945 Oleh: Siti Fatimah *"

Copied!
11
0
0

Teks penuh

(1)

Oleh: Siti Fatimah*

Abstrak

Format baru demokrasi di Indonesia ditandai dengan adanya Amandemen ke-4 UUD 19ke-45 yang mengubah paradigma ketetanegaraan Indonesia dari supremacy

parlemen dan cheks and balance dimodifikasi menjadi pembagian kekuasaan

(distribusion of power) dalam lima poros kekuasaan menjadi kembali ke

semangat separation of power. Sebagai akibat berubahnya paradigma

ketatanegaraan pasca Amandemen UUD 1945 maka terjadi perubahan dalam tiga poros kekeuasaan yakni: pertama, bidang eksekutif ditandai adanya pemilihan Presiden secara langsung; kedua, bidang legislatif, keanggotaan MPR terdiri dari 2 kamar (bicameral) yaitu DPR dan DPD; MPR tidak lagi sebagai lembaga tertinggi negara sebagaimana diatur dalam Pasal 1 ayat (2) UUD 1945 tetapi MPR hanya sebagai forum bertemunya DPR, DPD, dan DPR. MPR sebagai lembaga tinggi negara sebanding dengan lembaga-lembaga tinggi negara lainnya sebagaimana diatur dalam UUD pasca Amandemen. Ketiga, adanya perubahan di bidang judikatif, kekuasaan kehakiman tidak lagi berpuncak pada Mahkamah Agung (MA) tetapi juga di Mahkamah Konstitusi (MK). Keempat, fenomena munculnya berbagai komisi-komisi sebagai lembaga yang independen dan mendapat kewenangan oleh UU.

Kata kunci : pemisahan dan pembagian kekuasaaan, cheks and balance,

demokrasi, implementasi

A. Pendahuluan.

Salah satu isu penting yang selalu muncul dalam percaturan politik hukum dan senantiasa aktual untuk diperbincangkan adalah persoalan demokrasi. Oleh karena luasnya cakupan demokrasi dan banyaknya literatur yang dapat dirujuk, maka dalam tulisan ini, penulis akan membatasi diri untuk mendiskusikan parameter demokrasi dan implementasinya di Indonesia.

Sebagaimana diketahui, Indonesia merupakan negara demokrasi dengan parameter khusus. Demokrasi yang sedang dipraktekkan di Indonesia memiliki paradigma tersendiri, berbeda dengan demokrasi liberal model barat.

*

Penulis adalah dosen Hukum Tata Negara Jurusan Jinayah-Siyasah Fakultas Syariah UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta dan peserta Program Doktor UII Yogyakarta.

(2)

Setiap kali berbicara mengenai demokrasi, munculah pertanyaan mendasar yang mendesak untuk segera dijawab, yaitu ”apakah bangunan sistem politik kita sudah memadai untuk disebut sebagai demokrasi?” Untuk menjawab pertanyaan tersebut diperlukan parameter yang dapat dijadikan acuan.

B. Makna-Hakekat dan Model Demokrasi

Demokrasi sebagai sebuah sistem dijadikan sebuah alternatif dalam tatatan beraktifitas bermasyarakat dan bernegara di beberapa negara, sebagaimana diakui oleh Moh Mahfud MD, ada dua alasan dipilihnya

demokrasi sebagai sebuah sistem ketatanegaraan. Pertama, hampir semua

negara merdeka di dunia ini digunakan sebagai landasan yang

fundamental. Kedua, demokrasi sebagai sebuah asas kenegaraan secara

esensial telah terbukti memberikan arah bagi peranan masyarakat untuk

penyelenggaraan negara sebagai organisasi tertingginya1.

1. Makna, Hakekat dan Prinsip-prinsip Demokrasi

Pengertian demokrasi dari segi etimologis terdiri dari dua kata yang

yang berasal dari Yunani, demos dan cratos, demos berarti rakyat atau

penduduk suatu tempat dan cratos atau cretin berarti kekuasaan atau

kedaulatan. Jadi secara bahasa demos-cratos (demokrasi) adalah keadaan

negara di mana dalam sistem pemerintahannya kedaulatan berada di tangan rakyat, kekuasan tertinggi berada dalam keputusan bersama rakyat, rakyat berkuasa, pemerintahan rakyat dan kekuasaan oleh rakyat. Secara umum dapat dikatakan bahwa hakekat demokrasi adalah sebagai suatu sistem bermasyarakat dan bernegara serta pemerintahan yang memberikan kewenangan kepada rakyat. Kekuasaan pemerintahan berada di tangan

rakyat mengandung tiga hal: pertama, pemerintahan dari rakyat (government

of the people); kedua, pemerintahan oleh rakyat (government by people); dan

ketiga, pemerintahan untuk rakyat (government for people).2

Slar mengajukan 5 (lima) corak atau model demokrasi yakni demokrasi liberal, demokrasi terpimpin, demokrasi sosial, demokrasi partisipasi, demokrasi partisipasi, dan demokrasi konstitusional. Kelima model tersebut sebagai berikut:

a. Demokrasi liberal, yaitu pemerintahan yang dibatasi oleh undang-undang dan pemilihan umum bebas yang diselenggarakan dalam waktu

1 Tim ICCE UIN, Pendidikan Kewarganegaraan, Civic Education: Demokrasi Hak Asasi

Manusia dan Masyarakat Madani, Edisi Revisi, (Jakarta: ICCE UIN, 2003), p. 110.

(3)

yang ajeg. Misal beberapa negara Afrika menerapkan model ini tetapi hanya sedikit yang bisa bertahan.

b. Demokrasi terpimpin. Konsep ini didasarkan bahwa para pemimpin percaya bahwa semua tindakan mereka dipercaya rakyat tetapi menolak pemilihan umum yang sering digunakan sebagai alat untuk menduduki kekuasaaan.

c. Demokrasi sosial adalah demokrasi yang menaruh kepedulian pada keadilan sosial dan egalitarisme bagi persyaratan untuk memperoleh kepercayaan publik.

d. Demokrasi partisipasi, yang menekankan hubungan timbal balik antara penguasa dan yang dikuasai.

e. Demokrasi konstitusional, yaitu menekankan pada proteksi khusus bagi kelompok-kelompok budaya yang menekankan kerja sama yang erat di antara elit yang mewakili bagian budaya masyarakat utama.

Menurut Inu Kencana, demokrasi bisa dibedakan antara demokrasi

langsung (direct democracy) dan demokrasi tidak langsung (indirect democracy).

Demokrasi langsung terjadi bila rakyat secara langsung menyuarakan haknya dalam rangka mewujudkan kedaulatan. Sedangkan demokrasi tidak langsung adalah demokrasi dalam rangka mewujudkan kedaulatannya rakyat tidak langsung berhadapan dengan eksekutif tetapi melalui lembaga perwakilan.3

2. Prinsip-prinsip Demokrasi

Di zaman modern sekarang ini, hampir semua negara mengklaim sebagi penganut demokrasi. Menurut penelitian Amos J. Peaslee pada tahun 1950, dari 83 UUD negara-negara yang diperbandingkan, terdapat 74 negara yang konstitusinya secara resmi menganut prinsip kedaulatan

rakyat4 (istilah penulis: demokrasi). Untuk itu suatu negara dikatakan

pemerintahan dikatakan demokratis bila dalam mekanismenya

pemerintahannya dapat mewujudkan prinsip-prinsip demokrasi. Prinsip-prinsip demokrasi menurut Masykuri Abdillah terdiri dari Prinsip-prinsip Prinsip-prinsip persamaan, kekebasan, dan pluralisme. Robert Dahl menyatakan ada tujuh prinsip parameter demokratis yaitu: control atas keputusan pemerintah, pemilu yang teliti dan jujur, hak memilih dan dipilih, kebebasan menyatakan pendapat tanpa ancaman, kebebasan mengakses informasi, kebebasan berserikat. Inu Kencana lebih terperinci lagi yaitu adanya pembagian kekuasaan, adanya kebebasan individu, pemilu yang bebas,

3 Ibid, p. 122.

4 Jimly Asshiddiqie, Konstitusi dan Konstitusionalisme Indonesia, (Jakarta: Mahkamah

Konstitusi Republik Indonesia dan PSH HTN Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2004), p. 2.

(4)

menejemen yang terbuka, peradilan yang bebas, pengakuan hak minoritas, pers yang bebas, beberapa partai politik, musyawarah, persetujuan parlemen, pemerintahan yang konstitusional, ketentuan pendemokrasian, pengawasan terhadap administrasi publik, perlindungan hak asasi manusia, pemerintahan yang bersih, persaingan keahlian, mekanisme politik, kebijaksanaan negara, pemerintahan yang mengutamakan tanggungjawab.

Dari beberapa pendapat para ahli di atas maka bila demokrasi

didefinisikan sebagai demokrasi liberal ala barat, maka jawaban yang dapat

diberikan adalah bahwa Indonesia bukanlah negara demokratis, bahkan secara ekstrim dapat dikatakan bahwa Indonesia belum memasuki tahapan

demokratisasi. Menurut Mahfud,5 sebenarnya sah-sah saja ketika suatu

negara dikatakan demokratis atau tidak, tergantung pada konsep dan indikator yang dipergunakan. Demokrasi atau otoriter adalah istilah-istilah yang yang mengadung pengertian yang ambigu. Karena seringkali ditemui banyak perbedaan antara demokrasi normatif dan demokrasi empiris yang belum tentu berjalan seiring. Samuel P. Huntington berpendapat bahwa sebuah sistem dikatakan demokratis apabila di dalam sistem itu telah berlangsung konsolidasi dan institusionalisasi, yaitu telah terjadinya peralihan kekuasaan secara demokratis sekurang-kurangnya dua kali. Maka tidak heran, tatkala ia membuat daftar negara-negara demokratis, tetapi Singapura, Thailand, Malaysia dan Indonesia tidak masuk dalam

daftarnya.6 Tetapi apabila dapat menawarkan parameter demokrasi sendiri,

maka jawaban atas pertanyaan di atas menjadi positif, yaitu bahwa negara Indonesia adalah negara demokratis.

Negara Indonesia tengah menjalankan sebuah model demokrasi yang khas dan digali dari akar kebudayaan bangsa sendiri. Demokrasi dianut bersifat relatif secara kultural, bukan universal, karena tiap-tiap negara yang berdaulat boleh-boleh saja mengklaim dirinya sebagai sebuah negara demokrasi tanpa harus meminta pertimbangan negara lain, karena setiap bangsa memiliki latar belakang sosio historis dan kultural yang berbeda. Dalam konteks ini, sifat universal demokrasi tidak dapat diterima bahkan menurut Frans Magnis Suseno, klaim universalitas demokrasi harus segera direlatifkan kembali. Franz selanjutnya mengemukakan alasan mengapa demokrasi langsung harus direlatifkan kembali.

Pertama, karena tuntutan demokratisasi sendiri mengharuskan

adanya syarat-syarat politik dan sosial yang memungkinkan terwujudnya

5 Ibid, p. 3.

6 Eep Saifullah Fatah, Masalah dan Prospek Demokrasi di Indonesia, (Jakarta: Ghalia

(5)

demokratisasi; kedua, demokrasi harus dipahami secara kontekstual dan dinamis.7

Ini artinya bahwa demokratisasi tidak dapat didefinisikan di luar konteks masyarakat yang bersangkutan. Dengan bahasa lain, implementasi demokrasi di negara Indonesia tidak harus liberal. Ia harus mempertimbangkan faktor kultur. Secara intelektual, demokrasi semacam ini dapat disebut sebagai sebuah "species demokrasi", demokrasi khas negara Indonesia yang berbasis pada kultur bangsa. Jawaban lain atas pertanyaan demokratis atau tidaknya negara Indonesia adalah bersifat prosesual. Artinya bahwa demokrasi merupakan sebuah kategori dinamis,

bukan statis. Demokrasi itu bukan once for all (sekali untuk selamanya),

tetapi ia merupakan proses yang terus menerus berlangsung dengan berbagai eksperimentasi trial and error.

Pendapat seperti ini pernah dilontarkan oleh Nurcholis Madjid dan Juwono Sudarsono. Bagi Juwono, dibutuhkan sebenarnya bukan jawaban sudah atau belum demokratisnya negara Indonesia, tetapi sejauh mana Indonesia telah menyiapkan fondasi bagi terlaksananya demokrasi. Fondasi demokrasi yang dimaksud Juwono itu adalah kesejahteraan kolektif. Dengan kata lain, selama kesejahteraan kolektif ini belum terbangun, maka tidak perlu teriak-teriak soal demokrasi. Selama ini, para pelaku pembangunan, birokrat dan teknokrat Orde Baru mempertahankan tesis prosesual ini. Bagi mereka, demokrasi akan mengekor di balik keberhasilan pembangunan ekonomi. Yang lebih penting adalah pembentukan ketertiban dan peletakan dasar-dasar pelembagaan politik. Demokratisasi, populisasi, perluasan partisipasi politik atau apapun istilahnya adalah persoalan belakangan.

Penulis tidak setuju dengan jawaban terakhir ini. Di samping

bernada pesimistik, juga adanya counter argument: betapa banyak contoh

negara yang mapan secara ekonomis seperti Arab Saudi, Kuwait, Emirat Arab, Oman, Libya, Brunei untuk sekedar menyebut beberapa negara, tetapi demokrasi tidak terimplementasikan dengan baik. Oleh karena itu faktor penentu terlaksana atau tidaknya demokrasi sebenarnya bukan terletak pada kemakmuran ekonomi, tetapi pada kesediaan masyarakat membuka pintu perubahan. Melihat kondisi objektif bangsa yang semakin kritis karena bertambahnya jumlah bangsa yang terdidik, makin mantapnya Pancasila sebagai simbul pemersatu bangsa, dan berkembangnya sikap pluralis (mau mentolerir perbedaan), maka sudah saatnya bangsa Indonesia optimis dan berani mengimplementasikan prinsip-prinsip dasar

7 Franz Magnis Suseno, Mencari Sosok Demokrasi di Indonesia, Sebuah Telaah Filosofis,

(6)

demokrasi bersamaan dengan pembangunan ekonomi, bukan menunggu sampai tercapainya kemakmuran. Oleh karena itu perlu dibuat parameter demokrasi sendiri. Parameter dimaksud adalah sistem perwakilan, kebebasan berbicara, persamaan hak, kebebasan pers, dll. Penulis melihat peluang di atas sudah mulai terbuka, meskipun masih banyak hambatan.

Barangkali ahli parameter species “demokrasi Asia” yang ditawarkan

Chan Heng Chee patut dipertimbangkan. Pertama, adanya prinsip

komutarian yang dianut. Doktrin komutarian ini mengajarkan bahwa

kebaikan kolektif harus didahulukan daripada hak-hak individu. Kedua,

adanya pengakuan akan otoritas dan hirarki. Konsekuensinya adalah bahwa oposisi yang langsung berhadapan dengan negara tidak diakui

keberadaannya. Ketiga, adanya partai yang amat kuat sebagai alat

mempertahankan negara. Bila tawaran Chee ini diterima, maka Indonesia adalah negara yang tengah mempraktekkan demokrasi khas Asia, bukan demokrasi liberal yang merupakan substansi demokrasi ala Barat.

Bagi bangsa Indonesia, pilar demokrasi telah diletakkan oleh founding

fathers republik ini sebagaimana tertuang dalam UUD 1945. Beberapa pilar

itu dapat dikemukakan di sini bahwa kedudukan setiap warga di depan hukum dan pemerintahan adalah sama, tanpa kecuali (Pasal 27 ayat (1)). Masih dalam pasal yang sama, dpat ditangkap adanya paham konstitusionalisme, yakni adanya perangkat hukum dasar yang pada satu sisi memberikan kewenangan pada cabang-cabang kekuasaan negara seperti adanya lembaga eksekutif, legislatif dan yudikatif. Pada sisi lain, adanya pengakuan terhadap hak-hak dasar rakyat sebagai sebuah konsekuensi tidak dianutnya paham absolutisme kekuasaan.

Indikator pemencaran kekuasaan itu amat penting, bahkan merupakan karakteristik wajib bagi negara modern yang mengklaim dirinya sebagai negara deokratis. Karena dengan adanya pemencaran

kekuasaan akan memungkinkan terjadinya check and balance. Indikator

pemencaran ini juga dimaksudkan untuk menghindarakan kekuasaan

berlebihan (baca: absolut) sebagaimana pameo “power tends to corrupt,

absolute power corrupts absolutely”. Indikator lain adalah adanya partisipasi rakyat dalam menjalankan mekanisme pemerintahan. Ini sebenarnya merupakan kelanjutan dari indikator pemencaran kekuasaan. Dengan adanya pemencaran kekuasaan, maka rakyat memiliki wadah untuk berkiprah, yaitu memberikan kontrol atas pelaksanaan tugas pemerintah dalam menjalankan roda pemerintahan. Kontrol rakyat ini sangat

diperlukan agar kedaulatan rakyat tetap terjaga.8 Seharusnya partisipasi

8 Fadhillah Putra, Partai Politik dan Kebijakan Publik, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar,

(7)

rakyat itu bukan hanya dalam pelaksanaan pembangunan, tetapi sejak perencanaan dan pengambilan keputusan pun rakyat harus sudah mulai dilibatkan agar rakyat merasa memiliki.

Pilar lain yang dapat ditangkap dari pasal itu adalah prinsip kedaulatan rakyat. Ini berarti bahwa kekuasaan bersumber pada kehendak rakyat yang diamanatkan melalui wakil-wakil mereka di Majelis Permusyawaratan Rakyat. Prinsip-prinsip ini jelas mencerminkan dianutnya ide negara yang demokratis, bukan paternalistik.

Persoalannya kemudian adalah sejauh mana pilar-pilar itu ditegakkan oleh pemegang kekuasaan dan sejauh mana kontrol yang dilakukan oleh rakyat? Idealnya, dalam negara demokrasi, ada semacam mekanisme kontrol, pengawasan atas kebijakan pemerintah secara konstitusional oleh wakil-wakil rakyat yang telah dipilih dalam pemilu yang jujur dan adil. Sampai di sini, muncul persoalan lagi, apakah benar proses pemilu telah dijalankan secara jujur dan adil? Jawaban terhadap pertanyaan ini jelas memerlukan diskusi tersendiri.

Indonesia mempunyai keunikan tersendiri. Secara konstitusional Indonesia adalah negara demokrasi. Dasar hukum pertanyaan ini dapat ditemukan di dalam UUD 1945, Konstitusi RIS 1949 dan UUDS 1950. Namun dalam implementasinya, masih ditemui penyimpangan-penyimpangan. Bahkan satu konstitusi yang sama dapat melahirkan implementasi demokrasi yang sangat berbeda pada periode yang berbeda. Misalnya UUD 1945 yang pernah berlaku pada periode 1945-1949, periode 1959-1965, dan 1966-sekarang akan melahirkan implementasi yang berbeda-beda jika menggunakan parameter konvensional seperti peranan parpol, parlemen, kehidupan pers dan peranan eksekutif .

Seperti diketahui bahwa dalam kenyataan senantiasa terjadi gap antara demokrasi normatif (UUD dan Konstitusi) dan demokrasi empirik (fakta lapangan). Bahwa ternyata di Indonesia secara historis terjadi tolak tarik antara demokrasi dan otoritarian. Pada mulanya, Indonesia menganut demokrasi empiris (1945-1949) walaupun secara normatif presiden mempunyai kekuasaan yang sangat besar berdasarkan Aturan Peralihan Pasal IV UUD 1945, kemudian sejak tahun 1950 langgam demokrasi menjadi sangat liberal dan otoriter yang klimaksnya lahir Demokrasi Terpimpin (1959-1965). Era Orde baru (1966-sekarang) secara umum dapat dikatakan sebagai langgam otoritarian. Pada awalnya Orde Baru memulai langkahnya dengan langgam demokratis yang berjalan kurang lebih tiga tahun yaitu sejak penyusunan format politik baru. Setelah format politik terbentuk yang ditandai dengan lahirnya UU No. 15 dan 16 tahun 1969 mulai bergeser ke arah politik yang otoritarian. Pilihan di atas secara sadar diambil sebagai konsekuensi diambilnya garis politik yang diletakkan

(8)

dalam trilogi pembangunan, yaitu mengutamakan pembangunan yang berorientasi pada pertumbuhan. Oleh karena itu diperlukan prasyarat stabilitas nasional yang hanya bisa dipenuhi bila konflik-konflik ditekan sedemikian rupa. Untuk itu diperlukan suatu pemerintahan yang kuat dan

otoritarian.9 Itulah sebabnya sejak tahun 1971 terlihat bahwa pemerintah

Indonesia tampil secara kuat dengan menggunakan kekuatan ABRI dan GOLKAR sebagai penopangnya. Kehidupan DPR dan Parpol senantiasa ada di bawah bayang-bayang kontrol pemerintah. Demikian pula pers yang juga di bawah bayang-bayang dan kendali pemerintah dengan ancaman

pembredelan.10

D. Implementasi Demokrasi di Indonesia Kekinian

Salah satu indikator adanya demokrasi adalah pemencaran kekuasaan legislatif, eksekutif dan yudikatif. Indikator pemencaran kekuasaan ini dimaksudkan agar kekuasaan negara tidak terkonsentrasi pada satu poros kekuasaan. Kekuasaan harus terbagi secara proporsional. Bila kedaulatan ada di tangan rakyat, maka rakyatlah yang seharusnya memegang kedaulatan tertinggi. Dengan demikian rakyat dapat melakukan kontrol terhadap pelaksanaan pemerintahan. Tanpa kontrol dari rakyat, eksekutif cenderung bertindak menurut kepentingannya dan keutungannya sendiri serta mengabaikan kepentingan rakyat banyak.

Saat ini di Indonesia pemisahan kekuasaan sudah terlihat dalam tiga poros mempengaruhi pembentukan demokrasi di Indonesia sehingga

distribution of power tidak hanya ada tiga, lima kekuasaan yang sejajar yaitu Presiden (Pasal 4 ayat (1)), DPR (Pasal 19), DPA (Pasal 16), BPK (Pasal 23 ayat (5)), dan MA (Pasal 24), akan tetapi dengan adanya Amademen ke-4 Undang Undang Dasar 19ke-45, maka poros-poros kekuasaan terjadi perubahan yang mendasar. Dahulu kelima poros yang merupakan lembaga tinggi negara itu terdapat lembaga tertinggi yang disebut dengan MPR (Pasal 1 ayat (2)). MPR sebagai lembaga tertinggi dimaksudkan sebagai penjelmaan seluruh rakyat yang berwenang mendistribusikan segala

macam kekuasaan kepada lembaga negara.11

Pasca Amandemen UUD 1945 terjadi perubahan-perubahan dan pergeseran ketatanegaraan Indonesia baik eksekutif, legislatif dan judikatif. Perubahan dibidang eksekutif ditandai dengan adanya mekanisme

9 Moh. Mahfud MD, Demokrasi dan Konstitusi di Indonesia, (Yogyakarta: Liberty,

1993), p. 117.

10 Moh Mahfud MD, Politik Hukum di Indonesia, (Jakarta: LP3ES Indonesia, 1998),

p. 5-8.

11 Dahlan Thaib, Implementasi Sistem Ketatanegaraan Menurut UUD 1945,

(9)

pemilihan langsung Presiden dan diikuti dengan pemilihan Kepala Daerah secara langsung. Adapun bidang legislatif adanya perubahan komposisi

anggota MPR menjadi dua kamar (bicameral) yaitu DPR dan DPD.

Demikian juga perubahan mendasar atas peran dan kedudukan Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) yang dulu sebagai lembaga tertinggi negara (Pasal 1 ayat (2) UUD 1945), tetapi setelah dilakukan Perubahan ke-3 UUD 1945 maka peran MPR hanya sebagai lembaga yang

memfalisitasi atau sebagai forum DPR dan DPD.12.

Adapun perubahan dibidang yudikatif adalah fenomena lahirnya Mahkamah Konstitusi. Saat ini kekuasaan kehakiman ada pada dua lembaga yaitu Mahkamah Konstitusi dan Mahkamah Agung yang mendapat atribusinya melalui UUD 1945 pasca Amandemen Pasal 24 C

ayat (1) dan (2). Sebelum UUD 1945 diamandir, kekuasaan kehakiman

yang merdeka menurut sistem UUD 1945 merupkan salah satu badan penyelenggara negara, di samping lembaga-lembaga tinggi negara lainnya, yakni MPR, DPR, DPA dan BPK. Sebagai badan penyelenggara negara, susunan kehakiman tertinggi dan kekuasaan kehakiman dijalankan oleh Mahkamah Agung bersama–sama dengan badan penyelenggara negara yang disebut lembaga negara (TAP MPR Nomor VI/MPR/1973).

Dalam Pasal 24 ayat (1) UUD 1945 disebutkan bahwa kekuasaan kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan lain-lain badan kehakiman menurut Undang-undang. Pada Penjelasan UUD 1945 Pasal 24 dan 25 disebutkan bahwa kekuasaan kehakiman ialah kekuasaan yang merdeka, artinya terlepas dari pengaruh kekuasaan pemerintah. Berhubung dengan itu harus diadakan jaminan dalam Undang-undang tentang kedudukan hakim. Kekuasaan kehakiman yang merdeka tidak terlepas dari

dianuntnya konsepsi negara hukum sebagaimana konsep Trias Politica

Montesquieu, yaitu perlu adanya pemisahan kekuasaan ke dalam beberapa lembaga. Pemisahan kekuasaan dimaksudkan supaya tidak terjadi sentralisasi kekuasaan dalam satu tangan dan mencegah

kesewenang-wenangan (deternement of power). Dengan adanya pembagian kewenangan

yang jelas dan lengkap maka penyalahgunaan wewenang (abus de popuvoir)

dapat dihindari.13

Perubahan ketatanegaraan pasca perubahan ketiga UUD 1945 membawa perubahan dalam di lembaga judikatif. Mahkamah Konstitusi berdasarkan Pasal 24 C berwenang mengadili pada tingkat pertama dan

12 Secara lengkap baca Jimly Assyiddiqie, Konsolidasi Naskah UUD 1945 Setelah

Perubahan Keempat, (Yogyakarta: PSH HTN FH UII, 2002), yang memuat secara lengkap Perubahan Keempat.

13 Joeniarto, Selayang Pandang Tentang Sumber-sumber Hukum Tatanegara di Indonesia,

(10)

terahir yang putusannya bersifat final untuk menguji undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar. Kewenangan lainnya adalah memutus sengketa lembaga, memutus pembubaran partai politik, memutus perselisihan tentang hasil pemilihan umum, dan memberikan putusan atas pendapat DPR mengenai dugaan pelanggaran oleh Presiden dan/atau Wakil Presiden menurut UUD. Jadi setelah perubahan ketiga UUD 1945 maka di negara Indonesia ada dua badan atau lembaga yang melakukan kekuasaan judikatif yaitu Mahkamah Agung dan Mahkamah Kostitusi. Mahkamah Agung berwenang melakukan pengujian terhadap peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang, sedangkan Mahkamah Konstitusi berwenang menguji undang-undang didasarkan pada UUD

1945 sebagai basic law. Selain itu munculnya komisi-komisi yustisial yang

mendapat atribusinya melalaui perubahan UUD 1945 Pasal 24 B, antara lain Komisi Konstitusi, Komisi Pemberantasan Korupsi, dan lain-lain. E. Penutup

Dari uraian di atas maka dapat disimpulkan bahwa secara formal demokrasi di Indonesia sudah ditegakkan dengan melihat parameter kesejahteraan sosial. Namun secara substansial, Indonesia sebenarnya masih berada dalam proses menuju demokrasi.

(11)

Daftar Pustaka

A’la, Adb, “ Memaknai Demokrasi”, Kompas, Senin 24 Mei 2004.

Abdillah, Masykuri, Demokrasi di Persimpangan Makna, Respon Intelektual

Muslim Indonesia terhadap Konsep Demokrasi (1966-1993), Yogyakarta: Tiara Wacana,1999.

Asshiddiqie, Jimly, Konstitusi dan Konstitusionalisme Indonesia, Jakarta:

Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia dan PSH HTN Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Cetakan Pertama, 2004.

______, Gagasan Kedaulatan Rakyat dalam Konstitusi dan Pelaksanaannya di

Indonesia, Jakarta: Ikhtiar Baru Van Hoeve, 1994.

______, Konsolidasi Naskah UUD 1945 Setelah Perubahan Keempat,

Yogyakarta: PSH HTN FH UII, 2002

Budiarto, Shambazy, “Mari Belajar “Demokrazy”, Kompas, Sabtu, 20

Desember 2003.

Fatah, Eep Saifullah, Masalah dan Prospek Demokrasi di Indonesia, Jakarta: Ghalia Indonesia, 1994.

Gaffar, Affan, Politik Indonesia: Transisi Menuju Demokrasi, Yogyakarta:

Pustaka Pelajar, 2000.

Joeniarto, Selayang Pandang Tentang Sumber-Sumber Hukum Tatanegara Di

Indonesia, Yogyakarta: Liberty, 1974.

Mahfud MD, Moh., Politik Hukum di Indonesia, Jakarta: Pustaka LP3ES

Indonesia, 1998.

______, “ Hukum dan Pilar-Pilar Demokrasi, Yogyakarta: Gema Media,

1999.

Putra, Fadhillah, Partai Politik dan Kebijakan Publik, Yogyakarta: Pustaka

Pelajar, Averroes Press, 2003.

Suseno, Franz Magnis, Mencari Sosok Demokrasi di Indonesia, Sebuah Telaah

Filosofis, Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 1997.

Thaib, Dahlan, Implementasi Sistem Ketatanegaraan Menurut UUD 1945,

Yogyakarta: Liberty, 1989.

Tim ICCE UIN, Civic Education, Demokrasi, Hak Asasi Manusia dan

Referensi

Dokumen terkait

Pada tahun 1908, desa Taratara masih berstatus sebagai tempat kedudukan onderdistrik yang masuk distrik Tombariri, namun jarak distrik Tombariri dengan Onderdistrik

Pengejawantahan ciri pribadi kritis (gabungan Iseng, Khas, Peka) disebut sebagai ciri kreasi kelayak anetis-estetis suatu karya.Suatu hasil kreasi yang memiliki

Berdasar hasil survey dan wawancara alasan mengapa para pelanggan berbelanja di Indomaret adalah harga yang lebih murah dari pada Alfamart, pelayanan yang lebih

Hal ini di sebabkan karena asupan energi remaja putri Madrasah Aliyah Al Mukmin lebih banyak memiliki asupan energi yang normal dan tidak berlebih, makanan yang dikonsumsi

Cаbаng Bаndаrа Juаndа аdаlаh Humаn Cаpitаl Sеction. Unit kеrjа ini bеrtugаs sеbаgаi poros utаmа pеlаksаnа аktivitаs tаlеnt mаnаgеmеnt dаlаm prosеs

Dari hasil penelitian ini dapat disimpulkan bahwa sebagaian besar responden, pada saat hamil sering terpapar oleh sumber pencemaran udara seperti asap pabrik,

pemeriksaan aktivitas kholinesterase darah yang dilakukan oleh Dinas Kesehatan Kabupaten Majalengka tahun 2007 dan data primer perilaku petani penyemprot hama tanaman holtikultura

Wakil dari Angkutan Laut, yang ditunjuk oleh Kepala Staf Angkatan Laut, sebagai Wakil Ketua I merangkap anggota;.. Wakil dari Angkatan Darat, yang ditunjuk oleh Kepala