• Tidak ada hasil yang ditemukan

Kedudukan Pulau Nipa Sebagai Pulau Terluar Untuk Penarikan Garis Pangkal Laut Terluar Indonesia Yang Berbatasan Dengan Singapura

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Kedudukan Pulau Nipa Sebagai Pulau Terluar Untuk Penarikan Garis Pangkal Laut Terluar Indonesia Yang Berbatasan Dengan Singapura"

Copied!
142
0
0

Teks penuh

(1)

SINGAPURA TENTANG PENETAPAN GARIS BATAS LAUT WILAYAH KEDUA NEGARA DI BAGIAN BARAT SELAT SINGAPURA, 2009

(TREATY BETWEEN THE REPUBLIC OF INDONESIA AND THE REPUBLIC OF SINGAPORE RELATING TO THE DELIMITATION OF THE TERRITORIAL

SEAS OF THE TWO COUNTRIES IN THE WESTERN PART OF THE STRAIT OF SINGAPORE, 2009)

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Menimbang : a. bahwa Negara Kesatuan Republik Indonesia sebagainegara kepulauan yang berciri nusantara mempunyaikedaulatan atas wilayahnya, termasuk laut wilayah,untuk dikelola dan dimanfaatkan sebesar-besarnya bagikesejahteraan dan kemakmuran rakyat Indonesiasebagaimana diamanatkan dalam Undang-UndangDasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;

b. bahwa sesuai dengan Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang Hukum Laut, 1982 (United NationsConvention on the Law of the Sea, 1982) yang disahkanmelalui Undang-Undang Nomor 17 Tahun 1985 dansesuai Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1996 tentangPerairan Indonesia, Indonesia memiliki kewajiban untukmenetapkan batas maritimnya melalui perundingan;

c. bahwa pada tanggal 10 Maret 2009, Indonesia telahmenandatangani Perjanjian antara Republik Indonesiadan Republik Singapura tentang Penetapan Garis BatasLaut Wilayah Kedua Negara di Bagian Barat SelatSingapura, 2009 di Jakarta;

d. bahwa Perjanjian Penetapan Garis Batas Laut Wilayahdi Bagian Barat Selat Singapura oleh PemerintahRepublik Indonesia dimaksudkan untuk menegaskanwilayah kedaulatan Negara Kesatuan RepublikIndonesia, menjamin kepastian hukum, kegiatan aparatnegara di laut, serta semakin mempertegas Pulau Nipasebagai pulau yang memiliki titik dasar yang digunakanmenjadi dasar pengukuran batas maritim RepublikIndonesia; e. bahwa perjanjian antara Republik Indonesia danRepublik Singapura

dilakukan sesuai dengan KonvensiPerserikatan Bangsa-Bangsa tentang Hukum Laut, 1982(United Nations Convention on the Law of the Sea, 1982)yang memberikan pengakuan terhadap wilayah NegaraKepulauan yang mempunyai arti penting untukkedaulatan Negara Kesatuan Republik Indonesia dansebagai perwujudan Wawasan Nusantara;

(2)

2. Undang-Undang Nomor 17 Tahun 1985 tentangPengesahan United Nations Convention on the Law of theSea, 1982 (Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa tentangHukum Laut, 1982) (Lembaran Negara RepublikIndonesia Tahun 1985 Nomor 76, Tambahan LembaranNegara Republik Indonesia Nomor 3319);

3. Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1996 tentang PerairanIndonesia (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun1996 Nomor 73, Tambahan Lembaran Negara RepublikIndonesia Nomor 3647);

4. Undang-Undang Nomor 37 Tahun 1999 tentangHubungan Luar Negeri (Lembaran Negara RepublikIndonesia Tahun 1999 Nomor 156, Tambahan LembaranNegara Republik Indonesia Nomor 3882);

5. Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2000 tentangPerjanjian Internasional (Lembaran Negara RepublikIndonesia Tahun 2000 Nomor 185, Tambahan LembaranNegara Republik Indonesia Nomor 4012);

6. Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2002 tentangPertahanan Negara (Lembaran Negara Republik IndonesiaTahun 2002 Nomor 3, Tambahan Lembaran NegaraRepublik Indonesia Nomor 4169);

7. Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 tentangPembentukan Peraturan Perundang-undangan (LembaranNegara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 53,Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor4389); 8. Undang-Undang Nomor 43 Tahun 2008 tentang WilayahNegara

(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun2008 Nomor 177, Tambahan Lembaran Negara RepublikIndonesia Nomor 4925);

Dengan Persetujuan Bersama

DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA dan

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

MEMUTUSKAN:

Menetapkan : UNDANG-UNDANG TENTANG PENGESAHAN PERJANJIANANTARA REPUBLIK INDONESIA DAN REPUBLIK SINGAPURATENTANG PENETAPAN GARIS BATAS LAUT WILAYAHKEDUA NEGARA DI BAGIAN BARAT SELAT SINGAPURA,2009 (TREATY BETWEEN THE REPUBLIC OF INDONESIA ANDTHE REPUBLIC OF SINGAPORE RELATING TO

THEDELIMITATION OF THE TERRITORIAL SEAS OF THE

TWOCOUNTRIES IN THE WESTERN PART OF THE STRAIT

OFSINGAPORE, 2009).

Pasal 1

(3)

Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkanpengundangan Undang-Undang ini dengan penempatannyadalam Lembaran Negara Republik Indonesia.

Disahkan di Jakarta pada tanggal 22 Juni 2010

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

ttd.

DR. H. SUSILO BAMBANG YUDHOYONO

Diundangkan di Jakarta pada tanggal 22 Juni 2010

MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA

REPUBLIK INDONESIA,

ttd.

PATRIALIS AKBAR

(4)

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4 TAHUN 2010

TENTANG

PENGESAHAN PERJANJIAN ANTARA REPUBLIK INDONESIA DAN REPUBLIK SINGAPURA TENTANG PENETAPAN GARIS BATAS LAUT WILAYAH KEDUA

NEGARA DI BAGIAN BARAT SELAT SINGAPURA, 2009

(TREATY BETWEEN THE REPUBLIC OF INDONESIA AND THE REPUBLIC OF SINGAPORE RELATING TO THE DELIMITATION OF THE TERRITORIAL

SEAS OF THE TWO COUNTRIES IN THE WESTERN PART OF THE STRAIT OF SINGAPORE, 2009)

I. UMUM

1. Latar Belakang Perlunya Penetapan Batas Laut Wilayah antaraPemerintah Republik Indonesia dan Pemerintah Republik Singapuratentang Batas Laut Wilayah di Bagian Barat Selat Singapura.Sesuai dengan ketentuan Organisasi Hidrografi Internasional(International Hydrographic Organization), Selat Singapura adalahsuatu selat yang terletak di perairan Indonesia dari Pulau KarimunKecil hingga Pulau Bintan, perairan Singapura, dan perairan Malaysiadari Tanjung Piai hingga Tanjung Tuas dan dari Johor hingga TanjungPenyusup. Toponimi wilayah maritim Selat Singapura ini telahditetapkan dalam dokumen IHO Nomor S-23 Tahun 1953.

Indonesia dan Singapura telah memiliki Perjanjian Garis Batas LautWilayah yang ditandatangani di Jakarta pada tanggal 25 Mei 1973dan disahkan dengan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1973 tanggal8 Desember 1973. Perjanjian ini hanya mengatur sebagian segmensegmenbatas laut wilayah Indonesia-Singapura di Selat Singapura.

Segmen lain yang perlu dibicarakan untuk menyelesaikankeseluruhan batas maritim antara Republik Indonesia dan RepublikSingapura adalah segmen bagian barat (di wilayah Pulau Nipa-Tuas),segmen bagian timur 1 (di wilayah Pulau Batam-Changi) dan segmenbagian timur 2 (di wilayah Pulau Bintan-South Ledge/MiddleRock/Pedra Branca).

Penetapan garis batas laut wilayah di bagian barat Selat Singapuradengan Republik Singapura diperlukan oleh Pemerintah RepublikIndonesia untuk memberikan kepastian hukum tentang wilayahkedaulatan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Terkait dengankepentingan-kepentingan Indonesia di wilayah tersebut, SelatSingapura memiliki nilai strategis sangat tinggi mengingat selattersebut merupakan jalur pelayaran internasional yang sangat padatyang menjadi penghubung antara Benua Eropa dengan AsiaTenggara, Asia Timur dan Pasifik. Bagi Indonesia, Selat Singapurajuga merupakan urat nadi jalur pelayaran Indonesia ke kawasandunia lainnya.

(5)

Republik Indonesia dalamberbagai aspek, yaitu:

a. adanya batas laut wilayah yang jelas sehingga menjamin kepastianhukum;

b. memudahkan upaya pengawasan dan penegakan kedaulatannegara di laut wilayah;

c. memudahkan upaya Indonesia sebagai negara pantai untukmenjamin keselamatan jalur navigasi di Selat Singapura; dan

d. meningkatkan hubungan baik kedua negara.

2. Proses Perundingan Penetapan Batas Laut Wilayah di Bagian BaratSelat Singapura antara Republik Indonesia dan Republik Singapura.Perundingan penetapan garis batas laut wilayah di bagian barat SelatSingapura dengan Pemerintah Republik Singapura mulaidilaksanakan pada tanggal 28 Februari 2005, dan berakhir padatanggal 10 Maret 2009 ketika Menteri Luar Negeri kedua Negara menandatangani Perjanjian di Jakarta antara Republik Indonesia danRepublik Singapura tentang Penetapan Garis Batas Laut WilayahKedua Negara di Bagian Barat Selat Singapura.

Dalam proses perundingan Indonesia selalu mendasarkan posisinyapada Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang Hukum Laut,1982 (United Nations Convention on the Law of the Sea, 1982),menolak dalam menggunakan hasil reklamasi sebagai dasarpengukuran, serta menggunakan referensi peta asli Tahun 1973 dantitik dasar Indonesia di Pulau Nipa dan garis pangkal kepulauanIndonesia yang ditarik dari Pulau Nipa ke Pulau Karimun Kecil.

3. Pokok-Pokok Isi Perjanjian antara Republik Indonesia dan RepublikSingapura tentang Penetapan Garis Batas Laut Wilayah Kedua Negaradi Bagian Barat Selat Singapura.Pasal 1 Perjanjian antara Republik Indonesia dan Republik Singapuratentang Penetapan Garis Batas Laut Wilayah Kedua Negara di BagianBarat Selat Singapura mengatur titik koordinat dan garis yangmenghubungkannya sebagai garis batas laut wilayah kedua negara.

Titik-titik koordinat dimaksud dihitung dengan menggunakan WorldGeodetic System 1984 Datum (WGS84) dan garis-garis lurus yangmenghubungkan setiap titik-titik koordinat: 1(1°10’46.0”LU,103°40’14.6”BT); 1A(1°11’17.4”LU,103°39’38.5”BT); 1B(1°11’55.5”LU,103°34’20.4”BT); dan 1C(1°11’43.8”LU,103°34’00.0”BT) sebagaimanadigambarkan dalam Lampiran “A” dari Perjanjian.

Pasal 1 juga mengatur bahwa penetapan lokasi sesungguhnya darititik-titik koordinat di atas laut akan ditetapkan dengan suatu carayang akan disetujui bersama oleh pejabat-pejabat yang berwenangdari kedua negara. Sesuai peraturan yang berlaku di Indonesia,pejabat dimaksud adalah Badan Koordinasi Survei dan PemetaanNasional dan Dinas Hidro-Oseanografi Tentara Nasional IndonesiaAngkatan Laut.

Pasal 2 menyatakan bahwa garis batas dari Perjanjian antaraRepublik Indonesia dan Republik Singapura tentang Penetapan GarisBatas Laut Wilayah Kedua Negara di Selat Singapura yangditandatangani pada tanggal 25 Mei 1973 dan garis batas laut wilayahdi segmen barat Selat Singapura yang ditandatangani pada tanggal10 Maret 2009 digambarkan dalam Lampiran “B” dari Perjanjian.

Pasal 3 mengatur cara penyelesaian secara damai melaluimusyawarah atau perundingan apabila terdapat perselisihan yangtimbul dari penafsiran atau pelaksanaan perjanjian kedua negara.

(6)

Pasal 1

Cukup jelas. Pasal 2

Cukup jelas.

(7)

Kahar, Joenil. 2004. Upaya mempertahankan Pulau-Pulau Terluar Pasca Lepasnya Sipadan Ligitan. Jakarta: Bina Cipta.

Kusumadtmadja, mochtar. 1982: Pengantar Hukum Internasional. Bandung: Bina Cipta

N.shaw, Malcolm. 1991 : Internasional Law 3rd Edition. London : Grotius Publication.Ltd.

Sondakh, Bernard Kent. 2003. Peranan TNI AL Dalam Pengamanan Dan Pemberdayaan Pulau Terluar RI. Jakarta: Fakultas Hukum UI

Subagyo, Joko. 1993. Hukum Laut Indonesia, Jakarta: Rinneka Cipta

Susanto, Noto. 1970. Norma-Norma dalam Penelitian & Penulisan. Jakarta : Dephankam

Sumardiman, Adi. 1992 : Wilayah Indonesia Dan Dasar Hukumnya. Jakarta: PT.Pradya Paramitha

Widiyanta, Danar. 2001: Upaya Mempertahankan Pulau-Pulau Terluar Pasca Lepasnya Pulau Sipadan Ligitan. Jakarta : Bina Cipta

B. PERATURAN PERUNDANG- UNDANGAN

- UNCLOS (United Nation Conventian On The Law Of The Sea)

- Peraturan Nomor 02/MDAG/PER/1/2007 tentang larangan ekspor pasir, tanah, dan top soil

- UU No. 1 tahun 1973 tentang Landasan Kontinen Indonesia

- UU No. 4 Tahun 2010. Penetapan garis batas laut wilayah Indonesia

(8)

C.WEBSITE

Abdul muhaimin. 2014. Penarikan Garis Pangkal Lurus Kepulauan, http://amr

mulsin.blogspot.com/2014/05/penarikan-garis-pangkal-lurus-kepulauan.html, di akses pada tanggal 27 Juni 2014.

Abna Mufid. 2014. Makalah perjanjian internasional, http://abnablackwhite.blogs pot.com/201 4/01/makalah-perjanjian-internasional.html, di akses pada tanggal 12 Juni 2014.

Adrean. 2012. Pulau Nipah Dijamin SBY Sanggup Layani Kapal 50 Ribu GT, http://www.lensaindonesia.com/2012/06/02/pulau-nipah-dijamin-sby-sanggup-layani-kapal-50-ribu-gt.html, di akses pada tanggal 1 Juli 2014.

Adminkepri. 2013. PU Bangun Dua Embung Di Pulau Nipah Senilai Rp6,8 Miliar, http://batam. bisnis.com/m/read/20130328/2/19400/pu-bangun-dua-embung-di-pulau-nipah-senilai-rp68-miliar, di akses pada tanggal 10 Juli 2014.

Akbar. 2012. Perjanjian Internasional, http://akbarsenamangge.blogspot.com /2012/04/perjanjian-internasional.html, di akses pada tanggal 1 Juli 2014.

Ardi Kadjun. 2013. Batas-Batas Wilayah Perairan Indonesia, http://ardikadjun- ceritaapasaja.blogspot.com/2013/05/batas-batas-wilayah-perairan-Indonesia.html, di akses pada tanggal 20 Juni 2014.

Arief Fauzi. 2013. Konflik perbatasan Indonesia dan Singapura, marieffauzi. wordpress.com/2013/04/28/konflik-perbatasan-Indonesia Singapura/, di akses pada tanggal 12 Mei 2014.

Arief khumaedy. 2011. Pulau Nipa bagaimana kabar mu kini,http://www.setkab. go.id /artikel-4221-pulau-Nipa-bagaimana-kabarmu-kini.html, di akses pada 25 April 2014.

Andrew Patimahu. 2011. Malaysia masuki perairan pulau Nipa, http://manado.tri bunnews.com/2011/07/22/Malaysia-masuki-perairan-pulau-Nipa, di akses pada tanggal 6 Mei 2014.

(9)

Auzan. 2010. Perbatasan Wilayah Negara RI Menyangkut Perjanjian Dan Perma salahan Yang Ada, http://auzan-metalx.blogspot.com/2013/05 /perbatasan-wilayah-negara-ri-menyangkut.html, di akses pada tangal 11 Juni 2014.

Ayu Maha. 2012. Ketahanan Nasional Indonesia Dalam Sengketa Perbatasan Singapura-Indonesia, http://ayu-maha.blogspot.com/2012/11/keta hanan-nasional-Indonesia-dalam.html, di akses pada tanggal 27 Mei 2014.

Bakosurtanal. 2012. RI- Singapura Sepakati Batas pulau Nipah ,http://www.bakosurt anal.go.id/berita-surta /show/ri-singapura-sepakati-batas-pulau-nipah, di akses pada tanggal 11 Juli 2014.

Batam Pos. 2013. Komandan Pangkalan Utama TNI Angkatan Laut (Danlantamal) IV Tanjungpinang Laksamana Pertama TNI Agus Heryana SE Ajak Generasi Muda Peduli Potensi Bahari, http://batampos.co.id/14-12-2013/komandan-pangkalan-utama-tni- angkatan-laut-danlantamal-iv-tanjungpinang-laksamana-pertama-tni-agus-heryana-se-ajak-generasi-muda-peduli-potensi-bahari/, di akses pada tanggal 23 Juni 2014.

Batam today. 2009. pulau Nipa dapat di kembangkan jadi kawasan pertahanan dan ekonomi, http://www.batamtoday.com/berita15610-Pulau-Nipa-Dapat-Dikembangkan-Jadi-Kawasan-Pertahanan-dan-Ekonomi.html, di akses pada tanggal 25 April 2014.

Brigita. 2011. Reklamasi butuh Kejelasan Aturan, http://bisniskeuangan.kompas .com/ read/2011 /10/21/17323944/Reklamasi.Butuh.Kejelasan.Atur an, di akses pada tanggal 16 Mei 2014.

Chandranigrum. 2003. Menteri Luar Negeri: Tak Ada Pulau Lain yang Berstatus Sengketa, http://tempo.co.id/hg/nasional/2003/01/15/brk,20030115-07,id.html, di akses pada tanggal 13 Juni 2014.

Charles Dodo. 2010. Pulau Nipa Dapat Dikembangkan Menjadi Kawasan Pertahanan Dan Ekonomi, http://www.batamtoday.com/berita15 610-Pulau-Nipa-Dapat-Dikembangkan-Jadi-Kawasan-Pertahanan-dan-Ekonomi.html, di akses pada tanggal 18 Juni 2014.

(10)

Danang sucahyo. 2013. Garis Pangkal Lurus Kepulauan, http://danangsucahyo.b logspot.com/2013/01/garis-pangkal-lurus-kepulauan.html, di akses pada tanggal 19 Juni 2014.

Dewi. 2006. Pulau Nipah Jadi Pembangunan pulau Terluar, http://www.repub lika.co.id/berita/nasional/umum/12/05/06/m3lanh-pulau-nipah-jadi-model-pengembangan-pulau-terluar, di akses pada tanggal 3 Juli 2014.

Didi sadili. 2001. Rencana Pemanfaatan pulau Nipah, http://didisadili.blogspot. com/2011/ 10/rencana-pemanfaatan-pulau-nipah-salah.html, di akses pada tanggal 12 Juni 2014.

Edy. 2012. Pelaksanaan Salah Satu Hukum Internasional Yang Di Ratifikasi Menjadi Hukum Nasional, http://ediwahyudiug.blogspot.com/2012 /06/ pelaksanaan-salah-satu-hukum.html, di akses pada tanggal 13 Juni 2014.

Eka. 2008. Hukum Internasional, http://statushukum.com/hukum-internasional-hukum.html, di akses pada tanggal 12 Mei 2014.

Eko Effendi. 2010. Perjanjian Batas Laut Indonesia dengan Singapura, http://fendy-oyee.blogspot.com/2010/05/perjanjian-batas-laut-barat-indonesia.html, di akses pada tanggal 22 Juni 2014.

Eko priliawato & Denny armadhanu. 2013. Indonesia dan Singapura ratifikasi perbatasan,

http://dunia.news.viva.co.id/news/read/174380-Indonesia-Singapura-ratifikasi-perbatasan, di akses pada tanggal 10 Juni 2014.

Eleveners. 2010. Dasar Hukum Pengaturan Wilayah Negara Di Laut,

http://eleveners.wordpress.com/2010/01/19/dasar-hukum-pengaturan-wilayah-negara-di-laut/, di akses pada tanggal 23 Juni 2014.

Erlangga, 2012. Kawasan usaha pulau nipah dibangun tahun, 2013 http://bisnisk euangan.kompas.com/read/2012/06/03/12181355/Kawasan .Usaha.P ulau.Nipa.Dibangun.2013, diakses pada tanggal 6 Mei 2014.

(11)

Fadli.2014. Memberi Makna Strategis Pulau Nipah, http://isoi.blogspot.com/2004 /12/memberi-makna-strategis-pulau-nipah.html, di akses pada tanggal 6 Mei 2014.

Fitriany. 2012. Menelusuri keperawanan panorama pulau terluar Indonesia, http://blog. djarumbeasiswaplus.org/fitriyani/2012/08/31/38/, di akses pada tanggal 5 Mei 2014.

Febriyan. 2013. Perbatasan Wilayah ,Perjanjian ,dan Permasalahan Negara Republik Indonesia, http://akhidefaz.blogspot.com/2013/06/perbatas an-wilayah-perjanjian-dan.html, di akses pada tanggal 9 Mei 2014.

Ferry Santoso. 2009. Pulau Nipah Sumber Pertahanan Kepulauan, http://jakar ta45.wordpress.com /2009/08/12/nasionalisme-pulau-nipah-simbol-pertahanan-negara-kepulauan/ , di akses pada tanggal 25 Mei 2014.

Global Review. 2012. Pulau Nipa, Armada amerika, Dan Armada china, http://www. theglobal-review.com/content_detail.php?lang=id& id=8361&typ e=8#.U7_Gno2SxCM, di akses pada tanggal 5 Mei 2014.

Harmen. 2013. Wilayah Pertahanan, Menjadikan Pulau Nipah Model Pengemb angan Pulau Terluar, http://www.wilayahpertahanan.com/wilayah- pertahanan-menjadikan-pulau-nipah-model-pengembangan-pulau-terluar/, di akses pada tanggal 9 Juni 2014.

Harmen. 2013. Pulau Perbatasan RI-Singapura Kian Hilang, Belajar Dari Reklamasi Pulau Nipah, http://www.wilayahperbatasan.com/pulau- pulau-perbatasan-ri-singapura-kian-hilang-belajar-dari-reklamasi-pulau-nipah/, di akses pada tanggal 9 Juli 2014.

Hukum property. 2008. Pengelolaan Pulau Kecil, http://www.hukumproperti.com/ tag/pe ngelolaan-pulau-kecil/, di akses pada tanggal 22 April 2014.

Indonesia Hebat. 2010, Indonesia Memiliki Garis Pantai Terpanjang Keempat di Dunia, http://www.indonesiahebat.org/news/2014/03/indonesia-

memiliki-garis-pantai-terpanjang-keempat-di-dunia#.U8BJ8Y2SxCM, di akses pada tanggal 26 April 2014.

(12)

Inriesalie. 2013. perbatasan Wilayah Negara Indonesia, http://inrisalie.blogspot .com/ 2013/06/perbatasan-wilayah-negara-indonesia.html, di akses pada tanggal 29 Juni 2014.

Jakarta, PAB online. 2013. KKP Bangun Terminal Transit Kapal Di Pulau Nipa, http://www.pab-Indonesia.com/berita/citizen-journalism/5145-kkp-bangun-terminal-transit-kapal-di-pulau-Nipa.html, di akses pada tanggal 18 Juni 2014.

Kabar bronis. 2012. Sejarah Hukum Laut Indonesia, http://www.kabarbronis.com /4300/hukum-laut-indonesia.html, di akses pada tanggal 26 April 2014.

Kelamas club. 2010. Hukum Laut Indonesia, http://indonesiadalamsejarah. blogspot.com /2012/04/hukum-laut-indonesia.html, di akses pada tanggal 10 Mei 2014.

Kompas. 2011. Menjaga Pelataran RI di Pulau Nipah, http://nasional.kompas.com/read/

2011/07/28/04290610/Menjaga.Pelataran.RI.di.Pulau.Nipah, di akses pada tanggal 13 Mei 2014.

Kompasiana. 2012. Pulau Nipah Terdepan Mengamankan dan Menguntungkan, http://hankam.kompasiana.com/2012/06/03/pulau-nipah-terdepan-mengamankan-dan-menguntungkan-461958.html, di akses pada tanggal 11 Juli 2014.

Liberta. 2012. Analisis Mengenai Sengketa Perbatasn indonesia Dan Malaysia, http://wirasaktiranggi.blogspot.com/2012/01/analisis-mengenai-sengketa-perbatasan.html, di akses pada tanggal 13 Juli 2014.

Lovely. 2011. HukumLaut, http://lovelycules.blogspot.com/2011/12/hukum-laut.html, di akses pada tanggal 19 Juni 2014.

Maskun. 2011. Jalur-Jalur Laut Indonesia, http://www.negarahukum.com/hu kum/jalur-jalur-laut-Indonesia.html, di akses pada tanggal 23 Juni 2014.

Masnang. 2012. Kembangkan Beranda RI Indonesia Kelola Pulau Nipa, http: //www.antaranews.com/berita/309042/kembangkan-beranda-ri-Indonesia-kelola-pulau-Nipa , di akses pada tanggal 18 Juni 2014. M.Havez. 2013. Hukum Laut Internasional,http://hukumunila.blogsp ot.com/

(13)

M.aelani. 2009. Pulau-Pulau Terluar Dan Batas Nkri, http://www.geomatika.its.a c.id/lang/ id/archives/774, di akses pada tanggal 7 Juli 2014.

Mutia, Hendra. 2013. Panglima TNI Serahkan Kapal Patroli Ke Pulau Nipa ,http://nasi onal.news. viva.co.id/news/read/426737-panglima-tni-serahkan-kapal-patroli-ke-pulau-nipa, di akses pada tanggal 6 Mei 2014.

National geographic Indonesia. 2013. Panjang garis pantai Indonesia capai 99.000 kilometer, http://nationalgeographic.co.id/berita/2013/10/terb aru-panjang-garis-pantai-Indonesia-capai-99000-kilometer, di akses pada tanggal 25 April 2014.

Offan. 2013. Perbatasan Wilayah Indonesia dengan Negara Tetangga, http://offan-online.blogspot.com/2013/01/mengenal-perbatasan-wilayah-negara.html, di akses pada tanggal 20 Juni 2013.

Ophi. 2012. Prospek Penegakan Hukum di Laut Indonesia Melalui Rancangan Undang-Undangtentang Kelautan, http://merancangundangundang .blogspot .com/2014/02/prospek-penegakan-hukum-di-laut.html, di akses pada tanggal 18 Juni 2014.

Riki Firman. 2011. Pengertian, Sejarah, dan Perkembangan hukum laut internasional, http://qiechester.blogspot.com/2013/06/pengertian-sejarah-dan-perkembangan.html, di akses pada tanggal 14 Mei 2014.

Rhukarsa, 2010. kondisi pulau Nipa saat ini, http://beritahankam.blogspot.com/ 2009 /02/kondisi-pulau-Nipa-saat-kini.html, diakses pada tanggal 5 mei 2014

Rhasukarsa. 2009. Pulau Nipah Tetap Bagian NKRI, http://beritahankam.blogspot .com/2009/03/pulau-nipah-tetap-bagian-nkri.html, di akses pada tanggal 3 juli 2014

Satria, 2012. Nipah Jadi Benteng Terluar RI, http://garudamiliter.blogspot.com/2 012/10 /nipah-jadi-contoh-benteng-terluar-ri.html, di akses pada tanggal 25 juni 2014

Sekretariat Jendral Dewan Ketahanan Nasional.2010. Jumlah Pulau di Indonesia, http://www.dkn .go.i d/site/index.php/ruang-opini/126-jumlah-pulau-di-Indonesia, di akses pada tanggal 25 april 2014

(14)

Steven Pailah.2008. Pulau-pulau RawanSengketa Maritim ,http://stevenpailah. blogsp ot.com/2008/07/ pulau-pulau-rawan-sengketa-maritil.html, di akses pada tanggal 11 Juli 2014.

Tabloid Diplomasi. 2013. Konvensi PBB Tentang Hukum laut , http://www.tablo iddiplo masi.org/previous-isuue/105-september-2010/929-konvensi-pbb-tentang-hukum-laut-unclos.html, di akses pada tanggal 9 Mei 2014.

Tabloid Diplomasi.2010. Diplomasi perbatasan, http://www.tabloiddiplomasi.

org/previous-isuue/160-oktober-2011/1237-diplomasi-perbatasan.html, di akses pada tanggal 11 Juli 2014.

Tahu sakti. 2012. Perbatasan Wilayah RI Perjanjian Dan Permasalahanya, http://tahusakti.wordpress.com/2013/05/11/perbatasan-wilayah-ri-perjanjian-dan-permasalahanya/, di akses pada tanggal 9 Mei 2014.

Tutis. 2013. Ketahanan Nasional di Wilayah Perbatasan Indonesia, http://tutisp .blog spot.com/2013/05/ketahanan-nasional-di-wilayah.html, di akses pada tanggal 20 Juni 2014.

Wikipedia. 2008. Daftar Pulau terluar Indonesia,http://id.wikipedia.org/wiki /Daftar_pulau_terlu ar_Indonesia , di akses pada tanggal 25 April 2014.

Wikipedia. 2012. Pulau Nipa, http://id.wikipedia.org/wiki/Pulau_Nipa, di akses pada tanggal 5 Mei 2014.

wisnu agung.2013.Perbatasan Indonesia Bermasalah dengan 5 Negara, http://

www.tempo.co/read/news/2013/02/26/078463789/Perbatasan-Indonesia-Bermasalah-dengan-5-Negara, di akses pada tanggal 2 Juli 2014.

(15)

A. Penarikan Garis Pangkal Pantai Di Dalam Hukum Laut Internasional

Negara Kedaulatan Republik Indonesia (NKRI) adalah suatu negara yang

wilayahnya terdiri dari banyak pulau yang tersebar di sepanjang wilayah

teritorialnya sehingga disebut sebagai Negara Kepulauan (archipelagic

state). Awal perjuangan Indonesia dalam memperjuangkan wilayah kepulauannya (terdiri dari wilayah pulau-pulau dan perairan di sekitar pulau-pulau

tersebut) adalah dicetuskannya Deklarasi Djuanda. Deklarasi Djuanda yang

dicetuskan pada tanggal 13 Desember 1957 oleh Perdana Menteri Indonesia pada

saat itu, Djuanda Kartawidjaja, adalah deklarasi yang menyatakan kepada dunia

bahwa laut Indonesia adalah termasuk laut sekitar, di antara dan di dalam

kepulauan Indonesia menjadi satu kesatuan wilayah Negara Kesatuan Republik

Indonesia. Isi dari Deklarasi Juanda sendiri antara lain sebagai berikut :

1.) Cara penarikan batas laut wilayah tidak lagi berdasarkan garis pasang

surut (low water line), tetapi pada sistem penarikan garis

lurus (straightbaseline) yang diukur dari garis yang menghubungkan titik - titik ujung yang terluar dari pulau-pulau yang termasuk dalam wilayah RI.

2.) Penentuan wilayah lebar laut dari 3 mil laut menjadi 12 mil laut.

3.) Zona Ekonomi Ekslusif (ZEE) sebagai rezim Hukum Internasional , di

(16)

Indonesia. Dengan adanya Deklarasi Juanda, secara yuridis formal, Indonesia

menjadi utuh dan tidak terpecah lagi.

Sebelum Deklarasi Djuanda, wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia

mengacu pada Ordonansi Hindia Belanda 1939, yaitu Teritoriale Zeeën en Maritieme Kringen Ordonantie 1939(TZMKO 1939). Dalam peraturan zaman

Hindia Belanda ini, pulau-pulau di wilayah Nusantara dipisahkan oleh laut di

sekelilingnya dan setiap pulau hanya mempunyai laut di sekeliling sejauh 3 mil

dari garis pantai. Ini berarti kapal asing boleh dengan bebas melayari laut yang

memisahkan pulau-pulau tersebut. Ketentuan ini membuat Indonesia bukan

sebagai negara kesatuan, karena pada setiap wilayah laut terdapat laut bebas yang

berada di luar wilayah yurisdiksi nasional.

Deklarasi Djuanda menyatakan bahwa Indonesia menganut prinsip-prinsip

negara kepulauan (Archipelagic State) yang pada saat itu mendapat pertentangan besar dari beberapa negara, sehingga laut-laut antar pulau pun merupakan wilayah

Republik Indonesia dan bukan kawasan bebas. Deklarasi Djuanda Deklarasi ini

diratifikasi melalui Undang-Undang No. 4/PRP/1960 tentang Perairan

Indonesia.55 Akibatnya luas wilayah Republik Indonesia berganda 2,5 kali lipat

dari 2.027.087 km² menjadi 5.193.250 km² dengan pengecualian Irian Jaya yang

walaupun wilayah Indonesia tapi waktu itu belum diakui secara internasional.

Berdasarkan perhitungan 196 garis batas lurus (straight baselines) dari titik pulau

terluar ( kecuali Irian Jaya ), terciptalah garis maya batas mengelilingi RI

(17)

Setelah melalui perjuangan yang panjang, akhirnya pada

tahun 1982 deklarasi ini dapat diterima dan ditetapkan dalam Konvensi Hukum

Laut PBB ke-III Tahun 1982 (United Nations Convention On The Law of The Sea/UNCLOS 1982). Selanjutnya deklarasi ini dipertegas kembali dengan UU Nomor 17 Tahun 1985 tentang pengesahan UNCLOS 1982 bahwa Indonesia

adalah negara kepulauan. 56

Indonesia juga telah memiliki berbagai ketentuan yang mengacu kepada

perbatasan maritim Indonesia. Berikut Undang-Undang dan Peraturan yang telah

mengacu pada Konvensi Hukum Laut Internasional:

1. Undang-Undang No. 17 tahun 1985 tentang Pengesahan atas UNCLOS 1982

Pada tanggal 31 Desember 1985 pemerintah mengeluarkan

Undang-Undang No. 17 tahun 1985 tentang Pengesahan United Nations Convention on the Law of the Sea (Konvensi PBB tentang Hukum Laut) untuk meratifikasi Konvensi

PBB tentang Hukum Laut pada tahun 1982. Menurut UNCLOS, Indonesia berhak

untuk menetapkan batas terluar dari berbagai zona maritim dengan

batas-batas maksimum ditetapkan sebagai berikut:

 Laut Teritorial sebagai bagian dari wilayah negara : 12 mil-laut;

 Zona Tambahan dimana negara memiliki yurisdiksi khusus : 24 mil-laut;

 Zona Ekonomi Eksklusif : 200 mil-laut, dan

 Landas Kontinen : antara 200 – 350 laut atau sampai dengan 100

mil-laut dari isobath (kedalaman) 2.500 meter.

56 Danang sucahyo, Garis Pangkal Lurus Kepulauan,

(18)

Pada ZEE dan Landas Kontinen, Indonesia memiliki hak-hak berdaulat untuk

memanfaatkan sumber kekayaan alamnya. Di samping itu, sebagai suatu negara

kepulauan Indonesia juga berhak untuk menetapkan perairan kepulauan pada sisi

dalam dari garis-garis pangkal kepulauannya dan perairan pedalaman pada

perairan kepulauannya. Berbagai zona maritim tersebut harus diukur dari

garis-garis pangkal atau garis-garis-garis-garis dasar yang akan menjadi acuan dalam penarikan

garis batas.

2. Undang-Undang No. 6 tahun 1996 tentang Perairan Indonesia

Pada tanggal 8 Agustus 1996, Pemerintah menetapkan Undang-Undang

No. 6 tahun 1996 tentang Perairan Indonesia, yang lebih mempertegas batas-batas

terluar (outer limit) kedaulatan dan yurisdiksi Indonesia di laut, juga memberikan

dasar dalam penetapan garis batas (boundary) dengan negara negara tetangga yang berbatasan, baik dengan negara-negara yang pantainya berhadapan maupun

yang berdampingan dengan Indonesia.

Pada dasarnya Undang-undang ini memuat ketentuan-ketentuan dasar

tentang hak dan kewajiban negara di laut yang disesuaikan dengan status hukum

dari berbagai zona maritim, sebagaimana diatur dalarn UNCLOS. Batas terluar

laut teritorial Indonesia tetap menganut batas maksimum 12 mil laut, dan garis

pangkal yang dipakai sebagai titik tolak pengukurannya tidak berbeda dengan

pengaturan dalam Undang-Undang No. 4/Prp. tahun 1960 yang disesuaikan

(19)

3. Peraturan Pemerintah, No. 61 tahun 1998 tentang Daftar Koordinat Geografis

Titik-titik Garis Pangkal Kepulauan Indonesia di sekitar Kepulauan Natuna,

diganti dengan Peraturan Pemerintah No. 38 tahun 2002 tentang Daftar Koordinat

Geografis Titik-titik Garis Pangkal Kepulauan Indonesia

Untuk memenuhi ketentuan dalam Pasal 6 ayat (2) dan ayat (3)

Undang-undang Nomor 6 Tahun 1996 tentang Perairan Indonesia yang menentukan bahwa

Daftar Koordinat tersebut harus didepositkan di Sekretariat Jenderal Perserikatan

Bangsa-Bangsa, Undang-undang No. 6 tahun 1996 tersebut kemudian dilengkapi

dengan Peraturan Pemerintah No. 61 tahun 1998 tentang Daftar Koordinat

Geografis Titik-titik Garis Pangkal Kepulauan Indonesia di sekitar Kepulauan

Natuna, yang kemudian dicabut dan digantikan dengan Peraturan Pemerintah No.

38 tahun 2002 tentang Daftar Koordinat Geografis Titik-titik Garis Pangkal

Kepulauan Indonesia, dengan melampirkan daftar koordinat geografis titik-titik

garis pangkal kepulauan Indonesia.

Daftar koordinat ini tidak dimasukkan sebagai ketentuan dalam batang

tubuh Peraturan Pemerintah ini dengan tujuan agar perubahan atau pembaharuan

(updating) data dapat dilakukan dengan tidak perlu mengubah ketentuan dalam

batang tubuh Peraturan Pemerintah ini. Lampiran-lampiran tersebut merupakan

bagian yang tak terpisahkan dari Peraturan Pemerintah ini. Selain itu terdapat pula

beberapa Undang-Undang yang dikeluarkan sebelum Indonesia meratifikasi

UNCLOS pada tahun 1985 yang belum diubah yaitu:

(20)

Undang-Undang ini dibuat berdasarkan ketentuan Konvensi Jenewa

tentang Landas Kontinen tahun 1958 yang menganut penetapan batas terluar

landas kontinen berbeda dengan UNCLOS. Dengan demikian perlu diadakan

perubahan terhadap Undang-Undang ini dengan menyesuaikan sebagaimana

mestinya ketentuan tentang batas terluar landas kontinen.

b) Undang-undang No. 5 tahun 1983 tentang Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia

Menurut Undang-Undang ini di Zona Ekonomi Eksklusif, Indonesia

mempunyai hak-hak berdaulat untuk melakukan eksplorasi dan eksploitasi sumber

daya alam hayati dengan mentaati ketentuan tentang pengelolaan dan konservasi.

Batas terluar Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia ditetapkan sejauh 200 mil-laut.

Sampai saat ini Indonesia belum mengumumkan zona tambahannya maupun

memiliki peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang penetapan batas

terluar, maupun tentang penetapan garis batas pada zona tambahan yang tumpang

tindih atau yang berbatasan dengan zona tambahan negara lain. Badan Pembinaan

Hukum Nasional dari Departemen Kehakiman dan HAM pernah melakukan

pengkajian dan menghasilkan suatu naskah akademik dan RUU tentang Zona

Tambahan, namun sampai saat ini belum menjadi Undang-Undang.

Menurut ketentuan Pasal 47 ayat 8 dan 9 dari UNCLOS, garis-garis

pangkal yang telah ditetapkan sesuai dengan ketentuan-ketentuan tersebut harus

(21)

memadai untuk menegaskan posisinya. Sebagai gantinya dapat dibuat daftar

koordinat geografis titik-titik yang secara jelas memerinci datum geodetik.57

UU No. 17 Tahun 1985 mengamanatkan perlunya penanganan secara

serius penataan batas-batas maritime dengan Negara-negara tetangga. Di laut

Indonesia berbatasan dengan 10 (sepuluh) Negara, yakni India, Singapura,

Malaysia, Thailand, Vietnam, Filipina, Palau, Papua Nugini, dan Timor Leste.

Batas-batas maritim yang harus diselesaikan, meliputi :

a. Laut Teritorial

Laut teritorial adalah wilayah kedaulatan suatu Negara pantai, meliputi rung

udara serta dasar laut dan tanah di bawahnya, lebarnya tidak melebihi 12 mil

laut diukur dari garis pangkal

b. Zona Tambahan

Di luar laut teritorial terdapat laut-laut dimana Indonesia mempunyai hak-hak

berdaulat dan kewenangan-kewenangan tertentu. Di Zona tambahan, yaitu

sampai batas 12 mil laut di luar laut territorial atau 24 mil laut diukur dari garis

pangkal, Indonesia juga dapat melaksanakan kewenangan-kewenangan tertentu

untuk mengontrol pelanggaran terhadap aturan-aturan di bidang bea

cukai/pabean, keuangan, karantina kesehatan, pengawasan imigrasi, dan

menjamin pelaksanaan hokum di wilayahnya (H. Djalal, 2003).

c. Zona Ekonomi Eksklusif

57 Eleveners, Dasar Hukum Pengaturan Wilayah Negara Di Laut,

(22)

Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) adalah suatu daerah di luar dan berdampingan

dengan laut teritorial, lebar zona ini tidak lebih 200 mil laut dari garis pangkal.

Di ZEE Indonesia memiliki hak berdaulat atas eksplorasi dan eksploitasi,

konservasi dan pengelolaan sumberdaya alam, baik hayati maupun non-hayati,

dari perairan di atas dasar laut dan dari dasar laut dan tanah di bawahnya dan

berkenaan dengan kegiatan lain untuk keperluan eksplorasi ekonomi zona

tersebut, seperti energi dari air, arus dan angin.

d. Landasan Kontinen

Landasan kontinen (continental shelf) pada awalnya merupakan istilah geologi.

Istilah ini merujuk pada fakta geologis bahwa daratan pantai akan menurun ke

bawah laut dengan kemiringan kecil hingga di suatu tempat tertentu menurun

secara terjal ke dasar laut. Bagian tanah dasar laut dengan kemiringan kecil

tersebut merupakan landasan kontinen. Sedangkan bagian atas dasar tanah

dengan kemiringan curam merupakan lereng kontinen. 58

Dalam menetapkan batas maritim (wilayah laut suatu negara) perlu

diperhatikan dasar-dasar atau prinsip-prinsip yang dikenal dalam hukum laut

internasional dengan memperhatikan kondisi geografis negara, kondisi khusus,

dan fatktor sejarah. Berdasarkan tujuan penerapannya, Konvensi Hukum

Laut 1982 mengenal tiga macam garis pangkal, yaitu: garis pangkal biasa, Garis

pangkal lurus, dan garis Pangkal lurus kepulauan. Pedoman penetapan

masing-masing garis pangkal tersebut adalah sebagai berikut:

(23)

1. Garis Pangkal Biasa (Normal Baseline)

Garis Pangkal Biasa adalah garis pangkal yang ditarik untuk menghubungkan

titik-titik pertemuan antara lautan dan daratan dengan mengikuti konfigurasi

pantai pada waktu air surut terendah. Dengan kata lain, garis pangkal ditarik

dengan cara mengikuti titik-titik pertemuan antara air laut dengan daratan pada

waktu air surut terendah. Penetapan Garis Pangkal Biasa untuk tujuan pengukuran

wilayah laut kewenangan provinsi dapat dilakukan secara analogi dengan

ketentuan Konvensi Hukum Laut 1982 , yaitu sebagai berikut:

a. Garis Pangkal Biasa adalah garis air rendah dengan mengikuti konfigurasi

pantai;

b. Apabila terdapat gugusan karang di hadapan daratan utama suatu propinsi mak

a garis pangkal dapat ditarik melalui gugusan karang tersebut dengan syarat telah

ada instalasi yang dibangun di atas karang tersebut.

2. Garis Pangkal Lurus (Straight Baseline)

Garis Pangkal Lurus adalah garis ke daratan atau pada muara sungai atau selat

yang lebarnya tidak lebih dari 12 mil.

a. Garis Pangkal Lurus ditarik tanpa menyimpang terlalu jauh dari arah umum

pantai yang bersangkutan;

b. Garis Pangkal Lurus tidak dapat ditarik dari gugusan karang yang pangkal yang

ditarik dari ujung ke ujung untuk menghubungkan titik-titik terluar dari satu pulau

atau untuk menghubungkan dua pulau atau lebih. Garis Pangkal Lurus berfungsi

(24)

muara sungai.

c. Garis Pangkal Lurus dapat ditarik pada lokasi-lokasi pantai yang menjorok

tenggelam pada waktu pasang naik, kecuali apabila telah ada instalasi yang

dibangun secara permanen diatas karang tersebut.

3. Garis Pangkal Kepulauan (Archipelagic Baseline)

Garis Pangkal Kepulauan adalah gabungan dari seluruh garis pangkal lurus

yang ditarik untuk menghubungkan titik-titik terluar dari pulau-pulau yang terluar

yang membentuk sebuah kepulauan. Penetapan Garis Pangkal Kepulauan dapat

dilakukan secara analogi dengan ketentuan Konvensi Hukum Laut 1982 (Article

47), yaitu sebagai berikut:

a. Garis Pangkal Kepulauan dapat diterapkan pada provinsi-provinsi yang

berbentuk kepulauan. Garis Pangkal Kepulauan ditarik untuk menghubungkan

titik-titik terluar dari pulau-pulau terluar pada waktu air surut terendah;

b. Garis Pangkal Kepulauan tidak dapat melampaui panjang maksimum, yaitu 12

mil;

c. Garis Pangkal Kepulauan tidak dapat ditarik menyimpang terlalu jauh dari arah

umum bentuk kepulauan;

d. Garis Pangkal Kepulauan tidak dapat ditarik dari gugusan karang yang

tenggelam pada waktu pasang naik, kecuali apabila telah ada instalasi yang

(25)

Menurut UNCLOS 1982, Indonesia harus membuat peta garis batas, yang

memuat koordinat garis dasar sebagai titik ditariknya garis pangkal kepulauan

Indonesia, oleh karena itu Pemerintah Indonesia menerbitkan PP No. 38 Tahun

2002 tentang Daftar Koordinat Geografis Titik-Titik Garis Pangkal Kepulauan

Indonesia. Garis pangkal lurus kepulauan diatur dalam Pasal 3 ayat (1-7), yaitu:

(1) Di antara pulau-pulau terluar, dan karang kering terluar kepulauan

Indonesia, garis pangkal untuk mengukur lebar laut teritorial adalah Garis Pangkal

Lurus Kepulauan.

(2) Garis Pangkal Lurus Kepulauan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)

adalah garis lurus yang menghubungkan titik-titik terluar pada Garis Air Rendah

pada titik terluar pulau terluar, dan karang kering terluar yang satu dengan titik

terluar pada Garis Air Rendah pada titik terluar pulau terluar, karang kering

terluar yang lainnya yang berdampingan.

(3) Panjang Garis Pangkal Lurus Kepulauan sebagaimana dimaksud dalam ayat

2 tidak boleh melebihi 100 (seratus) mil laut, kecuali bahwa 3% (tiga per seratus)

dari jumlah keseluruhan Garis Pangkal Lurus Kepulauan dapat melebihi

kepanjangan tersebut, hingga maksimum 125 (seratus dua puluh lima) mil laut.

(4) Penarikan Garis Pangkal Lurus Kepulauan sebagaimana dimaksud dalam

ayat 2 dan ayat 3 dilakukan dengan tidak terlalu jauh menyimpang dari

konfigurasi umum kepulauan.

(5) Penarikan Garis Pangkal Lurus Kepulauan sebagaimana dimaksud dalam

ayat 2 dapat dilakukan dengan memanfaatkan titik-titik terluar pada Garis Air

(26)

serupa yang secara permanen berada di atas permukaan air atau elevasi surut yang

sebagian atau seluruhnya terletak pada suatu jarak yang tidak melebihi lebar laut

teritorial dari Garis Air Rendah pulau terdekat.

(6) Perairan yang terletak pada sisi dalam Garis Pangkal Lurus Kepulauan

sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) adalah Perairan Kepulauan dan perairan

yang terletak pada sisi luar Garis Pangkal Lurus Kepulauan tersebut adalah Laut

Teritorial.

(7) Daftar Titik-titik Koordinat Geografis yang ditetapkan dengan lintang dan

bujur geografis, memiliki arti dan peran yang sangat penting untuk penarikan

garis pangkal kepulauan Indonesia, dari garis pangkal kepulauan Indonesia inilah

selanjutnya antara lain dapat diukur lebar laut teritorial Indonesia 12 mil laut.

Meskipun pemerintah Indonesia telah mengeluarkan Peraturan Pemerintah

Nomor 38 Tahun 2002 tentang Daftar Koordinat Geografis Titik-titik Garis

Pangkal Kepulauan Indonesia (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2002

Nomor 72, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4211, namun

berdasarkan keputusan The International Court ofJustice (ICJ) pada tanggal 17 Desember 2002 yang menyatakan bahwa Kedaulatan atas Pulau Ligitan dan

Pulau Sipadan dimiliki oleh Malaysia, meskipun secara hukum kita hanya punya

hak berdaulat di sana.

Disamping itu, sebagai akibat dari diakuinya oleh Majelis

Permusyarakatan Rakyat Republik Indonesia atas hasil pelaksanaan penentuan

(27)

dengan Republik Portugal mengenai masalah Timor Timur. Serta tidak

berlakunya lagi Ketetapan Majelis Permusyarakatan Rakyat Republik Indonesia

Nomor VI/MPR/1978 tentang Pengukuhan Penyatuan Wilayah Timor Timur ke

dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia. Maka Peraturan Pemerintah Nomor

38 Tahun 2002 tentang Daftar Koordinat Geografis Titik-titik Garis Pangkal

Kepulauan Indonesia mengalami perubahan terutama pada bagian lampirannya.

Sehingga ditetapkanlah Peraturan Pemerintah Nomor 37 tahun 2008 tentang

Perubahan Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun 2002 tentang Daftar Koordinat

Geografis Titik-titik Garis Pangkal Kepulauan Indonesia.

B.Penarikan Garis Pangkal Pantai Indonesia

Indonesia memiliki undang-undang tersendiri mengenai jalur-jalur hukum

laut Indonesia, hal ini dibuat agar tidak ada kesalahpahaman antara Indonesia

dengan negara-negara tetangga, berikut jalur-jalur laut Indonesia.

1. Perairan Kepulauan

Dalam pasal 3 ayat 3 undang-undang perairan Indonesia disebutkan

bahwa, “Perairan Kepulauan Indonesia adalah semua perairan yang terletak pada

sisi dalam garis pangkal lurus kepulauan tanpa memperhatikan kedalaman atau

jaraknya dari pantai.” Karena Konvensi Hukum Laut Internasional (UNCLOS III)

sudah mengakui konsep negara kepulauan (archipelagic state) maka perairan kepulauan Indonesia juga masuk kedalam perlindungan hukum laut internasional

(28)

2. Perairan Pedalaman

Dalam pasal 8 ayat (1) United Nations Conventions on the Law of the

Sea (UNCLOS 1982) disebutkan bahwa yang dinamakan Perairan Pedalaman adalah perairan pada sisi darat garis pangkal laut teritorial. Pasal tersebut

selengkapnya berbunyi, “perairan pada sisi darat garis pangkal laut territorial

merupakan bagian perairan pedalaman negara tersebut”. Sedangkan dalam pasal 3

(4) UU No. 6 Tahun 1996 Tentang Perairan Indonesia disebutkan bahwa,

“Perairan Pedalaman Indonesia adalah semua perairan yang terletak pada sisi

darat dari garis air rendah dari pantai-pantai Indonesia, termasuk kedalamnya

semua bagian dari perairan yang terletak pada sisi darat dari suatu garis penutup

sebagaimana dimaksud dalam pasal 7. Perairan Pedalaman Indonesia terdiri atas:

laut pedalaman, dan perairan darat.

Selanjutnya, laut pedalaman menurut pengertian undang-undang ini adalah

bagian laut yang terletak pada sisi darat dari garis penutup, pada sisi laut dan

garis air rendah. Sedangkan Perairan Darat adalah segala perairan yang terletak

pada sisa darat dari garis air rendah, kecuali pada mulut sungai perairan darat

adalah segala perairan yang terletak pada sisi darat dari garis penutup mulut

sungai.

Perincian dari Perairan Indonesia berdasarkan ketentuan-ketentuan dari

UU No. 4/Prp tahun 1960 (sekarang UU No. 6 Tahun 1996), hukum laut secara

tradisional mengadakan pembagian laut atas laut lepas, laut wilayah dan perairan

(29)

laut wilayah berlaku rezim lintas damai bagi kapal-kapal asing dan di perairan

pedalaman hak lintas damai ini tidak ada.

Sedangkan bagi Indonesia, karena adanya bagian-bagian laut lepas atau

laut wilayah yang menjadi laut pedalaman karena penarikan garis dasar lurus dari

ujung ke ujung, pembagian perairan Indonesai agak sedikit berbeda dengan

negara-negara lain. Sesuai dengan UU No. 4 /Perp Tahun 1960 tersebut, perairan

Indonesia terdiri dari laut wilayah dan perairan Pedalaman. Perairan pedalaman

ini dibagi pula atas laut pedalaman dan perairan daratan.

Mengenai hak lintas damai di laut wilayah, tidak ada persoalan karena

telah merupakan suatu ketentuan yang telah diterima dan dijamin oleh hukum

internasional. Dilaut wilayah perairan Indonesia, kapal semua negara baik

berpantai atau tidak berpantai, menikmati hak lintas damai melalui laut teritorial

(pasal 17 konvensi). Selanjutnya, Indonesia membedakan perairan pedalaman

(perairan kepulauan atas dua golongan), yaitu:

1. Perairan pedalaman yang sebelum berlakunya Undang-Undang No. 4/Prp

Tahun 1960 merupakan laut wilayah atau laut bebas. Perairan pedalaman ini

disebut laut pedalaman atau internal seas.

2. Perairan pedalaman yang sebelum berlakunya UU No. 4/Prp Tahun 1960 ini

merupakan laut pedalaman yang dahulu, selanjutnya dinamakan perairan

daratan atau coastal waters.

Di laut pedalaman ini, pemerintah Indonesia menjamin hak lintas damai

kapal-kapal asing. Sebagaimana kita ketahui, laut pedalaman ini dulunya adalah

(30)

lintas damai kepada kapal-kapal asing. Ketentuan yang juga dinyatakan oleh

Konvensi Jenewa, dan yang ditegaskan pula oleh pasal 8 Konvensi 1982. Di

perairan daratan tidak ada hak lintas damai. Ini adalah suatu hal yang wajar karena

kedekatannya dengan pantai seperti anak-anak laut, muara-muara sungai,

teluk-teluk yang mulutnya kurang dari 24 mil, pelabuhan-pelabuhan, dan

lain-lainnya. Sebagai tambahan, pemerintah Indonesia pada tahun 1985 telah

meratifikasi UNCLOS III/1982 ini dengan mengeluarkan UU No 17 Tahun 1985

tentang Pengesahan United Nations Convention on the Law of the Sea yang ketiga.

Sebagai bahan perbandingan dalam mempelajari perkembangan wacana

hukum laut, khususnya yang membahas tentang laut teritorial dan jalur tambahan

dalam era yang berbeda, berikut ini akan dikaji perbedaan antara Konvensi

Jenewa 1957 dengan United Nations Convention on the Law of the Sea 1982 (UNCLOS III 1982) yang khusus membahas tentang Laut Territorial dan Jalur

Tambahan ;

Konvensi Jenewa 1957 yang membahas tentang Laut Territorial dan Jalur

Tambahan meneguhkan beberapa azas tentang laut territorial yang telah

berkembang sejak lahirnya hukum laut internasional dan memperoleh

perumusannya yang jelas dalam konferensi kodifikasi Den Haag tahun 1930.

Dalam beberapa hal, Konvensi ini memuat ketentuan-ketentuan yang

merupakan perkembangan baru dalam hukum laut internasional publik. Yang

(31)

Pasal 1: menyatakan bahwa laut teritorial yang merupakan suatu jalur

yang terletak disepanjang pantai suatu negara berada dibawah kedaulatan negara.

Pasal 2: menyatakan bahwa kedaulatan negara atas laut teritorial hanya meliputi

juga ruang udara diatasnya dan dasar laut serta tanah dibawah dasar laut.

Pasal 3: memuat ketentuan mengenai garis pasang surut (low water mark) sebagai

garis pangkal biasa (“normal” base-line).

Pasal 4: mengatur garis pangkal lurus dari ujung ke ujung (straight base-lines)

sebagai cara penarikan garis pangkal yang dapat dilakukan dalam

keadaan-keadaan tertentu. Dalam penjabarannya, ayat (1) menetapkan dalam hal-hal mana dapat dipergunakan sistem penarikan garis pangkal lurus, yakni:

1. Ditempat-tempat dimana pantai banyak liku-liku tajam atau laut masuk

jauh kedalam.

2. Apabila terdapat deretan pulau yang letaknya tak jauh dari pantai.

Ayat selanjutnya (2, 3, dan 5) memuat syarat-syarat yang harus

diperhatikan di dalam menggunakan penarikan garis pangkal menurut sistem garis

pangkal lurus dari ujung ke ujung.

Syarat pertama adalah bahwa garis-garis lurus tidak boleh menyimpang

terlalu banyak dari arah umum daripada pantai dan bahwa bagian laut yang

terletak pada sisi dalam (sisi darat) garis-garis demikian harus cukup dekat pada

wilayah daratan untuk dapat diatur oleh rezim perairan pedalaman, (ayat 2).

Syarat kedua adalah bahwa garis-garis lurus tidak boleh diantara dua pulau

atau bagian daratan yang hanya timbul diatas permukaan air diwaktu pasang surut

(32)

mercusuar-mercusuar atau instalasi-instalasi serupayang setiap waktu ada diatas permukaan

air (ayat 3).

Syarat ketiga adalah bahwa penarikan garis pangkal tidak boleh dilakukan

sedemikian rupa hingga memutuskan hubungan laut wilayah negara lain dengan

laut lepas. (ayat 5).

Ayat 4 dapat dianggap sebagai tambahan pada ketentuan ayat 1 mengenai

penetapan garis lurus sebagai garis pangkal. Ayat ini menetapkan bahwa dalam

menetapkan garis pangkal lurus demikian dapat diperhatikan

kebutuhan-kebutuhan istimewa yang bersifat ekonomis daripada suatu daerah yang dapat

dibuktikan dengan kebiasaan-kebiasaan dan kebutuhan yang telah

berlangsung lama.

Ketentuan dalam ayat 1 yang menyatakan”……., ditempat-tempat dimana,

dan seterusnya….,” menunjukan bahwa sistem garis pangkal lurus adalah cara

penarikan garis pangkal istimewa yang dapat dipergunakan oleh suatu negara.

Sifat istimewa daripada garis pangkal lurus tampak dengan lebih jelas apabila kita

hubungkan ayat (1) ini dengan pasal 3 yang menyatakan garis pasang surut

sebagai garis pangkal biasa (normal base-line). Ketentuan ini berarti suatu negara

dapat emnggunakannya disebagian pantainya yang memenuhi syarat-syarat ayat

(1).

Sebagaimana diketahui keputusan-keputusan Konvensi I mengenai garis

pangkal lurus ini didasarkan atas keputusan Mahkamah Internasional tanggal 28

(33)

Dengan dimuatnya ketentuan mengenai penarikan garis pangkal lurus ini

dalam konvensi mengenai “Laut Territorial dan Zona Tambahan”, maka isi

keputusan Mahkamah Internasional tersebut yang berdasarkan pada pasal 59,

tidak mengikat kecuali terhadap pihak-pihak yang bersengketa dan berkenaan

dengan perkara yang bersangkutan”, kini telah diakui menjadi suatu cara

penarikan garis pangkal yang – dengan syarat-syarat tertentu – berlaku umum.[4]

Sedangkan ketentuan mengenai laut teritorial yang tercantum dalam

UNCLOS IIII/1982 menjelaskan bahwa, kedaulatan negara pantai selain

diwilayah daratan dan perairan pedalamannya, perairan kepulauannya, juga

meliputi laut teritorial, ruang udara diatasnya dan dasar laut serta lapisan tanah

dibawahnya.

Batas laut teritorial tidak melebihi batas 12 mil laut diukur dari

garis pangkal normal. Untuk negara-negara kepulauan yang mempunyai

karang-karang disekitarnya, garis pangkalnya adalah garis pasang surut dari sisi karang-karang ke

arah laut. Bagian ini juga membahas tentang perairan kepulauan, mulut sungai,

teluk, instalasi pelabuhan, penetapan garis batas laut teritorial antara

negara-negara yang pantainya berhadapan atau berdampingan serta lintas damai.

Mengenai zona tambahan, menentukan bahwa negara pantai dalam zona

tersebut bisa melaksanakan pengawasan yang diperlukan guna mencegah

pelanggaran undang-undang menyangkut bea cukai, fiskal, imigrasi, dan saniter

dalam wilayahnya, namun tidak boleh lebih dari 24 mil laut. Artinya, untuk zona

(34)

Sebagaimana pernah disebutkan diatas, suatu negara mempunyai

kedaulatan yang penuh dalam perairan teritorialnya dan dapat menyelenggarakan

serta menjalankan tindakan-tindakan seperlunya untuk menjamin antara lain:

a. Pertahanan keselamatan negara terhadap gangguan/ serangan dari luar;

b. Pengawasan atas keluar masuknya orang asing (imigrasi);

c. Penyelenggaraan peraturan fiskal (bea dan cukai);

d. Pekerjaan dilapangan kesehatan (karantina);

e. Kepentingan perikanan

f. Pertambangan dan hasil-hasil alam lainnya.

Oleh karena itu, penentuan lebar laut 3 mil yang tercantum dalam “Territoriale

Zee en Maritieme Kringen Ordonantietahun 1939” yang dalam pasal 1 ayat 1 a.l.

menyatakan bahwa “laut territorial Indonesia itu lebarnya 3 mil diukur dari garis

air rendah (laagwaterlijn) daripada pulau-pulau dan bagian pulau yang merupakan bagian dari wilayah daratan (grondgebied) dari Indonesia………..” dirasakan tidak sesuai lagi dengan keadaan sekarang dan dirasakan sudah tidak cukup lagi

untuk menjamin dengan sebaik-baiknya kepentingan rakyat dan negara Indonesia

yang biasanya diselenggarakan dalam batas lautan territorial suatu negara. Oleh

karena itu, pada tahun 1996 pemerintah RI mengeluarkan UU No 6 Tahun 1996

Tentang Perairan Indonesia sebagai tindak lanjut dari kesepakatan UNCLOS

III/1982 yang menetapkan batas laut teritorial seluas 12 mil laut.

Menurut ICNT, yang dimaksud dengan ”Jalur Tambahan” adalah suatu

(35)

adanya lebar perairan yang kurang dari 24 mil laut yang membatasi wilayah RI

dengan Malaysia, dengan Singapura serta dengan Philipina, maka dengan

perairan-perairan tertentu negara kita tidak memiliki ”Jalur Tambahan”.

Pada jalur tambahan tersebut, NKRI mempunyai

kewenangan-kewenangan tertentu untuk :

1. Mencegah pelanggaran atas peraturan-peraturan hukum tentang ke-Bea-an,

perpajakan (fiskal), imirasi, maupun ”sanitary”, yang berlaku di wilayah atau

laut wilayah RI.

2. Menindak pelanggaran atas peraturan-peraturan hukum tersebut diatas yang

dilakukan di wilayah atau laut wilayah RI.

3. Laut teritorial

Dalam pasal 3 ayat 2 undang-undang perairan Indonesia disebutkan

bahwa, “Laut Teritorial adalah jalur laut selebar 12 (dua belas) mil laut yang

diukur dari garis pangkal kepulauan Indonesia sebagaimana dimaksud pasal 5”.

Pasal 5 yang dimaksud adalah tentang ketentuan dan tata cara penarikan garis

pangkal kepulauan Indonesia. Definisi laut teritorial yang terdapat dalam UU No.

6 Tahun 1996 tentang Perairan Indonesia ini adalah mengikuti ketentuan yang

tercantum dalam UNCLOS 1982.

Dalam ketentuan ini (UNCLOS III), batas laut teritorial tidak melebihi

batas 12 mil laut diukur dari garis pangkal normal. Untuk negara-negara

kepulauan yang mempunyai karang-karang di sekitarnya, garis pangkalnya adalah

(36)

perairan kepulauan, mulut sungai, teluk, instalasi pelabuhan, penetapan garis

batas laut teritorial antara negara-negara yang pantainya berhadapan atau

berdampingan serta lintas damai.

4. Laut Tambahan

Zona tambahan didalam pasal 24 (1) UNCLOS III dinyatakan bahwa suatu

zona dalam laut lepas yang bersambungan dengan laut teritorial negara pantai

tersebut dapat melaksanakan pengawasannya yang dibutuhkan untuk:

1. Mencegah pelanggaran-pelanggaran perundang-undangannya yang

berkenaan dengan masalah bea cukai (customs), perpajakan (fiskal),

keimigrasiandan kesehatan atau saniter.

2. Menghukum pelanggaran-pelanggaran atau peraturan-peraturan

perundang-undangannya tersebut di atas.

Didalam ayat 2 ditegaskan tentang lebar maksimum dari zona tambahan tidak

boleh melampaui dari 12 mil laut diukur dari garis pangkal. Hal ini berarti bahwa

zona tambahan itu hanya mempunyai arti bagi negara-negara yang mempunyai

lebar laut teritorial kurang dari 12 mil laut (ini menurut konvensi Hukum Laut

Jenewa 1958), dan sudah tidak berlaku lagi setelah adanya ketentuan baru dalam

Konvensi Hukum Laut 1982. Menurut pasal 33 ayat 2 Konvensi Hukum Laut

1982, zona tambahan itu tidak boleh melebihi 24 mil laut, dari garis pangkal dari

mana lebar laut teritorial itu diukur. Berikut ini beberapa hal guna memperjelas

(37)

Pertama, Tempat atau garis dari mana lebar jalur tambahan itu harus diukur, tempat atau garis itu adalah garis pangkal.

Kedua, Lebar zona tambahan itu tidak boleh melebihi 24 mil laut, diukur dari garis pangkal.

Ketiga, Oleh karena zona laut selebar 12 mil laut diukur dari garis pangkal

adalah merupakan laut teritorial, maka secara praktis lebar zona tambahan itu

adalah 12 mil (24-12) mil laut, itu diukur dari garis atau batas luar laut territorial,

dengan kata lain zona tambahan selalu terletak diluar dan berbatasan dengan laut

teritorial.

Keempat, Pada zona tambahan, negara pantai hanya memiliki yurisdiksi yang

terbats seperti yang ditegaskan dalam pasal 33 ayat 1 Konvensi Hukla 1982. Hal

ini tentu saja berbeda dengan laut teritorial dimana negara pantai di laut teritorial

memiliki kedaulatan sepenuhnya dan hanya dibatasi oleh hak lintas damai.

5. Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia (ZEEI)

Indonesia berhak dan telah menetapkan ZEE-nya selebar 200 mil dari

garis-garis pangkal nusantara (Pasal 48 dan 57). Dalam ZEE, Indonesia mempunyai:

1. Sovereign rights atas seluruh kekayaan alam yang terdapat di dalamnya; 2. Yurisdiksi untuk: (a) Mendirikan, mengatur dan menggunakan

(38)

dan 60); (b) Mengatur penyelidikan ilmiah kelautan; (c) Perlindungan dan

pelestarian lingkungan laut;

3. Hak dan kewajiban-kewajiban lain yang ditetapkan dalam konvensi.

Di ZEE, negara-negara lain mempunyai:

(1) Kebebasan berlayar dan terbang;

(2) Hak meletakkan kabel dan pipa-pipa, instalasi-instalasi dan

bangunan-bangunan sesuai dengan ketentuan-ketentuan hukum laut tentang Landas

Kontinen dan ZEE;

(3) Kebebasan-kebebasan laut lepas yang disebut dalam pasal 88 sampai 115,

yang mencakup berbagai bidang yang ada hubungannya dengan kapal dan

pelayaran;

(4) Akses terhadap surplus perikanan yang tidak dimanfaatkan oleh negara pantai.

Tindakan-tindakan yang diperlukan adalah:

1. Menetapkan batas terluar ZEE Indonesia dalam suatu peta yang disertai

koordinat dan titik-titiknya;

2. Menetapkan dalam persetujuan-persetujuan dengan negara tetangga

tentang batas-batas dan ZEE Indonesia yang mungkin tumpang tindih

dengan ZEE negara tetangga. Batas-batas landas kontinen yang telah

ditetapkan dengan negara-negara tetangga dalam berbagai persetujuan

belum tentu dapat dianggap sama dengan batas ZEE, karena kedua

konsepsi mi (ZEE dan landas kontinen) adalah 2 konsepsi yang berbeda

(39)

3. Mengumumkan dan mendepositkan copy dan peta-peta atau daftar

koordinat-koordinat tersebut pada Sekjen PBB (Pasal 75)

4. Mengumumkan secara wajar pembangunan dan letak pulau-pulau buatan,

instalasi dan bangunan-bangunan lainnya, serta safety zonenya dan membongkarnya kalau tidak dipakai lagi (Pasal 60 mengatur soal ini

secara terperinci);

5. Indonesia harus menetapkan allowable catch dan sumbersumber perikanan

ZEE-nya (Pasal 61). Indonesia sebagai negara pantai juga berkewajiban

memelihara, berdasarkan bukti-bukti ilmiah yang ada, agar sumber-sumber

perikanannya tidak over-exploited demi untuk menjaga maximum

sustainableyield. Untuk maksud-maksud ini, Indonesia dirasa perlu bekerja sama dengan negara-negara lain yang berkepentingan dan dengan

organisasi-organisasi internasional yang kompeten;

6. Untuk mencapai optimum utilization dan kekayaan alam tersebut, Indonesia harus menetapkan its capacity to harvest dan memberikan

kesernpatan kepada negara lain di kawasannya, terutama negara-negara

tidak berpantai dan negara-negara yang secara geografis kurang beruntung,

untuk memanfaatkan the surplus of the allowable catch yang tidak dimanfaatkan oleh Indonesia (Pasal 62, 69, 70, 71, dan 72 mengatur soal

pemanfaatan surplus);

7. Untuk mengatur pemanfaatan kekayaan alam di ZEE, Indonesia perlu

mengeluarkan peraturan-peraturan perikanan yang diperkenankan oleh

(40)

penentuan jenis ikan yang boleh ditangkap, pembagian musim dan daerah

penangkapan ikan, penentuan umur dan ukuran ikan yang boleh ditangkap

dan lain-lain;

8. Mengatur dengan negara-negara yang bersangkutan atau dengan

organisasi-organisasi regional/internasional yang wajar tentang

pemeliharaan dan pengembangan sumber-sumber perikanan yang terdapat

di ZEE 2 negara atau Iebih (shared stocks), highly migratory species dan

memperhatikan ketentuan_ketentuan tentang marine mammalsanadromous dan catadromous species dan sedentary species.

6. Landas Kontinen

Negara pantai termasuk Indonesia berhak mempunyai landas kontinen di

luar laut wilayahnya throughout the natural prolongation of its land territory to the outer edge of the continental margin atau sampai 200 mil dan garis-garis pantai (Pasal 76 ayat 1). Negara pantai harus menctapkan batas terluar

dan continental marginnya jika continental margin tersebut berada di luar batas 200 mil.

Batas terluar dan landas kontinen di continental margin yang terletak di luar 200 mil ditetapkan maksimum 350 mil dan garis pangkal atau 100 mill dan

kedalaman air 2500 meter. Batas itu harus ditetapkan dengan garis-garis lurus

yang masing-masing panjangnya tidak boleh lebih dari 60 mil. Batas itu dapat

(41)

didirikan dan harus diumumkan dan didepositkan pada Sekjen PBB (Pasal 76 ayat

9).

Berlainan dengan hak negara pantai atas ZEE (yang memungkinkan surplus

perikanan diambil oleh negara lain) hak-hak berdaulat negara pantai atas

kekayaan alam, landas kontinennya adalah exclusive dan tidak perlu dibagi-bagi

dengan negara lain, kecuali seperti tersebut di bawah, walaupun negara-negara

yang bersangkutan belum memanfaatkannya.

Selanjutnya dijelaskan, negara pantai harus menyumbangkan sebagian dan

hasil kekayaan alam landas kontinen yang diambilnya di luar batas 20 mil kepada

Badan Otorita Internasional yang akan didirikan. Besarnya sumbangan itu adalah

1 persen dan produksi mulai tahun ke-6 produksi dan kemudian setiap tahun naik

dengan 1 persen sehingga kontribusi tersebut maksimum menjadi 7 persen mulai

tahun produksi ke-12.

Tindakan-tindakan lanjutan yang perlu dilakukan oleh pemerintah RI adalah:

1. Indonesia harus menyelidiki apakah secara geologis Indonesia

mempunyai continental margin di luar batas 200 mil. Jika ada, maka kita harus menetapkan batas tersebut sesuai dengan ketentuan-ketentuan konvensi

dan mendepositkan peta disertai koordinat batas-batasnya pada Sekjen PBB

dan International Authority (Pasal 84) yang pembentukannya pada waktu ini sedang dirundingkan;

2. Indonesia masih harus menyelesaikan batas landas kontinennya dengan

negara-negara tetangga, terutama dengan Vietnam, Australia, Philipina dan

(42)

3. Juga UU Landas Kontinen Indonesia No. 7/1973 kiranya harus diperbaharui

untuk disesuaikan dengan ketentuan-ketentuan baru landas kontinen mi;

4. Perlu ditata kembali UU/ketentuan-ketentuan yang berhubungan dengan

penyelidikan ilniah, pemeliharaan lingkungan, pengamanan

instalasi-instalasi, eksploitasi dan explorasi di landas kontinen serta penentuan

jurisdiksi imigrasi, bea cukai, masalah-rnasalah perdata dan pidana di landas

kontinen Indonesia.60

C. Garis Perbatasan Yang Sudah Disetujui Antara Indonesia Dan Singapura

Garis batas antara Indonesia dengan Singapura sudah disepakati didalam

Undang-undang nomor 7 tahun 1973 (segmen tengah) dan undang-undang nomor

4 tahun 2010 (segmen barat). Menurut undang undang no.7 tahun 1973 tersebut,

garis batas maritim antara Indonesia dan Singapura pada segmen tengah

merupakan garis garis lurus yang menghubungkan 6 buah titik. Dari 6 titik batas

tersebut, tiga titik ditentukan dengan menggunakan metode prinsip sama jarak

(equidistant principle) dan tiga titik lagi ditentukan berdasarkan kesepakatan bersama (negotiated position) antar kedua negara. Berikut daftar koordinat dari 6

titik batas maritim antara Indonesia dengan sigapura pada segmen tengah tang

telah disepakati pada undang undang No.7 tahun 1973:

Titik batas lintang (utara) bujur (timur)

1 1*10’46”.0 103*40’14”.6

(43)

3 1*10’17”.2 103*48’18”.0

4 1*11’45”.5 103*51’35”.4

5 1*12’26”.1 103*52’50”.7

6 1*16’10”.2 104*02’00”.0

dari 6 titikbatas di atas, titik 1,2 dan 3 ditentukan berdasarkan kesepakatan

bersama (negotiated position) antar kedua negara dan titik batas 4,5 dan 6

ditentukan berdasarkan metode/prinsip sama jarak (equidistance principle). Untuk batas maritim Indonesia dengan Singapura yang selanjutnya di sepakati adalah

batas maritim pada segmen barat (Pulau Nipa dan Pulau Tuas). Batas maritim

tersebut telah disepakati dan diatur pada undang undang nomor 4 tahun 2010.

Awal mula pembahasan menganai batas maritim kedua (segmen barat) ini dimulai

pada tahun 2005 dimana pihak Indonesia dan Singapura kembali mengadakan

perundingan dalam perundingan tersebut, pihak Indonesia mengambil posisi dasar

yang menolak hasil reklamasi sebagai garis pangkal baru. Selain itu Indonesia

juga memutuskan untuk menggunakan referensi pantai asli (original geographic center) .

Perundingan tersebut akhirnya menyepakati jarak antara garis pangkal

kepulauan RI dengan garis batas kesepakatan yakni sepanjang 3950 meter dan

jarak antara hasil reklamasi dengan batas kesepakatan 1900 meter. Hasil

kesepakatan tersebut juga menghasilkan titik-titik batas yang di tarik dari titik

batas 1 pada kesepakatan yang sebelum nya, yaitu pada perbatasan segmen

(44)

segmen barat. Kesepakatan yang telah dicapai antara kedua negara untuk

kawasan segmen barat adalah:

Titik bata

Referensi

Dokumen terkait

Adapun kriteria-kriteria yang digunakan dalam memilih sampel dalam penelitian ini adalah sebagai berikut: (a) Perusahaan yang digunakan sebagai sampel adalah perusahaan perbankan

Perusahaan dengan pertumbuhan laba rendah akan semakin memperkuat hubungan antara debt to equity yang berpengaruh negatif dengan profitabilitas, karena

Dalam Islam sendiri membolehkan seorang suami memiliki istri lebih dari satu (berpoligini) tetapi tidak mewajibkannya atau menganjurkanya adapun kebolehan poligini merupakan pintu

Pemilihan khalifah tersebut dilaksanakan oleh para tokoh sahabat yang mewakili dua golongan yaitu Anshar dan Muhajiriin, Mereka ini uang kemudian oleh ulama fiqh diklaim sebagai

Pusat pemulihan korban tindak kekerasan terhadap perempuan di Jakarta adalah suatu fasilitas untuk mewadahi rangkaian proses pengembalian aspek psikologis korban pasca

Penelitian ini bertujuan untuk menggambarkan solusi terhadap masalah pemilihan pegawai memiliki prestasi untuk menduduki jabatan strategis dengan menerapkan pendekatan

Selain itu pada massa pemerintahan Tony Abbott melakukan hal yang serupa dengan cara merekam pembicaraan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dan pejabat-pejabat penting negara

Perjanjian luhur rakyat Indonesia adalah suatu perjanjian yang disepakati bersama oleh seluruh rakyat Indonesia dan harus diamalkan serta dilestarikan.Pada saat