• Tidak ada hasil yang ditemukan

Kementerian Negara Dalam Sistem Ketatanegaraan Indonesia Setelah Perubahan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (Analisis Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 79/PUU-IX/2011)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Kementerian Negara Dalam Sistem Ketatanegaraan Indonesia Setelah Perubahan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (Analisis Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 79/PUU-IX/2011)"

Copied!
104
0
0

Teks penuh

(1)

DAFTAR PUSTAKA

Buku :

Amiruddin dan Zainal Asikin, Pengantar Metode Penelitian Hukum. 2006. Jakarta : Kencana.

Ghoffar, Abdul. Perbandingan Kekuasaan Presiden Indonesia setelah perubahan UUD 1945 dengan Delapan Negara Maju. 2009. Jakarta : Kencana

Huda, Ni’matul. Hukum Tata Negara Indonesia. 2010. Jakarta : RajaGrafindo Persada.

Indrayana, Denny. Negara Antara Ada dan Tiada, Reformasi Hukum Ketatanegaraan. 2008. Jakarta : Kompas Media Nusantara.

Kusnardi, Moh dan Hermaily Ibrahim. Pengantar Hukum Tata Negara Indonesia. 1983. Jakarta : Sinar Bakti.

Mahfud, Mohammad. Dasar dan Struktur Ketatanegaraan Indonesia. 2001. Jakarta : Rineka Cipta.

Manan, Bagir. Lembaga Kepresidenan. 2006. Yogyakarta : FH UII Press

Naskah Komprehensif Perubahan Undang-Undang Dasar Negara Republik

Indonesia Tahun 1945, Latar Belakang, Proses, dan Hasil Pembahasan,

1999-2002, Sekretaris Jendral dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi,

(2)

Schroeder, Richard C. Garis Besar Pemerintahan Amerika Serikat. Kantor Kementerian Internasional Departemen Luar Negeri Amerika Serikat. 2000.

Strong, C.F. Konstitusi-konstitusi Politik Modern, Kajian Tentang Sejarah dan Bentuk-Bentuk Konstitusi Dunia. 2008. Bandung : Nusa Media

Suny, Ismail. Pergeseran Kekuasaan Eksekutif. 1986. Jakarta : Aksara Baru.

Thoha, Miftah. Birokrasi Pemerintahan dan Kekuasaan di Indonesia. 2012. Thafa Media : Yogyakarta.

Tutik, Titik Triwulan. Konstruksi Hukum Tata Negara Indonesia Pasca Amandemen UUD 1945. 2010. Jakara : Kencana.

Perundang-Undangan :

Undang-Undang Dasar Tahun 1945

Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 setelah perubahan

Konstitusi Republik Indonesia Serikat Tahun 1949

Undang-Undang Dasar Sementara Tahun 1950

Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2008 Tentang Kementerian Negara

Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2011 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 Tentang Mahkamah Konstitusi

(3)

Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1951 Tentang Penetapan Undang-Undang Darurat Tentang Penetapan Kejahatan-Kejahatan dan Pelanggaran-Pelanggaran yang Dilakukan dalam Masa Pekerjaan oleh Para Pejabat yang Menurut Pasal 148 Konstitusi Republik Indonesia Serikat dalam Tingkat Pertama dan Tertinggi Diadili oleh Mahkamah Agung Indonesia Menjadi Undang-Undang.

Kitab Undang-Undang Hukum Pidana

Peraturan Presiden No. 47 Tahun 2009 tentang Pembentukan dan Organisasi Kementerian Negara

Peraturan Presiden No. 60 Tahun 2012 tentang Wakil Menteri

Internet :

http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/36067/3/

http://id.wikipedia.org/wiki/Menteri

http://id.wikipedia.org/wiki/Kementerian

http://id.wikipedia.org/wiki/Daftar_kabinet_Indonesia

http://argama.files.wordpress.com/2007/08/konstitusikekuasaaneksekutifkekuasaa nlegislatifdankekuasaanyudikatif.pdf

(4)

http://politik.kompasiana.com/2011/10/24/kontroversi-jabatan-wakil-menteri-404024.html

http://www.republika.co.id/berita/nasional/hukum/12/06/06/m56zz4-jimly-putusan-mk-tak-berdampak-pada-pencopotan-wamen

http://www.merdeka.com/politik/yusril-presiden-harus-segera-berhentikan-wakil-menteri.html

http://id.wikipedia.org/wiki/Pemerintah_federal_Amerika_Serikat

http://id.wikipedia.org/wiki/Parlemen_Jepang

http://id.wikipedia.org/wiki/Perdana_Menteri_Jepang

http://saifulanam99.blogspot.com/2013/02/konstitusi-amerika-serikat-bahasa.html

http://bungakeadilan.blogspot.com/2012/07/legal-opinion-putusan-mahkamah.html

 

(5)

BAB III

KEDUDUKAN DAN KEWENANGAN KEMENTERIAN NEGARA SETELAH PERUBAHAN UNDANG-UNDANG DASAR NEGARA

REPUBLIK INDONESIA TAHUN 1945

A. Kementerian Negara Berdasarkan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 Setelah Perubahan

Perdebatan mengenai perubahan bab tentang kementerian negara yang terdiri atas satu pasal, yakni Pasal 17 Undang-Undang Dasar (UUD) 1945, dimulai sejak perubahan pertama sampai dengan perubahan ketiga. Hal ini sejalan dengan salah satu tujuan dari perubahan atau amandemen UUD RI 1945 yakni untuk mengurangi dominasi kekuasaan presiden yang terlalu besar.

Pada perubahan pertama tahun 1999, pembicaraan tentang kementerian negara pertama kali muncul pada Rapat Badan Pekerja Majelis Permusyawaratan Rakyat ke-2 (BP MPR), yang selanjutnya dibahas kembali pada rapat-rapat lainnya yakni pada rapat-rapat Panitia Ad Hoc III (PAH III) Badan Pekerja MPR, Rapat Tim Perumus Panitia Ad Hoc III Badan Pekerja MPR, Rapat Komisi C MPR RI, baik rapat pleno maupun rapat lobi.65

Dalam rapat pembahasan perubahan pertama mengenai materi perubahan kementerian negara, beberapa fraksi menyampaikan pandangan-pandanganya. Usulan-usulan yang masuk terkait perubahan mengenai kementerian negara diantaranya adalah usulan agar dilibatkannya DPR dalam pengangkatan dan pemberhentian menteri yang dilakukan oleh Presiden, usulan mengenai jumlah Departemen Pemerintahan yang harus disetujui oleh DPR terlebih dahulu sebelum dibentuk, usulan mengenai penggantian judul Kementerian Negara menjadi       

65

(6)

Departemen Pemerintahan atau Kementerian Pemerintahan, usulan agar dimasukkannya Kepala-Kepala Badan dan Sekretaris Negara dalam rumusan pasal 17, dan lain sebagainya. Kesemua usulan-usuan ini dibahas dalam rapat-rapat BP MPR, PAH III BP MPR maupun Rapat Komisi C MPR RI.

Pembahasan perubahan pertama tahun 1999 terhadap Pasal 17 menghasilkan kesepakatan untuk merubah ayat (2) dan ayat (3). Pasal 17 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 setelah perubahan tahun 1999 selengkapnya berbunyi sebagai berikut :

(1) Presiden dibantu oleh menteri-menteri negara.

(2) Menteri-menteri itu diangkat dan diberhentikan oleh Presiden. (3) Setiap menteri membidangi urusan tertentu dalam pemerintahan. Perubahan terhadap Pasal 17 mengenai kementerian negara juga dibahas kembali pada perubahan kedua UUD NRI Tahun 1945. Tetapi dalam perubahan kedua tahun 2000 tidak terjadi penambahan materi atau ayat. Hal ini dikarenkan tidak tercapai kesepakatan oleh peserta rapat sehingga pembahasannya akan dilanjutkan pada masa perubahan ketiga UUD NRI Tahun 1945.

Pembahasan kementerian negara kembali dibahas pada perubahan ketiga tahun 2001 oleh Panita Adhoc (PAH) I BP MPR. Pada perubahan ketiga ini materi-materi yang dibahas adalah berkaitan dengan keterlibatan atau persetujuan DPR dalam hal rekruitmen menteri yang dilakukan oleh Presiden, usulan mengenai pembentukan, perubahan susunan dan perbaikan organisasi departemen pemerintahan ditetapkan dengan Undang-Undang, dan sebagainya.

(7)

Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 setelah perubahan ketiga tahun 2001 selengkapnya berbunyi sebagai berikut :

(1) Presiden dibantu oleh menteri-menteri negara.

(2) Menteri-menteri itu diangkat dan diberhentikan oleh Presiden. (3) Setiap menteri membidangi urusan tertentu dalam pemerintahan.

(4) Pembentukan, pengubahan, dan pembubaran kementerian negara diatur dalam Undang-Undang.

Setelah perubahan pertama dan ketiga, Pasal 17 mengalami sedikit perubahan. Jika sebelum perubahan Presiden bebas melakukan pembentukan, pengubahan, dan pembubaran kementerian negara, maka setelah perubahan ketiga UUD NRI Tahun 1945 hal tersebut tidak dapat dilakukan secara serta merta, karena semua itu diatur dengan undang-undang. Itu artinya, untuk melakukan pembentukan, pengubahan, dan pembubaran kementerian negara, Presiden memerlukan persetujuan DPR. Namun dalam urusan pengangkatan dan pemberhentian menteri-menteri, Presiden bebas melakukan kapan saja tanpa harus meminta persetujuan atau pertimbangan dari lembaga negara lainnya.66

Dengan adanya ketentuan pada ayat (4) ini pada dasarnya merupakan sebuah jawaban atau penyelesaian dari perdebatan yang panjang pada saat pembahasan perubahan UUD NRI Tahun 1945 mengenai perlu tidaknya keterlibatan DPR dalam rekrutmen menteri-menteri. Pihak yang sepakat akan hal ini menyatakan bahwa DPR perlu dilibatkan agar tercipta good governance atau penyelenggaran pemerintahan yang baik. Dengan dilibatkan DPR, maka pembubaran Kementerian atau pada saat itu disebut dengan Departemen (pembubaran Departemen Sosial dan Departemen Penerangan), seperti yang pernah terjadi pada masa pemerintahan Presiden Abdurrahman Wahid diharapkan       

66

(8)

tidak terjadi lagi. Dengan adanya ketentuan pasal ini terlihat bahwa DPR tetap dapat melakukan check and balances terhadap Presiden terkait pembentukan, pengubahan, pembubaran Kementerian Negara, karena undang-undang itu sendiri merupakan produk dari DPR. Ketentuan ini juga tidak sedikit pun menghilangkan ataupun mengurangi hak prerogatif presiden untuk mengangkat dan memberhentikan menteri-menteri yang pada dasarnya merupakan ciri khas dari sistem presidensial itu sendiri.

Sejak Indonesia mengadakan perubahan terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang dilakukan pertama kali pada tahun 1999 hingga sampai saat ini telah terbentuk beberapa kabinet dengan kekhususannya masing-masing, diantaranya67 :

1. Kabinet Persatuan Nasional. Kabinet ini dipimpin oleh Abdurrahman Wahid

sebagai Presiden, dan terdiri dari 36 orang. Kabinet ini dibentuk tanggal 26 Oktober 1999 dan harus berakhir pada tanggal 9 Agustus 2001;

2. Kabinet Gotong Royong. Kabinet ini dipimpin oleh Megawati Soekarnoputri

sebagai Presiden, dan terdiri dari 33 orang. Kabinet ini dibentuk tanggal 9 Agustus Maret 2001 dan harus berakhir pada tanggal 21 Oktober 2004;

3. Kabinet Indonesia Bersatu Jilid I. Kabinet ini dipimpin oleh Susilo Bambang

Yudhoyono sebagai Presiden, dan terdiri dari 37 orang. Kabinet ini dibentuk tanggal 21 Okober 2004 dan harus berakhir pada tanggal 22 Oktober 2009;

4. Kabinet Indonesia Bersatu Jilid II. Kabinet ini dipimpin oleh Susilo Bambang

Yudhoyono sebagai Presiden, dan terdiri dari 37 orang. Kabinet ini dibentuk       

67

 Miftah Thoha, Birokrasi… Op.cit., hlm 31‐34. 

(9)

tanggal 22 Okober 2009 dan akan berakhir pada tahun 2014 yang akan datang, bersamaan dengan habisnya masa pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono.

Saat ini, yakni pada masa kabinet Indonesia Bersatu Jilid II yang dipimpin oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, terdapat 34 Kementerian yang ada di Indonesia68, yakni :

1. Kementerian Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan; 2. Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian;

3. Kementerian Koordinator Bidang Kesejahteraan Rakyat; 4. Kementerian Sekretariat Negara;

5. Kementerian Dalam Negeri; 6. Kementerian Luar Negeri; 7. Kementerian Pertahanan;

8. Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia; 9. Kementerian Keuangan;

10. Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral; 11. Kementerian Perindustrian;

12. Kementerian Perdagangan; 13. Kementerian Pertanian; 14. Kementerian Kehutanan; 15. Kementerian Perhubungan;

16. Kementerian Kelautan dan Perikanan;       

68

(10)

17. Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi; 18. Kementerian Pekerjaan Umum;

19. Kementerian Kesehatan;

20. Kementerian Pendidikan Nasional; 21. Kementerian Sosial;

22. Kementerian Agama;

23. Kementerian Kebudayaan dan Pariwisata; 24. Kementerian Komunikasi dan Informatika; 25. Kementerian Riset dan Teknologi;

26. Kementerian Koperasi dan Usaha Kecil dan Menengah; 27. Kementerian Lingkungan Hidup;

28. Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak; 29. Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi; 30. Kementerian Pembangunan Daerah Tertinggal;

31. Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional; 32. Kementerian Badan Usaha Milik Negara;

33. Kementerian Perumahan Rakyat; dan 34. Kementerian Pemuda dan Olah Raga.

B. Kementerian Negara Berdasarkan Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2008 Tentang Kementerian Negara

(11)

1945, Presiden memiliki kekuasaan yang mutlak untuk terkait Kementerian Negara. Pembentukan, pengubahan maupun pembubaran Kementerian dapat dilakukan secara tertutup tanpa perlu meminta nasihat, mendapat usulan dan pertanggungjawaban dari lembaga negara yang lain, karena hal ni merupakan hak prerogatif dari Presiden.69 Tetapi, setelah perubahan UUD NRI TAHUN 1945, kewenangan tersebut tidak bisa dilakukan secara serta merta oleh Presiden karena hal itu dibatasi oleh sebuah Undang-Undang.

Ketentuan Pasal 17 ayat (4) menyatakan bahwa “Pembentukan, pengubahan, dan pembubaran Kementerian Negara diatur dalam Undang-Undang.” Oleh karena itu berdasarkan ketentuan tersebut, maka dibuatlah suatu Undang-Undang untuk mengatur lebih lanjut mengenai Kementerian Negara, yakni Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2008 Tentang Kementerian Negara. Undang-undang yang terdiri atas 9 (sembilan) Bab dan 28 (duapuluh delapan) Pasal ini nantinya merupakan titik tolak bagi penataan kelembagaan pemerintahan yang selama ini diatur dengan Peraturan Presiden.

Peraturan perundang-undangan ini diperlukan sebagai batu acuan (milestone) dalam menyusun kelembagaan pemerintahan. Sebagai bagian dari semangat reformasi birokrasi, Undang-Undang tentang Kementerian Negara dibangun di atas pondasi akuntabilitas publik yang lebih jelas. Hal tersebut dapat dilihat dari adanya lima kesepahaman antara DPR dengan Pemerintah.

Pertama, Undang-Undang tentang Kementerian Negara menegaskan

kembali bahwa Presiden dibantu oleh para menteri yang diangkat dan

       69

(12)

diberhentikan oleh Presiden sebagai Kepala Pemerintahan. Oleh karena itu, juga ditegaskan bahwa Presiden memiliki hak prerogatif dalam menyusun kementerian negara yang akan membantunya dalam menyelenggarakan urusan pemerintahan.70 Undang-Undang ini secara jelas dan tegas mengatur mengenai kedudukan, tugas, fungsi, dan susunan organisasi kementerian negara,71 sehingga dapat mempermudah Presiden dalam menyusun kelembagaan kementerian negara. Presiden juga diberikan payung hukum yang kuat dalam membentuk dan mengubah Kementerian melalui kriteria-kriteria yang diperlukan dalam melakukan pembentukan dan pengubahan Kementerian. Pasal 13 ayat (2) UU No.39 Tahun 2008 menyatakan bahwa :

Pembentukan Kementerian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dengan mempertimbangkan :

a. Efisiensi dan efektivitas;

b. Cakupan tugas dan proporsionalitas beban tugas;

c. Kesinambungan, keserasian, dan keterpaduan pelaksanaan tugas; dan/atau

d. Perkembangan lingkungan global.

Sedangkan mengenai kriteria pengubahan suatu kementerian dijelaskan dalam Pasal 18 ayat (2) UU no.39 tahun 2008, yakni :

Pengubahan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan mempertimbangkan:

a. Efisiensi dan efektivitas;

b. Perubahan dan/atau perkembangan tugas dan fungsi; c. Cakupan tugas dan proporsionalitas beban tugas;

d. Kesinambungan, keserasian, dan keterpaduan pelaksanaan tugas; e. Peningkatan kinerja dan beban kerja pemerintah;

       70

 Pasal 7  UU no 39/2008 mengatakan : “Kementerian mempunyai tugas menyelenggarakan  urusan tertentu dalam pemerintahan untuk membantu Presiden dalam menyelenggarakan  pemerintahan negara. 

71

(13)

f. Kebutuhan penanganan urusan tertentu dalam pemerintahan secara mandiri; dan/atau

g. Kebutuhan penyesuaian peristilahan yang berkembang.

Kedua, meskipun memberikan ruang bagi penggunaan hak prerogatif

Presiden, Undang-Undang ini tidak mengesampingkan peranan DPR dan tetap memberikan batasan terhadap kewenangan presiden ini. Undang-Undang ini mengatur bahwa jika Presiden hendak melakukan pengubahan dan pembubaran kementerian negara, maka Presiden perlu terlebih dahulu mendapat pertimbangan dari DPR.72 Sedangkan persetujuan DPR diperlukan apabila ada kebutuhan dari Presiden untuk membubarkan kementerian yang menangani urusan agama, hukum, keuangan dan keamanan.73 Di sisi lain, Presiden tidak dapat membubarkan Kementerian Luar Negeri, Dalam Negeri dan Pertahanan sebagaimana dimaksud dalam Undang Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

Ketiga, dengan didasari semangat untuk mendorong dilakukannya

reformasi birokrasi guna terwujudnya struktur pemerintahan yang efisien dan efektif, Undang-Undang ini mengatur pembatasan jumlah kementerian negara yang dapat dibentuk oleh Presiden, yaitu paling banyak 34 (tiga puluh empat) kementerian negara.74 Namun demikian, perlu dipahami bahwa seluruh urusan pemerintahan sebagaimana diamanatkan oleh konstitusi harus tetap dijalankan        13 dapat dibubarkan oleh Presiden dengan meminta pertimbangan Dewan Perwakilan Rakyat,  kecuali Kementerian yang menangani urusan agama, hukum, keuangan, dan keamanan harus  dengan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat. 

74

(14)

oleh kementerian negara dalam jumlah yang paling efisien, yaitu paling banyak 34 (tiga puluh empat) kementerian negara atau kurang dari jumlah tersebut. Meskipun ada pembatasan, Undang-Undang ini tetap memberikan keleluasaan kepada Presiden untuk mewadahi suatu urusan pemerintahan dalam satu kementerian dan/atau menggabungkan dua atau lebih urusan pemerintahan dalam suatu kementerian negara tertentu. Ketentuan mengenai penetapan jumlah maksimal kementerian negara merupakan suatu hal yang baru kita temui dalam sistem ketatanegaraan Indonesia. Sebelum lahirnya UU No.39 Tahun 2008 ini tidak pernah ada peraturan yang mengatur mengenai jumlah maksimal kementerian negara, sehingga dalam suatu kabinet pada massa pemerintahan Presiden Soekarno, jumlah menteri mencapai 100 orang atau yang sering dikenal dengan nama Kabinet 100 Menteri.

Keempat, Undang-Undang ini tidak mencantumkan nomenklatur atau

penamaan kementerian negara secara definitif, tetapi menggunakan pendekatan urusan-urusan pemerintahan yang harus dijalankan oleh Presiden secara menyeluruh dalam rangka pencapaian tujuan negara sebagaimana diamanatkan dalam Pembukaan Undang Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Prinsip dalam pendekatan urusan ini adalah bahwa seluruh urusan yang tercantum dalam Undang-undang Nomor 39 Tahun 2008 tentang Kementerian Negara harus ditampung dalam kementerian sehingga satu kementerian dapat menangani satu atau lebih urusan pemerintahan,75 sesuai dengan pengorganisasian yang diserahkan kepada Presiden. Hal ini juga memberikan ruang gerak yang       

75

(15)

lebih leluasa bagi Presiden dalam menyusun kementerian negara. Pendekatan urusan-urusan pemerintahan tersebut dimaksudkan untuk lebih menitikberatkan pada upaya mewujudkan pemerintahan yang efektif dan efisien serta mampu meningkatkan pelayanan publik yang prima.

Kelima, Undang-undang ini mengatur pula mengenai hubungan fungsional

antara Kementerian dengan Lembaga Pemerintah Nonkementerian yang selama ini dikenal sebagai Lembaga Pemerintah NonDepartemen. Sebagai lembaga pelaksana tugas khusus yang dimandatkan oleh Presiden, Lembaga Pemerintah NonKementerian berada di bawah koordinasi Menteri yang bersesuaian dengan bidang tugasnya.76 Pengaturan mengenai hal ini penting mengingat pembentukan kementerian negara semestinya didasarkan pada konsep pembagian habis urusan pemerintahan guna mewujudkan visi, misi dan strategi yang telah ditetapkan.

Ada perubahan yang cukup mendasar mengenai jenis kementerian negara yang semula terdiri dari 3 (tiga) jenis kementerian yaitu Kementerian Koordinator, Departemen, dan Kementerian Negara menjadi hanya satu jenis yaitu dengan sebutan Kementerian.

Pasal 17 ayat (3) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 menyatakan bahwa “Setiap menteri membidangi urusan tertentu dalam pemerintahan”. Dalam UU No.39 Tahun 2008 dijelaskan secara lebih lanjut mengenai urusan-urusan tertentu dalam pemerintahan itu77, yakni terdiri atas :

1. Urusan pemerintahan yang nomenklatur Kementeriannya secara tegas disebutkan dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia       

76

 Pasal 25 ayat (2) UU no 39/2008 mneyatakan bahwa Lembaga pemerintah nonkementerian  berkedudukan di bawah Presiden dan bertanggung jawab kepada Presiden melalui Menteri  yang mengoordinasikannya.  

77

(16)

Tahun 1945, meliputi urusan luar negeri, dalam negeri, dan pertahanan.

2. Urusan pemerintahan yang ruang lingkupnya disebutkan dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, meliputi urusan agama, hukum, keuangan, keamanan, hak asasi manusia, pendidikan, kebudayaan, kesehatan, sosial, ketenagakerjaan, industri, perdagangan, pertambangan, energi, pekerjaan umum, transmigrasi, transportasi, informasi, komunikasi, pertanian, perkebunan, kehutanan, peternakan, kelautan, dan perikanan.

3. Urusan pemerintahan dalam rangka penajaman, koordinasi dan sinkronisasi program pemerintah, meliputi: urusan perencanaan pembangunan nasional, aparatur negara, kesekretariatan negara, badan usaha milik negara, pertanahan, kependudukan, lingkungan hidup, ilmu pengetahuan, teknologi, investasi, koperasi, usaha kecil dan menengah, pariwisata, pemberdayaan perempuan, pemuda, olah raga, perumahan, dan pembangungan kawasan atau daerah tertinggal.

Pembedaan urusan pemerintahan yang ditangani tersebut akan menentukan bentuk susunan organisasi dari kementerian negara yang bersangkutan. Namun demikian, pada umumnya susunan organisasi kementerian Negara terdiri atas78:

1. Pemimpin, yaitu Menteri;

2. Pembantu pemimpin, yaitu Sekretariat Jenderal atau Sekretariat Kementerian;

3. Pelaksana, yaitu Direktorat Jenderal atau Deputi; 4. Pengawas, yaitu Inspektorat Jenderal atau Inspektorat,

5. Pendukung, yaitu Badan dan/atau Pusat (bagi kementerian yang melaksanakan urusan pemerintahan seperti urusan dalam negeri, urusan luar negeri, urusan pertahanan, urusan agama, urusan hukum, urusan pendidikan, dan sebagainya);

6. Pelaksana tugas pokok di daerah dan/atau perwakilan luar negeri (bagi kementerian yang melaksanakan urusan pemerintahan seperti urusan luar negeri, urusan dalam negeri, urusan pertahanan, urusan agama, urusan hukum, urusan keuangan, dan urusan keamanan).

Undang-Undang No. 39 Tahun 2008 ini juga mengatur tentang persyaratan pengangkatan dan pemberhentian menteri.79 Pengaturan persyaratan pengangkatan menteri tidak dimaksudkan untuk membatasi hak Presiden dalam memilih seorang Menteri, sebaliknya menekankan bahwa seorang Menteri yang diangkat memiliki       

78

 Pasal 9 UU no.39/2008  79

(17)

integritas dan kepribadian yang baik. Namun demikian Presiden diharapkan juga memperhatikan kompetensi dalam bidang tugas kementerian, memiliki pengalaman kepemimpinan, dan sanggup bekerjasama sebagai pembantu Presiden.80

Keberadaan Undang-Undang No 39 Tahun 2008 ini mengisyaratkan adanya tanggung jawab bersama dalam usaha mewujudkan tata pemerintahan yang baik (good governance) antara Pemerintah/ Presiden, sektor swasta, dan masyarakat. Hal ini terlihat misalnya pada pelarangan rangkap jabatan bagi Menteri, sebagaimana yang diatur dalam Pasal 23 yang berbunyi :

Menteri dilarang merangkap jabatan sebagai:

a. Pejabat negara lainnya sesuai dengan peraturan perundang-undangan;

b. Komisaris atau direksi pada perusahaan negara atau perusahaan swasta; atau

c. Pimpinan organisasi yang dibiayai dari Anggaran Pendapatan Belanja Negara dan/atau Anggaran Pendapatan Belanja Daerah. Bahkan, dalam penjelasan UU ini dikatakan bahwa seorang menteri diharapkan dapat melepaskan tugas dan jabatan-jabatan lainnya termasuk jabatan dalam partai politik. Kesemuanya itu dalam rangka meningkatkan profesionalisme, pelaksanaan urusan kementerian yang lebih fokus kepada tugas pokok dan fungsinya yang lebih bertanggung jawab.81

Keberadaan Undang-Undang No. 39 Tahun 2008 ini harus dipandang sebagai bagian dari semangat reformasi birokrasi Indonesia. Undang-Undang ini pada dasarnya tidak bertujuan untuk mengurangi apalagi menghilangkan hak

       80

 Penjelasan Umum UU no 39/2008 Alenia ke VII  81

(18)

presiden dalam menyusun kementerian negara yang akan membantunya dalam menyelenggarakan urusan pemerintahan. Sebaliknya, keberadaan Undang-Undang ini diharapkan mampu memudahkan Presiden dalam menyusun Kementerian Negara karena secara jelas dan tegas mengatur tentang kedudukan, tugas, fungsi, dan susunan organisasi kementerian negara.82 Peraturan perundang-undangan ini diperlukan sebagai batu acuan (milestone) dalam menyusun kelembagaan pemerintahan . Undang-Undang ini juga merupakan salah satu sarana untuk membangun sistem pemerintahan presidensial yang lebih efektif dan efisien, yang menitikberatkan pada peningkatan pelayanan publik yang prima, sehingga dapat mewujudkan tata pemerintahan yang baik (good governance), yang pada akhirnya bertujuan untuk mewujudkan cita-cita luhur dan tujuan bangsa sebagaimana yang termaktub dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia.

C. Jabatan Wakil Menteri di Indonesia

Istilah Wakil Menteri, atau yang dalam bahasa Inggris disebut vice minister atau undersecretary mengandung pengertian yaitu merupakan pejabat

pemerintahan eksekutif yang umumnya merupakan pejabat karier pegawai negeri yang bertindak sebagai pejabat senior utama atau kedua dalam kantor kementerian, yang ditunjuk dan diangkat secara politik dengan kewenangan yang berbeda-beda dalam beberapa sistem ketatanegaraan tiap-tiap negara.83

Di Indonesia sendiri, jabatan wakil menteri merupakan suatu jabatan di pemerintahan yang dapat diisi oleh seorang pegawai negeri ataupun bukan

       82

 Penjelasan Umum UU no 39/2008 Alenia ke IV  83

(19)

pegawai negeri yang memiliki tugas untuk membantu para menteri-menteri dalam menjalankan tugas di kementeriannya masing-masing.

Jabatan wakil menteri (wamen) di Indonesia bukanlah suatu hal yang baru diterapkan oleh bangsa ini. Di Indonesia, istilah Wakil Menteri pertama kali digunakan pada Kabinet Presidensial, kabinet pemerintahan pertama Indonesia. Pada saat itu, Presiden Soekarno mengangkat 2 orang sebagai wakil menteri, yaitu Wakil Menteri Dalam Negeri, Harmani, dan Wakil Menteri Penerangan, Ali Sastroamidjojo. Setelah itu, wakil menteri hanya ada pada Kabinet Sjahrir I, Sjahrir III, dan Kerja III. Pada kabinet-kabinet lainnya, beberapa kali juga terdapat jabatan menteri muda yang dari beberapa sisi memiliki kemiripan dengan wakil menteri.84 Tetapi kemudian pascareformasi yakni pada masa pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (Kabinet Indonesia Bersatu I), muncul kembali jabatan wakil menteri tersebut yang terjadi semenjak September 2008. Ketika itu menteri luar negeri yang dipimpin oleh Hassan Wirajuda dibantu oleh seorang wakil yang dijabat oleh Triyono Wibowo. Keberadaan wakil menteri ketika itu berdasarkan pada Peraturan Presiden No. 20 dan 21 tahun 2008 yang mengakui keberadaan jabatan wakil menteri.

Pada era pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, jabatan wakil menteri kembali diadakan. Pengangkatannya didasarkan pada Pasal 10 Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2008 tentang Kementerian Negara yang memperbolehkan presiden untuk mengangkat wakil menteri pada kementerian tertentu yang memiliki beban kerja yang membutuhkan penanganan secara khusus

       84

(20)

atau dapat dikatakan memiliki beban kerja lebih. Penjelasan pasal tersebut menyebutkan bahwa wakil menteri merupakan pejabat karier dan bukan merupakan anggota kabinet, berbeda dengan menterinya. Dalam aturan lebih lanjut dalam Peraturan Presiden Nomor 47 Tahun 2009, disebutkan pula bahwa yang dimaksud pejabat karier adalah pegawai negeri yang telah menduduki jabatan struktural eselon IA.85

Namun mengenai pengangkatan wakil menteri pada masa pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (Kabinet Indonesia Bersatu II) banyak terdapat pro dan kontra. Sebagian pihak yang kontra menyatakan bahwa pengangkatan 20 orang wakil menteri dinilai berlebihan dan berpotensi akan terjadi pemborosan dalam keuangan negara. Mencermati keberadaan para wakil menteri ini, muncul beragam nada pesimis para pengamat, diantaranya, apakah dengan kehadiran wakil menteri itu pemerintahan akan lebih efektif? Tidakkah sebaliknya, makin berat jalannya karena tambah gemuk birokrasinya? Apa sajakah tugas wakil menteri? Bagaimana hubungannya dengan menteri dan para pejabat eselon IA, seperti sekjen, dirjen, dan irjen yang sudah ada sebagai bagian dari stuktur organisasi? Masih banyak lagi pertanyaan senada yang pada intinya meragukan keberadaan jabatan wakil menteri ini.86

Walaupun para pengamat melihat akan terjadi hambatan yang bakal terjadi pada birokrasi pemerintahan dengan hadirnya wakil menteri, namun ada hal yang membuat masyarakat Indonesia lumayan optimis. Pertama, karena para wakil menteri itu berasal dari orang-orang profesional, termasuk dari kalangan       

85  Ibid  86

(21)

akademisi. Ada optimisme mereka akan bisa bekerja dengan efektif dan efisien setelah menyesuaikan diri dalam dua tiga bulan di depan. Dengan kehadiran orang yang profesional di bidangnya, diharapkan penanganan tugas pokok dan tugas yang diberikan oleh Presiden kepada kementerian dapat dilaksanakan dengan baik. Kedua, para wakil menteri ada baiknya diberikan tugas khusus dengan lebih banyak terjun ke lapangan, ke daerah-daerah. Kehadiran mereka ke daerah-daerah diharapkan akan dapat menyerap dan menghimpun masukan dari masyarakat bawah (bottom up system) untuk dipakai sebagai pertimbangan dalam pengambilan keputusan kementerian. Dengan demikian dapat dihindari adanya program-program pemerintah yang kurang sesuai dengan kebutuhan masyarakat di daerah. Masukan-masukan yang diperoleh oleh wakil menteri ini bisa menjadi bahan berharga dalam menetapkan program pembangunan kementerian ke depan.87

Mengenai pengangkatan wakil menteri ini memang menjadi suatu polemik di masyarakat. Hal ini dapat dilihat dari tindakan Gerakan Nasional Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (GN-PK) yang mengajukan permohonan pengujian UU (judicial review) kepada Mahkamah Konstitusi mengenai Pasal 10 Undang-Undang No. 39 Tahun 2008 tentang Kementerian Negara. GN-PK selaku pemohon pada perkara ini pada pokoknya mempertanyakan keberadaan jabatan wakil menteri di pemerintahan yang diatur pada Pasal 10 UU No.39 Tahun 2008 yang dinilai bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

       87

(22)

BAB IV

PENDAPAT MAHKAMAH KONSTITUSI REPUBLIK INDONESIA TERHADAP KEDUDUKAN DAN KEWENANGAN

KEMENTERIAN NEGARA

(BERDASARKAN PUTUSAN MK NO. 79/PUU-IX/2011)

Mahkamah Konstitusi merupakan salah satu lembaga negara yang memiliki kekuasaan kehakiman di Indonesia. Pasal 24C ayat (1) dan (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia menyatakan bahwa,

(1) Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk menguji undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar, memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh Undang-Undang Dasar, memutus pembubaran partai politik, dan memutus perselisihan tentang hasil pemilihan umum.

(2) Mahkamah Konstitusi wajib memberikan putusan atas pendapat Dewan Perwakilan Rakyat mengenai dugaan pelanggaran oleh Presiden dan/atau Wakil Presiden menurut Undang-Undang Dasar. Berdasarkan ketentuan Undang-Undang Dasar yang memberikan kewenangan kepada Mahkamah Konstitusi (MK) untuk melakukan pengujian Undang-Undang terhadap Undang-Undang Dasar, maka bagi setiap warga negara yang merasa hak dan/atau kewenangan konstitusionalnya dirugikan oleh berlakunya suatu Undang-Undang dapat mengajukan permohonan ke MK.88

Maka atas dasar itu, Gerakan Nasional Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (GN-PK) mengajukan permohonan pengujian UU terhadap Pasal 10 UU no. 39 tahun 2008 tentang Kementerian Negara. Pada tanggal 25 oktober 2011, Gerakan Nasional Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (GN-PK) mengajukan permohonan dengan surat permohonannya bertanggal 25 Oktober 2011, yang       

88

(23)

diterima di Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi pada Rabu tanggal 2 November 2011 berdasarkan Akta Penerimaan Berkas Permohonan Nomor 401/PAN.MK/2011 dan dicatat dalam Buku Registrasi Perkara Konstitusi Nomor 79//PUU-IX/2011.

Dalam gugatannya, GN-PK selaku pemohon menguraikan bahwa hak-hak konstitusionalnya dirugikan dengan keberadaan dan berlakunya ketentuan Pasal 10 UU no.39 tahun 2008 tentang Kementerian Negara beserta Penjelasannya. Adapun bunyi Pasal 10 UU no.39 tahun 2008 tentang Kementerian Negara, yakni: “Dalam hal terdapat beban kerja yang membutuhkan penanganan secara khusus,

Presiden dapat mengangkat wakil Menteri pada Kementerian tertentu”. Hal ini berarti Presiden harus dan wajib menjelaskan kepada publik penanganan secara khusus apa yang membutuhkan pengangkatan Wakil Menteri. Di samping itu, dalam Pasal 10 terdapat penekanan pada kata "secara khusus", yang artinya tidak umum dan atau selektif tapi faktanya Presiden mengangkat 20 wakil menteri dari 34 kementerian yang ada, atau dengan kata lain pengangkatan wakil menteri bukan hanya untuk kementerian tertentu, karena faktanya pengangkatan wakil menteri lebih dari setengah Kementerian yang ada.

(24)

penyelenggaraan negara khususnya untuk menjadi Wakil Menteri, di mana hak Konstitusional Pemohon ini telah dijamin dalam Konstitusi yaitu dalam Pasal 28D ayat (3) UUD NRI Tahun 1945 juncto Pasal 27 ayat (1) UUD NRI Tahun 1945. Selain itu, hak-hak konstitusional lainnya yang dirugikan seperti negara harus menyediakan fasilitas-fasilitas khusus dari negara yang bersumber dari anggaran pendapatan dan belanja negara (APBN) berupa rumah dinas, kendaraan dinas, kendaraan dinas, biaya operasional, gaji, tunjangan jabatan, sekretaris, ajudan, staf pembantu, supir, dan lain-lain. Pemohon berpandangan, apabila tidak ada pengangkatan wakil menteri, maka anggaran tersebut dapat dipergunakan untuk usaha-usaha yang bisa membuka kesempatan kerja, menambah biaya pendidikan, dan untuk meningkatkan taraf hidup yang baik dan sehat, serta pelayanan kesehatan.

(25)

hak warga negara Republik lndonesia yang bukan pejabat karier atau pegawai negeri sipil untuk memperoleh hak dan kesempatan yang sama dalam pemerintahan khususnya menjadi wakil menteri. Karena alasan itulah, GN-PK selaku pemohon mengajukan permohonan untuk menguji ketentuan Pasal 10 Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2008 tentang Kementerian Negara, serta menyatakan UU tersebut bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 sehingga tidak memiliki kekuatan hukum yang mengikat.

Dalam pertimbangan hukumnya, Mahkamah Konstitusi memberikan pandangannya terkait jabatan wakil menteri. Menurut MK, Presiden juga memiliki kewenangan untuk mengangkat wakil menteri, sebagai konsekuensi dari adanya hak prerogatif Presiden selaku kepala pemerintahan. Meskipun ketentuan Pasal 17 UUD NRI Tahun 1945 hanya menyebutkan menteri-menteri negara tanpa menyebutkan wakil menteri, tetapi logikanya kalau menteri dapat diangkat oleh Presiden maka Presiden pun tentu dapat mengangkat wakil menteri. UUD NRI Tahun 1945 pada dasarnya hanya mengatur hal-hal yang pokok sehingga untuk pelaksanaan lebih lanjut diatur dengan Undang-Undang. Tidak adanya perintah maupun larangan di dalam UUD NRI Tahun 1945 memberi arti berlakunya asas umum di dalam hukum bahwa “sesuatu yang tidak diperintahkan dan tidak dilarang itu boleh dilakukan” dan dimasukkan di dalam Undang-Undang

(26)

Terkait ketentuan pasal 10 UU no. 39 tahun 2008 yang menyatakan wakil menteri dapat diangkat dalam hal terdapat beban kerja yang membutuhkan penanganan secara khusus, MK berpandangan bahwa, karena Undang-Undang tidak menjelaskan mengenai apa yang dimaksud “beban kerja yang membutuhkan penanganan khusus” maka hal tersebut menjadi wewenang Presiden untuk

menentukannya sebelum mengangkat wakil menteri. Presiden-lah yang menilai seberapa berat beban kerja sehingga memerlukan pengangkatan wakil menteri. Begitu pula jika beban kerja dianggap sudah tidak memerlukan wakil menteri, Presiden berwenang juga memberhentikan wakil menteri tersebut. Oleh sebab itu, kewenangan Presiden mengangkat wakil menteri dalam rangka menangani beban kerja yang semakin berat tidak bertentangan dengan konstitusi jika dipandang dari sudut pengutamaan tujuan yang hendak dicapai (doelmatigheid) atau nilai kemanfaatan dalam rangka memenuhi harapan dan kebutuhan masyarakat yang terus meningkat. Dengan demikian, Pasal 10 UU no. 39 tahun 2008 tidak bertentangan dengan UUD NRI Tahun 1945 dan tidak mengandung persoalan konstitusionalitas.

(27)

Menurut MK,persoalan legalitas yang muncul dalam pengangkatan wakil menteri, antara lain, adalah: Pertama, terjadi eksesifitas dalam pengangkatan wakil menteri sehingga tampak tidak sejalan dengan dengan latar belakang dan filosofi pembentukan Undang-Undang tentang Kementerian Negara. Dalam bahasa teknis judicial review eksesifitas yang seperti itu sering disebut tidak sejalan dengan maksud semula pembentukan Undang-Undang dimaksud (original intent). Salah satu latar belakang terpenting dari keharusan konstitusional untuk

membentuk Undang-Undang Kementerian Negara dimaksudkan untuk membatasi agar dalam membentuk kementerian negara guna melaksanakan tugas-tugas pemerintahan, Presiden melakukannya secara efektif dan efisien. Jabatan menteri dan kementerian tidak boleh diobral sebagai hadiah politik terhadap seseorang atau satu golongan. Dengan pembentukan wakil menteri yang terjadi berdasar fakta hukum sekarang, yakni pembentukan yang tanpa job analysis dan job specification yang jelas telah memberi kesan kuat bahwa jabatan wakil menteri

hanya dibentuk sebagai kamuflase politik dan membagi-bagi hadiah politik. Kedua, saat mengangkat wakil menteri Presiden tidak menentukan beban

kerja secara spesifik bagi setiap wakil menteri sehingga tak terhindarkan memberi kesan kuat sebagai langkah yang politis. Apalagi seleksi jabatan wakil menteri dilakukan secara sama dengan pengangkatan menteri yakni didahului dengan fit and proper test di tempat dan dengan cara yang sama dengan seleksi dan

(28)

Ketiga, menurut Penjelasan Pasal 10 UU no.39 tahun 2008 jabatan wakil

menteri adalah jabatan karier dari PNS tetapi dalam pengangkatannya tidaklah jelas apakah jabatan tersebut merupakan jabatan struktural ataukah jabatan fungsional. Persoalannya, jika dianggap sebagai jabatan struktural maka yang bersangkutan haruslah menduduki jabatan Eselon IA yang berarti, sesuai dengan hukum kepegawaian, pembinaan kepegawaiannya di bawah pembinaan Sekretaris Jenderal. Akan tetapi jika jabatan wakil menteri tersebut diperlakukan sebagai jabatan fungsional masalahnya menjadi aneh, sebab jabatan fungsional itu bersifat tertentu terhadap satu bidang dan bukan jenis profesi dan keahlian yang berbeda-beda yang kemudian dijadikan satu paket sebagai jabatan fungsional. Adalah tidak masuk akal kalau jabatan wakil menteri yang sangat beragam bidang tugas, keahlian, dan unit kerjanya dianggap sebagai satu kelompok jabatan fungsional. Lagipula jabatan fungsional harus ditentukan lebih dahulu di dalam peraturan perundang-undangan dengan mengklasifikasi masing-masing jabatan fungsional ke dalam jenis tertentu.

Keempat, jika seorang wakil menteri akan diangkat dalam jabatan karier

(29)

prosedurnya menggunakan prosedur yang berlaku bagi menteri, bukan prosedur yang berlaku bagi PNS yang menduduki jabatan karier.

Kelima, nuansa politisasi dalam pengangkatan jabatan wakil menteri

tampak juga dari terjadinya perubahan Peraturan Presiden Nomor 47 Tahun 2009 tentang Pembentukan dan Organisasi Kementerian Negara sampai dua kali menjelang (Peraturan Presiden Nomor 76 Tahun 2011, tanggal 13 Oktober 2011) dan sesudah (Peraturan Presiden Nomor 77 Tahun 2011, tanggal 18 Oktober 2011) pengangkatan wakil menteri bulan Oktober 2011 yang oleh sebagian masyarakat dipandang sebagai upaya menjustifikasi orang yang tidak memenuhi syarat untuk diangkat menjadi wakil menteri supaya memenuhi syarat tersebut. Perubahan-perubahan Perpres tersebut tampak dibuat secara kurang cermat sehingga mengacaukan sistem pembinaan pegawai sebagaimana telah diatur dengan peraturan perundang-undangan yang ada lebih dulu.

Keenam, komplikasi legalitas dalam pengangkatan wakil menteri ini, juga

(30)

Selain persoalan legalitas terkait pengangkatan menteri berkaitan dengan Penjelasan Pasal 10 UU no.39 tahun 2008 yang telah dijelaskan di atas, hal lain yang perlu dikaji juga mengenai Penjelasan Pasal 10 ini adalah mengenai ketentuan yang menentukan bahwa wakil menteri adalah pejabat karir dan bukan merupakan anggota kabinet. Hal ini tidak sinkron dengan ketentuan Pasal 9 ayat (1) UU no.39 tahun 2008. Sebab menurut pasal tersebut susunan organisasi kementerian terdiri dari atas unsur: pemimpin yaitu Menteri; pembantu pemimpin yaitu sekretariat jenderal; pelaksana tugas pokok, yaitu direktorat jenderal; pengawas yaitu inspektorat jenderal; pendukung, yaitu badan atau pusat; dan pelaksana tugas pokok di daerah dan/atau perwakilan luar negeri sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Apabila wakil menteri ditetapkan sebagai pejabat karir, sudah tidak ada posisinya dalam susunan organisasi kementerian, sehingga hal tersebut menimbulkan ketidakpastian hukum yang adil, yang berarti bertentangan dengan Pasal 28D ayat (1) UUD NRI Tahun 1945.

(31)

Maka Amar Putusan Mahkamah Konstitusi dalam perkara permohonan Pengujian Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2008 tentang Kementerian Negara terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, dengan nomor perkara 79/PUU-IX/2011, berbunyi sebagai berikut :

1. Mengabulkan permohonan Pemohon untuk sebagian;

2. Penjelasan Pasal 10 Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2008 tentang Kementerian Negara (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 166, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4916) bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;

3. Penjelasan Pasal 10 Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2008 tentang Kementerian Negara (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 166, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4916) tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat;

4. Memerintahkan pemuatan putusan ini dalam Berita Negara Republik Indonesia sebagaimana mestinya;

5. Menolak permohonan Pemohon untuk selain dan selebihnya. Putusan Mahkamah Konstitusi ini menyatakan bahwa Penjelasan Pasal 10 UU No.39 Tahun 2008 inkonstitusional sehingga tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat, tetapi Pasal 10 UU no.39 tahun 2008 sendiri dinyatakan konstitusional dan tetap berlaku. Keputusan ini sebenarnya dapat dikatakan sebagai putusan ultra petita, karena sebenarnya yang dimohonkan oleh pemohon adalah Pasal 10 bukan Penjelasan Pasal 10 UU No. 39 Tahun 2008.

(32)

hukum tentang keputusan Mahkamah Konstitusi ini adalah hal wajar sebagai negara hukum yang berdaulat.

Pakar Hukum Tata Negara, Prof. Jimly Asshidiqie, menilai putusan majelis hakim Mahkamah Konstitusi (MK) tidak berdampak langsung kepada pencopotan atau pengangkatan wakil menteri. Beliau menilai Mahkamah Konstitusi (MK) hanya berwenang untuk menguji Undang-Undang terhadap Undang-Undang Dasar. Oleh karena itu, dampak dari putusan MK tersebut hanya sebatas kepada Undang. Yakni, hilangnya penjelasan pasal 10 Undang-Undang No. 39 Tahun 2008 tentang Kementerian Negara.89 Sementara itu, Yusril Ihza Mahendra berpendapat bahwa Presiden harus segera memberhentikan para wakil menteri, sebagai konsekuensi dari putusan MK. Keberadaan wakil menteri yang ada menjadi problematik dengan putusan MK. Secara formal, wakil menteri tetap ada sampai Presiden resmi memberhentikannya. Lalu secara materiil, keberadaan wakil menteri kini sudah tidak ada lagi, dalam makna, para wakil menteri ini tidak boleh melakukan kegiatan dan tindakan apapun atas nama jabatan tersebut. Namun menurut beliau, jabatan wakil menteri ini dinilai konstitusional dan tetap berlaku. Presiden dapat mengangkat para wakil menteri kembali. Apabila Presiden berkeinginan untuk mengangkat mereka kembali, maka harus dilakukan dengan Keppres baru yang sesuai dengan isi putusan MK.90

MK sendiri dalam pandangannya berpendapat bahwa keberadaan wakil menteri yang diangkat berdasarkan Pasal 10 dan Penjelasannya dalam UU no.39       

89

 http://www.republika.co.id/berita/nasional/hukum/12/06/06/m56zz4‐jimly‐putusan‐mk‐tak‐ berdampak‐pada‐pencopotan‐wamen, diakses pada tanggal 9 Juli 2013 

90

(33)

tahun 2008, perlu segera disesuaikan kembali sebagai kewenangan eksklusif Presiden sesuai dengan putusan MK yang dikeluarkan. Oleh sebab itu, semua Keppres pengangkatan masing-masing wakil menteri perlu diperbarui agar menjadi produk yang sesuai dengan kewenangan eksklusif Presiden dan agar tidak lagi mengandung ketidakpastian hukum.

(34)

BAB V PENUTUP

A. KESIMPULAN

Berdasarkan uraian yang telah penulis paparkan di atas, maka dapat ditarik beberapa kesimpulan, yakni sebagai berikut :

1. Kedudukan dan Kewenangan Kementerian Negara berdasarkan Konstitusi yang pernah berlaku di Indonesia dan Konstitusi negara-negara lain

a) Berdasarkan Undang-Undang Dasar Tahun 1945 sebelum perubahan

Menurut UUD NRI TAHUN 1945, Menteri adalah pembantu Presiden. Menteri-menteri diangkat dan diberhentikan oleh Presiden. Kewenangan ini dimiliki oleh Presiden dikarenakan jabatannya sebagai Kepala Pemerintahan. Menteri-menteri ini bertanggung jawab kepada Presiden, bukan kepada Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), karena statusnya sebagai pembantu dari Presiden itu sendiri.

b) Berdasarkan Konstitusi Republik Indonesia Serikat (RIS)

(35)

c) Berdasarkan Undang-Undang Dasar Sementara (UUDS) Tahun 1950

Dalam UUDS tahun 1950, sistem pemerintahan yang dianut Indonesia adalah sistem pemerintahan parlementer atau pertanggungjawaban Dewan Menteri kepada Parlemen, sedangkan Presiden hanyalah merupakan Kepala Negara, bukan Kepala Pemerintahan. Sehingga penanggung jawab atas pemerintahan dipegang oleh menteri-menteri yang dipimpin oleh seorang perdana menteri. Sedangkan Presiden sebagai Kepala Negara tidak bisa dimintai pertanggungjawabannya.

d) Kembali pada Undang-Undang Dasar Tahun 1945

Tahun 1959, Soekarno mengeluarkan Dekrit Presiden yang salah satu isinya memerintahkan agar Indonesia kembali menggunakan UUD RI 1945 sebagai konstitusinya. Oleh karena itu, pada masa ini pengaturan kementerian negara kembali berpedoman pada Pasal 17 UUD RI 1945, dimana dinyatakan bahwa Menteri adalah pembantu Presiden, Menteri-menteri diangkat dan diberhentikan oleh Presiden, dan setiap menteri memimpin departemen pemerintahan. Menteri-menteri ini bertanggung jawab kepada Presiden, bukan kepada Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), karena statusnya sebagai pembantu dari Presiden itu sendiri.

e) Kementerian menurut Konstitusi Negara lain 1) Amerika Serikat

(36)

Senat, tetapi menteri-menteri di Amerika Serikat tidak bertanggung jawa kepada Senat, melainkan bertanggung jawab pada Presiden, selaku kepala pemerintahan. 2) Inggris

Di Inggris, Menteri-Menteri dipilih oleh Perdana Menteri untuk disusun ke dalam kabinet. Semua menteri di Inggris merupakan anggota dari parlemen. Secara kolektif, para menteri ini bertanggung jawab atas semua keputusan yang dibuat kabinet kepada parlemen. Sedangkan secara individu, menteri-menteri tersebut bertanggung jawab kepada parlemen atas kinerja departemen mereka masing-masing.

3) Jepang

Di Jepang, Perdana menteri selaku kepala eksekutif mempunyai kewenangan untuk mengangkat dan memberhentikan para menteri. Para menteri ini bertanggung jawab secara kolektif kepada Diet.

2. Kedudukan dan kewenangan Kementerian Negara setelah perubahan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945

a) Berdasarkan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 setelah perubahan

(37)

UUD NRI Tahun 1945 setelah perubahan, Menteri-menteri tetap bertanggung jawab kepada Presiden, karena statusnya sebagai pembantu presiden.

b) Berdasarkan UU No. 39 Tahun 2008 Tentang Kementerian Negara

UU ini dibentuk berdasarkan amanah dari UUD NRI TAHUN 1945, khususnya Pasal 17. UU ini mengatur lebih lanjut mengenai kementerian negara yang didalamnya terdapat pengaturan mengenai kedudukan kementerian; tugas, fungsi, susunan organisasi kementerian; pembentukan, pengubahan, dan pembubaran kementerian; pengangkatan dan pemberhentian menteri; serta hubungan fungsional kementerian dan lembaga pemerintahan nonkementerian.

c) Jabatan Wakil Menteri di Indonesia

Pasal 10 UU No.39 Tahun 2008 memperbolehkan presiden untuk mengangkat wakil menteri pada kementerian tertentu yang memiliki beban kerja yang membutuhkan penanganan secara khusus atau dapat dikatakan memiliki beban kerja lebih. Pada kabinet Indonesia Bersatu Jilid II, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono mengangkat 20 wakil menteri. Hal inilah yang kemudian menjadi perdebatan di masyarakat terkai pengangkatan 20 wakil menteri tersebut.

3. Pendapat MK RI terhadap kedudukan dan kewenangan kementerian negara

(38)

yang mengikat. Oleh karena itu, MK berpandangan bahwa pengangkatan wakil menteri yang didasarkan pada Pasal 10 dan penjelasannya dalam UU N.39 Tahun 2008 dinyatakan tidak sah. Sehingga semua Keppres pengangkatan masing-masing wakil menteri harus diperbarui agar sesuai dengan keputusan MK tersebut dan tidak mengandung ketidakpastian hukum.

B. SARAN

(39)
(40)

BAB II

KEDUDUKAN DAN KEWENANGAN KEMENTERIAN NEGARA BERDASARKAN KONSTITUSI YANG PERNAH BERLAKU DI

INDONESIA DAN BERDASARKAN KONSTITUSI BEBERAPA NEGARA LAIN

Sebelum perubahan UUD NRI Tahun 1945 pada tahun 1999-2002, Indonesia pernah beberapa kali berganti konstitusi mulai dari UUD RI 1945, Konstitusi RIS 1949, UUD Sementara tahun 1950, sampai kembali lagi pada UUD RI 1945 melalui dekrit Presiden tahun 1959. Pergantian konstitusi ini sudah pasti berpengaruh pada sistem ketatanegaraan Indonesia serta berpengaruh pula pada Lembaga Kepresidenan dan Lembaga Kementerian Negara. Dimana masing-masing konstitusi tersebut memiliki ciri khasnya masing-masing-masing-masing.

A. Kementerian Negara Berdasarkan Undang-Undang Dasar 1945 Sebelum Perubahan

Undang-Undang Dasar 1945 sebelum perubahan mengatur bahwa Indonesia menjalankan sistem pemerintahan presidensial. Hal ini terlihat dari ketentuan Pasal 4 ayat (1) UUD NRI TAHUN 1945 yang mengatakan bahwa: “Presiden Republik Indonesia memegang kekuasaan pemerintahan menurut Undang-Undang Dasar”.

Menurut Wirjono Prodjodikoro, ketentuan pasal tersebut mempunyai makna bahwa Presiden Republik Indonesia adalah satu-satunya orang yang memimpin seluruh pemerintahan.20 Presiden memegang kekuasaan penuh untuk

       20

(41)

menjalankan roda pemerintahannya. Karena kekuasaan dan kedudukan inilah salah satu kewenangan Presiden adalah mengangkat dan menetapkan pejabat tinggi negara, seperti mengangkat menteri-menteri.

Dalam Bab V tepatnya pada pasal 17 UUD RI 1945 diatur mengenai Kementerian Negara, yang berbunyi :

(1) Presiden dibantu oleh menteri-menteri negara.

(2) Menteri-menteri itu diangkat dan diperhentikan oleh Presiden. (3) Menteri-menteri itu memimpin Departemen Pemerintahan.21

Pasal 17 ayat (1) menegaskan bahwa kedudukan menteri adalah sebagai pembantu Presiden. Para menteri ini bertanggung jawab kepada Presiden bukan kepada Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) karena statusnya sebagai pembantu presiden. Disinilah terlihat bahwa UUD NRI TAHUN 1945 menganut sistem presidensial, karena kekuasaan dan tangung jawab pemerintahan tetap berada di tangan Presiden.

Kekuasaan mengangkat dan memberhentikan menteri-menteri didasarkan pada Pasal 17 ayat (2) UUD Tahun 1945. Presidenlah yang memiliki kewenangan untuk mengangkat dan memberhentikan menteri-menteri negara karena kedudukannya sebagai kepala pemerintahan. Kekuasaan ini tidak diatur lebih lanjut dengan suatu peraturan perundang-undangan. Pelaksanaan kekuasaan tersebut dalam praktik kenegaraan diserahkan secara mutlak kepada Presiden. Pengangkatan menteri-menteri dilakukan oleh Presiden semenjak ia mendapat mandat dari MPR dalam Sidang Umum MPR sampai dengan masa jabatannya selesai. Pemberhentian menteri-menteri oleh Presiden dapat dilakukan di

tengah-       21

(42)

tengah masa jabatannya tersebut. Seluruh tindakan tersebut dalam praktiknya dapat dilakukan secara tertutup tanpa perlu meminta nasihat, mendapatkan usulan dan pertanggungjawaban dari lembaga negara yang lain, karena ini adalah merupakan hak prerogatif presiden.22 Oleh karena itu, dapat dikatakan bahwa kedudukan menteri-menteri tidak tergantung pada Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) tetapi bergantung pada Presiden.

Meskipun Pasal 17 ayat (3) menyatakan bahwa menteri-menteri itu memimpin Departemen Pemerintahan, tetapi dalam prakteknya terdapat beberapa menteri yang tidak memimpin Departemen Pemerintahan, seperti Menteri Sekretaris Negara dan ada juga diangkat Menteri Koordinator dan Menteri Muda. Secara yuridis hal ini tidak bertentangan dengan ketentuan UUD 1945, sebab Menteri Koordinator itu hanya berfungsi untuk mengkoordinir beberapa menteri yang memimpin departemen pemerintahan, sedangkan menteri muda adalah membantu untuk menangani bidang khusus dari seseorang menteri yang memimpin departemen pemerintahan. Jika ditafsirkan dari Pasal 17 pun bahwa menteri adalah pembantu presiden maka tidak ada persoalan sebab Presiden sebagai kepala pemerintahan bisa saja menentukan pembantu yang diberi tugas khusus tanpa harus memimpin departemen, artinya ketentuan pasal 17 ayat (3) bahwa menteri itu memimpin departemen pemerintahan bukanlah suatu keharusan, semuanya tergantung pada Presiden sesuai dengan kebutuhan yang dihadapi.23

       22

 Abdul Ghoffar, Perbandingan… Op.cit., hlm 119 

23

(43)

Penjelasan UUD NRI TAHUN 1945 menyatakan bahwa “menteri-menteri negara bukan pegawai tinggi biasa.” Walaupun ketentuan UUD NRI TAHUN 1945 menunjukkan bahwa menteri negara tergantung pada Presiden baik pengangkatan maupun pemberhentiannya, akan tetapi menteri-menteri tersebut bukan pegawai tinggi biasa. Hal ini dikarenakan menteri-menterilah yang menjalankan kekuasaan pemerintahan (pouvoir executive) dalam prakteknya. Sebagai pemimpin departemen, menterilah yang paling mengetahui hal-hal mengenai lingkungan pekerjaannya. Menteri memiliki pengaruh besar terhadap Presiden dalam menentukan politik negara mengenai departemen yang dipimpinnya. Sehingga jelas bahwa menteri-menteri itu berkedudukan sebagai pemerintah atau pemegang kekuasaan sebagai pembantu presiden di tingkat pusat. Untuk menetapkan politik pemerintahan dan koordinasi dalam pemerintahan negara maka para menteri bekerja sama, satu sama lain seerat-eratnya di bawah kepemimpinan seorang presiden.

Untuk menjalankan roda pemerintahan, pada tanggal 2 September 1945 Presiden Soekarno membentuk kabinet pertama berdasarkan usul Panitia Persiapan Kemerdekan Indonesia (PPKI). Kabinet ini kemudian tercatat dalam sejarah sebagai Kabinet Presidensial pertama. Dalam susunan kabinet presidensial ini, Presiden memegang kekuasaan eksekutif.24

Kedudukan Presiden sebagai kepala pemerintahan pada saat itu dapat dikatakan sangat kuat. Hal ini dikarenakan berdasarkan ketentuan Pasal IV Aturan Peralihan Undang-Undang Dasar Tahun 1945 dikatakan bahwa Presiden

       24

(44)

memegang kekuasaan pemerintahan dalam arti luas karena dalam menjalankan kekuasaannya hanya dibantu oleh sebuah Komite Nasional. Namun, besarnya kekuasaan presiden sebagaimana yang tertulis itu tidak berlangsung lama, yakni hanya sekitar dua bulan. Besarnya kekuasaan yang dimiliki Presiden Soekarno sedikit berkurang dengan dikeluarkannya Maklumat No. X oleh Wakil Presiden Moh. Hatta atas usul dari Komite Nasional Pusat yang ditetapkan pada tanggal 16 Oktober 1945. Inti dari maklumat tersebut adalah penyerahan kekuasaan legislatif kepada Komite Nasional Pusat sebelum DPR dan MPR dibentuk berdasarkan Undang-Undang Dasar yang berlaku. Maklumat tersebut juga berisi pembentukan suatu Badan Pekerja dari Komite Nasional Pusat.

Untuk menghindari kesalahpahaman, pada tanggal 20 Oktober 1945, Badan Pekerja Komite Nasional Pusat menjelaskan kedudukan dan fungsinya sesuai dengan Maklumat Wakil Presiden tersebut, yaitu :

1. Turut menetapkan Garis-Garis Besar Haluan Negara (GBHN). Artinya, badan pekerja bersama-sama dengan Presiden menetapkan GBHN. Namun, badan pekerja tidak turut campur dalam kebijaksanaan negara (dagelijks beleid) pemerintah sehari-hari. Kekuasaan untuk itu tetap berada di tangan Presiden. 2. Bersama-sama dengan Presiden menetapkan Undang-Undang. Pelaksana dari

ketentuan Undang-Undang ini tetap pemerintah dalam hal ini presiden dan para menterinya.25

Dalam perkembangannya, Komite Nasional Pusat ini sangat berpengaruh dalam roda pemerintahan Soekarno. Hal ini terlihat dengan disetujuinya usul       

25

(45)

Komite Nasional Pusat oleh pemerintah agar para menteri tidak lagi bertanggung jawab terhadap presiden melainkan kepada Komite Nasional Pusat. Persetujuan tersebut dituangkan dalam sebuah Maklumat Pemerintah pada tanggal 14 November 1945. Dengan dikeluarkannya maklumat tersebut, Presiden tidak lagi berkedudukan sebagai kepala pemerintahan, sebagaimana yang diatur dalam Pasal 4 ayat (1) UUD RI 1945, melainkan hanya berfungsi sebagai kepala negara atau presiden konstitusional. Untuk kedua kalinya terjadi pengurangan kekuasaan presiden.26

Maklumat ini pada dasarnya juga berisi perubahan sistem pemerintahan, yakni dari sistem pemerintahan presidensial ke sistem parlementer. Hal ini dibuktikan dengan perubahan sistem pertanggungjawaban yakni sistem pertanggungjawaban pemerintahan negara yang terletak ditangan dewan menteri yang dipimpin oleh seorang perdana menteri (prime minister). Perlu ditegaskan lagi bahwa perubahan sistem pemerintahan tersebut adalah tidak dengan melakukan perubahan terhadap Undang-Undang Dasarnya. Juga perlu diketahui bahwa sebelum dikeluarkannya Maklumat Pemerintah tentang sistem pemerintahan tanggal 14 November 1945 tersebut, telah keluar pula Maklumat Pemerintah pada tanggal 3 November 1945 tentang partai-partai politik dan organisasi politik yang pada pokoknya menganjurkan didirikannya partai-partai dan organisasi politik sesuai dengan aliran-aliran yang hidup dalam masyarakat. Hal ini dimaksudkan juga menjunjung tinggi asas demokrasi serta untuk

       26

(46)

memudahkan dalam mengatur kekuatan perjuangan bangsa Indonesia pada waktu itu.27

Selama masa tahun 1945-1950 terjadi banyak pergantian kabinet, diantaranya adalah sebagai berikut :28

1. Kabinet Presidensiil. Kabinet ini dipimpin oleh Soekarno sebagai Presiden,

dengan jumlah menteri sebanyak 21 orang. Kabinet ini terbentuk pada tanggal 2 September 1945 dan berakhir pada tanggal 14 November 1945.

2. Kabinet Syahrir Pertama. Kabinet ini dipimpin oleh Sutan Syahrir sebagai

Perdana Menteri, dengan jumlah kementerian sebanyak 17 kementerian . Kabinet ini terbentuk pada tanggal 14 November 1945 dan dipaksa berhenti pada tanggal 12 Maret 1946 oleh oposisi persatuan perjuangan, suatu koalisi partai-partai dan golongan-golongan diluar Badan Pekerja atau Komite Nasional Pusat.

3. Kabinet Syahrir Kedua. Kabinet ini juga dipimpin kembali oleh Sutan Syahrir

sebagai Perdana Menteri, dengan jumlah kementerian sebanyak 25 kementerian. Kabinet ini dibentuk pada tanggal 12 Maret 1946 dan berakhir pada tanggal 2 Oktober 1946. Pada masa ini kekuasaan pemerintahan diambil alih oleh Presiden Soekarno ketika terjadi penculikan Perdana Menteri Sutan Syahrir. Setelah beliau dibebaskan, Presiden Soekrao menunjukkan beliau sebagai formatur kabinet.

       27

 Moh. Mahfud MD, Dasar… Op.Cit, hlm 93‐94 

28

(47)

4. Kabinet Syahrir Ketiga. Kabinet ini juga dipimpin oleh Sutan Syahrir sebagai Perdana Menteri, dengan jumlah kementerian 32 kementerian. Kabinet ini dibentuk tanggal 2 Oktober 1946 dan berakhir pada tanggal 3 Juli 1947.

5. Kabinet Amir Syarifuddin Pertama. Kabinet ini dipimpin oleh Amir

Syarifuddin sebagai Perdana Menteri, dengan jumlah kementerian sebanyak 34 kementerian. Kabinet ini dibentuk tanggal 3 Juli 1947 dan berakhir pada tanggal 11 November 1947, karena diadakannya reshuffle kabinet.

6. Kabinet Amir Syarifuddin Kedua. Kabinet ini dipimpin oleh Amir Syarifuddin

sebagai Perdana Menteri, dengan jumlah kementerian termasuk kementerian negara sebanyak 37 kementerian. Kabinet ini dibentuk pada tanggal 11 November 1947 dan harus berakhir pada tanggal 23 Januai 1948 dengan dikeluarkannya Maklumat Presiden No. 2 Tahun 1948.

7. Kabinet Presidensial (Kabinet Hatta Pertama). Kabinet ini dipimpin oleh

Moh. Hatta sebagai Perdana Menteri, dengan jumlah kementerian sebanyak 17 kementerian. Kabinet ini dibentuk pada tanggal 23 Januari 1948 dan berakhir pada tanggal 4 Agustus 1949.

8. Kabinet Darurat. Kabinet ini dipimpin oleh Syarifuddin Prawiranegara

(48)

9. Kabinet Hatta Kedua. Kabinet ini dipimpin oleh Moh. Hatta sebagai Perdana Menteri, dengan jumlah kementerian sebanyak 19 kementerian. Kabinet ini dibentuk pada tanggal 4 Agustus 1949 dan berakhir pada tanggal 20 Desember 1949.

B. Kementerian Negara Berdasarkan Konstitusi Republik Indonesia Serikat (RIS)

Menurut Pasal 1 ayat (1) Konstitusi RIS, “Republik Indonesia Serikat yang merdeka dan berdaulat ialah suatu negara hukum yang demokrasi dan berbentuk federasi.” Selanjutnya dalam Pasal 1 ayat (2) disebutkan bahwa “Kekuasaan berkedaulatan di dalam negara Republik Indonesia Serikat dilakukan oleh pemerintah bersama-sama dengan DPR dan Senat.”29 Pasal 68 ayat (2) menyatakan bahwa, “Yang dimaksud dengan pemerintah menurut Konstitusi RIS ialah Presiden dengan seorang atau beberapa atau para Menteri, yakni menurut tanggung jawab khusus atau tanggung jawab umum mereka itu.30

Berbeda dengan Undang-Undang Dasar 1945 yang menempatan Presiden sebagai Kepala Pemerintahan sekaligus Kepala Negara, pada Konstitusi RIS Presiden hanya berkedudukan sebagai Kepala Negara, sedangkan kekuasaan pemerintahan dijalankan oleh kainet yang dikepalai oleh Perdana Menteri. Hal ini dikarenakan dalam Konstitusi RIS, Indonesia menganut sistem pemerintahan parlementer.

Secara formal, Presiden adalah juga merupakan pemerintah. Karena sifatnya cuma formalitas, maka kekuasaan dalam pemerintahan bergantung pada       

29

 Titik Triwulan Tutik, Konstruksi… Op.cit., hlm 121 

30

(49)

menteri-menteri. Semua keputusan atau peraturan harus diambil oleh kabinet, kemudian keputusan atau peraturan tersebut ditandatangani oleh presiden dan ditandatangani oleh menteri.31

Salah satu kekuasaan administratif yang diberikan Konstitusi RIS kepada Presiden adalah mengangkat perdana menteri, menteri-menteri, ketua senat setelah mendapat anjuran dari senat, serta pejabat-pejabat tinggi lainnya. Hal ini ditegaskan dalam Pasal 74 ayat (1) yang menyatakan bahwa, “Presiden sepakat dengan orang-orang yang dikuasakan oleh daerah-daerah bagian sebagai tersebut dalam Pasal 69, menunjuk 3 pembentuk kabinet”. Ketentuan ini menunjukkan sistem quasi-federal yang ditimbulkan oleh Konstusi RIS. Selanjutnya Pasal 74 ayat (2) juga menyatakan bahwa, “Sesuai dengan anjuran ketiga pembentuk kabinet itu, Presiden mengangkat seorang daripadanya menjadi Perdana Menteri dan mengangkat Menteri-Menteri yang lain”. Presiden juga memiliki kewenangan untuk menetapkan siapa-siapa dari Menteri-Menteri itu diwajibkan memimpin departemen masing-masing. Boleh juga diangkat Menteri-Menteri yang tidak memangku departemen.32

Meskipun dalam Konstitusi RIS telah ditetapkan bahwa ada seorang Perdana Menteri, tetapi mengenai kedudukannya tidak ada ketentuan-ketentuan lebih lanjut, selain daripada apa yang diatur dalam Pasal 76 Konstitusi RIS yang menyebutkan bahwa ia harus mengetuai Dewan Menteri. Meskipun demikian dalam pratek, ia adalah pemimpin kabinet dan namanya dipakai untuk sebutan

       31

 Abdul Ghoffar, Perbandingan… Op.Cit, hlm 82 

32

(50)

kabinet. Selanjutnya, jika perlu karena Presiden berhalangan, maka Perdana Menteri menjalankan pekerjaan jaatan Presiden sehari-hari.33

Pada masa pemberlakuan Konstitusi RIS, menteri-menteri adalah bagian dari alat-alat perlengkapan sekaligus bagian dari pemerintah bersama Presiden. Sistem pemerintahan yang diterapkan adalah sistem pemerintahan parlementer sehingga segala tindakan pemerintah yang bertanggung jawab adalah menteri-menteri. Presiden tidak bisa dimintai pertanggungjawabannya. Oleh karena itu, segala pemerintahan harus melibatkan menteri-menteri yang terkait. Sementara itu keterlibatan Presiden hanya bersifat formalitas untuk sekedar mengetahui.34

Sistem parlementer dianut dalam sistem ketatanegaraan Republik Indonesia menurut konstitusi adalah dalam dua masa/kurun waktu yakni dengan berlakunya konstitusi yang berbeda, yaitu Konstitusi RIS 1949 dam UUDS tahun 1950. Menurut Wilopo, terdapat perbedaan antara sistem parlementer menurut Konstitusi RIS dengan sistem parlementer menurut UUD tahun 1950, yaitu dalam hal kekuatan parlemen unuk menjatuhkan pemerintah. Kalau menurut Konstitusi RIS pemerintah tak dapat dijatuhkan oleh parlemen dan parlemen tak dapat dibubarkan oleh presiden, tapi sebaliknya menurut UUD tahun 1950, pemerintah dapat jatuh oleh karena kebijaksanaannya tidak didukung oleh parlemen, sedangkan presiden tidak berhak membubarkan parlemen.35

Tetapi Joeniarto berpendapat bahwa sebenarnya menurut Konstitusi RIS bukan tidak dapat menjatuhkan pemerintah. Begitu juga Presiden menurut       

33

 Ismail Suny, Pergeseran Kekuasaan Eksekutif, Aksara Baru, Jakarta, 1986, hlm 96 

34

 Naskah Komprehensif Perubahan Undang‐Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun  1945, Latar Belakang, Proses, dan Hasil Pembahasan, 1999‐2002, Sekretaris Jendral dan  Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi, Jakarta, 2010, hlm 39 

35

(51)

Konstitusi RIS bukan tidak dapat membubarkan Parlemen, kedua hal yang seperti itu bisa saja terjadi dan dibenarkan menurut Konstitusi RIS, hanya saja selama berlakunya Konstitusi RIS hal itu belum pernah (tidak dapat) dilaksanakan sehubungan dengan DPR yang pada waktu itu bukanlah DPR yang dibentuk berdasarkan Pemilihan Umum sesuai dengan perintah pasal 111, tetapi masih merupakan DPR yang ditunjuk berdasarkan pasal 109 dan 110.36

Oleh karena itu, maka DPR tidak dapat menjatuhkan kabinet karena ada ketentuan pasal 122 yang berbunyi, “Dewan Perwakilan Rakyat yang ditunjuk berdasarkan pasal 109 dan 110 tidak dapat memaksa kabinet atau masing-masing menteri meletakkan jabatannya.” Seandainya dalam kurun waktu berlakunya Konstitusi RIS itu berhasil dibentuk DPR melalui Pemilu sesuai dengan ketentuan isi pasal 111 maka dapat saja DPR itu menjatuhkan kabinet. Dengan demikian sebenarnya tidak ada perbedaan antara sistem kabinet parlementer menurut Konstitusi RIS dengan sistem parlemen menurut UUD tahun 1950.37

Dalam sistem pemerintahan parlementer, dikatakan bahwa apabila kebijakan menteri/para menteri ternyata tidak dapat dibenarkan oleh DPR, maka menteri/para menteri harus mengundurkan diri. Namun pada sistem ini selama

berlakunya Konstitusi RIS belum dapat dilaksanakan. Hal ini disebabkan DPR yang ada belum didasarkan kepada pemilihan umum sesuai Pasal 111, tetapi masih DPR yang ditunjuk atas dasar Pasal 109 dan Pasal 110 Konstitusi RIS. Sedangkan Pasal 122 Konstitusi RIS menentukan “Dewan Perwakilan Rakyat

       36

 Joeniarto dalam Ibid, hlm 96 

37

(52)

yang ditunjuk menurut pasal 109 dan 110 tidak dapat memaksa Kabinet atau masing-masing Menteri meletakkan jabatannya”.

Kabinet-kabinet yang pernah terbentuk selama masa Pemerintahan Republik Indonesia Serikat adalah sebagai berikut38 :

1. Kabinet Susanto atau Kabinet Peralihan. Kabinet ini dipimpin oleh Susanto

Tirtoprodjo sebagai Perdana Menteri, dengan jumlah kementerian sebanyak 13 kementerian. Kabinet ini dibentuk pada tanggal 20 Desember 1949 dan harus berakhir pada tanggal 21 Januari 1950.

2. Kabinet Halim. Kabinet ini berkedudukan di Yogyakarta yang dipimpin oleh

Dr.Abdul Halim sebagai Perdana Menteri, dengan jumlah kementerian sebanyak 15 kementerian. Kabinet ini dibentuk pada tanggal 21 Januari 1950 dan harus berakhir pada tanggal 6 September 1950.

C. Kementerian Negara Berdasarkan Undang-Undang Dasar Sementara Tahun 1950

Dalam Undang-Undang Dasar Sementara (UUDS) tahun 1950, sistem pemerintahan yang dianut Indonesia adalah sistem pemerintahan parlementer atau pertanggungjawaban Dewan Menteri kepada Parlemen, sedangkan Presiden hanyalah merupakan Kepala Negara, bukan Kepala Pemerintahan (Pasal 45 UUDS tahun 1950).39 Sehingga penanggung jawab atas pemerintahan dipegang oleh menteri-menteri yang dipimpin oleh seorang perdana menteri. Sedangkan

       38

 Miftah Thoha, Birokrasi… Op.cit., hlm 22‐23. 

http://id.wikipedia.org/wiki/Daftar_kabinet_Indonesia, diakses pada tanggal 24 April 2013 

39

(53)

Presiden sebagai kepala negara tidak bisa dimintai pertanggungjawabannya. Hal ini ditegaskan dalam Pasal 83 UUDS tahun 1950 yang berbunyi sebagai berikut : (1) Presiden dan Wakil Presiden tidak dapat diganggu gugat.

(2) Menteri-menteri bertanggung jawab atas seluruh kebijaksanaan Pemerintah,

baik bersama-sama untuk seluruhnya, maupun masing-masing untuk bagiannya sendiri-sendiri.

Sebagaimana dalam Konstitusi RIS, kedudukan menteri pada masa pemberlakuan UUD Sementara tahun 1950 lebih tinggi daripada pada saat diberlakukan UUD RI 1945. Pada masa ini menteri-menteri menjadi bagian dari alat-alat perlengkapan negara (pasal 44).40 Dari beberapa ketentuan pasal-pasal dalam UUDS tahun 1950 dapat disimpulkan bahwa menteri-menteri atau pemerintah mempunyai kewenangan yang cukup besar. Selain sebagai bagian dari alat-alat kelengkapan negara, ia juga mempunyai kewenangan dan previllege. Ia terlibat secara langsung dalam proses pembuatan Undang-Undang, proses pembuatan anggaran belanja negara sekaligus pemegang umum anggaran, penerbitan uang, serta dalam kaitan dengan hubungan luar negeri.

UUDS tahun 1950 secara tegas memberikan kekuasaan kepada Presiden untuk mengangkat menteri-menteri (Pasal 50) dan perdana menteri. Dalam menjalankan kewenangannya ini, UUDS tahun 1950 juga mengatur lebih lanjut bahwa presiden dapat menunjuk pembentuk (formatur) kabinet. Hal ini ditegaskan dalam Pasal 51 UUDS tahun 1950 yang berbunyi sebagai berikut :

(1) Presiden menunjuk seorang atau beberapa orang pembentuk kabinet.

       40

Referensi

Dokumen terkait

Pihak pihak tersebut yaitu dengan Waka Kurikulum, Guru Umum sekaligus guru mata pelajaran Peran Guru dalam meningkatkan Motivasi siswa adalah sebagai berikut : Dari wawancara

Melalui hasil penelitian dapat diketahui bahwa Peranan POLRI dalam Penanggulangan Penyalahgunaan Senjata Api oleh Masyarakat Sipil di Kota Surakarta, dalam hal ini

NO PROGRAM AKUN URAIAN PAGU

Mahasiswa Agroekoteknologi semester 4 yg memiliki IPS>3.00 bisa ambil mata kuliah : a.. Tataguna dan Kesesuaian Lahan yang ada

Penelitian yang dilakukan bertujuan untuk mengetahui adanya pengaruh model pembelajaran Conceptual Understanding Procedures (CUPs) terhadap kemampuan pemecahan masalah

Bersedia untuk dilakukan peninjauan terhadap sarana dan alat yang akan digunakan dalam proses Pemeriksaan Kesehatan Berkala oleh pihak PT PJB UP Gresik

Pada pembelajaran seni budaya berbasis pendidikan multikultural terdapat tiga aspek yang nantinya akan dapat mensukseskan pendidikan multikultural, ketiga aspek

[r]