PEMBAHARUAN HUKUM SEBAGAI UPAYA MENINGKATKAN
EKSISTENSI BALAI HARTA PENINGGALAN
DALAM PELAYANAN HUKUM
T E S I S
Oleh
RUSTANI JULIAR BERDIKARI HUTASOIT
077005023/HK
SEKOLAH PASCASARJANA
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
MEDAN
2009
Σ
Ε Κ
Ο Λ Α
Η
Π Α
Σ Χ
Α Σ Α Ρ ϑΑ
Ν
PEMBAHARUAN HUKUM SEBAGAI UPAYA MENINGKATKAN
EKSISTENSI BALAI HARTA PENINGGALAN
DALAM PELAYANAN HUKUM
T E S I S
Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat untuk Memperoleh Gelar Magister Humaniora dalam Program Studi Ilmu Hukum
pada Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara
Oleh
RUSTANI JULIAR BERDIKARI HUTASOIT
077005023/HK
SEKOLAH PASCASARJANA
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
Judul Tesis : PEMBAHARUAN HUKUM SEBAGAI UPAYA PENINGKATAN EKSISTENSI BALAI HARTA PENINGGALAN DALAM PELAYANAN HUKUM Nama Mahasiswa : Rustani Juliar Berdikari Hutasoit
Nomor Pokok : 077005023
Program Studi : Ilmu Hukum
Menyetujui:
Komisi Pembimbing
(Prof. Dr. Bismar Nasution, SH, MH) Ketua
(Dr. Sunarmi, SH, M.Hum) (Dr. Mahmul Siregar, SH, M.Hum)
Anggota Anggota
Ketua Program Studi Direktur
(Prof. Dr. Bismar Nasution, SH, MH) (Prof. Dr. Ir. T. Chairun Nisa B., MSc)
Telah diuji pada
Tanggal 13 Juli 2009
PANITIA PENGUJI TESIS
Ketua : Prof. Dr. Bismar Nasution, SH, MH
Anggota : 1. Dr. Sunarmi, SH, M.Hum
2. Dr. Mahmul Siregar, SH, M.Hum
3. Prof. Dr. Budiman Ginting, SH, M.Hum
ABSTRAK
Lembaga Balai Harta Peninggalan (BHP) berdasarkan Ordonansi 1872 hanya berlaku terhadap golongan penduduk Eropah, Timur Asing China, Timur Asing Bukan China, dan lain-lain dan tidak diberlakukan terhadap golongan pribumi. Pada kenyataannya BHP tidak saja dipergunakan oleh golongan penduduk tertentu (Eropah, Timur Asing China, Timur Asing Bukan China, dan lain-lain), tetapi juga dipergunakan oleh warga negara secara umum (termasuk golongan pribumi). Lahirnya sejumlah perundang-undangan setelah Indonesia merdeka, antara lain: Undang-undang Perlindungan Anak, Undang-undang Kepailitan, Undang-undang Kewarganegaraan serta Undang-undang Hak Asasi Manusia, akan mempengaruhi Eksistensi Balai Harta Peninggalan sehingga perlu diteliti relevansi Ordonansi 1872 No. 166 dengan perkembangan saat ini.
Penelitian ini menggunakan metode penelitian hukum normatif yang bersifat deskriptif dengan pendekatan analisis kualitatif. Analisis kualitatif dilakukan terhadap data primer dan data sekunder (bahan hukum) yang dikumpulkan dengan menggunakan tekhnik wawancara dan studi kepustakaan.
Berdasarkan hasil penelitian ini disimpulkan perlu dilakukan pembaharuan sebahagian terhadap Ordonansi 1872, dalam hal ruang lingkup pemberlakuan. Balai Harta Peninggalan terhadap seluruh warga negara Indonesia secara umum temasuk golongan pribumi. Dengan lahirnya beberapa perundangan seperti Undang-Undang Perlindungan Anak, Undang-Undang Kepailitan, Undang-Undang Kewarganegaraan dan Undang-Undang Hak Asasi Manusia, setidaknya mempengaruhi ruang lingkup tugas dan fungsi BHP, serta ruang lingkup kedudukan Balai Harta Peninggalan untuk dihidupkan kembali di setiap Ibukota Propinsi sehingga mempermudah masyarakat dalam pengurusan kebutuhannya terhadap Balai Harta Peninggalan, maka Balai Harta Peninggalan dapat melaksanakan tugas dan fungsinya secara optimal. BHP dalam menjalankan tugas dan fungsinya yang demikian penting, tetap saja menghadapi hambatan-hambatan, baik yang bersifat internal maupun yang bersifat eksternal bagi BHP dalam melaksanakan tugas dan kewenangannya. Hambatan internal berasal dari BHP itu sendiri, berupa perundangan, sumber daya manusia, kendala anggaran serta kendala fasilitas dan sarana kerja. Sedangkan hambatan eksternal antara lain kurangnya pengertian dan pemahaman masyarakat dan instansi terkait dengan tugas dan kewenangan BHP.
Berdasarkan hal tersebut di atas, maka disarankan kepada Pemerintah untuk dapat kiranya segera mengesahkan RUU-BHP menjadi Undang-undang Nasional, kemudian mensosialisasikannya agar seluruh masyarakat dapat memahami atau mengerti tentang eksistensi BHP tersebut. Pemerintah juga diharapkan dapat meningkatkan eselonering BHP setingkat lebih tinggi dan memperhatikan kecukupan anggaran bagi BHP serta memperbaiki sarana dan fasilitas, kerja, agar BHP bisa menjalankan tugas pokok dan fungsinya sesuai dengan kebutuhan masyarakat.
ABSTRACT
The Institution Wesskamer en Boedelkamer on Ordonancy of 1872 just applies to population of Europ, stranger east China, non-stranger east China, and so on and not for group of native. In reality the BHP is not only used by a group of population (Europe, strange east China, non-strange east China, etc), but also used by general citizen (including native). The birth of laws after Indonesia is independent, including: The laws of children protection, liquidity law, citizenship law and Human rights, will effect the existence of property Board, thus it is important to observe the relevance of Ordonancy 1872 No. 166 with recent development.
This research uses the method of normative law research in descriptive nature with qualitative analysis approach. The qualitative analysis is conducted on data of primary and secondary (material of law) that is collected using the technic of citizenship law and Human rights, it will at least effect the scope of task and function of BHP, and also the scope of property board status to be revived in each capital town of province so that will effect the peoples in arrangement of the needs on Property Board, so the Property Board can conduct the task and function optimally. BHP in doing the task and function that is very important, will remain to face the problems, either internal or external for BHP in implementation of task and authority. The internal problem derivated from BHP it self, as laws, human power, budget limit and facility or equipments. While the external problem include the less understanding and comprehension of peoples and related infancies with task and authority of BHP.
Based on the result mentioned above, recommended to government to be able ratifying the RUU-BHP to become National Law, and then socialize it so that all people can understand and know about existence of the BHP. Government is also hoped to be able to increase the eselonering BHP a level higher and to notice the sufficiency of budget for BHP to improve the facility and equipment, in order BHP can run the main task and function according to the need of people.
KATA PENGANTAR
Bismillahirrahmanirrohim
Segala puji dan syukur kehadirat Allah SWT, yang telah melimpahkan rahmat
dan karuniaNya kepada Penulis sehingga dapat menyelesaikan penulisan tesis ini
dengan judul “Pembaharuan Hukum Sebagai Upaya Meningkatkan Eksistensi Balai Harta Peninggalan dalam Pelayanan Hukum"
Tesis ini ditulis dalam rangka memenuhi persyaratan untuk mencapai gelar
Magister Humaniora, pada Program Studi Ilmu Hukum Sekolah Pascasarjana
Universitas Sumatera Utara.
Penulis menyadari sepenuhnya bahwa tesis ini masih jauh dari sempurna
karena keterbatasan-keterbatasan kemampuan Penulis. Untuk itu dengan segala
kerendahan hati, kritik yang sehat serta saran yang bersifat membangun dari semua
pihak untuk perbaikannya di kemudian hari.
Ucapan terima kasih dan penghargaan yang setinggi-tingginya, Penulis
sampaikan kepada yang terhormat dan yang amat terpelajar:
1. Rektor Universitas Sumatera, Utara, Bapak Prof. Chairuddin P. Lubis,
DTM&H, Sp.A(K) dan para Pembantu Rektor, para Kepala Biro dan Lembaga
atas kesempatan dan fasilitas yang diberikan kepada Penulis untuk mengikuti
dan menyelesaikan pendidikan pada Sekolah Pascasarjana (S2).
2. Ibu Prof. Dr. Ir. T. Chairun Nisa B, MSc, selaku Direktur Sekolah Pascasarjana
Universitas Sumatera Utara.
3. Bapak Prof. Dr. Wismar Nasution, SH, MH, selaku Ketua Program Magister
Ilmu Hukum Sekolah Pascasarjana USU dan juga selaku Komisi Pembimbing
yang selalu memberikan arahan dan bimbingan kepada penulis baik pada saat
mengikuti perkuliahan dan juga dalam menyelesaikan tesis ini.
4. Ibu Dr. Sunarmi, SH, M.Hum, selaku Sekretaris Program Magister Ilmu Hukum
memberikan saran, bimbingan dan dukungan penuh membuat penulis terpacu
untuk segera menyelesaikan tesis ini. Untuk itu penulis doakan semoga Allah
SWT senantiasa melimpahkan Rahmat dan HidayahNya kepada beliau dan
keluarganya.
5. Bapak Dr. Mahmul Siregar, SH, M.Hum, selaku Anggota Komisi Pembimbing
yang dalam kesibukannya rela meluangkan waktunya untuk memberikan
bimbingan dan arahan yang sangat berguna serta sabar dalam penyampaian
membuat penulis terpacu untuk penyelesaian tesis ini.
6. Bapak Prof. Dr. Budiman Ginting, SH, M.Hum, selaku Anggota Komisi
Penguji.
7. Bapak Dr. Pendastaren Tarigan, SH, M.Hum, selaku Anggota Komisi Penguji.
8. Seluruh Dosen penulis pada Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara
yang telah banyak memberikan ilmu serta motivasi dalam setiap perkuliahan.
9. Bapak Amri Marjunin, SH, selaku Ketua BHP Medan dan para, ATH yang telah
memberikan kesempatan kepada penulis untuk mengikuti perkuliahan pada
Program Studi Ilmu Hukum Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara,
serta memberikan data-data dan masukan yang sangat berguna dalam
penyelesaian tesis ini.
10. Bapak Mashudi Bc.IP, SH. MM selaku Kepala Kantor Wilayah dan Bapak
Drs. Rosman Siregar, SH.MH, Kepala Divisi Pelayanan Hukum dan HAM
Kantor Wilayah Departem Hukum dan HAM Sumatera Utara yang juga telah
memberikan masukan dan saran yang sangat berguna dan bermanfaat dalam
penyelesaian tesis ini.
11. Orang tua tercinta, Almarhum Ayahanda Muhammad M. Hutasoit, SH dan
Almarhum Ibunda, Hj. Asminah Harahap yang oleh karena bimbingan mereka
jualah sejak dari kecil sehingga Penulis dapat sukses serta semua
saudara-saudari dan segenap keluarga yang selalu memberikan dorongan serta semangat
kepada Penulis untuk menyelesaikan perkuliahan dan tesis ini, terlebih kepada
12. Teristimewa ucapan terima kasih kepada suami tercinta Daulat Siregar, SH,
yang juga bersama-sama dengan Penulis mengikuti Sekolah Pascasarjana
di USU dan ananda-ananda tersayang Hakim R.J. Siregar, Putri Rahayu D.
Siregar, Nanda Tri D. Siregar dan Anggi Putra A. Siregar, dengan cinta, kasih
yang tulus serta pengertian yang tinggi terus mendukung dan rela kehilangan
waktu untuk bersama selama masa perkuliahan berlangsung;
13. Rekan-rekan seperjuangan pada kelas kekhususan Hukum dan HAM Program
Studi Ilmu Hukum Sekolah Pascasarjana USU Angkatan Pertama Tahun 2007,
bersatu kita teguh, bercerai kita runtuh dan pantang mundur.
14. Seluruh staf dan pegawai di Program Studi Ilmu Hukum Sekolah Pascasarjana
USU atas segala bantuannya berupa pelayanan dan kemudahan yang diberikan,
kiranya Allah SWT yang akan membalas segala kebaikan kalian.
Akhirnya, semoga tesis ini dapat bermanfaat bagi dunia pendidikan dan
terutama bagi Penulis sendiri serta dapat memperkaya khasanah ilmu pengetahuan
hukum dimasa mendatang. Semoga Allah SWT senantiasa melimpahkan rahmat dan
anugrahNya kepada kita semua. Amin ya robbal ‘alamin.
Wassalam Medan, Mei 2009
Penulis,
RIWAYAT HIDUP
Nama : Rustani Juliar Berdikari Hutasoit
NIM : 077005023
Tempat/Tgl. Lahir : Medan/17 Juli 1965
Pekerjaan : Pegawai Negeri Sipil (PNS)
Alamat Rumah : Jl. Pemasyarakatan Gg. Girsang No. 14 Tj. Gusta – Medan
Program Studi : Ilmu Hukum
Instansi Studi : Balai Harta Peninggalan Medan Dep. Hukum dan HAM
Sumut
Alamat Instansi : Jl. Listrik No. 10 Medan
PENDIDIKAN FORMAL
1. SD : Negeri 113 Medan Tahun 1978
2. SMP : Negeri 12 Medan Tahun 1981
3. SMA : Negeri 2 Medan Tahun 1984
4. S1 (Sarjana) : Universitas Pembangunan Panca Budi Medan Tahun 2001
5. S2 (Pascasarjana) : Universitas Sumatera Utara Medan Tahun 2009
PENDIDIKAN NON FORMAL
1. Diklat Orientasi Pemasyarakatan (Tahun 1997).
2. Diklat Keterampilan Perawatan dan Kesehatan Wanita (Tahun 2002).
3. Diklat Keterampilan Dasar Komputer (Tahun 2004).
4. Diklat Kepemimpinan Tk. IV (Tahun 2004).
DAFTAR ISI
Halaman
ABSTRAK ... i
ABSTRACT ... ii
KATA PENGANTAR... iii
RIWAYAT HIDUP ... vi
DAFTAR ISI... vii
DAFTAR SINGKATAN... x
BAB I PENDAHULUAN... 1
A. Latar Belakang ... 1
B. Perumusan Masalah ... 16
C. Tujuan Penelitian ... 17
D. Manfaat Penelitian ... 17
E. Keaslian Penelitian... 18
F. Kerangka Teori dan Konsepsi... 18
1. Kerangka Teori... 18
2. Kerangka Konsepsi ... 23
G. Metode Penelitian... 24
1. Spesifikasi Penelitian ... 25
2. Sumber Data Penelitian... 27
3. Tehnik Pengumpulan Data... 28
BAB II RELEVANSI DASAR HUKUM PELAKSANAAN TUGAS
BALAI HARTA PENINGGALAN TERHADAP
KEBUTUHAN MASYARAKAT... 30
A. Dasar Hukum Pelaksanaan Tugas Balai Harta Peninggalan Masih Menggunakan Peraturan Produk Kolonial ... 30
B. Peraturan Produk Kolonial Sebagai Dasar Pelaksanaan Tugas dan Wewenang Balai Harta Peninggalan Tidak Relevan ... 36
C. Prespektif Kedudukan, Tugas dan Fungsi Balai Harta Peninggalan di Masa Akan Datang... 52
BAB III PENGATURAN KEDUDUKAN, TUGAS DAN FUNGSI BALAI HARTA PENINGGALAN YANG SESUAI DENGAN TUNTUTAN PERKEMBANGAN MASYARAKAT ... 63
A. Kedudukan, Tugas dan Fungsi Balai Harta Peninggalan... 63
B. Urusan-urusan Masyarakat yang Membutuhkan Balai Harta Peninggalan ... 89
C. Konsep Pengaturan Kedudukan, Tugas dan Fungsi Balai Harta Sesuai dengan Kebutuhan Masyarakat... 95
D. Prospektus Rancangan Undang-Undang dan Urgensinya Menurut Undang-Undang. ... 105
BAB IV HAMBATAN-HAMBATAN DALAM PELAKSANAAN PELAYANAN HUKUM PADA BALAI HARTA PENINGGALAN... 111
A. Hambatan-hambatan dalam Pelaksanaan Pelayanan Hukum pada Balai Harta Peninggalan... 111
1. Hambatan-hambatan Internal ... 111
2. Hambatan-hambatan Eksternal ... 123
B. Upaya Penanggulangan ... 126
1. Upaya Internal ... 127
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN ... 129
A. Kesimpulan ... 129
B. Saran... 133
DAFTAR SINGKATAN
BHP : Balai Harta Peninggalan
BW : Burgerlijke Wetboek
Dep.Hukum dan HAM : Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia
Dirjen AHU : Direktorat Jenderal Administrasi Hukum Umum
Kadiv : Kepala Divisi
Kanwil : Kantor Wilayah
Kepmen : Keputusan Menteri
KUHPerdata : Kitab Undang-Undang Hukum Perdata
LN : Lembaga Negara
Men PAN : Menteri Pemberdayaan Aparatur Negara
NAD : Nangroe Aceh Darussalam
PNBP : Penerimaan Negara Bukan Pajak
PP : Peraturan Pemerintah
RI : Republik Indonesia
RUU : Rancangan Undang-Undang
SDM : Sumber Daya Manusia
SKHW : Surat Keterangan Hak Waris
SKK : Surat Keterangan Kematian
Stb : Staatsblad
UUD : Undang-Undang Dasar
UUK : Undang-Undang Kepailitan
UPT : Unit Pelaksana Teknis
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Masyarakat dewasa ini telah memasuki era baru, yaitu era Reformasi.
Reformasi pada dasarnya merupakan gerakan moral dan kultural untuk
mengaktualisasikan kembali secara konsisten nilai-nilai dasar (core values) negara
hukum. Berdasarkan kedua nilai-nilai dasar tersebut akan dibangun masyarakat
Indonesia baru, yaitu masyarakat yang lebih demokratis, lebih berkeadilan,
menghargai harkat dan martabat manusia serta yang lebih menempatkan hukum
sebagai suatu yang “supreme” dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan
bernegara1.
Masyarakat Indonesia tengah berusaha menegakkan kembali nilai-nilai dasar
Negara yang berdasar atas hukum. Supremasi hukum menghendaki bahwa dalam
menyelesaikan setiap permasalahan yang dihadapi, sistem hukumlah yang harus
dijadikan pegangan sebagai satu-satunya ukuran yang tertinggi. Dengan demikian,
penegakan supremasi hukum tidak perlu mengabaikan perhatian terhadap aspek
pembangunan lainnya.
Pembangunan merupakan upaya sadar yang dilakukan untuk merubah suatu
kondisi dari suatu tingkat yang dianggap kurang baik ke kondisi baru pada tingkat
1 H.A.S. Natabaya, Penegakan Supremasi Hukum, Makalah disampaikan pada Pendidikan
kualitas yang dianggap baik atau paling baik2. Pembangunan yang dilaksanakan tentu
saja pembangunan yang memiliki pijakan hukum yang jelas, bisa
dipertanggung-jawabkan, terarah serta proporsional antara aspek fisik (pertumbuhan) dan non fisik.
Apabila diteliti, semua masyarakat yang sedang membangun selalu dicirikan
oleh perubahan, bagaimanapun didefinisikan pembangunan itu dan apapun ukuran
yang dipergunakan bagi masyarakat dalam pembangunan. Peranan hukum dalam
pembangunan adalah untuk menjamin bahwa perubahan itu terjadi dengan suasana
damai dan teratur3.
Istilah pembaharuan hukum sebenarnya mengandung makna yang luas
mencakup sistem hukum. Menurut Friedman, sistem hukum terdiri atas struktur
hukum (structure), substansi/materi hukum (substance), dan budaya hukum (legal
culture).4 Ketika membahas pembaharuan hukum, maka pembaharuan yang
dimaksudkan adalah pembaharuan sistem hukum secara keseluruhan yang meliputi
struktur hukum, materi dan budaya hukum.
Dalam prosesnya, pembangunan ternyata ikut membawa konsekuensi
terjadinya perubahan-perubahan atau pembaharuan pada aspek-aspek sosial lain
termasuk di dalamnya peranan hukum. Artinya, perubahan yang dilakukan (dalam
bentuk pembangunan) dalam perjalanannya menuntut adanya perubahan-perubahan
dalam bentuk hukum. Perubahan hukum ini memiliki arti yang positif dalam rangka
2 Niniek Suparni, Pelestarian Penegakan Hukum Lingkungan, (Jakarta: Sinar Grafika, 1992),
hal. 36.
3 Mochtar Kusumaatmadja (1), Pembinaan Hukum dalam Rangka Pembangunan Hukum,
(Bandung: Bina Cipta, 1986), hal. 1.
menciptakan hukum baru yang sesuai dengan kondisi pembangunan dan nilai-nilai
hukum masyarakat.
Bidang hukum diakui memiliki peran yang sangat strategis dalam memacu
percepatan pembangunan suatu negara. Usaha ini tidak semata-mata dalam rangka
memenuhi tuntutan pembangunan jangka pendek tetapi juga meliputi pembangunan
jangka menengah dan jangka panjang, walaupun disadari setiap saat hukum bisa
berubah sesuai dengan kebutuhan masyarakat yang menghendakinya.
Di negara-negara berkembang pembaharuan hukum merupakan prioritas
utama, terlebih jika negara dimaksud merupakan negara yang baru merdeka dari
penjajahan bangsa/negara lain. Oleh karena itu, di negara-negara berkembang
pembaharuan hukum senantiasa mengesankan adanya peranan ganda, yaitu:
1. Merupakan upaya untuk melepaskan diri dari lingkaran struktur hukum
kolonial. Upaya tersebut terdiri atas penghapusan, penggantian, dan
penyesuaian ketentuan hukum warisan kolonial guna memenuhi tuntutan
masyarakat kolonial.
2. Pembaharuan hukum berperan pula dalam mendorong proses pembangunan,
terutama pembangunan ekonomi yang memang diperlukan dalam rangka
mengejar ketertinggalan dari negara maju, dan yang lebih penting adalah demi
peningkatan kesejahteraan masyarakat warga negara.
Saat ini di Indonesia masih terdapat banyak peraturan-peraturan hukum yang
sudah tidak up to date namun tetap dipertahankan. Dalam rangka menyongsong era
memerlukan revisi dan jika perlu diubah total dengan bobot materi yang
mencerminkan gejala dan fenomena masyarakat saat ini.
Di Indonesia, pembaharuan hukum itu memang lebih menampakkan
wujudnya dalam undang-undang. Walaupun bentuk-bentuk lain juga tidak semestinya
diabaikan, seperti putusan pengadilan (yurisprudensi) yang menjadi konsepsi hukum
utama yang berlaku di negara-negara Anglo Saxon seperti Amerika. Namun yang
pasti, pengembangan konsepsionil dari pada hukum sebagai sarana pembaharuan
sosial di Indonesia lebih luas jangkauan dan ruang lingkupnya dari pada di tempat
kelahirannya sendiri (Amerika), karena beberapa hal:
1) Lebih menonjolkan perundang-undangan dalam proses pembaharuan hukum di Indonesia, walaupun yurisprudensi juga memegang peranan, berlainan dengan di Amerika Serikat dimana teori Pound itu ditujukan terutama pada peranan pembaharuan yang diharapkan dari keputusan-keputusan pengadilan, khususnya keputusan Supreme Court sebagai mahkamah tertinggi.
2) Setiap yang menunjukkan kepekaan terhadap kenyataan masyarakat menolak aplikasi “mechanistis” dari konsepsi “law as a tool of social engineering”. Aplikasi imekanistis demikian yang digambarkan dengan kata “tool” akan mengakibatkan hasil yang tidak banyak berbeda dengan penerapan yang dalam sejarah hukum di Indonesia (Hindia Belanda) telah ditentang dengan keras. Dalam perkembangannya di Indonesia, maka konsepsi (teoritis) hukum sebagai alat/sarana pembaharuan ini dipengaruhi pula oleh pendekatan-pendekatan filsafat budaya dan Northrop dan pendekatan-pendekatan “policy oriented” dari Laswell dan Mc. Dougal.5
Jika persoalan-persoalan dalam rangka pembaharuan hukum tidak diatasi,
mustahil hukum sebagai sarana yang berfungsi mengkomformikan konflik-konflik
sosial masyarakat sebagaimana dikehendaki Pound akan terwujud padahal ke depan
menurut Pound, hukum tidak hanya berfungsi sebagai alat kontrol semata melainkan
5 Mochtar Kusumaatmaja (2), Hukum Masyarakat, dan Pembinaan Hukum Nasional,
lebih dari itu berfungsi membawa atau menggerakkan masyarakat ke suasana yang
lebih baik.
Hal ini bisa dipahami dari pernyataannya yang mengatakan bahwa tugas pokok pemikiran modern mengenai hukum adalah tugas rekayasa sosial, yakni “to construct as efficient a sociaety with minimal friction and waste of resources” (menata masyarakat secara efisien dan baik, di mana kepada setiap
warga masyarakat dijamin pemuasan maksimum dari setiap kepentingan-kepentingannya dengan friksi (pertentangan) dan pemborosan sumber daya seminimal mungkin6.
Reformasi yang diharapkan tersebut adalah reformasi di segala bidang, dan
salah satunya di bidang hukum. Reformasi hukum tersebut dapat juga dikatakan
sebagai suatu perubahan ataupun pembaharuan hukum. Pembaharuan hukum tersebut
dapat juga meliputi beberapa bidang hukum yang ada, seperti hukum pidana, hukum
perdata, hukum tata negara, hukum administrasi negara dan sebagainya.
Pembaharuan hukum di bidang hukum administrasi negara belum terlaksana dan
salah satunya adalah di Balai Harta Peninggalan.
Lembaga Balai Harta Peninggalan (wesskamer en derboedekamer) adalah
merupakan suatu institusi yang didirikan untuk pertama kalinya di Jakarta.
Keberadaan BHP di Jakarta dinyatakan dalam ketentuan Pasal 415 KUH-Perdata,
yaitu bahwa BHP harus ada di tiap-tiap daerah hukum Raad van Justitie (Pengadilan
Negeri) yang dahulu hanya ada dibeberapa tempat seperti Jakarta, Semarang,
Surabaya, Medan, Padang, Makasar yang kemudian diikuti lagi dengan
pendirian-pendirian perwakilannya yang jauh dari ibukota. Selanjutnya disebutkan bahwa
di mana terdapat Lembaga Balai Harta Peninggalan maka di sana terdapat pula
dengan apa yang disebut Lembaga Dewan Perwalian (voogdyraad), Pasal 416 dan
Pasal 415 KUPerdata7.
Maksud dan tujuan pembentukan BHP pada mulanya untuk memenuhi
kebutuhan orang-orang VOC. Makin meluasnya kekuasaan VOC di Indonesia, maka
timbullah kebutuhan bagi para anggotanya, khususnya dalam mengurusi harta-harta
yang ditinggalkan oleh mereka bagi kepentingan ahli warisnya yang berada
di Nederland, anak yatim piatu dan sebagainya, untuk menanggulangi
kebutuhan-kebutuhan itulah oleh Pemerintah Belanda dibentuk suatu lembaga yang diberi nama
BHP pada tanggal 1 Oktober 1624 berkedudukan di Jakarta seperti tersebut di atas.
Kemudian berkembang dan meluas mencakup mereka yang termasuk golongan
Eropah, China dan Timur Asing lainnya.
BHP merupakan unit pelaksana penyelenggara hukum di bidang harga
peninggalan, perwalian, kepailitan di lingkungan Departemen Kehakiman yang
berada dan bertanggung jawab kepada Direktur Jenderal Hukum dan
Perundang-undangan sekarang Direktur Jenderal Administrasi Hukum Umum melalui Direktur
Perdata.
Dalam menjalankan tugasnya sehari-hari ditinjau dari segi teknis, BHP
di bawah Direktorat Jenderal Hukum dan Perundang-undangan sekarang Direktorat
7 Man S. Sastrawidjaja, Hukum Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang,
Administrasi Hukum Umum, sedangkan dari segi fasilitatif di bawah Kantor Wilayah
Departemen Kehakiman8 sekarang Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia.
Saat ini ada 5 (lima) BHP di Indonesia yang berkedudukan di Jakarta,
Semarang, Surabaya, Medan dan Ujung Pandang dengan wilayah kerja
masing-masing sebagai berikut:
1) BHP Jakarta meliputi Propinsi DKI Jakarta, Jambi, Sumatera Selatan, Lampung,
Kalimantan Barat.
2) BHP Surabaya meliputi Propinsi Jawa, Kalimantan Selatan, Kalimantan Tengah
dan Kalimantan Timur.
3) BHP Medan meliputi Propinsi Sumatera Utara, D.I. Aceh atau Nanggroe Aceh
Darussalam (NAD), Riau, Sumatera Barat dan Bengkulu.
4) BHP Ujung Pandang meliputi Propinsi Sulawesi Selatan, Sulawesi Tenggara,
Sulawesi Tengah, Sulawesi Utara, dan Maluku.
5) BHP Semarang meliputi Propinsi Irian Jaya, Bali, Nusa Tenggara Barat dan Nusa
Tenggara Timur.
Adapun perwakilan-perwakilan BHP yang ada di daerah telah dilikuidasi atau
dihapus dengan melalui Surat Keputusan Menteri Kehakiman Nomor: M.02.07.01
Tahun 1986, Nomor: 04-PR.07.01 Tahun 1987 dan Nomor: M.06-PR.07.01 Tahun
1987 dan tanggal 05 September 1987, perwakilan-perwakilan tersebut sebanyak 32
BHP.
8 Kertas Kerja, Sambutan Sekjen Departemen Kehakiman pada Rakernas BHP di Semarang,
Dengan dihapuskannya perwakilan-perwakilan BHP di daerah, maka segala
tugas teknis dikembalikan kepada BHP yang membawahinya dan hal-hal yang
berhubungan dengan personil dan inventaris perwakilan tersebut diserahkan kepada
Kantor Wilayah Departemen Kehakiman setempat (Pasal 2 junto Pasal 3 Surat
Keputusan Menteri Kehakiman Republik Indonesia Nomor: M.01-PR.08.01 Tahun
1987 tanggal 24 Januari 1980 tentang Petunjuk Pelaksanaan Tugas BHP pada
Perwakilan-perwakilan yang dihapus). Penghapusan beberapa kantor perwakilan
BHP sebagaimana tersebut diatas tidak merubah struktur organisasi Balai Harta
Peninggalan yang telah ada.
Dalam melaksanakan tugas pokok dan fungsinya, BHP didukung oleh
peraturan-peraturan yang ada serta kebijaksanaan pemerintah berupa Surat Keputusan
Menteri, Instruksi Menteri dan Surat-surat Edaran yang ada dikeluarkan oleh
Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia9. Bila dilihat dari
peraturan dan dasar hukum yang menjadi landasan tugas BHP masih banyak
menggunakan peraturan warisan kolonial yang masih berlaku karena belum diganti
dan dicabut, walaupun sering kali mungkin tidak diperlukan lagi atau perlu diubah,
diperbaharui atau sudah perlu diganti dengan peraturan yang sama sekali baru, agar
dapat memenuhi kebutuhan perkembangan zaman.
Dasar pemberlakuan peraturan perundang-undangan yang ada, khusus produk
kolonial yang sampai sekarang ini masih berlaku adalah Pasal II Aturan Peralihan
9 Rapat Dinas Balai Harta Peninggalan se-Indonesia pada tanggal 5-6 Nopember 2001,
UUD 1945 jo Peraturan Pemerintah No. 2 Tahun 1945, yang menjelaskan bahwa
untuk mengisi kekosongan hukum, maka segala badan negara dan peraturan yang
masih ada langsung berlaku sebelum diadakan yang baru UUD 1945. hal ini berarti
bahwa peraturan perundang-undangan yang diciptakan pada zaman kolonial masih
tetap berlaku sepanjang tidak bertentangan dengan Pancasila dan UUD 1945
sebagaimana yang dikemukakan oleh mantan Menteri Kehakiman Saharjo yang
mengatakan:
“Burgerlijke Wetboek dan Wetboek van Koophandel bukan Kodifikasi lagi
(dikatakannya sudah menjadi “rechants boek”). Dari kedua buku itu yang berlaku
ialah pasal-pasal yang betul-betul hidup di Indonesia dengan syarat: a). Tidak
bertentangan dengan jiwa UUD 1945; b). Tidak bertentangan dengan keadaan,
pasal-pasal yang memenuhi syarat itu berlaku sebagai hukum yang tidak tertulis”.10
Balai Harta Peninggalan berada di Direktorat Jenderal Administrasi Hukum
Umum (selanjutnya disebut Dit.Jen AHU) bidang keperdataan yang menggunakan
dasar hukum Staatsblad No. 166 Tahun 1872 yang disebut ordonansi tanggal 5
Oktober 1872 yang dalam bahasa aslinya berjudul “Instruktie Voor de Weeskamers in
Indonesie” atau disebut Instruksi untuk Balai-Balai Harta Peninggalan, di mana
ordonansi tersebut mendasarkan pada Burgelijk Wetboek (Kitab Undang-undang
10 Suhardjo, “Pohon Beringin Penganyoman Hukum Pancasila Manipol/Usdek”, makalah
Hukum Perdata atau disingkat dengan KUHPerdata).11 Keberadaan BHP dipertegas
lagi di lingkungan Dit.Jen AHU dengan dikeluarkannya Peraturan Menteri Hukum
dan Hak Asasi Manusia RI Nomor: M-01.PR.07.10 Tahun 2005 tentang Organisasi
dan Tata Kerja Kantor Wilayah Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia RI yang
menyatakan BHP adalah salah satu unit Pelaksana Tehnis dalam lingkungan
Departemen Hukum dan HAM RI, berada dibawah Devisi Pelayanan Hukum dan
Hak Asasi Manusia, namun secara tehnis bertanggung jawab kepada Direktorat
Jenderal Administrasi Hukum Umum12.
Dalam Pasal 2 Surat Keputusan Menteri Kehakiman Republik Indonesia
tentang Organisasi dan Tata Kerja Balai Harta Peninggalan mengatur tentang Tugas
dan Fungsi Balai Harta Peninggalan, ‘Tugas Balai Harta Peninggalan ialah mewakili
dan mengurus kepentingan orang-orang yang karena hukum atau Keputusan Hakim
tidak dapat menjalankan sendiri kepentingannya berdasarkan peraturan
perundang-undangan yang berlaku”.
Dalam Pasal 3 Surat Keputusan Menteri Kehakiman Republik Indonesia
tersebut menyatakan bahwa untuk menjalankan tugas tersebut sebagaimana yang
disebutkan dalam Pasal 2, Balai Harta Peninggalan mempunyai fungsi:
a. Melaksanakan penyelesaian masalah Perwalian, Pengampunan, Ketidak- hadiran dan Harta Peninggalan yang tidak ada Kuasanya dan lain-lain masalah yang diatur dalam Peraturan Perundang-undangan.
11 Soeharjo, Sisi Hukum Administrasi Negara tentang Peran dan Kedudukan Balai Harta
Peninggalan, Makalah disampaikan dalam Rapat Kerja Nasional Balai Harta Peninggalan, Departemen Kehakiman Republik Indonesia tanggal 18 Desember 1998 (Semarang: Departemen Kehakiman Republik Indonesia, 1998), hal. 65.
12 Peraturan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia RI, (Departemen Hukum dan HAM RI,
b. Melaksanakan Pembukuan dan Pendaftaran Surat Wasiat sesuai dengan Peraturan Perundang-undangan.
c. Melaksanakan penyelesaian masalah Kepailitan sesuai dengan Peraturan Perundang-undangan.13
Secara umum dasar hukum pelaksanaan tugas BHP adalah sebagai berikut:
1. Kitab Undang-Undang Hukum Perdata L.N 1847 No. 23.
2. Ordonansi Daftar Pusat Wasiat, L.N. 1920 No. 305 jo. 1921 No. 568. 3. Hukum Acara Perdata.
4. Hukum Acara Pidana.
5. Instruksi Untuk Balai, L.N. 1872 No. 166.
6. Peraturan tentang Rumah Tangga Balai dan Budel, Bijblad No. 5849. 7. Peraturan tentang Majelis Pengurus Budel, L.N. 1928 No. 46.
8. Peraturan tentang Dewan Perwalian, L.N. 1927 No. 28.
9. Petunjuk tentang Pelaksanaan Tata Usaha Keuangan pada BHP. 10.Undang-Undang tentang Perlindungan Anak Nomor 23 Tahun 2002. 11.Undang-Undang Kepailitan dan PKPU Nomor 37 Tahun 2004.
12.Undang-Undang tentang Administrasi Kependudukan Nomor 23 Tahun 2006. 13.Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 2007 tentang Jenis dan Tarif PNBP
di Departemen Hukum dan HAM RI. 14.Surat Keputusan Menteri Kehakiman. 15.Instruksi Menteri Kehakiman.
16.Instruksi Direktur Jenderal Administrasi Hukum Umum.
17.Surat Edaran Menteri Kehakiman dan Direktur Jenderal Administrasi Hukum Umum.
Lebih rinci tugas-tugas BHP beserta dasar hukumnya adalah sebagai berikut:
1. Perwalian, Wali Sementara, Pengawas (UU Perlindungan Anak, Pasal 359 KUHPerdata, Instruksi Balai, Peraturan Rumah Tangga Balai, Penetapan Pengadilan Negeri, PP tentang Jenis dan Tarif PNBP).
2. Pengampunan, Pengampu Kandungan, Pengampu Pengawas (Pasal 348 KUHPerdata, Instruksi Balai, Peraturan Rumah Tangga Balai).
3. Ketidakhadiran/Afwezig (Pasal 463, 464, 465 KUHPerdata, Penetapan PN, Peraturan Rumah Tangga Balai, PP tentang Jenis dan Tarif PNBP, Surat Edaran Menteri Kehakiman No. M.01.HT.05.10 Tahun 1990 tentang Petunjuk Pengajuan Ijin Prinsip dan Pelaksanaan Penjualan Budel, Peraturan Menteri Hukum dan HAM No. M-02.HT.05.10 Tahun 2005 tentang Ijin Pelaksanaan Penjualan Budel afwezig dan onbeheerde nalatenschap).
13 Surat Keputusan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia RI tanggal 19 Juni 1980, Nomor
4. Harta Peninggalan Tak Terurus (Pasal 1126, 1127, 1128, 1129 KUHPerdata, Akta Kematian, Instruksi Ijin Prinsip dan Pelaksana Penjualan Budel, Peraturan Menkumham No. M-02.HT.05.10 Tahun 2005 tentang Ijin Pelaksanaan Penjualan Budel afwezig dan onbeheerde nalatenschap, PP tentang Jenis dan Tarif PNBP).
5. Sebagai Kurator dan Pengurus (UU tentang Kepailitan dan PKPU Nomor 37 Tahun 2004, PP tentang Jenis dan Tarif PNBP).
6. Menerima Laporan Salinan Akta Wasiat dari para Notaris (Ketentuan-Ketentuan tentang Pernyataan Berlaku dan Peralihan ke Perundang-undangan Baru).14
Mengenai tugas dan wewenang Balai Harta Peninggalan dapat dilihat dari
beberapa aspek hukum keperdataan yang dibagi menurut sistematika Hukum
Keluarga, Hukum Benda, Hukum Perjanjian dan Hukum Kepailitan.15
Beberapa pasal di dalam KUHPerdata yang mengatur hukum keluarga yang
berkenaan dengan Balai Harta Peninggalan, antara lain:
1. Dalam Pasal 2 KUHPerdata yang menyatakan bahwa orang dewasa ditaruh di bawah pengampuan.
2. Dalam Pasal 61-63 KUHPerdata yang mengatur pencegahan perkawinan yang dapat dilakukan oleh orang tua, wali, wali pengawas, pengampuan dan pengampuan pengawas.
3. Dalam Pasal 26 KUHPerdata yang mengatur tentang pembubaran perkawinan. 4. Dalam Pasal 302 KUHPerdata yang mengatur tentang Kewenangan
Pengadilan Negeri untuk memerintahkan penampungan anak dalam waktu tertentu dalam sebuah Lembaga Negara atau pertikulir yang ditunjuk.
5. Dalam Pasal 306 KUHPerdata yang mengatur tentang perwalian anak-anak luar kawin yang telah diakui sah.
6. Dalam Pasal 331 a KUHPerdata yang mengatur tentang pengangkatan wali. 7. Dalam Pasal 335 KUHPerdata yang mengatur tentang jaminan wali atas
pengurusan mereka terhadap harta kekayaan anak yang belum dewasa.
8. Dalam Pasal 338 KUHPerdata yang mengatur tentang pengurusan harta
14 Syamsuddin Manan Sinaga, “Pola Kerja Balai Harta Peninggalan Menyikapi Pemeriksaan
Inspektorat Jenderal BPKP dan BPK”. Makalah disampaikan pada Rapat Kerja Balai Harta Peninggalan Seluruh Indonesia di Medan pada tanggal 4 Mei 2007, hal. 5-6.
15
kekayaan anak belum dewasa.
9. Dalam Pasal 348 KUHPerdata yang mengatur tentang Tugas Balai Harta Peninggalan untuk menjadi pengampu atas bayi yang ada dalam kandungan si istri yang ditinggal mati suaminya.
10.Dalam Pasal 359 KUHPerdata yang mengatur tentang Pengurusan Diri Pribadi Anak di bawah umur selama belum ada wali.
11.Dalam Pasal 259 jo Pasal 360 jo. Pasal 348 KUHPerdata yang mengatur tentang wali sementara.
12.Dalam Pasal 360, Pasal 366, Pasal 370 dan Pasal 418 KUHPerdata yang mengatur tentang wali pengawas (toezeinde curatrice van ander curatele
gestelden).
13.Dalam Pasal 449 KUHPerdata yang mengatur tentang Pengampu Pengawas orang yang berada di bawah pengampuan (toezeinde curatrice van ander
curatele gestelden).
14.Dalam Pasal 463 KUHPerdata yang mengatur tentang pengurus harga kekayaan dan kepentingan orang yang tiada di tempat (beheerde en
waarnemer van goederen en belangen van afwezigen). 16
Beberapa pasal di dalam KUHPerdata yang mengatur hukum benda yang
berkenaan dengan Balai Harta Peninggalan, antara lain:
1. Dalam Pasal 942 KUHPerdata jo Pasal 42 O.V yang mengatur tentang Surat Wasiat kepada BHP.
2. Dalam Pasal 1046 KUHPerdata yang mengatur tentang ketidak-bolehan perempuan yang telah bersuami, anak yang belum dewasa dan orang yang diletakkan di bawah pengampuan untuk menerima warisan apabila tidak mengindahkan peraturan mengenai orang tersebut.
3. Dalam Pasal 1072 KUHPerdata yang mengatur mengenai kehadiran BHP dalam hal pemisahan harta peninggalan.
4. Dalam Pasal 1126-1129 KUHPerdata yang mengatur tentang pengurus/ pengelola harta peninggalan yang terurus (Onbeheerde natalenschappen)17
Selain hukum keluarga dan hukum benda, maka ada juga beberapa pasal
di dalam KUHPerdata yang mengatur hukum perjanjian yang berkenaan dengan Balai
Harta Peninggalan, antara lain:
1. Dalam Pasal 1446 KUHPerdata yang mengatur tentang perbuatan hukum dalam melakukan pembuatan perikatan yang dilakukan oleh orang yang belum dewasa diletakkan di bawah pengampuan adalah batal demi hukum. 2. Dalam Pasal 1448 KUHPerdata yang mengatur tentang acara-acara yang
ditentukan untuk sahnya sementara perbuatan yang dilakukan oleh wali atau pengampu.
3. Dalam Pasal 1454 KUHPerdata yang mengatur tentang jangka waktu untuk berlakunya suatu perikatan yang telah dilakukan oleh orang yang belum dewasa dan orang yang di bawah pengampuan.
4. Dalam Pasal 1798 KUHPerdata yang mengatur tentang pemberian kuasa kepada orang yang belum dewasa dan orang perempuan.
5. Dalam Pasal 1852 KUHPerdata yang mengatur tentang wali-wali dan pengampu-pengampu yang tidak dapat melakukan tindakan perdamaian dalam suatu perkara atau mencegah terjadinya perkara.18
Sebagaimana yang telah diketahui saat ini di seluruh Indonesia hanya ada 5
(lima) Kantor Balai Harta Peninggalan dan berkedudukan di Ibukota Propinsi, yaitu
Medan, Jakarta, Semarang, Surabaya, dan Makasar. Mengingat hanya ada 5 (lima)
kantor BHP di Indonesia, maka dalam prakteknya 5 (lima) kantor BHP yang sekarang
ada inilah yang melayani penggunaan jasa BHP di seluruh Indonesia sehingga 1
(satu) kantor BHP wilayah kerjanya mencakup beberapa wilayah Propinsi, melebihi
wilayah kerja Kantor Wilayah Departemen Hukum dan HAM RI,19 contoh BHP
Medan wilayah kerjanya mencakup 6 Propinsi yaitu Propinsi D.I Aceh, Sumatera
Utara, Sumatera Barat, Pekan Baru, Kepulauan Riau dan Bengkulu. Oleh karena itu
dengan luasnya wilayah kerja dari 1 (satu) BHP secara rasio jumlah Kantor BHP
masih relatif kecil, sehingga dimungkinkan dalam pelayanan terhadap masyarakat
umum kurang efektif.
Dari hal tersebut di atas maka, Balai Harta Peninggalan diharapkan berperan
dalam memberikan pelayanan secara optimal sehingga sesuai dengan adanya tuntutan
reformasi dan demokratisasi sejak tahun 1997 yang memasyarakatkan perubahan
paradigma kepemerintahan, pembaharuan sistem kelembagaan dan peningkatan
kompetensi sumber daya manusia dalam penyelenggaraan pemerintah dan
pembangunan yang mengacu pada terselenggaranya pemerintahan yang baik yaitu
mewujudkan pemerintah yang bersih dan berwibawa serta transparan (good
governance).20
Namun setidaknya terdapat beberapa alasan yang menyebabkan penelitian ini
diperlukan, antara lain tugas dan kewenangan Balai Harta Peninggalan masih diatur
dalam peraturan produk kolonial sehingga sangat dimungkinkan peraturan-peraturan
tersebut tidak relevan lagi dengan kebutuhan perkembangan masyarakat saat ini.
Perkembangan masyarakat dewasa ini banyak membutuhkan keterkaitan
dengan tugas dan kewenangan Balai Harta Peninggalan. Terlebih ketika terjadinya
peristiwa bencana alam gempa bumi dan tsunami tanggal 26 Desember 2004 dan
gempa bumi selanjutnya pada tanggal 28 Maret 2005 di Wilayah Nanggroe Aceh
Darussalam dan Kepulauan Nias Propinsi Sumatera Utara yang telah mengakibatkan
korban jiwa dan harta benda. Berbagai urusan-urusan masyarakat dewasa ini terkait
dengan eksistensi Balai Harta Peninggalan, sementara produk peraturan yang ada
tidak tegas mengatur dari kewenangan Balai Harta Peninggalan.
Masih terdapatnya sejumlah hambatan-hambatan yang menyebabkan kurang
optimalnya pelaksanaan tugas Balai Harta Peninggalan di masyarakat, yaitu
hambatan-hambatan dalam hal Sumber Daya Manusia (SDM) kendala sarana dan
prasarana serta kendala ego sektoral.
Selanjutnya saat ini Indonesia sedang menyusun Rancangan Undang-Undang
Balai Harta Peninggalan sehingga perlu melihat konsep-konsep pengembangan Balai
Harta Peninggalan di masa depan yang kemudian dapat terpenuhinya layanan hukum
sesuai kebutuhan masyarakat.
Berdasarkan uraian yang telah peneliti kemukakan di atas, maka peneliti
merasa tertarik untuk meneliti masalah Eksistensi Balai Harta Peninggalan dan
menuangkannya dalam bentuk tesis yang berjudul: “Pembaharuan Hukum Sebagai
Upaya Meningkatkan Eksistensi Balai Harta Peninggalan dalam Pelayanan
Hukum.”
B. Perumusan Masalah
Berdasarkan yang telah diuraikan di atas, maka dapat dirumuskan beberapa
permasalahan antara lain sebagai berikut:
1. Apakah peraturan perundang-undangan kolonial sebagai dasar hukum
pelaksanaan tugas dan wewenang Balai Harta Peninggalan masih relevan pada
saat ini?
2. Bagaimanakah pengaturan tugas dan kewenangan Balai Harta Peninggalan
masyarakat saat ini?
3. Hambatan-hambatan apa sajakah yang terjadi dalam pelaksanaan pelayanan
hukum pada Balai Harta Peninggalan?
C. Tujuan Penelitian
Berdasarkan permasalahan yang telah diutarakan di atas, maka dapat
dirumuskan beberapa tujuan dari penelitian ini adalah sebagai berikut:
1. Untuk mengetahui peraturan perundang-undangan Balai Harta Peninggalan
sebagai dasar hukum pelaksanaan tugas dan wewenang Balai Harta
Peninggalan.
2. Untuk mengetahui pengaturan tugas dan kewenangan Balai Harta Peninggalan
dalam pelayanan hukum terhadap masyarakat.
3. Untuk mendapatkan solusi terhadap hambatan-hambatan yang terjadi dalam
pelaksanaan pelayanan hukum pada Balai Harta Peninggalan.
D. Manfaat Penelitian
1. Secara teoritis penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat dalam
bentuk sumbang saran untuk perkembangan ilmu hukum pada umumnya dan
untuk bidang hukum administrasi negara pada khususnya yang berhubungan
dengan pembaharuan hukum sebagai upaya meningkatkan eksistensi Balai
2. Secara prakteknya sangat bermanfaat dan membantu bagi semua pihak, baik
itu para pegawai di Kantor Balai Harta Peninggalan dan masyarakat yang
melakukan pengurusan di Balai Harta Peninggalan menjadi lebih efektif,
efisien dan akurat.
E. Keaslian Penelitian
Berdasarkan penelusuran informasi yang dilakukan peneliti di perpustakaan
Universitas Sumatera Utara dan Kepustakaan Sekolah Pascasarjana, maka penelitian
dengan judul “Pembaruan Hukum Sebagai Upaya Meningkatkan Eksistensi Balai
Harta Peninggalan Medan dalam Pelayanan Hukum”, belum pernah ada yang
melakukan penelitian sebelumnya. Dengan demikian, maka penelitian ini dapat
dijamin keasliannya dan dapat dipertanggungjawabkan dari segi ilmiah.
F. Kerangka Teori dan Konsepsi
1. Kerangka Teori
a) Teori Pembaharuan Hukum
Berbicara masalah pembaharuan hukum, maka hal tersebut identik dengan
perubahan. Dalam pembahasan mengenai pembaharuan hukum sebagai upaya
meningkatkan eksistensi Balai Harta Peninggalan, teori utama yang digunakan adalah
teori hukum pembangunan. Teori ini dikemukakan oleh Mochtar Kusumaatmadja
yang mengatakan bahwa, “Hukum yang dibuat harus sesuai dan harus memperhatikan
agar dapat berfungsi sebagai sarana pembaruan masyarakat hendaknya harus ada
legalisasi dari kekuasaan negara”.21
Hal ini berhubungan dengan adagium yang dikemukakannya “hukum tanpa
kekuasaan adalah angan-angan dan kekuasaan tanpa hukum adalah kezaliman”,
supaya ada kepastian dalam hukum maka hukum harus dibuat secara tertulis sesuai
dengan ketentuan yang berlaku dan ditetapkan oleh negara.
Mochtar Kusumaatmadja mengemukakan bahwa jika kita artikan dalam arti yang luas, maka hukum itu tidak saja merupakan keseluruhan asas-asas dan kaedah-kaedah yang mengatur kehidupan manusia dalam masyarakat, melainkan meliputi pula lembaga-lembaga (institution) dan proses-proses (process) yang mewujudkan berlakunya kaedah-kaedah itu dalam kenyataan. Dengan lain perkataan bahwa yang normatuf semata-mata tentang hukum tidak cukup apabila kita hendak melakukan pembinaan dan perubahan hukum secara menyeluruh.22
Lebih lanjut Mochtar Kusumaatmadja mengatakan bahwa hukum sebagai
kaedah sosial tidak lepas dari nilai (value) yang berlaku di suatu masyarakat
sebagaimana konsep hukum yang bersumber pada “law as a tool sosial engineering”
dalam jangkauan dan ruang lingkup yang lebih luas.23
Di satu pihak pembaruan hukum berarti suatu penetapan prioritas
tujuan-tujuan yang hendak dicapai dengan mempergunakan hukum sebagai sarana. Oleh
karena hukum berasal dari masyarakat dan hidup serta berproses dalam masyarakat,
maka pembaruan hukum tidak mungkin lepas secara mutlak dari masyarakat. Salah
satu hal yang harus dihadapi adalah kenyataan sosial dalam arti yang luas.
21
Mochtar Kusumaatmadja (3), Fungsi dan Perkembangan Hukum dalam Pembangunan Nasional (Bandung: Bina Cipta, 1970), hal. 10.
22 Ibid, hal. 11.
Sehubungan dengan hal ini maka perubahan yang direncanakan hendaknya dilakukan
secara menyeluruh.
Dengan demikian, maka perubahan di bidang hukum akan menjalin kepada bidang-bidang kehidupan yang lain dan sebagai sarana untuk perubahan masyarakat yang telah ada serta mengesahkan perubahan-perubahan yang telah terjadi di masa lalu. Maka ada faktor-faktor lain yang mempengaruhinya. Di satu pihak mungkin dapat terjadi faktor pendukung akan tetapi di pihak lain mungkin menjadi penghalang bagi berprosesnya hukum secara fungsional dan efektif.24
Kemudian teori pendukung untuk meneliti pembaruan hukum sebagai upaya
meningkatkan eksistensi Balai Harta Peninggalan adalah teori pragmatic Legal
Realism. Teori ini dikemukakan oleh Rescoe Pound yang mengatakan bahwa,
“Hukum dilihat dari fungsinya dapat berperan sebagai alat untuk mengubah
masyarakat (Law as a tool of engineering). Hukum dapat berperan di depan
memimpin perubahan dalam kehidupan masyarakat, mewujudkan perdamaian dan
ketertiban serta mewujudkan keadilan bagi seluruh masyarakat. Hukum berada
di depan untuk mendorong pembaruan dari tradisional ke modern. Hukum yang
dipergunakan sebagai sarana pembaruan ini dapat berupa undang-undang dan
yurisprudensi atau kombinasi keduanya, namun di Indonesia yang lebih menonjol
adalah tata perundangan. Supaya dalam pelaksanaan untuk pembaruan itu dapat
berjalan dengan baik, hendaknya perundang-undangan yang dibentuk itu sesuai
dengan apa yang menjadi inti pemikiran Sociological Jurisprudence yaitu hukum
yang baik adalah hukum yang hidup dalam masyarakat, sebab jika ternyata tidak,
24 Soejono Soekanto dan Mustafa Abdullah, Sosiologi Hukum dalam Masyarakat, (Jakarta:
maka akibatnya secara efektif dan akan mendapat tantangan.
b) Teori Pragmatic Legal Realism
Teori pendukung untuk meneliti pembaharuan hukum sebagai upaya
meningkatkan eksistensi Balai Harta Peninggalan adalah teori Pracmatic Legal
Realism. Teori ini dikemukakan oleh Roscoe Pound yang mengatakan bahwa hukum
dilihat dari fungsinya dapat berperan sebagai alat untuk mengubah masyarakat (Law
as a tool of engineering). Hukum dapat berperan sebagai alat di depan memimpin
perubahan dalam kehidupan masyarakat, mewujudkan perdamaian dan ketertiban
serta mewujudkan keadilan bagi seluruh masyarakat. Hukum berada di depan untuk
mendorong pembaharuan dari tradisional ke modern.
Hukum yang dipergunakan sebagai sarana pembaharuan ini dapat berupa Undang-undang dan yurisprudensi atau kombinasi keduanya, namun di Indonesia yang lebih menonjol adalah perundang-undangan. Agar pelaksanaan pembaharuan dapat berjalan dengan baik, hendaknya perundang-undangan yang dibentuk itu sesuai dengan apa yang menjadi inti pemikiran
sociological yurisprudence yaitu hukum yang baik adalah hukum yang hidup
dalam masyarakat, sebab jika ternyata tidak, maka akibatnya secara efektif dan akan mendapat tantangan.25
c) Teori Sociological Jurisprudence
Teori Sociological Jurisprudence ini adalah suatu teori yang mempelajari
pengaruh hukum terhadap masyarakat dan sebagainya dengan pendekatan dari hukum
ke masyarakat. Dalam kehidupan berbangsa dan bernegara terdapat keseimbangan
antara keinginan untuk mengadakan pembaruan hukum dengan perundang-undangan
25 Abdul Manan, Aspek-Aspek Pengubah Hukum, (Jakarta: Kencana Prenada Media, 2006),
dengan kesadaran untuk memperhatikan kenyataan yang hidup dalam masyarakat.
Kenyataan-kenyataan tersebut dinamakan “living law dan just law” yang merupakan
“inner order” dari masyarakat mencerminkan nilai-nilai yang hidup di dalamnya.
Jika ingin diadakan perubahan hukum, maka nilai-nilai yang hidup di dalamnya. Jika
ingin diadakan perubahan hukum, maka hal yang patut harus diperhatikan didalam
membuat suatu undang-undang yang dibuat itu dapat berlaku secara efektif di dalam
masyarakat adalah memperhatikan hukum yang hidup (living law) dalam masyarakat
tersebut.
Kesadaran hukum masyarakat adalah nilai-nilai yang hidup dalam masyarakat
tentang hukum, yang meliputi mengetahui pemahaman, penghayatan, kepatuhan atau
ketaatan kepada hukum. Dengan demikian kesadaran hukum itu sebenarnya
merupakan kesadaran atau nilai-nilai yang terdapat di dalam diri manusia tentang
hukum yang ada atau tentang hukum yang diharapkan ada. Di sini penekanannya
adalah nilai-nilai masyarakat fungsi apa yang hendaknya dijalankan oleh hukum
dalam masyarakat. Jadi nilai-nilai itu merupakan konsepsi mengenai hal yang
dianggap baik dan yang dianggap buruk. Dengan kata lain bahwa adalah konsepsi
abstrak dalam diri manusia tentang keserasian antara keterkaitan dengan ketentraman
yang dikehendaki dengan melihat kepada indikator-indikator tertentu.
Indikator-indikator ini dapat dijadikan ukuran atau patokan dalam penyusunan atau
pembentukan hukum baru yang hendak dilakukannya. Dalam penulisan ini bahwa
2. Kerangka Konsepsi
Dalam penelitian ini dipergunakan sejumlah konsep hukum. Untuk
menghindari terjadinya kesalahan pengertian mengenai konsep hukum yang
dipergunakan, maka perlu ditegaskan definisi operasional atas konsep hukum-konsep
hukum tersebut, antara lain:
a) Pembaharuan hukum adalah suatu usaha untuk meningkatkan dan
menyempurnakan hukum nasional melalui pembentukan peraturan
perundang-undangan yang baru dan penyempurnaan peraturan perundang-perundang-undangan yang
telah ada, sehingga sesuai dengan kebutuhan baru di bidang-bidang
bersangkutan.26
b) Balai Harta Peninggalan adalah lembaga yang mempunyai tugas untuk
mewakili dan mengurusi kepentingan orang-orang yang karena hukum atau
keputusan hakim tidak dapat menjalankan sendiri kepentingannya berdasarkan
peraturan perundang-undangan yang berlaku.27
c) Pelayanan hukum adalah pelayanan publik yang dilakukan oleh pemerintah
di bidang hukum secara merata dan adil.
d) Tugas dan wewenang Balai Harta Peninggalan adalah tugas dan fungsi Balai
Harta Peninggalan berdasar Keputusan Menteri Kehakiman Republik
Indonesia (No. M.01.Pr.070.01-08).
26 Ibid, hal. 15.
27 Direktorat Hukum dan Perundang-undangan Departemen Kehakiman, Himpunan
e) Eksistensi adalah keberadaan Balai Harta Peninggalan Medan dalam
memberikan pelayanan hukum kepada masyarakat yang memerlukan,
keberadaan di sini meliputi tugas dan lingkup kewenangan serta sarana dan
prasarana pendukung.28
f) Hambatan pelaksanaan pelayanan hukum adalah hambatan yang terjadi dalam
hal Balai Harta Peninggalan melaksanakan tugas dan fungsinya, yaitu
keterbatasan sumber daya manusia, keterbatasan sarana dan prasarana dan
kurangnya keharmonisan informasi antara instansi yang terkait dengan Balai
Harta Peninggalan seperti Kantor Catatan Sipil dan Pengadilan Negeri.
G. Metode Penelitian
Metode yang dipergunakan dalam suatu penelitian pada dasarnya ditujukan
untuk mengungkapkan kebenaran secara sistematis, metodologis dan konsisten.
Melalui proses penelitian diadakan analisa dan konstruksi terhadap data yang telah
dikumpulkan, sebagaimana diungkapkan oleh Soejono Soekanto mengenai penelitian
hukum sebagai berikut:
Penelitian hukum pada dasarnya merupakan suatu kegiatan ilmiah yang didasarkan pada metode, sistematika dan pemikiran tertentu yang bertujuan untuk mempelajari satu atau beberapa gejala hukum tertentu dengan jalan menganalisisnya, kecuali itu maka juga diadakan pemeriksaan yang mendalam terhadap fakta hukum tersebut untuk kemudian yang ditimbulkan di dalam gejala yang bersangkutan.29
28 Sudarsono, Kamus Hukum, (Jakarta: Rineka Cipta, 2007), hal. 112.
Oleh karena itu, untuk mendapatkan kebenaran yang dapat dipercaya, sebuah
penelitian harus menggunakan cara-cara yang metodologis, sehubungan dengan hal
tersebut, maka dalam bagian ini akan diuraikan aspek metodologis penelitian, yang
meliputi spesifikasi penelitian, data penelitian, tehnik pengumpulan data, alat
pengumpulan data dan analisis data.
1. Spesifikasi Penelitian
Dalam spesifikasi penelitian akan diuraikan mengenai jenis penelitian, sifat
penelitian dan pendekatan penelitian yang dipergunakan dalam menganalisis gejala
hukum terkait dengan perlunya pembaharuan hukum sebagai upaya meningkatkan
eksistensi Balai Harta Peninggalan dalam pelayanan hukum.
Jenis penelitian ini adalah penelitian hukum normatif (yuridis normatif).
Sebagaimana diuraikan oleh Ronald Dworkin bahwa penelitian hukum normatif atau
disebut juga penelitian doktrinal (doctrinal research), menganalisis baik hukum
sebagai “law as it written in the book”, maupun hukum sebagai “law as it by the
judge through judicial process”.30 Maka penelitian ini ditujukan untuk menganalisis
bahan-bahan hukum normatif khususnya peraturan perundang-undangan (law as it
written in the book) yang relevan dengan masalah yang dirumuskan.
Dengan demikian pendekatan penelitian yang dilakukan adalah pendekatan
perundang-undangan (statutory approach) dengan fokus kegiatan mengumpulkan
peraturan perundang-undangan terkait dengan keberadaan Balai Harta Peninggalan
30 Bismar Nasution, Metode Penelitian Hukum Normatif dan Perbandingan Hukum, Majalah
dan perkembangan pelayanan hukum yang diberikan oleh lembaga tersebut kepada
masyarakat berdasarkan peraturan perundang-undangan yang ada saat ini.
Fokus utama kajian diarahkan terhadap Stbl. No. 166 Tahun 1872 atau yang
biasa disebut dengan Ordonansi 5 Oktober 1872 tentang Balai Harta Peninggalan dan
Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPerdata) yang masih dipergunakan
sebagai payung hukum keberadaan Balai Harta Peninggalan di Indonesia.
Sifat penelitian ini adalah deskriptif analisis. Dengan sifat yang demikian,
maka penelitian dioperasionalisasikan selain untuk menggambarkan fakta-fakta
hukum mengenai keberadaan Balai Harta Peninggalan dalam pelayanan hukum yang
diberikannya kepada masyarakat, juga ditujukan untuk menganalisis keberadaan
lembaga tersebut dewasa ini dan pelayanan hukum yang diberikannya kepada
masyarakat yang terus berkembang. Pada akhirnya diharapkan diperoleh suatu
kesimpulan tentang perlu tidaknya pembaharuan hukum terhadap eksistensi Balai
Harta Peninggalan terutama kaitannya dengan perkembangan hukum yang semakin
maju dan terkait dengan keberadaan lembaga tersebut.
Oleh karena itu, untuk mendapatkan kebenaran yang dapat dipercaya, sebuah
penelitian harus menggunakan cara-cara yang metodologis. Sehubungan dengan hal
tersebut, maka dalam bagian ini akan diuraikan aspek metodologi penelitian, yang
meliputi spesifikasi penelitian, data penelitian, tehnik pengumpulan data, alat
2. Sumber Data Penelitian
Sumber data dalam penelitian ini berasal dari data sekunder, yang meliputi:31
a. Bahan hukum primer, terdiri dari peraturan perundang-undangan yang relevan
dengan masalah penelitian, antara lain Staatblad No. 166 Tahun 1872 tanggal
5 Oktober 1872 tentang Balai Harta Peninggalan, Kitab Undang-Undang
Hukum Perdata (KUH Perdata), Undang-Undang No. 37 Tahun 2004 tentang
Kepailitan, Undang-Undang No. 12 Tahun 2006 tentang Kewarganegaraan,
Peraturan Menteri Hukum dan HAM Republik Indonesia No. M.01-HT.05.10
Tahun 2005 tentang Tugas dan Kewenangan Pengurus dalam Proses
Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang dan Peraturan Terkait Lainnya yang
Dipandang Relevan.
b. Bahan hukum sekunder seperti: hasil-hasil penelitian, artikel, hasil-hasil
seminar atau pertemuan ilmiah lainnya dari kalangan pakar hukum.
c. Bahan hukum tertier atau bahan hukum penunjang yang memberi
petunjuk-petunjuk dan penjelasan terhadap bahan hukum primer dan bahan hukum
sekunder, seperti kamus umum, kamus hukum, majalah/jurnal atau suatu kabar
sepanjang informasi yang relevan dengan materi penelitian ini.
3. Tehnik Pengumpulan Data
Pengumpulan data dilakukan melalui:
a) Studi Kepustakaan (Library Research)
Sehubungan dengan permasalahan dalam penelitian ini maka pengumpulan
data akan dilakukan melalui studi kepustakaan, dikumpulkan melalui studi
literatur, dokumen dan dengan mempelajari ketentuan perundang-undangan
tentang eksistensi Balai Harta Peninggalan dan peraturan perundang-undangan
lain yang relevan dengan materi penelitian.
b) Wawancara
Disamping studi kepustakaan, data pendukung juga diharapkan diperoleh
dengan melakukan wawancara. Untuk menjamin ketepatan dan keabsahan
hasil wawancara, maka wawancara dilakukan dengan narasumber yang
memiliki kompetensi keilmuan dan otoritas yang sesuai, yakni:
1. Ketua Balai Harta Peninggalan Medan.
2. Anggota Teknis Hukum (ATH) Balai Harta Peninggalan Medan.
3. Kanwil Departemen Hukum dan HAM Propinsi Sumatera Utara.
4. Analisis Data
Terhadap bahan hukum dan hasil wawancara yang telah dikumpulkan,
selanjutnya diolah dan dianalisis berdasarkan metode analisis data kualitatif.
Adapun proses analisis data dilakukan sebagai berikut: Pertama, dilakukan
inventarisasi seluruh peraturan perundang-undangan dan bahan hukum-bahan hukum
abstraksi untuk menemukan makna atau konsep-konsep yang terkandung dalam
bahan hukum (konseptualisasi). Konseptualisasi ini dilakukan dengan cara
memberikan interpretasi terhadap bahan hukum berupa kata-kata dan
kalimat-kalimat. Ketiga, mengelompokkan konsep-konsep yang sejenis atau berkaitan
(kategorisasi). Keempat, menemukan hubungan di antara berbagai kategori. Kelima,
hubungan di antara berbagai kategori diuraikan dan dijelaskan. Penjelasan ini
dilakukan dengan menggunakan perspektif pemikiran teoritis para sarjana. Keenam,
hasil wawancara diuraikan untuk mendukung analisis terhadap bahan hukum primer
BAB II
RELEVANSI DASAR HUKUM PELAKSANAAN TUGAS BALAI HARTA PENINGGALAN TERHADAP
KEBUTUHAN MASYARAKAT
A. Dasar Hukum Pelaksanaan Tugas Balai Harta Peninggalan Masih Menggunakan Peraturan Produk Kolonial
Lembaga Balai Harta Peninggalan (Wess en boedelkamer) adalah suatu
lembaga yang berasal dari Pemerintah Belanda. Untuk mengetahui apa latar belakang
dari Pembentukan Balai Harta Peninggalan tersebut kiranya perlu dilihat jauh ke
belakang beberapa ratus tahun yang lalu yaitu masuknya Bangsa Belanda ke
Indonesia. Menurut sejarah Bangsa Belanda masuk ke Indonesia pada tahun 1596,
dan pada mulanya mereka datang sebagai pedagang tetapi karena pada waktu mereka
datang di Indonesia bersaing dengan pedagang Cina, Inggris, dan Portugis yang
mempunyai armada-armada yang besar maka kemudian untuk menghadapi
persaingan tersebut orang-orang Belanda mendirikan suatu perkumpulan dagang yang
disebut “Vereenigde Oost Indische Compagnie” disingkat VOC oleh bangsa kita
disebut “Kompeni”.32
V.O.C. didirikan pada tahun 1602, serta diperbolehkan oleh Pemerintah
Belanda untuk memiliki angkatan perang untuk berperang dan memerintah daerah
yang ditaklukkannya. Demikianlah, V.O.C di samping berdagang juga mempunyai
32 Mengenai Sejarah BHP ini disadur dari Buku Himpunan Peraturan Perundang-undangan
maksud lain yaitu melakukan penjajahan terhadap daerah-daerah yang
ditaklukkannya.
Dengan semakin luasnya kekuasaan V.O.C di Indonesia, maka timbullah
kebutuhan untuk mengurus harta kekayaan yang ditinggalkannya oleh anggotanya
khususnya untuk kepentingan ahli waris yang berada di Nederland, anak-anak yatim
piatu dan sebagainya. Dan untuk menanggulangi kebutuhan seperti itulah oleh
pemerintah Belanda dibentuk suatu lembaga yang diberi nama Wees-en Boedelkamer
(Balai Harta Peninggalan) pada tanggal 1 Oktober 1624, berkedudukan di Jakarta
(Weltevreden atau disebut juga Batavia Centrum).33
Sebagai penuntut dalam menjalankan tugasnya sehari-hari diberikan suatu
instruksi dan sepanjang sejarahnya Balai Harta Peninggalan itu telah lahir sebanyak 4
(empat) instruksi, yaitu:
1. 16 Juli 1625, terdiri dari 49 pasal yang mengatur organisasi dan tugas-tugas
Balai Harta Peninggalan.
2. Tahun 1962, pada perlakuan modifikasi pertama hukum Indonesia, yang
isinya kira-kira sama dengan yang pertama.
3. Stbl. 1818 No. 72, yang dibuat setelah pemulihan kembali kekuasaan Belanda
di Indonesia sesudah pemerintah tentara Inggris, juga dalam hal ini tidak
banyak perbedaan dengan yang terdahulu.
4. Stbl. 1872 No. 166 yang didasarkan pada berlakunya perundang-undangan
baru di Indonesia pada tahun 1848 dan masih berlaku sampai sekarang.