• Tidak ada hasil yang ditemukan

Faqih Asy ari Islamic Institute Sumbersari Kediri, Indonesia Moderasi Islam Aswaja untuk Perdamaian Dunia

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Faqih Asy ari Islamic Institute Sumbersari Kediri, Indonesia Moderasi Islam Aswaja untuk Perdamaian Dunia"

Copied!
19
0
0

Teks penuh

(1)

Faqih Asy’ari Islamic Institute Sumbersari Kediri, Indonesia

“Moderasi Islam Aswaja untuk Perdamaian Dunia”

(Volume 1, 2019)

ISBN (Volume Lengkap) 978-623-91749-3-4; ISBN (Volume 1): 978-623-91749-4-1

D

eradikalisasi melalui Pendidikan Aswaja (NU)

Berbasis Pesantren

Doni Saputra

Institut Agama Islam Faqih Asy’ari Kediri, Indonesia email: donitwo45@gmail.com

Abstract

Radicalism or fundamental Islamic, is a phenomenon that is increasingly worrying in Indonesia in the last few years. It is characterized by the emergence of religious organisations that often use the toughest ways in each movement. The government has actually anticipated the organization by the turn off and the activity. But they are like a chameleon, which always changes his appearance with the same content. By looking at the problem above, it does not mean that religious deradicalization is unnecessary, but it needs a proper strategy and clear concept that the process of religious deradicalisation is effective and successful maximums. It is in harmony with many schools that are in the shade of salafiy boarding school, modern Salafi and many more boarding schools that one of them is ASWAJA ala NU. Based on the issues described above, this article is trying to investigate and implement deradicalisation through Education ASWAJA (NU) based boarding school.

Keywords: deradicalism, aswaja, pesantren

Pendahuluan

Radikalisme atau disebut fundamental Islam, merupakan fenomena yang semakin menghawatirkan di Indonesia dalam beberapa tahun akhir. Hal ini ditandai antara dengan munculnya organisasi-organisasi keagamaan yang sering menggunakan cara-cara kekerasan dalam setiap gerakannya. Pemerintah sebenarnya sudah mengantisipasi organisasi tersebut dengan menonaktikan dan mengilegalkan kegiatan tersebut. Tetapi mereka bagaikan bunglon, yang selalu merubah penampilannya dengan isi yang sama.

(2)

Proceeding: The 1st Faqih Asy’ari Islamic Institute International Conference Volume 1, 2019

Organisasi Islam radikal memiliki karakteristik. Sikap keras dan kasar (radikal) ini di tunjukkan kepada kelompok umat Islam terhadap umat Islam lain atau pada agama lain, yang mencerminkan sikap tidak berprikemanusiaan. Fenomena di atas menunjukkan salah satu indikator dari sikap intoleran dalam menghadapi sebuah perbedaan yang tidak bisa dihindarkan, dan sebenarnya perbedaan merupakan sunatullah. Pola berpikir setiap manusia pasti berbeda, tetapi bagaimana perbedaan itu menjadikan satu sama lain saling mengerti, menyayangi dan saling berbagi. Dengan demikian, memoderasi pemikiran untuk mewujudkan Islam rahmatan lil alamin, Islam moderat, menjadi sebuah keniscayaan.

Paham Islam moderat dapat merujuk pada cara yang dilakukan para ulama Indonesia yang terkenal dengan sebutan Walisongo. Di mana walisongo dalam menyebarluaskan Islam di Nusantara. Sikap tawassuth (moderat) menitik beratkan pada prinsip hidup yang menjunjung tinggi keharusan berlaku adil dan lurus di tengah kehidupan bersama1. Sikap inilah yang dijalani Walisongo dalam

menyebarkan Islam di Pulau Jawa dan Indonesia. Sehingga mendapatkan keberhasilan seperti sekarang ini. Berdasarkan fakta sejarah, dengan cara menoleransi tradisi lokal serta memodifikasinya ke dalam ajaran Islam dan tetap bersandar pada prinsip-prinsip Islam, Islam sebagai agama baru pada masa itu dapat diterima oleh para bangsawan serta mayoritas masyarakat Jawa di pesisir Utara2.

Dengan melihat problem di atas, bukan berarti deradikalisasi agama tidak perlu, Akan tetapi perlu strategi yang tepat dan konsep yang jelas agar proses deradikalisasi agama berjalan efektif dan berhasil maksimal. Selain itu, deradikalisasi agama juga harus dilakukan lebih awal dan sedini mungkin terutama dilakukan pada orang-orang yang belum mengalami radikalisasi agama; dilakukan terhadap siswa sekolah agar benar-benar efektif dan menjadi salah satu solusi penanggulangan terorisme. Hal ini selaras banyak di terapkan di sekolah-sekolah yang berada dalam naungan pondok pesantren salafiy, salafi modern dan masih banyak lagi pondok pesantren yang salah satunya beasaskan ASWAJA ala NU.

Pemilihan mata pelajaran aswaja/Islam moderat bagi siswa sangatlah tepat. Walaupun dalam praktenya merupakan mata pelajaran muatan lokal wajib. Pemilihan pembelajaran islam moderat menjadi salah satu tawaran untuk mewujudkan generasi yang memiliki paham Islam cultural karena Islam dipahami

1 Cholid, Pendidikan Ke-NU-an: Konsepsi Ahlussunah Waljamaah Annahdliyah (Semarang: Presisi

Cipta Media, 2007), 69.

2 Abdurrachman. Mas’ud, Dari Haramain Ke Nusantara : Jejak Intelektual Arsitek Pesantren

(3)

sebagai ‘moderat’ dan ‘toleran’ serta sesuai dengan bawaan demokrasi.3 Pelibatan

semua peserta didik dengan menekankan cara berfikir kreatif dan kritis dalam mengemukakan pendapat, ide, dan gagasan sesuai dengan gaya belajar yang dimiliki merupakan gambaran pembelajaran islam moderat sebagai usaha dalam menumbuhkembangkan kesadaran dalam beragama (Islam) yang toleran. Berdasarkan isu-isu yang dipaparkan di atas, artikel ini mencoba untuk menginvestigasi dan mengimplementasikan Deradikalisasi Melalui Pendidikan Aswaja (NU) Berbasis Pondok Pesantren.

Deradikalisasi

Radikalisme menurut bahasa artinya adalah berdiri di posisi ekstrem dan jauh dari posisi tengah-tengah dan melewati batas kewajaran. Secara istilah, radikalisme adalah fanatik kepada satu pendapat yang menegasikan pendapat orang lain, dan mengabaikan terhadap kesejarahan Islam, tidak dialogis, suka mengkafirkan kelompok lain yang tak sepaham, dan tekstual dalam memahami teks agama tanpa mempertimbangkan tujuan syariat (maqashid al-syari’at).

Dalam artian lain, esensi radikalisme juga dikatakan sebagai konsep sikap jiwa dalam mengusung perubahan. Sementara itu radikalisme menurut pengertian lain adalah inti dari perubahan itu cenderung menggunakan kekerasan. Yang dimaksud dengan radikalisme adalah gerakan yang berpandangan kolot dan sering menggunakan kekerasan dalam mengajarkan keyakinan mereka.

Radikalisme adalah suatu perubahan sosial dengan jalan kekerasan, yang meyakinkan akan satu tujuan yang dianggap benar akan tapi dengan menggunakan cara yang salah. Radikalisme dalam artian bahasa berarti paham atau aliran yang mengingikan perubahan atau pembaharuan sosial dan politik dengan cara kekerasan atau drastis.4

Deradikalisasi merupakan proses moderasi terhadap pemikiran atau ideologi para pelaku teror maupun individu yang telah radikal, dalam bahasa lain mengembalikan pemikiran radikal mereka kepada ideologi yang moderat.5

3 Ahmad Rizky Mardhatillah Umar, “A Genealogy of Moderate Islam: Governmentality and

Discourses of Islam in Indonesia’s Foreign Policy,” Studia Islamika 23, no. 3 (2016): 399–433.

4 Irwan Fathurrochman and Eka Apriani, “Pendidikan Karakter Prespektif Pendidikan Islam Dalam

Upaya Deradikalisasi Paham Radikal,” POTENSIA: Jurnal Kependidikan Islam Vol. 3, no. 1 (June 2017): 122–34.

5 Haris Ramadhan, “Deradikalisasi Paham Keagamaan Melalui Pendidikan Islam Rahmatan

Lil’alami, (Studi Pemikiran Pendidikan Islam KH. Abdurrahman Wahid),” Tesis (Universitas Islam Negeri Maulana Malik Ibrahim, 2018), 32.

(4)

Proceeding: The 1st Faqih Asy’ari Islamic Institute International Conference Volume 1, 2019

Radikalisme juga bisa dibaca sebagai pernyataan, prinsip, doktrin politik atau perubahan sosial yang mengakar. Radikalisme dalam konteks terakhir tersebut, dimaknai sebagai orientasi politik kelompok-kelompok yang menghendaki adanya perubahan di pemerintahan atau masyarakat secara revolusioner.6

Sementara, Mohammed Arkoun menjelaskan bahwa radikalisme terjadi akibat pemahaman tekstual atas pesan yang disampaikan oleh Al-Qur‟an yang berbeda-beda yang berkembang seiring dengan kondisi lingkungan dan faktor-faktor lain di mana individu berada. Dalam hal ini, Mohammed Arkoun melihat radikalisme Islam yang tak terpisahkan dari fenomena politis dan sekaligus ideologis. Bahwa radikalisme Islam muncul sebagai akibat dari gerakan politis kelompok tertentu dengan kepentingan tertentu pula.7

Dalam konteks ini diperlukan sebuah ihtiar deradikalisasi yang lebih terstruktur, santun dan penuh dengan nilai-nilai bu-daya ketimuran yakni melalui internalisasi nilai-nilai multukulturalisme-inklusivisme dalam kehidupan beragama di masya-rakat. Internalisasi nilai-nilai multukul-turalisme-inklusivisme sesungguhya meru-pakan gerakan menangkal terhadap nilai-nilai keberagamaan ekslusif. Nilai-nilai eksklusif tentu tidak diharapkan oleh Islam, karena Islam dalam orientasi dakwahnya senantiasa mengajarkan nilai rahmatan lil alamain, penuh dialog dan meninggikan nilai-nilai humanis.8

Sebagian besar fakta pelaku aksi radikalisme dan terorisme adalah Islam di Indonesia, dan alumni pendidikan madrasah atau pondok pesantren yang memang tidak dapat dihindari. Namun demikian menganggap seluruh lembaga pendidikan jenis tersebut sebagai sumber ajaran radikalisme dan teoririsme merupakan kesalahan mendasar mengingat karekteristik dan pola pengembangar lembaga pendidikan Islam di Indonesia yang amat beragam. Apalagi salah satu temuan menunjukkan bahwa lembaga pendidikan Islam di Indonesia sangat berbeda dibandingkan dengan lembaga pendidikan di negara lain.9

Mengenai pendidikan Indonesia secara umum dibedakan menjadi 5 bagian penting yang dalam prakteknya mempunyai bobot kepentingan yang sama, yaitu

6 Tamat Suryani, “Terorisme Dan Deradikalisasi: Pengantar Memahami Fundamentalisme Islam Dan

Strategi Pencegahan Aksi Terorisme,” Jurnal Keamanan Nasional Vol. 3, no. 2 (2017): 271–94.

7 Muhammad Arif, “Deradikalisasi Islam Melalui Pendidikan Multikultural Berbasis Kearifan Lokal

Pada Masyarakat Cigugur,” AKADEMIKA: Jurnal Pemikiran Islam Vol. 22, no. 1 (2017): 51–65.

8 Rohmat Suprapto, “Deradikalisasi Agama Melalui Pendidikan Multikultural-Inklusiv (Studi Pada

Pesantren Imam Syuhodo Sukoharjo),” Profetika: Jurnal Studi Islam Vol. 15, no. 2 (2016): 246– 60.

9 A Darmadji, “Pondok Pesantren Dan Deradlkalisasi Islam Di Indonesia,” Millah 11, no. 1 (2011):

(5)

pertama pendidikan formal yakni pendidikan yang secara resmi diselenggarakan oleh pemerintah Indonesia dan berjenjang play goup, taman kanak-kanak (Tk), dari Sekolah Dasar (SD/ MI), Sekolah Menengah Pertama (SMP/ MTs), Sekolah Menengah Atas (SMA/ SMK/ MA), dan Perguruan Tinggi (PT). Kedua pendidikan informal yakni pendidikan yang dilaksanakan oleh keluarga serta masyarakat sekitar. Ketiga adalah pendidikan nonformal yaitu pendidikan yang dilakukan oleh lembaga pendidikan akan tetapi tidak diselenggarakan oleh pemerintah.10

Dalam Undang-Undang No. 20 Tahun 2003 tentang sistem pendidikan nasional pasal 3 bahwa pendidikan nasional berfungsi sebagai pengembangan kemampuan serta membentuk watak yang peradaban bangsa dan bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa idonesia, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab.11

Pendidikan merupakan proses yang melibatkan manusia sebagai subyek dan obyek sekaligus. Karena proses pendidikan melibatkan manusia dalam prakteknya. Oleh karena itu, pendidikan harus dikelola dengan baik agar tercipta suasan pendidikan dan pembelajaran yang efektif dan efisien.12

Pendidikan merupakan wahana penting dan media yang efektif untuk mengajarkan norma, mensosialisasikan nilai, dan menanamkan etos kerja dikalangan warga masyarkat. Pendidikan juga dapat menjadikan instrument untuk mentata kepribadian bangsa, dan memperkuat identitas nasional, serta memantapkan jati diri bangsa. Pendidikan dapat menjadi wahana strategis untuk membangun kesadaran kolektif sebagai warga dengan mengukuhkan ikatan-ikatan sosial, tetap menghargai keragaman budaya, ras, suku-bangsa, agama, sehingga dapat memantapkan keutuhan nasional.13

10 Muklasin, “Manajemen Pendidikan Karakter Santri,” Jurnal Manajemen Mutu Pendidikan Vol. 4,

no. 2 (2016): 1–14.

11 YH Budiyono, “Penguatan Pendidikan Karakter Melalui Nilai-Nilai Keteladanan Guru Dan Orang

Tua Pada Siswa Sekolah Dasar,” in Prosiding Seminar Nasional PPKn III, 2017, 1–12.

12 Hasan Baharun, “Peningkatan Kompetensi Guru Melalui Sistem Kepemimpinan Kepala Madrasah”

Vo,. 6, no. 1 (2017): 1–25.

13 Hasan Baharun, Pengembangan Kurikulum: Teori Dan Praktik (Konsep, Prinsip, Model,

Pendekatan Dan Langkah-Langkah Pengembangan Kurikulum PAI) (Yogyakarta: Pustaka Cantrik, 2017).

(6)

Proceeding: The 1st Faqih Asy’ari Islamic Institute International Conference Volume 1, 2019

Modernisasi Ajaran Aswaja

Di tengah arus radikalisme yang semakin menguat, nilai-nilai yang ter-kandung di dalam Aswaja menjadi signifikan untuk dimunculkan dan diaktuali-sasikan. Nilai-nilai Aswaja dapat dijadikan sebagai counter untuk membendung arus radikalisme. Melalui modrenisasi dan rekonstruksi nilai-nilai Aswaja yang kemudian di-sosialisasikan secara masif salah satunya melalui jalur pendidikan diharapkan dapat memberikan pemahaman masyarakat terhadap signifikansi ajaran Islam yang moderat. Islam sesungguhnya tidak identik dengan kekerasan. Apalagi Islam nusantara merupakan agama yang mengusung nilai multi cultural dalam setiap sendi-sendinya.

Bahkan untuk meminimalisir pergesekan antara ajaran syariat dan cultur. Para ulama mencoba mengislamisasikan cutur yang ada di nusantara agar dapat diterima di setiap elemen masyarata dengan tidak mengurangi syariat itu sendiri. Cara-cara damai yang membuat Islam bisa hadir dan menjadi bagian tidak terpisah dari kehidupan Indonesia selama ratusan tahun. Karena itulah ajaran Aswaja tidak setuju dengan ajaran-ajaran akidah yang dimiliki oleh kelompok-kelompok Islam radikal.

Aswaja tidak setuju dengan respons dan penyelesaian persoalan me-lalui jalan kekerasan, pemaksaan, apalagi dengan perusakan. Aswaja juga me-nolak terhadap eksistensi kelompok-kelompok yang menutup diri dari golong-an mayoritas kaum Muslimin.14

Pengalaman sejarah Islam Indonesia yang mengedepankan interaksi sosial yang harmonis penting untuk diperhatikan agar masa depan Islam Indonesia tidak terpuruk dalam konflik. Rekonstruksi Aswaja menjadi penting dilakukan karena tuntutan trans-formasi kehidupan yang semakin cepat. Tanpa melakukan rekonstruksi di-khawatirkan Aswaja akan kehilangan relevansi dan aktualitas. Lebih jauh, umat Islam –khususnya generasi muda– tidak lagi mengenal ajaran Islam moderat sebagaimana yang diusung Aswaja. Tidak tertutup kemungkinan mereka justru menjadi pengikut dan aktivis gerakan Islam radikal.

Paradigma pemikiran Aswaja bertumpu pada sumber ajaran Islam; al-Qur’an, al-Sunnah, al-Ijmā’, dan Qiyās. Sementara pada tataran praktik, umat Islam yang menganut Aswaja mengikuti produk pemikiran ulama di masa lalu. Ada tiga pilar inti yang menandai karakteristik Aswaja, yaitu mengikuti paham Asy’ari dan al-Maturidi dalam bidang teologi, mengikuti salah satu dari empat imam mazhab

14 Ngainun Naim, “Pengembangan Pendidikan Aswaja Sebagai Strategi Deradikalisasi,” Walisongo:

(7)

(Hanafi, Maliki, Syafi’i, dan Hanbali) dalam bidang Fiqih, dan mengikuti Imam Junaid al-Baghdadi dan Imam al-Ghazali dalam bidang tasawuf.15

Selain 4 (Empat) pilar inti, Aswaja juga memiliki nilai-nilai yang menarik. Nilai-nilai tersebut yang :

Pertama, tawassuṭ (moderat). Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, moderat memiliki dua arti, yaitu: (1) selalu menghindarkan perilaku atau pengungkapan yang ekstrem; (2) berkecenderungan ke arah dimensi atau jalan tengah.16 Pemikiran moderat penting artinya karena dapat direkonstruksi untuk

menjadi spirit perdamaian. Moderat menjadi modal penting untuk mengakomodasi berbagai kepentingan yang ada dan mencari solusi terbaik atas pertentangan yang terjadi.17

Kedua, tawāzun(berimbang). Berimbang yang dimaksudkan dalam kon-teks ini adalah sikap berimbang dan harmonis dalam mengintegrasikan dan mensinergikan dalil-dalil untuk menghasilkan sebuah keputusan yang bijak. Tawāzun (berimbang) ini merupakan manifestasi dari sikap keberagamaan yang menghindari sikap ekstrem. Kelompok radikal disebut sebagai kelompok ekstrem karena kurang menghargai terhadap perbedaan pendapat dan tidak mengakomodasi kekayaan khazanah kehidupan.

Ketiga, tasāmuḥ (toleransi) yang sangat besar terhadap pluralisme pikiran. Berbagai pikiran yang tumbuh dalam masyarakat Muslim mendapatkan Pengembangan Pendidikan Aswaja sebagai Strategi Deradikalisasi pengakuan yang apresiatif. Keterbukaan yang demikian lebar untuk menerima berbagai pendapat menjadikan Aswaja memiliki kemampuan untuk meredam berbagai konflik internal umat Islam. Corak ini sangat tampak dalam wacana pemikiran hukum Islam.

Keempat, ‘adalah (adil) Pengertian Adil menurut bahasa artinya tidak berat sebelah dan tidak memihak. Adil menurut istilah adalah menetapkan hak dan kewajiban pada proporsinya dan seimbang, ditempatkan secara tepat dan objektif. Pengertian adil menurut syariat Islam adalah melaksanakan suatu perintah Allah atau amanah Allah, dengan menempatkan sesuatu pada kedudukan yang sebenarnya tanpa melebihi atau mengurangi. Supaya bisa bersifat adil dalam mempertahankan hak dan kewajiban secara seimbang, maka harus menekan hawa nafsu yang ingin menyimpang dari kebenaran.

15 M. Masyhur Amin, NU dan Ijtihad Politik Kenegaraannya, (Yogyakarta: Al-Amin Press, 1996), h.

80-85.

16 Pusat Bahasa Kemdikbud, Kamus Besar Bahasa Indonesia ( KBBI ) (Jakarta: Balai Pustaka, 2016),

589.

(8)

Proceeding: The 1st Faqih Asy’ari Islamic Institute International Conference Volume 1, 2019

Kelima, Ukhuwah (persaudaraan). Nilai ukhuwah dibagi menjadi 3 (tiga) yaitu:

1. Ukhuwah islamiyah

Rasulullah pernah membuat gambaran indah tentang persaudaraan antar pemeluk agama Islam. Beliau melukiskan bahwa persaudaraan dalam ikatan keislaman itu seperti satu tubuh.Sungguh indah apa yang disampaikan oleh Nabi Betapa erat, dekat, dan akrab hubungan sesama muslim. Meski pun ada perbedaan: perbedaan mazhab, politik, warna kulit, suku dan bangsa, namun kita tetap satu tubuh, kita tetap harus saling bersaudara dalam ikatan keislaman. Inilah yang disebut ukhuwah islamiyah.Ukhuwah Islamiyah mudah diucapkan, tapi yang sulit adalah praktik dan aplikasinya dalam berbagai situasi serta kondisi kehidupan sehari-hari. Namun, perlu disadari bahwa mewujudkan persaudaraan Islam dalam arti yang sebenarnya merupakan kewajiban setiap Muslim.Meski tak ada pakta perjanjian tertulis, namun umat Islam karena ikatan keislamannya haruslah memandang sesama Muslim sebagai saudaranya atas dasar kesamaan pandangan hidup. Segala yang merusak ukhuwah Islamiyah harus dijauhi.

2.Ukuwah wathoniyah

Ukuwah wathoniyah (persaudaraan kebangsaan) bukan hanya slogan, melainkan juga sudah menjadi kepribadian bangsa, khususnya bangsa Indonesia. Semua umat dan etnik yang hidup di bawah atap Indonesia mengejawantahkan slogan ini di dalam bentuk kepribadian. Khusus untuk umat Islam, sejak awal berdirinya bangsa ini menganggap kosakata Islam dan NKRI bagaikan sebuah kata majemuk. Kedua kata ini tidak bisa dipisahkan karena sudah saling memberi energi satu sama lain.

Jika kita berbicara tentang Islam di Indonesia, pasti kita berbicara tentang NKRI, demikian pula sebaliknya. Pemahaman Islam yang berkeindonesiaan dan Islam yang berkeislaman sudah terjadi jauh sebelum proto-Indonesia.Banyak teori tentang kapan masuknya Islam di Indonesia. Mulai dari orang mengatakan semenjak masa pemerintahan Utsman ibn ‘Affan sampai sejarawan Barat yang mengatakan semenjak abad ke-13 M. Akulturasi dan enkulturasi di antara keduanya sudah terjadi sejak awal. Wajar jika the founding fathers bangsa ini tidak perlu mempersoalkan kenapa Islam tidak menjadi dasar negara di Indonesia. Bagi bangsa Indonesia, lebih penting mempertahankan negara islami ketimbang negara Islam.

(9)

Dengan semangat ukhuwah basyariyah, seseorang melihat orang lain terutama sebagai sesama manusia, bukan apa agamanya, sukunya, bangsanya, golongannya, identitasnya, dan baju-baju luar lainnya. Kita mau menolong seseorang yang membutuhkan pertolongan bukan karena dia seagama, sesuku, atau sebangsa dengan kita misalnya, melainkan karena memang dia seorang manusia yang berada dalam kesulitan dan sudah seharusnya kita tolong, apa pun agama dan sukunya.

Dalam ukhuwah basyariyah, seseorang merasa menjadi bagian dari umat manusia yang satu: jika seorang manusia “dilukai”, maka lukalah seluruh umat manusia. Hal ini sesuai dengan pesan Alquran dalam surah Al-Mâ’idah [5] Ayat 32: barang siapa membunuh seorang manusia tanpa alasan yang kuat, maka dia bagaikan telah membunuh seluruh umat manusia. Sebaliknya, barang siapa menolong seseorang, maka ia telah menolong seluruh manusia.

Wacana hukum Islam oleh banyak ahli dinilai sebagai wacana pemikiran keislaman yang paling realistik dan paling banyak menyen-tuh aspek relasi sosial. Dalam diskursus sosial budaya, Aswaja banyak melaku-kan toleransi terhadap tradisi-tradisi yang telah berkembang di masyarakat, tanpa melibatkan diri dalam substansinya, bahkan tetap berusaha untuk meng-arahkannya. Formalisme dalam aspek-aspek kebudayaan dalam Aswaja tidak-lah memiliki signifikansi yang kuat. Sikap toleran Aswaja telah memberikan makna khusus dalam hubungannya dengan dimensi kemanusiaan yang luas. Dengan nilai-nilai tersebut, Islam menjadi agama yang mampu berdialek-tika secara dinamis dengan budaya lokal. Sikap akomodatif terhadap tradisi lokal tidak hanya menjadi monopoli pemikiran kiai NU. Intelektual yang bukan NU –salah satunya Nurcholish Madjid– juga mengapresiasi terhadap budaya lokal.

Menurut Nurcholish Madjid, ke-datangan Islam selalu berimplikasi pada terjadinya transformasi sosial menuju kehidupan yang lebih baik. Namun pada saat yang sama, kedatangan Islam tidak mesti ‘disruptif’ atau bersifat memotong suatu masyarakat dari masa lampaunya, tetapi juga ikut melestarikan aspek yang baik dari masa lampau tersebut dan bisa dipertahankan ujian ajaran universal Islam. Islam Indonesia dalam sejarahnya memiliki relasi yang cukup baik dengan tradisi lokal. Interaksi dinamis antara Islam dan tradisi lokal membentuk Islam yang khas. Interaksi semacam ini terus tumbuh dan berkembang sehingga perlu untuk dijaga, dikelola dan dijadikan bagian tidak terpisah dari kehidupan Islam Indonesia.18

(10)

Proceeding: The 1st Faqih Asy’ari Islamic Institute International Conference Volume 1, 2019

Selain tiga pilar di atas, dalam memodrenisasi ajaran ASWAJA ala NU, Menurut ashary ada 9 (sembilan) pokok komponen pe modernisasi ajaran aswaja 1. Konsep tanzihullah, 2. Asma’ dan sifat, 3. Takwil, 4. Nubuwah, 5. Kalam, 6. Perbuatan manusia, 7. Takfir, 8. Bid’ah dan 9. Nahi mungkar.19

Pesantren

Pesantren secara etimologi berasal dari kata santri yang mendapat awalan pe-dan akhiran -an sehingga menjadi pe-santria-an yang bermakna kata “shastri” yang artinya murid. Sedang C.C. Berg. berpendapat bahwa istilah pesantren berasal dari kata shastri yang dalam bahasa India berarti orang yang tahu buku-buku suci agama Hindu, atau seorang sarjana ahli kitab-kitab suci agama Hindu. Kata shastri berasal dari kata shastra yang berarti buku suci, buku suci agama atau buku-buku tentang ilmu pengetahuan. Pendapat lain mengatakan, kata santri berasal dari kata Cantrik (bahasa Sansekerta, atau mungkin jawa) yang berarti orang yang selalu mengikuti guru, yang kemudian dikembangkan oleh Perguruan Taman Siswa dalam sistem asrama yang disebut Pawiyatan.20 Istilah santri juga ada dalam bahasa Tamil,

yang berarti guru mengaji. Terkadang juga dianggap sebagai gabungan kata saint (manusia baik) dengan suku kata tra (suka menolong), sehingga katapesantren dapat berarti tempat pendidikan manusia baik-baik.

Menurut pendapat para ilmuwan, istilah pondok pesantren adalah merupakan dua istilah yang mengandung satu arti. Orang Jawa menyebutnya “pondok” atau “pesantren”. Sering pula menyebut sebagai pondok pesantren. Istilah pondok barangkali berasal dari pengertian asrama-asrama para santri yang disebut pondok atau tempat tinggal yang terbuat dari bambu atau barangkali berasal dari bahasa Arab “funduq” artinya asrama besar yang disediakan untuk persinggahan. Sekarang lebih dikenal dengan nama pondok pesantren. Di Sumatra Barat dikenal dengan nama surau, sedangkan di Aceh dikenal dengan nama rangkang.21 Dari pengertian tersebut

berarti antara pondok dan pesantren jelas merupakan dua kata yang identik (memiliki kesamaan arti), yakni asrama tempat santri, tempat murid atau santri mengaji.

Sedangkan secara terminologi pengertian pondok pesantren dapat penulis kemukakan dari pendapat para ahli antara lain: Abdurrahman Wahid, mendefinisikan pesantren secara teknis, pesantren adalah tempat di mana santri tinggal.22

19 Asyhari, Studi Islam Moderat (Kediri: IAIFA PRESS, 2019), 18.

20 Nurcholis Madjid, Bilik-Bilik Pesantren, Dian Rakyat (Jakarta: Dian Rakyat, 1997), 20.

21 Yasmadi, Modernisasi Pesantren Kritikan Nur Cholis Masjid Terhadap Pendidikan Islam

Tradisional (Ciputat: Ciputat Press, 2002), 62

(11)

Dari beberapa definisi di atas dapat disimpulkan bahwa pengertian pondok pesantren adalah suatu lembaga pendidikan dan keagamaan yang berusaha melestarikan, mengajarkan dan menyebarkan ajaran Islam serta melatih para santri untuk siap dan mampu mandiri.

Pada mulanya, pesantren merupakan lembaga pendidikan penyiaran agama Islam konon tertua di Indonesia. Berbanding lurus dengan dinamika kehidupan masyarakat, fungsi itu telah berkembang menjadi semakin kaya dan bervariasi, walaupun pada intinya tidak lepas dari fungsi pertamanya.23 Selain sebagai tempat

menimba ilmu agama, pesantren era saat ini justru banyak melahirkan para pemikir ekonomi, wirausahawan, politikus, pemimpin dan sebagainya. Banyak sekali asal usul berdirinya sebuah pondok pesantren. Pada umumnya lembaga ini berdiri karena masyarakat mengakui keunggulan sesosok kyai dalam ketinggian ilmu dan kepribadian yang arif. Kemudian mereka mendatanginya dan belajar bersama untuk memperoleh ilmu tersebut. Masyarakat ada yang berasal dari lingkungan sekitar dan luar daerah. Sehingga mereka membangun bangunan didekat rumah kyai sebagai tempat tinggal. Kyai bukanlah gelar yang dapat di beli ataupun gelar yang diperoleh secara cuma-cuma. Istilah Kyai merupakan bentuk ucapan terimakasih kepada seseorang yang telah banyak menuangkan dan mencurahkan segenap jiwa dan raga demi kelangsungan agama islam.

Selain itu, pesantren dilihat dari segi bentuk dan sistemnya, berasal dari India. Sebelum proses penyebaran Islam di Indonesia sistem tersebut telah dipergunakan secara umum untuk pengajaran dan pendidikan agama Hindu di Jawa. Kemudian pendidikan ini diislamisasikan tanpa meninggalkan tradisi yang ada. Perbedaan yang mendasar ialah pada masa Hindu pendidikan tersebut hanya milik kasta tertentu, sedang pada masa Islam, pendidikan tersebut milik setiap orang tanpa memandang keturunan dan kedudukan, karena dalam pandangan Islam seluruh manusia merupakan umat yang egaliter. Baik atau buruh seseorang tergantung amal perbuatan setiap individu. Walupun secara kongkrit lahiriyah mengalhkan batiniah secara urusan duniawi.

Walaupun begitu itu Islam dapat diterima oleh masyarakat dan pesantren dapat berkembang, dan oleh sebab itu pula pesantren merupakan salah satu bentuk kebudayaan asli Indonesia. Tentang kehadiran pesantren secara pasti di Indonesia pertama kalinya, di mana, dan siapa pendirinya tidak dapat diperoleh keterangan yang pasti. Ada pendapat yang mengatakan, pesantren pertama kali didirikan oleh Syeikh Maulana Malik Ibrahim. Beliau adalah ulama yang berasal dari Gujarat India,

23 Abdurrahman Wahid and Muhammad Dawam Rahardjo, Pesantren Dan Pembaharuan, LP3S

(12)

Proceeding: The 1st Faqih Asy’ari Islamic Institute International Conference Volume 1, 2019

agaknya tidak sulit baginya untuk mendirikan pesantren karena sebelumnya sudah ada perguruan Hindu-Budha dengan sistem biara asrama sebagai tempat belajar mengajar dan mempunyai persamaan dengan pendidikan di India. Meski begitu, tokoh yang dianggap berhasil mendirikan dan mengembangkan pesantren dalam arti yang sesungguhnya adalah Raden Rahmat atau Sunan Ampel.

Sunan Ampel diambil menantu oleh penguasa Tuban bernama Ario Tejo. Dari sini dapat disimpulkan adanya hubungan yang mesra antara ulama dan umara. Hubungan ini dijalin dengan da’wah, selain itu Ario Tejo membutuhkan bantuan sunan Ampel untuk mengamankan daerah Tuban, Gresik, dan Surabaya, sebagai kunci kemakmuran negara. Pesatnya pertumbuhan dan perkembangan Pesantren Ampel Denta pada dasarnya didukung oleh beberapa faktor, Pertama, letaknya yang strategis di pintu gerbang utama Majapahit, sehingga mau tidak mau mesti bersinggungan langsung dengan sirkulasi perdagangan Majapahit, karena seluruh kapal dari dan ke Majapahit mesti melewati pelabuhan Surabaya. Kedua, lembaga pendidikan tersebut mirip dengan pendidikan sebelumnya. Ketiga, lembaga pendidikan tersebut dapat diikuti oleh setiap orang tanpamemandang keturunan dan kedudukan. Pada awal berkembangnya, ada dua fungsi pesantren, pertama, sebagai lembaga pendidikan. Kedua, sebagai lembaga penyiaran agama. Kendati kini telah banyak perubahan yang terjadi namun inti fungsi utama itu masih melekat pada pesantren.

Zamakhsyari Dhofir mengatakan bahwa, sejak awal masuknya Islam ke Indonesia, pendidikan Islam merupakan kepentingan tinggi bagi kaum muslimin. Tetapi hanya sedikit sekali yang dapat kita ketahui tentang perkembangan pesantren di masa lalu, terutama sebelum Indonesia dijajah Belanda, karena dokumentasi sejarah sangat kurang. Bukti yang dapat kita pastikan menunjukkan bahwa pemerintah penjajahan Belanda memang membawa kemajuan ke Indonesia dan memperkenalkan sistem dan metode pendidikan baru. Namun, pemerintahan Belanda tidak melaksanakan kebijaksanaan yang mendorong sistem pendidikan yang sudah ada di Indonesia, yaitu sistem pendidikan Islam.

Justru pemerintahan Belanda membuat kebijaksanaan dan peraturan yang membatasi dan merugikan pendidikan Islam. Ini bisa kita lihat dari kebijaksanaan berikut. Pada tahun 1882 pemerintah Belanda mendirikan Priesterreden (Pengadilan Agama) yang bertugas mengawasi kehidupan beragama dan pendidikan pesantren. Tidak begitu lama setelah itu, dikeluarkan Ordonansi tahun 1905 yang berisi peraturan bahwa guru-guru agama yang akan mengajar harus mendapatkan izin dari

(13)

pemerintah setempat. Peraturan yang lebih ketat lagi dibuat pada tahun 1925 yang membatasi siapa yang boleh memberikan pelajaran mengaji.

Akhirnya, pada tahun 1932 peraturan dikeluarkan yang dapat memberantas dan menutup madrasah dan sekolah yang tidak ada izinnya atau yang memberikan pelajaran yang tak disukai oleh pemerintah.24 Peraturan-peraturan tersebut

membuktikan kekurangadilan kebijaksanaan pemerintah Belanda terhadap pendidikan Islam di Indonesia. Meskipun Belanda memberikan berbagai kebijakan yang menyudutkan kelembagaan pendidikan Islam di Indonesia, namun tetap membawa nuansa baru di bidang pendidikan. Ide-ide pembaharuan yang diterapkan kolonial Belanda sangat berbeda dengan sistem pendidikan Islam tradisional, dimana metode yang diterapkan lebih maju dari sistem pendidikan tradisional.25

Pada masa perkembangannya, pondok pesantren menghadapi tantangan pada masa kemerdekaan Indonesia. Setelah penyerahan kedaulatan pada tahun 1949, pemerintah Republik Indonesia mendorong pembangunan sekolah umum seluas-luasnya dan membuka secara luas jabatan-jabatan dalam administrasi modern bagi bangsa Indonesia yang terdidik dalam sekolah- sekolah umum tersebut. Dampak kebijaksanaan tersebut adalah bahwa kekuatan pesantren sebagai pusat pendidikan Islam di Indonesia menurun. Ini berarti bahwa jumlah anak-anak muda yang dulu tertarik kepada pendidikan pesantren menurun dibandingkan dengan anak-anak muda yang ingin mengikuti pendidikan sekolah umum yang baru saja diperluas.

Akibatnya, banyak sekali pesantren-pesantren kecil mati sebab santrinya kurang cukup banyak. Jika kita melihat peraturan-peraturan tersebut baik yang dikeluarkan pemerintah Belanda selama bertahun-tahun maupun yang dibuat pemerintah RI, memang masuk akal untuk ditarik kesimpulan bahwa perkembangan dan pertumbuhan sistem pendidikan Islam, dan terutama sistem pesantren, cukup pelan karena ternyata sangat terbatas. Akan tetapi, apa yang dapat disaksikan dalam sejarah adalah pertumbuhan pondok pesantren yang kukuatan dan kepesatanya luar biasa. Seperti yang dikatakan Zuhairini ternyata “jiwa Islam tetap terpelihara dengan baik” di Indonesia.

Secara garis besar, tipologi pesantren bisa dibedakan paling tidak menjadi tiga jenis, walaupun agak sulit untuk membedakan secara ekstrim di-antara tipe-tipe tersebut yaitu salafiyah (tradisional), khalafiyah (modern) dan terpadu26

24 Hanun Asrohah, Pelembagaan Pesantren : Asal-Usul Perkembangan Pesantren Di Jawa (Jakarta:

Depag RI dan INCIS, 2002), 153.

25 Zamakhsyari Dhofier, Tradisi Pesantren: Studi Tentang Pandangan Hidup Kyai (Jakarta: LP3S,

1985).

26 A Khoiri, “Manajemen Pesantren Sebagai Khazanah Tonggak Keberhasilan Pendidikan Islam,”

(14)

Proceeding: The 1st Faqih Asy’ari Islamic Institute International Conference Volume 1, 2019

lembaga pendidikan lain. Secarasosiologismunculnya pesantren merupakan hasil dari rekayasa individual yang berkompeten untuk menularkan ajaran Islam dan secara ekonomis (biasanya) mapan sehingga wajar jika pekembangan pesantren sangat diwarnai oleh kyai yang mengasuhnya. Secara tradisional, pesantren memiliki masjid, pondokan, santri, kyai, dan pengajian tradisional. Pesantren kemudian berkembang pesat dengan diversifikasi program dan ilmu yang ditawarkan kepada masyarakat.27

Deradikalisasi Melalui Pendidikan Aswaja (NU) Berbasis Pesantren

Mengapa pesantren penting untuk di ajak bekerja sama dalam deradikalisasi yaitu: Pertama: Secara salah kaprah, banyak orang percaya bahwa pesantren adalah tempat yang subur dalam menanamkan paham radikalisme, karena pesantren adalah satu-satunya tempat yang paling identik dengan kajian keislaman secara ketat. Pandangan ini bukan hanya keluri, tetapi juga menunjukkan pemahaman yang sangat sempit tentang nilai-nilai Islam yang berkembang di Nusantara.

Bisa dikatakan bahwa pesantren sebenarnya lebih merupakan cagar budaya dan persemayaman kader ulama yang berkualitas. Di pesantren, para santri digembleng dengan kajian keagamaan yang begitu luas dan melalui pesantrenlah dasar-dasar moral mulai ditanamkan. Sekarang ini, banyak ustadz karbitan yang sudah dianggap “ustadz” padahal ia tidak pernah mengenyam pendidikan pesantren. Ini bukan hanya ironis, tetapi justru membahayakan bagi keagamaan masyarakat yang sebenarnya lebih membutuhkan figur ulama yang lebih mumpuni dibidang ilmu-ilmu agama.28

Lebih mirisnya lagi Kepala Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) Saut Usman Nasution menyatakan terdapat 19 pondok pesantren yang terindikasi mengajarkan doktrin bermuatan radikalisme. Saut membeberkan, 19 pondok pesantren yang terindikasi BNPT mendukung radikalisme ialah Pondok Pesantren Al-Muaddib, Cilacap; Pondok Pesantren Al-Ikhlas, Lamongan; Pondok Pesantren Nurul Bayan, Lombok Utara; Pondok Pesantren Al-Ansar, Ambon; Pondok Pesantren Wahdah Islamiyah, Makassar; Pondok Pesantren Darul Aman, Makassar; Pondok Pesantren Islam Amanah, Poso; Pondok Pesantren Missi Islam Pusat, Jakarta Utara; Pondok Pesantren Al-Muttaqin, Cirebon; Pondok Pesantren

27 Syaifuddien Zuhriy, “Budaya Pesantren Dan Pendidikan Karakter Pada Pondok Pesantren Salaf,”

Walisongo: Jurnal Penelitian Sosial Keagamaan 19, no. 2 (2011): 288–97.

28 Rohmatul Izad, “Peran Pesantren Dalam Menangkal Ekstremisme,” 2018,

(15)

Nurul Salam, Ciamis; dan beberapa pondok pesantren lain di Aceh, Solo, dan Serang.29

Selain itu, sejarah mencatat bahwa pesantren ikut andil dalam pergerakan radikal di indonesia ini setelah terjadinya peristiwa 12 oktober 2002 di Bali. Tepatnya di Diskotek Paddy's yang terletai di seberang Sari Club. Sebanyak 202 orang meninggal dunia dalam tragedi bom Bali 1 (satu) tersebut. Belum selesai trauma atas peristiwa tersebut, 3 tahun berselang tepatnya tahun 2005 bom Bali 2 (dua) kembali meledak 23 orang menjadi korban. Pandangan dunia tertuju kepada pondok pesantren yang disinyalir terjangkit wabah radikal. Bahkan amerika salah satu negara yang mengatakan pesantren salah satu yang menjadi dalang di balik peristiwa tersebut. Fakta lapangan menyebutkan di tahun 2019, salah satu kokoh bangsa indonesia juga tidak luput dari serangan para radikalis. Menko Polhukam Wiranto ditusuk oleh terduga teroris, Syahrial Alamsyah alias Abu Rara, saat berkunjung ke Pandeglang, Banten, 10 Oktober 2019. Dalam melancarkan aksinya mereka berpakaian layaknya seorang santri.

Kedua: Pada hari selasa tanggal 24 september 2019, merupakan hari bersejarah bari pondok pesantren di indonesia. Dimana DPR secara resmi mengesahkan rancangan Undang-Undang tentang Pesantren menjadi Undang-Undang (UU). Keputusan itu diambil melalui Rapat Paripurna ke-10 tahun sidang 2019-2020 yang digelar di Kompleks MPR/ DPR. Ada 5 poin utama RUU Pesantren yang disahkan DPR jadi UU, yaitu: 1. Kitab Kuning. RUU Pesantren disetujui, lembaga pendidikan pesantren harus mengajarkan para siswanya menggunakan kurikulum kitab kuning. Hal ini sesuai dengan Pasal 1 ayat 2 dan 3 dalam RUU Pesantren.. RUU Pesantren disetujui, lembaga pendidikan pesantren harus mengajarkan para siswanya menggunakan kurikulum kitab kuning. Hal ini sesuai dengan Pasal 1 ayat 2 dan 3 dalam RUU Pesantren. 2. Lembaga Mandiri. Salah satu isi RUU Pesantren, menerangkan bahwa keberadaan pesantren sebagai lembaga yang mandiri. Sebab, pesantren memiliki ciri khas sebagai institusi yang menanamkan nilai-nilai keimanan kepada Allah SWT. 3. Kiai Berpendidikan Pesantren. Dalam Pasal 5 RUU Pesantren, disebutkan bahwa pesantren harus memiliki kiai. Hanya saja, pada pasal 1 ayat 9 kiai harus seorang pendidik yang memiliki kompetensi ilmu agama berlatarbelakang pendidikan pesantren. Dalam Pasal 5 RUU Pesantren, disebutkan bahwa pesantren harus memiliki kiai. Hanya saja, pada pasal 1 ayat 9 kiai harus seorang pendidik yang memiliki kompetensi ilmu agama berlatarbelakang

29 Resty Armenia, “BNPT: 19 Pesantren Terindikasi Ajarkan Radikalisme,” 2016,

https://www.cnnindonesia.com/nasional/20160203201841-20-108711/bnpt-19-pesantren-terindikasi-ajarkan-radikalisme.

(16)

Proceeding: The 1st Faqih Asy’ari Islamic Institute International Conference Volume 1, 2019

pendidikan pesantren. 4. Proses Pembelajaran. RUU Pesantren mengesahkan proses pembelajaran yang khas, yakni ijazah kelulusannya memiliki kesetaraan dengan lembaga formal lainnya dengan memenuhi jaminan mutu pendidikan.RUU Pesantren mengesahkan proses pembelajaran yang khas, yakni ijazah kelulusannya memiliki kesetaraan dengan lembaga formal lainnya dengan memenuhi jaminan mutu pendidikan. 5. Dapat Dana Abadi. Terakhir, salah satu poin RUU Pesantren menjelaskan bahwa pesantren akan mendapatkan dana abadi dari pemerintah. Ketentuan tersebut masuk dalam Pasal 49 ayat 1 dan 2.30

Ketiga: secara kuantitas jumlah pondok pesantren secara nasional cukup besar yang tersebar di 38 propinsi. Ini merupakan potensi tersendiri sebagai media yang sangat efektif guna melakukan upaya deradikalisasi agama melalui pendidikan Multikultural-Inklusivisme. Sampailah pada akhir tulisan tentang jumlah lembaga pondok pesantren, diambilkan materi mekanisme pendataan calon peserta ujian nasional melalui emis tahun pelajaran 2018/2019 bahwasanya dari EMIS mempunyai sasaran lembaga serta siswa. Adapun secara lembaga pondok pesantren, lembaga yang disasar sejumlah 21.921 (dua puluh satu ribu sembilan ratus duapuluh satu) dengan jumlah santri sebanyak 3.227.234 (tiga juta dua ratus dua puluh tujuh ribu dua ratus tiga puluh empat.)31

Keempat: kehidupan pesantren sarat dengan nilai, pemikiran dan kehidupan yang sederhana, nilai-nilai Tasamuh (toleransi), Tawasuth (moderat) tengah-tengah, Tawazun (berimbang/ menimbang) , ‘Adalah (keadilan), Ukhuwah (persaudaraan) , ukhuwah Islamiyah (sesama Islam), ukhuwah wathoniyah (sesama warga negara), ukhuwah basyariah (sesama umat manusia). Nilai dan pemikiran tersebut akan sangat membantu dalam proses deradikalisasi agama dalam rangka penanggulangan terorisme yang ada di indonesia.

Penutup

Setelah Menganalisa semua paparan yang di gambarkan maka dapat di simpulkan bahwasanya Pertama: Deradikalisasi melalui pendidikan aswaja (NU) berbasis ialah sangat dipengaruhi dengan nilai-nilai pendidikan karakter di pesantren. pesantren sebenarnya lebih merupakan cagar budaya dan persemayaman kader ulama yang berkualitas. Di pesantren, para santri digembleng dengan kajian

30 M Zidni Nafi’, “Mengintip Isi RUU Pesantren,” accessed November 2, 2019,

https://www.nu.or.id/post/read/108296/mengintip-isi-ruu-pesantren.

31 Ibnu Singorejo, “Jumlah Pondok Pesantren Di Indonesia,” 2018,

(17)

keagamaan yang begitu luas dan melalui pesantrenlah dasar-dasar moral mulai ditanamkan. Kedua: Pada hari selasa tanggal 24 september 2019. DPR secara resmi mengesahkan rancangan Undang tentang Pesantren menjadi Undang-Undang (UU). Ada 5 poin utama RUU Pesantren yang disahkan DPR jadi UU. Dengan undang-undang ini diharapkan pesantren akan berkembang dan terus eksis dalam penyebaran dan pemahaman Islam di Indonesia. Ketiga: secara kuantitas jumlah pondok pesantren secara nasional cukup besar yang tersebar di 38 propinsi. Keempat: kehidupan pesantren sarat dengan nilai, pemikiran dan kehidupan yang sederhana, nilai-nilai Tasamuh (toleransi), Tawasuth (moderat) tengah-tengah, Tawazun (berimbang/ menimbang) , ‘Adalah (keadilan), Ukhuwah (persaudaraan) , ukhuwah Islamiyah (sesama Islam), ukhuwah wathoniyah (sesama warga negara), ukhuwah basyariah (sesama umat manusia).

Daftar Pustaka

A Khoiri. “Manajemen Pesantren Sebagai Khazanah Tonggak Keberhasilan Pendidikan Islam.” Anageria: Jurnal Manajemen Pendidikan Islam Vol. 2, no. 1 (2017): 288–97.

Arif, Muhammad. “Deradikalisasi Islam Melalui Pendidikan Multikultural Berbasis Kearifan Lokal Pada Masyarakat Cigugur.” AKADEMIKA: Jurnal Pemikiran Islam Vol. 22, no. 1 (2017): 51–65.

Armenia, Resty. “BNPT: 19 Pesantren Terindikasi Ajarkan Radikalisme,” 2016. https://www.cnnindonesia.com/nasional/20160203201841-20-108711/bnpt-19-pesantren-terindikasi-ajarkan-radikalisme.

Asrohah, Hanun. Pelembagaan Pesantren : Asal-Usul Perkembangan Pesantren Di Jawa. Jakarta: Depag RI dan INCIS, 2002.

Baharun, Hasan. Pengembangan Kurikulum: Teori Dan Praktik (Konsep, Prinsip, Model, Pendekatan Dan Langkah-Langkah Pengembangan Kurikulum PAI). Yogyakarta: Pustaka Cantrik, 2017.

———. “Peningkatan Kompetensi Guru Melalui Sistem Kepemimpinan Kepala Madrasah” Vo,. 6, no. 1 (2017): 1–25.

Darmadji, A. “Pondok Pesantren Dan Deradlkalisasi Islam Di Indonesia.” Millah 11, no. 1 (2011): 236–52.

Dhofier, Zamakhsyari. Tradisi Pesantren: Studi Tentang Pandangan Hidup Kyai. Jakarta: LP3S, 1985.

Fathurrochman, Irwan, and Eka Apriani. “Pendidikan Karakter Prespektif Pendidikan Islam Dalam Upaya Deradikalisasi Paham Radikal.” POTENSIA: Jurnal Kependidikan Islam 3, no. 1 (June 2017): 122–34.

Madjid, Nurcholis. Bilik-Bilik Pesantren. Dian Rakyat. Jakarta: Dian Rakyat, 1997. Mas’ud, Abdurrachman. Dari Haramain Ke Nusantara : Jejak Intelektual Arsitek

(18)

Proceeding: The 1st Faqih Asy’ari Islamic Institute International Conference Volume 1, 2019

Pesantren. Kencana, 2006.

Muklasin. “Manajemen Pendidikan Karakter Santri.” Jurnal Manajemen Mutu Pendidikan Vol. 4, no. 2 (2016): 1–14.

Nafi’, M Zidni. “Mengintip Isi RUU Pesantren.” Accessed November 2, 2019. https://www.nu.or.id/post/read/108296/mengintip-isi-ruu-pesantren.

Naim, Ngainun. “Pengembangan Pendidikan Aswaja Sebagai Strategi Deradikalisasi.” Walisongo: Jurnal Penelitian Sosial Keagamaan Vol. 23, no. 1 (2015): 65–76.

Pusat Bahasa Kemdikbud. Kamus Besar Bahasa Indonesia ( KBBI ). Jakarta: Balai Pustaka, 2016.

Ramadhan, Haris. “Deradikalisasi Paham Keagamaan Melalui Pendidikan Islam Rahmatan Lil’alami, (Studi Pemikiran Pendidikan Islam KH. Abdurrahman Wahid).” Tesis. Universitas Islam Negeri Maulana Malik Ibrahim, 2018. Rohmatul Izad. “Peran Pesantren Dalam Menangkal Ekstremisme,” 2018.

https://www.nu.or.id/post/read/87579/peran-pesantren-dalam-menangkal-ekstremisme.

Singorejo, Ibnu. “Jumlah Pondok Pesantren Di Indonesia,” 2018. https://pontren.com/2018/11/20/jumlah-pondok-pesantren-di-indonesia/. Suprapto, Rohmat. “Deradikalisasi Agama Melalui Pendidikan

Multikultural-Inklusiv (Studi Pada Pesantren Imam Syuhodo Sukoharjo).” Profetika: Jurnal Studi Islam Vol. 15, no. 2 (2016): 246–60.

Suryani, Tamat. “Terorisme Dan Deradikalisasi: Pengantar Memahami Fundamentalisme Islam Dan Strategi Pencegahan Aksi Terorisme.” Jurnal Keamanan Nasional Vol. 3, no. 2 (2017): 271–94.

Umar, Ahmad Rizky Mardhatillah. “A Genealogy of Moderate Islam: Governmentality and Discourses of Islam in Indonesia’s Foreign Policy.” Studia Islamika 23, no. 3 (2016): 399–433.

Wahid, Abdurrahman. Menggerakkan Tradisi: Esai-Esai Pesantren. Yogyakarta: LKIS, 2001.

Wahid, Abdurrahman, and Muhammad Dawam Rahardjo. Pesantren Dan Pembaharuan. LP3S. Jakarta: LP3S, 2017.

Yasmadi. Modernisasi Pesantren Kritikan Nur Cholis Masjid Terhadap Pendidikan Islam Tradisional. Jakarta: Ciputat Press, 2002.

YH Budiyono. “Penguatan Pendidikan Karakter Melalui Nilai-Nilai Keteladanan Guru Dan Orang Tua Pada Siswa Sekolah Dasar.” In Prosiding Seminar Nasional PPKn III, 1–12, 2017.

Zuhriy, Syaifuddien. “Budaya Pesantren Dan Pendidikan Karakter Pada Pondok Pesantren Salaf.” Walisongo: Jurnal Penelitian Sosial Keagamaan 19, no. 2 (2011): 288–97.

(19)

Copyright © 2019 Proceeding: The 1st Faqih Asy’ari Islamic Institute International Conference

Faqih Asy’ari Islamic Institute Sumbersari Kediri, Indonesia “Moderasi Islam Aswaja untuk

Perdamaian Dunia” (Volume 1, 2019) ISBN (complete) 978-623-91749-3-4; ISBN (Volume 1):

978-623-91749-4-1

Copyright of Proceeding: The 1st Faqih Asy’ari Islamic Institute International Conference is the property of Faqih Asy’ari Islamic Institute (IAIFA) Kediri and its content may not be copied or emailed to multiple sites or posted to a listserv without the copyright holder's express written permission. However, users may print, download, or email articles for individual use.

Referensi

Dokumen terkait

Secara definitif Imam Zarkasi, mengartikan pesantren sebagai lembaga pendidikan Islam dengan sistem asrama atau pondok, di mana kyai sebagai figur sentralnya,

Hasil-hasil, yang dipublikasikan pada surat kabar internal perusahaan penerbangan pada bulan April 1999, menunjukkan bahwa 54% pegawai telah menyelesaikan kuesioner,

Fungsi Sistem Kredit Semester (SKS) pada pembelajaran Pendidikan Agama Islam di SMA Negeri 1 Surabaya. Berbicara mengenai sistem pembelajaran sks serta fungsinya dalam

Activity diagram ini menjelaskan bagaimana user melakukan akses terhadap menu laporan hasil rekomendasi. User yang telah masuk kedalam Halaman Administrator, memilih

yang didominasi oleh kelas pendek yang diduga dimanfaatkan spesies tersebut untuk memperoleh mangsa yang berada di tajuk dari permukaan tanah (terestrial) maupun dari

Keberhasilan konseling sangat bergantung pada hal ini. Karena proses konseling sifatnya tidak boleh dipaksakan. Dalam 8 kali sesi konseling, sesi kedua dan ketiga

Ruang lingkup sistem yang dibangun mencakup pengelolaan data member salon, perekaman riwayat data transaksi, pengolahan data transaksi, pengelolaan data booking,

Perancangan mesin pengaduk adonan roti dengan kapasitas 43 kg yang secara rinci menjabarkan elemen mesin yang digunakan meliputi menghitung daya motor penggerak, diameter