• Tidak ada hasil yang ditemukan

TOLERANSI MASYARAKAT ISLAM DAN KRISTEN DI KECAMATAN LALABATA KABUPATEN SOPPENG PADA TAHUN

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "TOLERANSI MASYARAKAT ISLAM DAN KRISTEN DI KECAMATAN LALABATA KABUPATEN SOPPENG PADA TAHUN"

Copied!
15
0
0

Teks penuh

(1)

LALABATA KABUPATEN SOPPENG PADA TAHUN 1950-2007

ISLAMIC SOCIETY AND CHRISTIAN TOLERANCE IN THE DISTRICT LALABATA

SOPPENG REGENCY IN 1950-2007 Sitti Rahman

Guru SMA Negeri 2 Watansoppeng, Kabupaten Soppeng Jalan Neneurang No. 178 Watansoppeng, 90814

Telepon: 0484-21405 Pos-el: sittirahman@yahoo.com Handphone: 081355596602, 085255440176

Diterima: 4 Juni 2016; Direvisi: 9 September 2016; Disetujui: 30 November 2016 ABSTRACT

This study aims to investigate three key issues, namely How to view people’s views of Islam and Christianity about tolerance, how the attitudes of tolerance among religious groups in society Soppeng District of Lalabata districts in their daily lives? and how the wisdom of the values of local culture that developed in the District public Lalabata Soppeng in creating religious tolerance ? This research is a historical research is descriptive with qualitative approach. The research found that people in the District Lalabata Soppeng are harmonious life. Inter-religious harmony is maintained and nurtured well so that people do not ever expect conflict over religious issues. The realization of inter-religious tolerance is inseparable from the community’s ability to apply the District Lalabata Soppeng cultural values locally owned like ati mapaccing, amaradekangeng, assimelleren and mappasitinaja.

Keywords: religion, attitudes of tolerance, wisdom cultural values of local. ABSTRAK

Penelitian ini bertujuan untuk mengkaji tiga permasalahan pokok yaitu Bagaimana pandangan masyarakat Islam dan Kristen tentang toleransi, Bagaimana sikap-sikap toleransi antara umat beragama dalam masyarakat Kecamatan Lalabata Kabupaten Soppeng dalam kehidupan sehari-harinya? Bagaimana kearifan nilai-nilai budaya lokal yang berkembang pada masyarakat Kecamatan Lalabata Kabupaten Soppeng dalam menciptakan toleransi beragama? Jenis penelitian ini adalah penelitian sejarah yang bersifat deskriptif dengan menggunakan pendekatan kualitatif. Dari hasil penelitian ditemukan bahwa masyarakat di Kecamatan Lalabata Kabupaten Soppeng terdapat kehidupan yang harmonis. Kerukunan hidup antar umat beragama selalu terjaga dan terbina dengan baik sehingga masyarakatnya tidak pernah terjadi konflik karena masalah agama. Terwujudnya sikap toleransi antar umat beragama tidak terlepas dari kemampuan masyarakat Kecamatan Lalabata Kabupaten Soppeng mengaplikasikan nilai-nilai kebudayaan lokal yang dimiliki seperti ati mapaccing, amaradekangeng, assimelleren dan mappasitinaja.

Kata kunci: agama, sikap toleransi, kearifan nilai-nilai budaya lokal. PENDAHULUAN

Manusia adalah makhluk individu sekaligus sebagai makhluk sosial. Sebagai makhluk sosial tentunya manusia dituntut untuk mampu berinteraksi dengan individu lain dalam rangka memenuhi kebutuhannya. Dalam menjalani kehidupan sosial dalam masyarakat, seorang individu akan dihadapkan dengan

kelompok-kelompok yang berbeda warna dengannya salah satunya adalah perbedaan agama.

Dalam rangka menjaga keutuhan dan persatuan dalam masyarakat maka diperlukan sikap saling menghormati dan saling menghargai, sehingga gesekan-gesekan yang dapat menimbulkan pertikaian dapat dihindari. Masyarakat juga dituntut untuk saling menjaga

(2)

hak dan kewajiban di antara yang satu dengan yang lainnya.

Dalam pembukaaan UUD 1945 pasal 29 ayat 2 disebutkan bahwa “Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu.”

Olehnya itu kita sebagai warga Negara sudah sepatutnya menjunjung tinggi sikap saling toleransi antar umat beragama dan saling menghormati antar hak dan kewajiban yang ada diantara kita demi keutuhan Negara.

Kebebasan beragama pada hakikatnya adalah dasar bagi terciptanya kerukunan antar umat beragama. Tanpa kebebasan beragama tidak mungkin ada kerukunan antar umat beragama. Kebebasan beragama adalah hak setiap manusia. Hak untuk menyembah Tuhan diberikan oleh Tuhan, dan tidak ada seorang pun yang boleh mencabutnya. Hal ini sebagaimana secara tegas dinyatakan dalam Q.S. al-Insân: 3, “Sesungguhnya Kami telah menunjukinya jalan yang lurus, ada yang bersyukur, ada pula yang

kafir”.

Mengingat keberagaman agama merupakan realitas sosial yang nyata, maka sikap keagamaan yang perlu dibangun selanjutnya adalah prinsip kebebasan dalam memeluk suatu agama. Prinsip yang demikian antara lain dibangun dari misi historis Islam bahwa “Tidak ada paksaan untuk memeluk agama (Islam), sesungguhnya telah jelas jalan yang benar dari pada jalan yang sesat...” (Q.S.Al-Baqarah:256). Dari prinsip tersebut, maka pola kehidupan beragama yang akan berkembang adalah sikap keagamaan yang toleran dan mau menghormati umat beragama lainnya. Asumsi ini didasarkan pada suatu pemikiran bahwa kepenganutan seseorang terhadap agamanya telah diawali lebih dahulu dengan adanya pemikiran yang matang.

Pada dasarnya, “semua agama adalah petunjuk yang mengajak manusia pada kebaikan. Tidak satupun agama mengajak pada kesesatan, kejahatan dan kerusakan ” (Husna, 2006:3). Semua kebaikan agama bertujuan untuk mencapai keridhaan Tuhan, tanpa terkecuali.

Setiap penganut agama meyakini kebenarannya masing-masing, dan keyakinan memang tidak bisa dipaksakan. Untuk itu, antar penganut beragama hendaknya menghargai keyakinan

orang lain (toleran), seperti dalam firman Allah:

“Tidak ada paksaan di dalam agama” (QS.

al-Baqarah:26). Selain itu firman-Nya: “Bagimu agamamu, bagiku agamaku”(QS. Al-Kafirun:6).

Uraian dalam tulisan ini akan dipusatkan pada Toleransi Masyarakat Islam dan Kristen di Kecamatan Lalabata Kabupaten Soppeng Tahun 1950 – 2007. Batasan spasialnya penulis ambil di Kabupaten Soppeng Kecamatan Lalabata sebagai daerah penelitian dengan alasan Kabupaten Soppeng merupakan salah satu daerah yang penduduknya mayoritas agama Islam, akan tetapi juga tumbuh dan berkembang agama Katolik dan Protestan sehingga kehidupan masyarakatnya dapat membina suatu kerukunan beragama dalam kehidupaan sehari-hari tanpa melihat adanya perbedaan.

Batasan temporalnya adalah 1950 sampai 2007. Tahun 1950 diambil oleh peneliti sebagai tahun awal penelitian, karena tahun 1950 diperkirakan perkembangan agama Kristen semakin pesat di Kabupaten Soppeng, pada saat itu para zending berdatangan ke wilayah Soppeng untuk mengajak masyarakat masuk menjadi penganut agama Kristen baik Katolik maupun Protestan. Adapun cara-cara yaang dilakukannya adalah memberi bantuan kepada masyarakat berupa kebutuhan pokok dan pakaian. Sehingga pada saat itu banyak masyarakat terutama di ketiga kecamatan tersebut tertarik menjadi penganut agama Kristen, sekalipun kita ketahui bahwa pada saat itu masyarakat Kabupaten Soppeng pada umumnya penganut Islam. Tahun 2007 dijadikan sebagai batasan akhir dalam penelitian ini, karena dengan pertimbangan agar perkembangan Kristen dapat dikaji sampai masa kini, dengan melihat keadaan masyarakat Kabupaten Soppeng dapat menciptakan hubungan masyarakat yang sangat harmonis dalam perbedaan yang di miliki sehingga kehidupan toleransi dalam masyarakat dapat terpenuhi.

(3)

Masyarakat Kabupaten Soppeng telah mempraktekkan dan meletakkan toleransi sebagai bagian dari sejarah mereka. Praktek toleransi antara umat beragama, tidak hanya terlihat dalam segmen masyarakat sebagai komponen besar, tetapi juga terdapat dalam keluarga sebagai element terkecil dalam masyarakat.

Persoalan pluralitas agama dalam masyarakat Kabupaten Soppeng, tidak mencerminkan adanya isu yang dapat

menimbulkan konflik sosial dalam

kehidupannya. Bahkan, masyarakat Soppeng telah mempraktekkan dan meletakkan pluralitas sebagai bagian dari sejarah mereka. Praktek toleransi antara umat beragama, tidak hanya terlihat dalam segmen masyarakat sebagai komponen besar, tetapi juga terdapat dalam keluarga sebagai element terkecil dalam masyarakat. Dalam satu kelaurga inti, terdapat sikap-sikap toleransi yang diwariskan dari satu generasi ke generasi yang lainnya. Seorang anak dapat menerima saudara kandungnya yang berbeda agama, demikian pula seorang ayah atau ibu dapat merelahkan anaknya menjadi seorang muslim kendatipun ia seorang pemimpin agama lain.

Sebuah harmonisasi yang merealita pada semua aspek kehidupan mereka, mencerminkan pemahaman pluralitas mereka adalah jendela untuk melihat dan membangun pluralisme dalam konteks lebih luas. Lalu, bagaimana sikap-sikap toleransi tersebut diwariskan dari satu generasi ke generasi yang lain? Bagaimana generasi baru mampu menerjemahkan sikap-sikap toleransi tersebut dan diterapkan dalam konteks kekinian? Dan bagaimana sikap-sikap toleransi ini mampu bertahan ditenpah perubahan sosial politik dalam konteks lebih luas? Adalah pertanyaan-pertanyaan penting akan dijawab dalam penelitian ini.

Studi tentang Pendidikan multikultural di SMP Negeri 5 Makassar oleh Ichsan (2010) menggambarkan nuansa pendidikan multikultural berjalan dengan semestinya demi tercapainya cita-cita dan tujuan sekolah tersebut.

Tulisan ini memberi informasi penting terutama dalam menciptakan suatu toleransi dalam kehidupan sehari-hari siswa terdapat berbagai macam perbedaan baik dari segi agama, suku, ras dan lain sebagainya.

Karya tulis lain yang berjudul “Penanaman sikap Toleransi beragama dalam pendidikan Agama” ditulis oleh Rofiqoh (2015) melakukan

penelitian karena dilatarbelakangi oleh masih

adanya konflik yang mengatasnamakan agama.

Hal tersebut sangat berpengruh terhadap kerukunana umat beragama. Dalam hal ini pendidikan agama dianggap berperan penting dalam upaya menangkal prilaku negatif yang akan dilakukan oleh penganutnya.

Hasil penelitin yang berkaitan dengan kajian ini masih sangat kurang terutama yang membahas secara khusus tentang toleransi umat beragama dalam suatu daerah. Sehingga tulisan-tulisan yang tersebut di atas dapat memperkaya dan mempertajam pertanyaan-pertanyaan yang akan diajukan dalam artikel ini.

Tiga pokok bahasan di uraikan dalam artikel ini, yaitu pertama, Bagaimana pandangan Islam, Katolik dan Kristen Protestan tentang toleransi, menyoroti pada pemahaman masyarakat Kecamatan Lalabata dalam memahami tentang toleransi berdasarkan keyakinan masing-masing dan sesuai dengan ajaran yang dianutnya. Kedua,

Bagaimana sikap-sikap toleransi antara umat beragama dalam masyarakat Kecamatan Lalabata Kabupaten Soppeng dalam kehidupannya. Pada bagian ini akan menjelaskan kehidupan sehari-hari dalam satu rumpun keluarga yang menganut lebih dari satu agama. Kehidupan sehari-hari yang dimaksud adalah ketika mereka merayakan hari besar agama, sikap-sikap menghargai dalam menjalankan ibadah, dan lain sebagainya.

Ketiga. Bagaimana kearifan nilai-nilai budaya lokal yang berkembang pada masyarakat Kecamatan Lalabata Kabupaten Soppeng dalam menciptakan toleransi beragama. Pada bagian ini akan melihat nilai-nilai budaya lokal yang dimiliki oleh masyarakat sehingga mampu menciptakan dan mempertahan suatu sikap toleransi terhadap perbedaan yang ada.

(4)

METODE

Jenis penelitian ini adalah penelitian sejarah yang bersifat deskriptif dengan menggunakan pendekatan kualitatif, yang mengandalkan sumber-sumber tertulis atau menggunakan bahan dokumen dan wawancara dengan pelaku sejarah. Jenis penelitian sejarah memberikan penekanan pada aspek kronologis terhadap perkembangan toleransi masyarakat Islam dan Kristen di Kecamatan Lalabata Kabupaten Soppeng tahun 1950-2007. Pembahasan tentang toleransi tersebut membutuhkan data yang akurat dan valid, untuk itu sangatlah penting menggunakan metode penelitiaan sejarah.

Dilihat dari sumber datanya, jenis penelitian ini adalah penelitian lapangan (field research), karena data yang diperlukan dalam penyusunan karya ilmiah ini diperoleh dari lapangan yaitu di lingkungan masyarakat Kecamatan Lalabata (Watansoppeng). Berdasarkan data yang dikumpulkan, maka metode dalam penelitian ini menggunakan metode penelitian sejarah.

Lokasi penelitian berpusat di Kabupaten Soppeng Kecamatan Lalabata dalam hal ini pusat kota Watansoppeng, Pemilihan daerah penelitian ini dilakukan secara sengaja. Penentuan lokasi penelitian di Kabupaten Soppeng dengan pertimbangan bahwa Kabupaten Soppeng merupakan salah satu wilayah yang memiliki persebaran penduduk yang beragama Kristen yang mampu hidup berdampingan dengan masyarakatnya yang mayoritas beragama Islam. Namun kenyataanya masyarakat di wilayah Kabupaten Soppeng memiliki toleransi yang sangat tinggi dalam kehidupan sehari-harinya.

Teknik pengumpulan data sejarah (heuristik) yang digunakan dalam penelitian ini terdiri dari sumber tertulis dan sumber lisan. Sumber tertulis adalah arsip, dokumen, dan kepustakaan serta beberapa surat kabar. Sementara itu sumber lisan berupa wawancara mendalam dengan masyarakat yang tujuannya adalah untuk mendukung fokus penelitian ini. Kemudian menilainya secara kritis (kritik sumber) yang selanjutnya diinterpretasikan dengan tujuan memberikan makna pada suatu

peristiwa. Penulisan (historiografi) merupakan

tahap akhir dari seluruh rangkaian proses pengolahan dan penyusunan sumber-sumber sejarah yaitu dengan menyusun dan merangkai fakta-fakta menjadi kisah sejarah.

PEMBAHASAN Pengertian Toleransi

Kata toleransi berasal dari bahasa latin “tolerare” yang berarti bertahan atau memikul.

Toleran disini diartikan dengan saling memikili walaupun pekerjaan itu tidak disukai; atau memberi tempat kepada orang lain, walaupun kedua belah pihak tidak sependapat (Siagian, 1993:115). Dengan demikian toleransi menunjuk pada adanya suatu kerelaan untuk menerima kenyataan adanya orang lain yang berbeda.

Menurut Kamus Umum Bahasa Indonesia, Toleransi yang berasal dari kata “toleran” itu sendiri berarti bersifat atau bersikap menenggang (menghargai, membiarkan, membolehkan), pendirian (pendapat, pandangan, kepercayaan, kebiasaan, dan sebagainya) yang berbeda dan atau yang bertentangan dengan pendiriannya. Toleransi juga berarti batas ukur untuk penambahan atau pengurangan yang masih diperbolehkan.

Dalam bahasa Arab, toleransi biasa disebut “ikhtimal, tasamuh” yang artinya sikap membiarkan, lapang dada (samuha-yasmuhu-samhan, wasimaahan, wasamaahatan) artinya: murah hati, suka berderma (kamus Al Muna-wir hlm.702). Jadi, toleransi (tasamuh) beragama adalah menghargai dengan sabar, menghormati keyakinan atau kepercayaan seseorang atau kelompok lain. Dari kata tasamuh tersebut dapat diartikan agar di antara mereka yang berbeda pendapat hendaknya bisa saling memberikan tempat bagi pendapatnya. Masing-masing pendapat memperoleh hak untuk nmengembangkan pendapatnya dan tidak saling menjegal satu sama lain.

Dari beberapa pendapat di atas, toleransi dapat diartikan sebagai sikap menenggang, membiarkan, membolehkan, baik berupa pendirian, kepercayaan dan kelakuan yang

(5)

dimiliki seseorang atas yang lainnya. Dengan kata lain toleransi adalah sikap lapang dada terhadap prinsip yang lain. Toleransi tidak berarti seseorang harus mengorbankan kepercayaan atau prinsip yang dianutnya. Dalam toleransi sebaliknya tercermin sikap yang kuat untuk memegang keyakinan atau pendapatnya sendiri.

Toleransi Dalam Pandangan Islam

Dalam sejarah kehidupan umat Islam, sikap toleransi telah diletakkan pada saat awal Nabi Muhammad saw membangun negara Madinah. Sesaat setelah Nabi Muhammad saw. hijrah ke kota Madinah, Nabi melihat adanya pluralitas yang terdapat di kota Madinah. Pluralitas yang dihadapi Nabi antara lain tidak hanya karena perbedaan etnis semata, tetapi perbedaan yang disebabkan agama. Madinah tidak bersifat homogen dengan agama, tetapi di Madinah di samping yang beragama Islam, terdapat pula penduduk yang beragama Yahudi dan Nasrani.

Melihat pluralitas keagamaan ini Nabi berinisiatif untuk membangun kebersamaan dengan yang berbeda agama. Inisiatif itu kemudian melahirkan apa yang dikenal dengan Piagam Madinah. Dalam pandangan Madjid (1992:195) Piagam Madinah merupakan dokumen politik resmi pertama yang meletakkan prinsip kebebasan beragama dan berusaha. Bahkan sesungguhnya Nabi juga membuat perjanjian tersendiri yang menjamin kebebasan dan keamanan umat Kristen di mana saja, sepanjang masa.

Contoh lain dari wujud toleransi Islam terhadap agama lain diperlihatkan oleh Umar ibn al-Khattab. Umar membuat sebuah perjanjian dengan penduduk Yerussalem, setelah kota suci itu ditaklukkan oleh kaum Muslimin. Isi perjanjian itu antara lain berbunyi;

“...Ia (Umar, pen) menjamin mereka keamanan untuk jiwa dan harta mereka, dan untuk gereja-gereja dan salib-salib mereka, serta yang dalam keadaan sakit ataupun sehat, dan untuk agama mereka secara keseluruhan. Gereja-gereja mereka tidak akan diduduki dan tidak pula dirusak, dan tidak akan dikurangi

sesuatu apapun dari gereja-gereja itu dan tidak pula dari lingkungannya...”(Nurcholish Madjid, 1993:193).

Kebijakan politik yang dilakukan baik oleh Nabi Muhammad SAW atau Umar ibn al-Khattab di atas tentu dengan dasar-dasar pijakan yang terdapat dalam alquran. Dalam beberapa ayatnya alquran menyatakan: “Tidak ada paksaan untuk memasuki agama (Islam); sesungguhnya telah jelas jalan yang benar dari pada jalan yang salah...”(QS.Al-Baqarah (2):256). Dan katakanlah: “Kebenaran itu datang dari Tuhanmu; maka barang siapa yang ingin beriman hendaklah ia beriman, dan barangsiapa

yang ingin kafir biarlah ia kafir...” (QS. Al-Kahfi

(18):29). “Dan jikalau Tuhanmu menghendaki, tentulah beriman semua orang yang dimuka bumi seluruhnya. Maka apakah kamu hendak memaksa manusia supaya mereka menjadi orang-orang yang beriman semuanya” (QS. Yunus (10):99)

Ayat-ayat tersebut menjadi dasar tentang adanya kebebasan manusia untuk menentukan pilihan atas agamanya. Prinsip-prinsip itulah yang mendasari kebijakan politik umat Islam tentang kebebasan beragama. Meskipun tidak sepenuhnya sama dengan yang ada di zaman modern ini, namun prinsip-prinsip kebebasan beragama dalam zaman klasik itu sama dengan yang terjadi sekarang.

Dalam hubungannya dengan orang-orang yang tidak seagama, Islam mengajarkan agar umat Islam berbuat baik dan bertindak adil kepada siapapun yang tidak memerangi umat Islam karena agama yang dianut. Alquran juga mengajarkan agar umat Islam mengutamakan terciptanya suasana perdamaian, hingga timbul rasa kasih sayang di antara umat Islam dengan umat beragama lain tidaklah menjadi halangan dalam Islam. Keadaan demikian digambarkan dalam Alquran: “Dan jika seseorang di antara orang-orang musyrikin itu meminta perlindungan kepadamu, maka lindungilah ia,

supaya ia sempat mendengarkan firman Allah,

kemudian antarkanlah ia ke tempat yang aman baginya” (QS.Al-Taubah (9):6).

(6)

Seiring dengan arti toleransi di atas, yaitu memberikan tempat kepada orang yang berbeda agama, tidak berarti mengakui kebenaran semua agama. Toleransi tidak dapat diartikan mengakui kebenaran semua agama dan tidak pula dapat diartikan kesediaan untuk mengikuti ibadat-ibadat keagamaan lain. Antara agama Islam dengan agama kenabian yang lain mungkin ditemukan adanya persamaan, akan tetapi tidak dapat dielakkan bahwa telah terjadi perbedaan dalam beberapa hal, yang menurut keyakinan Islam hal itu terjadi akibat campur tangan manusia. Begitu pula antara Islam dan agama bukan kenabian, kemungkinan terdapat persamaan, terutama dalam ajaran moralnya, karena akal budi manusia bisa sampai pada kesimpulan-kesimpulan yang sejalan dengan wahyu.

Toleransi harus dibedakan dari komfromisme, yaitu menerima apa saja yang dikatakan orang lain asal bisa menciptakan kedamaian dan kerukunan, atau saling memberi dan menerima demi terwujudnya kebersamaan. Komfromisme tidak dapat diterapkan dalam kehidupan beragama. Komfromisme dalam beragama akan melahirkan corak keagamaan yang sinkretik.

Terhadap keinginan bersama untuk melaksanakan ajaran agama, Allah SWT. menurunkan FirmanNya yaitu: “Katakanlah

(Muhammad), “Wahai orang-orang kafir,

aku tidak akan menyembah apa yang kamu sembah, dan kamu bukan penyembah apa yang aku sembah, dan aku tidak pernah menjadi penyembah apa yang kamu sembah, dan kamu tidak pernah (pula) menjadi penyembah apa yang aku sembah, untukmu agamamu, dan untukku

agamaku” (QS.Al-Kafirun (109):1-6)

Konfromi dalam ajaran agama adalah tidak mungkin untuk dilakukan, dan Allah sendiri telah melarangnya. Dalam hal ibadah masing-masing agama melaksanakan sesuai dengan keyakinannya. Betapapun baiknya ajaran Islam tentang bagaimana seharusnya umat Islam bersikap terhadap kaum agama lain, tetapi dalam hal menyangkut pelaksanaan ibadah tidak terjadi komfromi di dalamnya

Toleransi Dalam Pandangan Kristen (Katholik dan Protestan)

Pada saat Yesus hidup di dunia ini, dunia barat atau Eropa sementara dikuasai oleh imperium Romawi. Itu jelas suatu negara yang tidak bersifat teokrasi. Karena itu Yesus pun tidak melakukan Civil Law sebagaimana yang diperintahkan hukum Taurat. Misalnya: Yesus tidak menghukum ahli Taurat yang mengajarkan ajaran sesat, Yesus tidak menghukum mati

orang-orang kafir yang Ia temui, Ia juga tidak

memerintahkan hukuman mati bagi perempuan yang kedapatan berzinah (Yoh 8:5) padahal jelas Taurat memerintahkan itu (Im 20:10). Kalau Ia melakukan semua itu jelas Ia menyalahi hukum Romawi saat itu yang tidak bersifat teokrasi. Karena itu juga adalah salah jika kita saat ini hidup dalam negara yang bersifat demokrasi tapi kita menerapkan hukum non toleransi beragama sebagaimana yang ada dalam negara teokrasi Israel sebagaimana yang telah kita lihat.

Orang-orang asing ini mungkin saja telah memeluk agama Israel (misalnya Rut) tapi bisa juga beragama lain. Kalau sendainya orang asing itu tidak memeluk agama Israel, memang mereka tidak diizinkan untuk beribadah kepada Allah mereka di tengah-tengah bangsa Israel tapi jelas Allah memerintahkan agar kepada mereka orang Israel harus menunjukkan kasih. Bandingkan ini dengan ayat berikutnya:

Im 19:33-34 -(33) Apabila seorang asing tinggal padamu di negerimu, janganlah kamu menindas dia. (34) Orang asing yang tinggal padamu harus sama bagimu seperti orang Israel asli dari antaramu, kasihilah dia seperti dirimu sendiri, karena kamu juga orang asing dahulu di tanah Mesir; Akulah TUHAN, Allahmu.

Henry Efferin - Beberapa bagian dari Alkitab tersebut memberikan indikasi yang jelas mengenai bagaimana perlakuan umat Allah yang semestinya terhadap kelompok orang yang berbeda dari mereka, yaitu dengan menyatakan kasih persaudaraan kepada mereka (Various, 2000:118).

(7)

a. Toleransi Dalam Perspektif agama Kristen Katholik

Dalam ajaran agama Katholik juga ditemui konsep tentang kerukunan, hal ini sebagaimana tercantum dalam Deklarasi Konsili Vatikan II tentang sikap, Geraja terhadap agama-agama lain didasarkan pada asal kisah rasul-rasul 17:26 sebagai berikut; “Adapun segala bangsa itu merupakan satu masyarakat dan asalnya pun satu juga, karena Tuhan menjadikan seluruh bangsa manusia untuk menghuni seluruh bumi”.

Dalam bagian lain dari Mukaddimah Deklarasi tersebut disebutkan: “Dalam zaman kita ini, di mana bangsa, manusia makin hari makin erat bersatu, hubungan antara bangsa menjadi kokoh, gereja lebih seksama mempertimbangkan bagaimana hubungannya dengan agama-agama Kristen lain. Karena tugasnya memelihara persatuan dan perdamaian di antara manusia dan juga di antara para bangsa. Maka di dalam deklarasi ini gereja mempertimbangkan secara istimewa apakah kesamaan manusia dan apa yang menarik mereka untuk hidup berkawan”.

Deklarasi Konsili di atas berpegang teguh pada hukum yang paling utama, yakni “Kasihanilah Tuhan Allahmu dengan segenap hatimu dan segenap jiwamu, dan dengan segenap hal budimu dan dengan segenap kekuatanmu dan kasihanilah sesama manusia seperti dirimu sendiri”(Herman Embuiru, 2007:13).

Isi Deklarasi di atas menggambarkan bahwa pada dasarnya manusia itu memiliki hak yang sama, tidak boleh membeda-bedakannya mesti mereka berlainan agama, sikap saling hormat menghormati agar kehidupan menjadi rukun sangat dianjurkan.

b. Toleransi Dalam Perspektif Agama Kristen Protestan

Sebagaimana halnya dengan agama Kristen Katholik, dalam agama Protestan juga menganjurkan agar antar sesama umat manusia selalu hidup rukun dan harmonis. Agama protestan beranggapan bahwa aspek kerukunan hidup beragama dapat diwujudkan melalui Hukum Kasih yang merupakan norma dan

Pedoman hidup yang terdapat dalam Al-Kitab. Hukum Kasih tersebut ialah mengasihi sesama manusia.

Menurut Agama Protestan, Kasih adalah hukum utama dan yang terutama dalam kehidupan orang Kristen. Dasar kerukunan menurut agama Kristen Protestan didasarkan pada Injil Matius 22:37.

Mat 5:43-44 - (43) Kamu telah mendengar Firman: Kasihanilah sesamamu manusia dan bencilah musuhmu. (44) Tetapi aku berkata kepadamu: Kasihanilah musuhmu dan berdoalah bagi mereka yang menganiaya kamu. Dalam ayat ini Yesus mengajarkan pada murid-muridnya untuk dapat mengasihi musuh-musuh mereka. Alasan untuk tindakan ini di jelaskan dalam ayat selanjutnya: Mat 5:45 – Karena dengan demikianlah kamu menjadi anak-anak Bapamu yang di Syorga, yang menerbitkan matahari bagi orang-orang jahat dan orang-orang baik dan menurunkan hujan bagi orang yang benar dan orang yang tidak benar.

Satu-satunya alasan untuk mengasihi orang di luar lingkaran yang kita sukai dalam konteks tersebut ialah karena Allah juga memelihara setiap orang melalaui providensinya dalam anugerah umum. (Various, 2000:119). Jadi dalam pengajaran Yesus tentng kasih terdapat unsur pengakuan terhadap keterikatan manusia secara keseluruhan sebagamana anak-anak Bapa. Kasih memikirkan yang baik bagi orang lain untuk mementingkan diri sendiri. Ini adalah pernyataan yang fundamental mengenai kasih dalam Al-kitab yang didasari pada pengorbanan Yesus Kristus. “Kristus telah mati untuk kita orang-orang durhaka pada waktu yang ditentukan oleh Allah.... Akan tetapi Allah menunjukkan kasih-Nya kepada kita, oleh karena Kristus telah mati untuk kita, ketika kita masih berdosa” (Rom 5:6-10). Melalui ayat-ayat ini juga melihat betapa manusia itu berharga di mata Allah (Various, 2000:119).

Gal 6:10 – Karena itu, selama masih ada kesempatan bagi kita, marilah kita berbuat baik kepada semua orang, tetapi terutama kepada kawan-kawan kita seiman. Ayat ini mengatakan

(8)

bahwa kita harus berbuat baik kepada semua orang. Dan adanya kata-kata “terutama kepada kawan-kawan seiman” menunjukkan bahwa kata-kata “semua orang” itu termasuk di dalamnya adalah orang-orang yang tidak seiman. Jadi orang yang tidak seiman pun layak untuk mendapatkan perbuatan baik kita sekalipun mereka bukanlah yang terutama.

Demikianlah dasar-dasar Alkitab bagi kehidupan bertoleransi dengan orang-orang beragama lain. Dengan demikian seorang kristen haruslah orang yang bisa hidup bertoleransi dan rukun dengan kelompok-kelompok lain yang berbeda keyakinan / agama dengannya, bahkan harus dapat berbuat baik kepada mereka. Dan karena itu juga kita tidak boleh memusuhi orang beragama lain apalagi berniat untuk membasmi mereka, kita tidak boleh memperlakukan mereka secara tidak adil, bersikap diskriminasi pada mereka, kita juga tidak boleh membakar tempat ibadah mereka, dan lain-lain.

Terbentuknya Sikap Toleransi Masyarakat di Watansoppeng

Toleransi antar umat beragama di Indonesia populer dengan istilah kerukunan hidup beragama. Istilah tersebut merupakan istilah resmi yang digunakan oleh pemerintah. Kerukunan hidup antar umat beragama merupakan salah satu tujuan pembangunan dibidang keagamaan di Indonesia.

Salah satu wujud dari toleransi hidup beragama adalah menjalin dan memperkokoh tali silaturrahmi antar umat beragama dan menjaga hubungan yang baik dengan manusia lainnya. Pada umumnya, manusia tidak dapat menerima perbedaan antara sesamanya, perbedaan dijadikan alasan untuk bertentangan satu dengan yang lainnya. Perbedaan agama merupakan

salah satu faktor penyebab utama adanya konflik

antar sesama manusia.

Merajut hubungan damai antar penganut hanya bisa dimungkinkan jika masing-masing pihak menghargai pihak lain. Mengembangkan sikap toleransi beragama, bahwa setiap penganut agama boleh menjalankan ajaran dan ritual

agamanya dengan bebas dan tanpa tekanan. Oleh karena itu, hendaknya toleransi beragama kita jadikan kekuatan untuk memperkokoh silaturrahmi dan menerima adanya perbedaan. Dengan ini akan terwujud perdamaian, ketentraman dan kesejahteraan.

Dalam kehidupan masyarakat Watansoppeng, kerukunan hidup antar umat beragama selalu terjaga dan terbina dengan baik, sehingga masyarakatnya tidak pernah

terjadi konflik karena masalah agama. Dengan

demikian toleransi antar umat beragama dapat terwujud dengan menumbuhkan sikap saling hormat menghormati antar pemeluk agama yang berbeda sehingga tercipta suasana yang tenang, damai dan tenteram, termasuk dalam melaksanakan ibadah sesuai dengan agama dan keyakinannya masing-masing.

Dalam kehidupan masyarakat Watansoppeng, terdapat sikap-sikap toleransi yang diwariskan dari satu generasi ke generasi yang lainnya. Seorang anak dapat menerima saudara kandungnya yang berbeda agama, demikian pula seorang ayah atau ibu dapat merelakan anaknya menjadi seorang muslim kendatipun ia beragama lain. Sebuah harmonisasi yang merealita pada semua aspek kehidupan mereka, mencerminkan pemahaman toleransi mereka yang sangat tinggi untuk melihat dan membangun toleransi dalam konteks lebih luas.

Selain dari kesiapan menerima perbedaan yang ada, terbukti dari setiap pelaksanaan hari-hari besar keagamaan sangat tercermin adanya saling menghargai dan saling menghormati antara satu dengan yang lainnya. Seperti pada pelaksanaan ibadah puasa bagi kaum muslim, mereka yang beragama Kristen tidak menujukkan perilaku yang tidak menghargai dan tidak menghormati para muslim yang ada disekitarnya.

Sebagaimana yang dinyatakan oleh Hj. Heriati bahwa :

“Apa yang saya lihat dan saya rasakan selama bertempat tinggal di samping Gereja Katholik dan di apik oleh dua masjid, hidup berbaur dengan mereka yang berbeda keyakinan (Kristen Katholik dan Kristen Protestan)

(9)

sudah sekitar lima belas tahun, namun kami saling menghargai satu sama lainnya. Mereka menjalankan ibadahnya masing-masing, kami juga tetap beribadah sesuai keyakinan kami tanpa ada saling mengganggu. Seperti, pada hari Minggu di Gereja samping rumah saya, mereka melantunkan kidung suci untuk Tuhannya, pada saat sebelum tiba waktu shalat setiap hari masjid yang ada tidak jauh dari Gereja tersebut juga tetap melantunkan ayat-ayat suci Alquran. Begitu pula pada hari-hari raya, kami tetap menjalankan dan melaksanakan ibadah masing-masing” (Wawancara: Hj. Heriati, 10 Maret 2016).

Begitu pula sebaliknya, apabila umat Kristen pada saat melaksanakan ibadah para muslim pun melakukan hal yang sama, sehingga lahir sikap saling menghargai dan saling menghormati. Seperti pada saat pelaksanaan hari raya Natal atau hari raya lainnya, Kabupeten Soppeng merupakan salah satu daerah di Sulawesi Selatan yang menjadi tempat pelaksanaan secara besara-besaran setelah Tator dan Makassar.

Adanya salah satu Patung Bunda Maria yang asli terdapat di Kabupeten Soppeng, sehingga masyarakat dari luar berbondong-bondong melaksanakan Natal ataupun perayaan hari raya lainnya di daerah Watansoppeng. Kedatangan mereka disambut hangat oleh keluarganya masing-masing, walaupun kenyataannya kerabatnya itu adalah kaum muslim. Demikian pula mereka yang tidak memiliki keluarga, tetapi hotel ataupun wisma telah penuh, masyarakat muslim tidak keberatan apabila jemaat gereja menumpang di rumahnya.

Uniknya di Watansoppeng, rata-rata penganut ajaran Kristen Protestan adalah penduduk asli, mereka suku Bugis asli, berbahasa Bugis memiliki adat istiadat Bugis namun memiliki keyakinan terhadap Yesus Kristus. Jadi tidak tertutup kemungkinan ada dari satu keluarga, seayah-seibu tapi anaknya ada yang Islam dan ada yang Kristen. Selain itu ada juga suaminya Kristen, istrinya Islam (atau sebaliknya) sehingga anaknya juga terbagi, ada yang menganut Islam dan ada yang menganut Kristen.

Seperti kasus yang di alami oleh ibu Matahari yang menyatakan:

Saya adalah salah satu keluarga yang mengalami kehidupan toleransi yang tinggi karena, ayah saya adalah penganut Kristen Protestan, ibu menganut Islam dan saya bersaudara sebanyak lima orang. Saya adalah anak sulung dan memiliki keyakinan mengikuti ibu yaitu Islam, adik nomor dua dari saya juga Islam, tapi adik nomor tiga dan empat adalah Kristen mengikuti keyakinan ayah. Sedangkan adik bungsu saya juga mengikuti keyakinan ibu yaitu Islam (sama seperti saya dan adik nomor dua). Jadi kalau berbicara masalah toleransi atau kerukunan hidup beragama, buat kami tidak ada masalah. Sepanjang waktu, kami bersaudara tetap bersilaturrahmi dengan baik, tanpa pernah saling memaksa atau mempengaruhi satu sama lain. Kami saling membantu dalam segala hal, kami saling mengunjungi setiap waktu apalagi pada hari raya, saling memaafkan, saling menghargai, saling menghormati itulah kunci kehidupan kami, sekali pun berbeda tapi kami adalah saudara, seayah-seibu dan sekandung (Wawancara: Matahari, 1 April 2016).

Kasus di atas adalah salah satu dari sekian banyak kasus yang ada di Watansoppeng, menunjukkan bahwa perbedaan itu bukan

akar dari suatu konflik atau persengketaan,

akan tetapi bagi masyarakat Watansoppeng itu adalah kekayaan dan keunikan yang tak ternilai harganya, sepanjang kita mau saling menerima perbedaan yang ada. Kerukunan umat beragama sangatlah penting dalam melahirkan suatu toleransi. Saling menghargai, bertenggang rasa dan saling hormat mengormati adalah kunci suatu kebersamaan.

Di Kabupaten Soppeng terdapat tiga wilayah kecamatan yang ditempati oleh umat Kristen dengan tempat ibadahnya (Gereja) antara lain, (1) Kecamatan Lalabata, (2) Kecamatan Marioriwawo, (3) Kecamatan Liliriaja. Di Kecamatan Lalabata terdapat empat gereja, satu gereja tempat ibadah agama Kristen Katolik dan satu gereja tempat ibadah Kristen Protestan dan dua Gereja Pantekosta. Keempat gereja tersebut terletak di pusat kota Watansoppeng

(10)

yang dikelilingi oleh masyarakat yang beragama Islam. Salah satu di antara gereja tersebut terletak berdampingan dengan masjid. Begitu pula pada kedua kecamatan tersebut penempatan gereja dikelilingi oleh masyarakat yang beragama Islam.

Seperti dalam kehidupan masyarakat Watansoppeng, sebagaimana yang dikatakan oleh Pdt. Haddade bahwa “ kerukunan hidup antar umat beragama selalu terjaga dan terbina dengan baik, sehingga masyarakatnya

tidak pernah terjadi konflik karena masalah

agama “ (Wawancara: Pdt Haddade, 17 Maret 2016). Dengan demikian toleransi antar umat beragama dapat terwujud dengan menumbuhkan sikap saling hormat menghormati antar pemeluk agama yang berbeda sehingga tercipta suasana yang tenang, damai dan tenteram, termasuk dalam melaksanakan ibadah sesuai dengan agama dan keyakinannya masing-masing.

Begitu pula kehidupan masyarakat Watansoppeng, terdapat sikap-sikap toleransi yang diwariskan dari satu generasi ke generasi yang lainnya seperti yang dikatakan oleh Bapak Suandi bahwa:

“Seorang anak dapat menerima saudara kandungnya yang berbeda agama, demikian pula seorang ayah atau ibu dapat merelakan anaknya menjadi seorang muslim kendatipun ia beragama lain” (Wawancara: Suandi 29 Maret 2016).

Sebuah harmonisasi yang merealita pada semua aspek kehidupan mereka, mencerminkan pemahaman toleransi mereka yang sangat tinggi untuk melihat dan membangun toleransi dalam konteks lebih luas.

Berdasarkan wawancara dengan Bapak David bahwa di Kabupaten Soppeng masalah keyakinan dan ajaran yang dianut oleh seseorang tidak pernah menjadi masalah bagi setiap keluarga seperti yang dikatakannya:

“kalau keluarga yang beda agama tentu ada, saudara atau bahkan adik dari mama saya itu Islam, namun itu bukanlah suatu permasalahan bagi kami, sebagai keluarga. Setiap hari raya baik itu lebaran, natal kita selalu saling mengunjungi, karena bagaiamana

pun juga mereka adalah keluarga, dan Yesus juga mengatakan bahwa Saling mengasihilah engkau, baik antar sesama agama, maupun agama lain” (Wawancara: David 6 April 2016).

Berdasarkan hasil wawancara tersebut menunjukkan bahwa masyarakat di Watansoppeng mampu menunjukkan Sikap terhadap perbedaan ditentukan oleh seberapa besar suatu masyarakat mampu memaknai hakikat perbedaan, seberapa jauh masyarakat itu tersentuh oleh pengetahuan dan mampu menginternalisasikan nilai-nilai agama dan kebudayaan yang dianutnya, serta tentunya seberapa jauh peran Negara dalam mewujudkan kehidupan masyarakat yang adil dan makmur.

Merajut hubungan damai antar penganut agama hanya bisa dimungkinkan jika masing-masing pihak menghargai pihak lain. Mengembangkan sikap toleransi beragama, bahwa setiap penganut agama boleh menjalankan ajaran dan ritual agamanya dengan bebas dan tanpa tekanan. Oleh karena itu, hendaknya toleransi beragama kita jadikan kekuatan untuk memperkokoh silaturahmi dan menerima adanya perbedaan. Dengan ini, akan terwujud perdamaian, ketentraman, dan kesejahteraan.

Kearifan Nilai-Nilai Budaya Lokal Masyarakat Watansoppeng

Kearifan lokal, atau dalam bahasa asing sering juga dikonsepsikan sebagai kebijaksanaan setempat (local wisdom) atau pengetahuan setempat (local knowledge) atau kecerdasan setempat (local genious) merupakan pandangan hidup, ilmu pengetahuan, dan berbagai strategi kehidupan yang berwujud aktivitas yang dilakukan oleh masyarakat setempat dalam menjawab berbagai masalah dalam pemenuhan kebutuhan mereka.

Kearifan lokal di berbagai daerah di seluruh Nusantara merupakan kekayaan budaya yang perlu diangkat kepermukaan sebagai bentuk jati diri bangsa. Menteri Kebudayaan dan Pariwisata dalam kabinet pemerintahan Susilo Bambang Yudoyonoyang pertama, Jero Wacik, dalam sambutannya pada Simposium Internasional IX Pernaskahan Nusantara di

(11)

Baubau, tanggal 5 Agustus 2005 mengatakan, kearifan lokal yang terdapat di berbagai daerah di Nusantara, seharusnya diangkat dan dihargai sebagai salah satu acuan nilai dan norma untuk mengatasi berbagai persoalan yang dihadapi bangsa Indonesia saat ini.

Sebagai sebuah sistem kepercayaan kepada Sang Ilahi dan tanggapan iman kepadaNya, agama sangat berperan besar dalam kehidupan manusia. Peran itu dapat positif dan dapat juga negatif. Di satu sisi agama mengajarkan cinta-kasih sayang kepada Pencipta dan sesama. Agama bisa menjadi rahmat bagi sesama semesta bila moralitas dan cinta menjadi jantung kehidupan beragama.

Ajaran agama yang menekankan cinta-kasih-sayang menampilkan wajah agama yang sejuk, ramah, yang mengajarkan nilai-nilai luhur, menghargai dan menyenangkan sesama di tengah kehidupan bersama. Agama yang berwajah demikian menjadi daya pemikat tersendiri bagi yang memandang dan memeluknya. Itulah sebabnya, Pemerintah dalam hal ini Departemen Agama RI, mencita-citakan agar agama menjadi landasan etis-moral dan spiritual dalam kehidupan berbangsa, bernegara dan bermasyarakat.

Terciptanya toleransi beragama di Watansoppeng di dukung oleh adanya nilai-nilai budaya yang berkembang dalam masyarakat yang saling menghargai perbedaan, saling menghormati antara satu dengan yang lainnya. Hal ini tidak terlepas dari kearifan lokal yang ada di antaranya;

1. Ati mapaccing (bawaan hati yang baik) tindakan bawaan hati yang baik dari seseorang dimulai dari suatu niat atau itikad baik (nia mapaccing), yaitu suatu niat yang baik dan ikhlas untuk melakukan sesuatu demi tegaknya harkat dan martabat manusia. Bawaan hati yang baik mengandung tiga makna, yaitu a) menyucikan hati, b) bermaksud lurus, dan c) mengatur emosi-emosi.

2. Amaradekangeng (demokrasi) kata

amaradekangeng berasal dari kata

maradeka yang berarti merdeka atau bebas.

3. Assimellereng (kesetiakawanan sosial) konsep assimellereng mengandung makna kesehatian, kerukunan, kesatupaduan antara satu anggota keluarga dengan anggota keluarga lain, antara seorang sahabat dengan sahabat yang lain. Memiliki rasa kekeluargaan yang tinggi, setia kawan, cepat merasakan penderitaan orang lain,

4. Mappasitinaja (kepatutan) mappasitinaja

berasal dari kata sitinaja yang berarti pantas, wajar atau patut. Mappasitinaja

berarti berkata atau berbuat patut atau memperlakukan seseorang secara wajar (Abdurrahman H. 2007:3).

Dalam bahasa Bugis, ati mapaccing

(bawaan hati yang baik) berarti nia’ madeceng

(niat baik), nawa-nawa madeceng (niat atau pikiran yang baik) sebagai lawan dari kata nia’ maja’ (niat jahat), nawa-nawa masala (niat atau pikiran bengkok). Dalam berbagai konteks, kata bawaan hati, niat atau itikad baik juga berarti ikhlas, baik hati, bersih hati atau angan-angan dan pikiran yang baik.

Tindakan bawaan hati yang baik dari seseorang dimulai dari suatu niat atau itikad baik (nia mapaccing), yaitu suatu niat yang baik dan ikhlas untuk melakukan sesuatu demi tegaknya harkat dan martabat manusia. Bawaan hati yang baik mengandung tiga makna, yaitu a) menyucikan hati, b) bermaksud lurus, dan c) mengatur emosi-emosi.

Menurut Bapak Suandi, dalam falsafah orang bugis berdasarkan Lontarak disebutkan bahwa:

“Dua kuala sappo, unganna panasae, belo kanukue (Dua kujadikan pagar, bunga nangka, hiasan kuku.) Dalam bahasa Bugis, bunga nangka disebut lempu yang berasosiasi dengan kata jujur, sedangkan hiasan kuku dalam bahasa Bugis disebut pacci yang kalau ditulis dalam aksara Lontarak dapat dibaca paccing yang berarti suci atau bersih”. (Wawancara: Suandi, 29 Maret 2016)

(12)

Bagi manusia Bugis, segala macam perbuatan harus dimulai dengan niat suci karena tanpa niat suci (baik), tindakan manusia tidak mendapatkan ridha dari Tuhan Yang Maha Kuasa. Seseorang yang mempunyai bawaan hati yang baik tidak akan pernah goyah dalam pendiriannya yang benar karena penilainnya jernih. Demikian pula, ia sanggup melihat kewajiban dan tanggung jawabnya dengan lebih tepat.

Dalam Lontarak Poada adaengngi tanae’ri Soppeng, Makkedatopi Arung Bila bahwa: “eppa tanrana tomadeceng kalawing ati, seuani, passu’i ada napatuju, maduanna, matuoi ada nasitinaja, matellunna duppai ada napasau, maeppa’na, moloi ada napadapi.” (hlm. 10). Kutipan tersebut dapat diartikan bahwa, Berkata pula Arung Bila, ada empat tanda orang baik bawaan hatinya. Pertama, mengucapkan kata yang benar. Kedua, menyebutkan kata yang sewajarnya. Ketiga, menjawab dengan kata yang berwibawa. Keempat, melaksanakan kata dan mencapai sasarannya.

Di samping bawaan hati yang baik sebagai motor pendorong dalam manifestasi perbuatan manusia dalam dunia realitas, terdapat lagi suatu hal dalam diri manusia yang harus dipelihara, yaitu pikiran. Bagi manusia Bugis, hati dan pikiran yang baik merupakan syarat untuk menghasilkan kebaikan dalam kehidupan.

Pengertian tentang kemerdekaan ditegaskan dalam Lontarak Attoriolonna Soppeng sebagai berikut.

“Na ia riasennge maradeka, tellumi pannessai:

- Seuani, tenrilawai ri olona.

- Maduanna, tenriangkai’ riada-adanna.

- Matellunna, tenri atteanngi lao ma-niang, lao manorang, lao orai, lao alau, lao ri ase, lao ri awa. (hlm. 7)

Dari kutipan tersebut dapat diartikan bahwa; Yang disebut merdeka (bebas) hanya tiga hal yang menentukannya:

- tidak dihalangi kehendaknya;

- tidak dilarang mengeluarkan pendapat;

- tidak dilarang ke Selatan, ke Utara, Ke Barat, ke Timur, ke atas dan ke bawah. Itulah hak-hak kebebasan.)

Jadi bagi masyarakat Watansoppeng tidak ada halangan baginya untuk memilih suatu agama ataupun kepercayaan sesuai keyakinan yang dimilikinya. Tidak ada paksaan untuk mereka, bebas memilih sesuai kehendaknya masing-masing.

Konsep assimellereng mengandung makna kesehatian, kerukunan, kesatupaduan antara satu anggota keluarga dengan anggota keluarga lain, antara seorang sahabat dengan sahabat yang lain. Memiliki rasa kekeluargaan yang tinggi, setia kawan, cepat merasakan penderitaan orang lain, tidak tega membiarkan saudaranya berada dalam keadaan menderita, dan cepat mengambil tindakan penyelamatan atas musibah yang menimpa seseorang, dikenal dengan konsep

“sipa’depu-repu” (saling memelihara).

Sebaliknya, orang yang tidak mempedulikan kesulitan sanak keluarganya, tetangganya, atau orang lain sekali pun disebut

bette’ perru. Dalam kehidupan sehari-hari, manifestasi kesehatian dan kerukunan itu disebutkan dalam sebuah ungkapan Bugis:

“tejjali tettappere , banna mase-mase”. Ungkapan tersebut biasanya diucapkan ketika seorang tuan rumah kedatangan tamu. Maksunya adalah “kami tidak mempunyai apa-apa untuk kami suguhkan kepada tuan. Kami tidak mempunyai permadani atau sofa yang empuk untuk tuan duduki. Yang kami miliki adalah kasih sayang.

Lontarak sangat menganjurkan manusia memiliki perasaan kemanusiaan yang tinggi, rela berkorban menghormati hak-hak kemanusiaan seseorang, demi kesetiakawanan atau solidaritas antara sesama manusia, berusaha membantu orang, suka menolong orang menderita, berkorban demi meringankan penderitaan dan kepedihan orang lain dan berusaha pula untuk membagi kepedihan itu ke dalam dirinya. Dalam

Lontarak Attoriolonna Soppeng disebutkan:

Iya padecengi assiajingeng

(13)

- sipakario-rio

- Tessicirinnaiannge ri sitinajae

- Sipakainge’ ri gau’ patujue

- Siaddappengeng pulanae (hlm. 8)

Kutipan tersebut di atas dapat diartikan, yang memperbaiki hubungan kekeluargaan yaitu:

- Sependeritaan dan kasih - mengasihi - Gembira menggembirakan

- Rela merelakan harta benda dalam batas-batas yang wajar);

- Ingat memperingati dalam hal-hal yang benar

- Selalu memaafkan

Mappasitinaja berasal dari kata

sitinaja yang berarti pantas, wajar atau patut.

Mappasitinaja berarti berkata atau berbuat patut atau memperlakukan seseorang secara

wajar. Definisi kewajaran diungkapkan oleh

cendekiawan Luwu sebagaimana dikutip oleh Ambo Enre (1992) sebagai berikut. Ri pariajanngi ri ajannge, ri parialau’i alau’e, ri parimanianngi maniannge, ri pariase’i ri ase’e, ri pariawai ri awae. (Ditempatkan di Barat yang di Barat, ditempatkan di Timur yang di Timur, ditempatkan di Selatan yang di Selatan, ditempatkan di atas yang di atas, ditempatkan di bawah yang di bawah).

Dari ungkapan itu, tergambar bahwa seseorang dikatakan bertindak patut atau wajar bila ia mampu menempatkan sesuatu pada tempatnya. Seseorang yang bertindak wajar berarti ia mampu menempatkan dirinya sesuai dengan kedudukannya. Ia tidak menyerakahi hak orang lain, melainkan memahami hak-haknya sendiri. Di samping itu, ia pula dapat memperlakukan orang lain pada tempatnya. Ia sadar bahwa orang lain mempunyai hak-hak yang patut dihormati.

Selain dari dasar keyakinan masing-masing umat Islam dan Kristen, nilai-nilai kearifan lokal juga menjadi dasar dalam kehidupan sehari-hari sehingga dapat tercipta suatu kehidupan yang harmonis pada masyarakat Kabupaten Soppeng, sehingga sampai sekarang dapat menciptakan

suatu kebersamaan yang selama ini tidak pernah

melahirkan suatu konflik. PENUTUP

Toleransi dalam pandangan Islam, sehubungan dengan orang-orang yang tidak seagama, Islam mengajarkan agar umat Islam bertindak baik dan bertindak adil. Selama tidak bertindak aniaya terhadap umat Islam, maka tidak ada alasan untuk memusuhi apalagi memerangi mereka. Alquran juga mangajarkan agar umat Islam mengutamakan terciptanya suatu perdamaian hingga timbul rasa kasih sayang di antara umat Islam dengan umat beragama lainnya.

Toleransi dalam pandangan Kristen (Katolik dan Protestan). Kerukunan hidup beragama juga dianut dalam ajaran Katolik, sebagimana yang tercantum dalam Deklarasi Konsili Vatikan II tentang, sikap gereja berpegang teguh pada hukum yang paling utama, yakni “Kasihanilah Tuhan Allahmu dengan segenap hatimu dan segenap jiwamu, hal budimu dan dengan segenap kekuatanmu dan kasihanlah sesamamu manusia seperti dirimu sendiri”. Deklarasi ini menunjukkan bahwa pada dasarnya manusia itu memiliki hak yang sama, tidak boleh membeda-bedakannya mesti mereka berlainan agama. Sikap saling hormat menghormati agar kehidupan menjadi rukun sangat dianjurkan.

Dalam Ajaran Protestan juga menganjurkan agar antar sesama umat manusia selalu hidup rukun dan harmonis. Dengan beranggapan bahwa aspek kerukunan hidup beragama dapat diwujudkan melalui hukum kasih yang merupakan norma dan pedoman hidup yang terdapat dalam Al-kitab, yaitu mengasihi Allah dan mengasihi sesama manusia.

Terwujudnya sikap toleransi antara umat beragama dalam masyarakat Kecamatan Lalabata Kabupaten Soppeng dapat dilihat dalam kehidupan sehari-harinya. Mereka mampu menjalani kehidupannya masing-masing tanpa mempedulikan perbedaan yang ada, termasuk adanya perbedaan keyakinan atau agama yang

(14)

dianut. Sehingga toleransi dan kerukunan hidup beragama dapat tercipta dengan baik.

Toleransi dan Kerukunan hidup beragama di Kecamatan Lalabata Kabupaten Soppeng dapat terwujund dengan baik karena masyarakat

yang ada di dalamnya dapat mengaflikasikan

nilai-nilai kearifan budaya lokal antara lain: - Ati mapaccing (bawaan hati yang baik) - Amaradekangeng (demokrasi)

- Assimellereng (kesetiakawanan sosial) - Mappasitinaja (kepatutan)

DAFTAR PUSTAKA

Abdurrahman. 2007. Pelestarian Kearifan Lokal Melalui Pewarisan Bahasa Bugis. Makalah disajikan dalam Kongres I Bahasa-Bahasa Daerah Sulawesi Selatan, Makassar, 22-25 Juli.

Ambo Enre, Fachruddin. 1992. Beberapa Nilai Sosial Budaya dalam Ungkapan dan Sastra Bugis. Pidato Pengukuhan Guru Besar. (dalam Jurnal PINISI, Vol. 1). FPBS IKIP Ujung Pandang.

Daliman, A. 2012. Metode Penelitian Sejarah. Jogyakarta: Ombak.

Departemen Agama RI. 1980. Pedoman Dasar Kerukunana Hidup Beragama. Jakarta: Depag RI

---. 1994. Al-Qur’an dan Terjemahannya. Semarang: CV. Adi

Grafika.

Husna, Khotimatul. 2006. 40 Hadits Sahih Pedoman Membangun Toleransi. Yogyakarta: Pustaka Pesantren.

Lembaga Alkitab Indonesia. 2007. Alkitab Deuterokanonika. Jakarta: Percetakan Lembaga Alkitab Indonesia.

Lontarak Poada adaengngi tanae’ ri Soppeng Lontarak Attoriolonna Soppeng

Herman Embuiru, SVD. 2007. Konferensi Wali Gereja Regio Nusa Tenggara. Katekismus Gereja Katolik terj.. Ende: Penerbit Nusa Indah.

Mattulada. 1995. La Toa: Satu Lukisan Analistis Terhadao Antropologi Politik

Orang Bugis. Ujung Pandang: Sanuddin University Press.

Madjid, Nurcholish. 1992. Islam Doktrin dan Peradaban. Jakarta: Paramadina.

---. 1993. Islam Kerakyatan dan Keindonesiaan, Pemikiran Nurcholish Muda. Bandung: Mizan.

Meleong, Lexy. J. 2007. Metodologi Penelitian Kualitatif, Cet.Ke-2. Bandung: Remaja Rosdakarya.

Poerwadarminta, WJS. 1980. Kamus Umum Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka.

Rofiqoh. 2015. Penanaman Sikap Toleransi

Beragama Dalam Pendidikan Agama. (tesis).

Siagian. 1993. Agama-Agama di Indonesia. Semarang: Satya Wacana.

Various. 2000. Perjuangan Menantang Zaman, edisi 1. Surabaya: Momentum

Wach, Joachin. 1984. Ilmu Perbandingan Agama. Jakarta: Rajawali Press.

Wacik, Jero. 2005. Kearifan Lokal Seharusnya Dapat Atasi Persoalan Bangsa. (Online). (http://www.kompas.com/gayahidup/ news/0508/05/184117.htm.Diakses tanggal 30 Juli 2007).

Walker, D.F. 1994. Kongkordaansi Alkitab. Yogyakarta: Kanisius

Wawancara / koran / Naskah:

1. Nama: Pdt. Haddade, Umur: 64 Tahun

Agama: Kristen Protestan

Tempat & tgl wawancara : Makassar pada tanggal 17 Maret 2016.

Pekerajaan: Pendeta (Ketua GKSS ) Alamat: Jl. Dangko Makassar 2. Nama: Dra. Matahari

Umur: 54 Tahun Agama: Islam

Tempat & tgl wawancara : Watansoppeng tanggal 1 April 2016.

Pekerajaan: Guru

Alamat: Jl. Nene Urang Watansoppeng 3. Nama: Drs. David, M.Si

(15)

Agama: Kristen Protestan

Tempat & tgl wawancara :Watansoppeng, tanggal 6 April 2016.

Pekerajaan: PNS

Alamat: Jl. Kayangan Watansoppeng 4. Nama: Drs. Suandi, M.Si

Umur: 54 Tahun Agama: Islam

Tempat & tgl wawancara :Watansoppeng, tanggal 29 Maret 2016.

Pekerajaan: PNS

Alamat: Jl. Kemakmuran 5. Nama: Dra. Hj. Heriati, M.Pd Umur: 51 Tahun

Agama: Islam

Tempat & tgl wawancara: Watansoppeng, tanggal 10 Maret 2016.

Pekerajaan: PNS

Referensi

Dokumen terkait

Merujuk pada pola kerja fungsionalisme diatas, fenomena kemiskinan di Indonesia di identifikasi oleh masyarakat yang kemudian dijadikan basis penyusunan kebijakan oleh

Tanaman dengan TF lebih dari 1 diklasifikasikan sebagai tanaman dengan efesiensi tinggi untuk translokasi logam berat dari akar ke bagian tanaman yang berada di atas

Hasil penyadapan berupa rekaman suara yang dilakukan oleh KPK sebagai suatu lembaga atau institusi yang diberikan kewenangan untuk melakukan penyadapan dalam rangka

Untuk tindak pidana korupsi berdasarkan profesi dan jabatannya profesi advokat ikut menjadi subyek dalam menambah jumlah perkara tindak pidana korupsi bersama dengan

Biaya pemasaran adalah biaya-biaya yang dikeluarkan dalam proses mengalirnya produk dari titik produksi (tangan produsen) ke titik konsumsi (tangan konsumen akhir)..

2019, Ketua Tim Peneliti, “Inovasi Teknologi Digital Kultur Berbasis Web sebagai Aplikasi Penyelenggaraan Festival Budaya”, Program Penelitian, Pengabdian Kepada

mengetahui apakah variabel pertumbuhan penjualan, profitabilitas, struktur aset, dan likuiditas memiliki pengaruh terhadap struktur modal UKM sektor makanan dan

Sampel diambil pada bulan agustus karena pada bulan tersebut merupakan musim kemarau, dimana pada musim kemarau kandungan logam berat dalam sedimen umumnya rendah