• Tidak ada hasil yang ditemukan

Kehidupan Sosial, Ekonomi Dan Budaya Etnis Jawa Di Berastagi (1968-1986)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2016

Membagikan "Kehidupan Sosial, Ekonomi Dan Budaya Etnis Jawa Di Berastagi (1968-1986)"

Copied!
87
0
0

Teks penuh

(1)

1

KEHIDUPAN EKONOMI, BUDAYA DAN SOSIAL ETNIS JAWA

DI BERASTAGI (1968-1986)

SKRIPSI SARJANA

Dikerjakan

O

L

E

H

SESELIA DORMAULI

NIM: 050706016

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

FAKULTAS SASTRA

DEPARTEMEN ILMU SEJARAH

MEDAN

(2)

2

KEHIDUPAN SOSIAL, EKONOMI DAN BUDAYA ETNIS JAWA DI

BERASTAGI (1968-1986)

SKRIPSI SARJANA DIKERJAKAN

O L E H

Nama : Seselia Dormauli

Nim : 050706016

Pembimbing

Dra. Junita Setiana Ginting, M. Si Nip. 196709081993032002

DEPARTEMEN ILMU SEJARAH

FAKULTAS SASTRA

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN

(3)

3

Lembar Pengesahan Pembimbing Skripsi

KEHIDUPAN SOSIAL, EKONOMI DAN BUDAYA ETNIS JAWA DI BERASTAGI (1968-1986)

SKRIPSI SARJANA DIKERJAKAN

O L E H

Nama : Seselia Dormauli Nim : 050706016

Pembimbing

Drs. Junita Setiana Ginting, M. Si Nip. 196709081993032002

Skripsi ini diajukan kepada panitia ujian Fakultas Sastra USU Medan,

untuk melengkapi salah satu syarat ujian Sarjana Sastra dalam bidang Ilmu Sejarah

DEPARTEMEN ILMU SEJARAH

FAKULTAS SASTRA

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN

(4)

4

Lembar Persetujuan Ujian Skripsi

KEHIDUPAN SOSIAL, EKONOMI DAN BUDAYA ETNIS JAWA DI BERASTAGI (1968-1986)

Yang diajukan oleh Nama : Seselia Dormauli

Nim : 050706016

Telah disetujui untuk diujikan dalam ujian skripsi oleh

Pembimbing

Drs. Junita Setiana Ginting, M. Si Tanggal Nip. 196709081993032002

Ketua Departemen Ilmu Sejarah

Dra. Fitriaty Harahap S.U Tanggal Nip. 195406031983032001

DEPARTEMEN ILMU SEJARAH FAKULTAS SASTRA

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN

(5)

5

Lembar Persetujuan Ketua Departemen Ilmu Sejarah

KEHIDUPAN SOSIAL, EKONOMI DAN BUDAYA ETNIS JAWA DI BERASTAGI (1968-1986)

DISETUJUI OLEH

FAKULTAS SASTRA

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN

DEPARTEMEN ILMU SEJARAH

Ketua Departemen

Dra. Fitriaty Harahap S.U

Nip 195406031983032001

(6)

6

Lembar Pengesahan Skripsi oleh Dekan dan Panitia Ujian

Diterima oleh :

Panitia Ujian Fakultas Sastra Universitas Sumatera Utara Untuk Melengkapi Salah Satu Syarat Ujian Sarjana Sastra Dalam Ilmu Sejarah Pada Fakultas Sastra USU Medan

Pada : Hari : Tanggal :

Fakultas Sastra USU Dekan

Prof. Syaifuddin, M.A,. Ph.D Nip 196509091994031004

Panitia Ujian,

No. Nama Tanda Tangan

1. ……… (………)

2. ……… (………)

3. ……… (……….…...)

4. ……… (………...….)

(7)

7

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa atas berkat dan rahmat serta karunia-Nya yang dilimpahkan dengan memberikan kesehatan, ketabahan serta ketekunan kepada penulis selama penyusunan skripsi ini mulai dari awal sampai selesai. Adapun penulisan ini dilakukan untuk memenuhi salah satu syarat untuk menyelesaikan studi Program Sarjana Jurusan Ilmu Sejarah Fakultas Sastra Universitas Sumatera Utara.

Dalam penulisan skripsi ini banyak hambatan yang dihadapi terutama dalam masalah pencarian data dan buku-buku literatur pendukung dalam penulisan skripsi ini. Oleh sebab itu, penulis menyadari bahwa skripsi ini masih jauh dari sempurna. Untuk itu penulis menerima kritikan dan masukan yang bersifat membangun dari semua pihak sebagai bahan penyempurnaan skripsi ini.

Penulis,

(8)

8

UCAPAN TERIMAKASIH

Penulisan skripsi ini dapat diselesaikan berkat dorongan dan bimbingan dari berbagai pihak baik secara langsung maupun tidak langsung. Dalam kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih kepada :

1. Keluarga teristimewa kedua orang tua tercinta Alm.H. Sitanggang/K. Sipakkar yang telah memberikan kasih sayang, perhatian, dukungan dan doa kepada penulis selama ini sehingga dapat menyelesaikan skripsi ini. Juga kepada kedua saudaraku yang kukasihi Mangara Tua Sitanggang dan Parsaoran Paulinus Sitanggang.

2. Bapak Drs. Syaifuddin, MA. Ph.D selaku Dekan Fakultas Sastra Universitas Sumatera Utara beserta staf dan pegawainya.

3. Ibu Dra. Fitriaty Harahap, S.U selaku Ketua Jurusan Ilmu Sejarah FS-USU dan Ibu Dra. Nurhabsyah M.Si selaku Sekretaris Jurusan Ilmu Sejarah FS-USU.

4. Ibu Dra. Junita Setiana Ginting M.Si, selaku Dosen Pembimbing penulis yang telah banyak memberikan bimbingan dan pengarahannya kepada penulis.

5. Bapak Drs. Edi Sumarno, M.Hum, selaku Dosen Wali penulis yang telah memberikan motivasi dalam perkuliahan dan penyelesaian skripsi ini. 6. Seluruh Bapak dan Ibu Staf Pengajar Jurusan Ilmu Sejarah yang telah

(9)

9

Pegawai Jurusan Sejarah B’Ampera yang telah membantu penulis dalam penyelesaian skripsi ini.

7. Bang Eddy Sofyan dan segenap informan yang telah banyak membantu dan memberikan masukan dan bahan-bahan serta data-data yang diperlukan selama dalam penulisan skripsi ini.

8. Teman-teman di Jurusan Ilmu Sejarah terutama stambuk 2005 tanpa terkecuali dan sahabat-sahabatku di Harmonika 16 yang telah menjadi teman berbagi suka dan duka selama ini dan yang telah membantu memberikan dorongan dan motivasi dalam penyelesaian skripsi ini.

Semoga semua kebaikan yang telah penulis terima dibalas oleh Tuhan Yang Maha Kuasa dan penyertaan-Nya senantiasa menyertai kita semua.

Medan, Desember 2009 Penulis

(10)

10

ABSTRAK

Kedatangan etnis Jawa ke Berastagi dipengaruhi oleh beberapa faktor, diantaranya berhubungan dengan akibat dibukanya perkebunan di Karesidenan Sumatera Timur pada tahun 1863. Mereka didatangkan dari daerah-daerah di Pulau Jawa yang sedang mengalami krisis ekonomi. Selain itu juga akibat pengaruh program transmigrasi yang diselenggarakan pada tahun 1950 yang dilakukan terhadap penduduk Pulau Jawa yang padat.

Orang-orang Jawa yang berada di Berastagi sebagian besar bekerja sebagai buruh baik buruhtani, bangunan dansebagainya. Selain itu banyak juga yang berprofesi sebagai pedagang.

Dalam menjalankan kehidupan sehari-harinya,baik sosial, ekonomi maupun budayanya orang-orang Jawa di Berastagi berusaha menyesuaikan diri dengan daerah mereka tersebut. Hal ini dapat terjadi karena mereka dikenal sebagai orang yang lemah lembut dan penurut sehingga mudah untuk diterima oleh lingkungannya.

(11)

11

DAFTAR ISI

Kata Pengantar

Ucapan Terimakasih

Abstrak

Daftar Isi

Daftar Tabel

BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang ………...………....1

1.2 Rumusan Masalah ………..………...6

1.3 Tujuan dan Manfaat Penelitian ………..………...7

1.4 Tinjauan Pustaka ……….……..………8

1.5 Metode Penelitian ………..………..11

BAB II GAMBARAN UMUM DAERAH PENELITIAN 2.1 Letak Geografis ………...14

2.2 Keadaan Demografi...19

2.3 Mata Pencaharian Penduduk…………...21

2.4 Sistem Kepercayaan……….…………....23

2.5 Latar Belakang Kedatangan Etnis Jawa 2.5.1 Masa Perkebunan di Sumatera Timur………..…………...26

(12)

12

BAB III KEHIDUPAN SOSIAL, EKONOMI DAN BUDAYA ETNIS JAWA DI

BERASTAGI

3.1 Mata pencaharian …………..….……...33

3.2 Pola Pemukiman………...37

3.3 Pendidikan………...….38

3.4 Kehidupan Religi...41

3.5 Kehidupan Kesenian...42

3.6 Sistem Kekerabatan Orang Jawa di Berastagi...48

BAB IV HUBUNGAN SOSIAL ETNIS JAWA DI BERASTAGI 4.1 Prinsip Dasar Kehidupan Masyarakat Jawa………...….54

4.2 Pola Hubungan Sosial Etnis Jawa di Berastagi………...……57

4.2.1 Hubungan dengan Penduduk Asli...60

4.2.2 Hubungan dengan Penduduk Etnis Lainnya... 62

4.2.3 Hubungan dengan Penduduk Sesama Etnis Jawa...64

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN 5.1 Kesimpulan………..….………...67

5.2 Saran ………..……...69

Daftar Pustaka

Daftar Informan

(13)

13

DAFTAR TABEL

Tabel 1 Tata Guna Tanah di Kecamatan Berastagi

Tabel 2 Sarana Pendukung Kehidupan Sosial Ekonomi Masyarakat Kecamatan Berastagi

Tabel 3 Distribusi Penduduk Berdasarkan Kelompok Umur Tabel 4 Distribusi Mata Pencaharian Penduduk

(14)

10

ABSTRAK

Kedatangan etnis Jawa ke Berastagi dipengaruhi oleh beberapa faktor, diantaranya berhubungan dengan akibat dibukanya perkebunan di Karesidenan Sumatera Timur pada tahun 1863. Mereka didatangkan dari daerah-daerah di Pulau Jawa yang sedang mengalami krisis ekonomi. Selain itu juga akibat pengaruh program transmigrasi yang diselenggarakan pada tahun 1950 yang dilakukan terhadap penduduk Pulau Jawa yang padat.

Orang-orang Jawa yang berada di Berastagi sebagian besar bekerja sebagai buruh baik buruhtani, bangunan dansebagainya. Selain itu banyak juga yang berprofesi sebagai pedagang.

Dalam menjalankan kehidupan sehari-harinya,baik sosial, ekonomi maupun budayanya orang-orang Jawa di Berastagi berusaha menyesuaikan diri dengan daerah mereka tersebut. Hal ini dapat terjadi karena mereka dikenal sebagai orang yang lemah lembut dan penurut sehingga mudah untuk diterima oleh lingkungannya.

(15)

14

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Masalah

Secara Antropologi Budaya, etnis Jawa adalah orang-orang yang secara turun temurun menggunakan bahasa Jawa, bertempat tinggal di Jawa Tengah dan Jawa Timur serta mereka yang berasal dari daerah-daerah tersebut.1 Semua orang Jawa berbudaya satu dan mempunyai satu orientasi kepada kultur Surakarta dan Yogyakarta sebagai sentra kebudayaan mereka.2

Seorang ahli dan peneliti pada LIPI, Dr. Mochtar Buchori melalui harian Kompas edisi 27 Februari 1982, bahkan pernah menyatakan bahwa ‘…proses Jawanisasi meresap kemana-mana’. Titik tolak tersebut bisa diakui mengingat realitas bahwa sangat sulit mengelakkan bahwasanya Jawa dari segi kebudayaan adalah kata kunci untuk memahami Indonesia.

Eksistensi kebudayaan Jawa dengan segala kesetiaan diikuti oleh masyarakat pendukungnya bahkan sampai di antara mereka yang berdiam di wilayah luar Negara Kesatuan Republik Indonesia sekalipun, seperti di wilayah negara Suriname.

3

Etnis Jawa merupakan etnis yang paling besar jumlahnya di Indonesia dan secara umum banyak mendiami Pulau Jawa. Hal ini lambat laun memunculkan masalah-masalah kependudukan di pulau tersebut ditambah lagi dengan kedatangan

1

Budiono Herusatoto, Simbolisme dalam Budaya Jawa, Yogyakarta: Hanindita Graha Widia, 2000, hal.37.

2

Slamet Sutrisno, Sorotan Budaya Jawa dan yang Lainnya, Yogyakarta: Andi Offset, 1985, hal.11.

3

(16)

15

etnis lainnya yang tentunya dapat menambah masalah kependudukan di pulau tersebut yakni masalah kepadatan penduduk.

Perubahan jumlah penduduk tentunya sangat dipengaruhi oleh faktor-faktor seperti natalitas (kelahiran), mortalitas (kematian), dan migrasi (perpindahan penduduk). Ketiga faktor tersebut dapat dilihat dari tingkat kelahiran, tingkat kematian, komposisi umur dan laju pertumbuhan serta penurunan penduduk.4

Perpindahan orang-orang Jawa ke Pulau Sumatera, khususnya ke Sumatera Timur adalah juga akibat pembukaan perkebunan secara besar-besaran oleh Belanda di wilayah tersebut. Di Tanah Karo pada masa itu tidak dibuka onderdeming-onderdeming asing sehingga tidak memerlukan dan mendatagkan tenaga kerja Jawa dan Cina seperti halnya yang terjadi di daerah onderdeming-onderdeming di Sumatera Timur lainnya. Orang-orang Jawa datang ke Tanah Karo khususnya Berastagi dalam kurun waktu yang telah jauh dari masa tumbuh dan berkembangnya onderdeming-onderdeming di Sumatera Timur tersebut. Dengan alasan serta tujuan Untuk menanggulangi masalah tersebut pemerintah mencanangkan program transmigrasi yakni perpindahan peduduk dari daerah yang padat ke daerah yang jarang penduduknya, yaitu ke luar Pulau Jawa dan salah satunya adalah Pulau Sumatera. Selain itu, migrasi atau perpindahan secara spontan juga dilakukan oleh etnis-etnis Jawa tersebut dalam rangka memperbaiki taraf kehidupan mereka yang telah sangat sulit dilakukan di Pulau Jawa tersebut. Hal ini tentunya akan sangat turut mempengaruhi kepadatan penduduk yang telah menjadi masalah tersebut.

4

(17)

16

yang tentunya telah berbeda dengan mereka yang datang ke daerah Sumatera Timur lainnya.

Dengan adanya pertumbuhan onderdeming-onderdeming tersebut tenaga kerja Jawa akhirnya banyak yang bermukim di daerah-daerah onderdeming di Sumatera Timur tersebut. Tenaga kerja yang pertama kali direkrut untuk keperluan dalam pengerjaan tanah-tanah onderdeming tersebut adalah tenaga kerja etnis Tionghoa yang berasal dari wilayah Penang dan Singapura. Akan tetapi akibat adanya kenaikan biaya migran yang dikenakan terhadap para tenaga kerja yang berasal dari luar negeri tersebut maka lambat laun para pengusaha onderdeming mengambil kebijakan untuk mendatangkan tenaga kerja dari wilayah Pulau Jawa. Selain biaya yang lebih murah tenaga kerja Jawa tersebut juga terkenal penurut sehingga lebih mudah diatur.5

Dari wilayah-wilayah onderdeming di Sumatera Timur ini kemudian orang-orang Jawa tersebut menyebar lagi kedaerah-daerah lainnya yang berada di sekitar wilayah Karesidenan Sumatera Timur tersebut, yakni ke Kisaran, Langkat dan sebagainya.6

Berastagi merupakan daerah yang sangat terkenal dengan kesuburannya sehingga banyak orang ingin memperbaiki taraf kehidupannya ke daerah tersebut. Diperkirakan orang-orang Jawa mulai bermigrasi Ke Berastagi sejak tahun 1950an,

Kehadiran etnis Jawa di Tanah Karo khususnya Berastagi juga tidak terlepas dari pengaruh perkebunan tersebut tetapi bukan pada masa tumbuh dan perkembangannya.

5

Anthony Reid, Perjuangan Rakyat Revolusi dan Hancurnya Kerajaan di Sumatera, Jakarta: Sinar Harapan, 1987, hal.87.

6

(18)

17

sama seperti etnis-etnis perantau lainnya, yakni etnis Batak Toba yang datang ke Berastagi, orang-orang Jawa juga melaksanakan kehidupan ekonomi, sosial, budaya, politik serta bidang-bidang lainnya dalam usaha mempertahankan kelangsungan hidupnya di daerah perantauannya tersebut.

Pada tahun 1935, telah ada juga orang Jawa yang bernama Wagimin yang dikenal sebagai orang Jawa yang pertama kalinya menginjakkan kaki di daerah Berastagi yaitu di daerah Matahari, Desa Rumah Berastagi. Di daerah ini dahulunya diketahui terdapat bangunan Sekolah Rakyat (Sekolah Dasar) yang dibangun oleh sekutu Jepang.

Mengingat tahun kedatangan orang-orang Jawa tersebut pertama kalinya ke Berastagi adalah pada masa kurun waktu penjajahan Belanda di Indonesia khususnya Tanah Karo maka bersama-sama dengan putera-puteri daerah tersebut orang-orang Jawa salah satunya adalah Wagimin juga turut berjuang merebut kemerdekaan dari tangan penjajah Belanda.7

Wagimin beserta keluarganya bermukim di daerah Matahari. Dari keluarga besarnya tersebut kemudian orang-orang Jawa berkembang dan bermukim di daerah Kontribusi mereka tersebut kemudian diabadikan melalui pemberian sebuah nama jalan di Kabanjahe sebagai daerah ibukota kabupaten dengan nama Jalan Wagimin, yakni orang yang pertama kali datang ke daerah Tanah Karo khususnya Berastagi yang juga turut memperjuangkan kemerdekaan.

7

(19)

18

Beraastagi. Lambat laun mereka pun akhirnya mengajak atau menyuruh keluarga mereka lainnya yang berada di daerah asal untuk turut datang ke Berastagi.8

Hal ini mereka lakukan mengingat mudahnya memperoleh penghidupan di daerah baru mereka tersebut. Tanpa modal maupun pendidikan yang tinggi mereka dapat memenuhi kebutuhannya sehari-hari karena mereka dapat bekerja di ladang orang-orang Karo dan langsung dapat memperoleh imbalannya. Untuk memperoleh pekerjaan tersebut mereka hanya perlu mengeluarkan tenaga saja untuk bekerja di ladang. Sehingga tidak memerlukan materi dan pendidikan yang khusus apalagi hasilnya langsung dapat diterima setelah mereka bekerja. Hal ini tentunya sangat menarik perhatian mereka apalagi mengingat sulitnya mereka memperoleh penghidupan yang layak di daerah asal mereka sebelumnya akibat adanya penyakit tanaman dan serangan hama terhadap tanaman mereka sehingga mereka mengalami kesulitan bahan pangan dan ekonomi.9

8

Hasil wawancara dengan Eddy Sofyan pada tanggal 11 September pada pukul 14.40, di Jalan Jamin Ginting Gg. Karya No.36.

9

Hasil wawancara dengan Kemis pada tanggal 10 September pada pukul 15.10, di Jalan Jamin Ginting No. 124.

(20)

19

Penulisan ini difokuskan terhadap pengkajian keberadaan etnis Jawa itu sendiri di Berastagi secara sosial, ekonomi maupun budayanya. Dengan judul

“Kehidupan Sosial, Ekonomi, dan Budaya Etnis Jawa di Berastagi (1968-1986)”.

Tulisan ini akan membahas bagaimana kehidupan sosial, ekonomi dan budaya etnis Jawa yang berada di Kecamatan Berastagi. Adapun periodeisasi yang diberikan terhadap penulisan ini yakni sejak tahun 1968, yaitu sejak mulai kedatangan etnis Jawa ke Berastagi dalam jumlah yang besar akibat program transmigrasi yang dicanangkan oleh pemerintah telah dilaksanakan hingga ke Sumatera Utara. Tahun 1986 menjadi akhir penelitian karena pada tahun ini kehidupan sosial etnis Jawa telah mengalami perkembangan yang pesat yakni melalui organisasi Putera Jawa Kelahiran Sumatera (Pujakesuma) yang mereka bentuk pada tahun tersebut etnis Jawa yang tersebar di seluruh Tanah Karo khususnya Berastagi dapat dikumpulkan dalam satu wadah persatuan kesukuan bagi mereka.

1.2 Rumusan Masalah

(21)

20

Untuk mempermudah penulisan dan dalam upaya menghasilkan penelitian yang objektif maka pembahasannya dirumuskan terhadap masalah-masalah sebagai berikut:

1. Bagaimanakah gambaran umum Kecamatan Berastagi?

2. Bagaimanakah kehidupan ekonomi etnis Jawa di Berastagi (1968-1986)? 3. Bagaimanakah kehidupan budaya etnis Jawa di Berastagi (1968-1986)? 4. Bagaimanakah kehidupan sosial etnis Jawa di Berastagi (1968-1986)?

1.3 Tujuan dan Manfaat Penelitian

1.3.1 Tujuan Penelitian

Masa lampau manusia memang tidak dapat ditampilkan kembali dan direkonstruksi seutuhnya. Namun, rekonstruksi kehidupan manusia tersebut perlu dipelajari sebagai aktifitas kehidupan manusia di masa lampau yang diharapkan mampu memberikan suatu pelajaran bagi kehidupan manusia di masa kini dan masa yang akan datang. Hal ini dikarenakan sejarah mampu memberikan dan menjadi pelajaran bagi manusia untuk tidak melakukan kesalahan yang sama pada masa lampau di masa kini dan di masa yang akan datang.

(22)

21

1.3.2 Manfaat Penelitian

Setiap penulisan diharapkan akan mampu memberi manfaat kepada khalayak umum maupun suatu kelompok tertentu. Demikian pula halnya dengan penulisan ini diharapkan akan mampu memberikan manfaat sebagai berikut:

1. Diharapkan akan memperkaya penelitian di bidang sosial khususnya ilmu sejarah

2. Diharapkan akan memberikan pengetahuan yang luas terhadap masyarakat mengenai keberadaan etnis Jawa di Berastagi.

1.4 Tinjauan Pustaka

Mengenai Kecamatan Berastagi dan etnis Jawa sendiri telah pernah ditulis, akan tetapi masih sangat minim jumlahnya sehingga masih sangat sedikit diketahui oleh khalayak umum. Oleh sebab itu, penulisan ini diharapkan juga akan mampu memberikan sumbangan atas permasalahan tersebut. Dengan melakukan tinjauan pustaka terlebih dahulu terhadap sumber-sumber yang mendukung penelitian ini. Baik yang memuat segala hal yang berhubungan dengan etnis Jawa dan kota Berastagi secara khusus maupun Tanah Karo secara umum.

(23)

22

serta didukung sistem kekerabatan yang masih kuat, pasca revolusi ekonomi masyarakat ini telah begitu tinggi dibandingkan dengan masyarakat lainnya. Dan kini mereka tidak hanya dikenal sebagai petani saja tetapi telah banyak yang beralih menjadi pedagang dan pengusaha dalam berbagai sektor. Aktivitas ekonomi khususnya dalam bidang pertanian yang sangat besar tersebut telah mampu membuat orang-orang Karo memperoleh kehidupan yang layak. Hal ini tentunya sangat menarik perhatian dan keinginan orang-orang di luar orang Karo sendiri untuk juga turut merasakannya. Demikian pula halnya orang-orang Jawa yang tidak dapat lagi memperoleh kehidupan yang layak di daerah asal mereka masing-masing. Sehingga memaksa mereka untuk mencari daerah baru yang mampu mendukung mereka dalam memperbaiki taraf kehidupannya tersebut. Tanah Karo khususnya Berastagi saat itu telah menjadi sebuah daerah pertanian dan perdagangan hasil pertanian yang telah maju dengan pesat dan banyak dikenal orang. Berastagi pun tumbuh sebagai pusat produksi pertanian untuk komersialisasi dan tempat pasar antar daerah dan akhirnya meraih keuntungan ekonomi yang sangat besar.10

Dalam skripsinya, Indrawaty B, yang berjudul “Perkembangan Sosial Ekonomi Aron di Berastagi (Tahun 1950-1980)” menjelaskan bahwa Berastagi merupakan suatu daerah yang terletak di bawah kaki pegunungan Bukit Barisan yang sangat cocok untuk daerah pertanian karena hawa di daerah tersebut sangat sejuk dan Kenyataan inilah yang dilihat oleh orang-orang di luar orang-orang Karo sehingga ingin turut berpartisipasi dalam kegiatan perekonomian tersebut termasuk oleh orang-orang Jawa.

10

(24)

23

mendukung untuk bercocok tanam atau sebagai daerah pertanian, sehingga banyak orang datang ke daerah tersebut untuk mencari pekerjaan.11

Resta Sitorus, dalam skripsinya yang berjudul “Adaptasi Sosial Budaya Etnis Jawa dengan Batak Toba di Kelurahan Lumban Dolok Kecamatan Balige (1970-1990)” mengungkapkan bahwa suku Jawa dikenal sebagai suku yang selalu berpindah-pindah baik secara spontan maupun karena diarahkan dan pada saat ini mereka telah menempati sebagian besar wilayah penjuru tanah air ini, bahkan telah ada yang menetap di luar negara kesatuan Indonesia. Orang Jawa dapat dijumpai di berbagai daerah, baik daerah yang diukur secara administratif kecil, sedang maupun besar. Pada mulanya diperkirakan orang Jawa yang merantau ke Balige adalah pada masa diadakannya program transmigrasi yakni pada tahun 1965 dan berasal dari daerah di Jawa Timur. Kedatangan orang-orang Jawa ke Balige adalah dalam bentuk kelompok kecil dan sudah berkeluarga.

Hal ini tentunya sangat berkaitan dengan alasan kedatangan etnis Jawa ke Berastagi tersebut karena mereka ingin memperbaiki taraf kehidupannya yang telah sulit untuk mereka peroleh di daerah asal mereka sebelumnya.

12

11

Indrawaty B, “Perkembangan Sosek Aron di Berastagi (Tahun 1950-1980)” Skripsi S-1, Medan: Universitas Sumatera Utara, 1987, hal.18.

(25)

24

besar mereka datang pada masa diadakannya program transmigrasi. Perbedaannya adalah bahwa mereka sebagian besar berasal dari daerah Jawa Tengah. Kedatangan mereka ke Berastagi juga dalam bentuk kelompok kecil dan sudah berkeluarga.

Dalam bukunya yang berjudul “Wong Jawa di Sumatera Sejarah, Budaya, Filosofi & Interaksi Sosial", Drs. H. Kasim Siyo,dkk menyatakan bahwa orang-orang Jawa didatangkan ke daerah Sumatera Utara pada masa Hindia Belanda, tepatnya pada masa tumbuh dan berkembangnya onderdeming-onderdeming Belanda dan bangsa-bangsa asing Eropa lainnya untuk dijadikan sebagai pekerja dalam perkebunan-perkebunan tersebut. Mereka didatangkan dari kampung-kampung miskin di Jawa yang sedang mengalami paceklik, melalui werk atau agen pencari kuli dengan menggoda mereka agar mau bekerja ke Sumatera.13

12

Resta Sitorus, “Adaptasi Sosial Budaya Etnis Jawa dengan Batak Toba di Kelurahan Lumban Dolok Kecamatan Balige (1970-1990)” Skripsi S-1, Medan: Universitas Sumatera Utara: 1997, hal.28.

13

Kasim Siyo, dkk, Wong Jawa di Sumatera Sejarah, Budaya, Filosofi & Interaksi Sosial, Medan: Pujakesuma, 2008, hal.73.

Buku ini sangat berguna dalam penulisan ini karena memberikan suatu gambaran mengenai sejarah latar belakang kedatangan orang-orang Jawa ke Sumatera terutama ke Sumatera Timur.

1.5 Metode Penelitian

(26)

25

Langkah pertama yang dilakukan adalah dengan heuristik (mengumpulkan data/sumber-sumber yang sesuai dan mendukung objek yang ditulis), baik dengan menggunakan metode penelitian kepustakaan/studi literatur maupun dengan penelitian lapangan/studi lapangan. Penelitian kepustakaan dilakukan dengan mengumpulkan buku, artikel-artikel, skripsi maupun karya-karya tulis ilmiah lainnya yang telah pernah ditulis sebelumnya yang berkaitan dengan permasalahan yang sedang dikaji. Adapun penelitian lapangan dilakukan dengan menggunakan metode wawancara terhadap informan-informan yang dianggap mampu memberikan informasi yang dibutuhkan dalam penulisan ini, baik terhadap informan yang ber-etnis Jawa sendiri maupun informan yang ber-ber-etnis non Jawa di daerah yang ditulis tersebut.

Langkah kedua yang dilakukan adalah kritik. Dalam tahapan ini, kritik dilakukan terhadap sumber yang telah terkumpul untuk mencari kesahihan sumber tersebut baik dari segi substansial (isi), yakni dengan cara menganalisis sejumlah sumber tertulis misalnya buku-buku atau dokumen yang berkaitan dengan etnis Jawa, kritik ini disebut dengan kritik intern. Disamping itu juga dilakukan kritik dari segi materialnya untuk mengetahui keaslian atau palsu kah sumber tersebut agar diperoleh keotentikannya, kritik ini disebut dengan kritik ekstern.

(27)

26

yang objektif. Dengan kata lain, tahap ini dilakukan dengan menyimpulkan kesaksian atau data/ informasi yang dapat dipercaya dari bahan-bahan yang ada untuk diceritakan kembali.

(28)

27

BAB II

GAMBARAN UMUM DAERAH PENELITIAN

2.1 Letak Geografis

Berastagi merupakan sebuah kecamatan yang berada di Kabupaten Karo, Provinsi Sumatera Utara. Jarak Kecamatan ini dengan pusat pemerintahan kabupaten sendiri yakni Kabanjahe adalah 10 km, dengan ibukota provinsi yakni Medan adalah 65 km. Sementara jarak ke desa/kelurahan yang terjauh adalah 9 km.

Secara administratif Kecamatan Berastagi terdiri dari 5 desa swasembada yakni Desa Doulu, Desa Sempa Jaya, Desa Rumah Berastagi, Desa Guru Singa dan Desa Raya serta 4 daerah kelurahan yakni Kelurahan Gundaling I, Kelurahan Gundaling II, Kelurahan Tambak Lau Mulgap I dan Kelurahan Tambak Lau Mulgap II. Serta mempunyai batas-batas wilayah sebagai berikut:

1. sebelah Utara berbatasan dengan Kabupaten Deli Serdang 2. sebelah Selatan berbatasan dengan Kecamatan Kabanjahe 3. sebelah Barat berbatasan dengan Kecamatan Simpang Empat 4. sebelah Timur berbatasan dengan Kecamatan Tiga Panah

Kecamatan Berastagi terletak di daerah dataran tinggi dengan ketinggian 375 m dari permukaan laut dengan curah hujan berkisar antara 2000-2500/tahun dan suhu maksimumnya adalah 22º Celcius sedangkan suhu minimum adalah 16º Celcius.14

14

Kantor Kecamatan Berastagi Tahun 1986

(29)

28

mungkin. Luas keseluruhan daerah Kecamatan Berastagi adalah 3050 Ha, yang terdiri dari areal pemukiman penduduk, perladangan/persawahan, pariwisata, bangunan umum, dan lain lain. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada tabel di bawah ini.

Tabel 1

Tata Guna Tanah Berastagi Tahun 1986

No Tata Guna Tanah Luas (Ha)

1 Sawah/perladangan 2100

2 Pemukiman 700

3 Bangunan Umum 80

4 Pariwisata 70

5 Pekuburan 5

6 Lain-lain 95

Sumber: Kantor Kecamatan Berastagi tahun 1986

Dari tabel diatas dapat kita lihat bahwa areal perladangan/persawahan merupakan areal yang paling luas. Adapun areal perladangan tersebut banyak ditanami dengan tanaman buah-buahan seperti jeruk dan sayur-sayuran terutama kol, wortel, bawang prei, daun sop, dan lain-lain. Areal persawahan banyak digunakan untuk menanami padi dan sayur-sayuran air seperti selada air (kurmak), selada, daun sop dan sebagainya yang memerlukan pengairan yang cukup besar sehingga sangat cocok dibudidayakan di daerah persawahan.

(30)

29

penduduk pun semakin bertambah jumlahnya seiring dengan bertambahnya jumlah penduduk tersebut. Peralihan fungsi lahan pada akhirnya juga terjadi untuk menanggulangi masalah tersebut misalnya lahan yang sebelumnya digunakan sebagai lahan pertanian diubah menjadi areal pemukiman, lahan yang sebelumnya kosong atau bahkan masih berupa hutan semak belukar dibuka menjadi areal perladangan dan bahkan untuk daerah pemukiman bagi penduduk dan sebagainya.

Berastagi merupakan salah satu daerah penghasil tanaman pertanian terbesar di Tanah Karo sehingga untuk menunjang hal tersebut pemerintah setempat membuka pasar-pasar atau yang lebih dikenal dengan pajak baik pajak umum maupun pajak sayur sebagai tempat masyarakat baik petani maupun pedagang melaksanakan aktivitas ekonominya memperjual-belikan hasil pertanian tersebut. Pajak atau pasar ini umumnya tidak hanya digunakan oleh masyarakat di Kecamatan Berastagi saja akan tetapi juga sering dikunjungi oleh masyarakat dari luar kecamatan tersebut atau bahkan dari luar kota seperti Medan, Kabanjahe, Sibolangit, Pancur Batu dan sebagainya dalam usaha membeli ataupun menjual barang-barang hasil pertanian dari dan ke daerah tersebut.15

Berastagi juga merupakan salah satu daerah yang memiliki potensi untuk pengembangan daerah pariwisata yang besar maka lahan di Berastagi juga banyak diperuntukkan sebagai lahan pengembangan daerah pariwisata serta bangunan-bangunan umum yang mendukung kegiatan tersebut serta kegiatan-kegiatan ekonomi

15

(31)

30

lainnya. Sehingga pembangunan sarana-sarana umum sudah meningkat sehingga taraf kehidupan sosial ekonomi masyarakat di kecamatan tersebut juga turut meningkat.

Berastagi sebagai daerah pariwisata terbesar di Tanah Karo juga telah terkenal hingga ke daerah-daerah lainnya di Provinsi Sumatera Utara ini. Hal ini terjadi mengingat bahwa Berastagi merupakan daerah yang berhawa sejuk dengan potensi ataupun kekayaan alam yang sangat besar sehingga sangat menarik minat para wisatawan untuk mengunjunginya. Hal ini tentunya turut menyumbangkan pendapatan yang besar bagi daerah tersebut. Untuk itu, pemerintah setempat berusaha menyeimbangkannya dengan menyediakan fasilitas atau sarana dan prasarana yang cukup dalam bidang kepariwisataan tersebut, yakni dengan membangun hotel/losmen/penginapan, restoran/rumah makan, toko souvenir/cenderamata, dan keamanan serta kenyaman di daerah tersebut khususnya di daerah yang menjadi objek atau Daerah Tujuan Wisata (DTW).

Pengangkutan juga merupakan hal yang diperhatikan oleh pemerintah daerah setempat karena sarana pengangkutan tersebut sangat mendukung dan mempengaruhi para penduduk dalam melaksanakan aktifitasnya baik dalam aktifitas ekonomi maupun sosialnya. Selain itu sarana pengangkutan sangat mempengaruhi kehidupan kepariwisataan di daerah tersebut sebagai alat gerak menuju Daerah Tujuan Wisata yang hendak dikunjungi oleh para wisatawan.

(32)

31

[image:32.612.148.492.191.600.2]

bank, pos dan giro, pertamina (SPBU), stasiun/terminal,dan sebagainya. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada tabel berikut ini.

Tabel II

Sarana Pendukung Kehidupan Sosial Ekonomi Masyarakat Kecamatan Berastagi

No Sarana Pendukung Kehidupan Sosial Ekonomi Jumlah

1 Pasar Umum 1 buah

2 Perusahaan Air Minum 1 buah

3 Perusahaan Listrik Negara 1 buah

4 Puskesmas 1 buah

5 Sekolah 18 buah

6 Rumah Ibadah 11 buah

7 Telepon Umum 3 buah

8 Bank 3 buah

9 Pos dan Giro 1 buah

10 Pertamina/SPBU 1 buah

11 Stasiun/Terminal 1 buah

12 Angkutan 56 buah

13 Toko Souvenir/Cenderamata 5 buah

14 Hotel/Losmen/Penginapan 25 buah

15 Rumah Makan/Restoran 40 buah

(33)

32

2.2 Keadaan Demografi

Penduduk Berastagi mayoritas adalah suku Karo dan bahasa yang digunakan dalam pergaulan sehari-hari adalah bahasa Karo. Selain itu ada juga suku Batak Toba, Jawa, Aceh, Nias, Tionghoa dan sebagainya sebagai etnis/suku pendatang. Suku Jawa merupakan suku pendatang terbanyak kedua setelah suku Batak Toba. Umumnya mereka bekerja sebagai pedagang dan dalam sektor informal lainnya seperti buruh tani, buruh bangunan dan sebagainya.

Berdasarkan sensus penduduk tahun 1986 penduduk Berastagi terdiri dari 10584 kepala keluarga, dengan jumlah penduduk 45060 jiwa, masing-masing terdiri dari laki-laki 26813 jiwa dan perempuan 18247 jiwa.16

No

[image:33.612.190.451.435.645.2]

Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada tabel di bawah ini.

Tabel III

Penduduk Berdasarkan Kelompok Umur

Kelompok Umur Jumlah

1 0-6 Tahun 6478 orang

2 7-12 Tahun 4981 orang

3 13-18 Tahun 5781 orang

4 19-30 Tahun 8968 orang

5 31-45 Tahun 7416 orang

6 46-59 Tahun 5987 orang

7 60 Tahun keatas 5449 orang

Sumber: Kantor Kecamatan Berastagi, 1986

16

(34)

33

Dari tabel dapat dilihat bahwa jumlah penduduk yang paling banyak adalah yang berusia 19-30 tahun. Akan tetapi, pada kenyataannya kecamatan ini lebih banyak dihuni oleh penduduk yang berusia 31-45 tahun ke atas serta anak-anak. Hal ini terjadi karena penduduk yang berusia produktif, yakni yang berusia antara 19-30 tahun sebagian besar meneruskan pendidikannya dan mencari pekerjaan ke luar kota, misalnya ke Medan, Jakarta, Bandung, Pulau Batam, bahkan ke Malaysia.

Mereka ingin mencari kehidupan yang lebih baik tanpa harus bekerja di ladang yang dianggap sangat melelahkan. Terlebih lagi karena mereka rata-rata telah memiliki ijazah dengan pendidikan yang tinggi. Pekerjaan yang umumnya mereka lakukan di daerah perantauannya tersebut adalah bekerja di perusahaan-perusahaan, di pabrik, mendirikan usaha sendiri (wiraswasta) misalnya dalam bidang perdagangan dan sebagainya. Hasil yang mereka peroleh selama di perantauan tersebut mereka kumpulkan dan mereka kemudian berkumpul lagi dengan keluarganya pada hari-hari besar seperti Natal, Tahun Baru, Lebaran, Pesta Tahunan,17

17

Pesta tahunan adalah pesta yang diadakan sekali setahun. Pada mulanya dilakukan pada masa sesudah panen padi untuk menyampaikan ucapan syukur kepada Tuhan atas hasil panen tersebut. Pada pesta ini semua keluarga baik yang jauh maupun yang dekat umumnya datang berkunjung. Akan tetapi sekarang pesta tahunan sudah merupakan tradisi di setiap desa-desa di Tanah Karo. Pesta ini merupakan salah satu warisan budaya nenek moyang masyarakat Karo.

dan sebagainya. Setelah

(35)

34

2.3 Mata Pencaharian Penduduk

Pada umumnya mata pencaharian utama masyarakat Karo adalah bertani. Hal ini disebabkan lahan pertanian yang sangat subur, sehingga menjadikan Tanah Karo sebagai daerah penghasil tanaman pertanian khususnya sayur-mayur yang terbesar di Sumatera Utara. Demikian pula halnya dengan daerah Kecamatan Berastagi, sebagian besar penduduknya bekerja sebagai petani khususnya bagi mereka yang tinggal dan memiliki lahan pertanian di daerah pedesaan, seperti di Desa Doulu, Desa Sempa Jaya, Desa Rumah Berastagi, Desa Raya dan Desa Guru Singa. Hal ini terjadi mengingat bahwa di daerah pedesaan tersebut sebagian besar masih berupa lahan-lahan pertanian sehingga sangat mendukung bagi para penduduk untuk mengusahakannya dengan menanami tanaman-tanaman pertanian atau bertani.

(36)
[image:36.612.157.483.134.502.2]

35 Tabel IV

Distribusi Mata pencaharian Penduduk

No Jenis Mata pencaharian Jumlah

1 Petani Pemilik Tanah 8763 orang

2 Petani Penggarap Tanah 7351 orang

3 Buruh Tani 2052 orang

4 Pengusaha Sedang/Besar 731 orang

5 Pengrajin/Industri Kecil 811 orang

6 Buruh Industri 143 orang

7 Buruh Bangunan 293 orang

8 Pedagang 2011 orang

9 Pengangkutan 771 orang

10 Pegawai Negeri Sipil 517 orang

11 ABRI 471 orang

12 Pensiunan (Pegneg/ABRI) 372 orang

Sumber: Kantor Kecamatan Berastagi Tahun 1986

(37)

36

tanah pertanian tersebut. Buruh tani ini sering juga disebut dengan aron.18

18

Aron adalah orang-orang upahan atau yang digaji di dalam sektor pertanian. Pada mulanya aron ditujukan kepada masyarakat Karo sendiri yaitu mereka yang membentuk kelompok yang terdiri dari 4-8 orang, mereka bekerja di ladang anggotanya secara bergantian tanpa mendapatkan upah. Akan tetapi setelah kedatangan suku Tapanuli, istilah ini kemudian ditujukan kepada mereka karena banyak diantara mereka yang bekerja sebagai tenaga upahan pada lahan-lahan pertanian orang-orang Karo.

Aron ini biasanya adalah mereka yang datang dari daerah Tapanuli atau yang bersuku Batak Toba.

2.4 Sistem Kepercayaan

Sebelum kedatangan agama Kristen Protestan, Katholik,dan Islam ke Tanah Karo, masyarakat telah mengenal satu bentuk kepercayaan kepada kekuatan-kekuatan di luar dirinya, baik kepada roh-roh nenek moyang maupun benda-benda yang dianggap keramat. Dari zaman dahulu, masyarakat Karo memang telah mempunyai suatu keyakinan bahwa batu-batu besar, gunung, laut, pohon-pohon besar dan sebagainya bisa mendatangkan rezeki dan kebahagiaan bagi mereka.

(38)
[image:38.612.169.472.135.311.2]

37 Tabel V

Distribusi Penduduk Berdasarkan Agama

No Agama Jumlah

1 Kristen Protestan 20198 orang

2 Kristen Katholik 10593 orang

3 Islam 3537 orang

4 Budha 2980 orang

5 Aliran Kepercayaan 305 orang

Sumber: Kantor Kecamatan Berastagi, 1986

Dari tabel di atas dapat dilihat bahwa masyarakat Kecamatan Berastagi menganut agama yang berbeda-beda. Agama Kristen Protestan merupakan agama yang paling banyak dianut oleh penduduk Kecamatan Berastagi baik yang beretnis Karo maupun Batak Toba. Agama Islam umumnya dianut oleh pendatang yang beretnis Jawa maupun suku Karo sendiri. Sementara Agama Budha umumnya dianut oleh penduduk yang beretnis Tionghoa.

(39)
[image:39.612.171.473.139.265.2]

38 Tabel VI

Sarana Rumah Ibadah di Kecamatan Berastagi

No Sarana Ibadah Jumlah

1 Gereja 12 buah

2 Masjid 8 buah

3 Vihara 1 buah

Sumber: Kantor Kecamatan Berastagi, 1990

Jadi setelah masuknya agama ke tengah-tengah kehidupan masyarakat Karo khususnya di Kecamatan Berastagi, maka secara otomatis kepercayaan lama/tradisional semakin lama semakin berkurang. Masyarakat semakin percaya adanya Tuhan Yang Maha Kuasa, yang mencipatakan langit dan bumi dan segala sesuatunya. Mereka semakin beranggapan bahwa Tuhan itu bukan berasal dari batu-batu besar, kayu besar, gunung, dan laut. Tetapi yang mengetahui asal-usul seluruh alam semesta beserta isinya. Demikian juga halnya dengan upacara tradisional seperti

seluk19 dan ercibal20

19

Seluk adalah suatu bentuk upacara tradisional yang sering juga disebut dengan kurumah

begu (hantu) nenek moyang atau kerabat kita datang ke rumah. Biasanya untk memanggilnya mereka

akan terlebih dahulu pergi ercibal ke suatu tempat yang dianggap keramat. Sepulang dari sana mereka mengadakan pesta dan menari-nari dan melompat-lompat seperti orang kerasukan. Seluk ini dilakukan apabila diantara mereka menginginkan sesuatu yang sudah lama dipendam tapi belum juga didapat.

20

Ercibal adalah meletakkan sesuatu di tengah jalan, di tepi sungai, di batu besar atau di kayu besar misalnya: sirih, kelapa muda, cimpa (makanan khas Karo yang terbuat dari tepung dan gula merah) dengan harapan bahwa orang yang disembahnya itu akan memakannya dan keinginannya akan tercapai/terwujud.

(40)

39

Pengaruh agama terhadap kehidupan penduduk memang sangat besar, baik mengenai ketentuan kepribadian, perseorangan, maupun yang berhubungan dengan kemasyarakatan seperti halnya dalam pelaksanaan upacara-upacara tertentu.21

Pada awalnya tenaga kerja di perkebunan ini direkrut dari daerah Penang dan Singapura dan merupakan etnis Tionghoa. Gelombang perpindahan buruh Cina ke Tanah Deli akhirnya pun menjadi sangat ramai sejak tahun 1850-1930. Akan tetapi, seiring dengan perkembangan situasi di perkebunan-perkebunan tersebut yang semakin besar membuat para pengusaha perkebunan mengalihkan perhatiannya terhadap buruh Jawa yang direkrut langsung dari daerah Jawa. Hal ini juga karena semakin mahalnya bea imigran yang dikenakan bagi buruh-buruh Cina yang didatangkan dari luar negeri tersebut.

2.5 Latar Belakang Kedatangan Etnis Jawa

2.5.1 Masa Perkebunan di Sumatera Timur

Pembukaan lahan perkebunan di daerah Sumatera Timur yang diprakarsai oleh Nienhuys pada tahun 1863 telah membawa perubahan yang amat besar di kawasan tersebut serta bagi daerah di sekitarnya. Hal ini dapat dilihat dengan semakin banyaknya muncul usaha-usaha penanaman modal bagi usaha-usaha perkebunan tersebut, munculnya tenaga kerja, komoditi perkebunan, dan sebagainya. Tenaga kerja pun muncul dalam usaha pengerjaan lahan-lahan perkebunan tersebut.

22

21

Tengku H. M. Husni, Lintasan Sejarah Peradaban dan Kebudayaan Penduduk Melayu

Pesisir Deli Sumatera Timur 1612-1950, Medan: BP. Husni, 1975, hal.17. 22

(41)

40

Tanah Karo umumnya dan Berastagi pada khususnya saat itu merupakan bagian dari Sumatera Timur yang berbentuk sebuah afdeling bersama dengan daerah Simalungun, yang diberi nama Afdeling Simalungun en Karolanden.23

Pada tahun 1930, kira-kira setelah 60 tahun setelah dibukanya perkebunan onderdeming-onderdeming jumlah penduduk asli di Sumatera Timur di semua wilayah administratif yang utama telah mampu dilampaui oleh pendatang-pendatang dari luar, terkecuali dataran tinggi Karo. Hal ini terjadi akibat adanya pemahaman dan pengamatan mereka terhadap saudara-saudara sesama mereka orang-orang Karo yang berada di daerah Sumatera Timur lainnya seperti di Langkat, Deli, Serdang dan sebagainya yang menyewakan tanahnya kepada onderdeming-onderdeming asing tersebut.

Ekspansi perkebunan tersebut sangat besar pengaruhnya terhadap pertumbuhan, penyebaran dan komposisi penduduk di Sumatera Timur karena dalam waktu yang relatif singkat penduduk asli telah mampu dilampaui jumlahnya oleh buruh Cina dan Jawa.

24

23

Anthony Reid, Op. Cit, hal 82.

24

Wara Sinuhaji, Op. Cit, hal 80-81.

(42)

41

Dengan kenyataan itu, maka orang-orang Karo di dataran tinggi Karo mengisolasi diri terhadap pengaruh-pengaruh bangsa asing dan cenderung lebih suka mengikuti orang-orang Karo yang berada di dataran rendah Sumatera Timur. Akan tetapi mereka juga telah mulai menyambut baik kesesmpatan-kesempatan ekonomi baru, seperti menanam lada untuk diekspor ke Penang. Lambat laun bukan hanya menanam lada lagi melainkan juga sayur-sayuran dan bunga-bungaan yang mampu menghidupkan suatu pasaran besar di daerah perkebunan Sumatera Timur dan juga di seberang Selat Malaka, yakni di daerah Penang, Singapura dan kota-kota di pedalaman Semenanjung Malaya.25

Kenyataan ini akhirnya mengubah pola pikir orang-orang Karo sehingga mereka mulai membuka diri terhadap pengaruh dan nilai-nilai Barat sejak dasawarsa pertama abad ke-20. Hal ini membuat Kabanjahe dan Berastagi akhirnya tumbuh menjadi kota administratif pemerintahan dan perdagangan di kawasan tersebut. Berastagi pun tumbuh sebagai pusat produksi pertanian untuk komersialisasi dan tempat pasar antar daerah dan akhirnya meraih keuntungan ekonomi yang sangat besar.26

Keuntungan ekonomi yang sangat besar tersebut membuat banyak orang-orang di luar orang-orang Karo yang ingin datang ke Berastagi untuk menikmati pertumbuhan yang mulai dirasakan di Berastagi tersebut. Padahal sebelumnya, migrasi etnis lain hampir tidak pernah terjadi secara besar-besaran ke daerah tersebut. Hal ini terjadi karena tidak dibukanya onderdeming asing di daerah tersebut yang

25

Ibid, hal.81. 26

(43)

42

tentunya akan sangat membutuhkan dan banyak menyerap orang-orang asing sebagai tenaga kerja di onderdeming tersebut.

Adapun orang-orang di luar orang-orang Karo tersebut adalah etnis Tapanuli yang datang dari daerah Tapanuli, etnis Cina yang berasal dari daerah Penang dan Singapura serta etnis Jawa yang berasal dari daerah Pulau Jawa akan tetapi sebelumnya telah lama bermukim di daerah-daerah perkebunan di Sumatera Timur ketika pembukaan onderdeming-onderdeming Barat berkembang pesat.

Etnis Tapanuli dan Jawa datang dengan tujuan memperbaiki taraf kehidupan mereka yang tidak dapat mereka peroleh sebelumnya di daerah asal mereka. Akan tetapi, akibat adanya prinsip dalam masyarakat Karo tidak akan menyerahkan tanahnya kepada siapapun dan pihak manapun maka pada awal kedatangannya ke Tanah Karo khususnya Berastagi, mengingat Berastagi telah tumbuh sebagai daerah pertanian maka usaha mempertahankan atau memenuhi kebutuhan hidup banyak dilakukan di sektor pertanian baik oleh penduduk asli maupun mereka yang datang kemudian. Akan tetapi, kedua etnis tersebut tidak lantas memiliki tanah pertanian untuk mereka usahakan sebagai sumber penghasil ekonomi mereka. Sehingga agar tetap mampu bertahan di daerah mereka yang baru tersebut kebanyakan dari mereka bekerja secara upahan pada orang-orang Karo pemilik tanah pertanian tersebut.

(44)

43

sulit bagi mereka mengingat sebelumnya di daerah perkebunan Sumatera Timur lainnya mereka pernah bekerja sebagai tenaga upahan atau buruh.

Adapun kebanyakan orang-orang Jawa yang datang ke Berastagi adalah mereka yang sebelumnya telah lama bermukim di daerah bekas perkebunan di Sumatera Timur dan mencoba mencari peruntungan kehidupan yang lebih baik di Berastagi yang telah terkenal dengan kemakmurannya tersebut. Akan tetapi periode kedatangan mereka tersebut tidak terjadi pada periode pembukaan onderdeming-onderdeming di Sumatera Timur sedang tumbuh pesat melainkan setelah periode penutupan onderdeming-onderdeming tersebut. Hal ini telah dikemukakan sebelumnya bahwa di Berastagi umumnya Tanah Karo tidak pernah dibuka onderdeming-onderdeming Barat sehingga migrasi etnis pun jarang terjadi.

(45)

44

2.5.2 Masa Pasca Kemerdekaan

Proklamasi kemerdekaan Indonesia telah membawa banyak perubahan bagi kehidupan bangsa dan Negara Indonesia secara keseluruhan. Indonesia menjadi bebas dan berhak menentukan nasib bangsanya sendiri tanpa harus ada campur tangan dari bangsa-bangsa lain. Segala urusan yang menyangkut kehidupan berbangsa dan bernegara tersebut diatur dalam Pancasila dan Undang-Undang Dasar bangsa Indonesia. Kemakmuran dan keadilan bagi seluruh warga Negara Indonesia diupayakan semerata mungkin mulai dari Sabang sampai Merauke, termasuk juga mengenai pemerataan penduduk.

Pada awal kemerdekaan, kehidupan bangsa dan Negara Indonesia masih belum stabil karena masih banyaknya tantangan yang harus dihadapi dalam upaya mempertahankan kemerdekaan tersebut baik yang datang dari luar maupun dari dalam bangsa Indonesia itu sendiri. Demikian pula halnya dengan keadaan warga ataupun penduduk Indonesia tersebut belum merata dan sebagian besar masih bertumpu di Pulau Jawa, demikian pula halnya dengan kegiatan pemerintahan senantiasa berpusat di daerah-daerah Pulau Jawa.

Pada tahun 1950, pemerintah mencanangkan program transmigrasi untuk memeratakan penduduk ke seluruh wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia demi mengatasi permasalahan tersebut.27

27

M. Amral Sjamsu, Dari Kolonisasi ke Transmigrasi 1905-1955, Jakarta: Djambatan, 1960, hal.78-81.

(46)

45

dalam hal ini Sumatera Utara. Daerah di Sumatera Utara yang banyak menjadi tujuan para transmigran tersebut adalah daerah Kisaran atau Kabupaten Labuhan Batu secara umumnya. Dari daerah ini lah, para transmigran tersebut kembali lagi berpencar ke daerah-daerah lainnya di Sumatera Utara. Salah satunya adalah Berastagi, di Kabupaten Karo.

(47)

46

BAB III

KEHIDUPAN SOSIAL, EKONOMI DAN BUDAYA ETNIS JAWA

DI BERASTAGI

3.1 Mata Pencaharian

Berastagi merupakan daerah yang sangat subur dan sejuk serta disertai dengan kekayaan alam yang melimpah sehingga sangat memungkinkan untuk melakukan berbagai aktifitas kehidupan seperti pertanian maupun pariwisata. Kedua aktifitas kehidupan tersebut menjadi sektor perekonomian yang sangat menonjol di daerah tersebut. Sektor pertanian umumnya banyak dikelola oleh para penduduk asli yang beretnis Karo dan Batak Toba demikian juga halnya dengan sektor pariwisata senantiasa juga dikelola oleh penduduk asli sendiri di bawah naungan pemerintah daerah. Sektor perdagangan banyak dikelola oleh penduduk beretnis Tiong Hoa dan kemudian oleh penduduk asli etnis Karo.

Orang Karo senantiasa memegang peranan dalam setiap sektor perekonomian. Hal ini terjadi karena makmurnya Berastagi sangat menggiurkan bagi banyak orang untuk mengecap kemakmurannya tersebut sehingga banyak orang berusaha untuk datang ke Berastagi. Hal ini tentunya menimbulkan suatu kekuatiran bagi penduduk asli, yakni orang-orang Karo bahwa suatu saat akan tergeser kedudukannya sebagai penduduk asli ataupun pemilik daerah tersebut.

(48)

47

Toba bekerja pada lahan yang dimiliki oleh orang Karo tersebut sebagai aron maupun bekerja di lahan yang telah disewanya dari orang Karo tersebut sebagai pemilik lahan dengan menanami lahan tersebut dengan tanaman-tanaman sayuran dalam jangka waktu yang telah disepakati bersama dalam surat perjanjian sewa lahan tersebut. Orang Tiong Hoa umumnya bekerja sebagai pedagang di pusat kota dengan ukuran dagang yang telah besar, seperti membuka toko pupuk dan obat-obatan pertanian, toko barang-barang dagangan kelontong atau kebutuhan sehari-hari, toko pakaian dan sebagainya.

Masyarakat Jawa yang masih tradisional baik bagi mereka yang bertempat tinggal di pedesaan maupun perkotaan jarang memikirkan hakekat kerja dan usaha. Mereka hanya tahu bahwa mereka harus terus berikhtiar dan bekerja. Bekerja merupakan suatu keharusan dalam mempertahankan hidup. Karena itu, bagi mereka dikenal istilah ngupaya upa, yang berarti bekerja hanya untuk mencari makan. Akan tetapi seiring dengan berjalannya waktu dan perkembangan zaman yang sangat cepat yang menuntut setiap orang dilaluinya untuk dapat mengikutinya maka masyarakat Jawa pun semakin berpikiran lebih modern. Mereka telah memiliki tujuan dari hakekat kerja yang mereka lakukan, sehingga segala sesuatu usaha yang dilakukan selalu dihubungkan dengan hasil yang ingin dicapai. Falsafah ini dipahami dengan jer

(49)

48

dilakukan dalam mencapai sesuatu yang dicita-citakan sehingga harus disertai dengan usaha yang sungguh-sungguh.28

Hal ini terlihat jelas pada awal kedatangan orang-orang Jawa datang ke Berastagi, mereka mau bekerja apa saja dengan orang-orang penduduk asli yang mereka temui di daerah tersebut. Mereka bekerja pada orang-orang Karo baik sebagai buruh tani atau yang lebih dikenal dengan aron, buruh bangunan dan sebagainya. Mereka tidak sungkan ataupun terlalu menjaga gengsinya, bagi mereka apapun harus dilakukan demi memperoleh sesuap nasi terutama di daerah perantauan. Mereka mau bekerja bagi orang-orang Karo sebagai pemilik lahan asalkan mereka diberi makan maupun diizinkan tinggal di rumah orang yang mempekerjakan mereka tersebut.29

Orang Jawa biasanya bekerja sebagai buruh baik buruh tani, buruh bangunan maupun buruh-buruh lainnya. Hal ini disebabkan karena ketidakmampuan mereka dalam mengelola tanah pertanian serta kurangnya modal. Selain itu, orang-orang Jawa juga menggantungkan hidupnya dalam bidang perdagangan akan tetapi masih dalam ukuran yang lebih kecil bila dibandingkan dengan perdagangan yang dilakukan oleh penduduk beretnis Tiong Hoa. Selain itu, dalam jumlah yang lebih kecil lagi, Pada masa masih berkuasanya penjajahan Belanda di Tanah Karo khususnya Berastagi hal serupa juga mereka lakukan. Mereka bekerja pada sebagai pembantu atau pesuruh di villa-villa yang dibangun serta adimiliki oleh para penguasa kolonial Belanda tersebut.

28

Margaret P. Gautama, “ Peta Budaya Masyarakat Jawa: Hasil Survei Terkini” dalam

Budaya Jawa dan Masyarakat Modern, Jakarta: Pusat Pengkajian Kebijakan Teknologi

(50)

49

orang-orang Jawa di Berastagi ada yang bekerja sebagai pegawai baik swasta maupun yang telah menjadi pegawai negeri.

Seiring dengan perkembangan kehidupan yang lebih baik, baik secara ekonomi, sosial, pendidikan, cara pikir dan sebagainya yang mereka peroleh selama berada di Kecamatan Berastagi lambat laun mereka pun tidak lagi hanya bekerja untuk makan saja tetapi telah memiliki rencana yang lebih baik untuk waktu yang akan datang. Dengan pemikiran seperti itu, mereka tidak hanya telah dapat makan saja tetapi mereka pun telah dapat mewujudkan keinginannya seperti menyekolahkan anak-anaknya ke tingkat yang lebih tinggi, memiliki rumah dan sebagainya.

Perdagangan yang dijalankan oleh etnis Jawa tersebut biasanya seperti dengan berjualan makanan- makanan baik dalam jumlah yang besar seperti rumah makan, toko kue atau makanan, warung pecal, warung wajit, berjualan kue keliing, berjualan bakso dan sebagainya yang sangat berkaitan dengan usaha makanan atau masakan. Hal ini terjadi akibat adanya suatu anggapan dari suku-suku lain seperti halnya suku Batak Toba dan kenyataan yang menyatakan bahwa orang-orang Jawa merupakan orang yang pandai dalam hal masak-memasak atau membuat makanan.30

29

Hasil wawancara dengan Eddy Sofyan pada tanggal 12 September pada pukul 14.40, di Jalan Jamin Ginting Gg. Karya No. 36.

30

Hasil wawancara dengan Karti pada tanggal 22 September pada pukul 10.20, di Jalan Gundaling, Desa Gongsol No 37.

(51)

50

dengan membuka warung-warung atau yang lebih dikenal dengan sebutan kedai yang menjual barang kebutuhan sehari-hari di depan rumah mereka.

Perdagangan yang dilakukan orang-orang Jawa memang tidak sebesar yang dilakukan oleh orang-orang beretnis Tionghoa akan tetapi dengan usaha-usaha mereka tersebut mereka mampu memenuhi kebutuhan hidupnya sehari-hari dan bahkan dapat memiliki rumah ataupun barang-barang yang dianggap telah baik. Hal ini biasanya menimbulkan kecemburuan dari para tetangganya yang beretnis Batak Toba, Karo dan sebagainya.

3.2 Pola Pemukiman

Manusia cenderung untuk hidup berkelompok. Salah satu wujud kecenderungan tersebut adalah dengan muncul atau adanya pemukiman penduduk. Pada dasarnya pemukiman diartikan sebagai tempat tinggal manusia dan tempat penduduk melakukan kegiatannya sehari-hari.

Kehidupan di pemukiman penduduk dapat dilihat dari kerukunan hidup mereka, dengan indikatornya adalah keikutsertaan mereka dalam organisasi sosial, ekonomi, budaya, agama dan sebagainya serta bagaimana cara mereka menangani pertentangan yang timbul di antara mereka. Selain itu, juga dapat dilihat dari keragaman aktivitas penduduk dengan indikatornya adalah mata pencaharian baik yang pokok maupun tambahan, pendidikan serta keterampilannya masing-masing.31

31

Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Pemukiman sebagai Kesatuan Ekosistem Daerah

(52)

51

Orang-orang Jawa yang berada di Kecamatan Berastagi umumnya berbaur dengan penduduk asli yakni etnis Karo maupun etnis pendatang lainnya seperti Batak Toba, Simalungun, Nias dan sebagainya. Hal ini dapat dilihat dari pola pemukiman atau tempat tinggal mereka yang bergabung dengan etnis-etnis lainnya. Etnis Jawa banyak bermukim di kawasan Desa Sempa Jaya (Peceren), Desa Rumah Berastagi, dan sebagainya. Akan tetapi desa-desa tersebut bukan saja khusus bagi etnis Jawa akan tetapi juga dihuni oleh etnis lain misalnya oleh Etnis Karo maupun etnis-etnis pendatang lainnya.

Pola pemukiman yang menyebar atau membaur ini sangat mendukung interaksi sosial yang baik antar etnis di daerah tersebut karena mereka menjadi semakin dekat dan saling membutuhkan. Dengan demikian toleransi antar etnis pun dapat terjalin dengan baik.

3.3 Pendidikan

Pendidikan merupakan suatu proses perkembangan kecakapan seseorang dalam bentuk sikap dan perilaku yang berlaku dalam masyarakat dan juga merupakan sebuah proses sosial dimana seseorang dipengaruhi oleh suatu lingkungan yang terpimpin sehingga ia dapat mencapai kecakapan sosial dan mengembangkan pribadinya.32

32

H.M. Djumransjah, Pengantar Filsafat Pendidikan, Malang: Bayu Media, 2004, hal.24.

(53)

52

Pendidikan dapat diberikan di lingkungan keluarga, sekolah maupun masyarakat, baik berupa pendidikan formal maupun informal.33

“Pendidikan merupakan segala usaha yang dilakukan dengan sadar dan pembinaan kepribadian dan pengembangan kemampuan manusia Indonesia, jasmani dan rohani dalam rangka pembangunan persatuan bangsa Indonesia dan masyarakat yang adil dan makmur berdasarkan Pancasila”.

Pendidikan sangat membantu dalam usaha pengembangan diri maupun lingkungan sekitar karena mampu menjadi sebuah kekuatan yang akan menentukan prestasi dan produktifitas dalam suatu bidang. Untuk mencerdaskan kehidupan bangsa pendidikan merupakan hal yang paling mutlak. Keluarga merupakan tempat pertama manusia memperoleh pendidikan, tetapi itu saja belum cukup. Seseorang yang ingin maju harus bayak belajar terutama dari pendidikan formal.

34

33

Ibid. hal.28.

34

Masbun, Kebijaksanaan dan Langkah Pembaharuan Pendidikan, Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1973, hal.15.

(54)

53

Sebagian besar masyarakat di kecamatan Berastagi telah memiliki pandangan yang baik mengenai pentingnya sebuah pendidikan, hal ini dapat dilihat dengan tingkat pendidikan yang telah tinggi yang telah dan hendak dicapai oleh masyarakat di kecamatan tersebut. Hal ini dapat dilihat melalui sikap para orang tua yang telah mendorong anak-anaknya untuk bersekolah, dan sebagian besar dari orang tua tersebut pun telah mengenyam pendidikan yang baik. Selain itu,juga dapat dilihat dari banyaknya sekolah serta lembaga pendidikan lainnya di luar sekolah baik yang dimiliki oleh pemerintah maupun swasta yang didirikan demi kemajuan pendidikan anak-anak bangsa khususnya bagai mereka yang berada di Kecamatan Berastagi.

Bagi etnis Jawa, demikian pula halnya, pendidikan bagi mereka merupakan hal yang penting untuk memperbaiki taraf kehidupan mereka terutama karena mereka bukan merupakan penduduk asli di Berastagi. Sehingga untuk tetap dapat bertahan hidup di daerah perantauan tersebut mereka harus cerdas dan terampil, hal tersebut dapat diperoleh melalui proses belajar baik di keluarga, masyarakat maupun sekolah-sekolah atau lembaga-lembaga pendidikan formal.

(55)

54

menunjukkan identitas Islam pada kenyataannya bukan hanya diperuntukkan bagi umat Islam saja yang tentunya banyak dianut oleh etnis Jawa di Berastagi.

Pendidikan formal bagi etnis Jawa biasanya diperoleh dari sekolah-sekolah atau yayasan pendidikan, pesantren dan sebagainya. Hal ini dilakukan dalam upaya mencerdaskan kehidupan mereka agar kelak memperoleh hidup yang lebih baik. Adanya yayasan pendidikan ini tidak hanya memguntungkan masyarakat Jawa saja akan tetapi juga turut memberikan suatu kontribusi yang sangat bernilai tinggi bagi pendidikan masyarakat di Berastagi sebagai salah satu usaha mencerdaskan bangsa.

3.4 Kehidupan Religi

Kata religi sama artinya dengan agama atau kepercayaan. Agama berasal dari kata a dan gama, a artinya tidak sementara gama artinya rusak. Sehingga dapat dibuat suatu pengertian bahwa agama adalah suatu ajaran atau keyakinan yang bila dipatuhi tidak akan membuat penganutnya menjadi rusak malah sebaliknya memperoleh kebahagiaan. Agama dalam pandangan orang Jawa sama seperti busana atau pakaian, yang sering mereka sebut dengan ageman.35

35

Kasim Siyo, dkk, Op. Cit. hal 125.

(56)

55

Orang-orang Jawa Di Kecamatan Berastagi menjalankan kehidupan religi atau keagamaannya dengan baik. Mereka rutin mengadakan acara pengajian, bagi kaum Muslimah lebih dikenal dengan sebutan perwiritan. Dalam perwiritan tersebut kaum Muslimah sering mendendangkan nasyid, yakni suatu bentuk puji-pujian terhadap Allah SWT dan Muhammad SAW.

Antroplog Amerika, Clifford Geertz, mengelompokkan masyarakat dalam 3 (tiga) kelompok, yakni kelompok Santri, Abangan dan Priyayi.36 Kelompok Santri merupakan kelompok penganut agama Islam yang taat, kelompok abangan merupakan kelompok penganut agama Islam secara nominal atau kejawen sedangkan kelompok Priyayi adalah kelompok bangsawan.37

Secara umum, kesenian tradisional Jawa terdiri dari berbagai macam, tetapi tetap dalam satu akar budaya. Kesenian Jawa dikelompokkan menjadi tiga kelompok Dengan demikian, karena orang-orang Jawa yang ada di Berastagi merupakan orang-orang-orang-orang yang masih membawa budaya dan adat kebiasaan dari daerah asalnya sehingga mereka dikelompokkan ke dalam kelompok Abangan.

3.5 Kehidupan Kesenian

Kesenian merupakan salah satu dari tujuh unsur kebudayaan universal. Kesenian merupakan hal yang senantiasa berhubungan dengan nilai estetika (keindahan). Kesenian merupakan hasil budi daya manusia yang diciptakan oleh manusia untuk manusia itu sendiri. Kesenian tersebut dapat lagi dikelompokkan ke dalam beberapa bagian, yakni: seni suara, seni tari, seni lukis dan sebagainya.

36

(57)

56

besar, yakni Banyumasan seperti Lengger Calung, Ebeg dan sebagainya, Jawa Tengahan dan Jawa Timuran seperti Ludruk, Reog dan sebagainya. Kesenian tradisional Jawa umumnya bersentral pada kebudayaan atau kesenian Jawa Tengah dan Yogyakarta dan umumnya tumbuh dalam lingkungan Kraton dan kebudayaan rakyat.

Dalam budaya Jawa ada banyak sekali kesenian yang merupakan asli kesenian budaya Jawa, diantaranya adalah wayang kulit, kesenian ini konon dimulai sewaktu salah satu dari Wali Songo menagjarkan agama Islam di Pulau Jawa. Konon, untuk menarik minat para penduduk asli, Wali Songo tersebut menggunakan kesenian tersebut untuk menarik minat mereka berkumpul. Sampai saat ini, kesenian wayang kulit masih terus hidup di tengah masyarakat Jawa bahkan bangsa Indonesia.

Selain itu, dikenal juga kesenian jathilan, yakni suatu kesenian yang menyatukan antara unsur tari dan magis. Jathilan dikenal sebagai salah satu tarian yang paling tua di Jawa. Sering juga disebut dengan Jaran kepang, jaran roh, kuda lumping, dan sebagainya. Jathilan adalah sebuah drama tari yang menampilkan kegagahan seorang prajurit di medan perang dengan menunggang kuda sambil menghunus pedang.

Pertunjukan jaran kepang ini biasanya dimulai dengan tari-tarian kemudian para penari bak kerasukan roh halus sehingga hampir tidak sadar dengan apa yang mereka lakukan. Di saat para penari bergerak mengikuti irama musik dari jenis alat musik seperti gamelan, saron, kendang, bonang, kempul, slompret, ketipung dan gong, terdapat pemain lain yang mengawasi dengan memegang cemeti atau pecut.

37

(58)

57

Pemain yang bertugas mengawasi itu adalah yang terpenting dalam jathilan karena dia adalah dukun atau pawang yang mengendalikan roh halus yang merasuki para penari tersebut. Para penari umumnya menggunakan kuda kepang yang terbuat dari bambu maupun kulit binatang yang dianyam sedemikian rupa menyerupai bentuk kuda. Pemain atu penari biasanya menempatkan kuda kepang ini diantara kedua pahanya sehingga tampak seperti seorang ksatria yang menunggang kuda sambil menari dengan diiringi musik.

Para penari ini juga melakukan atraksi-atraksi berbahaya yang terkadang tidak dapat dinalar oleh akal sehat. Diantaranya adalah mereka dapat dengan mudah memakan benda-benda tajam seperti silet, pecahan kaca, dan benda-benda lainnya tanpa terluka atau merasakan sakit. Bahkan ketika mereka dilecuti dengan cambuk atau cemeti sekalipun tubuh mereka tidak memar atau tergores.

Tari jathilan merupakan pentas drama yang dibawakan oleh enam orang secara berpasangan dengan menggunakan seragam yang serupa. Sebagai tambahan dalam tari ini, juga ditampilkan penari yang menggunakan topeng. Dengan tokoh-tokoh yang beragam, seperti gondoruwo (setan), barongan (singa) dan sebagainya. Mereka muncul kala para prajurit itu berangkat perang dengan tujuan untuk mengganggu.

(59)

58

Jawa yang berasal dari daerah tersebut ke daerah perantauan mereka termasuk ke Berastagi.

Tari ini bersifat fleksibel, bisa ditampilkan dimana saja, saat pesta pernikahan, sunatan maupun pesta atau festival-festival kesenian rakyat lainnya. Seni tari ini juga bersumber dari rakyat jelata. Hal ini dapat dilihat dari penampilan kesederhanan pakaian yang digunakan oleh para penarinya. Mereka mengenakan celana sebatas lutut, kain batik bawahan, kemeja atau kaos lengan panjang, setagen, ikat pinggang bergesper, selempang bahu (srempeng), selendang pinggang (sampur) dan kait ikat kepala (udheng) dan hiasan telinga (sumping). Para penari berdandan mencolok dan mengenakan kacamata hitam. Tentu sangat berbeda dengan pakaian sebuah pembesar kerajaan yang menggunakan pakaian serba lengkap dan gemerlap. Tarian yang diperagakan pun cenderung berulang-ulang dan monoton dengan komposisi musik yang sederhana namun dengan penuh semangat.

Selain itu juga terdapat seni reog, yakni salah satu kesenian Jawa yang berasal dari daerah Jawa Timur bagian barat laut, yakni kota Ponorogo, sehingga sering disebut dengan reog ponorogo. Reog adalah salah satu budaya daerah di Indonesia yang masih sangat kental dengan hal-hal yang berbau mistik dan ilmu kebatinan yang kuat.

(60)

59

tarian yang dibawakan oleh 6-8 gadis yang menaiki kuda. Pada reog tradisionil, penari ini biasanya diperankan oleh penari laki-laki yang berpakaian wanita. Tarian ini dinamakan tari jaran kepang. Sehingga terdapat sebuah kesinergisan antara pertunjukan reog dan jaran kepang karena keduanya dapat dipentaskan sekaligus.

Tarian pembukaan lainnya biasanya adalah berupa tarian oleh anak kecil yang membawakan adegan lucu. Setelah tarian pembukaan selesai baru ditampilkan adegan inti yang isinya bergantung kondisi dimana seni reog tersebut ditampilkan. Jika berhubungan dengan pernikahan maka yang ditampilkan adalah adegan percintaan. Untuk hajatan khitanan atau sunatan biasanya ditampilkan cerita pendekar dan sebagainya.

Adegan dalam seni reog biasanya tidak mengikuti skenario yang tersusun rapi. Sehingga selalu ada interaksi antara pemain dan dalang yang biasanya adalah pemimpin rombongan dan bahkan kadang-kadang dengan penonton. Adegan terakhir adalah singa barong, dimana pelaku atau yang menjadi penarinya memakai topeng berbentuk kepala singa dengan mahkota yang terbuat dari bulu burung merak. Berat topeng ini bisa mencapai 50-60 kg. Topeng yang berat ini dibawa oleh penarinya dengan gigi. Kemampuan untuk membawakan ini selain diperoleh dengan latihan yang berat juga dipercaya diperoleh dengan latihan spiritual seperti puasa dan bertapa.

(61)

60

orang-orang Jawa tersebut jika suatu saat kebudayaan asli mereka akan terlupakan karena telah mengalami pembauran dengan kebudayaan setempat, salah satunya adalah dalam bidang kesenian. Salah satunya adalah seni kuda kepang dan reog tersebut. Kesenian-kesenian ini senantiasa dipertunjukkan ketika ada kegiatan pagelaran kebudayaan ataupun kegiatan-kegiatan lainnya.

Masyarakat Jawa sendiri sangat melestarikan kesenian tersebut hal ini dilakukan salah satunya yaitu dengan mendirikan sanggar kesenian kuda kepang Sekar Harum. Sanggar ini sebelumnya yakni sebelum tahun 1990an memiliki nama yang berbeda, yakni Melati Sari. Sanggar tersebut merupakan sebuah wadah perkumpulan bagi pecinta-pecinta kesenian Jawa dalam melestarikan kesenian atau kebudayaan mereka tersebut.38

Pada awal pembentukannya sanggar ataupun paguyuban ini juga bernama Badan Kesenian Keluarga Jawa (BKKJ). Dibentuk atas prakarsa tokoh-tokoh seperti Sakirin, Alm. Kemis, Alm. Subari Bambang, Alm. Suterisno, Alm. Samsuddin, H. Jarno, H. Samianis, Rebo dan beberapa tokoh lainnya, badan inilah yang kemudian berkembang menjadi cikal bakal perkumpulan kesukuan bagi etnis Jawa di Berastagi yakni Putera Jawa Kelahiran Sumatera (Pujakesuma).

39

38

Hasil wawancara dengan Kemis pada tanggal 10 September pada pukul 15.10, di Jalan Jamin Ginting No. 124.

39

(62)

61

3.6 Sistem Kekerabatan Orang Jawa di Berastagi

Sistem kekeluargaan orang Jawa di Berastagi didasarkan pada prinsip keturunan bilateral. Sedangkan istilah kekeluargaannya diklasifikasikan menurut angkatan-angkatan. Semua kakak laki-laki serta kakak perempuan ayah dan ibu beserta isteri-isteri maupun suami-suami masing-masing diklasifikasikan menjadi satu dengan istilah “siwa atau uwa”. Sementara adik-adik dari ayah dan ibu diklasifikasikan ke dalam dua golongan yang dibedakan menurut jenis kelaminnya, yakni apabila para adik laki-laki maka disebut “paman” dan apabila para adik perempuan disebut “bibi”.

Pada masyarakat Jawa di Berastagi berlaku adat-adat yang menentukan bahwa 2 (dua) orang tidak boleh saling kawin apabila mereka adalah saudara sekandung, apabila mereka itu adalah “pancer lanang” yaitu anak dari dua orang saudara sekandung laki, apabila mereka itu adalah misan dan akhirnya apabila pihak laki-laki lebih muda menurut ibunya dari pihak wanita. Adapun perkawinan antara dua orang yang tidak terikat karena hubungan kekeluargaan seperti tersebut diatas diperkenankan.

Salah satu perkawinan yang diperbolehkan adalah “ngarang wulu serta wayuh”, yakni suatu perkawinan seorang duda dengan seorang wanita salah satu adik dari almarhum isterinya. Perkawinan seperti ini disebut juga dengan perkawinan “sororat”. Adapun wayuh adalah suatu perkawinan yang lebih dari seorang isteri (poligami).

(63)

62

Kelanjutan dari adanya perkawinan adalah timbulnya keluarga “batih” atau kaluwarga. Keluarga batih dalam masyarakat Jawa merupakan suatu kelompok sosial yang berdiri sendiri serta memegang peranan dalam proses sosialisasi dan anak-anak yang menjadi anggotanya.

Suatu bentuk kelompok kekeluargaan yang lain ialah “sanak sedulur”. Kelompok kekeluargaan ini terdiri dari orang-orang kerabat keturunan dari seorang nenek moyang sampai derajat ketiga. Biasanya kelompok kekeluargaan ini saling bantu membantu jika ada peristiwa penting dalam rangka kehidupan keluarga. Misalnya pada pertemuan upacara dan perayaan yang diadakan berhubung dengan tingkat sekitar lingkungan hidupnya salah seorang anggota kerabat, pada perayaan hari ulang tahun, upacara kematian dan pemakaman dan selamatan pada hari ke-7, ke-100 dan ke-1000 sesudah kematian. Selain it

Gambar

Tabel 1
Tabel II
Tabel III
Tabel IV
+3

Referensi

Dokumen terkait

terutama dalam kehidupan orang Karo bahwa yang satu marga dengan mereka akan. lebih dekat dan semakin mempeerat

Sikap strategis pemerintah sebagai pemangku kebijakan dalam upaya pengembangan obyek wisata Goa Kreo dan Kandri sebagai wilayah aktivitas masyarakat pelaku pariwisata

Sejalan dengan aspek potensi pariwisata yang dimiliki, masyarakat Kandri memiliki peluang untuk berpenghasilan tambahan seperti ikut dalam mendukung kegiatan pariwisata ini

Perubahan budaya yang terjadi di relokasi Siosar menunjuk kepada perubahan rasa kekeluargaan sesama etnis Karo di relokasi Siosar.. Perubahan budaya lainnya adalah pola

Setelah membaca teks tentang keragaman budaya, peserta didik mampu menyajikan gagasan pokok dan gagasan pendukung di setiap paragraf dari teks tersebut dalam bentuk

Akan tetapi tidak terjadi pada Etnis Jawa di Kelurahan Sumpang Binangae, Kecamatan Barru, Kabupaten Barru, mereka bisa cepat membaur dengan masyarakat Bugis

perspektif gender, maka abdi dalem dengan jenis kelamin wanita, khususnya yang sudah berumah-tangga, berarti telah keluar dari sektor domestik dan ikut masuk ke dalam sektor

ii PERSETUJUAN KOMISI PEMBIMBING Judul Skripsi : Masyarakat Jawa Di Tanah Mandar Studi Etnis Sosial Budaya Islam Di Desa Sumberjo Kecamatan Wonomulyo Nama Mahasiswa : Evi