• Tidak ada hasil yang ditemukan

SPONDILITIS TUBERKULOSIS MULTILEVEL NONKONTINYU PADA SEGMEN SERVIKAL DAN LUMBAL

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "SPONDILITIS TUBERKULOSIS MULTILEVEL NONKONTINYU PADA SEGMEN SERVIKAL DAN LUMBAL"

Copied!
6
0
0

Teks penuh

(1)

4. Puvanachandra P, Hyder AA. The burden of traumatic brain injury in asia: a call for research. Pak J Neurol Sci. 2009;4(1):27-32.

5. Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan Kementerian Kesehatan RI. Riset Kesehatan Dasar 2013. Jakarta: Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan Kementerian Kesehatan RI;2013.

6. Yattoo GH, Tabish A. The profile of head injuries and traumatic brain injury deaths in Kashmir. Journal Trauma Manag Outcomes. 2008;2:5.

7. Wood GC, Boucher BA. Management of acute traumatic brain injury. PSAP-VII Neurology and Psychiatry [serial online]. 2011. [diunduh tanggal 2014 Juni 1]. Tersedia dari: http://www.accp.com/ docs/bookstore/ psap/p7b10sample03.pdf

8. Dardiotis E, Karanikas V, Paterakis K, Fountas K, Hadjigeorgiou GM. Traumatic brain injury and inflammation: emerging role of innate and adaptive immunity. Brain Injury-Pathogenesis, Monitoring, Recovery, and Management [serial online]. 2012. [diunduh tanggal 2015 maret 15]. Tersedia dari: http://cdn.intechopen.com/pdfs-wm/33530.pdf 9. Bradshaw K, Smith M. Disorders of sodium balance

after brain injury. Contin Educ Anesth Crit Care Pain. 2008;8(4):129-33.

10. Assessment of traumatic brain injury, acute. BMJ Best Practice [serial online]. 2013. [diunduh tanggal 2013 agustus 1]. Tersedia dari: http://bestpractice. bmj.com/best-practice/monograph/515.html.

11. The center for outcome measurement in brain injury. COMBI: Featured Scales [serial online]. 2012. [diunduh tanggal 1 juni 2014]. Tersedia dari: http:// www.tbims.org/combi/list.html

12. James ML, Blessing R, Phillips-Bute BG, Bennett E, Laskowitz DT. S100b and BNP predict functional neurological outcome after intracerebral hemorrhage. Biomarkers. 2009;14(6):388-94.

13. Rivera-Lara L, Muehlschlegel S, Carandang R, Ouillette C, Hall W, Anderson F, dkk. Serum sodium values and their association with adverse outcomes in moderate-severe traumatic brain injury (TBI). Center for Clinical and Translational Science [serial online]. 2012. [diunduh tanggal 1 juni 2014]. Tersedia dari: http://escholarship.umassmed.edu/cts_retreat/2012/

posters/55.

14. Wilson JTL, Pettigrew L, Teasdale GM. Emotional and cognitive consequences of head injury in relation to the glasgow outcome scale. J Neurol Neurosurg Psychiatry. 2000; 69(2):204-9.

15. Steyerberg EW, Mushkudiani N, Perel P, Butcher I, Lu J, McHugh GS, dkk. Predicting outcome after traumatic brain injury: development and international validation of prognostic scores based on admission characteristics. PLoS Medicine 2008;5(8):1251-61. 16. Signorini DF, Andrews PJD, Patricia AJ, Wardlaw

JM, Miller JD. Predicting survival using simple clinical variables: a case study in traumatic brain injury. J Neurol Neurosurg Psychiatry. 1999; (66):20-5.

17. De Guise E, Leblanc J, Feyz M, Lamoureux J. Prediction of the level of cognitive functional independence in acute care following traumatic brain injury. Brain Inj. 2005;19(13):1087-93.

18. Rappaport M, Hall KM, Hopkins K, Belleza T, Cope DN. Disability rating scale for severe head trauma: coma to community. Arch Phys Med Rehabil 1982;63(3):118-23.

19. Van Beek JGM, Mushkudiani NA, Steyerberg EW, Butcher I, McHugh GS, Lu J, dkk. Prognostic value of admission laboratory parameters in traumatic brain injury: results from The IMPACT study. J Neurotrauma. 2007;24(2):315-28.

20. Rovlias A, Kotsou S. The blood leukocyte count and its prognostic significance in severe head injury. Surg Neurol. 2001;55(4):190-6.

21. Agnihotri S, Czap A, Staff I, Fortunato G, McCullough LD. Peripheral leukocyte counts and outcomes after intracerebral hemorrhage. Journal of Neuroinflammation. 2011;(8):160.

22. Paiva WS, Bezerra DA, Amorim RL, Figuiredo EG, Tavares WM, De Andrade AF, dkk. Serum sodium disorders in patients with traumatic brain injury. Ther Clin Risk Manag. 2011;7:345-9.

23. Taussky P, Widmer HR, Takala J, Fandino J. Outcome after acute traumatic subdural and epidural haematoma in switzerland: a single-centre experience. Swiss Med WKLY 2008;138(19-20):281-5.

SPONDILITIS TUBERKULOSIS MULTILEVEL NONKONTINYU

PADA SEGMEN SERVIKAL DAN LUMBAL

MULTILEVEL NONCONTIGUOUS TUBERCULOUS SPONDYLITIS AFFECTING

THE CERVICAL AND LUMBAR SEGMENTS

Arthur Hendrik Philips Mawuntu,* Widi Widowati,** Herlyani Khosama* ABSTRACT

Tuberculous spondylitis affecting the cervical segment is reported in 10% of all tuberculous spondylitis cases. As a result, patients with compressive myelopathy in the cervical segment is often diagnosed with other diseases. Similarly, multilevel noncontiguous tuberculous spondylitis is rare. This form is believed to be associated with immunodeficiency conditions due to various etiologies. Some clinicians believe that multilevel noncontiguous tuberculous spondylitis is underdiagnosed if the examination is based on clinical features and plain radiographs. We report a case of multilevel noncontiguous tuberculous spondylitis affecting the cervical and lumbar segments proven by pathological examination.

Keywords: Cervical segment, multilevel noncontiguous segment, tuberculous spondylitis, tuberculosis ABSTRAK

Spondilitis tuberkulosis segmen servikal diperkirakan hanya sekitar 10% dari seluruh kasus spondilitis tuberkulosis. Hal ini menyebabkan pasien dengan gambaran klinis mielopati kompresif servikal lebih sering didiagnosis sebagai penyakit lain. Demikian pula bentuk multilevel nonkontinyu jarang ditemukan. Bentuk ini dipercaya berhubungan

dengan keadaan imunodefisien akibat berbagai alasan. Meskipun demikian, beberapa klinisi menganggap bahwa bentuk multilevel nonkontinyu masih kurang terdiagnosis jika hanya berdasarkan gambaran klinis atau radiografi sederhana. Kami

melaporkan kasus spondilitis tuberkulosis fokus multipel yang mengenai segmen lumbal dan servikal yang dibuktikan dengan pemeriksaan patologi anatomi.

Kata kunci: Multilevel nonkontinyu, segmen servikal, spondilitis tuberkulosis, tuberkulosis

*Departemen Neurologi FK Universitas Sam Ratulangi/RSUP Prof. dr. R.D. Kandou, Manado, **Jogja International Hospital,

Yogyakarta. Korespondensi: arthur_mawuntu@yahoo.com PENDAHULUAN

Tuberkulosis (TB) merupakan masalah kesehatan global. Setiap tahun terdapat delapan juta kasus baru dan tiga juta orang meninggal akibat penyakit ini di seluruh dunia. Tuberkulosis terutama mengenai paru-paru tetapi dikenal juga tuberkulosis ekstraparu. Tuberkulosis ekstraparu dapat melibatkan berbagai organ dengan gambaran klinis yang bervariasi. Tuberkulosis ekstraparu lebih umum ditemukan pada anak-anak dan pasien HIV/ AIDS.1,2

Tuberkulosis tulang sudah jarang ditemukan, terutama paling sering mengenai tulang vertebra yang disebut spondilitis tuberkulosis atau tuberkulosis spinal.3 Spondilitis TB merupakan salah satu penyakit tertua yang pernah didokumentasikan pada manusia. Pada tahun 1779, Percival Pott mendeskripsikan gambaran klasik penyakit ini sehingga penyakit

ini dikenal juga dengan nama penyakit Pott (Pott’s disease).1,4

Saat ini angka kejadian spondilitis TB telah menurun akibat kemajuan terapi obat antituberkulosis (OAT) dan peningkatan kualitas kesehatan masyarakat. Namun di negara-negara berkembang seperti India dan Indonesia, penyakit ini masih cukup sering ditemukan.

Spondilitis TB paling sering mengenai segmen lumbal, pada satu vertebra atau dua hingga tiga vertebra yang berdekatan.2 Segmen servikal jarang terkena, hanya sekitar 10%. Oleh karena itu, pasien dengan klinis mielopati kompresif di servikal lebih sering didiagnosis banding dengan penyakit lain seperti hernia nukleus pulposus bahkan malignansi.3,4 Spondilitis TB multilevel nonkontinyu juga jarang terjadi (1,6–16%).2,5 Umumnya spondilitis TB ditemukan pada pasien imunodefisiensi, namun bisa

(2)

juga pada keadaan imunokompeten.4

Sebagian besar kasus dilakukan pendekatan konservatif dengan pemberian OAT. Kortikosteroid umumnya tidak diberikan kecuali pada kasus-kasus tertentu. Pembedahan diindikasikan jika tidak ada perbaikan klinis dengan terapi konservatif atau terdapat paresis.4 Kami melaporkan satu kasus spondilitis TB multilevel nonkontinyu yang melibatkan segmen lumbal dan servikal.

KASUS

Seorang perempuan, 48 tahun datang dengan keluhan utama kelemahan keempat anggota gerak yang memberat sejak 5 hari hari sebelumnya. Keluhan dimulai sejak 6 bulan sebelumnya berupa nyeri di daerah pinggang sampai perut, terasa seperti tertarik. Kedua tungkai juga terasa lemah dan kesemutan, hingga pasien sulit berjalan. Selanjutnya buang air besar dan buang air kecil harus mengedan dan akhirnya malah menjadi keluar sukar ditahan. Sekitar 4 bulan yang lalu, kedua lengan juga mulai terasa lemah diikuti rasa kesemutan. Pasien sudah mulai sukar beraktivitas. Lima hari sebelum ke RS, keluhan semakin berat, sehingga dibawa ke RS. Pasien mengalami penurunan berat badan sekitar 6–8 kg dalam tiga bulan dan terdapat riwayat kontak dengan penderita TB yang tinggal serumah. Tidak ada riwayat batuk-batuk lama atau batuk berdarah, keringat malam, demam, atau trauma.

Status generalis dalam batas normal, kecuali ditemukan gibus pada daerah lumbal bawah. Pada status neurologis ditemukan kekuatan motorik ekstremitas atas 3-4-4-4/4-4-3-2 dan ekstremitas bawah 3-3-4-4/4-4-3-3. Refleks-refleks fisiologis meningkat di keempat ekstremitas. Terdapat refleks patologis Hoffman Tromner muncul di kedua tangan, tanpa refleks patologis di tungkai. Terdapat hipestesi eksteroseptif dan proprioseptif serta parestesi setinggi segmen C5-6 ke bawah.

Dari hasil laboratorium didapatkan anemia (Hb 9,2g/dL) dan peningkatan laju endap darah hingga 24mm/jam. Lain-lain dalam batas normal dan tes HIV negatif. Foto toraks tidak memperlihatkan gambaran proses spesifik. Ultrasonografi (USG) abdomen dalam batas normal. Pasien didiagnosis dengan tetraparesis tipe upper motorneuron (UMN)

setinggi segmen medula spinalis C5 ke bawah et causa

spondilitis TB dengan diagnosis banding neoplasma. Selanjutnya dilakukan pemeriksaan MRI spinal pada segmen servikal dan lumbosakral dengan hasil gambaran abses paravertebra setinggi C5-6 dengan destruksi C6 yang mendesak kanalis vertebralis dan medula spinalis setinggi lesi (Gambar 1) serta gambaran abses paravertebra setinggi L2-4 dengan destruksi L4 dan erosi L3 yang mendesak kanalis spinalis (Gambar 2). Kedua gambaran ini sesuai untuk suatu spondilitis TB.

Pasien diberikan terapi OAT rifampisin, isoniazid, pirazinamid, dan ethambutol selama dua bulan dilanjutkan rifampicin dan isoniazid selama tujuh bulan serta dikonsulkan ke Bedah Ortopedi-Traumatologi. Pasien dilakukan tindakan laminektomi, debrideman, dan stabilisasi tulang vertebra dalam dua tahap, dimulai di segmen lumbal. Satu minggu pascaoperasi tahap pertama terdapat perbaikan kekuatan otot ekstremitas bawah dan sensibilitas.

Pemeriksaan patologi anatomi dari sampel jaringan di vertebra L4 menunjukkan jaringan tulang dan jaringan ikat fibrosa dengan sebukan limfosit, tuberkel epiteloid, dan sel raksasa Langerhans. Hasil menunjukkan tidak ditemukan basil tahan asam maupun sel-sel ganas, sesuai dengan tuberkulosis.

PEMBAHASAN

Tuberkulosis merupakan penyakit yang berhubungan erat dengan kemiskinan. Meskipun demikian, kasus TB juga mulai sering ditemukan di negara-negara maju dan pasien-pasien yang status ekonominya baik. Hal ini mungkin disebabkan oleh angka migrasi yang meningkat dan perubahan sifat agen penginfeksinya. Inang yang imunodefisiensi seperti pasien positif HIV juga jauh lebih berisiko mengalami tuberkulosis.4

Spondilitis TB merupakan bentuk tuberkulosis tulang yang paling banyak ditemukan. Penyakit ini juga merupakan salah satu penyakit tertua yang pernah didokumentasikan pada manusia dengan mayoritas pasien adalah anak-anak. Percival Pott mendeskripsikan bentuk klasik penyakit ini yaitu destruksi diskus intervertebralis dan korpus-korpus vertebra yang berdekatan, destruksi komponen

(3)

juga pada keadaan imunokompeten.4

Sebagian besar kasus dilakukan pendekatan konservatif dengan pemberian OAT. Kortikosteroid umumnya tidak diberikan kecuali pada kasus-kasus tertentu. Pembedahan diindikasikan jika tidak ada perbaikan klinis dengan terapi konservatif atau terdapat paresis.4 Kami melaporkan satu kasus spondilitis TB multilevel nonkontinyu yang melibatkan segmen lumbal dan servikal.

KASUS

Seorang perempuan, 48 tahun datang dengan keluhan utama kelemahan keempat anggota gerak yang memberat sejak 5 hari hari sebelumnya. Keluhan dimulai sejak 6 bulan sebelumnya berupa nyeri di daerah pinggang sampai perut, terasa seperti tertarik. Kedua tungkai juga terasa lemah dan kesemutan, hingga pasien sulit berjalan. Selanjutnya buang air besar dan buang air kecil harus mengedan dan akhirnya malah menjadi keluar sukar ditahan. Sekitar 4 bulan yang lalu, kedua lengan juga mulai terasa lemah diikuti rasa kesemutan. Pasien sudah mulai sukar beraktivitas. Lima hari sebelum ke RS, keluhan semakin berat, sehingga dibawa ke RS. Pasien mengalami penurunan berat badan sekitar 6–8 kg dalam tiga bulan dan terdapat riwayat kontak dengan penderita TB yang tinggal serumah. Tidak ada riwayat batuk-batuk lama atau batuk berdarah, keringat malam, demam, atau trauma.

Status generalis dalam batas normal, kecuali ditemukan gibus pada daerah lumbal bawah. Pada status neurologis ditemukan kekuatan motorik ekstremitas atas 3-4-4-4/4-4-3-2 dan ekstremitas bawah 3-3-4-4/4-4-3-3. Refleks-refleks fisiologis meningkat di keempat ekstremitas. Terdapat refleks patologis Hoffman Tromner muncul di kedua tangan, tanpa refleks patologis di tungkai. Terdapat hipestesi eksteroseptif dan proprioseptif serta parestesi setinggi segmen C5-6 ke bawah.

Dari hasil laboratorium didapatkan anemia (Hb 9,2g/dL) dan peningkatan laju endap darah hingga 24mm/jam. Lain-lain dalam batas normal dan tes HIV negatif. Foto toraks tidak memperlihatkan gambaran proses spesifik. Ultrasonografi (USG) abdomen dalam batas normal. Pasien didiagnosis dengan tetraparesis tipe upper motorneuron (UMN)

setinggi segmen medula spinalis C5 ke bawah et causa

spondilitis TB dengan diagnosis banding neoplasma. Selanjutnya dilakukan pemeriksaan MRI spinal pada segmen servikal dan lumbosakral dengan hasil gambaran abses paravertebra setinggi C5-6 dengan destruksi C6 yang mendesak kanalis vertebralis dan medula spinalis setinggi lesi (Gambar 1) serta gambaran abses paravertebra setinggi L2-4 dengan destruksi L4 dan erosi L3 yang mendesak kanalis spinalis (Gambar 2). Kedua gambaran ini sesuai untuk suatu spondilitis TB.

Pasien diberikan terapi OAT rifampisin, isoniazid, pirazinamid, dan ethambutol selama dua bulan dilanjutkan rifampicin dan isoniazid selama tujuh bulan serta dikonsulkan ke Bedah Ortopedi-Traumatologi. Pasien dilakukan tindakan laminektomi, debrideman, dan stabilisasi tulang vertebra dalam dua tahap, dimulai di segmen lumbal. Satu minggu pascaoperasi tahap pertama terdapat perbaikan kekuatan otot ekstremitas bawah dan sensibilitas.

Pemeriksaan patologi anatomi dari sampel jaringan di vertebra L4 menunjukkan jaringan tulang dan jaringan ikat fibrosa dengan sebukan limfosit, tuberkel epiteloid, dan sel raksasa Langerhans. Hasil menunjukkan tidak ditemukan basil tahan asam maupun sel-sel ganas, sesuai dengan tuberkulosis.

PEMBAHASAN

Tuberkulosis merupakan penyakit yang berhubungan erat dengan kemiskinan. Meskipun demikian, kasus TB juga mulai sering ditemukan di negara-negara maju dan pasien-pasien yang status ekonominya baik. Hal ini mungkin disebabkan oleh angka migrasi yang meningkat dan perubahan sifat agen penginfeksinya. Inang yang imunodefisiensi seperti pasien positif HIV juga jauh lebih berisiko mengalami tuberkulosis.4

Spondilitis TB merupakan bentuk tuberkulosis tulang yang paling banyak ditemukan. Penyakit ini juga merupakan salah satu penyakit tertua yang pernah didokumentasikan pada manusia dengan mayoritas pasien adalah anak-anak. Percival Pott mendeskripsikan bentuk klasik penyakit ini yaitu destruksi diskus intervertebralis dan korpus-korpus vertebra yang berdekatan, destruksi komponen

vertebra lain, serta kifosis progresif berat.2,4 Kerentanan genetik juga telah ditemukan pada spondilitis TB. Penelitian Zhang dkk terhadap sekelompok pasien Tionghoa memperlihatkan hubungan antara polimorfisme FokI pada gen reseptor vitamin D dengan spondilitis TB. Gen ini berhubungan dengan kerentanan terhadap spondilitis TB.6

Keterlibatan tulang belakang biasanya terjadi akibat penyebaran hematogen. M. tuberculosis

menyebar ke sistem vaskularisasi yang kaya dalam korpus vertebra dari fokus primer di paru-paru. Penyebaran umumnya terjadi lewat jalur arteri, walau penyebaran lewat vena juga mungkin terjadi.4

Jaringan arteri dalam daerah subkondral setiap vertebra berasal dari arteri spinalis anterior dan posterior. Anyaman vaskular ini mempermudah penyebaran hematogen infeksi di daerah sekitar diskus intervertebralis. Keterlibatan vertebra yang bersebelahan terjadi karena arteri-arteri segmental bercabang untuk memperdarahi dua vertebra yang berdekatan.4

Pleksus venosus paravertebralis Batson dalam tulang vertebra merupakan suatu sistem nirkatup yang memungkinkan darah mengalir bebas ke dua arah tergantung dari tekanan yang timbul baik oleh peningkatan tekanan intraabdominal atau intratorakal yang terjadi saat mengedan. Penyebaran infeksi lewat Gambar 2. MRI T2WI Sagital tanpa kontras segmen lumbosakral.

Tampak erosi L3 dan destruksi L4 yang menyempitkan kanalis spinalis dan membentuk angulasi vertebra ke posterior

Gambar 1. MRI T2WI Sagital tanpa kontras segmen servikal. Tampak destruksi C6 dan C7 yang mendesak medula spinalis

(4)

sistem vena dalam tulang mungkin bertanggung jawab terhadap lesi korpus vertebra tipe sentral.4

Daerah torakal bawah dan lumbal atas merupakan lokasi spondilitis TB yang paling sering. Spondilitis TB daerah servikal jarang terjadi. Diperkirakan angka kejadiannya hanya sekitar 10% dari seluruh kasus spondilitis TB. Hal tersebut menyebabkan pasien dengan gambaran klinis mielopati kompresif servikal akan sering didiagnosis sebagai penyakit lain seperti hernia nukleus pulposus servikal atau malignansi daripada spondilitis TB servikal.3,4

Gambaran inflamasi granulomatosa pada TB juga dapat menyerupai gambaran malignansi spinal.3 Namun demikian, pada pasien yang berasal dari daerah dengan kasus TB atau berisiko tinggi terkena TB, diagnosis banding spondilitis TB harus tetap dipikirkan sebagai pilihan utama.

Nyeri leher yang menetap perlu dievaluasi dengan pencitraan radiologis, terutama jika tidak berespons dengan analgetik biasa atau disertai defisit neurologis. Diagnosis dini mampu mencegah sekuele permanen yang bisa terjadi.7 Pada kasus ini, keluhan nyeri leher tidak jelas dikeluhkan oleh pasien. Kelemahan kedua lengan atas juga terjadi belakangan. Namun demikian pemeriksaan neurologis jelas menemukan adanya mielopati servikal sehingga diputuskan untuk melakukan MRI servikal. Diagnosis spondilitis TB servikal berdasarkan gambaran MRI dibuat karena terdapat gambaran abses paravertebra, destruksi yang terutama mengenai bagian anterior vertebra, discitis, serta kerusakan pada dua vertebra yang berdekatan. Kerusakan bagian posterior vertebra lebih jarang ditemukan pada spondilitis TB.4

Tindakan pembedahan pada daerah servikal belum dikerjakan karena pertimbangan faktor psikis pasien sehingga sebenarnya diagnosis etiologis belum bisa ditegakkan. Namun demikian gambaran MRI servikal cukup konklusif untuk menjadi dasar memulai terapi. Pasien juga menglami perbaikan klinis selama pemberian OAT yang diperkirakan turut berdampak terhadap lesi di daerah servikal.

Penelitian retrospektif yang dilakukan oleh Hsu & Leong terhadap 40 kasus spondilitis TB servikal segmen C2 sampai C7 di Hong Kong menemukan

bahwa segmen vertebra yang paling sering terinfeksi adalah vertebra C6. Rata-rata jumlah vertebra servikal yang terkena adalah 2,6.8 Sedangkan Fang dkk menyatakan daerah atlantoaksial sendiri lebih jarang terkena.9 Hal tersebut sesuai dengan kasus ini karena pada kasus ini lesi servikal mengenai vertebra C6 dan C7.

Pada setiap kasus dengan gambaran radiologis yang menyerupai spondilitis TB harus diupayakan pembuktian adanya kuman M. tuberculosis, namun hal tersebut cukup sulit dilakukan. Pewarnaan basil tahan asam kurang sensitif menemukan

Mycobacterium dan kultur membutuhkan waktu yang lama. Belakangan ini penggunaan polymerase chain reaction Mycobacterium tuberculosis (PCR-TB) mulai banyak digunakan karena sensitivitas lebih tinggi. Selain itu, kultur cair juga mampu memberikan hasil yang lebih cepat. Adanya spondilitis TB dengan malignansi yang mengenai tulang belakang juga telah dilaporkan. Hal ini juga perlu dipertimbangkan dalam penanganan pasien secara menyeluruh.

Spondilitis TB umumnya hanya terjadi pada satu vertebra atau dua sampai tiga vertebra yang berdekatan. Namun demikian dikenal juga suatu bentuk spondilitis TB atipikal yang mengenai dua atau lebih vertebra tanpa destruksi dari korpus vertebra atau diskus intervertebralis di antaranya. Bentuk ini disebut spondilitis TB multilevel nonkotinyu yang kasusnya sangat jarang dilaporkan, hanya sekitar 1,6–16%.2,4 Di Jepang Baba dkk melaporkan satu kasus pasien berkebangsaan Indonesia dengan spondilitis tuberkulosis pada 17 vertebra yaitu C3-7, Th1-Th8, Th10, L1-L3, dan L5.5 Sistem vena vertebra bertanggung jawab terhadap penyebaran infeksi ke beberapa vertebra nonkontinyu.4

Kasus ini menarik karena ditemukan keter-libatan beberapa segmen vertebra servikal dan lumbal yang sesuai dengan bentuk spondilitis TB multilevel nonkontinyu. Umumnya kasus seperti ini terjadi pada pasien imunodefisiensi yang penyebabnya bermacam-macam.5 Pemeriksaan pada pasien ini tidak berhasil

menemukan adanya penyebab imunodefisiensi. Hal seperti ini pernah dilaporkan dalam beberapa laporan kasus. Kasus yang dilaporkan oleh Baba dkk juga tidak memiliki penyebab imunodefisiensi yang jelas.5

(5)

sistem vena dalam tulang mungkin bertanggung jawab terhadap lesi korpus vertebra tipe sentral.4

Daerah torakal bawah dan lumbal atas merupakan lokasi spondilitis TB yang paling sering. Spondilitis TB daerah servikal jarang terjadi. Diperkirakan angka kejadiannya hanya sekitar 10% dari seluruh kasus spondilitis TB. Hal tersebut menyebabkan pasien dengan gambaran klinis mielopati kompresif servikal akan sering didiagnosis sebagai penyakit lain seperti hernia nukleus pulposus servikal atau malignansi daripada spondilitis TB servikal.3,4

Gambaran inflamasi granulomatosa pada TB juga dapat menyerupai gambaran malignansi spinal.3 Namun demikian, pada pasien yang berasal dari daerah dengan kasus TB atau berisiko tinggi terkena TB, diagnosis banding spondilitis TB harus tetap dipikirkan sebagai pilihan utama.

Nyeri leher yang menetap perlu dievaluasi dengan pencitraan radiologis, terutama jika tidak berespons dengan analgetik biasa atau disertai defisit neurologis. Diagnosis dini mampu mencegah sekuele permanen yang bisa terjadi.7 Pada kasus ini, keluhan nyeri leher tidak jelas dikeluhkan oleh pasien. Kelemahan kedua lengan atas juga terjadi belakangan. Namun demikian pemeriksaan neurologis jelas menemukan adanya mielopati servikal sehingga diputuskan untuk melakukan MRI servikal. Diagnosis spondilitis TB servikal berdasarkan gambaran MRI dibuat karena terdapat gambaran abses paravertebra, destruksi yang terutama mengenai bagian anterior vertebra, discitis, serta kerusakan pada dua vertebra yang berdekatan. Kerusakan bagian posterior vertebra lebih jarang ditemukan pada spondilitis TB.4

Tindakan pembedahan pada daerah servikal belum dikerjakan karena pertimbangan faktor psikis pasien sehingga sebenarnya diagnosis etiologis belum bisa ditegakkan. Namun demikian gambaran MRI servikal cukup konklusif untuk menjadi dasar memulai terapi. Pasien juga menglami perbaikan klinis selama pemberian OAT yang diperkirakan turut berdampak terhadap lesi di daerah servikal.

Penelitian retrospektif yang dilakukan oleh Hsu & Leong terhadap 40 kasus spondilitis TB servikal segmen C2 sampai C7 di Hong Kong menemukan

bahwa segmen vertebra yang paling sering terinfeksi adalah vertebra C6. Rata-rata jumlah vertebra servikal yang terkena adalah 2,6.8 Sedangkan Fang dkk menyatakan daerah atlantoaksial sendiri lebih jarang terkena.9 Hal tersebut sesuai dengan kasus ini karena pada kasus ini lesi servikal mengenai vertebra C6 dan C7.

Pada setiap kasus dengan gambaran radiologis yang menyerupai spondilitis TB harus diupayakan pembuktian adanya kuman M. tuberculosis, namun hal tersebut cukup sulit dilakukan. Pewarnaan basil tahan asam kurang sensitif menemukan

Mycobacterium dan kultur membutuhkan waktu yang lama. Belakangan ini penggunaan polymerase chain reaction Mycobacterium tuberculosis (PCR-TB) mulai banyak digunakan karena sensitivitas lebih tinggi. Selain itu, kultur cair juga mampu memberikan hasil yang lebih cepat. Adanya spondilitis TB dengan malignansi yang mengenai tulang belakang juga telah dilaporkan. Hal ini juga perlu dipertimbangkan dalam penanganan pasien secara menyeluruh.

Spondilitis TB umumnya hanya terjadi pada satu vertebra atau dua sampai tiga vertebra yang berdekatan. Namun demikian dikenal juga suatu bentuk spondilitis TB atipikal yang mengenai dua atau lebih vertebra tanpa destruksi dari korpus vertebra atau diskus intervertebralis di antaranya. Bentuk ini disebut spondilitis TB multilevel nonkotinyu yang kasusnya sangat jarang dilaporkan, hanya sekitar 1,6–16%.2,4 Di Jepang Baba dkk melaporkan satu kasus pasien berkebangsaan Indonesia dengan spondilitis tuberkulosis pada 17 vertebra yaitu C3-7, Th1-Th8, Th10, L1-L3, dan L5.5 Sistem vena vertebra bertanggung jawab terhadap penyebaran infeksi ke beberapa vertebra nonkontinyu.4

Kasus ini menarik karena ditemukan keter-libatan beberapa segmen vertebra servikal dan lumbal yang sesuai dengan bentuk spondilitis TB multilevel nonkontinyu. Umumnya kasus seperti ini terjadi pada pasien imunodefisiensi yang penyebabnya bermacam-macam.5 Pemeriksaan pada pasien ini tidak berhasil

menemukan adanya penyebab imunodefisiensi. Hal seperti ini pernah dilaporkan dalam beberapa laporan kasus. Kasus yang dilaporkan oleh Baba dkk juga tidak memiliki penyebab imunodefisiensi yang jelas.5

Beberapa peneliti berpendapat bahwa kasus spondilitis TB multilevel nonkotinyu mungkin lebih banyak daripada yang dipikirkan selama ini. Kaila dkk dalam penelitian retrospektif di Britania Raya yang menggunakan data dari kasus-kasus spondilitis TB yang diperiksa menggunakan MRI spinal menyeluruh menemukan bahwa insidens spondilitis TB multilevel nonkontinyu adalah sebesar 71,4%. Jauh lebih besar daripada laporan sebelumnya yang angkanya berkisar antara 1,6–16%.2

Pada kasus ini dilakukan MRI spinal menye-luruh, karena ditemukan gambaran klinis di daerah leher dan punggung bawah. Sesuai temuan Kaila dkk, sebaiknya dikerjakan MRI spinal menyeluruh apabila ditemukan satu fokus lesi, meskipun tidak ditemukan gejala dan tanda di segmen lain. Banyak pasien yang memiliki spondilitis TB multilevel nonkontinyu yang asimptomatik yang sulit diidentifikasi tanpa MRI spinal. Padahal identifikasi lokasi, jumlah, dan perluasan lesi penting dalam menentukan strategi terapi dan prognosis. Akan tetapi MRI spinal menyeluruh cukup mahal sehingga tidak bisa dikerjakan pada semua pasien yang masih menjadi tantangan yang perlu dijawab.

Penatalaksanaan pasien ini adalah pemberian OAT dilanjutkan operasi bertahap. Tindakan operatif pada kasus ini langsung dikerjakan karena telah terjadi paresis. Perlu diingat bahwa tindakan operatif bukan merupakan tindakan rutin dan pada kasus ini perlu dipertimbangkan penyulit berupa keterlibatan beberapa level vertebra yang nonkontinyu.

Pada pasien spondilitis TB, terapi OAT harus dimulai secepat mungkin. Sering kali OAT harus diberikan secara empirik, diberikan sebelum ditegakkan diagnosis etiologis. Di negara-negara miskin, diagnosis etiologis bahkan sering kali tidak pernah dibuat.4

Hampir seluruh OAT memiliki penetrasi yang baik ke lesi tuberkulosis di vertebra. Distribusi OAT seperti rifampisin, isoniazid, dan pirazinamid ke dalam jaringan vertebra yang terkena spondilitis TB sudah pernah diteliti. Pada pasien tanpa dinding sklerotik di sekitar fokus tuberkulosis pada vertebra, kadar isoniazid berada dalam tingkat mikobakterisidal. Kadar rifampicin dan pirazinamid dalam fokus-fokus tuberkulosis berhubungan dengan

kadar hambat minimal dari masing-masing obat. Tulang vertebra dengan dinding sklerotik di sekitar fokus tuberkulosis akan menghambat penetrasi OAT. Oleh karena itu, jaringan oseosa yang mengelilingi dinding sklerotik dalam jarak 4mm perlu dikeluarkan saat pembedahan.4,10

World Health Organization (WHO) me-rekomendasikan menterapi spondilitis TB dengan kategori terapi I. Pada kategori I, terapi OAT dibagi menjadi fase intensif selama dua bulan yang dilanjutkan dengan fase lanjutan selama tujuh bulan. Pada fase intensif diberikan empat OAT lini pertama yaitu rifampisin, isoniazid, pirazinamid, dan streptomisin. Pada fase lanjutan hanya diberikan rifampisin dan isoniazid. Strategi pengawasan langung perlu dikerjakan untuk meningkatkan ke-patuhan.11

Resistensi OAT masih jarang dilaporkan pada spondilitis TB namun demikian uji resistensi tetapi perlu dikerjakan bila mampu laksana.12,13 Resistensi terhadap rifampisin berhubungan dengan prognosis yang lebih buruk. Tidak ada bukti peranan kortikosteroid pada kasus spondilitis TB kecuali jika terdapat araknoiditis spinal atau tuberkulosis spinal bukan tulang.14

KESIMPULAN

Keluhan mielopati kompresif daerah leher harus selalu didiagnosis banding dengan spondilitis TB. Hal ini terutama dikerjakan di daerah-daerah dengan kasus tuberkulosis atau berisiko tinggi terkena tuberkulosis. Kasus spondilitis TB multilevel nonkontinyu seringkali berhubungan dengan status imunodefisiensi sehingga perlu dievaluasi status imun pasien. Meskipun demikian, spondilitis TB multilevel nonkontinyu juga bisa ditemukan pada pasien imunokompeten. Peran pencitraan saraf dengan MRI spinal perlu dipertimbangkan apabila menemukan spondilitis TB pada satu level, karena akan memengaruhi strategi terapi dan prognosis. DAFTAR PUSTAKA

1. Jain A. Tuberculosis of the spine: a fresh look at an old disease. J Bone Joint Surg Br. 2010;92(7):905–

13.

2. Kaila R, Malhi AM, Mahmood B, Saifuddin A. The

(6)

tuberculosis detected using whole spine MRI. J Spinal Disord Tech 2007;20(1):78-81.

3. Wierzba-Bobrowicz T, Michalak E, Michalik R,

Stępień T. Case report. Cervical spinal tuberculosis. Folia Neuropathol. 2010;48(4):300-4.

4. Garg RK, Somvanshi DS. Spinal tuberculosis: a review. J Spinal Cord Med. 2011;34(5):440-54. 5. Baba H, Tagami A, Adachi S, Hiura T, Osaki M.

Tuberculosis affecting multiple vertebral bodies. Asian Spine J. 2013;7(3):222-6.

6. Zhang H, Deng A, Guo C, Wang Y, Chen L, Wang Y. Association between FokI polymorphism in vitamin D receptor gene and susceptibility to spinal tuberculosis in Chinese Han population. Arch Med Res. 2010;41(1):46-9.

7. Sadek A-R, Wallage W, Jaiganesh T. Cervical spine tuberculosis causing instability and neurological compromise. JRSM Short Rep. 2011;2(6):1-3.

8. Hsu LC, Leong JC. Tuberculosis of the lower cervical spine (C2 to C7): a report on 40 cases. TJ Bone Joint Surg Br. 1984;66(1):1-5.

9. Fang D, Leong J, Fang H. Tuberculosis of the upper

cervical spine. The journal of Bone and Joint Surgery. 1983;65-B(1):47-50.

10. Ge Z, Wang Z, Wei M. Measurement of the

concentration of three antituberculosis drugs in the focus of spinal tuberculosis. Eur Spine J. 2008;17(11):1482-7.

11. World Health Organization. Treatment of

tuber-culosis: guidelines. Edisi ke-4. Geneva: WHO; 2010. 12. Hristea A, Constantinescu R, Exergian F, V VA,

Besleaga M, Tanasescu R. Paraplegia due to non-osseous spinal tuberculosis: report of three cases and review of the literature. Int J Infect Dis. 2008;12(4):425-9.

13. Neher A, Kopp W, Berna G, Frank J, Kohlhaufl M.

Advanced multifocal tuberculous spondylitis without disk involvement and with multidrug-resistant bacilli. Clin Infect Dis. 2007;45(8):e109-12.

14. National Collaborating Centre for Chronic Conditions. TB (partial update) clinical guideline DRAFT (November 2010). Tuberculosis: clinical diagnosis and management of tuberculosis, and measures for its prevention and control. London: Royal College of Physicians;2006.

Gambar

Gambar 1. MRI T 2 WI Sagital tanpa kontras segmen servikal. Tampak destruksi C 6  dan C 7  yang mendesak medula spinalis

Referensi

Dokumen terkait

Pencetusan branding Pesona Indonesia, memberikan daya tarik tersendiri pada pariwisata Indonesia. Selain menjadi salah satu komponen penting dalam pemasaran pariwisata

Berdasarkan penelitian ini tingkat tanggung jawab masyarakat lokal dalam konservasi penyu di pantai selatan Jawa Barat, terdiri dari: (1) respon masyarakat lokal terhadap

Dari hasil analisis hubungan terhadap data yang dilakukan, menunjukkan bahwa adanya hubungan positif dan siginifikan antara memori organisasi dengan perilaku inovatif di

Kecuali item-menu Home yang sudah tersedia pada Menu Utama (Main Menu) Kecuali item-menu Home yang sudah tersedia pada Menu Utama (Main Menu) secara default, Pembaca masih

Komitmen afektif merupakan salah satu dimensi dari komitmen organsasi yang berarti kuatnya keinginan emosional karyawan untuk beradaptasi dengan nilai-nilai yang

solutif, Dalam ranah konkret dan abstrak terkait dengan pengembangan dari yang dipelajarinya di sekolah, serta mampu 3.1.4.Menganalisis konsep wilayah dalam perencanaan

Seleksi dan evaluasi proposal Penelitian Hibah Riset Mandat Universitas Airlangga dilakukan dalam dua tahapan, yaitu pemaparan oleh para peneliti untuk mendapatkan masukan

Identifikasi Masalah Berdasarkan data yang akan digunakan sebagai objek penelitian dapat dirumuskan masalah dengan membuat sebuah sistem yang dapat melakukan pengenalan karakter